Oleh : Dr.H. Ahmad Shafwan N., M.Ag (Dosen Jur. Bahasa dan Sastra Arab)
Dalam perjalanan sejarahnya, peradaban Islam berkembang dengan adanya interaksi dengan peradaban-peradaban out-siders, salah satunya peradaban Barat. Dari proses interaksi antar peradaban tersebut, tercipta hubungan simbiosis mutualis, interaksi saling menguntungkan, saling melengkapi dan saling mengadopsi serta saling mengilhami. Dalam konteks tersebutlah, tulisan ini hadir, dengan mengupas kontribusi peradaban Islam terhadap capaian-capaian peradaban Barat.
A. PENDAHULUAN
Abad ke delapan sampai dengan abad tiga belas merupakan masa kejayaan kebudayaan Is¬lam. Umat lslam berhasil mengua¬sai dunia, setelah lebih dulu menak¬lukkan dua imperium besar dan berkuasa saat itu. Islam menjadi kekuatan politik, sosial, dan kebu¬dayaan yang tidak terkalahkan dan telah menggeser tatanan dunia se¬belumnya, serta menggantikannya dengan struktur politik, sosial, dan kebudayaan Islam. Wilayah Islam melebar ketiga, benua, termasuk Eropa. Umat Is¬lam, selain telah menundukkan bangsa-bangsa di daerah ekspan¬sinya, mampu menggunakan sum¬ber daya setempat, termasuk sum¬ber daya non muslim, dalam mengolah warisan budaya bangsa yang dikuasainya untuk kepentingan Islam dan pengembangan bu¬dayanya.
Perhatian Para khalifah Islam, khususnya Para khalifah dekade pertama dinasti Abbasiyah, dorongan ajaran agama. Islam ter¬hadap pengembangan ilmu penge¬tahuan serta adanya kebebasan dan kemampuan mengkaji dan menggali sumber-sumber pengetahuan, telah mengantarkan Para filosof dan ilmuan muslim ke puncak ke¬jayaan falsafat dan ilmu yang men¬jadi cikal bakal kemajuan perada¬ban modern. Sementara itu dunia barat (baca: Eropa) masih berada dalam zaman kegelapan yang terefleksi pada bentuk sistem kekuasaan teokratis-dogmatis. Akal tidak diberi hak untuk mengkritik atau memi¬liki persepsi dengan pandangan dan doktrin gereja. Kesinambungan sejarah Eropa dengan Yunani kuno terputus. Bahkan Dr. Omar Amin Housin mengatakan, peradaban Latin dan Yunani kuno tidak pemah tumbuh di Eropa.
Dalam kondisi demikianlah ekspansi Islam memasuki wailayah Eropa hingga menimbulkan reaksi perlawanan fisik berupa perang salib yang ter¬jadi akibat terhalanginya mereka, sebagai penganut Katolik, melakukan kunjungan ke Palestina. Perang ini terjadi kurang lebih dua abad dengan sejumlah kekalahan yang memalukan di pihak mereka. Kenyataan ini menyentak kesadaran mereka untuk mengintrospeksi diri di satu pihak dan memikirkan bagaimana mengenal dan mengalahkan musuh di pihak lain. Buah dari instrospeksi tersebut, munculnya kritik para ahli pada ajaran Katolik dalam berbagai hal, dan puncaknya adalah protes Martin Luther yang melahirkan Kristen Protestan.
Namun secara kontroversial mereka juga ingin mengalahkan umat Islam di samping ingin menangguk kelebihan ilmu dan fil¬safat yang mereka miliki. Maka tidak heranlah bila dalam setiap peperangan dengan umat Islam, mereka menyertakan sejumlah tenaga yang berperan meneliti as¬pek-aspek ilmu pengetahuan dan falsafat di dunia Islam. Dalam konteks demikianlah kita mencoba melihat apa yang mereka dapat, atau dengan sudut pandang kita. Apa yang telah disumbang¬kan Islam terhadap pemikiran barat, bagaimana proses tranfomasinya, macam apa bentuk pemikiran, apa substansi dan bagaimana pengembangannya. Karena persentuhan Islam dan barat berangkat dari kontroversi agama, politik dan sosial, maka aspek-aspek ini menjadi subjek dan menganalisa fakta-fakta se¬jarah, dalam upaya memberikan penilaian secara objektif.
B. TRANSFORMASI DUNIA ISLAM KE BARAT
Sebelum kita membicarakan apa sumbangan Islam terhadap pemikiran barat secara jelas, perlu dike¬tahui lebih dulu bagaimana kondisi riil pemikiran barat saat itu, apa yang mereka miliki dan apa yang belum. Dari sini akan diketahui, apa yang mereka dapat dari dunia Islam, bagaimana tranformasinya serta bagaimana perkembangan¬nya di barat. Kecuali pernyataan DR. Omar Amin Housin di atas, Maryam Jamilah, sebagaimana juga Muhammad Al-Bahiy menjelas¬kan, abad pertengahan bagi Eropa, sungguh dapat dikatakan memiliki peradaban yang khas. la tidak memiliki gambaran se¬rupa, baik dengan masyarakat Yu¬nani kuno maupun Romawi atau Eropa sebagai adanya sekarang. Peradaban Eropa abad pertengah¬an bertolak belakang dengan Eropa modern.
Kata Maryam, bila orang Amerika atau Eropa dihadapkan pada masa ini maka asosiasi vang mun¬cul di benak mereka adalah kebiadaban, kebodohan, feodalisme dan takhayyul. Agama rnereka (baca: gereja) memiliki kekuasaan untuk menuntun manusia, baik dalam tin¬dakan, ataupun untuk mengatur masyarakat, atau dalam memaha¬rni alam: Sistem Paus (Papisme) meletakkan "kekuasaan" terting¬gi di tangan Paus. Kedudukan Paus menempatkan ucapannya sedera¬jat dengan kitab suci. Sistem ini rnenjadikan ajaran “trinitas” se¬bagai doktrin keimanan dan pengakuan dosa serta pengampunan dosa sobagai ibadah.
David E. Aptor mengatakan, di tangan para Paus, kesatuan doa menjadi kesatuan politik. Gereja memungkinkan keselamatan dengan menjanjikan komunitas ke¬hidupan yang ditransedensikan oleh komunitas jiwa jiwa yang kekal. Alam semesta yang rasional orang Yunani terlalu besar untuk dapat diterima oleh manusia abad pertengahan. Para ilmuan yang rnembuat pernyataan bertentangan dengan ajaran gereja akan memperoleh sanksi hukum dari gereja seperti yang dialami Galilio, misalnya.
Jadi Eropa, pada masa ini berada dalam pemikiran statis, atau seper¬ti yang dikatakan H. SMc Neill, kebudayaan Kristen sedang mengalami masa surut yang rendah. Atau dengan ibarat lain, agarna benar-benar jadi penghalang bagi kemajuan ber¬pikir, dan ilmu pengetahuan. Bila diukur dengan teori perubahan sosial, Eropa tidak akan mengalami perubahan yang cepat tanpa adanya paradigma perubahan sosial, seperti dialektisme historis, misal¬nya. Sementara dialog historis satu-¬satunya di Eropa hanyalah dengan adanya ekspansi Islam ke dunia ¬barat dengan pemikiran falsafat dan pandangan rasional-objektif ¬eksperimental yang dibawa para filosof dan ilmuan Islam.
Jadi secara langsung atau tidak, umat Islamlah yang membangun¬kan kesadaran dan semangat kebe¬basan kaum intelektual Eropa un¬tuk berontak terhadap "tangan besi" gereja selama ini, hingga mengantarkan mereka kepada re-¬nesans. Maryam Jamilah mengatakan, renesans bersamaan waktunya dengan penolakan kekristenan oleh kaum intelektual Eropa terkemuka, dipadukan dengan pemu¬jaan mereka kepada Yunani kuno dan Romawi tanpa memberikan kritik sedikitpun. Pernyataan Jamilah ini sekaligus rnenunjuk¬kan, kaum intelektual Eropa tidak menerima Islam, kendati mereka memperoleh falsafat Yunani kuno melalui tangan-tangan kaum filosof muslim.
Fakta ini pula metnberikan pe¬tunjuk kuat, melalui falsafat orang mampu mentbangkitkan rasional berpikir, tapi tidak menjamin membangkitkan kesadaran beraga¬ma Islam secara keyakinan dan prakteknya. Dan inilah yang terja¬di di Eropa. Mereka berubah dengan pesat, baik pemikiran dan peradaban. Tanpa adanya umat Islam, perkembangan Eropa akan berjalan secara evolusi, bahwa yang memberi pemicu dan buah pemiki¬ran Eropa itu Islam dinyatakan oleh Lois Hoyack, Pemberi de¬mokrasi dunia bukanlah Romawi Latin atau Yunani, tapi Islam.
Adanya ekspansi Islam yang begitu besar dan drastis ke dunia barat, menjadi tantangan langsung bagi peradaban barat yang dikuasainya gereja saat itu. Masalah kekuasaan dan agama merupakan masalah strategis dan sensitif bagi bangsa manapun. Kedatangan Is¬laim yang berangkat dari kekuatan asing, serta kekuatan politik dan kekuasaan menggoncangkan posi¬si gereja yang mapan. Adalah suatu keadaan yang logis bila kehadiran Islam jadi bahaya besar di satu pihak, tapi juga membawa pelaja¬ran besar bagi mereka di pihak lain. Karena itu, merupakan faktor pula bila penerimaan Falsafat Yu¬nani yang merupakan akar sejarah nenek moyang Eropa dan kompen-sasi fanatisme mereka, sebagai alternatis para intelektual Eropa. ketimbang menerima Islam sebagai panutan keyakin.
Bagaimapun gereja selama ini mengekang mereka dalam dunia pemikiran, tetapi karena islam datang, menurut kacamata mereka sebagai musuh, maka tentu rasa apriori menutup pintu hati mereka untuk menerima Islam sebagai pa¬nutan. Setidaktnya dalam menghadapi Islam dan umat Islam sebagai musuh, antara kaum gereja dan intelektual sebagaimana faktanya demikian. bersatu dalam barisan melawan dan bahkan dalam barisan perang. Dalam kondisi demikianlah terjadi transformasi pemikiran yang dimiliki dunia Islam terjadi ke barat. Adapun jalannya tranfor¬masi tercatat pada wadah-wadah berikut :
1. Lembaga-lembaga Keilmuan
Sejak abad VIII, Andalusia saja misalnya, sudah menjadi pusat kebudayaan yang kuat, sebagaimana Bagdad dan Mesir, sebagai tempat belajarnya para yang da¬tang dari berbagai penjuru. Cordo¬va, Sevilla dan Granada merupakan tempat-tempat yang menjadi sasa¬ran bagi mahasiswa-mahasiswa kiriman atau yang datang sendiri, untuk belajar berbagai bidang ilmu pengetahuan. Spanyol merupakan daerah pertama dan utama kontak orang-orang Eropa Latin dengan falsafat dan filosof muslim, khususnya orang-orang gereja. Menurut Syalabi, mereka ini semua yang menyebabkan terbangunnya bangsa Ero dari "tidur”.
Pusat-pusat ilmu pengetahuan di Spanyol dengan cepat menyaingi Bagdad dalam penyebaran pe¬mikiran Islam ke Eropa, apalagi saat itu keluar masuk suatu wilayah tidak seketat seperti masa kini. Guillaum le Bond berpendapat, sebelum orang Norman merebut pulau Sicilia dari tangan umat Is¬lam, mereka lebih dulu menerima pengaruh Islam. Hal ini terbukti, ketika jatuhnya pulau Sicilia, mereka mempertahankan Univer¬sitas Islam agar berjalan seperti blasa.
2. Peran Lembaga Penerjemahan
Yang dimaksud terjemahan di sini ialah penerjemahan buku¬-buku yang ditulis oleh fiolosof dan ilmuan muslim dari bahasa Arab ke bahasa Latin. Kadang-kadang se¬belum ke bahasa Latin, diterjemah¬kan ke bahasa Spanyol lebih dulu. Para filosof muslim, selain menerjemahkan buku-buku falsafat Yunani kuno, melakukan kajian terhadap pemikiran Yunani kuno, kemudian mengolahnya hingga Menjadi pemikiran khas mereka. Atau mereka memberikan ulasan-¬ulasan yang memberikan kejelasan bagi falsafat tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd. Di samping itu para ilmuan muslim memformulasikan berbagai disip¬lin ilmu terapan dan ekstra serta ilmu-ilmu sosial lainnya.
Apalagi umumnya mereka berkapasitas ganda sebagai filosof dan sebagai ilmuan. Hasil pemikiran dan olahan mereka dituangkan secara ilmiah dalam tulisan-tulisan atau buku. Tulisan dan buku-buku inilah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh lembaga-lembaga penerjemahan atau individu barat. Banyak dari buku-buku filosof dan ilmuan muslim menjadi literatur pemikiran dan ilmu di barat. Inilah yang menyebabkan nama Al-Kin¬di, Al-Farabi, Ibnu Haitsam, Ibnu Sina, Ibnu Bajah, Ibnu Rusyd Jabir bin Hayyan dan lainnya menjadi populer di barat.
Tema-tema yang diterjemahkan mencakup berbagai bidang disiplin ilmu falsafat dan ilmu-ilmu eksakta seperti kedokteran, kimia, biologi, optik, astronomi, matematika dan lainnya. Sejarah mencatat, ada 265 karya Al-Kindi, 22 di antaranya khusus falsafat, 19 mengenai as¬tronorni, 16 tentang Astrologi, 1 tentang musik, 11 tentang matem¬atika, 22 mengenai hal ihwal nomor 9 tentang logika dan lain-lain, se¬mua diterjemahkan kebahasa Latin oleh Gerard dari Ceromona (1187).
Zakaria al-Razi yang dikenal di Barat dengan Razes, menurut Ensyclopedia of Islam, hingga abad 17 otoritasnya tidak perlu diragukan. la menulis 200 buku, dan yang berkaitan dengan kedokteran diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan berbagai bahasa Eropa. Ada yang dicetak ulang sampal 40 kali. Yang terbesar di antaranya sebuah eksiklopedi pengobatan Al-Hawi, 20 jilid. Begitu juga dengan karangan-karangan Ibnu Sina yang mencapai 238 buku dalam bidang logika, kedokteran, falsafat, mate¬matika, teologi, politik, tafsir dan lainnya disalin dan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin yang menu¬rut Ensyclopaedia Of Islam, telah memantapkan sistem belajar di Eropa berabad-abad.
Jabir bin Hayyan juga seorang ilmuwan muslim yang tidak bisa dipungkiri sebagai pemberi aset dasar kemajuan Eropa modern. 100 karya ilmiahnya di bidang kim¬ia, dengan berbagai istilah teknis kimia kemudian diserap oleh ilmu kimia modern. Selain buku-bukunya yang lain dalam bidang kedok¬teran, astronomi, dan matematika, juga diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa. Masih banyak lagi data yang berkaitan yang tidak disebut di sini. Pada prinsipnya ratusan, bahkan ribuan buku tulisan filosof-filosof muslim diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan menjadi khazanah ilmu bagi Eropa barat.
3. Kurikulum Pengajaran dan Pendidikan
Pada abad XII dan XIII M berdiri di Eropa beberapa universitas. Menurut keterangan DR. Marsel Davies, universitas yang berasal dari kata "al-Jami'a" bahasa Arab memakai dan memasukkan buku-buku Islam dalam kurikulum pendidikan, setelah mendapat izin dari Paus. Pada masa itu buku-¬buku amat sukar dan kalau ada yang punya buku harus diserahkan pada gereja. Sementara di Spanyol yang menjadi pusat pengetahuan di Eropa memiliki perpustakaan rakyat di setiap kota. Sejarah men¬catat, banyak buku tulisan filosof dan ilmuan muslim dipakai dalam kurikulum pendidikan Eropa be¬rabad-abad lamanya.
4. Pengakuan dari para ahli barat sendiri
Pengakuan para ahli barat ten¬tang besarnya transformasi pemikiran dari dunia Islam ke barat, yang kemudian menjadi dasar bagi perkembangan pemikiran bar¬at selanjutnya, baik falsafat mau¬pun sains serta ide-ide lainnya, diungkapkan oleh sejumlah pakar barat. Di sini dicontohkan sebagaim¬ana pengakuan penulis higgris, Robert Briffault.
“Ide kebebasan bagi seluruh umat manusia, ide persaudaraan antar umat manusia, ide persa¬maan antara umat manusia ter¬hadap hukum dan pemerintahan yang demokratis dengan cara konsultasi dan hak pilih yang umum, ide-ide yang mengilhami revolusi Perancis dan Deklarasi Hak-Hak manusia yang menuju penyusunan konstitusi Amerika dan membakar semangat per¬juangan pembebasan di negara¬-negara Amerika Latin, bukanlah ciptaan barat. Ide-ide itu mendapatkan ilham dan sumber dalam kitab suci al¬-Qur’an. Ide-ide itu merupakan sari pati yang diperoleh para sarjana Eropa abad pertengahan dari Is¬lam dalam masa berabad-abad melalui berbagai ragam masyarakat yang berkembang di Eropa setelah perang salib, dengan meni¬ru persaudaraan Islam. Sangat mungkin terjadi, tanpa adanya orang-orang Arab (mus¬lim) itu kebudayaan Eropa mod¬ern tidak akan ada sama sekali. Dan dapat dipastikan pula tanpa orang-orang Arab itu tak dapat diperkirakan ciri-ciri yang memungkinkan Eropa melebihi semua fase evolusi sebelumnya.
C. SUBSTANSI PEMIKIRAN DUNIA ISLAM
Substansi dari pemikiran yang ada di dunia Islam ke dunia Barat dapat dibagi kepada dua bagian pokok. Pertama pemikiran falsafat dan kedua konsep ilmu-ilmu dasar kealaman (eksakta ). Para filosof Islam, seperti Al¬-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyid, Al-Gazali dan Iainnya telah menggali falsafat Yunani kuno, mulai dari menerjemahkannya, mengolahnya sampai kepada komentar dan ulasan dan formulasi pemikiran mereka sendiri. Inilah yang kemudian ditransfonnasikan ke dunia barat. Inti dari falsafat Yunani ialah berpikir rasional liberal dalam mencari kebenaran untuk kepentingan dan kebahagiaan hidup manusia tanpa bantuan atau keterikatan pada keyakinan agama atau lainnya.
Maryam Jamilah mengatakan, falsalat Yunani kuno berlandaskan premis yang beranggapan bahwa suatu bangsa yang harmonis, sem¬purna, diliputi keindahan dan keadilan, dapat dicapai dengan menerapkan penalaran manusia secara cerdas dan rasional tanpa bantuan kekuatan supranatural apapun. Manusialah satu-satunya peng¬huni jagad raya ini yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan, apa, dari mana, hendak ke¬ mana, kenapa dan bagaimana. Tumpuan terakhir dari semua per¬tanyaan itu adalah kenapa. Ini mencakup masalah hakekat wujud universal, pengetahuan manusia, dan nonna-norma yang dipakai manusia.
Visi inilah yang diambil barat dari kajian falsafat yang ditransformasikan filosof muslim, khususnya pemikiran Aristoteles yang diulas oleh Ibnu Rusyd. Pengaruh ini terlihat pada Albertus Magnus (1206-80), dan Thomas Aquinas (1266-74) serta Siger dari Brabat (1235-82). Umberto Eco menerangkan pentingnya Ibnu Rusyd dalam perkembangan pemikiran Eropa. Katanya orang yang bertanggung jawab, satu abad sebelumnya, adalah Ibnu Rusyd, berkultur Muslim dari ras Bar-bar, berkebangsaan Spanyol dan berbahasa Arab. Ibnu Rusyd lebih memahami Aristoteles dari siapapun, dan mengerti ke mana arah ilmu Aristotelian: Tuhan bukanlah manipulator yang ikut campur dalam segala sesuatu secara sembarangan.
Dia menciptakan alam dengan tata mekanis dan hukum matematisnya, yang diatur determinasi bintang-bintang. Dan karena Tuhan abadi. Falsafat mempelajari tatanan ini, dengan kata lain alam (Eco 1986:263-4)25. Dari pernyataan Eco ini terlihat bahwa yang diterima Barat dari filosof muslim adalah filsafat Yunaninya, bukan ajaran Islamnya, dan filsafat itu bagi mereka menjadi pegangan kebenaran untuk menggeser peranan gereja yang dalam realitas abad pertengahan terlalu ikut campur dalam segala sesuatu yang mengatasnamakan Tuhan, hingga sebenarnya telah terjadi manipulasi atas konsep Tuhan itu sendiri.
Maka tidak heranlah ketika para intelektual barat memperoleh kemenangan dari gereja, mereka benar-benar memanfaatkan kebebasan berfikir secara liberal, sehingga melahirkan pandangan-pandangan hidup yang beragam, seperti ateisme, sekularisme, humanisme, individualisme, kapitalisme, dan isme-isme lainnya, yan g secara keseluruhan sebenarnya merupakan wujud dari sikap menghindari norm a-norma agama yang selama ini mengikat mereka secara tidak rasional dan menjadi penghalang bagi kebebasan hidup mereka dalam berbagai aspek.
Inilah juga barangkali mereka tidak menerima Islam. Pertama karena Islam itu sendiri adalah agama, kekuatan yang selama ini menjadi penyebab terhalangnya mereka kepada kemajuan dan tertekannya hak dan kebebasan mereka, ulah gereja (kekuasaan agama), di samping Islam juga belum mereka kenal secara objektif. Islam hadir dalam kehidupan barat sebagai kekuatan yang berada pada pihak musush mereka sendiri, musuh dalam perang Salib. Dari sini kita juga berprediksi, Ibnu Rusyd lebih diterima oleh barat bukan dalam kapasitasnya sebagai penyebar pemikiran Islam, tetapi sebagai transformator pemikiran rasional Yunani di saat mereka dalam kondisi intern dibelenggu oleh pandangan agama yang dogmatis dan bertentangan dengan rasional. Atau dengan kata lain, Ibnu Rusyd dengan hantaran filsafat Yunaninya pada barat telah memberi mereka alternatis baru bagi kegelapan pemikiran barat sebelumnya.
Kemajuan barat kemudian (positif dan negatifnya) berangkat dari masa renaisansnya itu. Dan ini juga berarti bahwa tanpa adanya para filosof Islam, Eropa relative tidak mungkin bangkit dari masa kegelapan. Namun, dengan kembalinya barat pada pemikiran Yunani, seperti kata Maryam Jamila, berarti mengembalikan kehidupan mereka kepada sekularisme seperti masyarakat Yunani kuno itu sendiri. Menurut hemat kita umat Islam tidak perlu bangga dengan hasil Ibnu Rusyd di Eropa hanya karena ia filosof muslim, sebab statusnya hanyalah menolong orang Eropa yang dalam kegelapan dengan mengantar “cahaya filsafat Yunani” sebagai penerangan, dan bukan “cahaya Islam” itu sendiri.
Kita justeru berkeyakinan bahwa sumbangan dunia Islam yang besar terhadap Eropa terletak pada warisan khazanah ilmuan muslim dalam bidang-bidang eksakta yang secara keseluruhannya menjdi dasar pengembangan sains dan teknologi oleh barat. Para filosof yang sekaligus ilmuan muslim, seperti Ibnu Sina, al-Razi dan lain-lain telah menyusun dan membuat beberapa furmulasi dasar keilmuan yang menjadi azas sains dan teknologi. Tanpa adanya angka Arab saja misalnya, tidak mungkin sains di barat berkembang seperti saat ini, bagaimanapun jeniusnya Einsten, misalnya.
Fakta-fakta sejarah mengenai masalah ini telah disebutkan dalam pembicaraan transformasi. Begitu juga dengan ilmuan muslim yang lain, Jabir bin Hayyan, penemu al-jabar dan angka Ibnu al-Haitsam merupakan perintis ilmu optik, al-Razi dinyatakan sebagai perintis latsrokimia di zaman rainaisans, Ibnu sina penemu bedah dalam kedokteran dan lain-lain yang juga disebutkan sebelumnya. Masalahnya sekarang, bidang-bidang ini, setelah mereka meninggal tidak dilanjutkan oleh dunia Islam, sementara barat melanjutkannya secara akademis, ilmiah dan berkesinambungan berabad-abad lamanya, sampai lahir poenemu-penemu barat sendiri yang kemudian dianggap dan diakui oleh mereka sebagai innovator dalam bidang masing-masing. Namun fakta sejarah juga menunjukkan bahwa tidak satu orangpun dari para bapak ilmu pengetahuan barat yang lahir dan hidup pada abad pertengahan, zaman kegelapannya barat.
Padahal secara teoritis, ilmu-ilmu eksperimental tidak mungkin langsung bisa berdiri sendiri tanpa ada teori dan eksperimen-eksperimen sebelumnya. Dr. Ali Abdullah al-Difa’ mengatakan, andil umat Islam amat besar dalam ilmu-ilmu aksakta ini, kendati sebagian ahli barat menyangkalnya, namun diantara mereka ada juga yan g secara jujur mengakui , seperti Rom Londou yang menulis dalam majalah: “al-‘Alam al-‘Arabi”. Sebenarnya ilmuan Arab (muslim) dan umat Islam lebih dulu maju dalam ilmu-ilmu kealaman (eksakta) seperti kedokteran, farmasi dan kimia. Tidak seperti dakwaan barat bahwa ilmuan Arab hanya unggul (lebih dulu maju) di bidang ilmu falak, sastra dan filsafat saja.
D. PENUTUP
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa umbangan Islam terhadap pemikiran barat besar dan mendasar serta berbekas sepanjang sejarah. Pengaruh filosof dan ilmuan muslim telah merubah pola berfikir barat dari dogmatis-irrasional menjadi rasional liberal yang kemudian melahirkan isme-isme baru. Barat tidak mengenal filsafat Yunani dan juga tidak mungkin mengembangkan sains dan teknologi tanpa adanya kontribusi pemikiran dari para filosof dan ilmuan muslim. Para ilmuan barat sendiri mengakui sumbangan muslim tersebut. Kelemahan umat Islam tidak melanjutkan apa yang telah dirintis para pendahulunya, sementara orang barat melanjutkannya secara berkesinambungan.
DAFTAR PUSTAKA
Bernard Lewis, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah, terj., Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1984
Hassan Ibrahim Hassan, Tarikh al-Islam, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1979
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, terj., Jakarta: Rajawali Press, 1996
Ismail Raji al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, 1985
Jurji Zaidan, tarikh al-Tamaddun al-Islami, Beirut: Dar al-Maktabah al-Hayyah, 1967
Marshal G. Hodgson, The Venture of Islam, terj., Jakarta: Paramadina, 1999
Maurice Lombard, The Golden Age of Islam, Amsterdam, North-Holland Publishing Co., 1975
Nourouzzaman Shiddiqie, Jeram-Jeram Peradaban Islam, Yogyakarta: LKiS, 1993
S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Kebudayaan Modern, Jakarta: Giri Mukti Pusaka, 1981
Sayyed Hossein Nashr, Sains dan Peradaban Dalam Islam, terj. Bandung: Pustaka, 1986
William Montgomerry Watt, Kejayaan Islam : Kajian Kritis Dari Orientalis, terj., Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990
Selengkapnya...