Selasa, 02 Maret 2010

Islam dan Kebangsaan : Ideologi Politik PERMI

Oleh : Drs.H. Rusydi Ramli (Dosen Jur. SKI)

Permi adalah organisasi pergerakan yang lahir dan berpengaruh luas di Minangkabau. Iklim pergerakan nasional Indonesia ada saat kelahiran tengah dilanda konflik ideologi antara kelompok pergerakan yang berideologikan Islam dengan kelompok pergerakan yang berideologikan Nasionalis. Masing-masing kelompok saling mengecam dan merasa ideologinya yang paling ideal dalam pergerakan kemerdekaan. Permi mencoba menjembatani jurang pemisah tersebut menawarkan jalan keluar dari krisis itu dengan mengambil Islam dan Kebangsaan sebagai ideologi pergerakannya.

Cikal bakal Permi berasal dari perguruan Sumatera Thawalib. Sumatera Thawalib adalah lembaga pendidikan Islam moderen yang berasal dari lembaga pendidikan tradisional Minangkabau yakni Surau Jembatan Besi Padangpanjang yang didiri¬kan oleh Syeikh Abdullah Ahmad pada akhir abad ke sembilanbelas. Setelah Abdullah Ahmad pindah ke Padang pada tahun 1906 kepemimpinan surau ini diteruskan oleh sahabatnya, Haji Rasul. Pada masa inilah dilakukan pembaharuan yakni dengan memadukan sistem pendidikan barat dengan sistem pendidikan Islam (Taufik Abdullah, 1971: 34).

Termotivasi oleh keberadaan Sumatera Thawalib di Padangpanjang Syeik Ibrahim Musa dari Parabek mengganti pula nama suraunya yang semula Moedzakaratoel Ichwan menjadi Sumatra Thawalib. (Burhanudin Daya, 1995: 89). Berikutnya surau-surau yang dikelola oleh para ulama Kaum Muda lainnya berganti nama, seperti Sumatera Thawalib Sungayang di Batusangkar di bawah pimpinan Syekh Thaib Umar dan Sumatera Thawalib Padangjapang di Limapuluh Kota di bawah pimpinan Syekh Abdullah Abbas. Pada tahun 1920-an Suma¬tera Thawalib telah tersebar hampir di seluruh pelosok Alam Minangkabau. Bahkan sampai ke Aceh dan Tapanuli. Jaringan sekolah ini menjadi embrio bangkitnya nasionalisme di Minangkabau kemu¬dian hari.
Pada tanggal 22 Januari 1922 dibentuk Dewan Pusat Sumatera Thawalib untuk mempersatukan seluruh pelajar-pelajar Sumatera Thawalib. Ketua Dewan Pusat Sumatra Thawalib pertama adalah Djalaludin Thaib, guru Sumatera Thawalib Padang Panjang. (Danil M. Chaniago, op.cit.,: 74-75).
Perkembangan Sumatera Thawalib mendapat reaksi yang besar dari pemerintah kolonial, terutama setelah adanya pertemuan pengurus Thawalib tanggal 16 April 1922 yang menginginkan agar Sumatera Thawalib juga berpartisipasi di bidang politik. Pemerintah kolonial mencurigai Sumatera Thawalib sedang berusaha untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik. (Taufik Abdullah, 1987: 224-225). Kecurigaan pemerintah semakin nyata dengan masuknya pengaruh komunis ke dalam tubuh Sumatera Thawalib yang dibawa oleh Haji Datuk Batuah, guru sekaligus pengurus Sumatra Thawalib Padang Panjang (Mestika Zed, 1980:64). Datuak Batuah mendirikan Partai Komunis Indonesia Cabang Padang Panjang yang berbasis di Sumatera Thawalib. Dari sini paham komunis menyebar hampir ke seluruh pelosok Alam Minangkabau. Penyebaran paham komunis akhirnya berhenti dan kemudian lenyap setelah Partai Komunis mengalami kegagalan dalam pemberontakan pada awal tahun 1927. Sejak peristiwa itu, Sumatera Thawalib mengalami masa krisis.
Usaha membangkitkan kembali organisasi dan sekolah Sumatera Thawalib baru tercapai pada tahun 1928 yang dimulai dengan adanya pertemuan antara tokoh-tokoh Sumatera Thawalib pada tang¬gal 17-19 November 1928 di Padang Panjang. Dalam perte¬muan ini dibentuk Persatuan Sumatera Thawalib. Dewan Pengurus Persatuan Sumatera Thawalib terdiri dari kalangan berbagai organisasi baik pendidikan, sosial, maupun politik. Komposisi pengurus Persatuan Sumatera Thawalib adalah Ketua: Haji Djalaluddin Thaib (PGSA), Wakil Ketua: Ali Emran Djamil (Thawalib Parabek), Sekretaris: H.Syu'ib el-Yunusi (Thawalib Padang panjang), Bendahara: Thaher Bei (Diniyah School), Komisaris: Duski Samad (PSI Maninjau), Saalah Sutan Mangkuto (Muhammadiyah), dan H.Alauddin (Thawalib Maninjau)" (Burhanuddin Daya, op.cit.: 266)
Pada Konferensi Persatuan Sumatera Thawalib yang kedua di Batusangkar pada tanggal 20-21 Mei 1929 timbul keinginan untuk menjadikan Sumatera Thawalib sebagai organisasi yang berskala nasional. Keinginan ini disampai¬kan oleh para penceramah pada acara rapat umum terbuka Persatuan Sumatera Thawalib sehari setelah konferensi ditutup. Setelah pertemuan itu Sumatera Thawalib memperluas keanggotaannya dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat umum untuk menjadi anggota. Secara perlahan-lahan Sumatera Thawalib bergerak dan tumbuh menjadi suatu organisasi massa.
Proses perubahan itu semakin gencar setelah beberapa putra Minangkabau kembali dari perantauan di Timur Tengah bergabung dengan Sumatera Thawalib, seperti Iljas Ja'cub (Mesir), Mansyur Daud (Turki), dan Rasul Hamidi (Saudi Arabia). Pada konferensi Sumatera Thawalib di Bukittinggi tanggal 20-21 Mei 1930 para perantau ini berperan besar pergantian nama Sumatera Thawalib menjadi Persatoean Moeslim Indonesia disingkat P.M.I.(Maillrapport no. 812/30; Medan Ra'jat, no.2, 10 September 1932:1) Dalam konferensi ini Iljas Ja’coub mengusulkan agar menjadikan Islam dan Kebangsaan sebagai asas perjuangan P.M.I.
Dalam Konferensi PMI pertama yang diadakan di Payakumbuh pada tanggal 5-9 Agustus 1930 usul Iljas Ja’coub disetujui dan dimasukkan dalam statuta P.M.I. Keputusan lain di antaranya adalah ditetapkannya kota Padang sebagai tempat atau kedudukan hooft bestuur P.M.I. Adapun komposisi hoofd bestuur (Pengurus Besar) P.M.I. yang terpilih adalah; Ketua Umum: H.Abdul Madjid Abdullah, Wakil Ketua: Iljas Ja'coub, Sekretaris: Mansur Daud Rasyidi, Wakil Sekretaris: Darwis Thaib, Bendahara: H. Syue'ib el Jutusy, Seksi Pelajaran: Ali Emran Jamil, Seksi Penyiaran Islam dan Pertahanan: Rasul Hamidi, Seksi Kepanduan: A.Gafar Ismail" (Burhanuddin Daya, op.cit.: 269)
Sejak itu sekolah-sekolah Sumatera Thawalib dikelola oleh Dewan Pelajaran P.M.I. Beberapa lembaga pendidikan juga didirikan P.M.I. seperti; Islamic College; Amabach School; dan Thawalib School. (Medan Ra'jat, no.4, 15 Maret 1931, h.39; no.7-8, 1-15 Mei 1931, h. 73, no. 13, 1 Oktober 1931, h. 143) Hanya ketiga sekolah inilah yang benar-benar didirikan P.M.I.selebihnya sekitar 58 sekolah Thawalib muncul lebih dulu dari P.M.I. Sekolah-sekolah Thawalib yang bernaung di bawah P.M.I. secara tidak langsung membantu P.M.I. dalam memperluas jangkauan dan propaganda organisasinya.
Dalam bidang ekonomi P.M.I. secara intens mempropagandakan agar memakai produksi sendiri (swadesi). Untuk itu P.M.I. menganjurkan kepada anak cabangnya supaya membuka perusahaan-perusahaan. P.M.I.Cabang Payakumbuh mendirikan pabrik minyak goreng; Cabang Pariaman mendirikan pabrik sabun; dan anak cabang Kayutanam mendirikan pabrik roti. Di Parabek Ali Emran Djamil mendirikan toko buku. Semua hasil produksi warga P.M.I. selalu dicantumkan logo P.M.I. yakni keris terhunus dan matahari. Untuk menampung hasil-hasil produksi Hoofd Bestuur P.M.I. mendirikan koperasi di bawah pimpinan Faqih Hasyim (Danil M. Chaniago, op.cit).
Inisial Persatoean Moeslim Indonesia yang semula P.M.I.ditukar menjadi Permi dalam kongres di Padang pada tanggal 24 Oktober hingga 1 November 1932 P.M.I. Pergantian inisial ini seiring dengan bergantinya haluan organisasi menjadi organisasi politik yang non-kooperatif. Setelah menjadi organisasi politik, penyebaran Permi justru semakin pesat. Ricklefs mencatat bahwa pada pertengahan Juli 1933 tercatat tidak kurang dari 200 Cabang Permi di 180 nagari. Pada tahun yang sama Permi memiliki tidak kurang dari 10.000 anggota di mana sekitar 40 persennya adalah wanita. (M.C.Ricklefs, 1993: 286)
Kecenderungan Permi melancarkan propaganda-propagan¬da politiknya yang radikal dan mengecam pemerintah menimbulkan kekhawatiran pemerintah kolonial Hindia Belanda. Oleh karenanya pada tahun 1933 pemerintah membatasi aktifitas Permi dan beberapa tokohnya dikena¬kan spreekdelict. Bahkan tokoh-tokoh Permi yang dipandang mengganggu rust en orde ditangkap dan dipenjara serta dijadikan interniran. Sejak itu kegiatan Permi lebih sering dilakukan secara tersembunyi. Dalam kondisi seperti inilah tampil Ratna Sari seorang tokoh Permi Putri mempimpin Permi lantaran tidak seorang pun dari kaum pria Permi yang berani tampil. Namun hal ini hanya sementara saja. Sebab tanggal 18 Oktober 1937 setelah mendapat tekanan-tekanan yang cukup berat Permi dibubarkan pemerintah.

A. Pengaruh Pergerakan Kemerdekaan Mesir
Gerakan nasional di Mesir ditandai dengan munculnya tokoh agama dan nasionalis yakni Muhammad Abduh (Rektor Universitas Al Azhar) dan Musthafa Kamil yang dikenal sebagai tokoh pergerakan kemerdekaan yang berpengaruh luas di kalangan rakyat Mesir. Muhammad Abduh dikenal sebagai tokoh agama (Islam) sedangkan Mustafa Kamil adalah seorang tokoh nasionalis yang dikenal sangat radikal dan tidak pernah mau berkompromi dengan penjajah Inggris. Musthafa Kamil inilah yang pertama kali mengumandangkan istilah “Mesir untuk bangsa Mesir dan bangsa Mesir untuk Mesir”. Kedua tokoh ini sangat tegas dan keras dalam menentang penjajahan Inggris di Mesir (L. Stoddard, 1964: 154-165).
Situasi pergerakan kemerdekaan di Mesir ketika itu juga diwarnai oleh adanya semangat untuk menggabungkan ideologi Islam dan Kebangsaan oleh partai Wafd dan Hizbul Wathan, dua partai politik yang berpengaruh di Mesir ketika itu. Tokoh-tokoh agama Mesir ikut bergabung dengan partai yang berasaskan kebangsaan itu seperti Syekh Mohammad Harun, Syekh Al Kajati, dan Syekh Abdul Muthalib yang merupakan Syekhul Universitas Al Azhar. Meskipun tokoh-tokoh agama ini berjuang dengan menggunakan ideologi Kebangsaan (nasionalisme) namun mereka selalu menjunjung tinggi agama Islam.
Situasi pergerakan nasional di Mesir ini sangat berpengaruh dalam memperkokoh rasa nasionalisme mahasiswa Indonesia, termasuk Iljas Ja’coub putra Minangkabau asal Pesisir Selatan dan Mukhtar Luthfi asal Balingka yang sedang belajar di negara itu. Semangat inilah yang dibawa dan dikembangkan oleh kedua putra Minangkabau itu setibanya mereka di tanah air. Kedua orang ini kelak menjadi tokoh sentral Permi.
Pergerakan kemerdekaan Indonesia pada saat itu tengah dilanda konflik ideologi. Akibatnya muncul dua kelompok besar yaitu golongan Islam dan golongan Kebangsaan (Nasionalis), seperti yang terjadi di Mesir. Jalan keluar dari konflik tersebut menurut Iljas Ja’coub adalah menjadikan Islam dan Kebangsaan sebagai asas perjuangan. Inilah yang kemudian berlaku pada Permi.
Mukhtar Luthfi juga bergabung dengan Permi. Asas Permi sekarang diperkuat dengan tujuannya yang dirumuskan oleh Luthfi yakni menuju Islam yang mulya dan kebangsaan untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Mukhtar Luthfi menjadi juru bicara yang sangat efektif untuk mempropagandakan slogan Islam dan Kebangsaan. Sejak kehadiran tokoh ini, gerak Permi semakin radikal. Jika Iljas Ja’coub dikenal sebagai ideolog Permi maka Mukhtar Luthfi dikenal sebagai propagandis Permi. Kedua tokoh inilah sesungguhnya yang menjadi penggerak utama Permi.
B. Konflik Ideologi
Sampai tahun 1930-an, setidaknya ada 3 (tiga) ideologi yang menjadi haluan politik kaum pergerakan itu, yakni Islam, Komunis, dan Nasionalis. Organisasi pergerakan (baca: Partai Politik) yang berideologikan Islam diwakili oleh Syarikat Islam (SI), sedangkan ideologi komunis diwakili oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ideologi nasionalis diwakili oleh Partai Nasional Indonesia (PNI). Di antara ketiga ideologi itu, hanya Islam dan Nasionalis (kebangsaan) yang mempunyai banyak pengikut.
Lenyapnya ideologi komunis dari arena pergerakan nasional Indonesia pascakegagakan pemberontakan tahun 1926 dan 1927 di Jawa Barat dan Sumatera Barat, membawa pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan idelogi nasionalis (kebangsaan). Perhimpunan Indonesia (PI) yakni organisasi pergerakan yang didirikan oleh pelajar-pelajar Indonesia di Belanda (1926) dan menjadi embrio gerakan nasionalisme Indonesia. Aktifis PI inilah yang mendorong berdirinya PNI (1927) di Jakarta. (Ingelson, 1988: 2-18) PNI yang berideologikan kebangsaan (nasionalisme) pada dasarnya pelampiasan kekecewaan sebagian tokoh pergerakan atas perpecahan SI dan PKI, serta perpecahan di kalangan kaum nasionalis sendiri.
Sejak kehadiran PNI, dalam kancah pergerakan kemerdekaan Indonesia, iklim politik diwarnai oleh konflik 2 ideologi besar yakni Islam dan kebangsaan. Konflik ini dapat dilihat dari polemik antara Haji Agus Salim dan Soekarno yang mewakili kedua ideologi tersebut. Surat kabar Fadjar Asia pada edisi tanggal 29 Juli 1929 memuat tulisan Agus Salim, salah satu tokoh teras SI yang diberi judul “Tjinta Bangsa dan Tanah Air”(Umi R. Humairah, 2004). Tulisan itu mengkritisi pemahaman nasionalisme (kebangsaan) Soekarno yang menurutnya tidak sesuai dengan jiwa seorang muslim karena lebih mengutamakan kepentingan duniawi dan jauh dari nilai-nilai agama terutama Islam. Bahkan dengan tegas Salim selaku “wakil” dari kalangan Islam menyebutkan bahwa kaum nasionalis lebih mencintai paham kebangsaannya dibanding ajaran agamanya. Menurutnya, paham ini membawa orang untuk menjadikan nasionalisme sebagai agama yang menghambakan usia kepada berhala tanah air.
Kritikan Agus Salim disambut oleh Soekarno dalam tulisannya yang dimuat dalam media yang sama. Dalam tulisan yang diberi title “Ke Arah Persatoean: Menjamboet Toelisan H.A.Salim” Soekarno juga mengkritisi komentar Agus Salim. Menurut tokoh kubu nasionalis (Kebangsaan) ini, “Nasionalisme kita adalah nasionalisme ketimoeran jang memboeat kita mendjadi perkakasnja Toehan” (Ke Arah Persatoean Menjamboet Toelisan H.A.Salim, Fadjar Asia, No. 193, 20 Agustus 1928) Tulisan Soekarno disudahi dengan harapan dan ajakannya selaku pimpinan PNI kepada PSI agar perbedaan pandangan tentang paham kebangsaan tidak menimbulkan perceraian dan maju ke arah persatuan.
Munculnya Permi di arena konflik ideologi di kalangan kaum pergerakan itu mendorong Permi untuk menjembatinya. Maka Permi menjadikan Islam dan Kebangsaan sebagai asas pergerakannya. Dengan demikian, Permi telah menempuh jalan penyelesaian yang moderat untuk mengatasi konflik tersebut.
C. Iljas Ja’coub: Ideolog Permi
Islam dan Kebangsaan sebagai asas Permi merupakan hasil pemikiran Iljas Ja’coub yang dikenal sebagai ideologi Permi. Iljas Ja'coub lahir hari Jumat bulan Rajab tahun 1904 di Asam Kumbang, Pesisir Selatan. Ayahnya H. Ja’coub adalah anak seorang ulama terkemuka di Pesisir Selatan, Haji Abdurrahman. Ibunya, Siti Hijir dikenal sebagai wanita yang taat beragama. Iljas Ja’coub adalah anak ketiga dari empat bersaudara
Iljas Ja'coub memulai pendidikan formalnya pada Gouvernement Inlandsche School (1912) di Asam Kumbang. Setelah menamatkan pendidikan formalnya Iljas Ja'coub bekerja di tambang Batubara Ombilin sebagai juru tulis (klerk) se lama dua tahun (1917-1919). Rasa nasionalismenya mulai tumbuh saat menyaksikan dari dekat penderitaan yang dialami oleh para kuli atau buruh tambang. Mereka dipaksa untuk meneken kontrak kerja dengan pengelola pertambangan dengan gaji yang tidak memuaskan. Hal ini merupakan proses pemiskinan bagi si buruh lantaran terpaksa untuk memper¬panjang masa kontraknya. Peristiwa ini semakin menya¬darkannya betapa pahit dan sengsaranya hidup sebagai bangsa yang terjajah.
Setelah berhenti bekerja Iljas Ja'coub kembali ke kampung halamannya dan kemudian menambah ilmu agamanya pada Syeikh Abdul Wahab seorang ulama terkemuka di Koto Barapak yang kemudian menjadi mertuanya. Setelah dua tahun mendalami ilmu agama Iljas Ja'coub diajak gurunya ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Dari sini ia terus ke Mesir menambah pendidikannya di Universitas Al-Azhar, Kairo.
Selama di Mesir Iljas Ja'coub tidak hanya kuliah, tetapi juga aktif di organisasi mahasiswa seperti Al-Jami'ah Al-Khairiyah, organisasi mahasiswa Indonesia - Malaysia yang ia dirikan dan bertujuan memperlancar studi anggo¬tanya dan mendiskusikan masalah kolonialisme dan imperialisme yang dialami kedua negeri itu. Iljas Ja'coub duduk sebagai sekre¬taris sedangkan ketuanya adalah Djanan Thaib.
Iljas Ja'coub juga bersahabat dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional Mesir, seperti Mustafa Kamil, Syeikh Mahmoud Abdul Youm dan Abdul Hamid Bey. Persahabatan ini membuatnya terjun di bidang politik. Setelah mengundurkan diri dari Al-Jami'ah Al-Khairiyah, bersama Mochtar Lutfi ia mendirikan Perhimpunan Pendjaga Indonesia (12 April 1926), organisasi yang berorientasi politik. Anggota PPI adalah orang Indonesia yang didominasi oleh putera-putera Minangkabau. Ketua PPI adalah Muchtar Luthfi, sedangkan Iljas Ja'coub sebagai penasehat.
Selain aktif di organisasi Iljas Ja'coub juga giat di bidang jurnalistik. Pada bulan September 1925 ia menerbit¬kan majalah Seroean Al-Azhar yang menjadi organ resmi Al-Djami'ah Al-Khairiyah. Pada tahun yang sama bersama Muchtar Luthfi ia mendirikan majalah Pilihan Timoer. Tulisan-tulisan Iljas Ja'coub di kedua media masa ini banyak merefleksikan sikapnya terhadap praktek kolonialisme yang sedang melanda berbagai daerah di Asia dan Afrika.
Aktifitas Iljas Ja'coub di bidang organisasi dan jurnalistik mendapat sambutan dari tokoh-tokoh pergerakan nasional Mesir. Iljas Ja'coub menjadi tamu tetap di markas besar Partai Hizbul Wathan dan diikutsertakan dalam acara-acara informal partai itu. Hal ini ikut mempen¬garuhi jalan pikiran dan sikap anti kolonialnya. Iljas Ja'coub bahkan dijadikan juru bicara anti kolonial oleh tokoh-tokoh pergerakan Mesir.
Sikap dua tokoh pergera¬kan Mesir yakni Muhammad Abduh dan Mustafa Kamil sangat mempengaruhi mahasiswa-mahasiswa Indonesia, serta mengilhami pemikiran politik Iljas Ja'coub. Selama di Mesir Iljas Ja'coub lebih banyak melakukan aktifitas politik dari pada kuliah sehingga ia tidak menamatkan kuliahnya.
Pada tahun 1929 Iljas Ja'coub pulang ke tanah air. Kepulangannya saat iklim pergerakan nasional Indonesia diwarnai konflik ideologi antara golongan nasionalis sekuler yang berideologikan kebangsaan dengan golongan nasionalis agama yang berideologikan Islam, sangat selaras dengan pengalamannya di Mesir. Hal itu memotivasinya untuk ikut terlibat dalam kancah pergerakan nasional. Tidak lama setelah itu, Iljas Ja'coub pergi ke Jawa untuk menjalin hubungannya dengan tokoh-tokoh PNI dan Syarikat Islam. Pertemuan Iljas Ja'coub dengan kedua tokoh pergerakan yang berbeda ideologi ini membuatnya berpikir mencari corak organisasi yang diperlukan dalam pergerakan nasional Indonesia. Akhirnya ia menemukan konsepsi berupa perpaduan antara ideologi kedua partai tersebut yakni Islam dan kebangsaan.
Ketika P.M.I. didirikan pada tahun 1930 di Bukittinggi Iljas Ja'coub mengemukakan ideologi Islam dan kebangsaan untuk P.M.I. Ide yang ditawarkan itu pada dasarn¬ya adalah usaha Iljas Ja'coub untuk menjembatani jurang pemisah antara golongan nasionalis sekuler dengan golongan nasionalis Islam. Iljas Ja'coub memperingatkan kaum pergerakan bahwa perpecahan dalam dunia pergerakan nasional Indonesia merupakan bahaya laten yang dapat menghambat cita-cita kemerdekaan.
Iljas Ja'coub secara intens mempropagandakan ide-ide pergerakan Islam dan Kebangsaan yang diusungnya. Pada tanggal 15 Februari 1931 Iljas Ja'coub menerbitkan majalah Medan Ra'jat di Padang. Melalui media yang diterbitkannya ini Iljas Ja'coub memberi kesempatan pada kaum pergerakan untuk melontarkan ide-ide pergerakannya.
Pada tahun 1934 Iljas Ja'coub ditang¬kap dan diasingkan ke Digul karena aktifitas politiknya dianggap menggangu kelangsungan kolonialisme Belanda di Indone¬sia Sepuluh tahun kemudian dipin¬dahkan ke Australia. Akibat sikap non kooperatifnya, ketika dikembalikan ke Indonesia ia dilarang mendarat di Tanjung Priok Jakarta. Ia lalu diasingkan ke Kupang, Timor, Labuhan, Singapura, Serawak serta Brunai dan kembali lagi ke Labuhan. Tahun 1946 baru kemba¬li ke tanah air.
Empat bulan setelah tiba di tanah air Iljas Ja'coub terus ke Sumatera dan langsung bergabung dengan kaum pejuang republiken. Pada masa Pemerintahan Darurat Repub¬lik Indonesia (PDRI) dibentuk Iljas Ja'coub mendapat tugas khusus yaitu menghimpun semua partai dan barisan untuk bergabung dengan PDRI untuk menghadapi aksi polisionil Belanda. Puncak karir politik Iljas Ja'coub pada masa kemerdekaan adalah sebagai ketua DPRD Sumatera Tengah yang berkedudukan di Bukittinggi dan sekaligus merangkap seba¬gai penasehat pribadi Gubernur Sumatera Tengah. pada tanggal 2 Agustus 1958 Iljas Ja'coub meninggal dunia setelah mengecap nikmatnya alam kemerdekaan. (Danil M. Chaniago, Op.Cit)
D. Islam dan Kebangsaan: Ideologi Pergerakan Permi
Islam dan Kebangsaan merupakan ideologi pergerakan dan prinsip yang sangat mendasar bagi Permi. Paham kebangsaan merupakan jalan untuk menujukkan kecintaan pada tanah air sedangkan mencintai tanah air tidak dilarang oleh agama (Islam) bahkan dianjurkan. Orang Islam yang tidak mencintai tanah air adalah orang Islam yang diragukan keimanannya. Oleh karenanya seorang muslim adalah seorang nasionalis sejati.
Menurut Permi, nasionalisme itu dapat diibaratkan seperti Keris yang dapat digunakan untuk mempertahankan diri dan dapat juga dipergunakan untuk menyerang orang lain. Tetapi ada juga nasionalisme dalam bentuk lain yakni pada mulanya dipergunakan untuk mempertahankan diri kemudian berbalik menjadi senjata untuk menindas bangsa lain. Kebangsaan yang dianut Permi adalah Kebangsaan yang diridhoi Allah bukan paham kebangsaan yang dapat mendatangkan bencana dan menjauhi penganutnya dari Allah Azza wa Jalla (Medan Ra’jat, No. 3, 20 September 1932 h. 2)
Permi juga menyadari bahwa dengan ideologi Islam, ideologi Kebangsaan sudah termasuk di dalamnya. Akan tetapi perlu juga mencantumkan Islam dalam asasnya karena ia merupakan suatu yang asasi dalam perjuangan melawan penjajah. Artinya nasionalisme Permi adalah rasa kebangsaan yang tidak agresif dan tidak menyerang bangsa lain dan tidak mengandung keinginan untuk bertindak sewenang-wenang.
Kemerdekaan wajib dicapai sebagai salah satu syarat untuk dapat menjalankan syari’at Islam. Kemerdekaan Indonesia merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dapat mewujudkan cita-cita persatuan umat. Sebab, Islam tidak hanya mengatur hubungan menusia dengan Khalik-Nya saja tetapi juga mengatur hubungan antar sesama manusia. Islam adalah cita-cita yang paling tinggi sedangkan nasionalisme adalah semangat hidup agar dalam menjalankan Islam secara komprehensif.
Menurut Permi, nasionalisme yang dianutnya adalah nasionalismenya bangsa Timur yang hanya bergerak dan berasal dari keinginan untuk untuk melawan dan mengusir imperialis dan kapitalis. Berbeda dengan nasionalismenya Barat yang tumbuh dan berkembang karena didasari nafsu untuk menguasai dan menindas bangsa lain untuk kepentingan bangsa sendiri (Nasionalisme dan Islamisme, Medan Ra’jat,No. 10, 1 desember 1932, h. 2)
Dalam risalah yang diterbitkan oleh Pengurus Besar Permi disebutkan bahwa Kebangsaan yang menjadi salah satu aspek dari basis ideologi Permi adalah kebangsaan yang tidak mengandung nafsu imperialis yang kejam dan sadis.(PB Permi, Semangat I, t.t. h 18) Permi mengkritik paham kebangsaan Barat atau Eropa telah membawa pengikutnya kepada jalan yang sesat karena menghisap darah rakyatnya sendiri dan merusak bangsa lain. Atas nama tanah air bangsa Austria menjajah Italia dan Swiss, dan atas nama tanah air pula bangsa Prusia melumat bangsa Austria.
Dalam risalah lainnya Permi menyatakan bahwa dalam Islam paham kebangsaan diridhoi oleh Allah dan harus mempunyai niat yang suci. Demikian pula halnya dengan Kebangsaan Indonesia yang telah melahirkan pergerakan untuk menuntut kemerdekaan Indonesia adalah satu rasa kebangsaan yang diridhoi oleh Allah. Karena dalam Al Qur’an umat Islam diperintahkan untuk berusaha sendiri untuk dapat merobah nasibnya (Q.S. Ar Ra’ad ayat 11) Sedangkan kebangsaan yang tidak diridhoi Allah adalah kebangsaan yang dapat menimbulkan pekerjaan yang haram atau pekerjaan yang mengandung menghinaan, penganiyaan, dan penindasan sesama manusia, seperti yang terjadi dan dilakukan oleh Bangsa Eropa.( PB. Permi, Semangat II, t.t., h. 6).
Tidak adanya pertentangan antara Islam dengan Kebangsaan dimuat dalam Medan Ra’jat dalam artikelnya yang diberi title “Soerat-Soerat dari Mesir”. Dalam tulisan ini disebutkan bahwa pergerakan kemerdekaan yang didasarkan pada Islam dan kebangsaan tidak akan bertentangan bahkan keduanya akan saling menopang; yang bergerak dengan paham kebangsaan tidak akan menjadi kafir asal tetap menjalankan syari’at Islam dan memuliakan hukum Islam dan tidak keluar dari ajaran Islam. Akan tetapi akan lebih baik lagi jika bergerak atas dasar Islam dan Kebangsaan. Pegerakan yang didasarkan atas paham Islam dan kebangsaan tidak akan mengurangi atau menghilangkan hak-hak non muslim sebagai putra bangsa.(Medan Ra’jat, No. 9, 20 November 1932)
Pada Rapat Umum Partai Indonesia (Partindo), Minggu 26 Oktober 1932 di Semarang yang dihadiri tidak kurang dari 3000 orang, Mukhtar Luthfi sebagai tamu kehormatan diberi kesempatan pidato. Dalam Pidatonya Luthfi mengatakan, di antara agama-agama yang ada di dunia ini hanya Islamlah yang tidak mempertentangkan paham Kebangsaan. Karena menurut Luthfi “… soal kebangsaan ini ialah soal menentukan hidoep dan mati diatas doenia jang soedah diperserahkan ketangan kita oleh Toehan Allah Ta’ala”.(Medan Ra’jat No. 6, 20 Oktober 1932, h. 2.) Bangsa Indonesia harus selalu mewaspai kelicikan kaum imperialis dan bersikap pro nasionalisme. Dengan kata lain, Luthfi mengingatkan bahwa harga kemanusiaan dan kemuliaan rakyat Indonesia tergantung kepada Indonesia merdeka.
Sebelumnya, Mukhtar Luthfi juga telah berpidato dihadapan Massa Partindo di Bandung dalam acara openbarevergaadering (rapat umum) partai nasionalis itu yang dihadiri oleh ribuan massa. Dalam pidatonya Luthfi juga menegaskan bahwa Islam tidak pernah melarang kebangsaan untuk mencapai hak suci bagi tiap-tiap bangsa untuk merobah nasibnya. Dalam kesempatan ini nasionalisme Permi juga dipertanyakan. Mukhtar Luthfi memberi jawaban bahwa nasionalisme Permi adalah nasionalime (kebangsan) yang secara Islam; nasionalisme yang diridhoi Allah. “ Ada poela jang bertanja, kenapa Islam dibatas dengan national. Djawab Toean H.M.Loethfi boekan membatas, tetapi menenoekan hak. Kita tidak akan damai sebeloemdapat hak jang soetji”.(Medan Ra’jat, No. 6, 20 Oktober 1932, h. 4)
Penjelasan Mukhtar Luthfi mengenai asas pergerakan Permi pada gilirannya telah menyadarkan kaum nasionalis tentang kekeliruannya terhadap Islam yang selama ini diyakini dapat menghambat pergerakan kemerdekaan. Bahkan Soekarno yang merupakan tokoh kaum nasionalis yang sebelumnya masih ragu-ragun tentang Islam; anti kebangsaan atau tidak setelah mendengar pidato-pidato Luthfi jadi hilang keraguannya. Hal yang sama juga dialami oleh Soetomo, tokoh nasionalis yang pernah menyebutkan “dibuang ke Digul lebih mulia daripada pergi haji ke Mekkah”, setelah bertemu dengan tokoh Permi lainnya, Jalaluddin Taib.
Bagaimanapun juga dengan mengambil Islam dan Kebangsaan sebagai pilar ideologinya Permi telah menciptakan miss understanding di antara sesama kaum pergerakan baik di kalangan nasionalis (Kebangsaan) maupun kalangan Islam. Muhammadiyah menilai Permi telah melakukan kesalahan yang sangat fatal karena memakai selain Islam sebagai asas pergerakannya. Hal ini, menurut Muhammadiyah, telah membawa Permi kepada perbuatan musyrik dan kafir. Selain itu, Permi juga dianggap telah mendua dan kurang percaya dengan kekuatan Islam selaku agama yang ajarannya mencakup seluruh persoalan dunia dan akhirat.
Sebaliknya Permi menuduh Muhammadiyah Sumatera Barat yang sama-sama lahir dari rahim Sumatera Thawalib sebagai penakut dan penjilat ekor Belanda karena bersikap kooperatif dengan pemerintah dan mau menerima bantuan sana (subsidi) pemerintah. Menurut Permi siapapun yang mau bekerjasama dengan Belanda yang nota benenya kaum kafir maka dia juga kafir. Orang kafir adalah musuh Islam yang sangat berbahaya bagi perkembangan syi’ar Islam.
Muhammad Natsir putra Minangkabau yang juga Persatuan Islam, menyatakan ideologi Islam sudah cukup: “Kelihatannya bahwa mereka (pimpinan Permi) tidak puas dengan Islam mereka. Mereka kelihatannya merasa bahwa Islam tidak cukup, bahwa mereka menganggap perlu menambahkan sesuatu. Islam yang mereka akui sebagai fondasi esensial dalam prakteknya akan digantikan oleh Kebangsaan yang mulanya dianggap sebagai ide pendukung. Padahal rasa kebangsaan di Indonesia telah lama tumbuh dan ditumbuhkan oleh Islam di Indonesia. Misalnya saja, Syarikat Islam dan Muhammadiyah yang telah menyebar di seluruh Nusantara tanpa melihat batas-batas etnis. Dengan demikian, pada dasarnya Islam telah lama membangkitkan semangat nasionalisme di kalangan bangsa Indonesia. Oleh karenanya dengan menggunakan Islam sebagai ideologi pergerakan sudah cukup dan tidak perlu ditambah-tambah lagi.”
Pernyataan Natsir segera ditanggapi oleh Permi. Dalam risalah tanggapannya Permi menyebutkan bahwa dengan menambah ideologi lain setelah Islam bukan berarti Permi mengganggap Islam belum mencukupi sebagai dasar perjuangan. Permi menyadari bahwa ajaran Islam telah mencukupi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan dunia dan akhirat, tetapi Permi juga tidak dapat menutup mata bahwa di daerah koloni seperti Indonesia ini ajaran Islam hanya tinggal dalam Al Qur’an saja. Oleh karenanya Permi tidak hanya berasaskan Islam tetapi juga Kebangsaan karena Permi juga berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.( PB. Permi, op.cit., h. 4)
Tokoh Islam lainnya, Ahmad Hassan yang juga dari Persis di Bandung mengecam Permi. Menurut tokoh ini kebangsaan identik dengan ashabiyyah dan merupakan realita bahwa orang Islam Indonesia terpisah dengan umat Islam lainnya di dunia. Padahal sesama umat Islam itu bersaudara, di manapun dia berada. Oleh karenanya menurut tokoh ini, organisasi yang didasarkan pada Kebangsaan dan menolong organisasi yang berdasarkan Kebangsaan sangat bertentangan dengan ajaran Islam (Deliar Noer, 1996: 280(.
Anggapan A.Hassan yang menyamakan Kebangsaan dengan Ashabiyyah dijawab oleh Permi dengan menyebutkan bahwa ashabiyyah yang dimaksudkan tersebut adalah Kebangsaan yang sempit dan tidak didasarkan pada ajaran agama. Sedangkan Kebangsaan yang dianut Permi adalah Kebangsaan yang diridhoi Allah dan Kebangsaan yang tidak merugikan Islam. Pembahagian bangsa, menurut Permi bukan dijadikan oleh manusia tetapi ciptaan Allah. Untuk menguatkan argumen itu Permi mengutip ayat Al Qur’an yang artinya “ Aku jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal”. Kebangsaan yang dipromosikan Permi merupakan usaha untuk memberantas semua sisa-sisa feodalisme dan semua penderitaan yang disebabkan terutama oleh kolonialisme. (Taufik Abdullah, Op. Cit.,201).
Menanggapi berbagai kritik yang disampaikan tokoh-tokoh Islam, Iljas Ja’coub selaku pencetus ide bagi asas perjuangan Permi tetap pada pendiriannya. Bagi Iljas Ja’coub Islam dan Kebangsaan adalah perasaan yang suci dan pantas meresap dalam sanubari setiap pemuda Indonesia sampai mengalir ke seluruh tubuhnya setiap saat. Pada gilirannya ia akan menjadi tunas yang unggul dan mampu serta berani menjadi pembela agama, bangsa,dan negara (Medan Ra’jat, No. 20-22, 10 Juli-1 Agustus 1933, h. 6).
Iljas Ja’coub juga merasakan, bahwa sampai awal-awal tahun 1930-an persatuan dan kesatuan belum terwujud di kalangan bangsa Indonesia. Pertikaian dalam hal basis ideologi pergerakan nasional masih mewarnai iklim politik pergerakan ketika itu. Pada saat itu, Iljas Ja’coub mengajak semua kaum pergerakan agar menjalin kesatuan dan persatuan tanpa harus berpedoman pada satu agama. Menurut Ja’coub perpecahan yang terjadi di kalangan kaum pergerakan merupakan sebuah tragedi dan kehadiran Permi yang berlandaskan Islam dan Kebangsaan adalah jalan keluar untuk menghentikan tragedi itu.
V. P E N U T U P
Permi merupakan organisasi politik khas Minangkabau dan merupakan partai yang dapat mempersatukan segala golongan muslim.(Burhanuddin Daya, 1992: 278) Mengutip pernyataan tersebut, semestinya bangsa Indonesia baik yang mengutamakan Islam sebagai ideologi ataupun kebangsaan mengambil sintesa dari perjalanan sejarahnya sendiri.
Permi sebagai organisasi sosial politik juga dapat disebut sebagai diaspora dunia pendidikan ke arah pemikiran politik yang cerdas dan bernuansa intelektual. Hal ini dapat dilihat dari perjalanan Permi yang dimulai dari ide gerakan pembaharuan yang diwujudkan dalam dunia pendidikan (Sumatera Thawalib) hingga menjadi organisasi kemasyarakatan dan sosdial Politik. Maka, ide yang Islam dan kebangsaan yang diusungnya menrupakan sintesa dari pertarungan ideologi pergerakan nasional pada masa itu.
Kemunculan Permi di arena konflik ideologi di kalangan kaum pergerakan itu berhasil dijembatani dengan cara yang arif. Belajar dari sejarah Permi tersebut semestinya seluruh anak bangsa Indonesia yang sedang “konflik” atas nama kepentingan apapun, dapat mensintesa dan mencari jalan tengah untuk memenuhi kepentingan bersama. Karena, pepatah luhur bangsa Indonesia mengajarkan, Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak lupa dengan sejarahnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar