Oleh : Drs. Yulizal Yunus, M.Si (Dosen Jur. BSA/Ka Puslit IAIN Padang)
Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi, Syeikh (glr. Syeikh Bayang, 1864 – 1923). Ia pemimpin delegasi ulama tua (tradisional) moderat bersanding dengan pimpinan ulama tua radikal Syeikh Khatib Ali Al-Padani, bermitra dialog dengan pimpinan ulama muda (modernis) yang radikal Syeikh Dr. Haji Abdul Karim Amrullah dan yang moderat Syeikh Dr. Abdullah Ahmad, dalam rapat besar 1000 ulama di Padang, 15 Juli 1919. Ia Penulis buku best seller yang disebut BJO Schrieke dengan kepustakaan pejuang abad ke-20 yang penul moral yakni Taraghub ila Rahmatillah (1910).
Digelari Syeikh Bayang, karena ia satu di antara ulama tua, pemimpin paham tarekat naqsyabandi di Padang, lahir di Bayang (Pancungtaba), amat tinggi ilmunya di bidang Islam, banyak menulis buku fiqh dan tarekat, luas pengalaman serta moderat, menawarkan corak pikiran ikhtilaf (berbeda pendapat) di interenal umat Islam, ittifaq (bersatu) di eksternal umat Islam sebagai strategi menghadapi penjajah. Ulama yang lahir di Bayang secara historis, tidak saja membuat Bayang menjadi sentra pendidikan Islam, tetapi pernah mengakses Bayang sebagai pusat pengembangan Islam di Pantai Barat Sumatera sekaligus pusat konsentrasi gerakan perlawanan rakyat di Sumatera Barat melawan penjajah dengan spirit Islam, berbasis di Surau Syeikh Buyung Muda (murid Syeikh Abdul Rauf Singkel) di Puluikpuluik, Bayang (1666) di samping surau 5 temannya yakni Syeikh Burhanuddin di Ulakan, Surau Baru Syeikh Muhammad Nasir di Padang, Surau Syeikh Sungayang di Solok, surau Syeikh Padang Ganting dan surau Lubuk Ipuh (TBKW, 1914:249).
Ayah Syeikh Bayang juga seorang ulama besar bernama Syeikh Muhammad Fatawi, guru dari banyak ulama di Sumatera Barat. Sedangkan ibunya juga dari keluarga alim di Pancungtaba, yang namanya tidak dapat dikenal lagi. Meski ia ditinggalkan ibu dan bapak ketika masih kecil, namun ia tidak mematahkan semangatnya untuk belajar. Ia terus belajar dengan murid ayahnya Syiekh Muhammad Jamil (tamatan Makah, 1876) saudara tua dari Syeikh Muhammad Shamad (wafat di Mekah 1876). Kemudian ketika berumur 15 tahun, ia melintasi bukit barisan dari kampungnya Pancungtaba (Bayang) sampai di Alahan Panjang – Solok, di sana belajar agama dengan Syeikh Muhammad Shalih bin Muhammad Saman, penulis buku fiqh Al-Kasyf. Karena pintar ia digelar gurunya dengan Tuanku Bayang. Setelah itu Tuanku belajar fiqh dan tarekat pula dengan Syeikh Mahmud di Pinti Kayu, Solok.
Untuk memperdalam ilmu Islam lebih lanjut, Muhammad Dalil terus berkelana ke bekas Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu Minangkabau dan di sana memperdalam tarekat dengan seorang Syeikh bernama Syeikh Musthafa. Hal yang suprise ia tidak saja menjadi murid kesayangan (shuhbat al-ustadz), bahkan isteri gurunya itu bernama Nenek Ayang (Siti Jalasah) kecantol dengan pemuda alim tampan ini dan meminangnya untuk dijadikan pasangan anak gadisnya bernama Siti Rahmah.
Setelah menikah dengan Siti Rahmah Muhammad Dalil hijrah ke Padang tahun 1891. Di Padang ia membuka pusat pengajian halaqah di Rumah Asal (rumah gadang milik kaum isterinya kepenakan Syeikh Gapuak, pendiri Masjid Ganting, Padang) sekaligus membina masjid tertua di Padang itu. Banyak murid berdatang ke halaqahnya berasal dari berbagai penjuru di dalam/ luar provinsi Sumatera Barat. Di samping membuka halaqah ia aktif berdakwah dan termasuk da’i kondang, disukai jema’ah bahkan dihormati pembesar Belanda di Padang ketika itu.
Tahun 1903 Muhammad Dalil, berangkat ke Makkah untuk naik haji sekaligus belajar memperdalam ilmunya dalam bidang ke-Islaman di sana. Tercatat gurunya di Makkah di antaranya Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawiy (1860 – 1917), mufti dan tiang tengah penegak mazhab syafi’iy serta mawalli yang dipercaya Arab menjadi imam di Masjidil Haram, sekaligus mengajar fiqhi dan matematik. Juga tercatat gurunya Syeikh Jabal Qubis ahli tasauf dan tarekat naqsyabandi asal Jabal Abu Qubis berseberangan dengan Jabal Quayqian, sebelah timur Makkah dekat dengan Masjidil Haram.
Ulama-ulama yang sama mendapat pendidikan dari Syeikh Ahmad Chatib dengan Syeikh Bayang di antaranya, ulama muda (modernis) empat serangkai yakni Dr.H.Abdul Karim Amarullah (Maninjau – Agam), Dr. Abdullah Ahmad (Padang), Syeikh Jamil Jambek Al-Falaki (Bukittinggi) dan Syeikh Muhammad Thaib Umar (Sungayang- Tanah Datar) dan ulama tua (tradisional) dua serangkai ialah Syeikh Chatib Muhammad Ali Al-Fadani (Padang) pimpinan ulama tua yang radikal penulis buku kepustakaan pejuang abad ke-20 Burhan Al-Haq, Syeikh Taher Jalaluddin Al-Falaki (ulama kharismatik Malaysia asal Bukittinggi ayah dari Hamdan mantan Gubernur Pulau Pinang, Malaysia), Syeikh Sulaiman Al-Rasuli (Candung), Syeikh Ibrahim Musa Parabek, Syeikh Arifin Batuhampar, Syeikh Muhammad Jamil Jaho, Syeikh Ahmad Baruah Gunung Suliki, Syeikh Abbas Ladang Lawas Bukittinggi, Syeikh Abdullah Abbas Padang Japang, Syeikh Musthafa Padang Japang, Syeikh Musthafa Husen Purba Baru, Syeikh Hasan Maksum Medan Deli, Syeikh KH. Muhammad Dahlan dll. dari Jawa – Madura, Kalimantan, Sulawesi dan dari negara- negara Islam lainnya.
Pasca Makkah, Syeikh Bayang di Padang melanjutkan halaqahnya. Bahkan diperkuat dengan membentuk jaringan surau halaqah dalam titik utama seperti di Ganting Padang (Rumah Asal dan Masjid Raya Ganting), Pasar Gadang dan Palinggam Padang (rumah isterinya Siti Nur’aini asal Saningbakar), Seberang Padang dekat rumah isterinya Putti Ummu bersama temannya Syeikh Muhammad Thaib, Lolong Padang, Ulak Karang dan Surau Kalawi Pasir Ulak Karang pimpinan Syeikh Muhammad Qasim (Tuanku Kalawi) serta di kampungnya sendiri di Bayang dalam beberapa tempat pula. Ia mengajar berputar dalam jadwal yang diatur sedemikian rupa oleh pimpinan jaringan halaqah masing-masing. Disiplin ilmu yang diajarkan Tafsir, Tauhid, Fiqh, ushul Fiqh, Nahu dan sharaf dll. Selain mengajar Syeikh juga importir buku-buku dan mengarang buku.
Era Syeikh Bayang ini merupakan gelombang ketiga supremasi pengembangan Islam di Sumatera Barat. Gelombang pertama pengembangan Islam generasi Burhanuddin Al-Kamil (1200) dan Burhanuddin Panglima Islam di Painan kemudian ke Ulakan (1523) dan Syeikh Buyung Muda (1666) Puluikpuluik angkatan Syeikh Burhanuddin Ulakan (1666) dilanjutkan generasi Tuanku Nan Tuo pasca Padri (1837). Gelombang kedua berawalnya pembaharuan pemikiran Islam adalah era Syeikh Ahmad Chatib Al-Minangkabawiy (yang tadinya dikirim belajar ke Mekah, pergi bersama ayahnya yang Khatib Nagari itu naik hajji tahun 1871) diteruskan dengan era gerakan murid-muridnya. Gerakan pembaharuan dilanjutkan murid Syeikh Ahmad Chatib yang terkemuka di kalangan ulama tua (tradisional) dikenal dua serangkai Syeikh Chatib Ali (Padang) dan Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi sendiri (Bayang, Pesisir selatan), di kalangan ulama kaum muda (modernis) dikenal empat serangkai yakni Syeikh Dr. H.Abdul Karim Amrullah dari Mninjau, Syeikh Muhammad Jamil Jambek di Bukittinggi, Syeikh Muhammad Thaib Umar di Sungyang dan Syeikh Dr.H. Abdullah Ahmad di Padang. Empat ulama modernis ini merupakan ulama penyambung mata rantai perjuangan pembaharuan Islam di Minangkabau sejak awal abad ke-20.
Gerakan pembaharuan pemikiran Islam murid Syeikh Ahmad Chatib di Minangkabau semakin mengambil bentuk awal abad ke-20. Diwarnai dengan taktik politik adu domba Belanda yang menghembuskan angin pertentangan kepada dua golongan Islam sama-sama murid dari Syeikh Ahmad Chatib yakni Kaum Muda (Modernis) dipimpin DR. H. Abdul Karim Amarullah yang radikal serta kawan-kawannya empat serangkai yang moderat dan Kaum Tua (Tradisional) dipimpin Syeikh Chatib Muhammad Ali Al-Fadaniy yang radikal dan Syeikh Bayang (Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi) yang moderat. Pertentangan kaum muda dan kaum tua itu disusupi PR kepada dalam 40 masalah khilafiyah, ditengahi rapat 1000 ulama yang sangat a lot di Padang, 15 Juli 1919 dipimpin BJO Schrieke bekas ketua pengajaran di HIS. Syeikh Bayang terlibat lansung dalam rapat besar 1000 ulama itu sebagai pemimpin ulama tua yang moderat dan penuh moral (BJO Schrieke, 1973:72) didukung Syeikh Chati Ali pimpinan ulama tua yang radikal, berhadapan dengan ulama muda dipimpin Dr. Hajji Abdul Karim Amrullah (radikal) dan Dr. Abdullah Ahmad (moderat). Di antara ulama tua moderat pengikut Syeikh Bayang ialah Syeikh Muhammad Thaib (Seberang Padang), Syeikh Abdullah (Belakang Tangsi Padang), Syeikh Muhammad Qasyim (Ulak Karang Padang asal Raorao Batusangkar), Syeikh Abdullah Basyir (orang keramat Berok Padang), Syeikh Harun bin Abdul Ghani (Toboh Pariaman), Syeikh Sulaiman Arrasuli (Candung), Syeikh Abdurrahman (kakek H. Ilyas Ya’kub) serta sejumlah ulama Lubuk Aur yakni Ahmad Dores, Fakih Rumpunan, Fakih Mas`ud, Khatib Dzikir, Penghulu Raja Muda, Imam Machudum, Manjang, Saitik, Sarnedi, Silapau, Syamsiah, Dunanenjung dan diperkuat Syeikh Batangkapas, Syeikh Ismail (Palangai, Balaiselasa) dll.
Pasca rapat besar 1000 ulama itu, semangat pembaharuan semakin menggelorakan semangat ulama-ulama kaum muda yang sudah sejak awal menghirup angin pembaharuan dihembuskan majalah Al-Manar Rasyid Ridha dan ‘Urwat Al-Wusqa disambut Al-Imam Taher Jalaluddin di Singapura (saudara sepupu Ahmad Chatib) dan Al-Manar serta Al-Munir Al-Manar Dr. HAKA (ayah HAMKA) dan Dr. Abdullah Ahmad di Padang dan Padang Panjang. Kaum muda pembaharu ini mendapat pujian besar, terus melanjutkan pengaderan (pendidikan kader) terhadap generasi pembaharu, sentranya antara lain di Thawalib Padang Panjang, Parabek, Sungayang dan Padang Japang di samping juga menulis buku dan menerbitkan pers Islam seperti jenis Bulletin, Jurnal, koran dan Majalah. Demikian pula kaum tua (tradisional) giat menyusun kekuatan dan penulisan buku polemik dan apologetik pembelaan paham tarekat yang dianut.
Syeikh Bayang sendiri sejak awal melahirkan beberapa buku polemik dan disetak berudlang-ulang di antaranya, Taragub ila Rahmatillah (cet. ke-11 1916) merupakan buku best seller dan disebut sebagai kepustakaan pejuang abad ke-20 yang penuh moral, Majmu wa Musta’mal (fiqh dagmatik), Miftahul Haq (fiqh) dan Dar Al-Mau`izhah (1326 H) disebut nazam apologetik pembela tarekat naqsyabandi, Thalab Al-Shalah (1916) syair nasehat, Inilah Soal – Jawab bagi Segala Anak buku pertanyaan popular mengenai figh dan dogmatik (cet. ke-3 1335 H), Rasul-25 (1918) dll.
Syeikh Bayang wafat 2 jumadil awal 1342 H (1923), ulama pejuang pendidikan Islam ini, ironisnya banyak dicatat dalam sejarah kolonial dan nyaris tidak dikenal lagi dalam sejarah dan historiograpi domestik. Saksi yang ditinggalkan menjadi saksi bisu Masjid Raya Ganting Padang dan di arah mihrabnya tidak jauh dari rumah anaknya Aisyah terdapat makam ulama ini dengan mejan Turki yang indah. Allah swt menganugerahi anak 20 orang putra putri, yakni 10 dari pihak isterinya Siti Rahmah, di antaranya: Khaidir, Saida, Hajjah, Hafsah, syafi’i, Abu Bakar, Aisyah dan tiga orang lagi tidak dikenal karena telah lama meningal dunia, serta 10 anak dari pihak istrinya Siti Nuar’aini, di antranya Wahid, Syawijah, Amin, Nurdiyah, Syamsudin, Rusyd, Muhammad Saad, Nurjani, dan dua orang anak laki-laki tidak dikenal, karena meningal sejak kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar