Kamis, 22 November 2012

Kehidupan Sosial di Mesir Pada Era Pemerintahan Mamluk

Oleh : Khilal Syauqi, Lc., MA (Dosen Jur. SKI FIB-Adab IAIN Padang)

Tulisan ini membahas tentang keadaan sosial dan keagamaan masyarakat di Mesir setelah kehadiran para Mamluk dan menjadi penguasa di sana. Para Mamluk ketika menjadi penguasa secara tidak langsung telah menciptakan satu komunitas baru di Mesir yang memiliki budaya dan kebiasaan yang berbeda dari masyarakat lainnya. Praktik-praktik keagamaan juga memiliki corak baru di Mesir pada masa pemerintahan Mamluk ini. Para mamluk yang hanya mendapatkan pendidikan agama setalah mereka di bawa ke Mesir ternyata mampu memberikan contoh sikap toleran dalam keberagaman paham-paham/mazhab-mazhab yang sedang berkembang, sehingga terwujudlah suatu kerukunan keber agama-an di Mesir yang terus berlangsung sampai saat ini. A. PENDAHULUAN Sejak kedatangan Islam yang dibawa oleh orang-orang Arab Islam ke Mesir, nyaris masyarakatnya tidak ada yang pernah memimpin negeri ini. Warna kehidupan masyarakat Mesir ini selalu berubah-ubah sesuai dengan warna penguasa. Bisa dipastikan perubahan kehidupan di Mesir secara masif terjadi ketika kota ini dijadikan salah satu kota terpenting dalam setiap periode pemerintahan Islam. Salah satu budaya yang masuk dan berpengaruh besar terhadap perkembangan masyarakat Mesir adalah budaya Arab, bangsa Mesir yang pada awalnya bukanlah sebuah komutis Arab, setelah masuknya Bangsa Arab Islam ke negeri ini, menjadi salah satu kota di Benua Afrika yang menerapkan dan menjalankan tradisi sesuai dengan budaya Arab pendatang tersebut dan nyaris budaya lokal “fir’auniah” di Mesir menjadi redup dengan datangnya budaya Arab Islam itu. Kebudayaan lain yang juga berpengaruh di Mesir adalah kebudayaan bangsa Turki, bangsa Persia dan bangsa-bangsa di Asia Tengah lainnya yang pernah berperan sebagai orang-orang yang berpengaruh dalam pemerintahan Islam, terutama pasa saat kekha-lifahan dinasti Abbasiah. Masuknya unsur-unsur baru ini tentu membawa pengaruh kepada seluruh aspek kehidupan yang ada di Mesir pada kurun waktu berikutnya. Keberadaan Dinasti Mamluk sebagai penguasa di Mesir pasca runtuhnya kekuasaan Dinasti Ayyubiah memberikan warna baru dalam segala sendi kehidupan di Mesir. Di antara yang menarik untuk dicermati terhadap warna baru yang muncul itu adalah hal tentang kehidupan sosial kemasyarakatan dan kehidupan keberagamaan yang berlangsung. Dalam sejarah perkembangan Islam klasik baru kali ini terjadi kelompok orang-orang yang awalnya berasal dari para budak ternyata mampu menjadi komunitas masyarakat terhormat di sebuah wilayah yang juga bukan merupakan wilayah asal mereka. Keberagaman paham keagamaan di Mesir selama era Mamluk ini juga menjadi menarik diperhartikan, ternyata aspek keagamaan di Mesir selama masa pemerintahan Mamluk dapat dikendalikan dengan baik dalam keaneka ragaman mazhab keagamaan yang muncul pada masa itu. Oleh karena itu dalam tulisan ini penulis ingin sekali mengungkapkan bagaimana kondisi kehidupan sosial kemasyara-katan dan keberagamaan di Mesir pada masa pemerintahan Mamluk. B. KEHIDUPAN SOSIAL DI MESIR ERA PEMERINTAHAN MAMLUK Para Mamluk berasal dari berbagai unsur masayarakat yang berada jauh dari Mesir. Seperti unsur Turki, Syirkasiah, Yunani dan lain sebagainya. Mereka dijual di pasar-pasar budak dan pada akhirnya dibeli oleh para Sultan penguasa Dinasti Ayyubiyah kemudian dijadikan tentara pilihan. Di antara para mamluk tersebut ada yang ditempatkan pada posisi penting dalam kemiliteran, sehingga atas usaha merekalah akhirnya para mamluk dapat mengambil alih kursi pemerintahan di Mesir dari tangan keturunan-keturunan Bani Ayyub. Walaupun pada awalnya para Mamluk merupakan budak-budak yang di perjual-belikan di pasar-pasar budak, tetapi setelah mereka didudukkan pada posisi-posisi penting dalam kemiliteran dan pemerintahan, para Mamluk merasa sangat terhormat dengan panggilan “mamluk” atas diri mereka. Sebagaimana yang dituangkan Ahmad Syalabi dalam Mausu’ahnya : "والعجيب أن المماليك كانوا يعتزون بهذه التسمية ولا يرضون عنها بديلا و يرون فيها مجدهم " Artinya : Dan sangat mengherankan bahwa para Mamluk mereka bangga dengan penamaan ini (mamluk yang artinya budak) dan tidak rela mengganti sebutan itu dengan sebutan yang lain bahkan mereka memandang dengan sebutan Mamluk itulah tanda kebesaran mereka” Para Mamluk menjadi sebuah komunitas baru di Mesir dengan berbagai ciri khas yang membedakan mereka dengan masyarakat Mesir pada umumnya. Dalam pergaulan sehari-hari mereka terkesan sangat ekslusif, tidak menikah dengan rakyat Mesir walaupun di antara mereka ada yang mampu berbahasa Arab. Secara umum masyarakat Mesir pada masa pemerintahan Mamluk dibagi menjadi dua lapisan : pertama, para penguasa. Tuan-tuan yang sebelumnya, mereka adalah para budak. Sedangkan lapisan kedua adalah lapisan masyarakat umum. Mereka terdiri dari petani yang hidup di pedesaan, buruh, dan pedagang yang hidup di daerah perkotaan. terutama di Mesir dan Kota Kairo. Lapisan para penguasa didominasi oleh para Mamluk mulai dari jabatan Sultan sampai jabatan Amir terendah. Walaupun dalam lapisan para penguasa ini ada juga unsur khalifah yang bukan dari kalangan mamluk. Sebenarnya cukup menakjubkan jika dibandingkan dengan sistem sebuah negara sekarang ini, sulit sekali ditemukan penguasa atau pemerintah suatu negara yang bukan termasuk dari komunitas bangsa itu. Seperti Negara Indonesia, yang menjadi penguasa atau pemerintah di sana adalah orang-orang yang masih termasuk dalam unsur bangsa itu. Sedangkan di Mesir pada masa Mamluk, rakyat Mesir tidak dipimpin oleh unsur bangsa tersebut, walaupun faktanya memang sejak masuk Islam ke Mesir sampai pada pemerintahan Mamluk belum pernah yang memerintah di sana orang yang berasal dari wilayah Mesir ini. Lain halnya dengan para mamluk yang sama sekali tidak ada ikatan apapun sebelumnya dengan bangsa Mesir justru dari kelompok asing inilah yang menjadi golongan penguasa. Fungsi dari golongan penguasa adalah menjalankan pemerintahan dan mereka memiliki segala bentuk hak dan keistimewaan, terutama yang berkaitan dengan tanah feodal. Sistem feodal yang diterapkan golongan Mamluk ini berbeda dengan yang di terapkan di Eropa pada abad pertengahan. Golongan Mamluk yang dinyatakan berhak atas tanah atau perkebunan tertentu hanya dapat menikmatinya selama masih dalam dinas kemiliteran sedangkan para Mamluk yang tidak berada lagi dalam jajaran kemiliteran, tidak diberi hak guna tanah ataupun mewariskannya kepada putra-putrinya. Berbeda dengan kebudayaan Eropa sIstem feodal berlaku turun temurun dan generasi-generasi yuniornya dapat meraih jabatan penting atau bahkan dapat mencapai posisi yang tertinggi sekalipun. Salah satu keuntungan diterapkannya sistem feodal ini di Mesir adalah mendorong para amir (tuan tanah) membuat saluran-saluran air atau danau buatan, jembatan-jembatan, dan fasilitas-fasilitas pertanian lainnya yang bermanfaat untuk meningkatkan jumlah hasil pertanian, sehingga pertanian di Mesir mengalami masa kebangkitan dan kemajuan. Mamluk menjadi komunitas baru di Mesir setelah para Sultan Ayyubiyah membeli mereka dalam jumlah yang cukup banyak. Padahal pada masa pemerintahan Fatimiyah komunitas Mamluk ini bisa dikatakan belum tampak peranan mereka karena pada awalnya keberadaan mamluk hanya sebatas untuk memberikan pelayanan dan pengamanan kepada tuan-tuan yang membeli mereka. Sedangkan lapisan masyarakat awam adalah golongan yang didominasi oleh petani, kelompok masyarakat ini merupakan golongan yang dianggap memiliki status sosial paling rendah. Faktor yang menyebabkan mereka dianggap paling rendah adalah karena keberadaan mereka di pedesaan yang jauh tertinggal dengan masyarakat yang tinggal di perkotaan. Kemudian mereka adalah lapisan yang paling menderita dan terkesan dirugikan dengan sistem feodal yang diterapkan pada masa pemerintah Mamluk. Golongan ini dilecehkan oleh para Mamluk, sehingga pemakaian kata fallah yang artinya petani mempunyai konotasi lain yaitu seorang yang lemah tanpa daya. Oleh para amir Mamluk mereka dibebani pajak yang berlipat dan diterapkan bagi mereka sistem pajak yang dipikul bersama sebagai warga suatu desa. Kondisi seperti ini tidak selamanya dialami oleh para petani tersebut, pada masa pemerintahan sultan al-Nasir Muhammad bin Qalawun pajak yang memberatkan masyarakat awam tersebut dihapuskan. Lapisan masyarakat berikutnya adalah golongan pedagang. Golongan ini adalah orang-orang yang dekat dengan sultan mamluk karena merekalah yang memberikan bantuan keuangan apabila dibutuhkan. Di masa kesultanan mamluk para pedagang dan saudagar menikmati kehidupan yang mewah, mengingat Mesir menjadi pusat perdagangan dunia belahan Timur dan Barat, namun demikian, para sultan menetapkan pajak pndapatan yang tinggi bagi mereka. Lapisan masyarakat lainnya adalah golongan terpelajar yang terdiri atas para pegawai administrasi sipil kesultanan, fukaha, ulama, sastrawan, dan penulis-penulis. Golongan terpelajar ini memainkan peranan politik, sosial, dan budaya. Mereka pada umumnya berada di dalam jajaran pemerintahan sebagai eksekutif dan yudikatif. Golongan terpelajar ini senantiasa selama pemerintahan kaum Mamluk mendapatkan perlakuan istimewa, walaupun terkadang mereka juga tidak luput dari hinaan golongan penguasa. Mereka manjadi pihak penghubung antara lapisan penguasa dengan lapisan masyarakat, karena fungsi mereka menjadi pegawai administrasi pemerintahan yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Begitu juga para ulama, mereka menjadi golongan penghubung antara penguasa dengan masyarakat, ketergantungan penguasa dengan para ulama sangat tinggi pada masa Mamluk ini. Banyak sultan mendekati ulama karena merasa asing dari rakyat. Ulama disegani oleh rakyat dan mereka sanggup memobilisasi rakyat guna menyuarakan kepentingan Mamluk. Sultan mamluk selalu meminta fatwa dari golongan alim-ulama ketika hendak membuat peraturan baru, seperti mengenai kebijaksanaan pemungutan pajak lebih untuk membiayai Angkatan Perang. Dalam perjalanan sosial kemasyarakatan Dinasti Mamluk selama lebih kurang tiga Abad ini, lahir pula generasi baru Mamluk. Mereka adalah generasi yang dilahirkan dari bapak seorang Mamluk dan ibu seorang wanita Mesir, ataupun bapaknya berasal dari seorang Amir mamluk lalu menikahi seorang wanita pendatang (mamlukah). Golongan ini dikenal dengan sebutan “aulad an-nas”. Menurut penu-lis, kenyataan ini membuktikan telah terjadi kemajuan dalam bidang sosial kemasyarakatan di Mesir, karena antara kelompok Mamluk dengan masyarakat Mesir sudah mulai saling membuka diri sehingga melahirkan generasi kedua Mamluk. Para aulad an-nas ini dalam perkembangannya termasuk ke dalam golongan terpelajar, mereka umumnya berprofesi sebagai administrator dan jarang di antara mereka yang menjadi anggota militer. Derajat mereka lebih rendah dibandingkan dengan derajat para Mamluk yang sebenarnya. Karena kondisi Mamluk generasi pertama ini yang keseharian mereka sibuk dengan dunia mereka bersama para mamluk (pekerja), demi memperkuat posisinya sebagai amir, maka kesempatan bagi mereka untuk berkumpul bersama keluarga, anak dan isteri sangat jarang sekali. Mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk mendidik anak-anak mereka, oleh sebab itu anak-anak tersebut tumbuh dan berkembang di tengah-tengah didikan para ibu mereka yang jauh dari kehidupan para bapak mereka. Kondisi seperti ini, menjadi peluang bagi para aulad an-nas untuk lebih memfokuskan diri pada bidang keilmuwan, apalagi setiap amir biasanya selalu mendatangkan para ulama ke kediaman mereka untuk mengajarkan anak-anak mereka. Banyak di antara para aulad an-nas ini yang memberikan kontribusi dalam bidang ilmu pengetahuan. Muncul para ahli sejarah yang berpengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat Mesir kala itu, dari kalangan para aulad an-nas ini. Lapisan masyarakat selanjutnya adalah golongan keturunan Tartar (mongol). Di awal pemerintahan Mamluk muncul sekelompok orang dari Bangsa Tartar yang melarikan diri ke Mesir akibat tidak kuasa hidup di bawah kezaliman penguasa mereka. Golongan ini telah memeluk Agama Islam dan berprilaku sesuai ajaran Islam. Para Sultan Mamluk sangat menerima kehadiran mereka di Mesir, terutama Sultan Baybars. Keberadaan mereka dimanfaatkan oleh sultan Baybars dalam pemerintahannya, mengingat kelompok ini sangat terkenal dengan sifat keberanian yang mereka miliki. Lapisan masyarakat Tartar ini ditempatkan di distrik Husainiyah dekat mesjid al-Azhar. Walaupun terdapat beberapa lapisan dan tingkatan masyarakat di Mesir selama pemerintahan Dinasti Mamluk, namun tidak pernah tercipta kondisi yang menuntut suatu golongan tertentu harus selamanya berada pada posisi sosialnya. Status sosial dalam masyarakat Mesir tersebut bisa saja berubah sesuai dengan jalan hidup yang dipilihnya. Maraknya kegiatan ilmu pada masa pemerintahan Mamluk di seluruh antero Mesir, telah mendorong berubahnya status sosial di tengah-tengah masyarakat Mesir. Para ulama yang menjadi sandaran para Sultan pada awalnya adalah golongan lapisan masyarakat biasa, tetapi karena keahliannya dalam bidang ilmu pada masa berikutnya, mereka menjadi terhormat bahkan diperlakukan secara istimewa oleh Sultan Mamluk. Menurut penulis, telah terjadi kemajuan dalam bidang sosial masyarakat di Mesir pada masa pemerintahan Dinasti Mamluk. Maraknya kegiatan keilmuwan pada masa itu telah membawa perubahan besar terhadap cara berfikir masyarakat Mesir, baik dari kalangan penguasa ataupun dari kalangan masyarakat biasa. Hal ini bisa penulis contohkan dengan tingginya semangat para Sultan Mamluk untuk mendirikan pusat-pusat pendidikan, mengundang para ulama dan ilmuwam datang ke Istana untuk melakukan diskusi ilmiyah, bahkan tidak jarang di antara para Sultan itu yang menjadi pemateri dalam diskusi ilmiyah tersebut, hal ini telah penulis paparkan. Begitu juga perhatian para Amir Mamluk dalam mendidik anak-anak mereka, karena tingginya rasa tanggung-jawab mereka terhadap masa depan anak-anak mereka, diutus pulalah para ulama untuk memberikan pelajaran yang bermanfaat kepada anak-anak tersebut. Ini semua merupakan indikasi terhadap kemajuan cara berfikir para mamluk saat itu. Dari lapisan masyarakat bawah juga terdapat adanya indikasi yang mendorong terhadap kemajuan masyarakat Mesir. maraknya pembangunan infrastruktur pada masa pemerintahan Mamluk kala itu, membantu memudahkan masyarakat untuk melakukan kegiatan keseharian mereka dalam pemenuhan kebutuhan. Jalan-jalan dan jembatan penghubung yang dibangun pada masa itu mendorong masyarakat pedesaan untuk mencari kehidupan yang lebih mapan di daerah perkotaan, sehingga tidak jarang pula terjadi perubahan status sosial pada masyarakat pedesaan tersebut ketika sampai di kota. Pemikiran untuk datang ke kota dalam rangka merubah nasib dalam kehidupan, menurut hemat penulis sudah mengindikasikan sebuah kemajuan dalam kehidupan sosial masyarakat. Kehidupan para Sultan yang sudah mulai menyenangi bidang keilmuan dan adanya keinginan masyarakat pedesaan untuk pindak ke kota mencerminkan suatu bukti bahwa mereka menginginkan suatu perubahan yang lebih baik dalam hidup mereka dari masa-masa sebelumnya. Dalam teori perubahan sosial dan kebudayaan, di antara sebab yang melatari terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat adalah : 1)karena adanya sesuatu yang dianggap sudah tidak lagi memuaskan. Mungkin saja karena ada faktor baru yang lebih memuaskan masyarakat sebagai pengganti yang lama itu; 2) mungkin juga masyarakat mengadakan perubahan karena terpaksa demi untuk menyesuaikan suatu faktor dengan faktor-faktor lain yang sudah mengalami perubahan terlebih dahulu. Kemajuan sosial dalam masyarakat Mesir pada masa pemerintaha Mamluk juga dapat dilihat dari betapa banyaknya profesi yang muncul di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat demi menopang pemenuhan kebutuhan masyarakatnya. Begitu juga halnya dengan kerukunan yang terjadi antara lapisan masyarakat di Mesir. Sebagaimana telah penulis uraikan dalam hal ini, bahwa di Mesir terdapat banyak sekali unsur masyarakat yang masing-masingnya berbeda karakter. Penduduk asli Mesir tetap mau menerima orang asing yang datang dan menetap di sana, terutama bagi masyarakat yang hidup di pusat-pusat kota seperti Kota Kairo dan Iskandariyah. Contonya bangsa Tartar yang melarikan diri ke Mesir, mereka diberi tempat dan diperlakukan secara baik oleh rakyat Mesir. Hal ini tentu menjadi bukti bahwa cara berfikir masyarakat waktu itu sudah maju. C. KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI MESIR ERA MAMLUK Dari segi pemahaman agama, masyarakat Mesir bisa dikelompokkan menjadi kelompok masyarakat yang menganut paham Sunni dan kelompok masyarakat yang menganut paham Syi’ah. Paham Sunni adalah salah satu mazhab atau golongan (firqah) di dalam Islam, mempunyai pengikut paling banyak dibanding dengan mazhab-mazhab yang lain. Paham sunni berdasar pada sunah (tradisi) Nabi Muhammad SAW, di samping al-Quran. Kelompok ini biasa juga disebut Ahlussunah waljamaah. Ahlussunah berarti orang-orang yang menganut atau mengikuti sunah, dan waljamaah berarti mayoritas umat. Penggunaan ahlusunah waljamaah semakin populer setelah munculnya Abu Hasan al-Asy’ari (260-324 H/ 873-935 M) dan Abu Mansur al-Maturidi (w.944), yang melahirkan aliran Asy’ariyah dan Maturidiah di bidang teologi. Sedangkan Syi’ah ialah pengikut suatu aliran, yang mencintai keturunan Nabi Muhammad dan mentaati pemimpin-pemimpin yang diangkat dari pada keluarganya dan keturunannya. Para sejarawan berbeda pendapat mengenai kelahiran kelompok Syi’ah. Sebahagian mengatakan bahwa Syi’ah lahir sesaat setelah Nabi Muhammad SAW berpulang ke rahmatullah, tepatnya ketika terjadi perebutan kekuasaan antara kaum Muhajirin dan Ansar di balai pertemuan Saqifah Bani Sa’idah, akan tetapi sejarawan yang lain berpendapat bahwa Syi’ah lahir pada masa Kekhalifahan Utsman bin Affan berakhir (35 H/ 656 M), atau pada awal keimaman Ali bin Abi Thalib. Pendapat lain lagi menyatakan bahwa Syi’ah lahir bersamaan dengan Khawarij, yakni setelah kekalahan diplomatik Ali dari Muawiyyah. Antara paham Suni dan paham Syi’ah terdapat perbedaan, baik dalam bidang kepemerintahan maupun dalam bidang keagamaan. Dalam bidang politik, kaum Syi’ah sangat memperhatikan masalah masalah kenegaraan, khususnya jabatan kepala Negara (imamah). Dalam pandangan Syi’ah imamah merupakan salah satu unsur penting rangkaian rukun iman dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari akidah Islam yang paling mendasar. Sebahagian kaum Syi’ah percaya bahwa Ali tidak sekedar menerima wasiat keimaman untuk dirinya, tetapi juga untuk keturunannya, oleh sebab itu sepeninggal Ali, yang berhak menduduki keimaman adalah anak turunan Ali sampai sejauh ke bawah. Inilah yang telah memotivasi kaum Syi’ah berusaha merebut kekuasaan dari dinasti-dinasti lain dalam wilayah hukum muslim, seperti Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Perjuangan panjang kaum Syi’ah, meski penuh tantangan, di beberapa tempat telah membuahkan hasil yang gemilang. Di Maroko misalnya kaum Syi’ah di bawah pimpinan Idris bin Abdullah telah dapat mendirikan kerajaan Idrisiyah (789- 974), dengan menjadikan Fez sebagai ibu kotanya. Di Mesir kaum Syi’ah juga berhasil mendirikan kerajaan Fatimiyah yang amat terkenal. Dalam bidang politik, Ahlusunah atau aliran Suni sebagai imbangan aliran Syi’ah dan Khawarij , bersikap moderat. Kaum Ahlusunah waljamaah mengakui keabsahan al-Khulafa al-Rasyidin, yakni Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Oleh sebab itu segenap kaum muslim harus patuh pada perintah para khalifah tersebut. Tidak hanya sampai di situ, tetapi mereka juga mengakui keabsahan para Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, kendati kedua dinasti itu tidak lagi menerapkan sistim demokrasi. Selama pemerintahan Daulah Fatimiyyah di Mesir, para pemimpinnya selalu menyebarkan paham-paham Syi’ah kepada masyarakat umum di Mesir yang berbeda dengan paham Sunni. Di antaranya adalah : 1) Melarang menggunakan pakaian hitam yang merupakan syiar dari pemerintahan Sunni. Memerintahkan untuk memakai pakaian serba hijau sebagai simbol dari Ahli al-Bait; 2) Menambah kalimat dalam azan dengan kata “Hayya ‘ala Khairil Amal” artinya marilah bersegera kepada amalan yang baik; 3) Menambahkan dalam Khutbah Jumat kalimat shalawat kepada Ali, Fatimah, Hasan dan Husain, para imam-imam al-Rasyidin sebagai Bapak pemimpin orang-orang Mukmin. Bagi penganut Syi’ah terdapat perayaan-perayaan hari lahir bagi beberapa tokoh yang mereka agungkan seperti hari lahir Nabi Muhammad SAW, hari lahir Ali r.a, hari lahir Fatimah, hari lahir Hasan, hari lahir Husain, dan hari lahir khalifah Fatimiyah. Mereka juga merayakan hari ‘Asyura dan perayaan pada momen-momen tertentu. Ketika Dinasti Mamluk memerintah di Mesir di antara tugas pokok dari para Sultan adalah bagaimana meluruskan pemahaman masyarakat Mesir khususnya dari pemikiran-pemikiran dan pemahaman- pemahaman menyimpang kelompok Syi’ah, yang sangat berkembang selama pemerintahan Fatimiyah di Mesir. Tugas ini bersifat melanjutkan yang telah dirintis oleh sultan Dinasti Ayyubiyah. Berkat usaha yang serius dari sultan Mamluk, akhirnya jumlah masya-rakat yang sebelumnya menganut paham Syi’ah mulai berkurang, dengan arti bahwa dominasi paham Syi’ah di tengah-tengah masyara-kat Mesir mulai berkurang dan digantikan dengan dominasi pengikut paham Sunni yang juga merupakan paham para Sultan Mamluk. Salah satu cara yang paling ampuh digunakan untuk menghilangkan pengaruh syi’ah di tengah-tengah masyarakat Mesir adalah melalui bidang pendidikan di sekolah-sekolah dan dakwah di masjid-masjid, terutama di daerah yang subur berkembangnya paham Syi’ah ini. Qadi Baha’ al-Din al-Qafthi wafat 697H/1297M adalah salah seorang ulama yang berjasa memberantas paham Syi’ah di wilayah Isna dengan menyebarkan paham Sunni dan dengan menulis buku “al-Nasaih al-Muftaridhah fi al-Fadhaih al-Rafidhah” sebagai gugatan terhadap paham Syi’ah. Pada masa Pemerintahan Sultan al-Zahir Baybars terjadi perubahan penting dalam sistim peradilan yang sebelumnya sudah ada di Mesir semenjak masa Dinasti Ayyubiah. Di masa al-Zahir Baybars pada tahun 665H/1267M terbentuk sistim peradilan yang menggabungkan empat mazhab besar yang masing-masing diketuai oleh hakim agungnya sendiri. Hakim agung mazhab Syafi’i mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari yang lain karena ia diserahi tanggung jawab yang lebih besar, yakni untuk mengawasi penyantunan terhadap yatim piatu, perwakafan, dan menangani masalah-masalah baitul mal, di samping menangani urusan yurisdiksi. Sementara hakim agung yang lain mengurusi peradilan dan fatwa-fatwa bagi rakyat yang bermazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Pada awalnya fatwa-fatwa yang diakui hanyalah fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh kadi mazhab Syafi’i, namun setelah adanya kebijakaan multihakim, fatwa-fatwa dapat dikeluarkan oleh tiga kadi dari tiga mazhab lainnya. Kebijakan yang dilakukan pemerintahan Mamluk dalam bidang peradilan ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemahaman Agama bagi rakyat Mesir. Masyarakat Mesir hidup damai dalam keberagaman pemahaman dalam bidang agama. Rasa saling mengerti dan mamahami dalam perbedaan pandangan agama sudah dicontohkan oleh masing-masing tokoh pemimpin mazhab itu sendiri, maka bukanlah hal yang aneh jika terdapat dalam satu mesjid/madrasah pada masa mamluk ini kelompok-kelompok belajar dari berbagai mazhab yang berbeda. Contonya madrasah yang didirikan oleh al-Amir Fakhr al-Din bin Abi al-Farj al-Armani, di madrsah ini diajarkan materi fiqih empat mazhab. Pengaruh lainnya terhadap kebijakan menggabungkan empat mazhab fiqih dalam peradilan pada masa mamluk ini juga membawa dampak terhadap perkembangan masing-masing mazhab di tengah-tengah masyarakat Mesir, karena sudah menjadi tradisi pada masa Mamluk ini, bahwa kebanyakan sekolah yang didirikan pada masa mamluk umumnya mengajarkan mazhab-mazhab fiqih dari ke empat mazhab, seperti madrasah al-Hijaziyah yang mengajarkan fiqih mazhab Syafi’i dan fiqih mazhab Maliki, kemudian sebuah madrasah yang dibangun oleh Ibunda Sultan Asyraf Sya’ban pada tahun 771H/1369M dengan mengajarkan materi fiqih mazhab Syafi’i dan Hambali dan semua madrasah yang didirikan oleh seorang ulama mazhab dipastikan menjadikan mazhabnya sebagai materi inti. Perkembangan sekolah-sekolah/madrasah-madrasah yang mengajarkan materi fiqih dari empat mazhab tersebut, sangat berperan menciptakan kondisi yang kondusif pada masyarakat Mesir dalam keadaan berbeda mazhab. Masyarakat menjadi cerdas dalam mensikapi perbedaan-perbedaan dalam memahami Agama. Pengalaman penulis ketika menjadi Mahasiswa di Universitas al-Azhar – Mesir mendapatkan formulir pendaftarannya menyediakan kolom mazhab yang di anut, hal ini diskriminatif, tetapi untuk menyediakan wadah pembelajaran sesuai dengan mazhab yang dianut oleh calon mahasiswa tersebut ketika mempelajari materi Fiqh. Pemandangan yang beragam dalam pelaksanaan tatacara shalat di Mesjid tanpa mempermasalahkan keberagaman tersebut, juga menjadi bukti yang sangat nyata sampai saat ini terhadap kecerdasan masyarakat Mesir dalam memahami perbedaan mazhab. Selama penulis berada di Mesir belum pernah menyaksikan atau mendengar terjadinya perselisihan antara masyarakat Mesir yang disebabkan karena berbeda mazhab. D. KESIMPULAN Walaupun keberadaan Mamluk di Mesir telah merubah tatanan kehidupan sosial di Mesir dengan adanya lapisan strata sosial di tengah-tengah masyarakat, namun ketentraman dan kerukunan hidup tetap bisa dijalankan dengan baik, dengan kondisi yang kondusif inilah Mesir bisa menjadi sebuah wilayah yang maju dalam kebudayaan, terutama dalam bidang pendidikan, seni dan bangunan-bangunan infrastruktur pada saat wilayah-wilayah lain mengalami masa-masa sulit akibat serangan bangsa Mongol. Sikap toleran penguasa Mamluk di Mesir telah melahirkan sebuah budaya keagamaan yang patut dicontoh oleh penguasa-penguasa lainnya. Meskipun mereka awalnya bukanlah berasal dari seorang ayah/ibu yang muslim, namun setelah mereka menjadi muslim dan mendapatkan pendidikan Islam, mereka menjadi pemimpin yang sangat bijaksana, menghargai nilai-nilai toleransi dan karena faktor inilah di antaranya Mesir terselamatkan dari konflik mazhab yang sering terjadi di wilayah lain. []
Selengkapnya...

Transformasi Peradaban Hellenistik – Dunia Islam

Oleh : H. Rifki Abror Ananda, M.Ag (Dosen Jur. SKI FIB-Adab IAIN Padang)

Peradaban tidak ada yang berdiri sendiri, ia selalu berinteraksi dan saling melengkapi dengan peradaban-peradaban out-groupnya. Dalam konteks ini, kebesaran dan kejayaan peradaban Islam dilihat dalam konteks peradaban out-group sedang dalam keadaan statis. Tidak dapat dipungkiri peradaban Islam Klasik mendapat pengarun dari peradaban Yunani (hellenistík), dan peradaban Islam Klasik mempunyai pengaruh terhadap peradaban Eropa modern. A. PENDAHULUAN Tahun 622 M, merupakan titik awal sejarah peradaban Islam dimula. Pada tahun ini Nabí Muhammad SAW melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah. Semasa di Makkah Nabi Muhammad belum dapat bergerak dengan bebas, karena tekanan dan kekuasaan kaum Quraisy yang kuat yang pada saat itu belum dapat dipatahkan. Di Madinah sebaliknya tidak terdapat yang demikian, bahkan akhirnya Nabi Muhammad-lah yang memegang tampuk kekuasaan. Dengan kekuasaan ditangan beliau, Islam dengan mudah disebar luaskan. Pada masa Nabí Muhammad SAW seluruh semenanjung Arabia telah tunduk dalam kekuasaan Islam, dalam masa yang demikian singkat selama 10 tahun (622-632 M.) Perluasan wilayah Islam terus berlangsung, maka kekhalifahan Bani Umayyah wilayah kekuasaan Islam meliputi daerah Spanyol, Afrika Utara, Suriah, Palestina, Irak, daerah Asia kecil dan Asia Tengah. Demikian pula dengan pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah, seperti Majorca, Corsica, Sardina, Creta, Rhodes, Cyprus, dan sebagian Sicilia. Sangat disayangkan, perluasan wilayah Islam, sebagai mana banyak dituduhkan orieantalis, adalah tindakan perluasan wilayah yang ditegakkan dengan pedang atau dengan kata lain Islam ditegakkan dengan kekerasan. Padahal sernestinya tidaklah seperti yang dituduhkan tersebut. Ada beberapa faktor yang terlupakan, yaitu tindakan para penguasa di luar wilayah kekuasaan Islam yang menghina, bahkan membunuh utusan penyampai risalah yang datang pada wilayah kekuasaan mereka. hal ini mendapat tantangan dan balasan dan pemerintah. Faktor lain adalah bahwa kedua Adikuasa saat itu (Bizantium dan Persia) memasuki fase kelemahannya. Kelemahan itu bukan saja karena peperangan diantara keduanya, akan tetapi juga karena faktor-faktor dalam negeri mereka sendiri. Pertentangan agama, ataupun persaingan antara anggota keluarga kerajaan bahkan tindakan penguasa yang mengeksploitasi rakyatnya yang mengakibatkan timbulnya tindakan tidak senang dari rakyat di daerah-daerah yang mereka kuasai. Dari wilayah yang dikuasai Islam tersebut dengan jelas dapat dilihat sebagain wilayah kekuasaan Bizantium dan sebagain besar wilayah kekuasaan Persia telah jatuh dalam kekuasaan Islam. Bahkan wilayah kekuasaan Islam saat itu sudah meliputi beberapa wilayah kekuasaan peradaban sebelumnya selain Bizantium dan Persia yaitu Mesir, Mesopotamia, Yahudi, Hittit dan sebagian yang dulunya sebagai wilayah Yunani dan yang lainnya. Juga berada ditengah-tengah wilayah beradaban, daerah timur ada peradaban India dan peradaban Cina. B. PUSAT-PUSAT PERADABAN HELLENNISTIK PRA ISLAM Edward Mc. Nail Burn membedakan tingkat kebudayaan Hellenik dan Hellenistik, atau setidaknya membedakan periode pertumbuhan zaman Hellenik ilmu pengetahuan tidak berkembang dengan pesat. Ilmu pengetahuan justru berkembang pada zaman Hellenistik, merupakan perpaduan antara kebuadayaan Yunani dengan Dunia Timur. Selanjutnya oleb Burn jiwa kebudayaan tersebut dipengaruhi secara luas oleh budaya Timur walaupun bahasa Yunani dan orang-orang Yunani berperan aktif dalam banyak bidang. Disini terjadi akulturasi atau percampuran kebudayaan Barat (Yunani) dengan kebudayaan Timur (Persia, India dan Mesir). Walaupun dikatakan peradaban Hellenistik (Yunani) akan tetapi kekuasaan politik Yunani sudah terpecah dengan kematian Alexander Agung (Alexander The Great). Terjadi perebutan kekuasaan sehingga terpecah menjadi bagian-bagian kecil, bahkan daerah-daerah taklukannya memisahkan diri. Runtuhnya kekaisaran Yunani bukan berarti peradabanya ikut terkubur, akan tetapi peradaban tersebut berakulturasi dengan kebudayaan lainnya sebagaimana disebutkan di atas. Bahkab peradaban Hellenistik tersebut lebih berkembang di bagian Timur sampai dengan menjelang kedatangan Islam, beberapa wilayah taklukan Yunani merupakan pusat peradaban Hellenistik, Di bawah ini akan disebutkan beberapa daerah atau kota diantaranya: 1. Iskandariyah Kota Iskandariyah yang berada diwilayah Mesir ditepi Sungai Nill merupakan pusat terbesar Sains Hellenistik. Kedokteran Yunani terus dipraktekkan di Iskandariyah dan menggabungkan teori serta praktek Mesir dengan yang dari Yunani. Bagaimanapun vitalitas praktek Yunani-Mesir di Iskandariyah, tak dapat diragukan bahwa melalui para dokter kota ini, dan juga lewat karya medis yang terdapat diperpustakaan kaum Muslimin berkenalan dengan kedokteran Yunani. Banyak diantara tokoh Yunani yang sering dikutip adalah Hipokrates, Galen, Rufus, Paul, Dioscorides, dan hubungan dengan Materica Medica. Selain itu Iskandariyah merupakan jadi pusat perkembangan Alkhemi dan juga pusat penganut Neo Pyithagoras dan Aristoteles. Iskandariyah jatuh dan menyerah ketangan Islam pada tahun 641 M di bawah pimpinan Amr Al-Ash. 2. Jundisapur Kota Jundisapur lebih dikenal setelah sekolah di Athena di tutup karena dekrit raja, para gurunya melarikan diri ke Jundisapur. Di Jundisapur terdapat sebuah lembaga studi filsafat dan kedokteran, gurunya terdiri dari kaum Nestorin dan Monofisit. Lembaga studi filsafat dan kedokteran tersebut lebih tepat dikatakan sebuah universitas dengan sebuah fakultas kedokteran, sebuah observatorium, satu blok bangunan akademik. Letaknya yang dekat dengan Baghdad dan berada di tengah daerah Persia. Jundisapur dibangun oleh Shapur I pada abad ke 3 M. sebagai kamp tawanan perang, akan tetapi kemudian berkembang menjadi kota metropolis yang menjadi pusat sains kuno. Bahasa sains mereka adalah Yunani, Sangsekerta dan kemudian juga bahasa Syiria. Sekolah-sekolah yang ada tersebut tetap ada sampai masa Abbasiyah berkuasa. 3. Kota-kota Lainnya. Thabit ibn Qura’, anaknya, Sinan dan Kedu cucunya Thabit dan Ibrahim memberikan sumbangan yang penting dalam bidang matematika dan astronomi dalam lembaga pendidikan di Harran. Penyebaran peradaban Hellenistik dimulai dari Iskandaniyah, kemudian menyebar ke kota-kota lainnya yaitu kota Antiokia, Nisbis, dan Edessa atas jasa golongan Monophisit dan Nestorian Kristen ke berbagai negara di arah timur sampai daerah persia. C. PENERJEMAHAN NASKAH-NASKAH HELLENISTIK Kegiatan intelektual secara umum sudah dimulai terbuka pada masa Bani Umayyah, masa kekhalifahan Marwan I (684) memerintahkan penerjemahan sebuah buku kedokteran karya Asron (seorang dokter dari Iskandariyah) ke dalam bahasa Suryani. Naskah tersebut diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Akan tetapi kegiatan penerjemahan baru serius dilakukan pada masa Bani Abbas, khususnya masa pemerintahan Al-Mansyur yang sangat menyukai filsafat, hukum dan astronomi. Khalifah Al-Mansyur menjalin hubungan dengan Jundisapur adalah suatu kebetulan karena saat itu ia sedang memerlukan seorang dokter untuk mengobatinya ketika ia sakit. Ia mendatangkan Bukhtaisu seorang dokter yang pandai dan terkenal, bahkan kemudian keturunan Bakhtaisu mendominasi praktek kedokteran di Istana Bani Abbas. Di samping sabagai dokter, mereka adalah termasuk yang serius dalam mendalami ilmu pengetahuan. Secara tidak langsung membawa suasana itu ke dalam istana, apalagi khalifah mendukung usaha mereka, bahkan menjadikannya sebagai program yang penting. Masa Harun al-Rasyid, dokter istana (Yuhana) mendapat tugas menerjemahkan buku-buku kedokteran. Pada masa al-Ma’mum usaha dilaksanakan dengan mendirikan bait al-Hikmah sebagai pusat penerjemahan yang dipimpin langsung oleh Yuhanna. Keterlibatan orang persia dalam pemerintahan Bani Abbas juga membawa pengaruh dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat. Keluarga Barmak yang turun temurun menjadi menteri, gubernur dan sekretaris khalifah mempunyai peran yang sangat penting. Penerjemahan dilaksanakan dipusatkan di Bait al- Hikmah. Di samping sebagai pusat penerjemahan naskah, Bait aI-Hikmah juga akademi yang mempunyai perpustakaan. Diantara cabang-cabang ilmu pengetahuan yang diutamakan dalam penerjemahan adalah ilmu Kedokteran, Matematika, Optika, Geografi, Fisika, Astronomi, dan Sejarah di samping filsafat. Peradaban Hellenistik mempunyai pengaruh yang besar dalam bidang filsafat, dengan pengaruh Neo Platonisme yang mempunyai pengaruh yang besar terhadap pemikiran Arab. Dan Stoisisme juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap pemikiran Islam. Berikut karya-karya Yunani yang diterjemahkan dalam Bahasa Arab : 1. Aristoteles, hampir seluruh karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab seperti: Categories, Hermeneutica, Analytica, Posterior, De Anima, Sophistis, Poetics, Metaphisics, Analytica Priori dan Secret of secret. 2. Phorphirius, dengan karyannya: Isagore dan The Prologomena Amonius. 3. Plato, dengan karyanya: Tìmaeus dan Laws. 4. Ptolomey, dengan karyanya: Quadripartitus yang berisi tentang Astronomi. 5. Plotinus, dengan karyanya: Enneads. 6. Demikian juga karya-karya : Archimedes, Apollonious, Hipocratec, Euclides, Plotomeous dan yang lainnya. Di samping itu masih banyak karya-karya Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab seperti: The Treatise on The Atom (Risalah mengenai kekekalan dunia), Dioscorides (tentang tumbuhan), The Riddle of Kabes dan masih banyak lagi lainnya. Karya-karya Yunani tersebut terkadang diterjemahkan langsung ke dalam bahasa Arab, terkadang juga diterjemahkan dengan diikuti komentar dan penerjemah. Bahkan terkadang disisipi dengan kritikan penerjemah terhadap karya tersebut. Kegiatan penerjemahan ini nantinya mempunyai pengaruh yang besar terhadap kegiatan ilmiah selanjutnya. Para penerjemah mendapat dukungan pinansial (gaji) dari khalifah. Kegiatan penerjemah merupakan pekerjaan pokok mereka, mereka tidak dilíbatkan dengan urusan yang lain. Naskah terjemahan terkadang didapatkan dari wilayah kekuasaan, atau diusahakan mencarinya di pusat-pusat peradaban Hellenistik dan bahkan da yang merupakan hadiah dan pemenintahan Bizantium dan negara tetangga. Di samping naskah dari Yunani ada juga naskah dan India yang juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap peradaban Islam, terutama dalam bidang matematika. D. PERAN PERADABAN ISLAM DALAM PERADABAN DUNIA Bagi sebagian ilmuan barat (Orientalis), masih berprasangka negatif terhadap peran peradaban Islam di masa lalu. Mereka berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh ilmuan muslim dimasanya adalah sekedar komentator dan peradaban sebelumnya. Tapi hal ini dibantah oleh pihak mereka sendiri. Dengan mengajukan teori ilmu pengetahuan Yunani tidak akan dapat memasuki kebudayaan Arab kecuali kebudayaan tersebut sudah memiliki kemampuan menerima dan menyerapnya. H. A. R Gibb menyebutkan ada tiga hukum bagi penerimaan kebudayaan asing : 1. Pengaruh kebudayaan (bukan unsur-unsur tambahan yang dangkal, melainkan unsur-unsur yang benar ‘diassimilasikan) selalu didahului oleh kegiatan yang sudah ada dalam bidang-bidang yang berkaitan, dan kegiatan yang sudah ada itulah yang menciptakan daya tarik, dan tanpa tidak akan terjadi penyerapan yang kreatif. 2. Unsur-unsur yang dipinjam hanya mendorong vitalitas yang berkembang dan kebudayaan peminjaman sejauh unsur-unsur itu dihidupi oleh kegiatan-kegiatan yang pertama-tama telah menyebabkan peminjaman itu. Jika unsur-unsur itu berkembang demikian subur sehingga menggantikan, atau mengancam akan menantikan ked\kuatan kerohanian asli (dati kebudayaan peminjam), unsur itu lalu menjadi deskruktif dan konstruktif ... sesuatu kebudayaan yang hidup mengizinkan unsur-unsur peminjaman itu untuk berkembang sejauh unsur-unsur itu dapat disesuaikan dan dipadukan dengan kekuatan-kekuatannya sendiri, akan tetapi menentang dengan kuat tenaga pertumbuhan yang terlalu subur. 3. Suatu kebudayaan yang hidup mengabaikan atau menolak sesuatu unsur dari kebudayaan-kebudayaan lain yang bertentangan dengan nilai-nilai dasarnya, sikap-sikap emosional atau kriteria-kriteria eksistensinya sendiri. Mungkin saja diusahakan untuk mengcangkokan unsur-unsur itu, akan tetapi cangkokan itu tidak akan jadi dan akan mati begitu saja. Sesuai dengan “hukum” itu, ilmu-ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani tidak mungkin menjadi bagian yang tak terpisahkan dan pikiran Islam, kecuali apabila yang terakhir itu sudah siap untuk menerima dan menyerapnya. Harus sudah ada semacam kegiatan ilmiah di dikalangan umat Islam di zaman itu untuk pengetahuan Yunani dapat masuk. Karena itu dengan jelas sumber-sumber ilmu pengetahuan dan filsafat Islam; Sumber Islam yang sejati, kekuatan yang mendorong umat Islam mementingkan ilmu pengetahuan. Hal dapat dengan jelas kita rujuk dalam ajaran Al-Qur’an dan Sunnah nabi sebagai acuan pokok umat Islam. Kedua, umat yang telah mempunyai kebudayaan, kemudian masuk Islam. Ini dengan jelas kita lihat dari lingkungan tempat lahirnya Islam, ditengah-tengah persentuhan peradaban-peradaban kuno. Ketiga, pertemuan dengan peradaban-peradaban asing di sekitar wilayah Islam yang begitu luas. Dalam hal ini tidak menafikan peran peradaban Yunani atau Hellenistik yang begitu besar peranannya dalam peradaban Islam kemudian. Hal ini dengan jelas dilihat dengan begitu banyaknya karya-karya Yunani yang diterjemahkan dalam bahasa Arab, tanpa menyampingkan peradaban India, Cina dan lainnya. Bahkan peradaban Islam Zaman Klasik mempunyai pengaruh pada timbulnya reneisance dan berkembang peradaban Eropah selanjutnya. G. Lebon menulis, “Orang Arablah yang menyebabkan kita (orang Eropah) mempunyai peradaban. Merekalah yang telah menjadi guru kita selama enam abad”. Memang Islam sebagai agama tidak berpengaruh di Barat, akan tetapi ilmu pengetahuan dan teknik Islam amat dalam mempengaruhi Barat. Kemudian Ran Landau menyatakan, “Dan orang Arab-lah Eropah belajar berpikir secara objektif dan lurus. Belajar berlapang dada berpikiran luas. Inilah dasar-dasar yang menjadi pembimbing bagi reneisan dan yang menimbulkan kemajuan dan peradaban Barat”, disinilah Landau ingin menunjukkan pengaruh pemakaian akal dan kebebasan berpikir dalam Islam dan pengaruhnya dalam perkembangan kebebasan berpikir di Eropah dari belenggu agama. Pengaruh peradaban Islam klasik tersebut sangat terasa dalam banyak hal. Penggunaan kata-kata Arab dalam pemakaian nama-nama yang sebelumnya belum dikenal dalam perbendaharaan kata mereka. Kata-kata tersebut terjadi perubahan dalam cara melafalkan, disesuaikan lidah Eropah, seperti Cotton, Mousseline (kain yang halus), Moroco, (nama kata yang dinisbahkan jadi nama perlengkapan dan kulit). Dalam peristilahan matematika (logaritma, Aljabar), kimia dan lain sebagainya. Banyak tokoh-tokoh universal sains (tokoh sentral dalam pengajaran sains dan pengembangan sains dan filsafat biasanya ia sebagai penulis, penyair, dokter, astronom, matematikawan, ahli kimia, ahli obat-obatan dan juga bahkan seorang yang bijak) sangat dikenal namanya di dunia Barat, seperti : Al-Razi (Rhazes) ternama dalam ilmu kimia, Jabir ibn Hayan (gaben) pengarang buku yang terkenal, “al Isthithaam” yang disalin dalam bahasa Francis dan berpengaruh di Eropah sampai abad ke-17, Ibn Sina (Avicenna) dalam bidang kedokteran dan filsafat, ibn Rusyd (Aveoes) dengan kitabnya Kuliyah al-Tibbi merupakan buku rujukan kedokteran sampai pada abad modem ini, Al-Kindi (Alcheidius), Al-Farabi (Alfarabius), ibn al Haisam (Alhazen), ibn Bajah (Avenpace), dan ibn Tufail (Abubacer). E. PENUTUP Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa peradaban tidak ada yang berdiri sendiri, tidak peradaban Yunani, peradaban Islam ataupun peradaban Eropah. Peradaban adalah rangkaian yang tiada terputus dan selalu berassilmilasi. Peradaban Islam masa Klasik mencapai puncak pada masanya, waktu peradaban lainnya statis. Tidak dapat dipungkiri peradaban Islam Klasik mendapat pengarub dari peradaban Yunani (Hellenistík), dan peradaban Islam Klasik mempunyai pengaruh terhadap peradaban eropah Modern. Transformasi peradaban akan terjadi bila antara yang memberi dan yang rnendapatkan mempunyai kesesuaian pemahaman terhadap pemakaian akal dan kebebasan berpikir yang timbul dari ideologi suatu masyarakat. [] Selengkapnya...