Senin, 13 Juni 2011

Manuskrip Minangkabau dan Etika Penyelamatannya

Oleh : Yulfira Riza (Dosen Filologi FIBA)

Manuskrip (naskah) kuno merupakan warisan budaya bangsa yang tak ternilai harganya. Kehadirannya membuka cakrawala berpikir setiap bangsa yang memilikinya untuk memberitahu betapa tinggi peradaban yang pernah terbentuk. Melalui manuskrip kuno tersebut, dapat terkuak data dan fakta yang dapat dijadikan sebagai dokumen otentik untuk membuktikan kapan suatu bangsa mengenal budaya, menyusun kehidupan yang teratur, dan mempunyai suatu keyakinan yang teguh kepada Tuhan. Semua itu merupakan mahakarya para leluhur yang diwariskan kepada kita sebagai generasi penerus bangsa, bukan untuk dijadikan pajangan dan perhiasan di lemari emas. Namun, niat awal penulisan adalah untuk dipelajari isinya, dimaknai setiap goresan aksaranya, dan tentunya diabadikan ilmu yang terkandung di dalamnya dengan penyelamatan kerapuhan raga manuskrip tersebut.


Minangkabau merupakan satu dari sekian banyak tempat penyimpanan manuskrip di dunia. Masuknya Islam pada abad ke-13 menggiring rang Minang untuk mulai mengabadikan hasil pemikiran mereka dalam bentuk tulisan dengan menggunakan aksara Arab Melayu. Sejak saat itulah, naskah-naskah yang antara lain tentang agama Islam, sastra, budaya, undang-undang, ilmu perobatan, ilmu kebatinan, mantra, dan rajah mulai berwujud dalam bentuk tulis. Hingga saat ini, melalui inventarisasi yang dilakukan oleh M.Yusuf, dkk. telah ditemukan hampir 200-an manuskrip yang tersebar di ranah Minang. Hal ini membuktikan betapa kayanya orang Minangkabau dengan ilmu pengetahuan dan betapa Minangkabau telah memiliki peradaban yang tinggi dengan adanya warisan budaya berupa hasil tulisan tangan yang menyimpan ilmu yang sangat bermanfaat. Secara tidak sengaja, sebenarnya nenek moyang orang Minang sangat menginginkan ilmu yang telah mereka pelajari dulu juga diwarisi oleh generasi setelah mereka melalui pengabadian dalam lembaran kertas yang ditinggalkan kepada generasi setelah mereka.
Namun yang terjadi adalah para pemilik manuskrip atau naskah kuno ini di lapangan lebih menganggap manuskrip yang diwariskan kepada mereka adalah benda keramat yang tidak dapat disentuh oleh umum. Manuskrip yang ada pada mereka merupakan benda yang dibiarkan disimpan di tempat yang tinggi (loteng rumah) sebagai penghargaan terhadap naskah tersebut. Hal ini merupakan tindakan yang keliru sekali. Manuskrip, tidak akan pernah ada gunanya jika ia hanya disimpan, dipajang, ataupun dijadikan hiasan. Manuskrip tersebut akan bernilai tinggi bila kita para generasi muda yang mengerti dengan aksara dan bahasa yang terdapat di dalamnya mulai mempelajari dan memahami isi dari manuskrip tersebut atau paling tidak meremajakan isinya.
Tindakan yang paling ringan adalah dengan mengabadikan lembaran-lembarannya melalui kegiatan digitalisasi, memotret dengan peralatan khusus. Hal ini dilakukan agar para peneliti naskah selanjutnya tidak lagi membolak-balik naskah yang telah rapuh tersebut. Mereka cukup melihat hasil digitalisasi melalui Compact Disk (CD). Dengan cara seperti ini manuskrip tersebut akan tetap terjaga fisiknya dari semakin rapuh dan rusak.
Hadirnya para peneliti naskah dan orang-orang yang mencintai naskah dapat membantu upaya untuk menyelamatkan dokumen bangsa yang hampir punah tersebut. Golongan ini merupakan sekelompok orang yang mencoba menyelamatkan isi naskah dengan cara menelusuri tempat-tempat penyimpanan naskah, kemudian menyadarkan para pemilik naskah tentang arti petingnya naskah yang dimilikinya. Mereka datang ke lapangan atau ke tempat-tempat penyimpanan naskah (scriptorium), menemui para pemilik naskah ataupun para pemegang ‘kunci’ penyimpanan naskah kemudian memberikan pengarahan kepada para pemilik naskah untuk menyimpan dan merawat warisan budaya yang dipercayakan berada di garis keturunan mereka.
Langkah untuk mewujudkan sebuah inventarisasi naskah tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Halangan dan rintangan yang ditemui di lapangan kadang sempat menguji nyali para peneliti naskah. Terkadang jauh berjalan mencari naskah, yang ditemukan hanyalah informasi-informasi untuk terus mencari dan mengunjungi orang-orang ataupun tempat-tempat yang ‘diperkirakan’ memiliki dan menyimpan naskah. Informasi scriptoria (tempat penyimpanan naskah) yang didapat dari informan sebelumnya kadang harus menempuh perjalanan yang melelahkan. Namun nyali kecintaan terhadap warisan budaya berupa manuskrip kuno yang menyimpan berbagai ilmu dan budaya bangsa ini terkalahkan oleh semua rintangan yang dihadapi.
Penelitian tentang naskah-naskah kuno sangat berbeda dengan penelitian untuk bidang kajian ilmu lain. Berdasarkan akar kata yang melandasi penelitian naskah yaitu philein yang membentuk kata filologi yang bermakna cinta, member gambaran kepada peneliti naskah bahwa hanyalah orang yang cinta terhadap goresan tangan leluhur bangsa ini sajalah yang dapat meneliti dan menelusuri keberadaannya. Sangat tidak berlebihan kiranya jika orang yang ingin meneliti naskah adalah orang yang lebih dulu mengedepankan rasa cintanya terhadap warisan budaya, rasa cintanya terhadap kandungan isi yang terdapat di dalam lembaran-lembaran kuno itu, dibandingkan dengan kecintaan terhadap materi yang akan dihasilkan setelah naskah itu didapatkan. Penelitian naskah merupakan penelitian yang lebih menanamkan kejujuran, ketekunan, dan keinginan para peneliti tersebut terhadap hasil penelitian yang akan dilakukannya.
Dalam pengerjaannya pun seorang peneliti naskah harus lebih dahulu memunculkan kejujurannya, ketelitian, dan ketekunan dalam menggarap barang yang sudah berdebu tersebut. Itulah sebabnya di dalam setiap hasil penelitian naskah, selalu dicantumkan aparat kritik, sebagai bentuk pertanggungjawaban peneliti terhadap hasil penelitian dan perubahan yang dilakukan selama menggarap naskah tersebut.
Naskah tidak dibenarkan dipisahkan dari tempatnya. Biarkan naskah berada di habitatnya karena naskah tersebut merupakan warisan keluarga naskah yang bersangkutan. Mereka merupakan pemiliknya yang kalau naskah itu diambil dari tempatnya dan dibawa ke tempat lain sama artinya dengan membawa warisan sebuah keluarga atau kasarnya merampas warisan orang lain untuk menjadi milik kita sendiri. Hal ini harus dihindari oleh para peneliti naskah atau orang yang berkepentingan dengan pencarian naskah baik untuk kepentingan pribadi ataupun kolektif.
Tindakan memisahkan naskah dari pemiliknya ini sama halnya dengan membawa harta orang lain utuk dimanfaatkan demi kepentingan sendiri. Apabila orang luar, ataupun orang yang mempunyai kepentingan terhadap isi naskah tersebut ingin mendapatkan ilmu dari manuskrip tersebut, cukuplah mereka mempelajari saja isinya dengan tidak mengambil fisiknya. Mengambil isinya itu dapat dengan cara membuat digitalisasi seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bukan memfotokopinya. Tindakan memfotokopi naskah sama halnya dengan merusak fisik naskah secara perlahan-lahan. Semoga kesadaran untuk tetap mencintai hasil karya bangsa sendiri masih tetap menyelimuti diri kita.
Selengkapnya...

Konteks Historis Peradaban Renaisan-Barat dan Islam-Timur : Sebuah Pengatar Pendekatan Sejarah Intelektual

Oleh : Dra. Desmaniar, M.Pd & Muhammad Ilham (Dosen FIBA IAIN Padang)

Setiap pemikiran dibentuk oleh sejarahnya, demikian kata Ayatullah Murthada Mutahhari. Dalam konteks ini, kita berusaha mensikapi perkembangan peradaban intelektualisme Islam. Zaman renaisans, yang diperiodesasikan oleh sejarawan dari abad ke 14 - 16 Masehi, merupakan salah satu titik diantara titik-titik pada garis kontinum sejarah peradaban dunia (terutama sejarah peradaban Eropa/Barat). Zaman yang dianggap sebagai abad keemasan (Golden Age) ini merupakan fase transisi yang menjembatani zaman kegelapan (Dark Ages) dengan zaman pencerahan (Aufklarung/Enlightenment Age).


Kelahiran zaman renaisan, disamping karena perkembangan kapitalisme dan merkatilisme, faktor yang menstimuli kelahiran zaman ini adalah faktor adanya konflik yang cukup serius antara agama dengan ilmu pengetahuan. Kaum cendekiawan, filosof dan ilmuan secara bersama-sama melawan dogma-dogma dari gereja sebagai pemegang otoritas kebenaran mutlak. Dalam konteks filsafat sejarah, daerah-daerah atau era yang "menyimpan" dinamika perdebatan intelektual yang konstan biasanya memiliki potensi untuk melahirkan generasi-generasi atau zaman terbaik. Beberapa daerah di Indonesia, misalnya, pada masa kolonial Belanda tercatat sebagai daerah-daerah yang "hidup" suasana intelektualnya dan "out-put" daerah tersebut memiliki pengaruh besar dalam menentukan arah sejarah Indonesia. Dan biasanya daerah-daerah itu menjadi pusat pendidikan dan pusaran konflik pemikiran agama. Maka dalam sejarah Indonesia kemudian dikenallah beberapa daerah yang memiliki dinamika pemikiran intelektual yang dinamis dalam zamannya seperti Aceh, Batak dan Minangkabau di pulau Sumatera. Kemudian Menado untuk pulau Sulawesi. Daerah-daerah ini, pada zamannya, sangat intens terjadi perdebatan-perdebatan keagamaan dan kultural sehingga caerah-daerah ini (selain pulau Jawa) dicatat sebagai daerah yang "menghidupkan" perkembangan sejarah intelektual nusantara pada masa Kolonial Belanda.

Kembali ke renaisan, dengan pendekatan rasionalisme-empiris, mereka menggoyang dominasi dan hegemoni gereja yang selama ini sulit dikritisi bahkan cenderung tak terbantahkan. Persoalan besar kemudian muncul karena dalam menangani konflik antara ilmu dengan agama ini, gereja menggunakan kekerasan dan pendekatan represif. Pemikiran-pemikiran ilmiah yang berlawanan dengan doktrin (dalam hal ini : interprestasi kalangan agamawan) agama dan Al-Kitab, oleh gereja (Paus, Kardinal dan Uskup), dibasmi dengan cara membakar karya-karya keilmuan tersebut dan kemudian menyiksa bahkan membunuh (dengan metode : dibakar atau disalib) para ilmuan. Institusi gereja menggunakan lembaga pengadilan inkuisisi dan menjadikannya sebagai lembaga legitimate untuk menghadapi para kaum cendekiawan dan ilmuan tersebut. Institusi ini juga digunakan sebagai kekuatan represif dan akibatnya banyak ilmuan-ilmuan seumpama Galileo Galilei (1564-1642), Niccolas Coppernicus (1473-1543), Giularmo Sarvanolla, Giordarno Filippo Bruno (1548-1600), Johannes Keppler (1571-1630) dan lain-lain menjadi korban kekerasan inkuisisi ini. Sebagian dari mereka dibakar hidup-hidup atau disiksa sampai mati. Kematian Sarvanolla menjadi kisah yang paling monumental dan paling tragis akibat kesewenangan pejabat gereja. Sarvanolla merupakan biarawan sekte Dominikan. Tahun 1494, ia memproklamirkan perlawanannya terhadap kehidupan duniawi para Paus dan Kardinal. Disamping adanya kesewenang-wenangan para Paus dan Kardinal dalam mengkooptasi dan memonopoli secara sepihak interpretasi Al-Kitab, Sarvanolla juga muak melihat praktek keduniawian Paus dan Kardinal yang bertolak belakang dari sebagaimana fungsi dan peran mereka. Paus tidak segan-segan melakukan praktek kolusi dan korupsi dalam mengangkat pejabat gereja seperti yang dilakukan olkeh Paus Sixtus IV. Sementara itu, Paus Innocentius VIII tanpa malu-malu mengumumkan bahwa ia memiliki beberapa anak haram. Sementara, Paus Leo X suka dengan hal-hal yang megah dan menjual jabatan di gereja untuk memperbesar kekayaan. Sarvanolla kemudian menganjurkan agar kota Firenze menjadi kota suci supaya menjadi panutan kota-kota lainnya. Ia juga mencela Lorenzo di-Medici (penguasa Firenze) sebagai tiran "bertangan besi". Setelah di-Medici dijatuhkan melalui perlawanan rakyat, maka publik Firenze meminta Sarvanolla memerintah Firenze. Sarvanolla kemudian mengatur Firenze dari biara. Namun ini tak berlangsung lama. Beberapa lawan "politik"nya (tentunya dibackup gereja) berusaha menggalang kekuatan untuk menundukkan Sarvanolla. Akhirnya, khotbah-khotbahnya yang berisikan kecaman terhadap Paus, menyebabkan ia kemudian ditangkap. Ia dibakar di tiang gantungan. Para muridnya banyak yang menangis ketika Sarvanolla dibakar, sehingga kemudian, sejarah mencatat bahwa para murid-muridnya tersebut dipanggil dengan sebutan populer pada waktu itu, Piagnoni atau para penangis.

Tetapi perlawanan mereka terhadap dogma gereja menimbulkan implikasi yang cukup serius. Agama dan institusi yang mendukungnya semakin jauh dari filsafat dan ilmu pengetahuan serta para cendekiawan. Tragisnya perlawanan kaum cendekiawan dan ilmu pengetahuan di abad renaisan tersebut kemudian diwarisi oleh para ilmuan yang datang belakangan, diantaranya Charles Darwin (1809-1882), Karl Marx (1818-1883), yang dikenal sebagai pelopor utama gagasan sosialisme ilmiah yang tertuang dalam berbagai buku-bukunya seperti Das Capital dan Manifesto Communist, Bennedict Baruch Spinoza (1632-1677), Jean Jacques Rosseau (1712-1778) yang dianggap sebagai "perintis" jalan ke arah tercapainya Revolusi Perancis, Immanuel Kant (1724-1804), Voltaire (1694-1778) yang dikenal memiliki nama asli Francois Marie-Arouet dan dianggap sebagai "biang"nya Revolusi Perancis, Sigmund Freud "sang perintis" teori psikoanalisa (1856-1939) dan Rene Descartes (1591-1650). Maka tidaklah mengejutkan apabila konstruksi teori-teori filsafat dan ilmu pengetahuan yang mereka bangun dan kembangkan, pada umumnya sangat bertolak belakang dengan doktrin-doktrin gereja abad pertengahan, bahkan konstruksi-konstruksi teori tersebut menafikan peranan agama. Sebagai contoh, teori evolusionisme Charles Darwin "menggugat" doktrin kreasionisme yang diajarkan oleh gereja.

Pada abad yang sama, dibelahan lain, tepatnya di dunia Islam terjadi pula perkembangan dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan. Islam mencapai puncak kejayaan, sehingga pada masa ini, peradaban Islam dijadikan sebagai reference culture dan parameter bagi peradaban-peradaban lain. Teori-teori pengetahuan empiris dan filsafat Ibnu Khaldun, Ibnu Sina (Avessena) dan Ibnu Rusyd (Averoust) berkembang pesat dan menimbulkan berbagai kontroversi serta polemik yang berketerusan. Pemikiran-pemikiran Ibnu Rusyd memang menimbulkan konflik dan pertentangan yang keras dari kalangan konservatif, khususnya kalangan Ahlussunnah yang bermazhab Imam Hambali. Tetapi penolakan tersebut relatif berlangsung secara beradab dan lebih manusiawi. Inilah yang membedakannya dengan apa yang terjadi di dunia barat-Kristen. Kekerasan penguasa Islam terhadap kaum cendekiawan atau ulama bukan berarti tidak ada, misalnya kasus al-Hallaj, Hamzah Fansuri, Syekh Siti Jenar - tetapi dalam intensitas yang relatif kecil dibandingkan dengan kekerasan dan kezaliman yang dilakukan oleh inkuisisi gereja terhadap kaum cendekiawan. Kekerasan dan kezaliman yang "bersumbu" pada gereja selama berabad-abad telah menanamkan benih-benih perlawanan serta akumulasi kebencian. Benih perlawanan dan akumulasi kebencian tersebut bukan hanya benih perlawanan yang sepihak atau satu kelompok saja, akan tetapi sudah mengarah kepada perlawanan kolektif. Perlawanan kolektif ini merupakan perlawanan yang dipelopori oleh kalangan cendekiawan dan filosof. Mereka menuntut adanya kebebasan dalam berfikir dan berkarya, menuntut digantinya pendekatan dogmatisme agama dengan pendekatan rasionalisme. Kultus dan mitologisasi kemudian diganti dengan de-mitologisasi dan sekularisme. Bahkan konsep-konsep kunci dan sakral dalam agama dikritisi bahkan dikeragui oleh para filosof. Keabsahan ajaran dan iman Kristiani bahkan dianggap bukan satu-satunya iman yang wajib diyakini. Kontak dan interaksi dengan "out-siders, terutama dengan peradaban Islam dan perjalanan yang dilakukan ke berbagai belahan dunia seperti penemuan benua Amerika dan perjalanan dagang ke Asia, menyebabkan orang Eropa (baca: dunia Barat) banyak mengenal bahwa ada iman dan agama lain yang - menurut mereka - lebih rasional dibandingkan dengan iman Kristiani. Legitimasi kekuasaan Tuhan digantikan dengan legitimasi kekuasaan rakyat.
Selengkapnya...

Yerusalem : "Perdamaian yang Utopia"

Oleh : Drs. Rusli, M.Ag (Dosen SKI Fak. Tarbiyah IAIN Padang)

Bagaimanapun juga, sejarah telah mencatat bahwa konflik Israel-Palestina merupakan sebuah perjuangan politik antara dua kelompok bangsa. Perjuangan yang bukan menyangkut sumber ekonomi saja, sebagaimana yang biasa terjadi, akan tetapi yang menyangkut tanah, sumber daya, keamanan, kemerdekaan, kesetaraan, kekuasaan, identitas, dan keadilan. Dialog produktif harus mengikutsertakan pengakuan tentang hal ini dan tidak membatasinya pada isu-isu antar dan dalam agama. Pencarian sebuah penyelesaian bagi konflik Israel-Palestina membutuhkan sebuah sudut pandang terhadap gambaran yang besar. Tujuan akhir seharusnya adalah menciptakan stabilitas bagi Israel dan Palestina, sehingga mereka dapat hidup aman dan rukun, dalam semangat gotong-royong dan hormat-menghormati.

Suara kemarahan itu melekat pada tembok, di lorong-lorong Kota Tua Yerusalem. Dalam bahasa Arab, dan kadang Inggris, coretan itu menyerukan pembebasan kota dari Israel. Sekelompok bocah pulang sekolah melintas pada salah satu gang. Mereka berhenti sejenak, menatap ke grafiti: “We will return”. Atau yang lain, “Free Palestine”. Dingin menyergap Yerusalem, pada suatu siang, di akhir Maret 2010. Hidup di kota yang terbelah, anak-anak Yerusalem harus siap disergap ketegangan konflik. Perang, tampaknya, menjadi tugas warisan bagi tiap generasi. Kota itu berada di Tepi Barat, dan diklaim oleh Israel sebagai ibukota, saat negara Yahudi itu berdiri pada 1949. Israel mendiami wilayah barat kota, sementara sisi timur kini diklaim ibukota Palestina. Yerusalem adalah simbol bagi pertempuran tak berujung. Ratusan ribu korban jatuh akibat panjang Israel Palestina. Pada pertengahan Maret lalu, misalnya, dua remaja Palestina, Sayid dan Mohamad Qadous, mengacungkan kapak, menggertak tentara Israel yang berjaga di tenggara Nablus, wilayah Tepi Barat. Peluru tentara Israel berdesing. Dua remaja itu roboh. Seorang remaja di kota lain, juga tewas ditembak karena alasan serupa.

Insiden itu memanaskan situasi konflik di sekujur tanah Palestina. Aksi itu hanya berselang dua hari dari serangan udara Israel ke Raffah, yang berbatasan langsung dengan Mesir. Sedikitnya 15 warga sipil luka parah, sementara terowongan penghubung antar kota yang dibangun lewat negosiasi resmi bertahun-tahun hancur tak bersisa. Israel kembali melontarkan kebijakan provokatif. Selain berkali-kali menghajar warga Palestina dengan rudal dan peluru, negara Zionis itu bertekad akan terus membangun pemukiman Yahudi di Yerusalem bagian timur. Padahal wilayah itu masuk bagian Tepi Barat, dan selama ini menjadi sumber pertikaian dengan Palestina. Yerusalem bagian timur adalah isu paling sensitif dalam konflik Israel-Palestina. Israel menduduki wilayah itu sejak Perang Arab 1967, atau dikenal “Perang Enam Hari”, dan mengklaim seluruh Yerusalem adalah ibukotanya. PM Israel, Benjamin Netanyahu pun menyatakan tak akan pernah setuju berbagi Yerusalem dengan Palestina. Tapi, Palestina menegaskan sektor bagian Timur Yerusalem - yang menjadi lokasi tempat suci bagi umat Kristen, Muslim, dan Yahudi – adalah ibukota mereka. Palestina juga mencakup kawasan Tepi Barat dan Jalur Gaza. Adu klaim ini telah membuat Yerusalem menjadi bara dalam konflik Isreal-Palestina. Israel juga begitu angkuh. Dua pemimpin dunia, yaitu Wakil Presiden AS, Joe Biden, dan Sekjen PBB, Ban Ki-moon, melawat ke Timur Tengah, di waktu berbeda, Maret lalu. Keduanya bertemu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dan mendesak agar Israel tak memancing konflik baru yang menghambat perundingan damai. Mereka mendesak Israel menghentikan pembangunan pemukiman Yahudi di timur Yerusalem, dan tembok pembatas antar kota.

Desakan itu adalah juga hasil pertemuan segi empat– PBB, Masyarakat Uni Eropa, Amerika Serikat dan Inggris. Tapi, Israel tak peduli. Negara itu bahkan mengabaikan nasehat Amerika Serikat, yang selama ini menjadi sekutu terkarib. Bahkan seperti mengejek, Israel mengumumkan rencana pembangunan 1.600-an rumah bagi warga Yahudi di Yerusalem Timur, di tengah lawatan Joe Biden, yang sebelumnya mendesak agar proyek kontroversial itu dihentikan. Biden membalas ‘insiden memalukan’ itu. Pada satu jamuan makan malam kenegaraan Israel menghormati kunjungannya, Biden tak segera datang. Dia membiarkan Netanyahu menunggu satu setengah jam. Pekan ini, Netanyahu balik akan berkunjung ke Amerika Serikat. Dia memang berjanji memberikan isyarat niat baik bagi Palestina. Misalnya, kata Netanyahu, Israel akan mengurangi blokade di Jalur Gaza dan membebaskan tahanan Fatah. Tapi dia menolak mencabut keputusan pembangunan rumah pemukiman di Ramat Shlomo – Yerusalem Timur, yang diprotes banyak kalangan itu. Mungkin Israel terlalu yakin, bahwa tak ada satu kekuatan pun – baik PBB, Uni Eropa, Amerika Serikat, Inggris atau gabungan keempatnya, mampu mengubah kebijakannya. Israel juga memanfaatkan standar ganda negara-negara itu. Peluang itu dipakai Israel dengan cara terus menekan Palestina. Misalnya, hingga hari ini tak ada sanksi mendesak Israel. Sementara, perundingan damai kian tak jelas nasibnya. Tak ada gunanya negosiasi, selama Israel tak berhenti membangun pemukiman itu.

Tembok-tembok itu membelah Yerusalem, melingkar atau menikung, dan membagi dua kehidupan. Dengan alasan melindungi warganya dari serangan bom bunuh diri para militan Palestina, Israel membangun tak kurang 130 kilometer tembok pembatas di wilayah Israel-Palestina. Sejak 2002, tembok itu kian menguak luka Palestina. Wajah kota-kota di kawasan ini pun berubah. Di Bilin, Tepi Barat, Gaza dan Jericho, misalnya tembok menjulang setinggi lebih 10 meter. Ide tembok pembatas ini dulu datang dari Perdana Menteri Israel Ariel Sharon. Dia tampaknya begitu trauma dengan militansi bom bunuh diri pemuda Palestina, yang menyeruak dan menebar maut di pemukiman Yahudi. Radikalisme anak-anak Palestina itu, menurut Presiden Israel Shimon Peres, justru menyulitkan perundingan damai. Peres adalah pendukung Solusi Dua Negara, yakni berdirinya Israel dan Palestina secara berdampingan. Peres merasa rasa percaya antar Israel dan Palestina kini sangat langka. "Mereka (Palestina) bukan musuh kami, dan kami yakin jika situasi mereka lebih baik, maka kami punya tetangga yang baik juga," ujar Peres. Tapi, rasa percaya itu toh tak mungkin dibangun dengan tembok pembatas. Alasan pembangunan tembok itu juga kian tak berdasar. Kedua warga yang hidup di atas tanah sama kini sangat berjarak. Tak gampang keluar masuk lewat tembok atau penghalang jalan ini. Para tentara Israel bersiaga di sana. Semua warga diperiksa, dari cek kartu identitas, dan digeledah sampai ke pakaian dalam.Akibat tembok pembatas, persoalan kemanusiaan mencuat di kota-kota Palestina yang wilayahnya diblokade Israel. Warga tak bisa bergerak dengan leluasa. Bahkan, mereka sulit untuk bekerja, atau bersilaturahmi. Fasilitas kesehatan, pendidikan, makanan hingga air bersih pun terbatas. Fasilitas kesehatan, misalnya. “Di sini ada 20 ribuan pengungsi, tapi hanya ada satu klinik dengan tiga dokter,” ujar seorang pemuda di Bethlehem, sepuluh kilometer di selatan Yerusalem. Soal air bersih juga jadi masalah besar. Di atas rumah warga Palestina di Tepi Barat, misalnya, tampak menjulang tong silinder dari baja anti karat untuk menampung air. Tong itu diletakkan di atas rumah. Para ibu rumah tangga, terbiasa mencadangkan air dan makanan dalam jumlah besar. Situasi konflik yang tak menentu, membuat mereka harus memikirkan persediaan logistik yang cukup. Protes dari badan dunia bukan tak ada. International Court of Justice, misalnya, pada 2004 telah meminta Israel meruntuhkan tembok pembatas ini. PBB juga mengecam keberadaan tembok, dan penghalang jalan yang membatasi ruang gerak warga. Tapi hingga laporan ini diturunkan, tembok-tembok pembatas itu masih berdiri dengan pongahnya.

Pencaplokan tanah itu juga kian agresif. Mantan Menteri Ziad Abu Ziyyad, politisi senior dari Fatah itu, dengan nada lirih mengaku kehabisan akal menghadapi kebijakan Israel. “Saya khawatir saat perundingan damai sesungguhnya dimulai, tak ada lagi tanah tersisa untuk Palestina”, ujarnya. Meskipun salah satu arti dari Yerusalem adalah Teaching of Peace, namun kota tua itu ternyata seperti tak berhenti menjadi akar sengketa dan konflik sepanjang sejarah. Di salah satu wilayah kota itu, tepatnya Yerusalem Timur, Palestina menyebutnya sebagai ibukota masa depan. Seterunya, Israel, juga mengklaimnya sebagai bagian dari ibukota mereka. Dalam sejarah moderen, wilayah itu semula dikuasai oleh Yordania pasca Perang Arab-Israel 1948, namun akhirnya dicaplok oleh Israel setelah menang dalam Perang Enam Hari pada 1967. Menurut para pengamat, wajar saja bila Yerusalem Timur merupakan salah satu biang konflik di Timur Tengah dan diperebutkan oleh Israel dan negara-negara Arab - dan kini Palestina. Pasalnya Yerusalem Timur menjadi lokasi tempat-tempat suci bagi agama-agama yang memiliki umat besar di dunia, Islam, Yahudi, dan Kristen. Bagi umat Muslim, di Yerusalem Timur terdapat tempat suci ketiga, yaitu kompleks Masjid Kubah Emas dan Masjid al-Aqsa. Di kota itu juga terdapat Gereja Kebangkitan Kudus, yang dipercaya umat Nasrani merupakan bekas lokasi Bukit Golgota - tempat penyaliban Yesus Kristus. Yerusalem Timur juga menjadi lokasi sisa-sisa bangunan Bait Suci, yang kini menjadi tempat ibadah bagi umat Yahudi yang kini menyebut tempat itu sebagai Tembok Ratapan. Sumber dari Wikipedia mengungkapkan bahwa penamaan Yerusalem Timur kemungkinan sudah dilakukan sejak wilayah itu masih di bawah kendali Yordania antara 1949 hingga 1967 - yang akhirnya tergabung dalam kotamadya Yerusalem setelah Perang 1967. Setelah Perang Arab-Israel, Yerusalem terbagi dalam dua bagian. Bagian Barat sebagian besar dihuni oleh warga Yahudi, yang datang di bawah dukungan pemerintah Israel, sedangkan di sisi Timur kebanyakan dihuni oleh orang Arab, yang datang saat di bawah kendali Yordania.

Stasiun televisi BBC mengungkapkan bahwa Yerusalem Timur kini dihuni sekitar 240.000 orang Arab. Kebanyakan dari mereka mengaku merasa jengah atas status mereka saat ini. Meski jarang berkonflik langsung dengan Israel, mereka tetap menganggap diri sebagai orang Palestina dan mendukung kelompok-kelompok perjuangan yang ingin membebaskan Yerusalem Timur dari pendudukan Israel. Mereka sebenarnya mendapat izin khusus dari pemerintah Israel dan menikmati sejumlah keuntungan yang tidak bisa dinikmati oleh saudara-saudara mereka di Tepi Barat. Namun, sejalan dengan dimulainya pembangunan untuk pemukiman Yahudi oleh pemerintah Israel di Yerusalem Timur, masa depan mereka kini menjadi tidak jelas. Akhirnya banyak warga yang tidak betah dan pindah ke lokasi lain. “Tanah warga akhirnya diserobot, setelah itu Israel mengulangi cara serupa di wilayah lain," lanjut dia. Warga itu juga mengungkapkan bahwa untuk membuat penduduk setempat tidak betah dan pindah, pemerintah Israel menggunakan berbagai cara, mulai dari memutuskan aliran listrik atau sambungan air hingga bentuk intimidasi lainnya.

Wartawan BBC, Martin Asser, pun mendapat kesaksian betapa warga-warga Arab di Yerusalem Timur mendapat perlakuan diskriminatif agar segera hengkang dari tempat tinggal mereka. Tidak sedikit warga mengaku telah mengalami diskriminasi dari otoritas setempat berupa larangan untuk membangun atau merenovasi rumah, tidak mendapat layanan yang semestinya dari pemerintah setempat kendati mereka juga bayar pajak, hingga pencabutan hak tinggal bila mereka ketahuan menetap atau menjadi warga negara di tempat lain atau berada di luar negeri selama lebih dari tujuh tahun. Israel tidak terang-terangan mengusir warga Arab-Palestina untuk keluar dari Yerusalem Timur. Namun, dengan cara-cara licik di atas, Israel membuat mereka menjadi tidak betah dan terpaksa pindah. Perlakuan berbeda justru diberikan Israel kepada warga Yahudi. Mereka kini diberi kesempatan untuk bermukim di Yerusalem Timur - wilayah yang telah didamba-dambakan rakyat Palestina menjadi ibukota mereka. Perlakuan diskriminatif di Yerusalem Timur itu justru menimbulkan anggapan bahwa Solusi Dua Negara, yang digembar-gemborkan petinggi Israel, hanya menjadi pemanis di bibir. Sehingga, meskipun kawasan tersebut pernah memunculkan tiga peraih nobel perdamaian, pada 1994-- yaitu Shimon Peres (Israel), Yasser Arafat (Palestina) dan Yitzhak Rabin (Israel)—hingga kini belum juga muncul tanda-tanda kawasan tersebut akan bebas konflik sepenuhnya. Atau dengan kata lain, “Teaching of Peace” memang masih relevan untuk Yerusalem, karena faktanya “damai” memang belum benar-benar tercipta di kawasan tersebut.

(c) Sumber : www.vivanews.com & Buku Muhammad Ilham, Sejarah Peradaban Dunia : Dari Phapyrus Hingga Internet, Padang: IAIN IB Press, 2000
Selengkapnya...