Jumat, 02 Desember 2011

Haji Ilyas Ya'coub dan Persemaian Aktifis Jurnalis Minangkabau

Oleh : Asril, MA (Dosen Ilmu Sejarah Jur. SKI FIB-Adab IAIN Padang)

Ilyas Ya’kub adalah seorang tokoh yang hidup pada masa pra dan setelah kemerdekaan Indonesia. Ketokohanya dihargai oleh pemerintah melalui anugrah gelar seorang Pahlawan Nasional, yang dikukuhkan melalui keputusan presiden No. 074/TK/1999 tertanggal 13 Agustus 1999. Dalam gerak perjuangannya, ia menggunakan tulisan-tulisan di berbagai media, terutama Medan Rakyat yang ia pimpin sendiri serta partai PERMI sebagai alat penghimpun masa. Keberanian dan kebrilianan pemikiran Ilyas dalam mengkritik pemerintahan Hindia Belanda, menyebabkab ia ditangkap dan ditahan. Ia dipenjarakan mulai dari Muaro Padang, terus ke Digul, Australia, Kupang Pulau Timor, Singapura, Brunai, kembali ke Singapura dan selanjutnya baru di pulangkan ketanah air.



A. Pendahuluan

Seiring bergulirnya reformasi di Indonesia tahun 1998, maka terbuka jalan pengembangan demokrasi. Implementasi dari pengembangan tersebut, pada pemilu tahun 1999, bermunculan partai politik yang masing-masing mengklaim peduli kepada rakyat. Partai-partai politik tumbuh dengan subur bagaikan tanah yang subur sesudah disiram hujan. Didukung media yang semakin modern, dalam waktu yang tidak terlalu lama partai-partai ini sudah berkembang sampai kedaerah-daerah termasuk Sumatera Barat. Dari 24 partai yang ikut pemilu tahun 1999, tak satupun yang tumbuh dari local, semuanya tumbuh dari pusat (Jakarta). Begitu pula di Sumatera Barat atau alam Minangkabau, tak ada satupun partai yang tumbuh dari daerah ini. Kalau dibuka lembaran sejarah, orang Minangkabau sangat berperan dalam merebut dan mengisi kemerdekaan. Diantara tokoh pejuang tersebut adalah Imam Bonjol, Agus Salim, Bung Hatta, serta M Natsir. Dalam hal wadah penyampaiaan aspirasi, disini pernah lahir dan berkembang dengan baik sebuah organisasi politik yaitu, Persatuan Muslim Indonesia.

PERMI, merupakan partai politik pertama yang tumbuh di Minangkabau, berasaskan Islam dan Kebangsaan. Walaupun partai ini tumbuh dari local, namun perkembangannya sangat cepat. Organisasi ini, sebelum menjadi partai politik bernama PMI yang juga singkatan dari Persatuan Muslim Indonesia, organisasi biasa yang bergerak di bidang pendidikan, ekonomi dan social. Tetapi, semenjak kongres PMI yang kedua tanggal 24 Oktober sampai 1 November 1931, PMI di robah menjadi PERMI dan ditetapkan sebagai partai politik yang bertujuan Kebangsaan dan Kesentosaan Bangsa dan Tanah Air Indonesia, Kesempurnaan dan Kemuliaan Islam, Khususnya di Indonesia Umumnya di Seluruh Dunia. Dalam tulisan ini, penulis hendak mengungkapkan kiprah salah seorang tokoh PERMI yaitu Ilyas Ya’kub. Ia adalah seorang pengurus yang trampil dalam membesarkan partai dan juga seorang pejuang kemerdekaan. Keunikan tokoh ini terletak pada keahliannya mempergunakan media dalam mensosialisasikan partai serta meluncurkan tulisan-tulisan menuntut kemerdekaan terutamanya melaui majalah “ Medan Rakyat”.

Dalam kurun waktu lebih kurang dua tahun setelah kelahirannya, PERMI berkembang menjadi salah satu partai berpengaruh di Sumatera Barat, dan menyebar kedaerah-daerah lain seperti Tapanuli, Sumatera Timur, Aceh, Bengkulu dan Sumatera Selatan. Pada bulan Desember 1932, partai ini sudah memiliki 7. 700 anggota pria dan 300 orang wanita. Perkembangan ini, tidak hanya terlihat melalui bidang politik saja, namun juga dalam bidang yang lain. Seperti dalam bidang pendidkan, lebih kurang 58 perguruan atau sekolah di bawah naungan PERMI telah membagun sekolah yang dinamai dengan Al-Kulliyat_Al-Islamiyah (Islamic College).

Sementara itu dibidang ekonomi, secara intens mempropogandakan agar selalu memakai produk-produk sendiri. Untuk memenuhi anjuran itu, PERMI cabang Payakumbuh mendirikan pabrik minyak goring, cabang Pariaman mendirkan pabrik sabun, cabang Kayutanam mendirikan pabrik roti sedang di Parabek Eli Erman Jamal mendrikan toko buku. Semua hasil produk warga simpatisan dicantumkan logo PERMI, yang berlogokan keris terhunus dan matahari. Kebesaran PERMI dikala itu, tak terlepas dari upaya tokoh-tokoh yang termashur, diantarannya adalah Haji Ilyas Ya’kub.

Setelah lebih kurang 7 tahun PERMI menghiasi pentas perpolitikan di Sumatera Barat, akhirnya mengalami kemunduran yang berlanjut dengan kehancuran. Kemunduran ini di sebabkan oleh larangan-larangan yang diberlakukan oleh pemerintahan Kolonial Belanda. Setiap upaya-upaya, selalu mendapat tantangan dari pihak pemerintahan Kolonial. Puncak kemarahan pemerintah Kolonial adalah dengan ditangkapnya tokoh-tokoh partai tersebut. Mereka di penjarakan kemudian dibuang ke Digul. Sementara itu, para guru-guru Thawalib yang bergabung dengan PERMI dilarang mengajar, para pelajarnya ditekan dan diintimidasi oleh penjabat-penjabat pemerintah agar meninggalkan sekolah mereka. Akibat dari larangan itu, PERMI jadi meredup. Walau diusahakan bangkit dengan cara lain seperti, mengalihkan kegiatan dengan aksi-aksi yang di salurkan lewat majalah, surat kabar dan pamplet, ini juga dilarang oleh pemerintah. akhirnya pada tanggal 18 Oktober 1937 partai politik PERMI resmi dibubarkan oleh pemerintah.

Dalam tulisan ini, penulis tertarik untuk meneliti riwayat dari salah seorang tokoh pendobrak keberhasilan PERMI yaitu, Ilyas Ya’kub. Ia selain seorang tokoh partai, juga seorang ilmuan, pendidik dan jurnalis pada majalah “Medan Rakyat” yang ia pimpin sendiri. Disamping itu, Ia juga dianugerahi oleh pemerintah sebagai seorang Pahlawan Nasional. Keputusan tersebut di tuangkan dalam keputusan presiden RI No. 074/TK/1999 tertanggal 13 Agustus 1999. Bahwa H. Ilyas Ya’kub resmi ditetapan sebagai Pahlawan Nasional. Dibanding dengan tokoh-tokoh yang lain separti, H. Jalaluddin Thaib dan H. Muchtar Lutfi, Ilyas Ya’kub dipandang lebih berperan sebagai seorang tokoh nasional, sehingga beliau di anugerahi gelar sebagai seorang Pahlawan Nasional. Berdasarkan latar belakang ini penulis tertarik untuk melihat bagai mana riwayat hidup Ilyas Ya’kub terutama seputar latar belakang keluarga, pendidikan, pemikiran dan kiprahnya dalam PERMI, karier serta sejarah kematian. Dalam penelitian ini, penulis memakai pendekatan studi tokoh dengan metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Artinya penelitian ini selain mengumpulkan data-data dari perpustakaan berupa tulisan dan yang sejenis, maka tulisan ini juga mangambil sumber dari lapangan berupa wawancara kepada orang-orang yang diperkirakan mengetahui dengan permasalahan yang di teliti.

B. Latar Belakang Keluarga.

Ilyas Ya’kub, dilahirkan pada hari Jum’at bulan Rajab tahun 1903 M, di Asam Kumbang Painan, Kabupaten Pesisir Selatan. Ia terlahir dari pasangan keluarga Haji Ya’kub dan Siti Hajir. Bapaknya berprofesi sebagai seorang pedagang kain sementara ibunya seorang ibu rumah tangga biasa. Kakek dari pihak ayahnya bernama Haji Abdurrahman seorang ulama terkemuka di Pesisir Selatan bahkan sampai ke Kerinci. Dalam keluarga, Ilyas anak ketiga dari empat bersaudara yang kesemuanya laki-laki. Dari silsilah keturunan, Ilyas adalah cucu dari seorang ulama. Kakeknya banyak mempunyai murid, baik yang berdomisili di Painan maupun di Kerinci. Selain seorang ulama, ia juga seorang yang haus dengan ilmu, ini terlihat dari kemauanya menuntut ilmu, mulai dari kampung halaman, ke Aceh bahkan sampai ke Makkah.

Pada tahun 1932, setahun sekembalinya dari Mesir, Ilyas menikah dengan Tinur seorang putri kesayangan Haji Abdul Wahab guru mengaji Ilyas sebelum berangkat ke Makkah. Pesta pernikahannya tidak dilaksanakan di kampung, tetapi di Semurut Kerinci. Di daerah ini, banyak terdapat murid-murid calon mertuanya, serta letak daerahnya juga jauh dari kota Padang. Pesta pernikahan dilaksanakan secara sederhana, tapi cukup berkesan walau jauh dari kota Padang. Walau pesta ini sudah dilaksanakan di daerah, namun mata-mata Belanda dapat juga mengetahuinya, sehingga perhelatan itu terpaksa diundurkan beberapa hari. Ilyas ditangkap dengan tuduhan mengadakan rapat raksasa untuk mempropagandakan kemerdekaan Indonesia. Setelah melalui proses dengan pemerintahan Belanda, beberapa hari kemudian Ilyas dilepas.

Dari hasil pernikahan Ilyas dan Tinur, mereka dikaruniai 13 orang anak. Ketika penulis mewawancarai salah seorang dari anak Ilyas Ya’kub yang bernama Mulyetri Ilyas, ia mengungkapkan, dari ketiga belas mereka bersaudara yang masih hidup adalah 10 orang, sedang yang tiga orang lainnya telah meningal dunia. Ketiga orang yang telah meninggal dunia itu, satu meninggal di Digul dan satunya lagi di Australia keduanya meninggal pada masa pembuangan. Sedangkan yang satu lagi, meninggal di Padang sekembalinya dari pembuangan. Adapun yang masih hidup adalah: Ali Syaidi Ilyas, Fikri Ilyas, Rostila Ilyas, Rawasi Ilyas, Fauzi Ilyas, Silmi Ilyas, Hayati Ilyas, Surihati Ilyas, Mulyetri Ilyas dan Tisri Yeni Ilyas. Putri ke duabelas Ilyas ini mengungkapkan, melalui informasi dari ibu dan kakak-kakaknya, ia mengetahui bahwa ayahnya mempunyai hobi, suka menulis dan senang mendengarkan lagu-lagu apa saja. Disela-sela hari libur di rumah, ia juga sering bercanda dan bermain dengan kami seperti main kuda-kudaan dan sulap-sulapan. Walaupun begitu, disisi lain beliau selalu serius dalam setiap kali menghadapi masalah, tegas dan pantang di sogok walau dengan apapun.

C. Pendidikan

Pendidikan formal Ilyas Ya’kub, berawal dari sekolah Gouverment Inlandsche School di daerah Asam Kumbang Painan, Kab. Pesisir Selatan. Pada malam hari setelah selesai sholat magrib, ia belajar mengaji dan pelajaran agama pada kakeknya di surau desa. Setelah menamatkan pendidikan formal, Ilyas bekerja di sebuah perusaan tambang batu bara, Ombilin Sawahlunto sebagai juru tulis. Pekerjaan ini ia tekuni selama lebih kurang dua tahun antara tahun 1917 sampai dengan tahun 1919. Di perusaan tambang ini, Ilyas melihat dengan langsung bagaimana nasib buruh kuli yang diperintah oleh penjajah. Pada suatu hari, Ilyas menyaksikan seorang mandor Belanda melakukan perbuatan yang diluar prikemanusian. Ia menyiksa seorang pekerja tambang yang sedang duduk istirahat karena lelah akibat beratnya pekerjaan yang mereka lakukan semenjak pagi. Tidak tahan bekerja dibawah tekanan penjajah, Ilyas keluar dari pekerjaan dan kembali ke kampung halaman.
Di kampung, Ilyas kembali belajar agama kepada seorang ulama terkemuka di koto Merapak, yaitu Syekh Abdul Wahab yang selanjutnya nanti gurunya ini menjadi mertuanya. Setelah dua tahun belajar pada Syekh Abdul Wahab, Ilyas diajak gurunya menunaikan ibadah Haji ke Makkah. Di sana ia mempergunakan kesempatan itu untuk melanjutkan pendidikan. Dari Makkah, Ilyas terus ke Mesir dan mendaftar sebagai mahasiswa di Universitas Al-Azhar Kairo.
Selama jadi mahasiswa, Ilyas tidak hanya sekedar kuliah, tetapi juga aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Baginya, suatu kewajiban moral untuk memperjuangkan nasib bangsa dari penjajahan kolonial Belanda. Tugas mahasiswa bukan hanya belajar, lebih dari itu merupakan komitmen terhadap realitas social dan politik serta berusaha demi kemajuan bangsa, agar terbebas dari kekuasaan penjajah. Untuk itu, bersama rekan-rekan mahasiswa lain yang sama-sama berasal dari Indonesia, juga bergabung dengan mahasiswa lainnya yang berasal dari negeri jiran Malaisyia, ia mendirikan Al-Jami’ah Al-Khairriyyah, yaitu organisasi social kemahasiswaan yang bertujuan untuk memperbaiki dan memperlancar anggotanya. Terlepas dari tujuan utama tersebut, organisasi ini juga merupakan wadah dari mahasiswa dua negeri serumpun guna mendiskusikan masalah kolonialisme.
Selain aktif di organisasi, Ilyas juga aktif dalam bidang jurnalistik. Dalam bulan September 1925, ia menerbitkan majalah “Seruan Al-Azhar”, yaitu majalah bulanan mahasiswa. Kedua majalah ini adalah, untuk bacaan orang-orang Indonesia, baik yang berada di Mesir maupun yang berada di tanah air. Melalui kedua majalah ini, Ilyas banyak merefleksikan sikapnya terhadap praktek kolonial yang tengah melanda di berbagai daerah di Asia dan Afrika. Fikiran-fikiran serta ide-ide yang ada di benak Ilyas, disampaikannya melalui kedua majalah ini. Tak lupa pula untaian semangat dan cinta tanah air, selalu ditebarkan. Pokoknya semangat untuk bebas dari kungkungan penjajah serta cinta tanah air selalu diselipkan dalam majalah ini. Tulisan-tulisan yang cukup pedas dan tegas anti penjajahan Belanda, tampaknya telah menyinggung perasaan Pemerintahan Belanda. Melalui kedutaan pemerintahan Belanda di Mesir, mereka mencoba mengupayakan penangkapan, namun usaha ini gagal, karena Ilyas dilindungi oleh beberapa tokoh Nasionalis Mesir. Jalan lain yang ditempuh oleh pemerintahan Belanda adalah dengan memblok majalah-majalah pimpinan Ilyas yang beredar di Indonesia.
Kesibukan Ilyas dibidang organisasi, jurnalistik serta sikapnya yang anti kolonial, mendapat atensi yang cukup besar dari kalangan tokoh-tokoh pergerakan nasional Mesir. Bahkan Ilyas menjadi tamu tetap di markas besar Partai Hizbul Wathan dan sering di ikut sertakan dalam acara-acara kepartaian. Keikut sertaan Ilyas dalam acara-acara Partai Hisbul Wathan telah mempengaruhi jalan fikirannya terutama menyangkut kolonial. Dua media yang ia pimpin, seakan-akan telah menjadi pelancar tujuan dan pikiran-pikiran para tokoh Nasionalis Mesir tersebut, dan juga merupakan suatu keuntungan besar bagi perjungan Ilyas dan kawan-kawan. Bagaimanapun juga, pergerakan yang terjadi di Mesir pada awal abad ke dua puluh, semakin memperkuat rasa kebangsaan mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari Indonesia, dengan ideologi yang berasaskan Islam dan Kebangsaan. Rasa ke Islaman merupakan cerminan perjuangan Muhammad Abduh, sedang kebangsaan cerminan dari anjuran Mustafa Kamil. Selanjutnya cerminan perjuangan yang ada di Mesir, merupakn isnspirasi bagi Ilyas untuk melancarkan perjuangan setelah kembali ketanah air. Lantaran keaktifan di bidang politik dan jurnalistik, mengakibatkan ia tidak menamatkan kuliahnya di Al-Azhar. Kondisi ini kelihatanya tidaklah mematahkan semangat anti kolonial Ilyas. Karena selama di Mesir lebih kurang enam tahun, telah banyak memberinya pengalaman berharga yang tak mukin di dapati di bangku kuliah.

D. Pemikiran dan Kiprah Ilyas Ya’kub

Dalam bidang politik, Ilyas memantapkan hatinya berkiprah dalam tubuh partai Persatuan Muslim Indonesia (PERMI). Ia sekaligus telah ikut ambil bagian dalam membidani kelahiran PERMI. Pada kongres pertama partai ini tanggal 20-21 Mei 1930 di Bukittinggi, diputuskan Ilyas Ya’kub diangkat sebagai wakil ketua dalam kepengurusan. Sebagai seorang yang pertama kali memformulasikan landasan ideology PERMI, Ilyas dengan penuh keyakinan mempropagandakan ide-ide Islam dan Kebangsaan, sebagai lambang bagi pergerakan nasional Indonesia. Sebuah surat kabar “Medan Rakyat” ia terbitkan sebagai alat propaganda. Melalui majalah ini, Ilyas menyampaikan pokok-pokok pikirannya mengenai PERMI dan nasionalisme serta aktivitas pergerakan bangsa Indonesia. Ketika azas PERMI Islam dan Kebagsaan banyak diserang oleh berbagai pihak, Ilyas tampil dengan ide-ide yang cemerlang lewat Medan Rakyat. Ia menuliskan bahwa Islam dan Kebangsaan adalah perasaan yang suci dan pantas meresap pada setiap dada pemuda dan mengalir ke seluruh tubuhnya setiap saat. Nantinya diharapkan menjadi tunas unggul dan mempunyai kemampuan serta keberanian dalam membela agama, bangsa dan tanah air.
Menurut Ilyas, sampai tahun 1931, persatuan dan kesatuan belum juga terwujud di kalangan rakyat Indonesia. Ia masih melihat pertikaian dalam hal basis ideologi pergerakan nasional, masih saja mewarnai perjuangan kelompok-kelompok pergerakan. Pada saat itu, Ilyas mulai menyerukan tentang persatuaan tampa harus berpedoman pada satu agama. Hal ini terlihat dalam salah satu artikel yang ditulisnya sebagimana yang dikutip oleh Taufik Abdullah dalam Medan Rakyat No. 5 bulan April 1931, sebagai berikut: “Pabilakah masanya Indonesia dapat mengemukakan ukuran yang diletakkan di tengah-tengah satu bangsa dalam pergerakan. Kalau kita belum bisa bersatu atas nama satu agama, apakah salahnya kita bersatu atas naungan panji-panji sebangsa dan setanah air”. Lebih lanjut Ilyas mengatakan, bahwa perpecahan di tubuh pergerakan nasional adalah merupakan sebuah tragedi, sedang kelahiran PERMI yang berlandaskan Islam dan Kebangsaan, merupakan jalan untuk mengakhiri tragedi tersebut. Dengan kata lain, Ilyas hendak mengatakan bahwa utuk suatu pergerakan janganlah kita hanya terkotak pada satu kesatuan saja, tetapi bergeraklah dari berbagai kesatuan. Apakah itu melalui organisasi politi, keagamaan atau bahkan kesukuan. Menurut Ilyas, PERMI hanyalah salah satu wadah untuk menuju persatuan dan kesatuan tersebut.
Pada tanggal 19 Juli 1931, dalam sebuah rapat umum PERMI cabang Padang, Ilyas tampil sebagai pembicara. Pertemuan ini menggagas tentang hal-hal pembangunan pikiran dan semangat untuk pergerakan. Ilyas tampil dengan judul pidato “Semangat pergerakan yang dilandasi oleh Islam dan kebangsaan”. Menurut Ilyas kemerdekaan adalah cita-cita bagi setiap insane yang tertindas. Siapapun yang merasa hari ini tertindas oleh penjajah yang bercokol di negeri tumpah darah kita, bangkit dan bangunlah untuk menapak hari esok nan cerah. Jadikan Islam dan Kebangsaan sebagai landasan utama buat modal meraih kemerdekaan.
Tentang disiplin partai, Ilyas sebagai salah seorang pimpinan partai, juga harus menegakkan kedisplinan dan mengontrol anggota partai. Kasus Darwis Thaib, sebagai mana yang dikutip oleh Andi Asoka dalam Medan Rakyat, merupakan pelajaran bagi PERMI terhadap tindakan indispliner yang dilakukan pengurus partai. Kasus itu bermula dari adanya desas-desus yang menyebutkan bahwa Darwis Thaib, selain aktif di PERMI juga aktif di PNI. Desas-desus ini menarik perhatian Ilyas, ia segera menangani kasus tersebut. Setelah melakukan penelitian, Ilyas melaporkan kasus ini dalam sidang PB PERMI, yang akhirnya memutuskan untuk memecat Darwis Thaib dari keanggotaan.
Berdasarkan pengalaman ini, Ilyas mengusulkan bahwa untu menjadi pengurus PERMI, terlebih dahulu harus lulus tes disiplin partai. Selain itu para kandidat pengurus partai harus menunjukan kemampuan intelektualnya, sebagai cendikiawan partai. Demikian juga halnya dengan cabang-cabang partai yang berada di daerah, baru akan disetujui sebagai cabang, apabila telah luluis tes disiplin diantara cabang serta telah membuktikan kepatuhannya kepada dewan sentral. Namun usulan ini ditolak oleh PB PERMI. Yang menarik dari usulan Ilyas ini adalah, keinginannya untuk menjadikan PERMI sebagai sebuah partai yang mempunyai disiplin tinggi dan lebih bersifat sentralistis. Alasan penolakan usulan Ilyas, agaknya berkaitan dengan ketakutan dewan sentral yang ingin menjadikan PERMI sebagai organisasi politik masa, yang radikal dan revolusioner.
Dalam dunia Pers, Ilyas Ya’kub telah memperlihatkan kepiawaianya. Ia mendirikan majalah Medan Rakyat dan menyampaikan ide-ide kreatifnya lewat majalah tersebut serta melalui media-media lainnya. Memang kalau kita lihat eksistensi pers di Indonesia pada awal abad ke-20, maka akan kelihatan parallel sekali dengan cita-cita kebangsaan. Pers dijadikan salah satu media yang efektif untuk mendidik masyarakat, sekaligus untuk membangkitkan semangat dan cita-cita pergerakan kebangsaan. Hampir setiap tokoh atau organisasi pergerakan senantiasa memerlukan pers, guna membangkitkan kesadaran rakyat dalam menasionalisasikan cita-cita kebangsaan sekaligus memberikan pendidikan dari berbagai segi. Maka tidaklah mengherankan, kalau Ilyas juga memahami arti penting pers bagi pendidikan dan pergerakan nasionalisme. Seperti yang tertera dalam sebuah tulisanya pada editorial pertama Medan Rakyat :
“Apa sadja jang di bangoen bangsa dan tjita2 jang di harapkan berhasil dengan boeah pergerakan, perlu mempounyai samboungan lidah (pers). Ia akan membawa dan menyampaikan pemandangan, perasan dan tjita2 itoe. Kita rakyat Indonesia jang djoega masoek golongan bangsa jang bangoen dan bergerak, perloe mempoenyai samboengan lidah soepaya pergerakan kita itoe djangan tuli dan keloe”.
Keyakinan Ilyas menjadikan pers sebagai salah satu media, untuk mendidik dan membangkitkan semangat rakyat, tidak saja melalui surat kabar Medan Rakyat, namun ia juga aktif membantu surat kabar yang terbit di pusat pergerakan (Jakarta dan Surabaya), yang dipimpin oleh tokoh-tokoh pergerakan Indonesia. Misalnya Indonesia Berdjoeang, adalah sebuah surat kabar yang terbit di Jakarta yang dipimpin oleh Soekarno dan M. Yamin. Dalam surat kabar ini, Ilyas bersama-sama dengan Ali Sastro Amidjojo dan Amir Syarifudin, bertindak sebagai redaktur pelaksana. Disamping itu, pada majalah terbitan Surabaya, Ilyas Ya’kub juga duduk sebagai redaktur bidang luar negeri, serta juga ikut membantu surat kabar yang terbit di Padang.
Kalau kita perhatikan, perjuangan untuk bangsa melalui pers pada era 1920-an, bukanlah pekerjaan yang mudah. Tidak saja karna faktor modal yang pas-pasan di tengah-tengah persaingan pers Belanda dan Tionghoa yang menjadi kendala, melainkan harus berhadapan dengan kepolisian Belanda. Ilyas pernah dipanggil komisaris polisi, karena dituding tidak mengirimkan satu eksemplar terbitannya kepada pihak yang berwajib, padahal ia selalu mengirimkan satu eksamplar setiap kali terbit. Dari perspektif ini, dapat kita pahami bahwa Ilyas Ya’kub, telah berperan aktif melalui media surat kabar, mendidik dan mengobarkan semangat nasionalisme kedalam dada masyarakat. Ia telah berhasil mengambil simpati masyarakt melalui aksi-aksinya di dunia jurnalis. Mulai dari ketika ia jadi mahasiswa di Mesir, sampai di tanah air. Melalui Medan Rakyat Ilyas telah banyak merobah pola pikir masyarakat, sehingga telah membuka mata dan pikiran masyarakat terhadap kondisi bangsa yang sedang dijajah.
Dalam bidang pendidkan, usaha Ilyas untuk kemajuan masyarakat tentu tidak terlepas dari usaha-usaha PERMI. Program pokok tentang pendidikan adalah ingin menyebarkan pelajaran dan pendidikan kepada rakyat yang berdasarkan ke Islaman dan Kebangsaan. Sehingga dalam usaha untuk meningkatkan kecerdasan rakyat, PERMI berusaha mendirikan sekolah-sekolah, mulai dari tingkat rendah sampai ke tingkat perguruan tinggi. Disamping itu, juga membuka tempat kursus-kursus dalam berbagai keahlian. Pendidikan ini bertujuan selain untuk meningkatkan kecerdasan, juga untuk tujuan politik kemerdekaan. Dengan berkembangnya pendidikan, diharapkan meningkat kesadaran rakyat untuk bergerak dalam menuntut kemerdekaan Indonesia.
Setelah kongres ke II PERMI di Padang tahun 1931, Ilyas Ya’kub terpilih sebagai Ketua Departemen Pendidikan. Dalam waktu yang relatif singkat, dari tahun 1930 sampai tahun 1931, PERMI telah berhasil mendirikan Islamic College. Usaha itu tentulah didorong oleh cita-cita dan kemauan yang tinggi untuk merealisasikan apa-apa yang pernah di programkan PERMI, khususnya dalam bidang pendidikan. Hal ini terlihat dari isi pidato pembukaan Islamic College pada hari Jum’at tanggal 1 Mei 1931, Ilyas Ya’kub menyampaikan bahwa berdirinya Islamic Kollege, tidaklah terlepas dari partisipasi rakyat dan bukanlah semata-mata hasil jerih payah pengurus. Berkaitan dengan hal itu, partisipasi yang diberikan rakyat merupakan perwujudan respon positif masyarakat terhadap PERMI. Konsekwensinya menurut Ilyas, PB PERMI di tuntut untuk lebih giat lagi bekerja dalam mengembangkan pendidikan serta meningkatkan derajat Islam dan Kebangsaan.
Berdirinya Islamic College, dimotori oleh IlyasYa’kub dan Basa Mandaro. Menurut mereka, Islamic College didirikan dalam rangka menciptakan “Manusia seutuhnya dengan pribadi yang khusus”. Para mahasiswa diharapkan memiliki pengetahuan yang khusus baik dalam bidang pengetahuan umum, maupun agama. Lembaga pendidikan yang bertujuan selain melatih guru, juga pimpinan politik masa depan. Sekolah ini mempunyai dewan penasehat yang diketuai oleh Kusuma Atmadja. Dewan ini bertugas sebagai penanggung jawab penyusunan kurikulum dan kemajuan perguruan. Pimpinan dari perguruan itu di jabat oleh Abdul Hakim, seorang ahli hukum. Sedangkan majlis gurunya direkrut dari orang-orang tamatan Mesir dan AMS. Pada sisi lain, Ilyas dan Jalaluddin Thaib adalah orang-orang yang sesungguhnya mengawasi dan menjalankan sekolah itu sebagai sebuah perguruan tinggi. Selain di Islamic College, Ilyas juga menjadi staf pengajar di sekolah Training Guru Wanita yang dipimpin oleh Muchtar Luthfi. Sekolah ini menjadi suatu tempat kursus politik yang sangat efektif, hal ini sangat di mukinkan karena aktivitas dari anggota dewan sentral yang sering mengajar di sekolah itu. Di sekolah ini, Ilyas dipercayai memegang mata pelajaran bahasa Arab dan ilmu Usulul Qawanin.
Ketika pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan undang-undang untuk menertibkan sekolah-sekolah swasta yang dikelola oleh bumi putra. Pada saat itu, perkembanngan pendidikan Indonesia semakin meningkat. Kemajuan itu terlih dari banyaknya muncul lembaga-lembaga pendidikan swasta yang dikelola oleh tokoh-tkoh pergerakan Indonesia. Undang-undang yang dikeluarkan pemerintah tersebut atau yang dikenal dengan Ordonansi, menurut Ilyas adalah sebuah cara pemerintah untuk menghalangi dan merusak kemajuan serta keselamatan dari sekolah rakyat di masa depan.
Lebih lanjut Ilyas jelaskan, bahwa ordonansi itu secara tidak langsung telah menghambat cita-cita kaum pergerakan, untuk mencapai kemerdekaan bagsa dan tanah air. Bahkan ia berucap, untuk suatu tindakan yang menghambat cita-cita bangsa, haruslah disingkirkan dengan segenap kemampuan yang ada. Keberadaan ordonansi, pasti akan mempengaruhi perkembangan sekolah-sekolah yang didirikan PERMI, yang juga merupakan sekolah swasta, sebagaimana yang dituntut oleh ordonansi tersebut. Hal itu mendorong Ilyas untuk menentukan sikap dalam hal ordonansi. Melalui konferensi PERMI pada tanggal 26 Desember 1932, atas nama Ilyas Ya’kub sebagai Kepala Departemen Pendidikan PERMI, menentukan sikap terhadap ordonansi. Diantaranya adalah:
1. Menolak ordonansi sekolah liar dan berusaha untuk menghapuskannya.
2. Menentang ordonansi sekolah liar secara bersama-sama dengan kehalusan budi dan kesabaran, dalam membayarkan kewajiban dan mempertahankan hak suci.
3. Sekolah-sekolah Thawalib dari dewan Pelajar dan Pendidikan PERMI serta sekolah-sekolah yang di bawah naungan PERMI, akan melanjutkan perjalanannya sebagai mana sedia kala.
Ilyas Ya’kub, terpaksa bekerja ekstra keras untuk menentang ordonansi itu. Medan Rakyat, ia pergunakan sebagai alat ampuh untuk menentang kebijakan tersebut. Dalam berbagai kesempatan, Ilyas mengunjungi cabang-cabang partai di daerah-daerah, untuk menerangkan sikap PERMI terhadap ordonansi. Semasa Ilyas menjabat Ketua Departemen Pendidikan PERMI bersama Muchtar Luthfi, ia juga berusaha untuk menanamkan sistem pendidikan modern pada sekolah Sumatera Thawalib, seperti yang terdapat di sekolah-sekolah yang terdapat di Mesir. Ilyas mencoba memecah Sumatera Thawalib dua tingkat, dengan lama waktu pendidikan tetap tujuh tahun. Tingkat itu masing-masing adalah, Tasnawiyah dengan lama belajar empat tahun, dan Ibtidaiyah lanjutan dari Tasnawiyah, dengan lama belajar tiga tahun. Disamping itu, Ilyas Ya’kub bersama dengan Jalaluddin Thaib juga memimpin departemen khusus guna memeriahkan semangat kemerdekaan nasional. Departemen ini dibentuk untuk menumbuhkan semangat kesadaran politik di kalangan rakyat dengan memberikan kursus politik, serta pengelolaan propaganda-propaganda PERMI keluar.

E. Karier

Ilyas Ya’kub, memulai karirnya sebagai seorang juru tulis di perusahaan tambang batu bara Ombilin Sawahlunto. Selama lebih kurang dua tahun di sini, baginya serasa bertahun-tahun karena tidak tahan melihat penderitaan kaum buruh. Kendatipun dalam usia yang begitu muda, namun situasi kehidupan kaum buruh yang disaksikan tiap hari benar-benar telah mengobarkan semangat perjuangan. Akan tetapi untuk melawan secara langsung dalam umur 14 tahun, tentu saja belum bisa ia laksanakan. Apalagi untuk menghimpun atau mengorganisir suatu kekuatan untuk melawan penjajah dan kebathilan, tentu saja belum memungkinkan. Karena selalu menyaksikan kondisi yang tidak ia inginkan, maka Ilyas mengundurkan diri sebaga juru tulis dan kembali ke Asam Kumbang Painan.
Setelah dua tahun di kampung, Ilyas dibawa oleh gurunya menunaikan ibadah Hajji ke Makkah. Semenjak berada di Makkah, ciri-ciri seorang tokoh mulai kelihatan pada diri Ilyas. Karena selam berada di Mesir, ia tidak saja aktif di organisasi kemahasiswaan namun juga aktif di organisasi sosial lainnya. Baginya, tugas mahasiswa bukan sekedar belajar tapi yang lebih penting adalah mempunyai komikmen terhadap realitas social dan politik serta berusaha untuk kemajuan bangsa. Untuk itu, Ilyas bersama-sama dengan mahasiswa Indonesia dan Malaysia, mendirikan Al-Jami’ah Al-Khairiyah. Organisasi ini selain bertujuan untuk memperlancar studi, yang terpenting adalah sebagai tempat mendiskusikan masalah kolonialisme dan imperialisme. Dalam organisasi ini, Ilyas duduk sebagi sekretaris dan diketuai oleh Djanan Thaib.
Persahabatan Ilyas dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional Mesir, seperti Mustafa Kamil, Syekh Mahmoud Abdul Youm dan Abdul Hamid Bey, menyebabkan ia semakin berkecenderungan di bidang politik. Pada tanggal 12 April 1926, Ilyas bersama sahabatnya Muchtar Luthfi, mendirkan sebuah organisasi yang berorientasi politik yaitu Perhimpunan Penjaga Indonesia (PPI) kemerdekaan Indonesia adalah tujuan dari organisasi ini. Lebih kurang enam tahun mulai dari tahun 1923-1929 Ilyas belajar dan melakukan kegiatan politik anti kolonialisme di Mesir. Ketika ia hendak kembali ketanah air tahun 1929, pemerintah Belanda berusaha menghalang-halanginya untuk sampai ke tanah air, dengan mengupayakan kapal yang ditumpangi Ilyas singgah di Singapur, kemudian ke Jambi. Namun halangan-halangan itu tidak sedikitpun mematahkan semangat Ilyas kembali ke kampung halaman.
Sesampai di tanah air, Ilyas menyaksikan iklim pergerakan nasional Indonesia sedang diwarnai oleh konflik ideology antar golangan nasionalis sekuler yang berideologikan kebangsaa, dengan golongan nasionalis agama yang beridiologikan Islam. Perbedaan paham antar kedua golongan ini, pada prinsipnya didasari oleh masalah basis ideology yang cocok bagi pergerakan nasianal Indonesia. Antara kedua golongan saling melemparkan tudingan dan kritikan-kritikan. Kondisi seperti ini, membangkitkan semangat Ilyas untuk ikut terlibat dalam kancah pergerakan nasional, guna memperjuangkan kemerdekaan. Untuk mewujudkan ini, tak lama berada di kampung, Ilyas pergi ke Jawa untuk membuka hubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti, PNI, dan Syarikat Islam. Dari hasil kunjungan ke Jawa, ia berkesimpulan bahwa perpaduan antar kedua ideologi yang sedang berseteru adalah model yang sangat cocok buat partai baru yang akan dilahirkan di Minangkabau, yaitu Islam dan Kebangsaan.
Ketika PERMI didirikan tahun1930 di Bukittinggi, Ilyas langsung mengumumkan konsep tentang ideologi yang harus dipakai, yaitunya Islam dan Kebangsaan. Ide yang ditawarkan itu pada dasarnya, adalah usaha untuk menjembatani jurang pemisah antara golongan nasionalis sekuler dengan golongan nasionalis Islam. Selain itu, ia seolah-olah ingin memperngatkan kaum pergerakan, bahwa perpecahan dalam dunia pergerakan nasional Indonesia merupakan bahaya laten yang dapat menghambat cita-cita kemerdekaan itu sendiri.
Pada kongres PERMI pertama, terpilih Dewan Eksekutif yang terdiri dari: H. Abdul Majid sebagai ketua, H. Ilyas Ya’kub sebagai wakil ketua, Mansur Daud sebagai sekretaris dan H. Syu’ib el-Junusi sebagai bendahara. Berdasarkan jabatan sebagai wakil ketua, Ilyas mempunyai tanggung jawab pekerjaan yang cukup besar. Untuk mempropagandakan PERMI beserta azasnya, Ilyas menerbitkan sebuah surat kabar yang bernama Medan Rakyat. Dalam editorialnya yang pertama, sebagaimana yang di kutip oleh Andi Asoka dalam Medan Rakyat nomor 1, Februari 1931. Ilyas menyebutkan, bahwa azas dari Medan Rakyat adalah Islam dan Kebangsaan, dan berdiri netral diatas semua partai. Melalui editor ini, tergambar kiranya bahwa Ilyas Ya’kub akan mempublikasikan Islam dan Kebangsaan. Seperti yang tercermin dalam artikel-artikel terbitan Medan Rakyat yang banyak memuat tulisan-tulisan tentang Islam dan Kebangsaan serta aktifitas pergerakan bangsa Indonesia untuk menuju gerbang kemerdekaan.
Aksi-aksi yang dilancarkan Ilyas di atas, ternyata mendapat perhatian khusus oleh pemerintahan kolonial Belanda. Dalam penggeledaan yang dilaksanakan pada hari selasa tanggal 5 September 1933, dalam tas Ilyas Ya’kub ditemukan beberapa buah majalah Madjou dan dua buah buku politik. Selesai penggeledaan, Ilyas ditangkap dan ditahan di tahanan Muaro Padang. Setelah melalui proses yang cukup panjang mulai 5 September sampai 22 Desember 1933, maka diputuskan oleh pemerintah untuk membuang Ilyas ke Digul. Dengan merinci seluruh aktifitas politik Ilyas, mulai dari semenjak ia berdiam di Mesir sampai pada saat penangkapannya. Telah di jadikan sebagai alasan oleh pemerintah Belanda untuk membuangnya.
Tindakan pemerintahan Belanda menangkap dan membuang Ilyas, mendapat reaksi yang keras dari berbagai kalangan. Seperti simpatisan PERMI, dan kelompok pergerakan lainnya. Reaksi yang jelas sebagai rasa simpati terlihat dari dimuatnya riwayat perjungan Ilyas Ya’kub pada Head line surat kabar Persatuan Indonesia. Selain itu, Majalah Raya juga menulis riwayat perjuangan Ilyas Ya’kub dalam salah satu rubriknya. Dalam majalah Persatuan Indonesia dinyatakan bahwa rakyat telah memberikan kepercayaan kepada Ilyas Ya’kub. Ia seorang yang bersifat pendiam tapi banyak bekerja, apa yang dikatakannya memerlukan suatu bukti yang nyata. Lebih lanjut ditulis bahwa alasan ditulisnya riwayat hidup Ilyas Ya’kub, bertujuan untuk cerminan bagi bangsa Indonesia, agar dapat melihat bahwa ia telah menggunakan umurnya untuk kepentingan umum dan kepentingan yang suci, yakni kemerdekaan Indonesia.
Majalah Raya yang diterbitkan oleh pelajar-pelajar Islamic College, sebuah sekolah tempat Ilyas mengajar juga memberikan apresiasi dengan mengatakan “Ilyas seorang Jurnalis dan Laider yang tenang, lautan yang tak beriak, ia juga seorang yang tenang dan kalem. Lebih-lebih dalam berpidato, sekalipun sekelilingnya telah bergemuruh bunyi tepukan tangan, namun ia tetap tenang”. Reaksi demi reaksi diteriakan oleh para simpatisan, karena penahanan itu merupakan pukulan hebat bagi simpatisanya terutama kelangsungan PERMI. Apalagi bersama dengan Ilyas, kedua temannya yang dijuluki Trio PERMI juga ditangkap dan di asingkan. Dengan demikian berakhirlah perjungan Ilyas bersama PERMI dalam merintis kemerdekaan. Karena setelah ia dibebaskan tahun 1946, Indonesia telah merdeka. Puncak serta akhir dari karir politik Ilyas Ya’kub pada masa kemerdekaan, adalah setelah dua tahun pulang dari pembuangan tahun 1948, Ilyas terpilih sebagai ketua DPRD Sumatera Tengah yang berkedudukan di Bukittinggi, sekaligus merangkap sebagai penasehat Gubernur Sumatera Tengah. Kemudian dalam pemilihan umum tahun 1955, Ilyas terpilih menjadi anggota Konstituante Repoblik Indonesia.

F. Sejarah Kematian.

Ilyas Ya’kub dikenal dengan seorang yang ideolog, namun ide-ide yang ia ungkapkan selalu mendapat perhatian khusus oleh pemerintahan Hindia Belanda. Akibat dari kritikan-kritikan terhadap pemerintahan Hindia Belanda, membuat pemerintah jadi gerah. Akhirnya, awan mendung mulai menyelimuti Ilyas. Ini berawal dari penggeledahan oleh pemerintahan terhadap kantor PB PERMI. Dalam penggeledahan itu, ditemukan Majalah Madjou yang di dalamnya memuat tulisan-tulisan Ilyas. Menurut pemerintahan Hindia Belanda, isinya meremehkan pemerintahan dan menghasut rakyat untuk menentang otoritas pemerintahan Hindian Belanda. Ilyas kemudian ditangkap dan setelah melalui proses penyidangan di putuskan untuk membuang Ilyas ke Digul. Kondisi Digul kala itu, sangat menakutan. Iklimnya yang membunuh, serangan nyamuk malaria dan hutan belantara serta para penjaga penjara yang sangat tidak bersahabat, adalah suasana baru yang mesti dihadapi Ilyas Ya’kub. Walaupun demikian, situasi semacam ini bagi Ilyas bukanlah suatu kendala untuk tetap kukuh pada pendirian, tidak mau bekerja sama dengan pemerintahan Hindia Belanda.
Ketika para penghuni kamp hendak di pindahkan ke Australia, Ilyas menolak. Sementara para penghuni lainnya, telah dipindahkan. Atas nasehat beberapa perwira Australia yang berada di Digul, akhirnya ia bersedia pindah ke Australia. Kesediaan Ilyas ini bukan berarti ia telah bekerjasama dengan Belanda, tetapi merupakan salah satu taktik agar segera dipulangkan ketanah air. Sebagai konsekwensi penolakan kerjasama dengan Belanda, ketika ia dipulangkan ke Indonesia, ia dilarang turun di Tanjung Periuk bersama teman yang lainnya, tetapi di asingkan lagi ke Kupang Pulau Timor. Selanjutnya dikirim ke Labuhan Singapura, Serawak, ke Brunai dan akhirnya kembali ke Labuhan. Sewaktu mereka berada di Labuhan Singapura, anak mereka yang ketujuh Iqbal meninggal dunia. Kemudian dari sana, istri dan keenam anak tercintanya, dipulangkan ketanah air, sedangkan Ilyas belum di perbolehkan.
Diakhir tahun 1946, Ilyas Ya’kub baru dipulangkan ke tanah air. Setelah menikmati alam kemerdekaan selama lebih kurang sepuluh tahun dan telah ikut pula mengisi kemerdekan melalui ketua DPRD Sumatera Tengah serta penasehat Gubernur Sumatera Tengah. Dikarenakan sakit yang menghinggapinya selama lebih kurang dua bulan, menjadi salah satu penyebab berpulangnya ia kerahmatullah. Ilyas Ya’kub meninggal pada hari sabtu tanggal 2 Agustus 1958, jam 18,00 W.S.U, di Koto Merapak Painan. Ilyas dimakamkan secara militer pada hari Minggu tanggal 3 Agustus 1958, di depan Masjid Raya Kapencong Koto Merapak Painan. Upacara pemakaman, juga turut di hadiri oleh penjabat-penjabat sipil dan militer setempat. Sebagai tanda penghargaan dari pemerintahan daerah, pada tanggal 17 Agustus 1975, Ilyas Ya’kub di beri piagam penghargaan sebagai “Pejuang Umum” oleh Gubernur Sumatera Barat, No. Kesra 82/9-1975. Setiap tanggal 17 Agustus, seluruh unsur pemerintahan daerah dan pelajar-pelajar setempat, selalu mengadakan upacara bendera di pusara Ilyas, guna mengenang jasa-jasanya. Sedangkan pemerintahan Indonesia, juga menghargai perjuangan Ilyas, dengan dianugerahinya ia sebagai seorang “Pahlawan Nasional.” Hal ini ditetapkan melalui keputusan presiden No. 074/TK/1999 tertanggal 13 Agustus 1999, bahwa Haji Ilyas Ya’kub resmi ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Selengkapnya...

PERMI dan Perlawanan Terhadap Ordonansi Sekolah Liar 1932-1933

Oleh : Erman, MA (Dosen Ilmu Sejarah FIB-Adab IAIN Padang)

Sebagai sebuah enclave sosial, Sumatera Barat dikenal dalam sejarah sebagai salah satu basis gerakan sosial pada awal abad ke-20. Salah satunya adalah gerakan sosial yang dipelopori oleh Permi. Secara ideologis gerakan sosial yang dipelopori oleh Permi adalah penentangan terhadap kebijakan ordonansi sekolah liar. Permi memandang bahwa kebijakan kolonial tersebut bertentangan dengan semangat Islam dan kebangsaan. Pola gerakan dilakukan dengan cara melakukan propaganda hingga rapat umum. Gerakan Permi mendapat reaksi kuat dari penguasa kolonial dan berakhir dengan dibubarkannya partai politik tersebut.



A. Pendahuluan

Minangkabau merupakan kawasan penting di Indonesia pada awal abad ke-20 sebagai tempat gerakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Sebelum gerakan ordonansi sekolah liar pada tahun 1932-1933, sekurang ada tiga kali perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Sumatera Barat terhadap pemerintah kolonial Belanda, yaitu pemberontakan pajak (1908), pemberontakan komunis (1927) dan perlawanan terhadap ordonansi guru (1928). Pemberontakan pajak (1908) terjadi pada dua tempat di Sumatera Barat, yaitu di Kamang dan Manggopoh yang dipelopori oleh para ulama tarekat Syattariyah. Pemberontakan ini bermula dari kekecewaan masyarakat terhadap sistem pembayaran pajak langsung yang diterapkan di Minangkabau karena merosotnya harga kopi pada tahun pertama abad ke-20 yang mendorong Belanda mengingkari perjanjiannya dalam Plakat Panjang guna menghapuskan sistem tanaman paksa. Secara ideologis pemberontakan pajak yang melibatkan kaum ulama digerakkan oleh ideologi yang kental dengan spirit keagamaan dan anti-Barat yang sudah tertanam sejak gerakan golongan Paderi (1821-1837).

Pemberontakan komunis muncul pada tahun 1927 di suatu daerah Minangkabau yang bernama Silungkang. Pemberontakan ini secara ideologis merupakan representasi campuran ideologi keagamaan dengan ideologi marxis yang menjadi salah satu ideologi nasionalisme modern yang muncul di Indonesia pada awal abad ke-20. Pengalaman historis yang mendorong lahirnya pemberontakan adalah semakin menguatnya interaksi berbagai kelompok sosial di Minangkabau ketika itu yang melahirkan keprihatinan tentang persamaan nasib dan sulitnya hidup di bawah penjajahan kolonial Belanda.

Perlawanan berikutnya adalah gerakan ordonansi guru yang muncul pada tahun 1928 dan dipandang berhasil menentang rencana kebijakan kolonial yang berhubungan dengan pendidikan agama. Secara ideologis gerakan ini murni digerakkan oleh spirit keagamaan (Islam), sehingga sikap menentang kebijakan tersebut merupakan jihad di Jalan Allah. Strategi gerakan dirancang sedemikian rupa mulai propaganda sejak kedatangan Dr. de Vries ke Minangkabau pada bulan Juni 1928 hingga aksi massa (protes) yang melibatkan masyarakat pada tanggal 19 Agustus 1928.

Pemberontakan pajak, pemberontakan komunis dan perlawanan terhadap ordonansi guru merupakan wujud kongkrit perlawanan masyarakat Minangkabau terhadap kolonial Belanda yang oleh pelaku sejarah masing-masing dipandang sangat merugikan dan menindas rakyat. Pola dan bentuk perlawanan itu sendiri sangat berbeda-beda sesuai dengan pengalaman historis dan ideologi yang menggerakkannya. Selain itu dua pemberontakan pajak dan komunis berakhir dengan kekalahan yang menimbulkan kesengsaraan rakyat Minangkabau dan dalam banyak hal membuat mereka hidup di bawah tekanan dan intimidasi penguasa kolonial.

Pada tahun 1932 muncul lagi perlawanan rakyat Sumatera Barat terhadap kolonial Belanda, yaitu perlawanan terhadap kebijakan ordonansi sekolah liar. Salah satu kelompok sosial di Sumatera Barat yang begitu kuat melakukan perlawanan adalah partai politik Persatuan Muslim Indonesia yang disingkat dengan PERMI. Sesuai ideologi yang dianut oleh PERMI, perlawanan terhadap ordonansi sekolah liar digerakkan oleh semangat Islam dan kebangsaan. Pola perlawanan dilakukan oleh PERMI adalah dengan cara melakukan rapat khusus, propaganda di media massa dan dan rapat umum untuk menentang kebijakan ordonansi sekolah liar secara bersamaan.

Seiring dengan keterlibatan partai politik Persatuan Muslim Indonesia (PERMI) dalam perlawanan terhadap ordonansi sekolah liar pada tahun 1932, muncul beberapa pertanyaan yang jawabannya akan ditelusuri melalui tulisan ini. Mengapa PERMI melakukan perlawanan ?, pra-kondisi yang bagaimana yang mendorong PERMI melakukan perlawanan?, bagaimana pula pola perlawanan dan akibat yang ditimbulkannya ?.
B. Kebijakan Pendidikan Kolonial dan Modernisasi di Sumatera Barat

Pengalaman historis yang melatarbelakangi lahirnya gerakan perlawanan PERMI terhadap kebijakan ordonansi sekolah liar sangat kompleks dan bersifat interdependen. Karena itu, tulisan yang sederhana ini tidaklah mungkin untuk mengukap satu-persatu faktor yang beragam itu. Sekedar membantu memahami kenapa gerakan perlawanan itu muncul, tulisan ini hanya menguraikan secara sederhana kebijakan pendidikan kolonial dan munculnya modernisasi pendidikan di Sumatera Barat awal abad ke-20.

Kebijakan pendidikan kolonial bersentuhan langsung dengan politik etis yang mulai diberlakukan di Hindia Belanda pada tahun 1901. Salah satu aspek yang mendapat perhatian kolonial Belanda dalam politik etis tersebut adalah pemberian perluasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi masyarakat pribumi. Sejalan dengan kebijakan ini, penguasa kolonial mendirikan sekolah-sekolah di Indonesia yang diprioritaskan untuk keluarga raja-raja dengan tujuan untuk direkrut sebagai pegawai rendahan di pemerintahan. Jumlah sekolahpun sangat terbatas di tengah meningkatnya minat dan kebutuhan rakyat Bumi Putera untuk memperoleh pendidikan modern. Untuk mengatasi kekurangan tersebut masyarakat pribumi di Hindia Belanda mulai mendirikan sekolah-sekolah swasta dan hingga tahun tiga puluhan diperkirakan jumlahnya tidak kurang dari 2200 buah. Sekolah-sekolah inilah yang oleh penguasa kolonial Belanda dianggap sebagai sekolah liar (partikelir).

Sejalan dengan pelaksanaan politik etis di Hindia Belanda, di Sumatera Barat muncul modernisasi pendidikan yang diawali dengan didirikannya sekolah (madrasah) Adabiyah oleh Abdullah Ahmad pada tahun 1909 di kota Padang. Pada tahun 1911 modernisasi memasuki institusi surau dan surau Jembatan Besi Padang Panjang merupakan yang pertama berubah nama menjadi Perguruan Sumatera Thawalib di bawah pimpinan Haji Abdul Karim Amrullah. Terinspirasi oleh Zainuddin Labai El-Yunusiyah yang mendirikan Sekolah Diniyah dengan sistem berkelas, Sumatera Thawalib melaksanakan hal yang sama pada tahun 1918. Kemudian pada tahun 1919 Syeikh Ibrahim Musa Parabek mengganti pula suraunya, Moezakaratoel Ikhwan menjadi Sumatera Thawalib dan tanggal 15 Februari 1920 dilakukan kesepakatan untuk menyatukan surau tersebut dengan Sumatera Thawalib Padang Panjang. Perkembangan Sumatera Thawalib tahun 1920 semakin luas dan sudah tersebar ke berbagai kawasan di Minangkabau, seperti di Padang Panjang, Parabek (Bukittinggi), Sungayang (Batusangkar), Maninjau (Agam) dan Padang Japang (Lima Puluh Kota).

Mengingat semakin luas perkembangan Sumatera Thawalib, pada tahun 1922 para pelajarnya membentuk Dewan Pusat Sumatera Thawalib sebagai organisasi untuk mempersatukan semua pelajar Sumatera Thawalib yang dipimpin oleh Djalaluddin Thaib, seorang guru Sumatera Thawalib Padang Panjang. Sejak masa ini muncul pemikiran untuk mengembangkan kegiatan Sumatera Thawalib selain bergerak dalam bidang pendidikan, juga bergerak dalam bidang politik. Haji Datuek Batuah, seorang guru yunior dan penasehat pelajar Sumatera Thawalib Padang Panjang, sangat tertarik dengan politik. Pada tahun 1923 Datuak Batuah mulai memperkenalkan ideologi komunis kepada murid-muridnya seiring dengan kampanye politik menentang pemerintah kolonial Belanda yang semakin meningkat di Minangkabau dan murid Sumatera Thawalib sudah ditetapkan pula untuk belajar politik.

Sementara itu semakin menghebatnya propaganda komunis di tengah memburuknya situasi politik pada tahun dua puluhan dinilai pemerintah kolonial sudah cukup membahayakan kekuasaannya. Klimaks dari propaganda komunis itu adalah munculnya pemberontakan di suatu daerah Sumatera Barat yang bernama Silungkang. Pemberontakan tersebut dapat digagalkan dengan mudah dan komunis dibubarkan oleh penguasa kolonial Belanda.
Enam bulan pasca pemberontakan komunis di Silungkang, tepatnya bulan Juni 1927, muncul keinginan pemerintahan kolonial Belanda untuk menerapkan kebijakan ordonansi guru di Minangkabau. Kebijakan ini pada dasarnya adalah bersifat nasional dan sudah diterapkan pertama kali di pulau Jawa dan Madura sejak tahun 1905. Reaksi yang berarti sebagaimana diungkap oleh Deliar Noer hampir tidak dijumpai ketika kebijakan ordonansi guru diterapkan di kedua pulau tersebut. Sejak tanggal 1 Januari 1927 kebijakan ini berlaku pula di Aceh, Sumatera Timur, Riau, Palembang, Tapanuli, Manado dan Lombok. Kemudian pada tahun tigapuluhan diterapkan pula di Bengkulu.

Penerapan kebijakan ordonansi guru di Sumatera Barat kelihatannya sudah sangat mendesak untuk dilaksanakan mengingat pemberontakan komunis di Silungkang yang baru saja terjadi (1927) banyak melibatkan ulama yang menjadi guru di sekolah-sekolah Islam. Sejalan dengan tujuan ini, pemerintah kolonial Belanda mengutus Dr. de Vries melakukan penyelidikan tentang kemungkinan dilaksanakannya kebijakan ordonansi guru di Minangkabau. Selama di Minangkabau Dr. de Vries banyak melakukan pertemuan dan diskusi dengan para elit lokal, baik dari golongan agama maupun golongan adat. Dalam setiap pertemuan Dr. de Vries menjelaskan tujuan diterapkannya kebijakan ordonansi guru di Minangkabau. Ternyata ada perbedaan pendapat di kalangan elit lokal yang ditemui de Vries. Ada di antara mereka yang menerima, ragu-ragu dan menolak. Salah seorang ulama dari kaum muda yang begitu kuat menolak dan menentang kebijakan ordonansi guru adalah Haji Rasul. Atas prakarsanya gerakan perlawanan menentang kebijakan ordonansi guru semakin hari semakin meluas di kalangan masyarakat Minangkabau.

Sebelum Gerakan perlawanan terhadap kebijakan ordonansi guru muncul di Minangkabau tahun 1928, hal yang sama sudah pernah dilancarkan oleh organisasi sosial keagamaan di berbagai daerah di Indonesia. Kongres al-Islam di Bogor tanggal 1-5 Desember 1926 sudah menolak kebijakan tersebut. Organisasai Muhammadiyah juga sudah melakukan hal sama pada kongres ke-17 tanggal 12-20 Februari 1928. Tetapi gerakan perlawanan yang demikian hebat terjadi di Minangkabau pada tahun 1928 dan masyarakat setempat melihat bahwa kebijakan ordonansi guru jika diterapkan akan mengekang kebebasan pengajaran agama dan penyebaran ajaran Islam.

Bagi pemerintah kolonial, ordonansi guru memang bertujuan untuk mengontrol lembaga pendidikan agama dan membendung kekuatan umat Islam yang dipandang sebagai bahaya laten yang dapat menggoyahkan kekuasaanya di Indonesia. Para ulama dianggap berpotensi membangkitkan rasa permusuhan rakyat dengan cara menjadikan agama sebagai pembangkit sentimen anti-kolonial, sehingga dapat menggangu keamanan dan ketertiban. Selain itu para ulama dianggap oleh penguasa sebagai sumber protes dan penggerak perlawanan rakyat terhadap pemerintah kolonial Belanda.

Kebijakan ordonansi guru tercatat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda (Staatblad) 925 Nomor 219 tentang Pengajaran Agama (Islam). Lembaran Negara ini terdiri dari dua belas pasal. Pasal pertama menyebutkan bahwa setiap orang yang akan memberikan pengajaran agama kepada orang lain selain keluarganya sendiri harus terlebih dahulu memberitahukan rencana tersebut secara tertulis dengan menguraikan pemberian pengajaran tersebut kepada Regent dan Pemerintah Patih di mana pengajaran itu diberikan. Pemberitahuan itu diberikan kepada Kepala Pemerintahan Daerah dari pemerintahan dalam negeri yang berwenang atau pejabat pemerintahan yang berwenang dalam lingkungan daerah di mana pengajaran itu akan dilaksanakan.

Dalam pandangan masyarakat Minangkabau ordonansi guru dalam prakteknya digunakan oleh pemerintahan kolonial Belanda untuk menghambat agama Islam dan mengekang kebebasan para guru agama (ulama) dalam menyampaikan ajaran agama. Pandangan semacam ini pada akhirnya semakin memperkuat semangat anti-kolonial dan kebencian masyarakat Minangkabau terhadap pemerintahan kolonial.

Pada tahun tiga puluhan seiring dengan krisis ekonomi memaksa Belanda untuk menekan anggaran belanja pendidikan. Sebaliknya minat dan kebutuhan masyarakat pribumi di Hindia Belanda semakin bermunculan yang ditandai oleh lahirnya sekolah-sekolah swasta sekalipun tanpa subsidi pemerintah. Ironisnya pemerintah kolonial menyambut inisiatif masyarakat dengan ordonansi sekolah liar. Ordonansi ini tercantum dalam Lembaran Negara Hindia Belanda (Staatblad) Nomor 494-495 tahun 1932.

Di antara pasalnya berbunyi bahwa setiap guru yang mengajar di sekolah-sekolah swasta non-subsidi diharuskan memperolah izin terlebih dahulu dari kepala daerah setempat. Surat izin ini hendaknya diminta dengan surat dan boleh diberikan kepadanya buat beberapa tempat dalam daerah itu. Pasal lain menyebutkan bahwa izin hanya diberikan jika tidak dikuatirkan akan menimbulkan gangguan keamanan umum, inspektur pendidikan tidak keberatan dan dilampirkan satu formulir yang berisi keterangan lengkap sebagai bahan pertimbangan.

Bagi pemerintah kolonial Belanda, ordonansi sekolah liar mungkin saja untuk menertibkan administrasi pendidikan di Hindia Belanda. Namun pada sisi lain, karena ordonansi ini dikaitkan dengan gangguan terhadap ketertiban dan keamanan menimbulkan reaksi yang hebat dari masyarakat Indonesia. Hampir di semua wilayah di Hindia Belanda menolak penerapan kebijakan ordonasi sekolah liar dan di Sumatera Barat penolakan yang begitu keras berasal dari persatuan Muslim Indonesia (PERMI). Secara umum, kebijakan pendidikan kolonial pada awal abad ke-20, mulai dari kebijakan yang tercantum dalam politik etis (1901) hingga munculnya ordonansi sekolah liar dipandang oleh masyarakat Hindia Belanda dan Sumatera Barat khususnya sangat tidak adil dan merugikan kehidupan umat Islam yang berujung pada lahirnya rasa ketidak-puasan. Rasa ketidakpuasan ini muncul di tengah modernisasi pendidikan yang semakin memperkuat semangat anti-penjajahan. Dalam kerangka pengalaman historis semacam ini, Persatuan Muslim Indonesia (PERMI) melakukan perlawanan terhadap kebijakan ordonansi sekolah liar yang mau diterapkan oleh pemerintah kolonial di Sumatera Barat tahun 1932.

C. Gerakan Permi di Sumatera Barat


Pasca-pemberontakan komunis di daerah Silungkang dan pembubaran partai tersebut oleh penguasa kolonial Belanda menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan sekolah dan organisasi kaum muda, terutama Sumatera Thawalib Padang Panjang. Pemberontakan komunis tentu bukan hanya memiliki dampak terhadap sekolah Sumatera Thawalib, melainkan juga terhadap semua masyarakat Minangkabau. Mereka hidup di bawah tekanan dan intimidasi pemerintah kolonial Belanda. Pasca perlawanan terhadap ordonansi guru kondisi Sumatera Thawalib yang semulanya mengalami krisis mulai berangsur pulih dan puncaknya adalah dengan diadakannya konferensi di Bukittinggi tanggal 20-21 Mei 1930.

Dalam konferensi tersebut diputuskan perubahan nama Persatuan Sumatera Thawalib menjadi menjadi Persatuan Muslim Indonesia (PMI). Dalam kongres PMI di Padang tanggal 24 Oktober hingga 1 November 1932 diputuskan pula bahwa PMI berubah nama menjadi Persatuan Muslim Indonesia (PERMI). Perubahan ini seiring dengan perubahan haluan organisasi dari organisasi sosial keagamaan menjadi partai politik yang mengambil sikap non-koorporatif dengan penguasa kolonial Belanda.

Dalam membangun jaringan organisasi langkah pertama yang dilakukan Permi adalah melakukan ekspansi ke daerah pedesaan dan memanfaatkan sekolah-sekolah Sumatera Thawalib yang ada di berbagai daerah sebagai basis pergerakan. Di berbagai kota yang termasuk daerah darat Permi memperluas pengaruhnya dengan cara mengadakan rapat umum, tabligh, partisipasi dalam organisasi sosial dan infiltirasi terhadap organisasi lokal. Cara yang hampir sama juga digunakan oleh Permi untuk menanamkan pengaruhnya di berbagai kota di Sumatera Barat yang tidak memiliki sekolah Sumatera Thawalib.

Kemudian sejak tahun 1930 Permi memindahkan pusat kegiatannya ke kota Padang, Ibu kota Resident Sumatra’s Westkust. Langkah ini sejalan dengan tekad dan keinginan untuk menjadikan organisasi Permi sebagai partai politik yang bersifat nasional. Di pusat aktivitasnya yang baru Permi ikut serta dalam berbagai kegiatan yang dilakukan oleh berbagai organisasi yang ada. Permi pernah ikut dalam rapat protes menentang untuk pemberhentian ekspansi HIS yang dipelopori oleh Asosiasi Guru Pemerintah (PGHB) tahun 1932. Permi juga meningkatkan kerja sama dengan organisasi keagamaan dan perkumpulan pedagang yang ada di kota Padang. Sejalan dengan ini Permi mendapat dukungan dari pedagang Minangkabau di Pasar Gadang melalui seorang pedagang yang sangat berpengaruh di kota Padang, yaitu Basa Mandaro. Permi juga mampu membuat hubungan yang erat dengan pimpinan Perhimpunan Saudagar Indonesia (HSI). Hal ini memungkinkan Permi untuk membiayai program pendidikannya, terutama mendirikan Islamic College di kota Padang.

Secara ideologis gerakan Permi jauh berbeda dengan gerakan sosial dan politik yang muncul di Sumatera Barat. Sebelum munculnya Permi organisasi sosial dan politik lebih banyak digerakkan oleh ideologi Islam atau nasionalisme. Permi mencoba menggabungkan kedua ideologi tersebut dengan istilah ideologi Islam dan Kebangsaan. Sang ideolog Permi, Ilyas Ya’qub, menyampaikan ideologi Islam dan kebangsaan itu pada kongres pertama Permi tahun 1930. Alasan yang dikemukan oleh Ilyas Ya’qub ketika mengemukakan ideologi ini adalah bahwa perasaan keagamaan dan kesadaran untuk memiliki satu bangsa merupakan bagian dari kebutuhan hidup manusia. Islam sendiri kata Ilyas Ya’qub mengenal ide-ide kebangsaan. Dalam hubungan ini, agama menekankan kepada para pengikutnya untuk memberikan prioritas kepada saudara-saaudara mereka sebelum memberikannya kepada orang lain. Dalam pandangan politik kata Ya’qub saudara dapat disamakan dengan bangsa dan sebangsa berarti suatu keluarga besar.

Pertengahan tahun 1931, Muchtar Luthfi pulang ke Minangkabau dan menjadi juru bicara Permi. Atas usahanya ideologi Islam dan kebangsaan sebagai azas perjuangan Permi mendapat sambutan yang baik dari berbagai lapisan masyarakat di Sumatera Barat. Pada pertengahan Juli 1933 Permi sudah memiliki cabang sebanyak 200 buah di 180 nagari di Minangkabau dan pengikut dengan jumlah sekitar 10.000 orang. Selain itu Djalaluddin Thaib adalah juga tokoh penting yang mensosialisasikan ideologi Permi sehingga pengikutnya di Sumatera Barat semakin bertambah hari demi hari.

Melihat perkembangan Permi dan ideologi partai yang dibangunnya diterima oleh mayoritas masyarakat di Sumatera Barat muncul pula perdebatan dan kritik dari berbagai pemimpin muslim, serta kecurigaan partai lain. Sebagian pemimpin Islam memandang bahwa Permi meskipun dipimpin oleh tokoh yang dibesarkan dan dididik dalam tradisi Islam ternyata telah merusak kesempurnaan agama. Muhammad Natsir, seorang intelektual yang berasal dari Minangkabau dan pemimpin organisasi persatuan Islam, menyebut bahwa pemimpin Permi tidak puas dengan Islam mereka sehingga perlu menambahkan sesuatu di belakang kata Islam. Islam yang mereka pahami secara esensial dalam prakteknya mau diganti dengan paham kebangsaan. Islam dalam ideologi Permi hanyalah berfungsi sebagai pendukung paham kebangsaan.

Pada bulan Juli 1932 Permi semakin mempertegas sikap politiknya yang non-koperatif dan bersifat radikal. Muchtar Luthfi, salah seorang pemimpin Permi, dalam rapat umum di tahun yang sama menyampaikan pidato yang mempertegas tujuan Permi, yaitu menciptakan Indonesia baru yang dipimpin oleh seorang presiden Republik Indonesia. Pidato ini menurut pandangan Jaksa Agung tidak bisa ditolerir dan tepat pada tanggal 13 Juli 1932 Gubernur Jenderal memerintahkan penangkapan Muchtar Luthfi. Meskipun seruan para penghulu di nagari Balingka menjamin bahwa Muchtar Luthfi akan melepaskan aktivitas politiknya, namun pada bulan Maret 1934 ia tetap saja dibuang dan ditahan di penjara Digul.

Beberapa bulan setelah Permi menentukan sikap politik dan tujuan perjuangan organisasi, pemerintah kolonial menetapkan kebijakan ordonansi sekolah liar di Hindia Belanda pada tanggal 17 September 1932 dan dinyatakan berlaku mulai tanggal 1 Oktober 1932. Sesuai dengan ideologi dan tujuan organisasinya, Permi menolak kebijakan ini dan strategi yang dilakukan adalah propaganda yang berisi ajakan kepada berbagai elemen masyarakat di Sumatera Barat untuk melakukan perlawanan.

D. Perlawanan Permi Terhadap Ordonansi Sekolah Liar

Puncak perlawanan Persatuan Muslim Indonesia (PERMI) terhadap kebijakan ordonansi sekolah liar sebagaimana dilaporkan oleh koran Medan Ra’yat terjadi dalam bentuk rapat umum (algemeene aktie) di berbagai daerah di Sumatera Barat pada tanggal 25-26 Desember 1932. Di Bukittinggi, rapat umum itu dilaksanakan di beberapa tempat, yaitu :

1. Kampuang Kajai Bukittinggi
2. Normal Kursus Putri
3. Padang Luar
4. Ampat Angkat
5. Sungai Puar
6. Candung-Baso
7. Sianok
8. Kubang Putih
9. Balai Gurah
10. Koto Panjang
11. Jambak
12. Bukit Batabuah dan,
13. Pakan Sinayan.
Rapat umum ini bukan hanya dilaksanakan oleh Permi Putra, melainkan juga oleh Permi Putri. Rapat umum yang dilaksanakan oleh Permi di Bukittinggi ini secara umum tidak berjalan sampai selesai dan hanya sampai penyampaian dasar dan tujuan Permi. Ketika ketua masing-masing ketua rapat mulai membicarakan kebijakan ordonansi sekolah liar, maka kemudian pihak yang berwajib langsung mengambil tindakan untuk membubarkannya.

Pada hari yang sama, rapat umum (algemeene actie) juga dilaksanakan oleh Permi di Padang Panjang. Rapat tersebut semula direncanakan di beberapa tempat, seperti kota Padang Panjang, Gunung, Batipuh Baru, Koto Baru, Koto Lawas, Sumpur, Bungo Tanjung dan Tanjung Barulak. Karena tidak memperoleh izin akhirnya aksi menentang kebijakan ordonanasi sekolah liar untuk wilayah Padang Panjang hanya dilaksanakan pada empat tempat, yaitu Kota Padang Panjang, Gedung Sinema Teater (Padang Panjang), Gunung dan Batipuh Baru. Keempat rapat umum di Padang Panjang ini berakhir dengan pembubaran oleh pihak berwajib ketika rapat baru saja membacakan kebijakan penerapan ordonansi sekolah liar.

Di kota Padang, rapat umum menentang kebijakan ordonansi sekolah liar dilaksanakan Permi di Gedung Permi Islamic College dan Lubuk Begalung pada tanggal 25 Desember 1932. Rapat umum di kedua tempat di kota Padang ini juga berakhir dengan pembubaran. Aksi serupa juga direncana pada beberapa tempat di Bandar Sepuluh, seperti Asam Kumbang, Koto Berapak, Pasar Baru, Gurun Panjang, Salido dan Tarusan. Karena terhambat oleh masalah izin, aksi tersebut hanya berlangsung pada dua tempat saja dan kedua berakhir dengan pembubaran, yaitu Koto Berapak dan Tarusan.

Aksi serupa yang dilaksanakan di Kerinci (26-12-1932) dan Maninjau (25-12-1932) juga berakhir dengan pembubaran. Tempat lain di Sumatera Barat sebagai tempat pelaksanaan aksi protes terhadap kebijakan ordonansi sekolah liar adalah wilayah Batu Sangkar dan Payakumbuh. Beberapa daerah di sekitar Batu Sangkar yang dijadikan oleh Permi sebagai tempat aksi tersebut adalah Batu Sangkar, Sumanik dan Tanjung Limau. Sedangkan di Payakumbuh, aksi dilaksanakan di Batu Hampir, Air Tabik, kota Payakumbuh dan Piladang. Kedua tempat ini aksi protes yang dilancarkan Permi juga dibubarkan oleh pihak berwajib.

Meskipun rapat umum untuk memprotes pelaksanaan ordonansi sekolah liar di Sumatera Barat yang diadakan oleh Permi berakhir dengan pembubaran, namun hal itu tidak membuat Permi berhenti untuk memperjuangkan penolakan terhadap kebijakan pendidikan kolonial tersebut. Sehari setelah aksi tersebut Dewan Pelajaran dan Pendidikan Permi langsung mengadakan konferensi di Bukittinggi pada tanggal 26-27 Desember 1932. Konferensi itu dihadiri oleh 214 guru dan pengurus dari 59 Sekolah Thawalib di Sumatera Barat. Peserta yang terlibat dlam konferensi juga berhasil mengambil sikap bahwa ordonansi sekolah liar bertentangan dengan dasar ke-Islaman dan kemanusiaan, sekolah-sekolah Thawalib yang berada dalam naungan Permi dan sekolah lain yang serupa mendapat pukulan hebat dengan diterapkannya ordonansi tersebut, ordonansi sekolah liar menyempitkan hak kemerdekaan rakyat dalam memilih dan menyusun pelajaran dan pendidikan yang selaras dengan keadaannya, serta ordonansi sekolah liar menghambat kecerdasan dan keinsafan rakyat Indonesia. Selain berhasil mengambil sikap, konferensi tersebut juga memutuskan penolakan terhadap kebijakan ordonansi sekolah liar.

Gerakan menentanag kebijakan ordonansi sekolah liar di Sumatera Barat bukan hanya dilakukan oleh partai politik Permi, tetapi juga dilakukan oleh organisasi sosial dan politik yang ada ketika itu. Pada bulan Februari 1933 diadakan konferensi di Padang Panjang yang diikuti oleh 129 organisasi politik dan pendidikan di Minangkabau. Dalam konferensi itu diputuskan perlunya usaha mengintensifkan gerakan oposisi menentang ordonansi sekolah liar, menjalin kerja sama dengan semua organisasi di Indonesia dan membangun hubungan yang erat dengan organisasi Islam di luar negeri.

Seiring dengan munculnya usaha mengintensif gerakan perlawanan terhadap ordonansi guru, agaknya, bulan Februari 1933 merupakan akhir semua gerakan perlawanan atas kebijakan tersebut. Melalui surat keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda pada bulan yang sama tahun 1933 kebijakan ordonansi sekolah liar dihapuskan oleh penguasa kolonial. Seiring dengan penghapusan kebijakan tersebut, Pemerintah kolonial mulai mengambil sikap terhadap gerakan yang dilakukan oleh Permi. Pada tahun 1933, beberapa sekolah kaum muda digrebek dan tujuh dari dua belas orang guru Thawalib Padang Panajng dilarang mengajar dalam waktu yang tidak ditentukan. Langkah ini dikuti pula dengan penutupan sekolah-sekolah Permi. Pada awal tahun 1934, sekolah Diniyah Putri dipaksa oleh penguasa kolonial untuk melepaskan dua orang gurunya bekas pimpinan Permi.

Di hadapan penindasan pemerintahan kolonial, Permi terpaksa membubarkan Departemen Pelajaran dan Pendidikannya pada tahun 1933 yang pada akhirnya semakin memperlemah daya juang partai politik tersebut. Pada tahun yang sama, tepat bulan Agustus 1933, pemerintah kolonial menerapkan pula kebijakan pelarangan rapat-rapat umum untuk semua perkumpulan, organisasi dan partai politik di Sumatera Barat.

Sejak masa itu, Permi hanya mampu melakukan berbagai gerakan dan kegiatan secara diam-diam dan tersembunyi. Pukulan berat diterima oleh Permi pada akhir tahun 1933 dengan ditangkapnya tiga orang pemimpin partai tersebut, yaitu Muchtar Luthfi, Ilyas Ya’qub dan Jalaluddin Thaib yang kemudian diasing ke Digul tahun 1934. Sejak masa ini sulit mencari pimpinan yang mampu melanjutkan perjuangan Permi. Meskipun muncul sosok Ratna Sari, seorang tokoh perempuan, yang melanjutkan kepemimpinan partai politik Permi, namun saja hanya mampu berjalan dalam waktu yang tidak lama. Tepat tanggal 18 Oktober 1937, penguasa kolonial Belanda membubarkan partai yang berideologi Islam dan kebangsaan itu.


E. Kesimpulan

Minangkabau merupakan kawasan penting di Indonesia pada awal abad kedua puluh sebagai tempat munculnya gerakan perlawanan terhadap penjajahan kolonial Belanda. Salah satu dari gerakan tersebut adalah perlawanan rakyat Sumatera Barat terhadap kebijakan ordonansi sekolah liar yang dipelopori oleh Permi tahun 1932. Pengalaman historis yang mendorong lahirnya gerakan itu sebenarnya sangatlah kompleks dan bersifat interdependen. Di antaranya adalah kebijakan pendidikan kolonial dan munculnya modernisasi pendidikan di Sumatera Barat awal abad kedua puluh.

Secara ideologis perlawanan yang dipelopori oleh Permi menentang kebijakan ordonansi sekolah liar digerakan oleh ideologi Islam dan kebangsaan. Sejalan dengan ideologinya, Permi memandang bahwa kebijakan kolonial tersebut bertentangan dengan semangat Islam dan kebangsaan.

Untuk membangun jaringan langkah pertama yang dilakukan Permi adalah memanfaatkan sekolah-sekolah Sumatera Thawalib yang ada di berbagai daerah sebagai basis pergerakan. Pola gerakan dilakukan dengan cara melakukan propaganda hingga rapat umum tanggal 25-26 Desember 1932. Hasilnya pada bulan Februari 1933 melalui Surat Keputusan Gubernur Jendral kebijakan ordonansi sekolah dihapuskan oleh penguasa kolonial. Gerakan Permi mendapat reaksi kuat dari penguasa kolonial dan berakhir dengan dibubarkannya partai politik itu pada tahun 1937.

Selengkapnya...

Objektifitas dan Subjektifitas Dalam Penulisan Sejarah

Oleh : Muhammad Ilham (Dosen FIB-Adab/Ketua PSIFA IAIN Padang)

Persoalan subjektifitas dan objektifitas dalam kerangka epistimologi ilmu, menjadi perdebatan yang tak pernah kunjung selesai dalam tradisi ilmu sosial dan humaniora. Termasuk dalam tradisi penulisan sejarah. Sebagai disiplin ilmu yang juga membahas mengenai manusia dalam dimensi waktu (time dimention), sejarah dalam perkembangannya berpotensi besar digunakan sebagai alat kekuasaan. Pemalsuan data-data sejarah menjadi persoalan serius terhadap indepensi sejarah sebagai suatu disiplin ilmu. Dalam penulisan sejarah, ada kesan subjektif yang pada umumnya menimbulkan penulisan yang bias atau berat sebelah. Subjektifitas sangat sulit untuk dihindarinya. Namun yang tidak boleh dilakukan adalah subjektifitas dalam pengertian mengebiri data, memalsukan dokumen dan menyesuaikan dokumen-dokumen yang ada agar sesuai dengan “tuntutan” yang ada.




A. Objektifitas : Pengertian Konsep dan Aliran-Aliran Dominan


“… Jangan kamu cari arti kata-kata, tapi pahami bagaimana kata-kata itu difungsikan ! (Gadamer dalam Astrid, 1988: 17)



Sebagai sebuah istilah yang sering digunakan dalam sejarah (khususnya : penulisan sejarah), maka konsep objektifitas (selanjutnya digunakan : objektif) dapat dilihat dari dua sudut pengertian. Pengertian Pertama mengacu kepada sasaran atau tujuan sejarah itu diteliti dan ditulis. Dapat juga diformulasikan dalam pertanyaan : “untuk apa dan untuk siapa ?”. Sementara pengertian yang Kedua mengacu kepada pertanyaan : “Apakah sejarah bisa bersifat objektif ?”.


1. Objektif : “Untuk Apa dan Untuk Siapa ?”.

Dalam konteks pengertian ini, cukup banyak karya sejarah yang bisa kita kemukakan, seperti :

a. Bennedict R.O’ Gonnor Anderson telah memperbaiki tesis dan asumsi dominant selama ini yang berkembang – khususnya sejarah versi Orde Baru – tentang penyebab dan aktor Gerakan 30 September 1965. Beberapa versi selama ini mengatakan bahwa penyebab dan aktor Gerakan 30 September 1965 tersebut adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan DN. Aidit . Melalui Cornell Paper’s-nya, Anderson merevisi G 30 S/PKI menjadi G 30 S saja. Anderson mengatakan bahwa penyebab terjadinya gerakan tersebut bukan disebabkan oleh faktor tunggal, tapi cukup komprehensif karena analisis sejarah diseputar gerakan tersebut harus memasukkan faktor keterlibatan CIA, konflik internal Angkatan Darat dan peta politik global serta regional. Karya Anderson dan beberapa karya sejarah lain yang berkaitan dengan gerakan 30 September 1965 tersebut dipahami dalam konteks untuk memperbaiki “mainstream” yang selama ini berkembang.

b. Buku Tuanku Rao yang ditulis oleh Buya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) secara objektif ingin merevisi – untuk tidak mengatakan meng-counter – buku Tuanku Rao karangan Mangaraja Onggang Parlindungan.

c. Biografi yang ditulis oleh Bachtiar Adnan Kusuma, Baramuli dalam Identitas Sejarah Indonesia : 70 Tahun Pantang Menyerah merupakan karya tulis bernuansa sejarah-biografis yang merupakan pesanan dari elit-politik Indonesia era Orde Baru H. Arnold Baramuli. Objektifnya jelas, ia merupakan pesanan dari seorang tokoh. Karya-karya lain sejenis ini cukup banyak seperti karya-karya Ramadhan KH yang banyak menulis biografi-biografi tokoh besar. Pertanyaan “untuk apa dan untuk siapa ”, terjawab.

d. Beberapa karya sejarah yang membahas tentang sejarah institusi yang pada umumnya – tidak keseluruhan – merupakan karya tulis sejarah yang ditulis untuk institusi berkenaan. Sehingga sering kita menemukan karya-karya sejarah tentang : “Sejarah Madrasah …….” atau “Peran PT. Semen Padang dalam Mencerdaskan Manusia Sumatera Barat : Jejak Tapak sejak Masa Kolonial Belanda …. “ dan sebagainya.



2. Objektif : “Apakah sejarah bisa bersifat objektif ?”.

Dalam konteks pengertian ini, objektif disini mengacu kepada aspek epistimologi ilmu sejarah itu sendiri. Standar keilmiahan sebuah disiplin ilmu, secara umum biasanya diukur dari cara kerja (metodologi) disiplin ilmu itu sendiri yang mengacu kepada metode-metode baku sehingga hasil dari kerja ilmiahnya akan dinilai sebagai sesuatu yang objektif, sebagaimana halnya pada disiplin-disiplin ilmu lainnya – eksak, khususnya.

Disiplin ilmu sejarah memiliki kaedah-kaedah metode penelitian tersendiri sehingga dikatakan sebagai disiplin ilmu yang objektif. Ungkapan nan “klasik” Leopold van Ranke bahwa sejarah itu harus dikaji “seperi apa yang sebenarnya ia terjadi” memberikan pondasi awal ke-objetifitasan disiplin ilmu sejarah itu sendiri. J.B. Burry misalnya mengatakan bahwa “sejarah itu sains, ia memiliki metode sendiri, tak lebih tak kurang”, kembali mempertegas bahwa ilmu sejarah bisa objektif karena metode sendiri. Karena memiliki metode sendiri, maka kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan dengan merujuk kepada metode yang dimilikinya. Karena memiliki metode sendiri, maka pola kerja dalam sebuah penelitian serta penulisan bisa dianggap sama dikalangan sejarawan di seluruh dunia. Dalam konteks inilah, objektif ilmu sejarah tersebut dipahami.

Bila ada perdebatan-perdebatan dari sebuah karya sejarah, biasanya berawal dari teknik analisis dimana teori-teori/ paradigma/pendekatan dari si penulis sejarah/ sejarawan tersebut “bermain”. Karena ini pula, hasil sebuah penelitian/ tulisan sejarah terkadang berbeda-beda. Tapi, hampir semua disiplin ilmu, khususnya ilmu sosial, perbedaan-perbedaan tersebut selalu bersumber dari paradigma/ pendekatan yang digunakan.

Berangkat dari pemahaman di atas, maka kerapkali kita menemukan beberapa karya sejarah dengan tema yang sama justru menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Karena seringkali karya sejarah tersebut menghasilkan simpulan yang berbeda, timbul anggapan bahwa karya sejarah tersebut dalam proses rekonstruksinya, tidak objektif. Padahal, perbedaan kesimpulan yang didapatkan bukan karena metode penelitian yang berbeda. Metode-nya sama, akan tetapi pendekatan yang digunakan berbeda.

Banyak karya sejarah, untuk kasus-kasus yang sama, memperkuat hal ini. Kasus tragedy 30 September 1965 juga bisa kita lihat dalam konteks ini. Hermawan Sulistyo (lihat footnote 4) melihat konflik pertanahan/agraria sebagai penyebab terjadinya pembunuhan besar-besaran terhadap eks-PKI dan Gerwani di wilayah Jawa Timur, sedangkan Asvi Warman Adam justru melihat pembunuhan tersebut dari pendekatan Tipe Ideal-nya Weber, dimana eksistensi kepemimpinan kharismatik Kiai “tereduksi” oleh pengaruh PKI yang mengedepankan semangat “egaliterianisme” dan anti borjuis (termasuk borjuisasi agama). Untuk kasus yang sama, simpulannya berbeda. Tapi, rekonstruksi sejarah ini dianggap objektif karena mengikuti prosedur kerja baku yang dikenal dalam epistimologi sejarah. Simpulan berbeda, karena pendekatannya berbeda.

Untuk hal yang sama, dalam proses bimbingan skripsi, saya pernah mengalami hal serupa. Membimbing beberapa orang mahasiswa mengenai kasus yang sama, namun dilihat dari perspektif/pendekatan yang berbeda. Skripsi pertama tentang “Dinamika Fungsi Rumah Adat” yang dilihat dari pendekatan sosiologi antropologi (secara general). Mahasiswa bersang-kutan melihat perubahan fungsi-fungsi rumah adat tersebut dalam spektrum waktu dengan mengedepankan teori structural fungsional. Sementara mahasiswa yang lain justru melihat “Dinamika Fungsi Rumah Adat” tersebut dari perspektif arkeologis. Mahasiswa tersebut melihat perubahan-perubahan fungsi dari meaning (pemaknaan) dari tinggalan-tinggalan material yang ada di Rumah Adat itu. Simpulannya, terjadi perbedaan signifikan diantara dua skripsi ini. Akan tetapi, metode yang mereka gunakan sama sebagaimana yang dikenal dalam ilmu sejarah, bagi saya, penelitian mereka tetap objektif karena memiliki parameter untuk bisa dipertanggungjawabkan.

3. Relatifis dalam Sejarah

Kita masih ingat dengan ungkapan filosof - sejarawan Italia, Bennedicto Croce yang pernah mengeluarkan ungkapan terkenal : “storia e storia contemporanea”. Artinya kira-kira, sejarah yang benar-benar sejarah adalah sejarah kekinian. Ungkapan ini bisa dipahami dalam dua perspektif. Pertama, Croce ingin mengatakan bahwa penulisan sejarah yang baik haruslah berangkat dari kondisi atau realitas kekinian yang untuk kemudian dicari “akar”nya kedalam “relung panjang sejarah” – meminjam istilah Taufik Abdullah. Pemahaman kedua, Croce ingin menjelaskan posisinya dalam melihat sejarah. Baginya sejarah tersebut sangat terikat dengan konteks masanya yang diistilahkannya sebagai contemporanea – kekiniaan atau ke-masa-an. Intinya adalah, penulisan sejarah, nilai objektifitasnya tersebut sangat terikat dengan ruang dan waktu. Pemahaman orang terhadap suatu fenomena sejarah pada suatu era, akan berbeda dengan era yang lain. Ketika sebuah kalimat tertera dalam sebuah arsip yang dicatat pada era 1910-an :

”Anak-anak di Air Bangis berjalan di tepian soengai pada senja hari pergi sumbajang dan mengadji ke langgar dan poelang tidak pernah laroet malam sehingganja sumbajang isa’ (Isya: pen.) hanja diikoeti oleh orang-prang tua sahaja”

Kalimat diatas akan berbeda pemahamannya bila ditafsirkan pada masa sekarang. Senja pada masa itu akan dipahami dalam durasi waktu pukul 4 – 5 sore, sedangkan larut malam dimaknai sebelum sholat Isya (lebih kurang pukul 8 malam). Bila hal tersebut ditafsirkan menurut “kacamata” sekarang, maka senja itu adalah pukul 6 – 7 malam, sedangkan larut malam diatas pukul 10 malam.

Demikian juga dengan konsepsi poligami, misalnya. Banyak karya-karya sejarah, khususnya yang berkaitan dengan biografi ulama yang berkaitan dengan praktek poligami. Misalnya penggalan kalimat berikut :

“Syekh Halaban (1863-1933) yang dianggap sebagai ulama kharismatik. Dengan potensi kepemimpinan seperti ini, sangatlah mudah bagi Syekh Halaban untuk memiliki istri banyak, bahkan para orang tua berlomba-lomba untuk “menyodorkan” anak mereka menjadi istri Syekh yang juga guru dari ulama tradisional Minangkabau terkenal – Syekh Inyiak Canduang”.

Konsepsi poligami dalam kalangan masyarakat pada masa-masa tersebut diatas adalah suatu kondisi sosial yang fungsional, baik bagi masyarakat maupun bagi elit agama itu sendiri. Nilai-nilai dan fungsi ini hanya bisa diletakkan pada era itu. Ini tidak akan bisa kita tempatkan pada masa-masa A’a Gym ataupun Zainuddin MZ.

Apa yang dikemukakan diatas juga secara “gamblang” pernah dikemukakan dengan baik oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Novel-sejarahnya yang bertitelkan “Gadis Pantai”. Dengan begitu bagusnya Pram menarasikan bagaimana seorang ulama begitu dikonstruksikan oleh realitas sosial dalam strata yang demikian tinggi. Walau bukan dalam bentuk karya sejarah “sebagaimana mestinya”, akan tetapi novel-sejarah ini setidaknya mampu memberikan kepada kita gambaran yang terjadi pada era awal 1900-an, khususnya di Pantai Selatan Jawa.
Bila kita membaca Gadis Pantai ini dengan kaca mata kita sekarang, maka akan kita simpulkan : “ulama yang maniac seks, ulama yang suka daun-daun muda dan ulama yang sangat otoriter serta ulama yang sombong-pongah dengan keulamaannya”. Begitu juga dengan kalimat dibawah ini :


“Sebagaimana anak muda kampoeng lainnja, tentunja Ridjal amat senang sekali bisa berkawan dengan kakak sepoepoenja jang manis itu.Namanya Halimah. Tapi sajang, ianja akan berkahwin dengan seorang saudagar kaja dari Bangkahulu, saudagar jang juga ulama karena baru pulang dari tanah Mekkah. Halimah yang baroe beroemoer 14 tahun, akan berkahwin beberapa minggoe lagi”.


Tentu, bila Syekh Puji hidup pada masa Ridjal ini hidup, ia akan dapat memperistri “anak dibawah umur”. Bila Syekh Puji juga hidup pada masa diatas tersebut, tentu juga ia tidak akan dikenakan sanksi mengawini anak-anak usia dibawah umur. Tapi sayang, Syekh Puji hidup pada masa sekarang. Dan karena itu, alangkah juga naifnya bila kita melihat fenomena diatas dalam pemahaman kacama kita saat ini pula. Karena itu pulalah, Croce dan kawan-kawannya beranggapan bahwa kebenaran sejarah (tepatnya : objektifitas sejarah itu) sangat bersifat relatif.


B. Subjektifitas

Dalam penulisan sejarah, ada kesan subjektif yang pada umumnya menimbulkan penulisan yang bias atau berat sebelah. Memang, kecenderungan untuk lumrah terjadi karena seorang sejarawan yang dalam bahasa sosiologi-nya : “seorang manusia individu, ia adalah gejala sosial, hasil proses dari masyarakatnya” dan dalam kedudukan seperti itulah, ia berusaha untuk mendekati sejarah/merekonstruksi sejarah itu sendiri yang pada prinsipnya hanya terjadi satu kali atau einmalig tersebut. Tentu, subjektifitas sangat sulit untuk dihindarinya. Bahkan, subjektifitas sejarawan itu sendiri juga sebuah entitas objektif dalam penulisan sejarah. Ketika ia mulai memilih judul dan pendekatan yang (akan) digunakannya, maka, subjektifitas tersebut telah “masuk” dan bermain. Oleh karena itu, hal-hal yang berkaitan dengan subjektifitas, tidak bisa dihindari.

Namun yang tidak boleh dilakukan adalah subjektifitas dalam pengertian mengebiri data, memalsukan dokumen dan menyesuaikan dokumen-dokumen yang ada agar sesuai dengan “tuntutan” yang ada. Inilah yang dinamakan dengan subjektifitas ekstrem. Buku Babon Sejarah Nasional Indonesia yang “dimotori”oleh Nugroho Notosusanto, sebagai contoh, adalah salah satu bentuk “pemerkosaan dokumen” agar sejarah yang ditulis tersebut mengkisahkan peran besar Orde Baru, marginalisasi peran sipil, hegemoni dan keunggulan militer (dalam hal ini : Angkatan Darat) dan kesalahan yang “melulu” harus ditimpakan pada Soekarno dan PKI dibalik terjadinya Gerakan 30 September 1965.

Peran histories Nugroho Notosusanto ini dibuka secara gamblang oleh Katherine Mac. Gregory yang membongkar habis “kepalsuan” Nugroho Notosusanto serta bagaimana Nugroho ini “memilah-milah” dokumen yang seharusnya masuk dalam bagian analisis, justru disisihkan karena berpotensi merendahkan peran histories Suharto, Orde Baru dan militer. Karena itu pulalah Chaterine memberi judul bukunya dengan “Ketika Sejarah Berseragam”.

Cukup banyak buku-buku sejarah yang ditulis dengan memalsukan berbagai dokumen agar penulisan sejarah tersebut bisa sesuai dengan kehendak yang memesan (biasanya pemerintah). Di Negara-negara otoriter seperti Korea Utara, Irak pada masa Saddam Hussein, Protocol Zion dalam menjustifikasi “duka-lara” sejarah bangsa Yahudi – merupakan beberapa contoh subjektifitas ekstrim dalam penulisan sejarah. Interpretasi dari penulis merupakan bentuk subjektifitas yang tidak bisa dihindari. Subjektifitas jenis ini bisa diminimalisir dengan latihan dan kepatuhan akan metode yang ada. Akan tetapi, subjektifitas dengan “memalsukan” dokumen-dokumen yang ada agar menguntung kan pihak tertentu, itulah subjektifitas yang tidak dibolehkan. Dan ini tidak membutuhkan latihan ataupun kepatuhan ketat terhadap metode penelitian, karena seorang Prof. Doktor “botak” sekalipun, bisa “terjebak” dan mau “dijebak” dalam subjektifitas ekstrem ini.

Tulisan Lengkap, Lihat Jurnal KHAZANAH Vol. II/Nomor 1

Selengkapnya...

"Pantun Lama" Tentang Melayu : Suara-Suara Kolonialis-Orientalis Tentang Melayu

Oleh : Deddy Arsya (Alumni Jur. SKI FIB-Adab/Kritikus Sastra-Kolomnis)

Wacana poskolonial belum begitu populer dalam kesastraan Indonesia. Dalam novel Cinta di Dalam Gelas, Andrea Hirata bercerita tentang orang Melayu Belitong. Tulisan ini menunjukkan bahwa telah terjadi generalisasi watak Melayu dalam novel Cinta di Dalam Gelas menurut kerangka Orientalisme. Melayu, dalam kerangka berpikir Marsden yang orientalis, ibarat kerbau yang pemalas, suka tidur dan bersantai. Pada saat yang sama, ia juga bisa menjadi harimau yang buas. Melayu bermukim hampir di seluruh pantai Sumatera dengan kekhasan masing-masing. Namun, Hirata dalam Cinta di Dalam Gelas cukup menjadikan Belitong sebagai representasi yang absah dari masyarakat Melayu. Melayu yang pemalas memang berbeda dengan orang Tionghoa yang pekerja keras, apalagi dengan orang Eropa yang ilmiah. Gambaran-gambaran tentang watak Melayu tersebut secara jelas menunjukkan bahwa penulis Cinta di Dalam Gelas telah terperangkap dalam konsepsi Orientalis mengenai Timur.


A. Prolog

Wacana poskolonial dalam kesastraan Indonesia tidak begitu populer Narasi-narasi kolonial dianggap tidak menunjukkan tanda-tanda yang signifikan dan utuh dalam mempengaruhi karya-karya sastra modern Indonesia setelah kemerdekaan. Indonesia tidak sepenuhnya dijajah. Kolonialisasi atas Indonesia hanya bersifat politis, penguasaan dalam ranah kuasa-negara. Atau dengan kata lain, Belanda tidak berhasil melakukan penaklukkan atas kultur dan bahasa daerah jajahannya. Pada aspek bahasa, misalnya, bahasa Belanda tidak menjadi bahasa nasional Indonesia. Bahasa nasional Indonesia bukanlah bahasa penjajah-nya (bahasa Belanda), tetapi adalah bahasa nasional yang lahir dari hasil modifikasi bahasa Melayu pesisir atau bahasa perdagangan.

Namun, meskipun tidak utuh, tidak dapat dinafikan memang, terkadang karya-karya sastra Indonesia telah mengikatkan dirinya dalam aspek-aspek tertentu pada wacana-wacana milik kolonial secara luas, yaitu imperialis Eropa secara umum (tidak Belanda secara khusus). Wacana Barat tentang dunia Timur tetap meng-hegemoni Timur. Dalam beberapa sisi, karya sastra Indonesia, dalam memandang dirinya sendiri, terlihat masih mengadopsi kerangka pikir yang pernah dipakai penjajah-penjajah Barat-Eropa.

Pandangan terhadap dunia Timur oleh Barat yang dikembangkan dan dikawal sedemikian rupa oleh para orientalis sejak berabad-abad yang silam juga dilanjutkan oleh elit-elit terdidik Timur sendiri paska penjajahan. Sejak berabad-abad yang silam itu sampai kini Timur tetap menjadi laboratorium raksasa bagi ilmuan-ilmuan Barat. Timur dikaji, ditelaah, diteliti, dengan kacamata berpikir Barat.

Cinta di Dalam Gelas merupakan novel kedua dari dwilogi Padang Bulan karya penulis fenomenal Melayu Andrea Hirata yang diterbitkan penerbit Bentang Pustaka Juli 2010 ini. Mengikuti sukses tetralogi Laskar Pelangi, tercatat, dua minggu setelah diterbitkan, novel ini telah laku terjual 25 ribu kopi. Bulan Agustus 2010, novel ini telah kembali dicetak ulang. Dalam novel ini, secara sekilas, corak berpikir kolonialis yang diwakilkan orientalis-Barat tampak ‘menyumbulkan dirinya’ diam-diam seperti topi baja menyumbul di bibir parit pertem-puran. Terminologi 'Orang Melayu', 'Lekali Melayu', 'Watak Melayu', misalnya, beberapa kali diulang-ulang novel ini sebagai generalisasi atas tingkah-polah beberapa orang di Pulau Belitong sebagai latar tempat novel ini. Generalisasi semacam ini dilihat mengindikasikan adanya pikiran-pikiran kolonial dalam novel yang ditulis hampir enam dasawarsa setelah Indonesia merdeka ini.

Bagaimana novel ini melihat dan menilai Melayu sebagai entitas budaya? Benarkah terdapat hegemoni corak pikir kolonial-orientalis dalam proses penilaian dan penglihatan itu? Lantas, bagaimana bentuk hegemoni intelektual kolonialis-orientalis yang terdapat dalam novel ini? Tulisan ini akan mencoba membidiknya dari 'parit' yang lain; tulisan ini akan melihat bagaimaan hegemoni narasi-narasi orientalisme itu terdapat dalam karya sastra, Cinta di Dalam Gelas, dengan melihatnya melalui cara-cara penyajian yang dilakukan oleh pengarangnya.

B. Presentasi dan Generalisasi Melayu dalam Novel Cinta di Dalam Gelas



Karya lengkap dan paling berpengaruh untuk kajian orientalisme ditulis Edward Said, Orientalism (versi terjemahan nya, Orientalisme, terbit 1985). Dalam buku itu, Edwar Said mema-parkan bagaimana dunia Timur di mata orientalis Barat adalah Timur yang bersifat representatif; Timur adalah citra, demostikasi, dan generalisasi dari realitas Timur yang sebenarnya. Timur yang khusus dan spesifik, tutur Said, ditranstimurkan menjadi Timur yang umum yang mewakili seluruh Timur. Atau dengan kata lain, Timur yang personal, khusus, dan spesifik itu menjadi representasi dari Timur yang luas terbentang dan kompleks.

Melayu sebagai bagian dari Timur (versi orientalis) adalah bagian dari objek kajian orientalis. Melayu mendapat perlakuan yang sama seperti dunia Timur lainnya seperti yang disebutkan Edward Said di atas sejak berabad-abad silam. Wiliam Marsden, missalnya, menulis History of Sumatera (versi terjemahannya, Sejarah Sumatera, terbit 2008) di abad ke-18. Karya ini merupa-kan laporan perjalanan orang Inggris tersebut ke Suma-tera. Marsden mencatat hampir semua aspek dari Sumatera yang telah diamatinya. Mulai dari flora dan fauna, bentangan alam dan iklim, sampai kepada tabiat suku-suku di tanah Andalas itu.


Tentang Melayu, Marsden mencatat, Melayu identik dengan fauna khas yang dimilikinya. Melayu yang luas dan komplek, dalam paparan Marsden, diringkaskan dalam dua kata saja. Melayu bagi Marsden tak ubahnya seperti kerbau: malas dan suka mengalai, sedikit-sedikit tidur, dan suka bersantai-santai. Namun di sisi lain, catat Marsden lagi, Melayu yang ‘diam’ itu juga bisa menjadi barbar dan kejam seperti harimau. (Gambaran yang kedua ini selaras dengan bagaimana terminologi “Bajak Laut Melayu” mendapat porsinya yang signifikan di kalangan orang Eropa, ditakutkan para pelancong dan pelaut Barat, dan menjadi ancaman serius bagi kuasa-politik kolonial disepanjang Selat Malaka dan Laut Cina Selatan.

Gambaran dari kontradiksi dan generalisasi dunia Melayu dalam citra yang dibangun Wiliam Marsden (dan mungkin oleh beberapa orientalis lain) tentang Melayu di atas muncul lagi dua ratus tahunan kemudian dalam Cinta di Dalam Gelas. Watak Melayu yang kontrafiktif versi Marsden misalnya tergambar pada sosok Pamanda Ikal, yang digambarkan pemberang, licik, keras, tetapi juga lembut dan penyayang. Ia tidak segan-segan ber-konspirasi demi menjungkangkan Maryamah bersama Motarom cs. dalam lomba catur, tetapi kadang ia juga ditampilkan penyayang terhadap sanak-keluarganya. Atau secara umum, keseluruhan tokoh dalam novel ini menegaskan bahwa Melayu memang ramah dan tenang (diwakilkan Selamot, dkk.), tetapi di sisi lain juga licik, beringas, pendendam (diwakilkan Mutarom, Aziz, dkk.).

Contoh lain dari generalisasi watak Melayu dilakukan oleh Ikal (tokoh utama dalam novel ini). Oleh Ikal, watak Melayu dan segala yang berhubungan dengan Melayu, terepresentasi hanya dalam beberapa watak orang Melayu pulau Belitong. Tanah Melayu yang terbentang luas, menjangkau Sumatera, Jawa, Borneo, dan Semenanjung Benua Asia, dengan kekomplekannya, hanya diwakilkan oleh beberapa orang dari pulau kecil di pantai timur Sumatera itu.

Beberapa orang Melayu Belitong itu adalah gambaran Melayu seluruhnya. Melayu yang tidak sama dengan orang Tionghoa (yang tidur lebih awal agar bisa bangun pagi dan kembali bekerja keras). Ketika orang Tionghoa memilih tidur cepat karena harus bangun pagi untuk bekerja keras, ‘orang-orang Melayu Andrea’ malah menghabiskan malam mereka di kedai-kedai kopi membicarakan omong-kosong, berkeluh-kesah atau menyerempet ketidak-becusan pemerintah.

“Karena lelaki Melayu gemar berlama-lama di warung kopi, dan yang mereka lakukan di sana selain minum kopi dan menjelek-jelekkan pemerintah adalah main catur …,” tulis Andrea. (penebalan tulisan dari penulis).


Orang Melayu dengan kata lain adalah juga, bagi Andrea, terepresentasikan oleh orang-orang kota kecil Belitong yang tidak bisa ditertibkan, yang tidak bisa dimoderenkan. Ketika jalan-jalan kota Melayu kecil itu ‘dimoderenkan’ dengan diberi lampu merah untuk tujuan ketertiban, ‘orang Melayu’ tetap tak bisa ditertibkan. Lampu jalan itu tidak ada gunanya dipasang karena orang Melayu tak pernah bisa tertib dan melanggarnya terus-menerus. Traffic Light itu, tulis Andrea, “… bukan, bukan rusak, tapi sengaja dimatikan karena warna apa pun yang menyala, tak seorang pun mengacuhkannya.” Watak ‘beberapa orang Melayu di pulau Belitong’ itulah, oleh Andrea, sekali lagi, mewakili watak orang Melayu seluruhnya. Di sinilah terlihat bahwa yang spesifik dan yang personal, oleh Andrea Hirata menjadi yang umum.


C. Pencatat Melayu yang Bukan-Melayu


Pembicaraan tentang Timur oleh Barat berarti pembicaraan tentang Timur yang bukan untuk Timur, tetapi untuk kepentingan yang membicarakannya yaitu Barat. Edward Said mengungkapkan bahwa orientalis menjadikan Timur sebagai objek untuk kepentingan Barat yang selamanya tetap menjadi Subjek. Timur tidak diizinkan menampilkan dirinya sendiri. Tetapi penampilan Timur adalah hasil dari rekontruksi Timur oleh Barat.

Dalam Cinta di Dalam Gelas, pembicaraan tentang Melayu dilakukan oleh Ikal yang ‘Barat’. Ikal memerankan pencatat kemelayuan yang mencatat apa saja tentang Melayu. Ia adalah murid-didikan Eropa yang merekonstruksi dunia Melayu dengan kerangka berpikir Baratnya tanpa mengizinkan Timur menyumbulka dirinya sendiri kepadanya. Jika pun Timur memperlihatkan dirinya sendiri kepada Ikal, dengan beberapa orang Melayu-nya, Ikal ternyata harus membangun kembali atau setidak-tidaknya memodifikasi gambaran Timur tersebut dengan menyelaraskannya dengan kerangka pikir Profesor-Doktor Baratnya. Andrea, misalnya, menulis: Ikal “…telah diajar oleh profesor bermutu tinggi”. Ikal “berpikir keras bagaimana memodifikasi model-model ciptaan Doktor Hofstede untuk membedakan watak orang Melayu udik.” (hlm. 109)

Buku Besar Peminum Kopi yang disusun Ikal adalah semacam ‘karya agung’ tentang Melayu yang coraknya hampir mirip karya-karya orientalis. Dalam menyusun buku itu, Ikal seperti orang-orang Eropa abad ke-18 dan ke-19 menulis Timur. Mereka, menurut Edwar Said, mencatat sejarah, zaman, dan geografi Timur untuk membuat suatu generalisasi dari setiap detail yang bisa diamati, dan merumuskan hukum yang mutlak mengenai watak, temperamen, mentalitas, adat-istiadat, atau tipe Timur dari setiap generalisasi itu.

Ikal, seperti telah juga disinggung selumnya, mencoba mengikuti guru-Belanda-Baratnya itu mengkategorikan tabiat orang Melayu ke dalam tipe-tipe tertentu. Ikal menyusun “semacam topografi tabiat orang Melayu. Semacam cetak biru sosiologi mereka. Semacam cultural DNA yang memetakan watak masyarakat kami.” Buku tersebut, bagi Ikal, diharapkan dapat berguna kelak jika “sebuah meteor menghantam kampung kami dan orang Melayu punah seperti dulu meteor telah memusnahkan dinosaurus.” Buku tersebut berguna kelak bagi generasi yang kemudian untuk dipakai “menciptakan lagi masyarakat Melayu”.

Logika ‘menyelamatkan Melayu dari kepunahan’ atau ‘menciptakan lagi masyarakat Melayu’ yang dipakai Ikal, sesungguhnya sangat bercorak orientalis yang sok ingin menyelamatkan timur dari kehancuran dengan mempelajarinya dan mengkategorikannya, tetapi sebenarnya untuk menaklukkannya demi kepentingan penakluknya, imperialis Eropa. Tentu saja, hasrat kolonialis seperti itu tidak tampak pada diri Ikal, tetapi corak pikir kolonialis-lah yang diwarisinya.


D. Superior Barat dan Inferior Melayu Timur

Corak berpikir kolonialis lain (diwakilkan oleh orientalis) adalah diaspora barat yang agung ke dunia timur yang bejat. Barat adalah pusat, dan timur selalu periperi. Dari pusatlah nilai-nilai menyebar ke wilayah periperi. (Edward Said, 1985; Yusuf Syoeib 1980). Dengan Barat sebagai 'asal' dari segala hal yang ada di Timur, Barat kemudian menghegemoni Timur, menghegemoni 'sekutu-sekutunya'. Sehingga kemudian lahir apa yang disebut Gramsci sebagai kelas dominant dan subordinate classes (Antonio Gramsci dalam Alexandre Leger, 2001). Barat sebagai kelas yang dominan mensupremasi dirinya atas Timur yang oposan. Apa yang milik oposan menjadi milik kelas yang dominan. Apa yang ada di wilayah oposan senantiasa mendapat warna dari yang dominan.

Dalam novel Cinta di dalam Gelas, jurus jitu catur Matarom, Rezim Matarom, menurut Ikal, adalah teknik yang sama yang pernah dipakai Nazi untuk mengalahkan Polandia para Perang Dunia II, yaitu ‘Serangan Halilintar’ yang dilakukan tentara Nazi ketika pagi-buta ke jantung pertahan Polandia. Dari situ kita tahu bahwa teknik bermain catur Matarom yang Melayu, diikatkan pada teknik serupa milik Eropa. Apa yang dipunyai Melayu tidak pernah sungguh-sungguh milik Melayu, tetapi ia hasil diaspora (penyebaran) dari apa yang menjadi milik Eropa yang agung. Eropa adalah pusat, yang dominan, sementara Melayu adalah periperi, daerah sebaran, daerah pinggiran; Eropa berhak mensupremasi Melayu. Maka apa yang bijak dari Melayu pada dasarnya berasal dari Eropa. Melayu yang timur berada sebagai himpunan nilai-nilai yang senantiasa diwarnai, dipengaruhi, atau dikaitkan dengan Eropa.

Diaspora barat ke timur ini melahirkan pula anggapan bahwa barat superior dan timur yang inferior. Pusat selalu lebih unggul dari yang pinggiran. Yang dominan mengendalikan, mengatur, mengetuai, menyelamatkan, menobatkan, dst, yang liyan. Oleh sebab itu, Barat yang dominan selalu lebih hebat dari Timur yang hanya sebaran darinya. Anggapan ini telah dikawal berabad-abad lalu oleh imperialis dengan para orientalis mereka. Ini pula kini yang ‘diterbitkan’ kembali oleh Andrea Hirata melalui novel ini. Superior-inferior ini bisa dilihat: Maryamah yang tidak bisa bermain catur sama sekali, berguru pada pecatur perempuan dunia bernama Ninochka Stranovsky.


“Bayangkan,” tulis Andrea, “seorang grand master catur perempuan internasional, nun di jantung Eropa, memberi pelajaran pada seorang perempuan pendulang timah, di sebuah pulau terpencil antah-berantah, yang bahkan tak tampak di peta. Misinya: membantu perempuan itu menegakkan martabatnya. Inilah solidaritas perempuan.”



Dalam proses tranformasi ilmu kepada Maryamah itu pula tergambar bagaimana Nochka yang dari ‘jantung Eropa’ terpingkal-pingkal mendengar cerita Ikal tentang Maryamah yang timur itu, yang Melayu, yang lucu. Nochka geli membayangkan tentang tingkah-polah kemelayuan Maryamah ‘yang berbeda’, yang unik, yang udik—oleh sebab itu menjadi menarik. “Ceritamu membuatku rindu ingin backpacking lagi, ingin melihat tempat-tempat yang jauh dan masyarakat yang unik,” tutur Nochka. Maryamah tidak saja menarik bagi Nochka yang barat karena keudikannya, tetapi lebih dari itu, dan mungkin yang terpenting: Maryamah yang Melayu itu mesti diangkat martabatnya, diselamatkan dari kegelapan nasibnya!

Maka barat harus menjadi guru bagi timur; Melayu yang ‘buta huruf’ harus diaksarakan oleh Eropa yang cerdik-terpelajar. Kecendrungan seperti di atas ini, misalnya. secara lebih komplek dan meyakinkan telah muncul di dunia kita sejak Napoleon, seperti dicatatkan Edwar Said, menginvasi Mesir dengan membawa berlusin-lusin ilmuan dan peneliti. Mesir yang krisis, udik, dan larut dalam kejumudan berpikir harus ‘diselamatkan’ oleh kemajuan ilmiah Eropa yang gilang-gemilang, demi agar Mesir dapat kembali ke martabatnya yang agung di masa lalu. Karena keudikan dan kepurbaannya pula, Mesir dipandang dengan geli oleh Eropa yang modern. Lihat misalnya bagaimana ulama dan cendikiawan Mesir yang udik dan jumud terperangah di depan penemuan Eropa yang modern dan maju berupa alat-alat kimiah, seperti teleskop, mikroskop, alat-alat untuk percobaan kimiawi.


Melihat keudikan Timur itu, orang Eropa mungkin akan berkata sambil menggelengkan kepala dan tersenyum dengan sumbing: dasar Timur kampungan! Sedikit lebih mengejek dari tertawa geli Nochka dalam Cinta di Dalam Gelas Andrea Hirata memandang keudikan Melayu Maryamah.


E. Epilog

Cinta di Dalam Gelas mengukuhkan kembali narasi-narasi tentang Timur (dalam hal ini, secara khusus, tetang dunia Melayu) yang ditulis dan dilisankan orientalis-kolonialis berabad-abad silam dan menjadi kokoh di kalangan bangsa-bangsa terjajah kemudian. Andrea Hirata tidak berniat untuk, meminjam Edwar Said lagi, “menggoyahkan keyakinan-keyakinan yang sudah mantap itu.”

Tulisan Lengkap diterbitkan dalam Jurnal KHAZANAH Vol. II/Nomor 1
Selengkapnya...