Oleh : DR. Asrina & Drs. Wartiman, MA (Dosen Jur. BSA)
من طبيعة الفن الأدبي القويم، أن نقد الشعر -- كما كان النقد الأدبي-- كان يشترك بين الآداب العالمية تتصل بنقدها وغاياتها، ثم يتعلق بالعلوم الأدبية والأصول النقدية التي تستعمل في شرح أسباب جمال الشعر وقوته وتمييز عناصره وتذوقه وصدق شعوره وصحة تفكيره وجمال تصويره وقدرته على التأثير والخلود. وهكذا كانت قوانين نقد شعر العرب تنشأ من دراسة الشعر وتتألف من خواصه وطوابعه الممتازة، منها التراكيب الصحيحة والأوزان المتبعة والمعاني الفردية. ولذلك لا بد من الوقوف أن نقد الشعر هو فن له أصول وطرائق والعلم الذي يعتمد بالنظريات والتطبيقات.
A. PENDAHULUAN
Kritik sastra --termasuk di dalamnya kritik puisi-- merupakan suatu bidang kajian yang tidak hanya melibatkan sisi praktis dan teoritis, tetapi juga mempunyai ragam definisi dan pengertian karena menyangkut berbagai aspek, seperti aspek estetika, ilmiah dan historis. Munculnya perbedaan definisi juga disebabkan karena setiap kata yang dipakai untuk mengartikan kritik sastra juga mempunyai sejarahnya sendiri-sendiri. Dan tidak terbatas pada dasar-dasar pengkajian, kata kritik sastra sendiri juga mengalami evolusi, yakni pergeseran makna, perubahan dan bisa juga penguatan. Sebagai contoh, kata naqd dalam sastra Arab yang mempunyai beragam arti secara etimologis, dianggap mulai terfokus pada pengertian kritik sastra setelah munculnya Naqd asy-Syi’r karya Qudâmah bin Ja’far pada awal abad IV H. (Lebih lanjut lihat Muhammad Hasan ‘Abdullâh, t.th : 34-35).
Di samping mempunyai beragam definisi, kritik sastra juga merupakan salah satu bidang kajian yang bisa ditelusuri dari aspek histories (Lihat Herman J. Waluyo, 1978 :145-148), terutama jika sastra dilihat dari segi masa lalu dan perkembangannya. Pada kritik sastra Arab, aspek historis ini bisa dilihat mulai dari pertumbuhannya pada masa pra-Islam hingga saat ini dengan berbagai catatan tentang dasar-dasar yang dijadikan para kritikus sebagai pegangan, baik dari segi lafal, makna, maupun faktor-faktor yang berpengaruh dalam memberi penilaian terhadap karya sastra terutama puisi.
Berbeda dengan karya prosa, karya puisi dalam khazanah kesusastraan Arab mempunyai karakteristik tersendiri. Ciri khas tersebut tidak hanya membedakan karya puisi dengan karya prosa tetapi juga menjadikan kritik puisi lebih rumit, jelimet dan membutuhkan keahlian tertentu, di samping penguasaan terhadap hal-hal yang bersifat umum dalam kritik sastra Arab. Adanya konsistensi terhadap musikalitas puisi di samping bentuk pengungkapan yang puitis terutama pada puisi-puisi multazam menempatkan puisi tidak hanya sebagai ungkapan pikiran dan perasaan melalui imajinasi yang indah tetapi juga memperlihatkan bahwa puisi adalah irama jiwa dan getaran kalbu.
B. KRITIK SASTRA DALAM TERMINOLOGI SASTRA
Sebelum mengungkap arti kritik sastra dalam khazanah sastra Arab, terlebih dahulu akan diurai pengertian kritik sastra secara umum. Secara etimologis kritik sastra berasal dari bahasa Yunani kuno krites yang berarti hakim. Bentuk aktif krites adalah krinein yang berarti menghkimi.(Partini Sardjono Pradotokusumo, 2005: 55). Berdasarkan pandangan bahwa kritik sastra adalah sebuah penghakiman, maka dalam proses penghakiman diperlukan syarat-syarat untuk menghakimi karya sastra. Ini berarti sebuah karya sastra bisa dikatakan memenuhi standar sebagai sebuah karya seni harus berdasarkan kriteria tersebut. Kongkretnya, kriteria yang dimaksud bisa dipraktekkan dalam menilai sebuah karya puisi atau prosa. Tidak jauh dari pengertian tersebut C. Hugh Holman mengartikan bahwa critic adalah “one who estimates and passes judgment on the value and quality of literary or artistic work”(C. Hugh Holman, 1986: 116), seseorang yang mengestimasi dan menjustifikasi nilai dan kualitas suatu karya sastra atau seni. Jika masalah penilai terhadap karya sastra adalah masalah benar salah, maka sastra sebagai seni kata tidak ubahnya dengan pernyataan yang lugas dalam sebuah pengadilan. Pernyataan benar salah yang berdasarkan kriteria tertentu dengan verifikasi sebagai validitas utama.
Makna lain dari kritik adalah upaya untuk menilai karya sastra bukan sebagai sebuah penghakiman dan justru melihat upaya penilaian dari segi estetis, yaitu segi indah dan buruk. Karya sastra memang tersusun dari bahasa sebagai bentuk norma yang dapat dirinci dengan benar dan salah, namun demikian karya sastra melampaui benar dan salah karena bahasa sastra mengandung kekhasan tersendiri. Landasan ini yang mendorong Hans Robert Jauss membedakan karya sastra sebagai bahasa khusus ( poetik) dan bahasa komunikasi sebagai bahasa praktis.( Hans Robert Jauss , 1982: 16). Apresiasi terhadap bahasa khusus yang disebut dengan karya sastra disebut dengan asthetik. Kata asthetik (Jerman) dalam bahasa Indonesia bisa berarti estetika atau kritik sastra. Alangkah dekatnya arti “menilai sastra” dengan “keindahan” di dalamnya. Upaya menilai karya sastra juga berarti upaya untuk mengeks-ploitasi keindahan di dalamnya.
Penyebutan kritik sastra sebagai poetik tampaknya sudah ada sejak masa Aristoteles abad ke-4 SM. Aristoteles menyebut kritik sastra adalah dengan poetika yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sebagai فن الشعر. Poetika adalah kata benda yang berarti segala bentuk karya seni yang menggunakan media bahasa. Selain itu poetika juga mewadahi konsep apresiasi karya sastra, yakni komedia, tragedi dan epik.(Lihat Abd ar-Rahman Badawi, 1953: 3 dan 85).
Sementara itu Abrams dalam Glossary to Literary Terms menerangkan bahwa kritik sastra adalah studi yang mengarah pada pendefinisian, klasifikasi, analisis dan evaluasi karya sastra. Dalam hal ini ia membedakan antara kritik sastra pada kritik teoritis (theoritical criticism) dan kritik praktis atau terapan (practical criticism). Kritik teoritis (theoritical criticism) berupaya untuk menetapkan suatu landasan dasar prinsip-prinsip yang bersifat umum, suatu pertalian logis dari beberapa istilah, membedakan dan memberi kategorisasi yang bisa diaplikasikan terhadap karya-karya sastra sebagai suatu “kriteria” (standar atau norma-norma) di mana karya-karya tersebut atau para penulisnya bisa dievaluasi.( M.H. Abrams, 1981 : 35). Sedangkan kritik praktis (practical criticism) lebih tertuju untuk mendiskusikan bagian-bagian dari karya sastra atau penulisnya. Dalam hal ini prinsip-prinsip yang bersifat teoritis berfungsi sebagai pengontrol analisis dan evaluasi yang dilakukan secara implisit atau membawanya hanya pada kecenderungan-kecenderungan sesaat. (Ibid : 35). Senada dengan Abrams, Holman mendefinisikan bahwa kritik sastra adalah studi dan evaluasi karya seni seseorang, sebagaimana juga memformulasikan metodologi yang bersifat umum atau prinsip-prinsip estetika karya tersebut. (C. Hugh Holman, op.cit : 116).
Baik Holman maupun Abrams nampaknya sepakat bahwa di dalam kritik sastra terdapat dua sisi kajian yaitu teori dan praktek. Kedua bidang kajian tersebut mungkin saja sejalan atau mungkin juga dipertentangkan. Teori mesti dapat dioperasikan secara praktis sehingga dapat dipahami secara lebih rinci dan mendalam. Sementara praktek bisa saja merupakan pengaplikasian suatu teori. Dalam pengaplikasian inilah sebuah teori dibuktikan kebenaran, obyektifitas, sistematika, keumuman sekaligus aspek-aspek pragmatisnya. Dengan sendirinya teori tidak dapat dianggap valid apabila belum bisa diuji dalam praktek. Atau sebaliknya, teori didapatkan sebagai hasil dari suatu praktek.
Dalam konteks kesusastraan Indonesia, --meskipun ada beberapa tokoh yang mengadopsi pengertian dari luar-- kritik sastra didefinisikan sebagai karya berbentuk prosa yang mengandung analisis dan wawasan tentang kelemahan, kekuatan dan nilai suatu karya sastra. Sedangkan orang yang pekerjaannya menulis kritik sastra disebut kritikus sastra .( Nyoman Tusthi Eddy, 1991 : 119). Menurut Partini yang terpenting di dalam kritik sastra adalah analisis. Mengutip Jassin, dia mengatakan bahwa kritik sastra adalah baik buruknya suatu hasil kesusastraan dengan memberikan alasan-alasan mengenai isi dan bentuknya.(Partini Sardjono Pradotokusumo, op.cit : 57). Dengan demikian kritik sastra merupakan kegiatan penilaian yang ditujukan pada karya atau teks. Karya yang dihasilkan dari proses kritik sastra tergolong ke dalam nonfiksi karena kritikus atau pembaca tidak menciptakan karya baru yang sama atau mirip dengan karya sastra yang telah dibacanya. Karya yang dihasilkannya adalah hasil dari penafsiran terhadap karya tertentu.
Mengingat kenyataan bahwa setiap karya sastra bukan materi yang ada dengan sendirinya melainkan materi yang diciptakan pengarang, kritik sastra mencakup segi-segi kepengarangan yang bersangkutan dengan hakikat karya sastra. Karena itu kritik sastra mempunyai tiga fungsi dilihat dari sudut pragmatisnya. Pertama, bagi pengarang berfungsi mengenalkan dan mengukuhkan karya ciptanya di samping sebagai cermin untuk melihat wujud dan nilai karyanya. Kedua, bagi masyarakat pembaca berfungsi sebagai jembatan antara pengarang dan karyanya dengan pembaca. Pembaca dapat tergugah untuk membaca sebuah karya sastra setelah membaca sebuah kritik tentang karya itu. Ketiga, bagi dunia kesusastraan berfungsi untuk pengembangan sastra. Dalam sebuah kritik karya sastra mendapat sentuhan ilmiah melalui berbagai wawasan dan metode kritik. (Lebih lanjut lihat Partini Sardjono Pradotokusumo, Pengkajian Sastra, : 57 dan Nyoman Tusthi Eddy: 120).
Di dalam kesusastraan Arab, kritik sastra dikenal dengan istilah an-naqd al-adab (النقد الأدبي) , kata naqd berarti kritik (criticism) sedangkan al-adabî kata yang disifatkan pada adab (literature/sastra). Menurut etimologi, kata an-naqd (النقد)sendiri mempunyai makna yang beragam. Di antara makna an-naqd menurut bahasa adalah pembayaran kontan, membedakan, memberikan kritikan, memukul dengan jari tangan untuk mengetes, mematuk, mengintai atau mencuri pandang, menimbang, menyengat dan menggigit. (lihat Muhammad at-Tuwnjî, 1993: 864). Dari sekian makna lugawi ini dapat dipahami bahwa kata naqd bermakna: (1) memberikan dengan segera sebagai lawan dari penangguhan pembayaran; (2) memilih atau membedakan sesuatu seperti memilih dirham (mata uang) yang baik dari yang buruk; (3) mencoba atau mengetes sesuatu untuk mengetahui keadaannya seperti memukul buah pala dengan telunjuk untuk mengetahui kualitasnya atau burung mematuk-matuk buah dengan paruhnya; (4) mencuri pandang ke arah sesuatu untuk memastikan atau mengetahui keadaan atau ukurannya; (5) menampakkan aib dan kejelekan seperti ular yang menggigit.
Meskipun mempunyai banyak makna secara bahasa, menurut Muhammad Hasan ‘Abdullâh, secara umum berputar pada dua makna sentral. Pertama, bermakna مادي (bersifat materi), karena itu kata naqd bisa berarti uang tunai atau pembayaran kontan, atau berarti emas dan perak pada kata النقدان. Kedua, bermakna التمييز (membedakan).(Muhammad Hasan ‘Abdullâh, t.th : 34). Penggunaan kata tersebut dalam kalimat, baik secara leksikal maupun majasi mempunyai makna yang berdekatan. (Muhammad at-Tuwanjî, loc.cit). Kata naqd yang berarti membedakan antara yang bagus dengan yang jelek, kadang-kadang dihubungkan dengan puisi dan kadang-kadang dihubungkan pula dengan prosa. (Muhammad Hasan ‘Abdullâh, t.th: 35).
Menurut ‘Abd ar-Rasul al-Gifari, naqd diartikan dengan mengevaluasi sesuatu dan menetapkan hukum baik atau buruk terhadapnya. Kadang-kadang juga didefenisikan sebagai kreativitas sosial yang bergerak maju yang bertujuan untuk melepaskan hakikat-hakikat dan mempersembahkannya dalam bentuk yang murni pada masyarakat atau kelompok, atau diartikan juga sebagai cermin yang memantulkan gambaran yang beragam tentang kehidupan dan seni.( Abd ar-Rasûl al-Gifârî, 2003: 26-27). Namun jika wilayah kajiannya dibatasi pada kritik sastra, maka akan didapati suatu definisi yang lebih detail dan menyeluruh. Kata Naqd berasal dari kalimat naqd ad-darâhim, memilah dirham untuk memisahkan yang baik dari yang buruk. Penggunaan istilah ini mengalami perkembangan sejak dahulu yaitu untuk membedakan yang benar dari yang palsu dan menurut istilah dimaksudkan untuk memaparkan hasil karya sastra, menganalisis dan memberitahukan nilai estetikanya. Kemudian pemahaman tentang kritik lebih ringkas lagi menyentuh kekelemahan suatu teks. Bagi karya sastra, kritik dimaksudkan untuk menyingkap kekuatan dan kelemahannya, kebaikan dan keburukannya dan memunculkan hukum atas karya tersebut. (ibid : 27).
Istilah naqd dalam khazanah sastra Arab sudah ada semenjak dahulu, karena itu naqd sebenarnya adalah istilah kuno yang masih tetap eksis sampai sekarang. Kata ini sudah dikenal lebih dari dua abad sebelum Az-Zamakhsyarî (w. 238 H). Ibn Qudâmah (Qudâmah bin Ja’far w. 337 H) menulis buku yang berjudul Naqd asy-Syi’r. Al-Âmadî (w. 371 H) menyebutkan kata an-naqd dan an-nuqqâd di dalam karyanya Al-Muwâzanah. Sementara Ibn Rasyîq (w. 463 H) memberi judul bukunya dengan Al-‘Umdah fî Sina’ah asy-Syi’r wa Naqdihi. Penggunaannya baik secara etimologi maupun secara terminologi tidak berbeda. Kritik sastra diartikan sebagai penerimaan, pengkajian, pemikiran dan pendiskusian teks-teks sastra dengan mengambil unsur-unsur keindahan di dalamnya dan memilah keburukannya. Kritik sastra adalah menampakkan kelemahan dan kebaikan yang terdapat dalam karya sastra. Kritik sastra adalah isyarat tentang keindahan yang dipuji dan sisi negatif untuk menyatakan kekurangan dan kesalahan. Kritik sastra adil dengan pembuktian dan memeriksa bukan dengan keinginan dan kecenderungan semata. (Muhammad at-Tawanjî, : 865).
Di dalam Qâmûs al-Mustalahât al-Lugawiyah wa al-Adabiyyah dikemukakan bahwa naqd (criticism) adalah istilah dalam sastra dan seni, yaitu analisis terhadap unsur-unsur karya sastra atau karya seni untuk memilah keindahannya dari kejelekannya, kebenarannya dari kepalsuannya, sebagai suatu tuntutan atau keinginan untuk membuat suatu hukum bagi karya tersebut. (Amil Ya’qûb dkk, 1987 : 291-292). Mengurai atau menganalisis unsur-unsur karya sastra atau seni, baik segi keindahan atau keburukannya maupun aspek kejujuran atau kepalsuannya hanya sebagai syarat untuk menghakimi suatu karya. Dengan demikian defenisi tersebut terasa gersang karena kritik diperlukan hanya untuk memastikan status suatu karya. Padahal lebih jauh lagi kritik lebih dari sekedar untuk menghakimi tetapi juga untuk mengangkat derajat suatu karya atau memberi kepuasan bagi penikmat karya tersebut.
Muhammad Ibrâhim Nasr menganggap naqd adalah cermin yang jujur yang memantulkan segi-segi kebaikan dan keindahan dalam karya sastra, sebagaimana merefleksikan aspek-aspek kelemahan dan kekurangannya. (Muhammad Ibrâhim Nasr, 1398 H: 14). Nasr memandang bahwa kritik adalah wahana untuk melihat aspek-aspek keindahan dan kelemahan suatu karya sastra. Melalui kritik akan tampak hal-hal yang menyebabkan karya sastra dianggap baik atau indah dan sebaliknya melalui kritik akan terungkap apa saja kelemahan karya tersebut.
Namun untuk kajian lebih jauh tentang karya sastra, sepertinya Nasr tidak merasa cukup dengan definisi tersebut dalam memahami apa yang disebut dengan kritik sastra. Ia menganggap batasan untuk memahami kritik sastra tidak cukup sampai di situ karena pada hakekatnya tulisan-tulisan tentang kritik bersifat umum dan sangat luas karena karya apapun pasti memiliki segi keindahan dan keburukan atau segi kesempurnaan dan kekurangan.
Badawî Tabânah memandang bahwa kritik adalah suatu karya sastra yang memperlihatkan sisi tatbiqî perasaan atau pengalaman, pengetahuan dan budaya kritikus lebih banyak daripada sisi nazarî, karena yang diperlukan ketika memulai teks sastra hampir sama di hadapan kritikus. Kritikus mempelajari karya untuk memahaminya, menganalisis untuk menentukan segi keindahannya kemudian mengungkapkan pendapatnya tentang karya itu karena tujuan karya kritiknya adalah untuk menentukan nilai sastra yang benar (Badawî Tabânah, 1958: 23). Tabânah menambahkan bahwa wilayah kritik sastra semakin meluas mencakup “penetapan karya sastra dari segi estetika, menerangkan nilai sastra dari segi tematik, pengungkapan dan emotif, menentukan posisinya dalam dunia sastra, membatasi apa yang dapat dihubungkan dengan karya itu pada teks-teks sastra yang telah ada, mengukur keterpengaruhan dan pengaruhnya, meng-gambarkan keluasan kekerabatannya, ciri khasnya dalam emosi dan pengungkapan, menyingkap faktor-faktor psikologis yang ber-pengaruh dalam penciptaannya serta faktor-faktor luar lainnya” (ibid : 23-24).
Nampaknya Tabânah tidak perlu berpikir keras untuk mengeliminasi satu aspek dan mengunggulkan aspek yang lainnya. Perhatikan bagaimana ia merangkai kata tatbiqî dengan kata nazarî yang mesti dimiliki seorang kritikus dan bagaimana ia menerangkan wilayah kajian kritik yang mencakup aspek-aspek yang tidak bisa diukur seperti estetika dan emotif dan aspek-aspek lain yang bisa diukur. Kata tatbiqî selalu terkait dengan keahlian, kreatifitas dan aplikasi sementara nazarî selalu diasumsikan sebagai sesuatu yang positivistik, terukur dan obyektif. Sementara itu “estetika” selalu diasumsikan subyektif, tidak terukur dan spekulatif digabungkan dengan hal-hal yang bisa diukur (bersifat sainstifik) seperti pengungkapan (aspek-aspek kebahasaan) dan tematik. Tetapi kemudian dua kubu yang masing-masing mempunyai sifat oposisional digabungkan sebagai suatu wacana yang lebih umum dalam kritik sastra. Estetika menghasilkan suatu interpretasi (tafsir) sedangkan sains menghasilkan suatu evaluasi.
Sejauh ini pokok soal yang dikembangkan hanya ingin memperlihatkan beberapa istilah kritik sastra berikut arti yang terkandung di dalamnya. Arti yang merujuk pada satu obyek yaitu sastra, mesti disederhanakan menjadi dua aspek, yaitu normatif dan estetik yang memiliki keragaman istilah maupun penggunaannya seperti krites, krinein, critic, criticism, asthetik, poetik dan naqd. Tabânah menegaskan bahwa bukanlah hal yang mengherankan jika terdapat beragam definisi dan pengertian kritik sastra, karena setiap peneliti mendapati dirinya berhadapan dengan beragam definisi dan batasan yang bervariasi dan berbeda berdasarkan perbedaan peneliti, masa, generasi dan historis, bahkan di kalangan orang yang sebangsa atau di kalangan para kritikus yang semasa.(ibid : 22). Sejauh ini kemajemukan tersebut tidak berhenti pada seni dan kodratnya karena kodrat seni merujuk pada sifat seni itu sendiri yang berkaitan dengan mempengaruhi emosi dan perasaan sebelum memberi petunjuk pada akal. Ditambah lagi bilamana dunia dan ciri khasnya harus serupa dalam jiwa dan jelas dalam pikiran.
Kritik sastra sebagai suatu upaya untuk mengoreksi dan menilai karya sastra, baik dari segi ilmiahnya maupun segi artistiknya dituntut mampu memberi kesegaran bagi kegersangan ilmiah. Di samping itu, kritik sastra juga harus mempunyai gaya bahasa yang indah agar dapat memberi kenikmatan bagi pembacanya. Karena itu tidak mengherankan jika kritik sastra cenderung bersifat analitis dalam melakukan evaluasi dan tafsir karya sastra. Dalam satu sisi tampak bahwa kritik sastra merupakan karya ilmiah dan di sisi lain sebagai karya seni. Sebagai karya ilmiah, kritik sastra memerlukan pengkajian dan pengamatan atas kekurangan dan kelebihannya serta membutuhkan penerapan prinsip-prinsip umum. Sebagai karya seni, kritik sastra termasuk produk yang dapat membangkitkan kegairahan atau semangat. Dua aspek yaitu –memberi penerangan dan penjelasan dari segi keilmuan serta memberi kepuasan dari segi keindahan dan kenikmatan sastra tampaknya menjadi dua sisi yang harus ada dalam kritik sastra.
C. C. KRITIK SASTRA SEBAGAI ILMU
Dengan memperhatikan bahwa kritik sastra adalah menilai sastra, maka perlu dijelaskan ruang lingkup kritik sastra sebagai ilmu. Jika yang dimaksud dengan ilmu adalah pemecahan masalah dengan tuntutan ilmu itu sendiri, maka kritik sastra termasuk bagian dari ilmu sastra. (Lihat Sangidu, 2005 : 38). Kritik sastra adalah ilmu yang mempunyai kaidah-kaidah dasar yang tetap walaupun mungkin berbeda pada cabang-cabangnya. (Muhammad Zaglûl Salâm, 1964 : 143).
Pernyataan kritik sastra sebagai ilmu mengingatkan pada asas-asas keilmuan yang ditandai oleh adanya teori (Lihat lebih lanjut Sangidu : 13 dan Nyoman Khuta Ratna : 1), metode (lebih lanjut lihat Nyoman Khuta Ratna : 34-35 dan Sangidu :13-14), dan obyek yang termasuk dalam dunia obyek empiris. Dengan demikian kritik sastra sebagai ilmu mencakup teori dan metode kritik sastra serta praktek kritik sastra dalam karya sastra.
Obyek kajian kritik sastra adalah karya sastra, baik karya prosa maupun puisi. Mengenai obyek kajian kritik sastra ini, tidak ada perdebatan para ahli. Sementara mengenai teori sastra didefinisikan sebagai persoalan yang mengandung perinsip-prinsip, kategori, kriteria dan semacamnya. (Rene Wellek dan Austin Warren, 1956 : 39) atau cara menciptakan karya sastra. Sementara itu menyangkut metode, terdapat dua pemahaman tentang metode kritik sastra. Dalam hal ini metode sulit dipisahkan dari teori.
Secara umum metode kritik dipahami sebagai sesuatu yang terkait dengan sifat pemikiran kritik dalam ilmu yang dimiliki manusia. Sifat pemikiran kritik ini didasarkan pada asumsi “tidak akan menerima sesuatu sebelum dapat dicerna oleh akal”. Sifat ini dimulai dari keraguan untuk sampai pada keyakinan. Ini adalah pemikiran kritik dalam bentuk yang paling dasar, yakni tidak menerima proposisi atau persoalan-persoalan yang hubungannya terpisah dari apa yang telah tersiar dan tersebar, bahkan mencoba untuk menguji dan mencari dalil melalui sarana-sarana yang dapat memperkuat penerimaan dan kebenarannya sebelum dijadikan sebagai dasar untuk mencapai hasil yang dituju. Dan secara khusus, metode kritik sastra terkait dengan studi kesusastraan dengan cara menangani persoalan-persoalan kesusastraan dan pandangan tentang penciptaan karya sastra dengan segala bentuk dan analisisnya. Dengan demikian, pemahaman metode kritik sastra secara khusus ini bergerak sesuai dengan aturan-aturan khusus yang tersusun dari beberapa komponen dan yang terpenting adalah teori sastra. (Salâh Fadal, 2005 : 8)
Setiap metode, di dalam sastra, mesti memiliki teori. Jika metode merupakan cara yang tersistem untuk mencapai tujuan, maka teori merupakan asas hukum yang dijadikan pijakan. Teori sastra inilah yang akan mengemukakan persoalan-persoalan penting dan mengupayakan dasar-dasar yang saling menyempurnakan untuk menjawab persoalan tersebut. Persoalan yang paling penting adalah apa itu sastra, yakni persoalan-persoalan yang berkaitan dengan sifat karya sastra, materinya, unsur-unsurnya, jenisnya dan kaidah-kaidahnya. Persoalan yang kedua berkaitan dengan hubungan sastra dengan masyarakat, kehidupan, penciptaan dan penyampaian, yakni hubungan yang bersifat pembuktian sastra dengan apa yang terkait dengannya atau apa yang dihasilkannya, sepeti hubungan imajinatif, hubungan yang terbalik atau bertolak belakang. Teori sastra mesti –atau setidak-tidaknya-- berusaha menjawab kedua persoalan tersebut baru kemudian menjawab persoalan yang ketiga, yakni persoalan berhubungan dengan fungsinya yang bersifat artistik dan kemanusiaan.
Setiap teori melalui beberapa jalan yang pantas dilaluinya untuk menerangkan hakikatnya dengan ukuran yang beragam. Jalan inilah yang diambil oleh penganut suatu teori untuk menganalisis karya sastra dan menerangkan kesesuaian antara kaidah-kaidah yang bersifat intrinsik dan kaidah-kaidah lainnya. Jalan ini juga yang mencerminkan metode yang dipakai oleh penganut suatu teori sastra. Dengan demikian pemahaman yang mendasari sastra adalah teori, sementara metode kritik adalah yang menguji kesesuaian teori ini dengan dasar-dasarnya dan mencobanya secara praktis.
Hubungan antara teori-teori sastra yang berbeda tidak terbatas pada hubungan dalam contoh karya yang bersandar pada penggunaan istilah. Setiap teori juga menampakkan metode yang beragam yang dihimpun oleh dasar pengetahuan yang satu. Suatu teori sastra juga melalui jalan dan metode yang beragam dalam prakteknya. Dengan demikian hubungan antara teori sastra dengan metode kritik adalah hubungan metode dengan mazhab atau alirannya. Karena sebagian besar teori-teori sastra ditandai dengan logika tertentu dan terkait dengan susunan pemikiran yang diyakini, dipercayai dan diterima tanpa harus tunduk pada pengujian yang bersifat kritis melalui latihan sastra baik dalam hal mencipta, mengkritik dan menelaah. Dari sinilah akan tercermin apa yang dinamakan dengan aliran sastra. Dengan demikian teori sastra selain akan melahirkan dan menggunakan berbagai metode kritik sastra juga akan melahirkan suatu aliran sastra.
Jika teori sastra dan metode kritik merupakan bagian tak terpisahkan dari kritik sastra, maka bagaimana halnya dengan sejarah sastra?. Dalam hal ini kritik sastra harus dilihat dari jalan yang dilalui dalam mengkaji sastra itu sendiri, yaitu segi historis dan segi artistik. Karena itu kajian kritik sastra adalah kajian sastra dan sejarah. Bertolak dari segi kritik yang mempunyai dasar, landasan teori dan metode, maka itu adalah kajian seni. Bertolak dari segi masa lalu dan perkembangannya maka kritik sastra adalah kajian historis. Karena itu, meskipun berbeda, antara kritik sastra, teori sastra dan sejarah sastra tidak dapat dipisahkan. (Lihat Rene Wellek dan Austin Warren : 39). Keterkaitan antara teori sastra, kritik :sastra dan sejarah sastra –sebagaimana yang diungkapkan Sangidu-- karena ketiga-tiganya berkaitan langsung dengan karya sastra. (Lihat Sangidu, t.th: 38). Sementara kritik sastra sebagai ilmu tidak hanya mencakup teori sastra dan metode kritik tetapi juga praktek kritik dalam karya sastra. Dengan demikian konsep kritik sastra sebagai ilmu, tidak hanya terbatas pada teori sastra dan juga metode kritik sastra, melainkan juga mengikut sertakan apa yang dinamakan sejarah kritik sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar