Oleh : Khilal Syauqi, Lc., MA (Dosen Jur. SKI FIB-Adab IAIN Padang)
Tulisan ini membahas tentang keadaan sosial dan keagamaan masyarakat di Mesir setelah kehadiran para Mamluk dan menjadi penguasa di sana. Para Mamluk ketika menjadi penguasa secara tidak langsung telah menciptakan satu komunitas baru di Mesir yang memiliki budaya dan kebiasaan yang berbeda dari masyarakat lainnya. Praktik-praktik keagamaan juga memiliki corak baru di Mesir pada masa pemerintahan Mamluk ini. Para mamluk yang hanya mendapatkan pendidikan agama setalah mereka di bawa ke Mesir ternyata mampu memberikan contoh sikap toleran dalam keberagaman paham-paham/mazhab-mazhab yang sedang berkembang, sehingga terwujudlah suatu kerukunan keber agama-an di Mesir yang terus berlangsung sampai saat ini. A. PENDAHULUAN Sejak kedatangan Islam yang dibawa oleh orang-orang Arab Islam ke Mesir, nyaris masyarakatnya tidak ada yang pernah memimpin negeri ini. Warna kehidupan masyarakat Mesir ini selalu berubah-ubah sesuai dengan warna penguasa. Bisa dipastikan perubahan kehidupan di Mesir secara masif terjadi ketika kota ini dijadikan salah satu kota terpenting dalam setiap periode pemerintahan Islam. Salah satu budaya yang masuk dan berpengaruh besar terhadap perkembangan masyarakat Mesir adalah budaya Arab, bangsa Mesir yang pada awalnya bukanlah sebuah komutis Arab, setelah masuknya Bangsa Arab Islam ke negeri ini, menjadi salah satu kota di Benua Afrika yang menerapkan dan menjalankan tradisi sesuai dengan budaya Arab pendatang tersebut dan nyaris budaya lokal “fir’auniah” di Mesir menjadi redup dengan datangnya budaya Arab Islam itu. Kebudayaan lain yang juga berpengaruh di Mesir adalah kebudayaan bangsa Turki, bangsa Persia dan bangsa-bangsa di Asia Tengah lainnya yang pernah berperan sebagai orang-orang yang berpengaruh dalam pemerintahan Islam, terutama pasa saat kekha-lifahan dinasti Abbasiah. Masuknya unsur-unsur baru ini tentu membawa pengaruh kepada seluruh aspek kehidupan yang ada di Mesir pada kurun waktu berikutnya. Keberadaan Dinasti Mamluk sebagai penguasa di Mesir pasca runtuhnya kekuasaan Dinasti Ayyubiah memberikan warna baru dalam segala sendi kehidupan di Mesir. Di antara yang menarik untuk dicermati terhadap warna baru yang muncul itu adalah hal tentang kehidupan sosial kemasyarakatan dan kehidupan keberagamaan yang berlangsung. Dalam sejarah perkembangan Islam klasik baru kali ini terjadi kelompok orang-orang yang awalnya berasal dari para budak ternyata mampu menjadi komunitas masyarakat terhormat di sebuah wilayah yang juga bukan merupakan wilayah asal mereka. Keberagaman paham keagamaan di Mesir selama era Mamluk ini juga menjadi menarik diperhartikan, ternyata aspek keagamaan di Mesir selama masa pemerintahan Mamluk dapat dikendalikan dengan baik dalam keaneka ragaman mazhab keagamaan yang muncul pada masa itu. Oleh karena itu dalam tulisan ini penulis ingin sekali mengungkapkan bagaimana kondisi kehidupan sosial kemasyara-katan dan keberagamaan di Mesir pada masa pemerintahan Mamluk. B. KEHIDUPAN SOSIAL DI MESIR ERA PEMERINTAHAN MAMLUK Para Mamluk berasal dari berbagai unsur masayarakat yang berada jauh dari Mesir. Seperti unsur Turki, Syirkasiah, Yunani dan lain sebagainya. Mereka dijual di pasar-pasar budak dan pada akhirnya dibeli oleh para Sultan penguasa Dinasti Ayyubiyah kemudian dijadikan tentara pilihan. Di antara para mamluk tersebut ada yang ditempatkan pada posisi penting dalam kemiliteran, sehingga atas usaha merekalah akhirnya para mamluk dapat mengambil alih kursi pemerintahan di Mesir dari tangan keturunan-keturunan Bani Ayyub. Walaupun pada awalnya para Mamluk merupakan budak-budak yang di perjual-belikan di pasar-pasar budak, tetapi setelah mereka didudukkan pada posisi-posisi penting dalam kemiliteran dan pemerintahan, para Mamluk merasa sangat terhormat dengan panggilan “mamluk” atas diri mereka. Sebagaimana yang dituangkan Ahmad Syalabi dalam Mausu’ahnya : "والعجيب أن المماليك كانوا يعتزون بهذه التسمية ولا يرضون عنها بديلا و يرون فيها مجدهم " Artinya : Dan sangat mengherankan bahwa para Mamluk mereka bangga dengan penamaan ini (mamluk yang artinya budak) dan tidak rela mengganti sebutan itu dengan sebutan yang lain bahkan mereka memandang dengan sebutan Mamluk itulah tanda kebesaran mereka” Para Mamluk menjadi sebuah komunitas baru di Mesir dengan berbagai ciri khas yang membedakan mereka dengan masyarakat Mesir pada umumnya. Dalam pergaulan sehari-hari mereka terkesan sangat ekslusif, tidak menikah dengan rakyat Mesir walaupun di antara mereka ada yang mampu berbahasa Arab. Secara umum masyarakat Mesir pada masa pemerintahan Mamluk dibagi menjadi dua lapisan : pertama, para penguasa. Tuan-tuan yang sebelumnya, mereka adalah para budak. Sedangkan lapisan kedua adalah lapisan masyarakat umum. Mereka terdiri dari petani yang hidup di pedesaan, buruh, dan pedagang yang hidup di daerah perkotaan. terutama di Mesir dan Kota Kairo. Lapisan para penguasa didominasi oleh para Mamluk mulai dari jabatan Sultan sampai jabatan Amir terendah. Walaupun dalam lapisan para penguasa ini ada juga unsur khalifah yang bukan dari kalangan mamluk. Sebenarnya cukup menakjubkan jika dibandingkan dengan sistem sebuah negara sekarang ini, sulit sekali ditemukan penguasa atau pemerintah suatu negara yang bukan termasuk dari komunitas bangsa itu. Seperti Negara Indonesia, yang menjadi penguasa atau pemerintah di sana adalah orang-orang yang masih termasuk dalam unsur bangsa itu. Sedangkan di Mesir pada masa Mamluk, rakyat Mesir tidak dipimpin oleh unsur bangsa tersebut, walaupun faktanya memang sejak masuk Islam ke Mesir sampai pada pemerintahan Mamluk belum pernah yang memerintah di sana orang yang berasal dari wilayah Mesir ini. Lain halnya dengan para mamluk yang sama sekali tidak ada ikatan apapun sebelumnya dengan bangsa Mesir justru dari kelompok asing inilah yang menjadi golongan penguasa. Fungsi dari golongan penguasa adalah menjalankan pemerintahan dan mereka memiliki segala bentuk hak dan keistimewaan, terutama yang berkaitan dengan tanah feodal. Sistem feodal yang diterapkan golongan Mamluk ini berbeda dengan yang di terapkan di Eropa pada abad pertengahan. Golongan Mamluk yang dinyatakan berhak atas tanah atau perkebunan tertentu hanya dapat menikmatinya selama masih dalam dinas kemiliteran sedangkan para Mamluk yang tidak berada lagi dalam jajaran kemiliteran, tidak diberi hak guna tanah ataupun mewariskannya kepada putra-putrinya. Berbeda dengan kebudayaan Eropa sIstem feodal berlaku turun temurun dan generasi-generasi yuniornya dapat meraih jabatan penting atau bahkan dapat mencapai posisi yang tertinggi sekalipun. Salah satu keuntungan diterapkannya sistem feodal ini di Mesir adalah mendorong para amir (tuan tanah) membuat saluran-saluran air atau danau buatan, jembatan-jembatan, dan fasilitas-fasilitas pertanian lainnya yang bermanfaat untuk meningkatkan jumlah hasil pertanian, sehingga pertanian di Mesir mengalami masa kebangkitan dan kemajuan. Mamluk menjadi komunitas baru di Mesir setelah para Sultan Ayyubiyah membeli mereka dalam jumlah yang cukup banyak. Padahal pada masa pemerintahan Fatimiyah komunitas Mamluk ini bisa dikatakan belum tampak peranan mereka karena pada awalnya keberadaan mamluk hanya sebatas untuk memberikan pelayanan dan pengamanan kepada tuan-tuan yang membeli mereka. Sedangkan lapisan masyarakat awam adalah golongan yang didominasi oleh petani, kelompok masyarakat ini merupakan golongan yang dianggap memiliki status sosial paling rendah. Faktor yang menyebabkan mereka dianggap paling rendah adalah karena keberadaan mereka di pedesaan yang jauh tertinggal dengan masyarakat yang tinggal di perkotaan. Kemudian mereka adalah lapisan yang paling menderita dan terkesan dirugikan dengan sistem feodal yang diterapkan pada masa pemerintah Mamluk. Golongan ini dilecehkan oleh para Mamluk, sehingga pemakaian kata fallah yang artinya petani mempunyai konotasi lain yaitu seorang yang lemah tanpa daya. Oleh para amir Mamluk mereka dibebani pajak yang berlipat dan diterapkan bagi mereka sistem pajak yang dipikul bersama sebagai warga suatu desa. Kondisi seperti ini tidak selamanya dialami oleh para petani tersebut, pada masa pemerintahan sultan al-Nasir Muhammad bin Qalawun pajak yang memberatkan masyarakat awam tersebut dihapuskan. Lapisan masyarakat berikutnya adalah golongan pedagang. Golongan ini adalah orang-orang yang dekat dengan sultan mamluk karena merekalah yang memberikan bantuan keuangan apabila dibutuhkan. Di masa kesultanan mamluk para pedagang dan saudagar menikmati kehidupan yang mewah, mengingat Mesir menjadi pusat perdagangan dunia belahan Timur dan Barat, namun demikian, para sultan menetapkan pajak pndapatan yang tinggi bagi mereka. Lapisan masyarakat lainnya adalah golongan terpelajar yang terdiri atas para pegawai administrasi sipil kesultanan, fukaha, ulama, sastrawan, dan penulis-penulis. Golongan terpelajar ini memainkan peranan politik, sosial, dan budaya. Mereka pada umumnya berada di dalam jajaran pemerintahan sebagai eksekutif dan yudikatif. Golongan terpelajar ini senantiasa selama pemerintahan kaum Mamluk mendapatkan perlakuan istimewa, walaupun terkadang mereka juga tidak luput dari hinaan golongan penguasa. Mereka manjadi pihak penghubung antara lapisan penguasa dengan lapisan masyarakat, karena fungsi mereka menjadi pegawai administrasi pemerintahan yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Begitu juga para ulama, mereka menjadi golongan penghubung antara penguasa dengan masyarakat, ketergantungan penguasa dengan para ulama sangat tinggi pada masa Mamluk ini. Banyak sultan mendekati ulama karena merasa asing dari rakyat. Ulama disegani oleh rakyat dan mereka sanggup memobilisasi rakyat guna menyuarakan kepentingan Mamluk. Sultan mamluk selalu meminta fatwa dari golongan alim-ulama ketika hendak membuat peraturan baru, seperti mengenai kebijaksanaan pemungutan pajak lebih untuk membiayai Angkatan Perang. Dalam perjalanan sosial kemasyarakatan Dinasti Mamluk selama lebih kurang tiga Abad ini, lahir pula generasi baru Mamluk. Mereka adalah generasi yang dilahirkan dari bapak seorang Mamluk dan ibu seorang wanita Mesir, ataupun bapaknya berasal dari seorang Amir mamluk lalu menikahi seorang wanita pendatang (mamlukah). Golongan ini dikenal dengan sebutan “aulad an-nas”. Menurut penu-lis, kenyataan ini membuktikan telah terjadi kemajuan dalam bidang sosial kemasyarakatan di Mesir, karena antara kelompok Mamluk dengan masyarakat Mesir sudah mulai saling membuka diri sehingga melahirkan generasi kedua Mamluk. Para aulad an-nas ini dalam perkembangannya termasuk ke dalam golongan terpelajar, mereka umumnya berprofesi sebagai administrator dan jarang di antara mereka yang menjadi anggota militer. Derajat mereka lebih rendah dibandingkan dengan derajat para Mamluk yang sebenarnya. Karena kondisi Mamluk generasi pertama ini yang keseharian mereka sibuk dengan dunia mereka bersama para mamluk (pekerja), demi memperkuat posisinya sebagai amir, maka kesempatan bagi mereka untuk berkumpul bersama keluarga, anak dan isteri sangat jarang sekali. Mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk mendidik anak-anak mereka, oleh sebab itu anak-anak tersebut tumbuh dan berkembang di tengah-tengah didikan para ibu mereka yang jauh dari kehidupan para bapak mereka. Kondisi seperti ini, menjadi peluang bagi para aulad an-nas untuk lebih memfokuskan diri pada bidang keilmuwan, apalagi setiap amir biasanya selalu mendatangkan para ulama ke kediaman mereka untuk mengajarkan anak-anak mereka. Banyak di antara para aulad an-nas ini yang memberikan kontribusi dalam bidang ilmu pengetahuan. Muncul para ahli sejarah yang berpengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat Mesir kala itu, dari kalangan para aulad an-nas ini. Lapisan masyarakat selanjutnya adalah golongan keturunan Tartar (mongol). Di awal pemerintahan Mamluk muncul sekelompok orang dari Bangsa Tartar yang melarikan diri ke Mesir akibat tidak kuasa hidup di bawah kezaliman penguasa mereka. Golongan ini telah memeluk Agama Islam dan berprilaku sesuai ajaran Islam. Para Sultan Mamluk sangat menerima kehadiran mereka di Mesir, terutama Sultan Baybars. Keberadaan mereka dimanfaatkan oleh sultan Baybars dalam pemerintahannya, mengingat kelompok ini sangat terkenal dengan sifat keberanian yang mereka miliki. Lapisan masyarakat Tartar ini ditempatkan di distrik Husainiyah dekat mesjid al-Azhar. Walaupun terdapat beberapa lapisan dan tingkatan masyarakat di Mesir selama pemerintahan Dinasti Mamluk, namun tidak pernah tercipta kondisi yang menuntut suatu golongan tertentu harus selamanya berada pada posisi sosialnya. Status sosial dalam masyarakat Mesir tersebut bisa saja berubah sesuai dengan jalan hidup yang dipilihnya. Maraknya kegiatan ilmu pada masa pemerintahan Mamluk di seluruh antero Mesir, telah mendorong berubahnya status sosial di tengah-tengah masyarakat Mesir. Para ulama yang menjadi sandaran para Sultan pada awalnya adalah golongan lapisan masyarakat biasa, tetapi karena keahliannya dalam bidang ilmu pada masa berikutnya, mereka menjadi terhormat bahkan diperlakukan secara istimewa oleh Sultan Mamluk. Menurut penulis, telah terjadi kemajuan dalam bidang sosial masyarakat di Mesir pada masa pemerintahan Dinasti Mamluk. Maraknya kegiatan keilmuwan pada masa itu telah membawa perubahan besar terhadap cara berfikir masyarakat Mesir, baik dari kalangan penguasa ataupun dari kalangan masyarakat biasa. Hal ini bisa penulis contohkan dengan tingginya semangat para Sultan Mamluk untuk mendirikan pusat-pusat pendidikan, mengundang para ulama dan ilmuwam datang ke Istana untuk melakukan diskusi ilmiyah, bahkan tidak jarang di antara para Sultan itu yang menjadi pemateri dalam diskusi ilmiyah tersebut, hal ini telah penulis paparkan. Begitu juga perhatian para Amir Mamluk dalam mendidik anak-anak mereka, karena tingginya rasa tanggung-jawab mereka terhadap masa depan anak-anak mereka, diutus pulalah para ulama untuk memberikan pelajaran yang bermanfaat kepada anak-anak tersebut. Ini semua merupakan indikasi terhadap kemajuan cara berfikir para mamluk saat itu. Dari lapisan masyarakat bawah juga terdapat adanya indikasi yang mendorong terhadap kemajuan masyarakat Mesir. maraknya pembangunan infrastruktur pada masa pemerintahan Mamluk kala itu, membantu memudahkan masyarakat untuk melakukan kegiatan keseharian mereka dalam pemenuhan kebutuhan. Jalan-jalan dan jembatan penghubung yang dibangun pada masa itu mendorong masyarakat pedesaan untuk mencari kehidupan yang lebih mapan di daerah perkotaan, sehingga tidak jarang pula terjadi perubahan status sosial pada masyarakat pedesaan tersebut ketika sampai di kota. Pemikiran untuk datang ke kota dalam rangka merubah nasib dalam kehidupan, menurut hemat penulis sudah mengindikasikan sebuah kemajuan dalam kehidupan sosial masyarakat. Kehidupan para Sultan yang sudah mulai menyenangi bidang keilmuan dan adanya keinginan masyarakat pedesaan untuk pindak ke kota mencerminkan suatu bukti bahwa mereka menginginkan suatu perubahan yang lebih baik dalam hidup mereka dari masa-masa sebelumnya. Dalam teori perubahan sosial dan kebudayaan, di antara sebab yang melatari terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat adalah : 1)karena adanya sesuatu yang dianggap sudah tidak lagi memuaskan. Mungkin saja karena ada faktor baru yang lebih memuaskan masyarakat sebagai pengganti yang lama itu; 2) mungkin juga masyarakat mengadakan perubahan karena terpaksa demi untuk menyesuaikan suatu faktor dengan faktor-faktor lain yang sudah mengalami perubahan terlebih dahulu. Kemajuan sosial dalam masyarakat Mesir pada masa pemerintaha Mamluk juga dapat dilihat dari betapa banyaknya profesi yang muncul di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat demi menopang pemenuhan kebutuhan masyarakatnya. Begitu juga halnya dengan kerukunan yang terjadi antara lapisan masyarakat di Mesir. Sebagaimana telah penulis uraikan dalam hal ini, bahwa di Mesir terdapat banyak sekali unsur masyarakat yang masing-masingnya berbeda karakter. Penduduk asli Mesir tetap mau menerima orang asing yang datang dan menetap di sana, terutama bagi masyarakat yang hidup di pusat-pusat kota seperti Kota Kairo dan Iskandariyah. Contonya bangsa Tartar yang melarikan diri ke Mesir, mereka diberi tempat dan diperlakukan secara baik oleh rakyat Mesir. Hal ini tentu menjadi bukti bahwa cara berfikir masyarakat waktu itu sudah maju. C. KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI MESIR ERA MAMLUK Dari segi pemahaman agama, masyarakat Mesir bisa dikelompokkan menjadi kelompok masyarakat yang menganut paham Sunni dan kelompok masyarakat yang menganut paham Syi’ah. Paham Sunni adalah salah satu mazhab atau golongan (firqah) di dalam Islam, mempunyai pengikut paling banyak dibanding dengan mazhab-mazhab yang lain. Paham sunni berdasar pada sunah (tradisi) Nabi Muhammad SAW, di samping al-Quran. Kelompok ini biasa juga disebut Ahlussunah waljamaah. Ahlussunah berarti orang-orang yang menganut atau mengikuti sunah, dan waljamaah berarti mayoritas umat. Penggunaan ahlusunah waljamaah semakin populer setelah munculnya Abu Hasan al-Asy’ari (260-324 H/ 873-935 M) dan Abu Mansur al-Maturidi (w.944), yang melahirkan aliran Asy’ariyah dan Maturidiah di bidang teologi. Sedangkan Syi’ah ialah pengikut suatu aliran, yang mencintai keturunan Nabi Muhammad dan mentaati pemimpin-pemimpin yang diangkat dari pada keluarganya dan keturunannya. Para sejarawan berbeda pendapat mengenai kelahiran kelompok Syi’ah. Sebahagian mengatakan bahwa Syi’ah lahir sesaat setelah Nabi Muhammad SAW berpulang ke rahmatullah, tepatnya ketika terjadi perebutan kekuasaan antara kaum Muhajirin dan Ansar di balai pertemuan Saqifah Bani Sa’idah, akan tetapi sejarawan yang lain berpendapat bahwa Syi’ah lahir pada masa Kekhalifahan Utsman bin Affan berakhir (35 H/ 656 M), atau pada awal keimaman Ali bin Abi Thalib. Pendapat lain lagi menyatakan bahwa Syi’ah lahir bersamaan dengan Khawarij, yakni setelah kekalahan diplomatik Ali dari Muawiyyah. Antara paham Suni dan paham Syi’ah terdapat perbedaan, baik dalam bidang kepemerintahan maupun dalam bidang keagamaan. Dalam bidang politik, kaum Syi’ah sangat memperhatikan masalah masalah kenegaraan, khususnya jabatan kepala Negara (imamah). Dalam pandangan Syi’ah imamah merupakan salah satu unsur penting rangkaian rukun iman dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari akidah Islam yang paling mendasar. Sebahagian kaum Syi’ah percaya bahwa Ali tidak sekedar menerima wasiat keimaman untuk dirinya, tetapi juga untuk keturunannya, oleh sebab itu sepeninggal Ali, yang berhak menduduki keimaman adalah anak turunan Ali sampai sejauh ke bawah. Inilah yang telah memotivasi kaum Syi’ah berusaha merebut kekuasaan dari dinasti-dinasti lain dalam wilayah hukum muslim, seperti Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Perjuangan panjang kaum Syi’ah, meski penuh tantangan, di beberapa tempat telah membuahkan hasil yang gemilang. Di Maroko misalnya kaum Syi’ah di bawah pimpinan Idris bin Abdullah telah dapat mendirikan kerajaan Idrisiyah (789- 974), dengan menjadikan Fez sebagai ibu kotanya. Di Mesir kaum Syi’ah juga berhasil mendirikan kerajaan Fatimiyah yang amat terkenal. Dalam bidang politik, Ahlusunah atau aliran Suni sebagai imbangan aliran Syi’ah dan Khawarij , bersikap moderat. Kaum Ahlusunah waljamaah mengakui keabsahan al-Khulafa al-Rasyidin, yakni Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Oleh sebab itu segenap kaum muslim harus patuh pada perintah para khalifah tersebut. Tidak hanya sampai di situ, tetapi mereka juga mengakui keabsahan para Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, kendati kedua dinasti itu tidak lagi menerapkan sistim demokrasi. Selama pemerintahan Daulah Fatimiyyah di Mesir, para pemimpinnya selalu menyebarkan paham-paham Syi’ah kepada masyarakat umum di Mesir yang berbeda dengan paham Sunni. Di antaranya adalah : 1) Melarang menggunakan pakaian hitam yang merupakan syiar dari pemerintahan Sunni. Memerintahkan untuk memakai pakaian serba hijau sebagai simbol dari Ahli al-Bait; 2) Menambah kalimat dalam azan dengan kata “Hayya ‘ala Khairil Amal” artinya marilah bersegera kepada amalan yang baik; 3) Menambahkan dalam Khutbah Jumat kalimat shalawat kepada Ali, Fatimah, Hasan dan Husain, para imam-imam al-Rasyidin sebagai Bapak pemimpin orang-orang Mukmin. Bagi penganut Syi’ah terdapat perayaan-perayaan hari lahir bagi beberapa tokoh yang mereka agungkan seperti hari lahir Nabi Muhammad SAW, hari lahir Ali r.a, hari lahir Fatimah, hari lahir Hasan, hari lahir Husain, dan hari lahir khalifah Fatimiyah. Mereka juga merayakan hari ‘Asyura dan perayaan pada momen-momen tertentu. Ketika Dinasti Mamluk memerintah di Mesir di antara tugas pokok dari para Sultan adalah bagaimana meluruskan pemahaman masyarakat Mesir khususnya dari pemikiran-pemikiran dan pemahaman- pemahaman menyimpang kelompok Syi’ah, yang sangat berkembang selama pemerintahan Fatimiyah di Mesir. Tugas ini bersifat melanjutkan yang telah dirintis oleh sultan Dinasti Ayyubiyah. Berkat usaha yang serius dari sultan Mamluk, akhirnya jumlah masya-rakat yang sebelumnya menganut paham Syi’ah mulai berkurang, dengan arti bahwa dominasi paham Syi’ah di tengah-tengah masyara-kat Mesir mulai berkurang dan digantikan dengan dominasi pengikut paham Sunni yang juga merupakan paham para Sultan Mamluk. Salah satu cara yang paling ampuh digunakan untuk menghilangkan pengaruh syi’ah di tengah-tengah masyarakat Mesir adalah melalui bidang pendidikan di sekolah-sekolah dan dakwah di masjid-masjid, terutama di daerah yang subur berkembangnya paham Syi’ah ini. Qadi Baha’ al-Din al-Qafthi wafat 697H/1297M adalah salah seorang ulama yang berjasa memberantas paham Syi’ah di wilayah Isna dengan menyebarkan paham Sunni dan dengan menulis buku “al-Nasaih al-Muftaridhah fi al-Fadhaih al-Rafidhah” sebagai gugatan terhadap paham Syi’ah. Pada masa Pemerintahan Sultan al-Zahir Baybars terjadi perubahan penting dalam sistim peradilan yang sebelumnya sudah ada di Mesir semenjak masa Dinasti Ayyubiah. Di masa al-Zahir Baybars pada tahun 665H/1267M terbentuk sistim peradilan yang menggabungkan empat mazhab besar yang masing-masing diketuai oleh hakim agungnya sendiri. Hakim agung mazhab Syafi’i mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari yang lain karena ia diserahi tanggung jawab yang lebih besar, yakni untuk mengawasi penyantunan terhadap yatim piatu, perwakafan, dan menangani masalah-masalah baitul mal, di samping menangani urusan yurisdiksi. Sementara hakim agung yang lain mengurusi peradilan dan fatwa-fatwa bagi rakyat yang bermazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Pada awalnya fatwa-fatwa yang diakui hanyalah fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh kadi mazhab Syafi’i, namun setelah adanya kebijakaan multihakim, fatwa-fatwa dapat dikeluarkan oleh tiga kadi dari tiga mazhab lainnya. Kebijakan yang dilakukan pemerintahan Mamluk dalam bidang peradilan ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemahaman Agama bagi rakyat Mesir. Masyarakat Mesir hidup damai dalam keberagaman pemahaman dalam bidang agama. Rasa saling mengerti dan mamahami dalam perbedaan pandangan agama sudah dicontohkan oleh masing-masing tokoh pemimpin mazhab itu sendiri, maka bukanlah hal yang aneh jika terdapat dalam satu mesjid/madrasah pada masa mamluk ini kelompok-kelompok belajar dari berbagai mazhab yang berbeda. Contonya madrasah yang didirikan oleh al-Amir Fakhr al-Din bin Abi al-Farj al-Armani, di madrsah ini diajarkan materi fiqih empat mazhab. Pengaruh lainnya terhadap kebijakan menggabungkan empat mazhab fiqih dalam peradilan pada masa mamluk ini juga membawa dampak terhadap perkembangan masing-masing mazhab di tengah-tengah masyarakat Mesir, karena sudah menjadi tradisi pada masa Mamluk ini, bahwa kebanyakan sekolah yang didirikan pada masa mamluk umumnya mengajarkan mazhab-mazhab fiqih dari ke empat mazhab, seperti madrasah al-Hijaziyah yang mengajarkan fiqih mazhab Syafi’i dan fiqih mazhab Maliki, kemudian sebuah madrasah yang dibangun oleh Ibunda Sultan Asyraf Sya’ban pada tahun 771H/1369M dengan mengajarkan materi fiqih mazhab Syafi’i dan Hambali dan semua madrasah yang didirikan oleh seorang ulama mazhab dipastikan menjadikan mazhabnya sebagai materi inti. Perkembangan sekolah-sekolah/madrasah-madrasah yang mengajarkan materi fiqih dari empat mazhab tersebut, sangat berperan menciptakan kondisi yang kondusif pada masyarakat Mesir dalam keadaan berbeda mazhab. Masyarakat menjadi cerdas dalam mensikapi perbedaan-perbedaan dalam memahami Agama. Pengalaman penulis ketika menjadi Mahasiswa di Universitas al-Azhar – Mesir mendapatkan formulir pendaftarannya menyediakan kolom mazhab yang di anut, hal ini diskriminatif, tetapi untuk menyediakan wadah pembelajaran sesuai dengan mazhab yang dianut oleh calon mahasiswa tersebut ketika mempelajari materi Fiqh. Pemandangan yang beragam dalam pelaksanaan tatacara shalat di Mesjid tanpa mempermasalahkan keberagaman tersebut, juga menjadi bukti yang sangat nyata sampai saat ini terhadap kecerdasan masyarakat Mesir dalam memahami perbedaan mazhab. Selama penulis berada di Mesir belum pernah menyaksikan atau mendengar terjadinya perselisihan antara masyarakat Mesir yang disebabkan karena berbeda mazhab. D. KESIMPULAN Walaupun keberadaan Mamluk di Mesir telah merubah tatanan kehidupan sosial di Mesir dengan adanya lapisan strata sosial di tengah-tengah masyarakat, namun ketentraman dan kerukunan hidup tetap bisa dijalankan dengan baik, dengan kondisi yang kondusif inilah Mesir bisa menjadi sebuah wilayah yang maju dalam kebudayaan, terutama dalam bidang pendidikan, seni dan bangunan-bangunan infrastruktur pada saat wilayah-wilayah lain mengalami masa-masa sulit akibat serangan bangsa Mongol. Sikap toleran penguasa Mamluk di Mesir telah melahirkan sebuah budaya keagamaan yang patut dicontoh oleh penguasa-penguasa lainnya. Meskipun mereka awalnya bukanlah berasal dari seorang ayah/ibu yang muslim, namun setelah mereka menjadi muslim dan mendapatkan pendidikan Islam, mereka menjadi pemimpin yang sangat bijaksana, menghargai nilai-nilai toleransi dan karena faktor inilah di antaranya Mesir terselamatkan dari konflik mazhab yang sering terjadi di wilayah lain. []
Selengkapnya...
Tulisan ini membahas tentang keadaan sosial dan keagamaan masyarakat di Mesir setelah kehadiran para Mamluk dan menjadi penguasa di sana. Para Mamluk ketika menjadi penguasa secara tidak langsung telah menciptakan satu komunitas baru di Mesir yang memiliki budaya dan kebiasaan yang berbeda dari masyarakat lainnya. Praktik-praktik keagamaan juga memiliki corak baru di Mesir pada masa pemerintahan Mamluk ini. Para mamluk yang hanya mendapatkan pendidikan agama setalah mereka di bawa ke Mesir ternyata mampu memberikan contoh sikap toleran dalam keberagaman paham-paham/mazhab-mazhab yang sedang berkembang, sehingga terwujudlah suatu kerukunan keber agama-an di Mesir yang terus berlangsung sampai saat ini. A. PENDAHULUAN Sejak kedatangan Islam yang dibawa oleh orang-orang Arab Islam ke Mesir, nyaris masyarakatnya tidak ada yang pernah memimpin negeri ini. Warna kehidupan masyarakat Mesir ini selalu berubah-ubah sesuai dengan warna penguasa. Bisa dipastikan perubahan kehidupan di Mesir secara masif terjadi ketika kota ini dijadikan salah satu kota terpenting dalam setiap periode pemerintahan Islam. Salah satu budaya yang masuk dan berpengaruh besar terhadap perkembangan masyarakat Mesir adalah budaya Arab, bangsa Mesir yang pada awalnya bukanlah sebuah komutis Arab, setelah masuknya Bangsa Arab Islam ke negeri ini, menjadi salah satu kota di Benua Afrika yang menerapkan dan menjalankan tradisi sesuai dengan budaya Arab pendatang tersebut dan nyaris budaya lokal “fir’auniah” di Mesir menjadi redup dengan datangnya budaya Arab Islam itu. Kebudayaan lain yang juga berpengaruh di Mesir adalah kebudayaan bangsa Turki, bangsa Persia dan bangsa-bangsa di Asia Tengah lainnya yang pernah berperan sebagai orang-orang yang berpengaruh dalam pemerintahan Islam, terutama pasa saat kekha-lifahan dinasti Abbasiah. Masuknya unsur-unsur baru ini tentu membawa pengaruh kepada seluruh aspek kehidupan yang ada di Mesir pada kurun waktu berikutnya. Keberadaan Dinasti Mamluk sebagai penguasa di Mesir pasca runtuhnya kekuasaan Dinasti Ayyubiah memberikan warna baru dalam segala sendi kehidupan di Mesir. Di antara yang menarik untuk dicermati terhadap warna baru yang muncul itu adalah hal tentang kehidupan sosial kemasyarakatan dan kehidupan keberagamaan yang berlangsung. Dalam sejarah perkembangan Islam klasik baru kali ini terjadi kelompok orang-orang yang awalnya berasal dari para budak ternyata mampu menjadi komunitas masyarakat terhormat di sebuah wilayah yang juga bukan merupakan wilayah asal mereka. Keberagaman paham keagamaan di Mesir selama era Mamluk ini juga menjadi menarik diperhartikan, ternyata aspek keagamaan di Mesir selama masa pemerintahan Mamluk dapat dikendalikan dengan baik dalam keaneka ragaman mazhab keagamaan yang muncul pada masa itu. Oleh karena itu dalam tulisan ini penulis ingin sekali mengungkapkan bagaimana kondisi kehidupan sosial kemasyara-katan dan keberagamaan di Mesir pada masa pemerintahan Mamluk. B. KEHIDUPAN SOSIAL DI MESIR ERA PEMERINTAHAN MAMLUK Para Mamluk berasal dari berbagai unsur masayarakat yang berada jauh dari Mesir. Seperti unsur Turki, Syirkasiah, Yunani dan lain sebagainya. Mereka dijual di pasar-pasar budak dan pada akhirnya dibeli oleh para Sultan penguasa Dinasti Ayyubiyah kemudian dijadikan tentara pilihan. Di antara para mamluk tersebut ada yang ditempatkan pada posisi penting dalam kemiliteran, sehingga atas usaha merekalah akhirnya para mamluk dapat mengambil alih kursi pemerintahan di Mesir dari tangan keturunan-keturunan Bani Ayyub. Walaupun pada awalnya para Mamluk merupakan budak-budak yang di perjual-belikan di pasar-pasar budak, tetapi setelah mereka didudukkan pada posisi-posisi penting dalam kemiliteran dan pemerintahan, para Mamluk merasa sangat terhormat dengan panggilan “mamluk” atas diri mereka. Sebagaimana yang dituangkan Ahmad Syalabi dalam Mausu’ahnya : "والعجيب أن المماليك كانوا يعتزون بهذه التسمية ولا يرضون عنها بديلا و يرون فيها مجدهم " Artinya : Dan sangat mengherankan bahwa para Mamluk mereka bangga dengan penamaan ini (mamluk yang artinya budak) dan tidak rela mengganti sebutan itu dengan sebutan yang lain bahkan mereka memandang dengan sebutan Mamluk itulah tanda kebesaran mereka” Para Mamluk menjadi sebuah komunitas baru di Mesir dengan berbagai ciri khas yang membedakan mereka dengan masyarakat Mesir pada umumnya. Dalam pergaulan sehari-hari mereka terkesan sangat ekslusif, tidak menikah dengan rakyat Mesir walaupun di antara mereka ada yang mampu berbahasa Arab. Secara umum masyarakat Mesir pada masa pemerintahan Mamluk dibagi menjadi dua lapisan : pertama, para penguasa. Tuan-tuan yang sebelumnya, mereka adalah para budak. Sedangkan lapisan kedua adalah lapisan masyarakat umum. Mereka terdiri dari petani yang hidup di pedesaan, buruh, dan pedagang yang hidup di daerah perkotaan. terutama di Mesir dan Kota Kairo. Lapisan para penguasa didominasi oleh para Mamluk mulai dari jabatan Sultan sampai jabatan Amir terendah. Walaupun dalam lapisan para penguasa ini ada juga unsur khalifah yang bukan dari kalangan mamluk. Sebenarnya cukup menakjubkan jika dibandingkan dengan sistem sebuah negara sekarang ini, sulit sekali ditemukan penguasa atau pemerintah suatu negara yang bukan termasuk dari komunitas bangsa itu. Seperti Negara Indonesia, yang menjadi penguasa atau pemerintah di sana adalah orang-orang yang masih termasuk dalam unsur bangsa itu. Sedangkan di Mesir pada masa Mamluk, rakyat Mesir tidak dipimpin oleh unsur bangsa tersebut, walaupun faktanya memang sejak masuk Islam ke Mesir sampai pada pemerintahan Mamluk belum pernah yang memerintah di sana orang yang berasal dari wilayah Mesir ini. Lain halnya dengan para mamluk yang sama sekali tidak ada ikatan apapun sebelumnya dengan bangsa Mesir justru dari kelompok asing inilah yang menjadi golongan penguasa. Fungsi dari golongan penguasa adalah menjalankan pemerintahan dan mereka memiliki segala bentuk hak dan keistimewaan, terutama yang berkaitan dengan tanah feodal. Sistem feodal yang diterapkan golongan Mamluk ini berbeda dengan yang di terapkan di Eropa pada abad pertengahan. Golongan Mamluk yang dinyatakan berhak atas tanah atau perkebunan tertentu hanya dapat menikmatinya selama masih dalam dinas kemiliteran sedangkan para Mamluk yang tidak berada lagi dalam jajaran kemiliteran, tidak diberi hak guna tanah ataupun mewariskannya kepada putra-putrinya. Berbeda dengan kebudayaan Eropa sIstem feodal berlaku turun temurun dan generasi-generasi yuniornya dapat meraih jabatan penting atau bahkan dapat mencapai posisi yang tertinggi sekalipun. Salah satu keuntungan diterapkannya sistem feodal ini di Mesir adalah mendorong para amir (tuan tanah) membuat saluran-saluran air atau danau buatan, jembatan-jembatan, dan fasilitas-fasilitas pertanian lainnya yang bermanfaat untuk meningkatkan jumlah hasil pertanian, sehingga pertanian di Mesir mengalami masa kebangkitan dan kemajuan. Mamluk menjadi komunitas baru di Mesir setelah para Sultan Ayyubiyah membeli mereka dalam jumlah yang cukup banyak. Padahal pada masa pemerintahan Fatimiyah komunitas Mamluk ini bisa dikatakan belum tampak peranan mereka karena pada awalnya keberadaan mamluk hanya sebatas untuk memberikan pelayanan dan pengamanan kepada tuan-tuan yang membeli mereka. Sedangkan lapisan masyarakat awam adalah golongan yang didominasi oleh petani, kelompok masyarakat ini merupakan golongan yang dianggap memiliki status sosial paling rendah. Faktor yang menyebabkan mereka dianggap paling rendah adalah karena keberadaan mereka di pedesaan yang jauh tertinggal dengan masyarakat yang tinggal di perkotaan. Kemudian mereka adalah lapisan yang paling menderita dan terkesan dirugikan dengan sistem feodal yang diterapkan pada masa pemerintah Mamluk. Golongan ini dilecehkan oleh para Mamluk, sehingga pemakaian kata fallah yang artinya petani mempunyai konotasi lain yaitu seorang yang lemah tanpa daya. Oleh para amir Mamluk mereka dibebani pajak yang berlipat dan diterapkan bagi mereka sistem pajak yang dipikul bersama sebagai warga suatu desa. Kondisi seperti ini tidak selamanya dialami oleh para petani tersebut, pada masa pemerintahan sultan al-Nasir Muhammad bin Qalawun pajak yang memberatkan masyarakat awam tersebut dihapuskan. Lapisan masyarakat berikutnya adalah golongan pedagang. Golongan ini adalah orang-orang yang dekat dengan sultan mamluk karena merekalah yang memberikan bantuan keuangan apabila dibutuhkan. Di masa kesultanan mamluk para pedagang dan saudagar menikmati kehidupan yang mewah, mengingat Mesir menjadi pusat perdagangan dunia belahan Timur dan Barat, namun demikian, para sultan menetapkan pajak pndapatan yang tinggi bagi mereka. Lapisan masyarakat lainnya adalah golongan terpelajar yang terdiri atas para pegawai administrasi sipil kesultanan, fukaha, ulama, sastrawan, dan penulis-penulis. Golongan terpelajar ini memainkan peranan politik, sosial, dan budaya. Mereka pada umumnya berada di dalam jajaran pemerintahan sebagai eksekutif dan yudikatif. Golongan terpelajar ini senantiasa selama pemerintahan kaum Mamluk mendapatkan perlakuan istimewa, walaupun terkadang mereka juga tidak luput dari hinaan golongan penguasa. Mereka manjadi pihak penghubung antara lapisan penguasa dengan lapisan masyarakat, karena fungsi mereka menjadi pegawai administrasi pemerintahan yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Begitu juga para ulama, mereka menjadi golongan penghubung antara penguasa dengan masyarakat, ketergantungan penguasa dengan para ulama sangat tinggi pada masa Mamluk ini. Banyak sultan mendekati ulama karena merasa asing dari rakyat. Ulama disegani oleh rakyat dan mereka sanggup memobilisasi rakyat guna menyuarakan kepentingan Mamluk. Sultan mamluk selalu meminta fatwa dari golongan alim-ulama ketika hendak membuat peraturan baru, seperti mengenai kebijaksanaan pemungutan pajak lebih untuk membiayai Angkatan Perang. Dalam perjalanan sosial kemasyarakatan Dinasti Mamluk selama lebih kurang tiga Abad ini, lahir pula generasi baru Mamluk. Mereka adalah generasi yang dilahirkan dari bapak seorang Mamluk dan ibu seorang wanita Mesir, ataupun bapaknya berasal dari seorang Amir mamluk lalu menikahi seorang wanita pendatang (mamlukah). Golongan ini dikenal dengan sebutan “aulad an-nas”. Menurut penu-lis, kenyataan ini membuktikan telah terjadi kemajuan dalam bidang sosial kemasyarakatan di Mesir, karena antara kelompok Mamluk dengan masyarakat Mesir sudah mulai saling membuka diri sehingga melahirkan generasi kedua Mamluk. Para aulad an-nas ini dalam perkembangannya termasuk ke dalam golongan terpelajar, mereka umumnya berprofesi sebagai administrator dan jarang di antara mereka yang menjadi anggota militer. Derajat mereka lebih rendah dibandingkan dengan derajat para Mamluk yang sebenarnya. Karena kondisi Mamluk generasi pertama ini yang keseharian mereka sibuk dengan dunia mereka bersama para mamluk (pekerja), demi memperkuat posisinya sebagai amir, maka kesempatan bagi mereka untuk berkumpul bersama keluarga, anak dan isteri sangat jarang sekali. Mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk mendidik anak-anak mereka, oleh sebab itu anak-anak tersebut tumbuh dan berkembang di tengah-tengah didikan para ibu mereka yang jauh dari kehidupan para bapak mereka. Kondisi seperti ini, menjadi peluang bagi para aulad an-nas untuk lebih memfokuskan diri pada bidang keilmuwan, apalagi setiap amir biasanya selalu mendatangkan para ulama ke kediaman mereka untuk mengajarkan anak-anak mereka. Banyak di antara para aulad an-nas ini yang memberikan kontribusi dalam bidang ilmu pengetahuan. Muncul para ahli sejarah yang berpengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat Mesir kala itu, dari kalangan para aulad an-nas ini. Lapisan masyarakat selanjutnya adalah golongan keturunan Tartar (mongol). Di awal pemerintahan Mamluk muncul sekelompok orang dari Bangsa Tartar yang melarikan diri ke Mesir akibat tidak kuasa hidup di bawah kezaliman penguasa mereka. Golongan ini telah memeluk Agama Islam dan berprilaku sesuai ajaran Islam. Para Sultan Mamluk sangat menerima kehadiran mereka di Mesir, terutama Sultan Baybars. Keberadaan mereka dimanfaatkan oleh sultan Baybars dalam pemerintahannya, mengingat kelompok ini sangat terkenal dengan sifat keberanian yang mereka miliki. Lapisan masyarakat Tartar ini ditempatkan di distrik Husainiyah dekat mesjid al-Azhar. Walaupun terdapat beberapa lapisan dan tingkatan masyarakat di Mesir selama pemerintahan Dinasti Mamluk, namun tidak pernah tercipta kondisi yang menuntut suatu golongan tertentu harus selamanya berada pada posisi sosialnya. Status sosial dalam masyarakat Mesir tersebut bisa saja berubah sesuai dengan jalan hidup yang dipilihnya. Maraknya kegiatan ilmu pada masa pemerintahan Mamluk di seluruh antero Mesir, telah mendorong berubahnya status sosial di tengah-tengah masyarakat Mesir. Para ulama yang menjadi sandaran para Sultan pada awalnya adalah golongan lapisan masyarakat biasa, tetapi karena keahliannya dalam bidang ilmu pada masa berikutnya, mereka menjadi terhormat bahkan diperlakukan secara istimewa oleh Sultan Mamluk. Menurut penulis, telah terjadi kemajuan dalam bidang sosial masyarakat di Mesir pada masa pemerintahan Dinasti Mamluk. Maraknya kegiatan keilmuwan pada masa itu telah membawa perubahan besar terhadap cara berfikir masyarakat Mesir, baik dari kalangan penguasa ataupun dari kalangan masyarakat biasa. Hal ini bisa penulis contohkan dengan tingginya semangat para Sultan Mamluk untuk mendirikan pusat-pusat pendidikan, mengundang para ulama dan ilmuwam datang ke Istana untuk melakukan diskusi ilmiyah, bahkan tidak jarang di antara para Sultan itu yang menjadi pemateri dalam diskusi ilmiyah tersebut, hal ini telah penulis paparkan. Begitu juga perhatian para Amir Mamluk dalam mendidik anak-anak mereka, karena tingginya rasa tanggung-jawab mereka terhadap masa depan anak-anak mereka, diutus pulalah para ulama untuk memberikan pelajaran yang bermanfaat kepada anak-anak tersebut. Ini semua merupakan indikasi terhadap kemajuan cara berfikir para mamluk saat itu. Dari lapisan masyarakat bawah juga terdapat adanya indikasi yang mendorong terhadap kemajuan masyarakat Mesir. maraknya pembangunan infrastruktur pada masa pemerintahan Mamluk kala itu, membantu memudahkan masyarakat untuk melakukan kegiatan keseharian mereka dalam pemenuhan kebutuhan. Jalan-jalan dan jembatan penghubung yang dibangun pada masa itu mendorong masyarakat pedesaan untuk mencari kehidupan yang lebih mapan di daerah perkotaan, sehingga tidak jarang pula terjadi perubahan status sosial pada masyarakat pedesaan tersebut ketika sampai di kota. Pemikiran untuk datang ke kota dalam rangka merubah nasib dalam kehidupan, menurut hemat penulis sudah mengindikasikan sebuah kemajuan dalam kehidupan sosial masyarakat. Kehidupan para Sultan yang sudah mulai menyenangi bidang keilmuan dan adanya keinginan masyarakat pedesaan untuk pindak ke kota mencerminkan suatu bukti bahwa mereka menginginkan suatu perubahan yang lebih baik dalam hidup mereka dari masa-masa sebelumnya. Dalam teori perubahan sosial dan kebudayaan, di antara sebab yang melatari terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat adalah : 1)karena adanya sesuatu yang dianggap sudah tidak lagi memuaskan. Mungkin saja karena ada faktor baru yang lebih memuaskan masyarakat sebagai pengganti yang lama itu; 2) mungkin juga masyarakat mengadakan perubahan karena terpaksa demi untuk menyesuaikan suatu faktor dengan faktor-faktor lain yang sudah mengalami perubahan terlebih dahulu. Kemajuan sosial dalam masyarakat Mesir pada masa pemerintaha Mamluk juga dapat dilihat dari betapa banyaknya profesi yang muncul di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat demi menopang pemenuhan kebutuhan masyarakatnya. Begitu juga halnya dengan kerukunan yang terjadi antara lapisan masyarakat di Mesir. Sebagaimana telah penulis uraikan dalam hal ini, bahwa di Mesir terdapat banyak sekali unsur masyarakat yang masing-masingnya berbeda karakter. Penduduk asli Mesir tetap mau menerima orang asing yang datang dan menetap di sana, terutama bagi masyarakat yang hidup di pusat-pusat kota seperti Kota Kairo dan Iskandariyah. Contonya bangsa Tartar yang melarikan diri ke Mesir, mereka diberi tempat dan diperlakukan secara baik oleh rakyat Mesir. Hal ini tentu menjadi bukti bahwa cara berfikir masyarakat waktu itu sudah maju. C. KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI MESIR ERA MAMLUK Dari segi pemahaman agama, masyarakat Mesir bisa dikelompokkan menjadi kelompok masyarakat yang menganut paham Sunni dan kelompok masyarakat yang menganut paham Syi’ah. Paham Sunni adalah salah satu mazhab atau golongan (firqah) di dalam Islam, mempunyai pengikut paling banyak dibanding dengan mazhab-mazhab yang lain. Paham sunni berdasar pada sunah (tradisi) Nabi Muhammad SAW, di samping al-Quran. Kelompok ini biasa juga disebut Ahlussunah waljamaah. Ahlussunah berarti orang-orang yang menganut atau mengikuti sunah, dan waljamaah berarti mayoritas umat. Penggunaan ahlusunah waljamaah semakin populer setelah munculnya Abu Hasan al-Asy’ari (260-324 H/ 873-935 M) dan Abu Mansur al-Maturidi (w.944), yang melahirkan aliran Asy’ariyah dan Maturidiah di bidang teologi. Sedangkan Syi’ah ialah pengikut suatu aliran, yang mencintai keturunan Nabi Muhammad dan mentaati pemimpin-pemimpin yang diangkat dari pada keluarganya dan keturunannya. Para sejarawan berbeda pendapat mengenai kelahiran kelompok Syi’ah. Sebahagian mengatakan bahwa Syi’ah lahir sesaat setelah Nabi Muhammad SAW berpulang ke rahmatullah, tepatnya ketika terjadi perebutan kekuasaan antara kaum Muhajirin dan Ansar di balai pertemuan Saqifah Bani Sa’idah, akan tetapi sejarawan yang lain berpendapat bahwa Syi’ah lahir pada masa Kekhalifahan Utsman bin Affan berakhir (35 H/ 656 M), atau pada awal keimaman Ali bin Abi Thalib. Pendapat lain lagi menyatakan bahwa Syi’ah lahir bersamaan dengan Khawarij, yakni setelah kekalahan diplomatik Ali dari Muawiyyah. Antara paham Suni dan paham Syi’ah terdapat perbedaan, baik dalam bidang kepemerintahan maupun dalam bidang keagamaan. Dalam bidang politik, kaum Syi’ah sangat memperhatikan masalah masalah kenegaraan, khususnya jabatan kepala Negara (imamah). Dalam pandangan Syi’ah imamah merupakan salah satu unsur penting rangkaian rukun iman dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari akidah Islam yang paling mendasar. Sebahagian kaum Syi’ah percaya bahwa Ali tidak sekedar menerima wasiat keimaman untuk dirinya, tetapi juga untuk keturunannya, oleh sebab itu sepeninggal Ali, yang berhak menduduki keimaman adalah anak turunan Ali sampai sejauh ke bawah. Inilah yang telah memotivasi kaum Syi’ah berusaha merebut kekuasaan dari dinasti-dinasti lain dalam wilayah hukum muslim, seperti Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Perjuangan panjang kaum Syi’ah, meski penuh tantangan, di beberapa tempat telah membuahkan hasil yang gemilang. Di Maroko misalnya kaum Syi’ah di bawah pimpinan Idris bin Abdullah telah dapat mendirikan kerajaan Idrisiyah (789- 974), dengan menjadikan Fez sebagai ibu kotanya. Di Mesir kaum Syi’ah juga berhasil mendirikan kerajaan Fatimiyah yang amat terkenal. Dalam bidang politik, Ahlusunah atau aliran Suni sebagai imbangan aliran Syi’ah dan Khawarij , bersikap moderat. Kaum Ahlusunah waljamaah mengakui keabsahan al-Khulafa al-Rasyidin, yakni Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Oleh sebab itu segenap kaum muslim harus patuh pada perintah para khalifah tersebut. Tidak hanya sampai di situ, tetapi mereka juga mengakui keabsahan para Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, kendati kedua dinasti itu tidak lagi menerapkan sistim demokrasi. Selama pemerintahan Daulah Fatimiyyah di Mesir, para pemimpinnya selalu menyebarkan paham-paham Syi’ah kepada masyarakat umum di Mesir yang berbeda dengan paham Sunni. Di antaranya adalah : 1) Melarang menggunakan pakaian hitam yang merupakan syiar dari pemerintahan Sunni. Memerintahkan untuk memakai pakaian serba hijau sebagai simbol dari Ahli al-Bait; 2) Menambah kalimat dalam azan dengan kata “Hayya ‘ala Khairil Amal” artinya marilah bersegera kepada amalan yang baik; 3) Menambahkan dalam Khutbah Jumat kalimat shalawat kepada Ali, Fatimah, Hasan dan Husain, para imam-imam al-Rasyidin sebagai Bapak pemimpin orang-orang Mukmin. Bagi penganut Syi’ah terdapat perayaan-perayaan hari lahir bagi beberapa tokoh yang mereka agungkan seperti hari lahir Nabi Muhammad SAW, hari lahir Ali r.a, hari lahir Fatimah, hari lahir Hasan, hari lahir Husain, dan hari lahir khalifah Fatimiyah. Mereka juga merayakan hari ‘Asyura dan perayaan pada momen-momen tertentu. Ketika Dinasti Mamluk memerintah di Mesir di antara tugas pokok dari para Sultan adalah bagaimana meluruskan pemahaman masyarakat Mesir khususnya dari pemikiran-pemikiran dan pemahaman- pemahaman menyimpang kelompok Syi’ah, yang sangat berkembang selama pemerintahan Fatimiyah di Mesir. Tugas ini bersifat melanjutkan yang telah dirintis oleh sultan Dinasti Ayyubiyah. Berkat usaha yang serius dari sultan Mamluk, akhirnya jumlah masya-rakat yang sebelumnya menganut paham Syi’ah mulai berkurang, dengan arti bahwa dominasi paham Syi’ah di tengah-tengah masyara-kat Mesir mulai berkurang dan digantikan dengan dominasi pengikut paham Sunni yang juga merupakan paham para Sultan Mamluk. Salah satu cara yang paling ampuh digunakan untuk menghilangkan pengaruh syi’ah di tengah-tengah masyarakat Mesir adalah melalui bidang pendidikan di sekolah-sekolah dan dakwah di masjid-masjid, terutama di daerah yang subur berkembangnya paham Syi’ah ini. Qadi Baha’ al-Din al-Qafthi wafat 697H/1297M adalah salah seorang ulama yang berjasa memberantas paham Syi’ah di wilayah Isna dengan menyebarkan paham Sunni dan dengan menulis buku “al-Nasaih al-Muftaridhah fi al-Fadhaih al-Rafidhah” sebagai gugatan terhadap paham Syi’ah. Pada masa Pemerintahan Sultan al-Zahir Baybars terjadi perubahan penting dalam sistim peradilan yang sebelumnya sudah ada di Mesir semenjak masa Dinasti Ayyubiah. Di masa al-Zahir Baybars pada tahun 665H/1267M terbentuk sistim peradilan yang menggabungkan empat mazhab besar yang masing-masing diketuai oleh hakim agungnya sendiri. Hakim agung mazhab Syafi’i mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari yang lain karena ia diserahi tanggung jawab yang lebih besar, yakni untuk mengawasi penyantunan terhadap yatim piatu, perwakafan, dan menangani masalah-masalah baitul mal, di samping menangani urusan yurisdiksi. Sementara hakim agung yang lain mengurusi peradilan dan fatwa-fatwa bagi rakyat yang bermazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Pada awalnya fatwa-fatwa yang diakui hanyalah fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh kadi mazhab Syafi’i, namun setelah adanya kebijakaan multihakim, fatwa-fatwa dapat dikeluarkan oleh tiga kadi dari tiga mazhab lainnya. Kebijakan yang dilakukan pemerintahan Mamluk dalam bidang peradilan ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemahaman Agama bagi rakyat Mesir. Masyarakat Mesir hidup damai dalam keberagaman pemahaman dalam bidang agama. Rasa saling mengerti dan mamahami dalam perbedaan pandangan agama sudah dicontohkan oleh masing-masing tokoh pemimpin mazhab itu sendiri, maka bukanlah hal yang aneh jika terdapat dalam satu mesjid/madrasah pada masa mamluk ini kelompok-kelompok belajar dari berbagai mazhab yang berbeda. Contonya madrasah yang didirikan oleh al-Amir Fakhr al-Din bin Abi al-Farj al-Armani, di madrsah ini diajarkan materi fiqih empat mazhab. Pengaruh lainnya terhadap kebijakan menggabungkan empat mazhab fiqih dalam peradilan pada masa mamluk ini juga membawa dampak terhadap perkembangan masing-masing mazhab di tengah-tengah masyarakat Mesir, karena sudah menjadi tradisi pada masa Mamluk ini, bahwa kebanyakan sekolah yang didirikan pada masa mamluk umumnya mengajarkan mazhab-mazhab fiqih dari ke empat mazhab, seperti madrasah al-Hijaziyah yang mengajarkan fiqih mazhab Syafi’i dan fiqih mazhab Maliki, kemudian sebuah madrasah yang dibangun oleh Ibunda Sultan Asyraf Sya’ban pada tahun 771H/1369M dengan mengajarkan materi fiqih mazhab Syafi’i dan Hambali dan semua madrasah yang didirikan oleh seorang ulama mazhab dipastikan menjadikan mazhabnya sebagai materi inti. Perkembangan sekolah-sekolah/madrasah-madrasah yang mengajarkan materi fiqih dari empat mazhab tersebut, sangat berperan menciptakan kondisi yang kondusif pada masyarakat Mesir dalam keadaan berbeda mazhab. Masyarakat menjadi cerdas dalam mensikapi perbedaan-perbedaan dalam memahami Agama. Pengalaman penulis ketika menjadi Mahasiswa di Universitas al-Azhar – Mesir mendapatkan formulir pendaftarannya menyediakan kolom mazhab yang di anut, hal ini diskriminatif, tetapi untuk menyediakan wadah pembelajaran sesuai dengan mazhab yang dianut oleh calon mahasiswa tersebut ketika mempelajari materi Fiqh. Pemandangan yang beragam dalam pelaksanaan tatacara shalat di Mesjid tanpa mempermasalahkan keberagaman tersebut, juga menjadi bukti yang sangat nyata sampai saat ini terhadap kecerdasan masyarakat Mesir dalam memahami perbedaan mazhab. Selama penulis berada di Mesir belum pernah menyaksikan atau mendengar terjadinya perselisihan antara masyarakat Mesir yang disebabkan karena berbeda mazhab. D. KESIMPULAN Walaupun keberadaan Mamluk di Mesir telah merubah tatanan kehidupan sosial di Mesir dengan adanya lapisan strata sosial di tengah-tengah masyarakat, namun ketentraman dan kerukunan hidup tetap bisa dijalankan dengan baik, dengan kondisi yang kondusif inilah Mesir bisa menjadi sebuah wilayah yang maju dalam kebudayaan, terutama dalam bidang pendidikan, seni dan bangunan-bangunan infrastruktur pada saat wilayah-wilayah lain mengalami masa-masa sulit akibat serangan bangsa Mongol. Sikap toleran penguasa Mamluk di Mesir telah melahirkan sebuah budaya keagamaan yang patut dicontoh oleh penguasa-penguasa lainnya. Meskipun mereka awalnya bukanlah berasal dari seorang ayah/ibu yang muslim, namun setelah mereka menjadi muslim dan mendapatkan pendidikan Islam, mereka menjadi pemimpin yang sangat bijaksana, menghargai nilai-nilai toleransi dan karena faktor inilah di antaranya Mesir terselamatkan dari konflik mazhab yang sering terjadi di wilayah lain. []