Oleh : Drs. Irhash A. Shamad, M.Hum (Dosen Jur. SKI)
Menggunakan tradisi lisan sebagai sumber sejarah, pertama-tama haruslah menempatkan sumber ini sebagai "jejak" bukan kesaksian--yang tertinggal dari masa lalu. Sumber tradisi lisan adalah abstraksi dari pengalaman sosial suatu masyarakat (Geertz, 1973:20). Sebagai abstraksi, maka tradisi lisan sering tidak mempertimbangkan akurasi informasi yang disampaikan, tetapi lebih pada pesan yang harus disampaikan. Kemampuan sejarawan dalam menangkap informasi yang tidak langsung dari tradisi lisan sebagai jejak masa lalu itu, tidak mustahil bisa menghasilkan suatu kesaksian dari fenomena sosial di mana tradisi itu dituturkan dan bukan dari substansi kisah yang diceritakan.
Dalam masyarakat tradisional, lazimnya tidak dikenal tradisi pencatatan tertulis. Pada umumnya sistem komunikasi dan pewarisan nilai antar generasi berlangsung secara oral. Bahkan di kalangan masyarakat tradisional yang sudah mengenal tulisanpun masih saja kurang memiliki kesadaran akan pentingnya pencatatan tertulis terhadap peristiwa yang mereka alami. Di Indonesia, banyak suku-suku bangsa yang tidak memiliki pencatatan tertulis, akibat lemahnya kesadaran sejarah (zijn voor geschiedenis) dan kesadaran waktu (zijn voor tijd) di kalangan mereka, sehingga hal ini secara umum telah menjadi kendala dalam pengungkapan sejarah masyarakat itu sendiri.
Salah satu kemungkinan yang dapat dilakukan untuk penelusuran sejarah masyarakat tradisional itu ialah dengan memanfaatkansumber-sumber lisan berupa tradisi lisan yang banyak terdapat di kalangan masyarakat itu. Namun, untuk menjadikan tradisi lisan sebagai sumber, tentunya memerlukan metodologi dan keahlian khusus, terutama dalam menangkap informasi-informasi kesejarahan yang tersirat dalam tradisi tersebut. Dalam kaitan ini,seyogianya harus disadari pula bahwa dalam hampir semua tradisi lisan, khususnya yang terdapat di Indonesia, secara eksplisit, tidak memiliki informasi-informasi kesejarahan yang akurat, karena disamping kandungan isinya yang tercampur mitos, juga sering anakronis. Oleh karena itu sumber-sumber seperti ini tidak dapat secara langsung digunakan.
Dalam Tulisan ini, akan dikemukakan salahsatu bentuk tradisi lisan yang terdapat di kalangan masyarakat Minangkabau Sumatera Barat, yaitu : Tambo. Tambo adalah salah satu bentuk ekspressi atas kesadaran masyarakat Minangkabau terhadap masa lalu mereka. Tambo berisikan tentang seluk beluk kebudayaan dan adat serta asal usul masyarakat Minangkabau. Dalam Tambo terkandung "narasi-narasi kesejarahan" yang ditujukan untuk berbagai kepentingan sebagai ekspressi atas kondisi sosial pada waktu dimana Tambo itu dibuat. Pengisahannya tidak berbeda dengan tradisi-tradisi lisan lainnya, terutama kandungan cerita yang sukar dipertanggung jawabkan kebenarannya, karena sering bercampur dengan hal-hal yang tidak empiris. Kisah-kisah yang dipaparkan pada umumnya tidak terlalu menghiraukan kebenaran apa yang disampaikan serta sering tidak kronologis (anakronis).
Tambo sebagai Tradisi Tuturan (Folklore)
Pada awalnya substansi Tambo dituturkan secara oral, dikabakan (dikhabarkan)dan didendangkan, karena itu tradisi ini oleh masyarakat disebut dengan "Bakaba". Tidak diketahui secara jelas,kapan tradisi bakaba dimulai oleh masyarakat Minangkabau. Namun dari istilah "Tambo", yang diperkirakan berasal dari bahasa Sanskerta "Tambay" atau "Tambe" yang berarti bermula (Navis, 1984:45), maka diperkirakan tradisi ini sudah ada semenjak zaman Hindu atau Budha.
Setelah masuknya agama Islam ke Minangkabau dan memperkenalkan tradisi menulis, maka Tambo kemudian mengalami perobahan transmisi dari bentuk oral ke bentuk tertulis. Tambo-Tambo yang semula dikabakan, ditulis ke dalam tulisan Arab Melayu. Sejalan dengan perobahan bentuk ini, substansinyapun mengalami perobahan dan masuknya wacana-wacana keislaman ke dalam narasinya.
Tambo-Tambo yang dalam bentuk tertulis ini dijumpai di beberapa daerah Minangkabau, terutama yang ditulis antara abad ke-17 dan abad ke-19. Hampir semua Tambo yang ditemukan itu memiliki kesamaan, baik bentuk, isi, maupun plot ceritanya. Perbedaan yang lazim terlihat antara Tambo satu daerah dengan Tambo daerah lainnya adalah dalam penggunaan istilah dan idiom yang digunakan yang disesuaikan dengan istilah atau idiom yang digunakan oleh lingkungan sosial penulisnya. Dengan persamaan-persamaan yang disebutkan,menjadikan Tambo tertulis dapat dianggap sebagai tradisi tuturan (folklore) dan setidaknya dari kandungan isinya memperlihatkan ciri tradisi lisan yang merupakan hasil kegiatan berbahasa, disusun dalam bentuk frasa, kalimat atau wacana, dan digunakan secara umum oleh masyarakat dari generasi kegenerasi ( cf. Yus Rusyana,1982/83:29). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penulisan Tambo, --yang bagi masyarakat Minangkabau merupakan penerusan dan pewarisan nilai antar generasi--, disamping merupakan bentuk pewarisan nilai-nilai serta miliki informasi kesejarahan, juga adalah merupakan gambaran dari kesadaran masyarakat dalam priode mana tambo itu dihasilkan. Seberapa banyak informasi yang dapat diambil dari Tambo sebagai sumber sejarah masyarakat, tentunya sangat bergantung dari cara bagaimana kita melihat tradisi ini sebagai sebuah kesaksian sejarah dan seberapa akurat interpretasi yang dapat dilakukan terhadap Tambo itu sendiri.
Secara garis besar, Tambo terbagi ke dalamdua jenis, yaitu : Tambo Alam dan Tambo Adat. Tambo alam biasanya mengandung kisah asal-usul nenek moyang masyarakat Minangkabau. Sedangkan Tambo Adat lebih banyak memuat tentang adat atau sistem dan aturan pemerintahan (Navis,1984:45). Akan tetapi kebanyakanTambo yang dijumpai dalam bentuk tertulis, menggabungkan kedua jenis ini. Tambo itu diawali dengan kisah asal usul keturunan masyarakat Minangkabau dan dilanjutkan dengan kisah bagaimana adat dan aturannya dibuat dan sekaligus membicarakan tentang adat itu sendiri. Semuanya terjalin dalam suatu struktur yang tidak konsisten.
Substansi Tambo terdiri dari beberapa pokok, yaitu a.l.:
1. Kisah
Kandungan kisah/cerita tentang asal usul masyarakat Minangkabau dalam Tambo, pada umumnya mempunyai alur cerita yang sama. Nenek moyang masyarakat Minangkabau diakarkan kepada tiga orang anak raja Iskandar Zulkarnaini (Alexander TheGreat), yaitu : Maharaja Alif, Maharaja Dipang dan Maharaja Diraja.Maharaja Alif, putera tertua (Maharaja Alif) menjadi raja di Benua Ruhun[1], putera kedua (Maharaja Dipang) menjadi raja di negeri Cina, sedangkan Maharaja Diraja, putera bungsunya berlayar ke selatan dan pada akhirnya mendirikan kerajaan di lereng gunung Merapi (kerajaan Minangkabau). Perjalanan ke selatan dan hal ihwal pembentukan kerajaan itu adalah setting utama dari penguraian kisah yang terdapat pada Tambo.
Maharaja Diraja melakukan pelayaran kearah selatan dengan diiringi oleh istri-istrinya dan disertai juga oleh Cati Bilang Pandai. Selain itu ikut pula dalam rombongan ini beberapa orang perempuan, antara lain : Harimau Campa, Kucing Siam, Kambing Hutan danAnjing Muallim[2]. Setelah melakukan pelayaran beberapa waktu, akhirnya sampailah di suatu tempat yang bernama Lagundi nan Baselo dan seterusnya sampai ke gunung Merapi yang pada mulanya sebesar telur. Setelah gunung menyentak naik dan laut menyentak turun dibangunlah sebuah nagari yang diberi nama Pariangan. Dan lama kelamaan berkembanglah wilayah lereng gunung ini seiring dengan perkembangan penduduknya. Dari sinilah berkembangnya nagari-nagari di Minangkabau.
2. Adat Istiadat
Paparan tentang asal usul adat Minangkabau dikemukakan seiring dengan kisah perjalanan Maharaja Diraja ini juga dikemukakan dasar-dasar adat serta sistem matrilinial telah diletakkan di masanya. Namun pada generasi berikutnya, terutama setelah meninggalnya Maharaja Diraja, barulah adat itu disusun sedemikian rupa. Di Minangkabau hingga saat ini dikenal dua kelarasan, yaitu Laras Koto Piliang dan Laras Bodi Caniago. Laras Koto Piliang yang cendrung bersifat otokratis digagaskan oleh Datuk Katumanggungan, putera Maharaja Diraja. Sedangkan LarasBodi Caniago bersifat demokrasi dan digagaskan oleh Datuk Parpatih nan Sabatang, putera Cati Bilang Pandai.
3. Hukum dan Ajaran Moral
Disamping kisah asal usul masyarakat Minangkabau serta adat istiadat, dalam Tambo juga terdapat bagian-bagian yang mengemukakan tentang hukum serta ajaran-ajaran moral. Pada Tambo yang telah ditulis (setelah masa Islam), pemaparan tentang hukum serta ajaran moral itu selalu dikaitkan dengan hukum Islam serta ajaran-ajaran moral yang terdapat dalam al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Penguraian ini selalu dikaitkan dengan adat Istiadat yang dikembangkan oleh peletak dasar adat Minangkabau. Pada bahagian ini terlihat dengan jelas bagaimana posisi agama dalam adat Minangkabau, seperti pepatah : Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah Adat berdasarkan Syari?at dan Syari?at berdasarkan Al-Qur an).
Seperti juga tradisi-tradisi yang terdapat pada daerah lainnya, Tambo, disamping tidak memiliki kesadaran waktu (kronologi), penamaan tempat juga sering hanya berdasarkan keadaan yang ditemukan pada saat itu. Kenyataan ini sering menimbulkan kekeliruan, terutama dalam mengidentifikasi wilayahnya pada saat ini. Meskipun untuk sebahagian memang masih tetap memakai nama itu hingga saat ini.
Sebagai sebuah Mitos, --bahkan dalam Tambo yang sudah ditulispun--, dalam penyajiannya sering mengaitkan setiap kisahnya dengan alam adikodrati serta faktor-faktor emosional penulisnya sendiri, sehingga tidak heran kalau dalam pengisahannya juga terdapat hal-hal yang sukar diterima secara akal sehat dan bahkan sering sangat subyektif. Kenyataan ini biasa ditemukan dalam pengisahan-pengisahan tradisional lainnya, di mana proses emosional dalam narasinya lebih banyak diwarnai oleh kepercayaan umum. Dalam Tambo yang ditulis setelah Islam, keterkaitan ini sudah barang tentu kepada ajaran agama Islam. Banyak sekali ditemukan wacana-wacana keislaman yang malah kadang-kadang berbaur dengan sisa-sisa kepercayaan lama (Hindu/Budha).
Menjadikan Tambo sebagai sumber bagi penulisan sejarah masyarakat Minangkabau, setidaknya dituntut beberapa hal, yaitu : (a) memandang Tambo sebagai salah satu bentuk tradisi tinggalan dari suatu ekspressi kultural kehidupan masyarakat pada suatu waktu tertentu, yang dengan itu (b) untuk menggali informasi kesejarahan yang terdapat di dalamnya diperlukan kekuatan interpretasi, terutama dalam menangkap fenomena sosial sesuai dengan aspek jiwa zaman (zeitgeist) yang melatar belakangi lahirnya Tambo itu sendiri, dan (c) melakukan berbagai analisa perbandingan dengan sumber-sumber tinggalan dan sumber-sumber tertulis lainnya secara cross-sectional, seperti tradisi-tradisi kesenian yang sezaman, kesaksian-kesaksian dan pencatatan sumber-sumber asing yang relevan,tentunya sejauh sumber itu relevan serta mendukung interpretasi tersebut.
Selengkapnya...