Rabu, 30 Maret 2011

Agama dan Globalisasi : Perspektif Sosiologi Agama

Oleh : H. Rifki Abror Ananda (Dosen MSI FIBA IAIN Padang)

Diskursus tentang agama selalu menjadi perhatian yang menarik, apalagi bila diskusi itu menyangkut aspek sosiologis. Agama, dalam konteks keyakinan dan bagaimana agama di praktekkan merupakan masalah sosial dan sampai kapanpun dapat diidentifikasi dalam masyarakat. Akan tetapi praktek keagamaan berbeda dalam menjelaskan selayaknya menjelaskan struktur institusional sebagai keseluruhan sistem sosial. Berbeda dengan dengan masalah pemerintahan dan hukum, yang lazim menyangkut alokasi serta pengendalian kekuasaan, lembaga ekonomi yang yang berkaitan dengan kerja, produksi dan pertukaran. Juga berbeda dengan lembaga keluarga yang mengatur dan mempolakan hubungan antara jenis kelamin dan, antara generasi berkaitan dengan pertaian keturunan serta kekerabatan.



A. PENDAHULUAN
Masalah inti dari agama dianggap menyangkut hal yang mengandung “arti penting tertentu”, menyangkut masalah aspek kehidupan manusia, yang dalam transendensinya, mencakup sesuatu yang mempunyai arti penting dan menonjol bagi manusia.
Agama dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublime; sebagai sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin individu; sebagai sesuatu yang memuliakan dan membuat manusia beradab. Tetapi di sisi lain agama dituduh pula sebagai penghambat kemajuan manusia, akar fanatisme dan sikap tidak toleran, pengabaian dan bahkan kesia-siaan. Tapi disisi lain, akibat perkembangan tekhnologi yang sedemikian rupa membawa dampak yang tidak dapat dielakkan. Perkembangan tekhnologi informasi dan komunikasi menjadikan seluruh dunia ada di hadapan kita, sehingga mempengaruhi seluruh sektor kehidupan kemanusiaan; seperti bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain. Kemajuan di bidang tekhnologi informasi dan komunikasi inilah sebagai titik awal terjadinya globalisasi.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Pada akhirnya, globalisasi dirasakan membawa perubahan yang sangat mendasar pada kehidupan kemanusiaan. Dalam perkembangannya, globalisasi menimbulkan berbagai masalah dalam bidang kebudayaan, misalnya : hilangnya budaya asli suatu daerah atau suatu negara, terjadinya erosi nilai-nilai budaya, menurunnya rasa nasionalisme dan patriotisme, hilangnya sifat kekeluargaan dan kegotong-royongan, kehilangan kepercayaan diri, gaya hidup kebarat-baratan atau terjadinya westernisasi. Dalam konteks ini penulis ingin melihat fungsi agama dalam menghadapi dampak negatif dari globalisasi.

C. MENDEFINISIKAN AGAMA

Dalam Bahasa Indonesia kita mengenal beberapa kata yang mengambil pengertian yang sama dengan agama , yaitu din (bahasa Arab) dan religi (bahasa latin). Dalam Kamus Besar bahas Indonesia, kata agama mengandung pengertian “kepercayaan kepada Tuhan (Dewa, dsb) dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu” .

Definisi agama pertama kali dikemukakan oleh EB Taylor (1832 – 1917), religion is the belief in spiritual being” . Dan Ogburn dan Nimhoff memberikan pengertian sebagai;

Agama adalah suatu pola kepercayaan-kepercayaan, sikap-sikap emosional dan praktek-praktek yang dipakai oleh sekelompok manusia untuk mencoba memecahkan soal-soal “ultimate” dalam kehidupan manusia.

Harun Nasution, menjelaskan intisari yang terkandung dalam pengertian agama adalah ikatan, yang harus dipegang dan dipatuhi oleh manusia. Ikatan ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Ikatan ini berasal dari kekuatan yang lebih tinggi dari manusia. Sesuatu kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap panca indra manusia. Harus Nasution menjelaskan agama sebagai;

1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
3. Mengikatkan diri pada satu bentuk hidup yang mengandung pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
4. Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
5. Suatu system tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari kekuatan gaib.
6. Pengakuan terhadap adanya-kewajiban-kewajiban yang diyakin bersumber pada suatu kekuatan gaib.
7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang rasul.

Koentjaraningrat menyebut aspek kehidupan beragama dengan komponen religi. Menurut Koentjaraningrat ada lima komponen religi;

1. Emosi Keagamaan
2. System Keyakinan
3. System Ritus dan Upacara
4. Peralatan Ritus dan Upacara
5. Umat Beragama

Redcliffe Brown mengemukakan definisi, “agama adalah ekspresi dalam satu atau lain bentuk tentang kesadaran terhadap ketergantungan kepada suatu kekuatan di luar diri kita yang dapat dinamakan dengan kekuatan spiritual atau moral”. Disisi lain, Taylor dan Frazer memandang agama sebagai kecendrungan primitive atau terbelakang. Pandangan yang sinis terhadap agama ini sangat dipengaruhi oleh semangat Reneissans. Semangat menyingkirkan peran agama Katolik Roma dari kehidupan nyata, tetapi kemudian dinisbahkan sama dengan semua agama.

Perlu pula kita singgung pendapat August Comte yang memahami berpikir religius sebagai berpikir yang cendrung mencari jawaban yang mutlak tentang segala hal, seperti mengembalikan sebab segala peristiwa yang terjadi kepada kehendak Tuhan. Pola piker seperti ini amat primitif dalam perkembangan pemikiran manusia. Sedangkan Emile Durkheim mengemukakan esensi agama sebagai kehendak masyarakat, karena agama adalah ciptaan masyarakat. Di sisi lain Sigmund Freud mengatakan bahwa agama adalah ilusi manusia .

Dari sisi yang berbeda, Mircea Eliade menjelaskan akan independensi atau otonomi agama. Agama bukan hasil dari realitas yang lain, agama bukan suatu variabel dependen, akan tetapi agama harus dipahami sebagai yang mempenagruhi aspek-aspek kehidupan yang lain, sebagai variabel independen. Untuk menjelaskannya, Mircea Eliade membedakan antara kehidupan sakral dan profan.

Kehidupan sakral adalah aktifitas kehidupan yang disengaja, yang supranatural, mengesankan, yang substansial dan penting; teratur. Sedangkan yang profan adalah kebiasan yang dilakukan sehari-hari, yang seringkali berubah-ubah . Dari diskursus tentang agama di atas, diambil simpulan bahwa agama menyangkut seluruh sendi kehidupan manusia.


D. GLOBALISASI SEBAGAI KENISCAYAAN

Globalisasi dapat dilihat dari dua prespektif; dari sudut pandang optimis dan dari sudut pandang pesimis. Pertama, globalisasi menjanjikan banyak peluang dan harapan bagi masyarakat dan negara-negara yang sedang berkembang untuk mengejar ketertinggalannya dalam pembangunan bidang ekonomi dan bidang sosial terhadap negara-negara maju. Dari data empiris memang ditemukan negara-negara sedang berkembang yang terlibat secara aktif dalam globalisasi cendrung mengalami kenaikan taraf hidup yang lebih baik disbanding dengan negara-negara yang tertutup terhadap perekonomian dunia.

Kedua, dari sisi pandang yang pesimistis, globalisasi merupakan hantu yang sangat menakutkan karena globalisasi menghasilkan sedikit pemenang dan sebagian besar pecundang. Para pemenang adalah negara-negara industri maju. Sedangkan para pecundangnya adalah negara-negara sedang berkembang.

Globalisasi mendapat perhatian yang begitu besar dan popular dari para akademisi. Perhatian yang begitu besar dari akademisi dimotivasi oleh begitu besarnya ketertarikan dan dan kecemasan publik terhadap globalisasi. Karenanya, teori globalisasi muncul sebagai akibat dari serangkaian perkembangan internal teori sosial, khususnya reaksi terhadap modernisasi dengan biasnya, westernisasi.
Globalisasi dapat dilihat secara kultural, ekonomi, politik dan atau institusional dengan melihat meningkatnya homogenitas atau heterogenitas. Secara ekstrim, globalisasi kultural dapat dilihat sebagai ekspansi transisional dari kode dan praktik bersama (homogenitas) atae sebagai proses kultur local dan global saling berinteraksi yang mengarah kepada perpaduan dan pencangkokan kultur (heterogenitas). Trend homogenitas seringkali diasosiasikan dengan imperialisme kultural atau bertambahnya pengaruh internasional terhadap kultur tertentu.

Antoni Giddens, mendefinisikan globalisasi sebagai proses yang ditandai oleh intensifikasi hubungan antar wilayah, dimana peristiwa yang terjadi di luar sana akan mempengaruhi kondisi dalam negeri disuatu tempat. Begitu juga sebaliknya, peristiwa yang terjadi didalam negeri akan turut memberikan kontribusi atas stabilitas di negara lain. Ia juga menekankan bahwa globalisasi identitk dengan barat. Giddens mengatakan bahwa globalisasi adalah restrukturisasi cara-cara kita menjalani hidup dan dengan cara yang sangat mendalam. Ia berasal dari barat, membawa kekuasaan ekonomi dan politik Amerika. Akan tetapi Giddens juga mengakui bahwa proses globalisasi adalah proses dua arah yang akan melemahkan kultur lokal dan membangkitkannya kembali.

Sedangkan Wallerstein mendefinisikan globalisasi sebagai sebagai “proses integrasi tiada akhir”, tidak hanya terjadi dalam domain ekonomi, melainkan juga dalam domain budaya dan identitas. Wallaerstein melihat bahwa kesulitan utama ketika kita melihat globalisasi adalah konsep batas (boundary). Sebagai suatu proses universal, oleh Wallarsten, proses ini dianggap telah bergerak bebas melewati batas-batas fisik dan imajiner suatu bangsa dan negara.

Di sisi lain Ulrich Beck membedakan antara globalisme, globalitas (globality) dan globalisasi. Beck mendefinisikan globalisme adalah pandangan bahwa dunia didominasi oleh perekonomian dan munculnya hegemoni pasar dunia kapitalis dan ideology neoliberal yang menopangnya. Definisi ini menurut Beck hanya dalam direduksi dalam hal ekonomi saja. Dalam pandanga lain, Beck melihat banyak kebaikan dalam ide tentang globalitas, dimana ruang-ruang tetutup, khususnya yang diasosiasikan dengan bangsa, semakin ilusif (illusory). Ruang-ruang itu telah menjadi ilusif karena globalisasi atau proses-proses melaluinya negara yang berdaulat dimasuki dan dilemahkan oleh aktor-aktor transnasional dengan berbagai macam prospek kekuasaan, orientasi, identitas dan jaringan.

Menurut Beck, proses transnasional bukan hanya dalam masalah ekonomi, tetapi melingkupi seluruh aspek kehidupan. Proses transnasional melintasi batas-batas negara, bahkan merapuhkannya atau bahkan menjadi tidak relevan. Dengan globalitas, tidak ada kejadian di planet ini yang hanya pada situasi local terbatas, semua temuan, kemenangan dan bencana berpengaruh kepada seluruh dunia. Beck menginfentarisir sejumlah hal yang mencolok ynag berkaitan dengan globalitas;

1. Kehidupan sehari-hari dan interaksi lintas batas negara semakin terpengaruh
2. Ada persepsi diri tentang transnasionalitas ini dalam bidang-bidang seperti media massa, konsumsi dan pariwisata.
3. Komunitas, tenaga kerja, capital semakin tak bertempat (placeless).
4. Bertambahnya kesadaran tentang bahaya ekologi global dan tindakan yang harus diambil dalam menanganinya.
5. Meningkatnya persepsi tentang transkultural dalam kehidupan kita.
6. Industri-industri kultural global beredar pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.
7. Peningkatan dalam “jumlah dan kekuatan actor-aktor, institusi, dan kesepakatan transnasional”.

Dalam membicarakan globalisasi, buku yang sering dikutip adalah Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization karya Arjun Appaduray . Dalam buku tersebut dijelaskan ada lima pokok pikiran yang terkait dengan globalisasi;

1. Ethnoscapes; sekelompok orang atau aktor yang mobile (turis, pengungsi, pekerja, tamu) yang memainkan peran penting dalam pergeseran-pergeseran di dunia. Kita melihat saat ini mobilitas manusia yang demikian signifikan dengan perkembangan tekhnologi informasi. Mobilitas manusia dimungkinkan karena kebutuhan manusia akan hiburan dan keingintahuan akan dunia lain yang difasilitasi dengan dunia pariwisata. Indonesia termasuk daerah paforit kunjungan wisata dengan icon utama pariwisata Pulau Bali dan daerah ekstosis khas tropis .
Mobilitas manusia juga dimungkinkan dengan keterbukaan peluang untuk mendapatkan pekerjaan lintas negara. Keterbukaan ini diakibatkan oleh kebutuhan akan pekerja yang professional dibidang yang dibutuhkan pada suatu negara atau kelangkaan tenaga kerja di negara tertentu, di negara lainnya kelebihan tenaga kerja. Sebagai gambaran kita dapat melihat mobilitas masyarakat itu dengan melihat data lintas batas yang signifikan antar negara .

2. Technoscape; konfigurasi global dari “tekhnologi dan fakta bahwa tekhnologi, baik tekhnologi tinggi atau rendah, baik yang mekanistik maupun yang informasional bergerak dengan kecepatan tinggi melintas berbagai batas, batas spasial menjadi sempit dan jarak waktu menjadi sedemikian pendek .
Dengan perkembangan system transportasi yang didukung oleh tekhnologi transportasi, memungkinkan pergerakan dan transformasi tekhnologi yang sedemikian cepat dan perkembangan tekhnologi informasi yang mengakibatkan penyebaran informasi yang demikian pesat. Pengembangan berbagai tekhnologi ini sangat berpengaruh besar dalam keniscayaan globalisasi.

3. Financescapes; pasar, bursa saham nasional dan spekulasi komiditas menggerakkan megamonies melalui batas-batas nasional dengan kecepatan tinggi.
Dampak globalisasi yang paling terasa di dunia ketiga terutama sekali dalam bidang ini. Ketidakmampuan dunia ketiga mengelola sumber daya alam yang dimiliki, ditambah lagi dengan ketidaksediaan modal untuk mengembangkannya menjadi usaha dan produk produktif, sehingga mengakibatkan ketidak berdayaan yang mau tidak mau harus melibatkan dunia barat (negara maju). Akan tetapi keterlibatan dunia maju dalam eksploitasi sumber daya alam yang dimiliki oleh negara-negara di dunia ketiga seringkali terjadi adalah ketidak adilan dalam hasil bagi dari usaha eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan.

Sebagai contoh, kita mengambil kasus PT. Preeport Tembaga Pura kerjasama dengan modal asing yang ditengarai oleh banyak ahli ekonomi sangat merugikan kepentingan rakyat . Ini baru salah satu dari sekian banyak usaha pertambangan yang dikelola oleh perusahaan asing di Indonesia. Dalam kasus yang sama ini juga terjadi dibelahan dunia lainnya.Hal ini mengakibatkan ketimpangan kepemilikan modal (capital) antara negara maju dan dunia ketiga yang semakin dalam.

4. Mediascapes; distribusi kapabilitas elektronik untuk menghasilkan dan menyebarkan informasi (Koran, majalah, televisi, studio film) yang dinikmati publik semakin meluas yang menciptakan imajinasi dunia.
Teknologi Informasi (TI) yang kini berkembang amat pesat, tidak bisa dipungkiri memberikan kontribusi yang signifikan terhadap seluruh proses globalisasi. Mulai dari wahana teknologi Informasi yang paling sederhana berupa perangkat radio dan televisi hingga internet dan telepon genggam dengan protokol aplikasi tanpa kabel (WAP), informasi mengalir dengan sangat cepat dan menyeruak ruang kesadaran banyak orang. Perubahan informasi kini tidak lagi ada dalam skala minggu atau hari atau bahkan jam, melainkan sudah berada dalam skala menit dan detik. Perubahan harga saham sebuah perusahaan farmasi di Bursa Efek Jakarta hanya membutuhkan waktu kurang dari sepersepuluh detik untuk diketahui di Surabaya.

Indeks nilai tukar dollar yang ditentukan di Wall Street, AS, dalam waktu kurang dari satu menit sudah dikonfirmasi oleh Bank Indonesia di Medan Merdeka (. Demikian juga peragaan busana di Paris yang pada waktu hampir bersamaan bisa disaksikan dari Gorontalo. Teknologi Informasi telah mengubah wajah ekonomi konvensional yang lambat dan mengandalkan interaksi sumber daya fisik secara lokal menjadi ekonomi digital yang serba cepat dan mengandalkan interaksi sumber daya informasi secara global. Peran Internet tidak bisa dipungkiri dalam hal penyediaan informasi global ini sehingga dalam derajat tertentu teknologi Informasi disamaratakan dengan Internet. Internet sendiri memang fenomenal kemunculannya sebagai salah satu tiang pancang penanda kemajuan teknologi informasi dan komunikasi .

Tanpa diragukan lagi, kemunculan berbagai media yang dapat diakses dari mana saja, dari satu sisi membawa keuntungan atau manfaat yang besar dalam dunia pendidikan dan transformasi keilmuan. Akan tetapi penyebaran informasi komunikasi yang tidak dapat dihambat atau tanpa penyaringan juga membawa ekses negative bagi masyarakat. Saat ini hamper tia hari kita mendengar teriakan dari tokoh masyarakat agar agar masyarakat menyaring dan mengawasi informasi yang bersileweran di ruang-ruang pribadi-pribadi kita.

Coba kita tilik dari cara berinteraksi masyarakat maya lahir dua pola proses interaksi sosial yaitu proses sosial disosiatif dan proses sosial asosiatif.

a. Proses Sosial Disosiatif. Proses sosial disosiatif terjadi ketika beberapa anggota masyarakat maya terlibat dalam proses persaingan, atau bahkan konflik dengan sesama warga masyarakat maya. Proses sosial ini terjadi ketika mereka bersaing memberi peluang akses kepada masyarakat dan mencari sumber-sumber pembiayaan untuk menghidupi jaringan mereka. Untuk ini mereka harus berkompetisi dengan kompetisi lain yang juga berupaya melakukan hal yang sama. Proses sosial disosiatif ini juga terjadi ketika sebuah jaringan website dengan berbagai alasan ekonomi atau politik terpaksa harus melakukan penyerangan kepada jaringan website lainya, kemudian mereka terlibat dalam peperangan.

b. Proses Sosial Asosiatif. Sementara sifat jaringan dan proses sosial dalam masyarakat maya yang mementingkan kerja sama, maka selain proses disosiatif, terbanyak dari proses sosial itu adalah proses sosial asosiatif antara jaringan-jaringan (kelompok-kelompok) yang ada. Proses ini memberi peluang kepada komunitas maya, baik intra maupun antarjaringan untuk melakukan kerjasama diantara mereka. Kerjasama ini menghasilkan proses lanjutan seperti akomodasi infomasi dan asimilasi kebudayaan masyarakat maya dalam skala global ke seluruh jaringan masyarakat yang akhirnya mempengaruhi perilaku dan interaksi mereka satu dengan lainya

Pluralitas masyarakat Indonesia dalam bidang budaya, dimensi sosial, politik, ekonomi masyarakat sehingga globalisasi informasi membawa pengaruh yang kompleks.

5. Ideoscapes; serangakaian imajinasi yang bersifat politis dan berhubungan langsung dengan ideology negara dan kontraideologi dari gerakan-gerakan yang secara eksplisit berorientasi untuk merebut kekuasaan negara atau bagian dari kekuasaan. Dampak dari persentuhan langsung antara ideology yang berbenturan mengakibatkan Cultural shock, dan cultural lag yang keduanya itu sebagai benturan yang mengakibatkan “keterkejutan budaya”
Pergeseran dan persinggungan ideology yang diakibatkan globalisasi demikian terasa dalam pertarungan ideologi global. Hal ini sangat menonjol ketika persaingan antara Amerika Serikat dalam satu kutub dengan Soviet di kutub lain, dan persaingan ini masih sangat terasa dengan penanaman pengaruh dari kedua adidaya tersebut di negara-negara berkembang. Di sis lain pertarungan ini semakin sengit dengan munculnya kekuatan ekonomi baru selain kekuatan yang telah ada.

Berbicara mengenai globaslisasi, kurang lengkap rasanya kalau tidak merujuk Model 3-T dikembangkan oleh Jhon Naisbitt (1990, 1994) dalam bukunya Megatreds 2000: ten new Directions For the 1990’s yang kemudian diperkuat kembali dengan Global Paradox, Megantrends yang merupakan indikasi besarnya gelombang globalisasi, secara jelas menunjukan bahwa penduduk dunia ini semakin dinamis dan dinamika penduduk tersebut telah menjadi sumber kekuatan jaringan ekonomi dunia .

Bisnis paling terbesar dalam era globalisasi ekonomi ini adalah transportasi, teknologi informasi dan turisme. Transportasi khususnya tranportasi udara dan laut berkembang pesat berkat dukungan “Revolusi Teknologi Informasi” (telecommunications revolution) yang mampu membangun jaringan telekomunikasi yang menyajikan kualtitas “real time” dan kebijakan-kebijakan baru sejumlah pemerintah.

Pengembangan jaringan transportasi tidak hanya mampu meningkatkan pergerakan manusia, barang dan jasa tetapi juga mempengaruhi kualitas manajemen ekonomi pembangunan dan pemberdayaan lingkungan alam. Telekomunikasi yang didukung oleh gabungan berbagai komponen teknologi informasi sebagaimana telah disinggung di atas telah mengubah tata ekonomi dan menciptakan industri komunikasi nasional dan internasional yang mengubah struktur maupun kebijakan ekonomi. Penemuan kembali perekonomian nasional.

Dari 2 model tersebut jelas terlihat bahwa globalisasi pertama-tama memang dimungkinkan oleh adanya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Revolusi telekomunikasi yang mampu menggabungkan telepon, komputer, dan televisi dan dimanfaatkan oleh dunia bisnis, sehingga menghasilkan global business, global tourism, global company, global marketing, dan global consumer, namun globalisasi bukan sekedar proses pelibatan masyarakat di berbagai pelosok dunia kedalam interaksi melalui jaringan komunikasi dan informasi global, namun juga pengintegrasian sektor-sektor pemerintahan maupun swasta kedalam berbagai macam bidang kegiatan. Singkatnya globalisasi dengan keterbukaan arus informasi bebas menata ulang jalinan ekonomi, politik, sosial, budaya dan keamanan segenap negara di dunia sehingga terjadi interaksi intensif yang paradoks di satu pihak mempertajam persaingan namun di lain pihak memperkuat kerja sama.

Merujuk kepada apa yang terjadi dengan keniscayaan globalisasi, apa yang terjadi di dunia lain menjadi bagian yang mempengaruhi di lingkungan kita. Dengan kata lain suatu perkembangan yang baik di dunia lain membawa dampak yang baik di lingkungan kita. Begitu juga dengan suatu perkembangan yang tidak baik di dunia lain akan berpengaruh di lingkungan kita. Dalam konteks inilah agama menjadi filter dalam mengantisipasi dampak negatif globalisasi.

Menurut Kartini Kartono dengan keniscayaan globalisasi, akan terjadi amalgamasi (sambungan, campuran, keluluhan) antara bermacam-macam kebudayaan yang kadangkala bisa berjalan lancar dan lembut. Akan tetapi tidak jarang berlangsung melalui konflik budaya yang mengakibatkan situasi sosial yang khaotis (kelompok-kelompok sosial yang tidak bisa dirukunkan atau didamaikan). Hal ini mengakibatkan banyak kecemasan, ketegangan, dan ketakutan di tengah masyarakat. Situasi sosial seperti ini mudah mengembangkan tingkah laku patologis/sosiopatik yang menyimpang dari pola-pola umum.

Hal ini berakibat timbulnya kelompok-kelompok dan fraksi-fraksi di tengah masyarakat yang terpecah-pecah, masing-masing menaati norma-norma dan peraturannya sendiri, bertingkah semau sendiri. Iniilah yang mengakibatkan masalah sosial, tingkah laku sosiopatik, deviasi sosial, penyimpangan sosial, disorganisasi sosial, disintgrasi sosial dan diferensiasi sosial. Pada akhirnya tingkah laku menyimpang ini meluas dalam masyarakat, maka berlangsunglah deviasi situasional yang komulatif dalam bentuk; kebudayaan korupsi, kriminalitas yang semakin merajalela, diviasi seksual dan lain sebagainya.

E. FUNGSI AGAMA
Agama dalam pandangan teori fungsional dalam kaitan dengan aspek pengalaman yang mentransendensikan sejumlah peristiwa eksistensi sehari-hari yang melibatkan kepercayaan dan tanggpan terhadap sesuatu yang berada di luar jangkauan manusia. Oleh karena itu secara sosiologis agama menjadi penting bagi manusia karena pengetahuan dan keahlian tidak berhasil memberikan sarana adaptasi atau mekanisme yang dibutuhkan. Agama menjadi penting sehubungan dengan pengalaman manusia selalu berhubungan dengan ketidakpastian, ketidakberdayaan dan kelangkaan yang merupakan karakteristik fundamental manusia.

Dalam konteks ini agama; pertama, sebagai cakrawala pandang tentang dunia yang tidak terjangkau oleh manusia (beyond), dalam arti, deprivasi dan frustasi dapat dialami sebagai sesuatu yang mempunyai makna. Kedua, sebagai sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal diluar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia mempertahankan moralnya.

Lebih lanjut, Thomas F. O’dea menyebutkan ada enam fungsi fundamental dari agama;

1. Agama mendasarkan perhatiannya pada sesuatu yang di luar jangkauan manusia yang berkaitan dengan takdir dan kesejahteraan, agama memberikan dukungan moral. Dukungan moral dibutuhkan saat menghadapi ketidakpastian, pelipur lara disaat menghadapi kekecewaan dan membutuhkan rekonsiliasi dengan masyarakat bila diasingkan dari tujuan dan norma-normanya. Karena dihadapkan dengan kekecewaan dan kebimbangan, maka agama menyediakan sarana emotional penting yang membantu dalam menghadapi unsure-unsur kondisi manusia. Dalam memberikan dukungannya, agama menopang nilai-nilai dan tujuan yang telah terbentuk, memperkuat moral dan membantu mengurangi kebencian.
Dalam konteks ini, agama menjadi penting perannya dalam memberikan kekuatan bagi manusia dalam memilih nilai-nilai dan norma-norma yang dianutnya dalam percaturan nilai-nilai dan norma-norma yang ada dihadapan akibat akses informasi dan transportasi yang demikian mudah untuk diakses.

2. Agama menawarkan hubungan yang transcendental melalui pemujaan atau ibadah. Pemujaan atau ibadah memberikan dasar emosional bagi rasa aman dan memberikan identitas yang lebih kuat di tengah ketidakpastian dan ketidakmungkinan kondisi manusia dalam perubahan. Melalui ajaran-ajaran yang otoritaf dan nilai-nilai, agama menyediakan kerangka acuan di tengah pertikaian dan kekaburan pendapat sudut pandang manusia. Fungsi ini menymbnag stabilitas, ketertiban dan seringkali mendukung terpeliharanya status quo. Berarti agama sebagai benteng dalam diri manusia untuk memberikan kekuatan.

3. Agama mensucikan norma-norma dan nilai-nilai masyarakat yang telah terbentuk, mempertahankan dominasi tujuan kelompok di atas keinginan individu dan disiplin kelompok diatas dorongan individu. Dengan demikian agama memperkuat legitimasi pembagian fungsi, fasilitas yang menjadi cirri khas suatu masyarakat. Agama juga melakukan fungsi dengan menyediakan cara-cara, seringkali berupa ritual, kesalahan dapat diampuni dan individu dilepaskan dari belenggu kesalahan dan disatukan kembali ke dalam kelompok sosial .
Dalam konteks ini, apa yang telah disebutkan Appaduray, ideoscapes, merupakan ancaman bagi keberlangsungan dan ketahanan norma-norma dan nilai-nilai yang ada di tengah-tengah masyarakat. Sebagai indikasi kea rah ini kita bisa melihat bagaimana norma-norma dan nilai-nilai yang telah mapan di nusantara telah mulai dimasuki oleh nilai-nilai dan norma-norma yang dating dari luar, terutama yang amat terasa sekali adalah pengaruh barat.

4. Agama dapat pula memberikan standar nilai yang baru terhadap norma yang telah terlembaga. Fungsi ini dikenal dengan fungsi risalah dan fungsi nubuwah. Dengan keberadaan wahyu atau risalah yang dimiliki agama, ia sebagai patokan dan ukuran masyarakat dalam melihat apa saja yang dating dari dunia lain dan hadir di hadapan dan keseharian.

5. Agama sebagai identitas. Agama memberikan individu rasa identitas pada masa lampau ataupun masa yang akan dating yang tidak terbatas. Agama meperluas ego manusia dengan membuat spirit manusia cukup berarti bagi alam semesta dan alam semesta cukup berarti bagi manusia .

6. Agama bersangkut-paut dengan pertumbuhan dan kedewasaan individu dalam perjalanan hidup melalui tingkat usia yang ditentukan oleh masyarakat. Pertumbuhan individu menghadapi serangkaian karakteristik yang terjadi pada berbagai tingkat usia manusia, serangkaian peristiwa yang dijumpai dari sejak lahir sampai mati. Masing-masing peristiwa atau masalah-masalah baru menantang individu dalam setiap jenjangnya (dari lahir sampai mati).


F. PENUTUP
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa agama sesuatu yang mempengaruhi seluruh sendi kehidupan manusia mempunyai peran yang sangat penting membentengi umatnya dari pengaruh negatif globalisasi, karena agama memiliki sarana untuk memecahkan masalah akibat pengaruh negative globalisasi. Sarana dimaksud adalah; agama mengidentifikasikan individu dengan kelompok, menolong individu dalam ketidakpastian, menghibur ketika dilanda kecewa, mengaitkannya dengan tujuan-tujuan masyarakat, memperkuat moral dan mengaktualisasikan unsur-unsur identitas.

Agama juga bertindak menguatkan kesatuan dan stabilitas masyarakat dengan mendukung pengendalian sosial, menopang nilai-nilai yang mapan dan menyediakan sarana untuk mengatasi kesalahan dan keterasingan. Lebih jauh agama dapat melakukan peran risalah dan membuktikan dirinya sebagai sesuatu yang tidak terpecahkan.

Selengkapnya...

Rabu, 16 Maret 2011

"Jasa Lain" C. Snouck Hourgronje

Oleh : Muhammad Ilham (Dosen Jur. SKIFIBA/Ketua PSIF@ IAIN Padang)

"Christian Snouck Hourgronje ditakdirkan disumpah dan dipuji sejarah", setidaknya sejarawan Taufik Abdullah pernah berkata pada suatu waktu. Tapi Hourgronje lebih sering dipandang sinis. Rekomendasi intelektual-akademiknya dianggap sebagai "pangkal bala" kehancuran Aceh diawal abad ke-20. Hourgronje yang antropolog serta fasih berbahasa Arab tersebut dicatat dalam sejarah Indonesia sebagai figur "Malin Kundang". Masuk Islam, belajar tentang Islam, mendekati kaum Muslim Indonesia secara emik, namun bermuara pada kepentingan kolonial Belanda.

Tapi tak sedikit yang mengaguminya. Kekaguman atas totalitas akademik, pemetaan sosio-kultural kaum muslimin dan rekomendasi-rekomendasinya yang amat brilyan pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. Semua ini bisa kita lihat dalam buku Surat-Surat Snouck Hourgronje pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang diterbitkan INIS. Sekian jilid, didominasi oleh karakter sosial budaya Aceh - sebuah daerah yang amat sulit ditaklukkan Belanda.

Snouck Hourgronje yang amat dikagumi oleh Raja Faisal anak Raja Saud pendiri kerajaan Arab Saudi (sebelumnya bernama Hejaz) ini, pernah dicatat dalam sejarah memiliki "jasa lain". Karena kredibilitas intelektualnya yang otoritatif, membuat pemerintah kolonial Belanda selalu mempercayai rekomendasinya. Salah satu rekomendasinya adalah "jangan menghambat orang Indonesia pergi ber-haji". Ini pernah disinggung oleh salah seorang sejarawan Belanda yang pernah melaksanakan studi tentang sejarah haji di Indonesia, namanya Vredenbergt. Menurut Vredenbergt, pada tahun 1926-1927, jumlah jemaah haji dari Indonesia mencapai 43% dari seluruh jamaan haji Indonesia. Dari segi ekonomis, jumlah jamaah haji Indonesia ini cukup menguntungkan. Namun dari segi politik, jumlah ini menggetarkan. Hal ini tersebabkan oleh kekhawatiran Belanda akan pemberontakan-pemberontakan lokal yang dipimpin oleh para haji, setidaknya sebelum tahun 1920-an. Pemberontakan Cilegon 1888 merupakan salah satu pemberontakan yang dipimpin oleh kaum haji yang cukup fenomenal. Bersamaan dengan pembukaan Terusan Suez dan kekhawatiran akan preseden sejarah, pemerintah kolonial Belanda yang sebenarnya ingin mengurangi orang Indonesia pergi ber-haji ke Mekkah, akhirnya justru membiarkan peningkatan jumlah jamaah haji Indonesia dari waktu ke waktu. Bukan karena alasan ekonomis, melainkan karena pandangan Hourgronje. Ia membuka mata pemerintah kolonial Belanda atas kebutaan mereka selama ini terhadap mitos Islam.

"Dalam Islam, tidak ada lapisan klerikel dan kere, kata Hourgronje meyakinkan. "Kiai bukan Paus seperti dalam agama Katholik. Mereka tidak lebih dari suatu anggota hirarki agama dari pelaksana komando Khalif Konstantinopel. Seorang khalifah tidak dilengkapi dengan kekuasaan agama untuk menetapkan dogma, tapi ia hanyalah simbol bagi kesatuan semua orang Islam" lanjut Hourgronje. Gagasan Pan-Islamisme Jamaluddin al-Afghani yang "mekar" pada masa itu (bahkan hidup hingga sekarang) telah menggetarkan Belanda, karena gagasan tersebut tersebar kedaerah jajahannya - dalam hal ini Indonesia - melalui penunaian ibadah haji. Anggapan ini kemudian ditepisHourgronje. "Mekkah tak akan merubah ribuan jamaah haji Indonesia menjadi haji-haji fanatik yang penuh semangat pemberontakan", ujarnya. Pemerintah kolonial Belanda nampaknya harus mempercayai ucapan Hourgronje. Bukan saja karena ia sangat lama menetap di sana dan kemampuannya memadamkan Perang Aceh secara kultural, tapi ia juga memiliki hubungan yang amat sangat akrab dengan keluarga kerajaan Arab Saudi. Akhirnya mau tidak mau kita mengakui "jasa" Hourgronje karena pemerintah kolonial Belanda tak membatasi atau menghentikan orang Indonesia pergi ber-haji ke negeri Ibnu Saud ini.

Selengkapnya...