Selasa, 08 Februari 2011

Kaligrafi Islam : Sebuah Pemahaman Konseptual

Oleh : Siti Aisyah, M.Ag (Dosen Kaligrafi FIBA)

Seorang petualang Portugis yang bernama Tome Pires berkujung ke Indonesia pada abad ke 15. Dalam laporan perjalanannya, ia terkesan melihat hubungan antara maraknya kegiatan kriya, seni, dan kebudayaan di Jawa dengan menonjolnya peranan yang dimainkan dari kegiatan para ulama Islam yang sekaligus juga budayawan pada waktu itu dalam masyarakatnya. Sebelumnya, pada abad ke 14 Ibnu Batutah telah berkunjung ke Samudera Pasai -kerajaan Islam kedua di Nusantara setelah Perlak dalam perjalanannya dari India ke Cina. Kesan serupa ia rekam dalam laporan lawatannya. Tetapi setelah kesaksian Tome Pires dan Ibnu Batutah, adakah suatu kesaksian lanjutan dalam kegiatan kriya dan seni Islam di Indonesia?


Sejak masuknya Islam ke Indonesia sekitar abad ke-13 (atau mungkin lebih awal dari itu) yang prosesnya berjalan dengan damai, telah berhasil membentuk karakter dan nilai-¬nilai budaya bangsa Indonesia. Berbagai pola dan ragam budaya telah dihasilkan di bawah pengaruh Islam, baik dalam bidang kesenian, arsitektur, teknik, hukum, filsafat, dan etika sosial. Di lingkungan pemeluknya, Islam memberikan pengaruh besar kepada seluruh aspek kehidupan yang disentuh nya, baik aspek material, maupun aspek spiritual, politik, maupun sastra dan seterusnya. Hal senada juga dikemukakan oleh Grunebaum (1985) bahwa Islam lebih dari agama menyeluruh, lain dari agama manapun juga: ia merangkum kesadaran total para pemeluknya yang teguh, bukan semata kesadaran religiusnya.

Di lingkungan dunia yang semakin mengglobal, khazanah kebudayaan Indonesia yang bercirikan Islam, kurang sekali dikenal. Para sejarawan dan ahli kebudayaan internasional sering menganggap bahwa kebudayaan Islam Indonesia kurang penting. Kenyataan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, terutama karena belum intensifnya studi kebudayaan Islam, dalam hal ini khususnya seni Islam di Indonesia serta belum tersedianya informasi yang memadai. Padahal watak unik kesenian Islam merupakan fakta umum yang dikenal, yang dialami, bahkan juga oleh mereka yang hampir tak tahu apa-apa tentang kebudayaan ini.

Walaupun Islam sebagai agama tidak pernah menyekutukan diri dengan seni budaya dengan cara yang dapat dibandingkan dengan agama lain dan hanya menggariskan beberapa kewajiban tertentu saja kepada para seniman, namun Islam telah menciptakan gaya hidup dan sikap yang secara mendalam dipengaruhi arsitekturnya, perspektif, dan watak ikonografinya, gaya dan tipe ornament dan pemilihan bahan dimanapun ia tumbuh dan berkembang.

Kesenian Islam lebih jelas dalam menampung, merefleksikan dan mengekspresikan endapan nilai, sikap, pandangan hidup, pandangan dunia dan keyakinan agama, kecuali yang ditampakkan oleh hasil-hasil kesenian dan artefak lain. Salah satu pengertian kebudayaan adalah kemampuan manusia untuk mere-fleksi pada dirinya, dan kemampuan inilah yang membuat manusia menjadi pameran yang aktif dan kreatif serta subyek yang mampu merangkai peristiwa dan nilai masa lalu, masa kini dan kemungkinannya di masa datang. Seni, sebagai bagian penting dari kebudayaan berada dalam batas-batas pengertian kebudayaan seperti itu.

Kaligrafi Islam mempunyai kedudukan yang istimewa diantara cabang-cabang seni Islam yang lain. Tidak seperti cabang seni Islam yang lain musik, arsitektur misalnya, yang dalam beberapa hal banyak dipengaruhi oleh gaya-gaya lokal dan sejumlah seniman non muslim-kaligrafi mencapai puncak keindahannya di tangan-tangan piawai seniman muslim sepenuhnya, tanpa campur tangan pihak lain. Tanpa Islam barangkali huruf Arab tidak akan berarti apa-apa. Hal ini dapat dilihat dari perhatian umat Islam terhadap tulisan yang berawal dari perhatian mereka terhadap al-Qur'an. Wahyu Allah yang turun melalui Nabi Muhammad adalah kalimat suci yang merupakan bahasa Tuhan kepada hamba¬Nya. Pertalian langsung antara tulisan dengan nilai-nilai keagamaan yang sakral menjadikan umat Islam selalu termotivasi untuk terus mengembangkannya. Pandangan ini kemudian dipertegas lagi dengan kenyataan bahwa bahasa Arab merupakan satu-satunya bahasa liturgis umat Islam. Tulisan Arab menjadi terangkat fungsi dan statusnya, bukan sekedar sebagai alat komunikasi antar manusia, tetapi juga merupakan tulisan religius yang sakral.

Kehadiran Islam dengan berbagai atribut yang dibawanya, telah membawa perubahan besar dan cepat pada perkembangan tradisi Arab. Betapa tidak, ketika orang-orang Arab tengah asyik-masyuk dengan tradisi verbal yang mereka banggakan, wahyu pertama (al-`Alaq:i-5) yang berisi perintah Tuhan agar membaca, menelaah, menganalisis justru menghentakkan mereka dari tidur panjangnya seolah menjadi "bom" yang menghempaskan idealisme bangsa Arab, sekaligus "proklamasi" kemestian budaya tulis-menulis dalam risalah yang dibawa Nabi Muhammad saw (baca: Islam). Wahyu pertama itu segera disusul dengan pengertian lain seperti “Tuhanmu yang mengajari manusia dengan pena”. Kemudian "am surat al-Qalam (Pena) (Q.S: 68: 1) Allah berfirman; Nun, demi pena dan apa yang mereka tulis”.

Di samping itu, pengertian-pengertian simbolis pentingnya tulisan juga terdapat dalam banyak ayat, misalnya al-Qur'an yang tertulis dalam Lauhul Mahfudz (Q.S. 85:21¬22), dua Malaikat yang mencatat perbuatan manusia (Q.S. 82: 10, 50: 16), pemberian buku catatan perbuatan manusia pada hari akhir kelak (Q.S. 17:73, io:62, 34:4 dan sebagainya), perumpamaan seluruh pohon di bumi dijadikan pena tidak akan cukup menulis kekuasaan Allah (Q.S.31: 27), dan perumpamaan air laut sebagai tinta yang tidak akan cukup untuk menuliskan kekuasaan Allah meskipun ditambah lagi dengan tujuh kali air laut yang ada di bumi (Q.S. 31:27, 18: 109). Semua ayat di atas merupakan penghargaan yang sangat tinggi terhadap pena, tinta, buku, dan tulisan. Dari sini dapat dipahami bahwa kaligrafi atau tulis-menulis memperoleh asal-¬usul yang langsung dari Allah lewat firman-firman-Nya. Dalam sejarah perkembangan kaligrafi, nilai-nilai dalam al-¬Qur'an ini menjadi ruh, spirit bagi para kaligrafer untuk terus mencipta dan berkarya.

Penghargaan yang demikian tinggi terhadap tulisan juga terdapat dalam beberapa Hadist Nabi. Kata Qalam (pena) misalnya disinggung dalam sebuah hadist tentang nasib manusia yang telah tertulis dan tidak dapat diubah, qad jaffa al-qalam (pena telah kering). Hadist lain mengatakan 'Ajarilah anakmu membaca dan menulis; serta penjelasan hadist nabi yang merupakan penghargaan terhadap tulisan indah, 'bahwa siapa yang menulis Bismillahirrahmanirrahim dan memperintahnya, dia akan masuk surga'. Dalam sejarah Islam juga diperoleh keterangan bahwa Nabi mengerahkan para tawanan perang yang notabene non muslim untuk mengajari membaca dan menulis anak-anak Madinah. Kecintaan kepada tulis-menulis seperti dicontohkan Nabi akhirnya menjadi tauladan bagi para sahabatnya termasuk Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Budaya tulis-menulis dalam Islam telah memulai sejarahnya dan terbangun kuat sejak masa-masa awal Islam ini.

Memandang kaligrafi dari perspektif agama, hal ini juga didukung oleh citra bahwa kaligrafi dalam Islam dipandang sebagai manifestasi semangat religiusitas. Ini bermula dari pernyataan-pernyataan Allah sendiri dalam al-Qur'an dan beberapa Hadist seperti yang dikemukakan di atas. Kualitas religius yang suci ini akhirnya menjadi ciri yang sangat tipikal dalam apresiasi kaligrafi sepanjang peradaban Islam. Melihat betapa dekatnya dunia seni dengan dunia agama dalam visi Islam dan peran besar kaum sufi-yang turut meniupkan ruh keilahian dalam seni Islam-kaligrafi mencapai puncak keindahannya. Hal ini dikarenakan ia tersembul dari spiritualitas (rohani) yang seimbang, serasi, dan harmonis. Keindahannya bukan muncul dari imajinasi tak terarah atau selera egois senimannya.

Dalam kaligrafi Islam tidak ada kesan rebelli (memberontak), yang ada hanya bebas tetapi harmonis, tenteram. Dan keindahannya, keelastisannya adalah peta batin sang kaligrafer yang telah dinafasi oleh ruh religiusitas tertentu.

Pada masa sekarang ini, perkembangan seni kaligrafi di Indonesia semakin cemerlang, seiring dengan irama perkembangan peradaban Islam. Perkembangan ini ditandai dengan munculnya bermacam-macam sayembara dan atraksi kebebasan berkarya dalam "ranah" kaligrafi serta pameran¬-pameran kaligrafi di berbagai tempat, baik pada tingkat wilayah sampai tingkat nasional dan internasional. Apalagi dalam pengolahan seni kaligrafi, para kaligrafer semakin bebas dalam menampilkan ekspresi dalam seni mereka, sehingga bermacam-macam gaya dan corak kaligrafi yang mereka tampilkan dalam pameran dan perlombaan kaligrafi tersebut. Corak kaligrafi yang berkembang tersebut tidak dalam bentuk kaligrafi dekoratif saja, melainkan sudah mulai muncul berbentuk seni lukis. Pada mulanya pengolahan karya seni lukis ditampilkan dengan corak yang sederhana dan memiliki kecenderungan senada.

Karena pengetahuan mereka terhadap cara penggarapan lukisan ini belum begitu berkembang. Perkembangan ini semakin tampak setelah adanya Festival Istiglal II 1995 dengan dicanangkannya program pengembangan sanggar kaligrafi, sehingga muncul berduyun-duyun peserta sayembara kaligrafi dalam festival tersebut. Para kader khattat ini membentuk suatu karya kolektif yang dipelopori dengan kelahiran Mushaf Istiglal (19995) dan Mushaf Sundawi (1997) Akhirnya, setelah ini banyak bermunculan sanggar-sanggar pembinaan seni kaligrafi di berbagai daerah.

Dalam peradaban Islam, seni kaligrafi ini mendapat posisi yang terhormat dan penting dalam kebudayaan Islam. Pernyataan demikian pernah diungkapkan oleh Al-Faruqi bahwa of all categiries of Islamic art, calligraphy is the most significant, the most widely appreciated and the most revered by muslim. Dari seluruh kategori seni dalam Islam, seni kaligrafi yang palig umum dan penting serta banyak diapresiasikan dan dihormati oleh kaum muslim. Karena yang ditulis itu adalah firman Allah, yang mempunyai nilai kesucian sangat tinggi dibandingkan dengan tulisan lainnya

Dengan semakin bebasnya kaligrafer dalam berkarya dalam mengembangkan corak dan warna, sehingga kaidah kaligrafi sudah terabaikan. Pesan utama dari ayat tersebut tidak lagi dipertimbangkan. Mereka hanya lebih mementingkan ilustrasi warna dan latar belakang serta ornamen bias yang dipadukan dalam melukis kaligrafi tersebut. Akhir-akhir ini sudah ada kecenderungan barn yang ditampilkan pada kaligrafi kontemporer. Pasangan al-Faruqi mengelompokkan kecenderungan ini pads empat macam, yaitu : kaligrafi figural, ekspressionis, simbolik dan abstraksionis murni. Dalam kaligrafi ini, kaligrafer semakin bebas dalam menentukan corak kaligrafi yang mereka sajikan. Kebebasan ini menurut Edi Anun (1999) dapat dikelompokkan dalam dua jalur yang melatar-belakanginya yaitu ekspresi bebas penuh tanpa bertolak pada kaidah huruf dan kebebasan pads pemburuan gaya yang bertolak mazhab-¬mazhab huruf atau pengembangan huruf dan pengembangan gaya-gaya baku dan penempatannya dalam posisi yang beragam dan penuh kebebasan.

Siradjuddin AR dalam pengantarnya mengatakan mereka telah disarati kekayaan wawasan melalui pendalaman yang lebih jauh memasuki seni rupa baru yang lebih elegan. Kaligrafi adalah satu-satunya seni yang dihasilkan oleh umat Islam. Kaligrafi merupakan suatu seni yang harus dilestarikan dan dikembangkan oleh masyarakat muslim. Karena seni kaligrafi ini di samping dapat mengembangkan dan membudayakan kreatifitas seni, juga sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Itulah sebabnya seni kaligrafi itu dimasukkan pada cabang perlombaan MTQ Nasional di Indonesia. Pada MTQ Nasional ke-13 di Sumatera Barat, cabang kaligrafi ini diperlombakan di Padang tahun 1983. Pada waktu itu Sumatera Barat sebagai tuan rumah MTQ tersebut. Cabang ini dikenal dengan cabang Musabaqah Khattil Qur'an (MKQ).

Selengkapnya...

Selasa, 01 Februari 2011

Prof.DR.H. Mahmud Yunus (1899-1992)

Oleh : Drs. Irhash A. Shamad, M.Hum

Akhir abad ke sembilan belas dan awal abad keduapuluh adalah masa dimana arus kebangkitan Islam sedang mengalir ke berbagai penjuru dunia, tidak terkecuali Indonesia. Gelombang kebangkitan ini dihembuskan pada awalnya oleh Jamaluddin Al-Afghany dan rekannya Sayyid Rasyid Ridha dari Mesir. Arus gelombang kebangkitan Islam ini sangat dirasakan konsekuensi politisnya oleh pemerintahan kolonial di Indonesia. Dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 telah menyebabkan meningkatnya jumlah rakyat pribumi melakukan perjalanan haji. Dengan demikian kontak intelektual antara kawasan jajahan dengan pusat Islam dan sesama wilayah terjajah lainnya menjadi meningkat pula.


Keadaan ini telah “memaksa” Belanda untuk mengubah arah kebijakan politiknya. Pada tahun 1901 Belanda mulai menjalankan politik etis. Gagasan politik ini bertujuan untuk menjaga kondisi sosial politik pemerintahan kolonial di Indonesia dengan menawarkan “balas jasa” pemerintah terhadap rakyat pribumi dalam bentuk perluasan kesempatan memperoleh pendidikan barat bagi rakyat pribumi.

Konsekuensi politik etis ini, pada gilirannya, sangat mempengaruhi perkembangan sistem pendidikan pribumi (baca : pendidikan Islam). Wadah-wadah pendidikan Islam mulai terancam, karena sistem pendidikan yang dijalankan oleh Belanda terbuka luas bagi rakyat, dan sangat disadari pula bahwa, melalui pendidikan, Belanda melakukan proses “pembaratan” rakyat pribumi yang pada gilirannya akan melempangkan jalan bagi politik kolonial sendiri. Kebijaksanaan pendidikan Belanda di Indonesia didasarkan pada pandangan bahwa pendidikan Islam (tradisional) dianggap sebagai kekuatan laten yang dapat mengancam pemerintah. Oleh karenanya harus dicari ikhtiar untuk melemahkan potensi Islam melalui kebijakan pendidikan ini. Pada tahun 1905 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan “Goeroe Ordonantie”, yakni undang –undang yang mewajibkan para pendidik di sekolah-sekolah diluar kontrol pemerintah, memperoleh izin dari instansi yang ditentukan. Ordonansi Guru ini mendapat protes yang keras dari kalangan umat Islam Indonesia, terlebih lagi di Sumatera Barat. Penolakan aturan baru ini di Sumatera Barat dipelopori oleh kalangan pembaharu Islam dibawah koordinasi H. Abdul karim Amarullah. Aksi penolakan ini akhirnya berhasil menggagalkan atau, paling tidak, memperlonggar undang-undang tersebut.

Pada dasarnya, situasi sosial dan politik di Hindia Belanda pada awal abad ke dua puluh, telah berimplikasi terhadap bidang pendidikan Islam. Antara pendidikan dan politik terdapat kaitan yang sukar dipisahkan, paling tidak, menurut persepsi Belanda pada waktu itu. Sehingga tidak heran bila sistem pendidikan Islam sering dijadikan bulan-bulanan dan harus berhadapan dengan kebijakan-kebijakan pemerintahan jajahan yang tidak menguntungkan. Keadaan inilah yang telah memicu terhadap meningkatnya kesadaran rakyat pribumi, terutama kalangan ulama, untuk makin memberikan prioritas dalam bidang pendidikan serta mendirikan organisasi-organisasi sosial keagamaan yang sekaligus bergerak dalam lapangan pendidikan dan bahkan politik. Kondisi sosial dan politik seperti inilah yang telah memberi pengaruh kuat terhadap proses pendewasaan karakter intelektualitas Mahmud Yunus dan sekaligus memotivasinya untuk menjadikan bidang pendidikan Islam sebagai pilihan profesinya. Perubahan politik dari pemerintahan kolonial Belanda, pendudukan Jepang hingga Indonesia merdeka adalah rentangan pengalaman yang tidak diabaikannya dalam memposisikan sistem pendidikan Islam dalam perkembangan masyarakat Indonesia sebagaimana akan dijelaskan pada uraian selanjutnya.

Mahmud Yunus dilahirkan pada tanggal 30 Ramadhan 1316 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 10 Februari 1899 Masehi di desa Sungayang Batusangkar Sumatera Barat. Ia dilahirkan dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang petani biasa, bernama Yunus bin Incek, dari suku Mandailing dan ibunya bernama Hafsah dari suku Chaniago. Walaupun dilahirkan dari keluarga yang sederhana, namun mempunyai nuansa keagamaan yang kuat. Ayah Mahmud adalah bekas pelajar surau dan mempunyai ilmu keagamaan yang cukup memadai, sehingga dia diangkat menjadi Imam Nagari. Jabatan Imam Nagari pada waktu itu, diberikan secara adat oleh anak nagari kepada salah seorang warganya yang pantas untuk menduduki jabatan itu atas dasar ilmu agama yang dimilikinya. Disamping itu Yunus bin Incek dimasyhurkan juga sebagai seorang yang jujur dan lurus. Ibu Mahmud seorang yang buta huruf, karena ia tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah, apalagi pada waktu itu di desanya belum ada sekolah desa. Tetapi ia dibesarkan dalam lingkungan yang Islami. Kakek Hafsah adalah seorang ulama yang cukup dikenal, bernama Syekh Muhammad Ali yang dimasyhurkan orang dengan Tuanku Kolok. Ayahnya bernama Doyan Muhammad Ali, bergelar Angku Kolok. Pekerjaan Hafsah sehari-hari adalah bertenun. Ia mempunyai keahlian menenun kain yang dihiasi benang emas, yaitu kain tradisional Minangkabau yang dipakai pada upacara-upacara adat. Saudara Hafsah bernama Ibrahim, seorang saudagar kaya di Batusangkar. Kekayaan Ibrahim ini sangat menopang kelanjutan pendidikan Mahmud, terutama pada waktu ia belajar ke Mesir. Ibrahim sangat memperhatikan bakat serta kecerdasan yang dimiliki oleh kemenakannya ini. Dialah yang mendorong Mahmud untuk melanjutkan pelajarannya ke luar negeri dengan disertai dukungan dana untuk keperluan itu. Hal ini memberikan gambaran tentang bagaimana tanggung jawab seorang mamak terhadap kemenakan yang berlaku di Minangkabau pada waktu itu sebagai pepatah yang berbunyi : “Anak dipangku, kamanakan dibimbiang”. Suatu kelaziman yang berlaku sepenuhnya pada waktu itu, bahwa tanggung jawab mamak terhadap kemenakan bukanlah didasarkan atas ketidakmampuan dari ayah kemenakan itu sendiri.

Ibrahim mempunyai seorang anak yang sebaya dengan Mahmud. Ia bergelar Datuk Sati, sangat ahli dalam bidang adat. Ini diasumsikan menjadi penyebab mengapa Mahmud kurang menonjol pengetahuannya dalam adat Minangkabau. Ibrahim agaknya menginginkan arahan yang berbagi antara anak dan kemenakan. Karena anaknya sangat menggemari masalah-masalah adat, maka ia menyalurkan kegemarannya untuk belajar kepada ahli-ahli adat, hingga ia menguasai adat ini dengan baik. Di lain pihak, melihat perkembangan Mahmud dari kecil, ternyata lebih cenderung mempelajari agama, maka Ibrahimpun menyokong kecenderungan ini. Bahkan dia tak berkeberatan menanggung semua biaya yang diperlukan untuk keperluan itu, hingga Mahmud dapat melanjutkan pelajarannya ke tingkat yang lebih tinggi. Dukungan ekonomi dari sang mamak dengan disertai dorongan dari orang tuanya, maka Mahmud sejak kecil hingga remaja hanya dilibatkan dengan keharusan untuk belajar dengan baik, tanpa harus ikut memikirkan ekonomi keluarga dalam membantu orang tuanya mencari nafkah, ke sawah atau ke ladang meskipun Mahmud satu-satunya anak laki-laki dalam keluarganya; ia dan adiknya Hindun. Sedangkan ayahnya telah meninggalkan ibunya selagi Mahmud masih kecil, sebelum ia muamyyiz.

Belajar mengaji di surau adalah jalur pendidikan awal yang ditempuh oleh Mahmud kecil. Ia belajar dengan kakeknya sendiri, Muhammad Thaher bin Muhammad Ali gelar Angku Gadang. Mahmud mulai mengaji di surau kakeknya ini dalam usia 7 tahun dan dalam waktu kurang dari satu tahun, berkat ketekunannya, ia dapat menamatkan Al-Quran. Segera setelah khatam Al-Quran, Mahmudpun dipercaya oleh kakeknya menjadi Guru Bantu untuk mengajari anak-anak yang menjadi pelajar pemula sambil ia mempelajari dasar-dasar tata bahasa Arab (ilmu Sharaf) dengan kakeknya. Pada tahun 1908, dengan dibukanya Sekolah Desa oleh masyarakat Sungayang, Mamudpun tertarik untuk memasuki sekolah ini. Ia kemudian meminta restu dari ibunya untuk belajar ke Sekolah Desa tersebut. Setelah mendapat restu ibunya, iapun mengikuti pelajaran di Sekolah Desa pada siang hari, namun tanpa meninggalkan tugas-tugasnya di Surau kakeknya mengajar Al-Quran pada malam harinya. Rutinitas seperti ini dijalani oleh Mahmud dengan tekun dan penuh prestasi, Tahun pertama Sekolah Desa diselesaikannya hanya dalam masa 4 bulan, karena ia memperoleh penghargaan untuk dinaikkan ke kelas berikutnya. Bahkan di kelas tiga, ia tetap bertahan dengan nilai tertinggi diantara teman-teman sekelasnya. Pendidikan di Sekolah Desa hanya dijalaninya selama kurang dari tiga tahun. Pada waktu ia belajar di kelas empat, Mahmud menunjukkan ketidakpuasannya terhadap mata pelajaran di Sekalah Desa, karena pelajaran yang diberikan tidak berbeda jauh dari pelajaran kelas tiga. Bertepatan pula pada waktu itu H. M. Thaib Umar membuka madrasah di surau Tanjung Pauh Sungayang. Madrasah ini bernama Madras School. Sekalilagi dengan restu ibunya Mahmudpun pindah ke Madras School di bawah asuhan H.M. Thaib Umar yang dikenal sebagai salah seorang ulama pembaharu Minangkabau. Di sekolah ini ia mempelajari ilmu Nahwu, ilmu Sharaf, Berhitung dan Bahasa Arab. Ia belajar di sini dari jam 09.00 pagi hingga jam 12.00 siang, sementara pada malam harinya ia tetap mengajar di surau kakeknya.

Pada tahun 1911, karena keinginan untuk mempelajari ilmu-ilmu agama.secara lebih mendalam dengan H.M. Thaib Umar, Mahmud menarik diri dari surau kakeknya untuk kemudian menggunakan waktu sepenuhnya, siang dan malam, belajar ilmu Fiqh dengan H.M. Thaib Umar di surau Tanjung Pauh. Ia belajar dengan tekun dengan ulama pembaharu ini, hingga ia menguasai ilmu-ilmu agama dengan baik, bahkan ia dipercayakan oleh gurunya ini untuk mengajarkan kitab-kitab yang cukup berat untuk ukuran seusianya. Pada tahun 1917, Syekh H.M. Thaib Umar mengalami sakit, karena itu Mahmud Yunus secara langsung ditugasi untuk menggantikan gurunya memimpin Madras School. Setelah memiliki pengalaman beberapa tahun belajar, kemudian mengajar dan memimpin Madras School serta telah menguasi dengan mantap beberapa bidang ilmu agama, Mahmud kemudian berkeinginan untuk melanjutkan pelajarannya ke tingkat yang lebih tinggi di Mesir. Keinginan ini muncul setelah ia berkesempatan menunaikan ibadah Haji ke Mekkah. Pada tahun 1924 ia berangkat ke Mesir bersama rombongan jemaah Haji. Di Mesir, Mahmud kembali memperlihatkan prestasi yang istimewa. Ia mencoba untuk menguji kemampuannya dalam ilmu-ilmu agama dengan mengikuti ujian akhir untuk memperoleh Syahadah (ijazah) ‘Alimiyyah, yaitu ujian akhir bagi siswa-siswa yang telah belajar sekurang-kurangnya 12 tahun ( Ibtidaiyyah 4 tahun, Tsanawiyah 4 tahun, dan ‘Aliyah 4 tahun).

Ada 12 mata pelajaran yang diuji untuk mendapatkan syahadah ini, namun kesemuanya telah dikuasai oleh Mahmud waktu belajar di tanah air, sebagaimana dicatatkannya : ”Kalau hanya ilmu itu saja yang akan diuji. Saya sanggup masuk ujian itu, karena keduabelas macam ilmu itu telah saya pelajari di Indonesia, bahkan telah saya ajarkan beberapa tahun lamanya (1915-1923)” Ujian ini dapat diikutinya dengan baik dan berhasil lulus serta mendapatkan ijazah (syahadah) “Alimiyyah pada tahun yang sama tanpa melalui proses pendidikan. Dengan ijazah ini, Mahmud lebih termotivasi untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Dia kemudian memasuki Darul ‘Ulum ‘Ulya Mesir. Pada tahun 1925 ia berhasil memasuki lembaga pendidikan yang merupakan Madrasah ‘Ulya (setingkat perguruan tinggi) agama yang juga mempelajari pengetahuan umum. Ia memilih jurusan Tadris (Keguruan). Perkuliahan di Darul ‘Ulum ‘Ulya mulai dari tingkat I sampai tingkat IV dan semua tingkat itu dilaluinya dengan baik, Bahkan pada tingkat terakhir, dia memperoleh nilai tertinggi pada mata kuliah Insya` (mengarang). Pada waktu ini Mahmud adalah satu-satunya mahasiswa asing yang berhasil menyelesaikan hingga ke tingkat IV di Darul ‘Ulum. Setelah menjalani masa pendidikan dan menimba berbagai pengalaman di Mesir, iapun kembali ke tanah air pada tahun 1931.

Pendidikan Islam adalah jalur professi yang menjadi pilihan Mahmud, sebagai telah dikemukakan terdahulu. Pilihan ini pulalah yang menuntunnya melakukan pilihan jurusan dalam pendidikan yang ia lalui, untuk kemudian sangat berperan memantapkan langkah dalam setiap jenjang karir yang dilaluinya. Sekembalinya ke Indonesia, Mahmud mulai menerapkan ilmu yang diperolehnya. Madras School yang dulu pernah dipimpin Mahmud menggantikan gurunya HM. Thaib Umar, mulai mendapat sentuhan perubahan. Mahmud mengganti nama Madras School dengan Al-Jami’ah Al-Islamiyah. Sekolah ini, oleh Mahmud dibuat berjenjang sebagai lazimnya sekolah-sekolah pemerintah, yaitu jenjang Ibtidaiyyah denga masa belajar 4 tahun setingkat Schakel, jenjang Tsanawiyyah dengan masa belajar 4 tahun, setingkat MULO, dan jenjang “Aliyah dengan masa belajar 4 tahun, setingkat AMS. Aljami’ah Al-Islamiyyah dipimpin oleh Mahmud Yunus selama 2 tahun (1931-1932), karena setelah itu kegiatan Mahmud lebih banyak di Padang dalam memimpin Normal Islam yang didirikan oleh PGAI pada waktu yang sama.

Normal Islam (Kulliyyatul Mu’allimin al-Islamiyyah) didirikan di Padang oleh Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) pada bulan April 1931. Sekolah ini setingkat ‘Aliyah dan bertujuan untuk mendidik calon guru. Oleh karena itu murid yang diterima di sekolah ini adalah lulusan madrasah 7 tahun. Kepemimpinan Normal Islam dipercayakan kepada Mahmud Yunus semenjak didirikan, Jadi, pada waktu yang bersamaan, Mahmud memimpin dua lembaga pendidikan sekaligus, yaitu Normal Islam di Padang dan Al-Jamiah Al-Islamiyyah di Sungayang. Normal Islam adalah madrasah yang terbilang modern untuk waktu itu, Sekolah ini, disamping telah memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kurikulum pengajarannya, juga sudah memiliki laboratorium kimia dan fisika, juga alat-alat praktikum lainnya. Selama memimpin Normal Islam, Mahmud telah melakukan pembaharuan sistem pengajaran, terutama metoda pengajaran Bahasa Arab. Bahkan buku-buku yang digunakan adalah buku karangannya sendiri, yaitu : Durus al- Lughah al-‘Arabiyyah, yang dikarangnya sewaktu belajar di Mesir. Salah satu hasil dari perubahan metode yang dilakukan oleh mahmud Yunus adalah siswa-siswa mampu berbahasa Arab secara aktif, sementara pada waktu itu lulusan madrasah yang ada pada umumnya hanya mampu berbahasa Arab secara pasif.

Sekolah Tinggi Islam ini merupakan perguruan tinggi Islam pertama di Minangkabau bahkan di Indonesia. SIT didirikan oleh PGAI di Padang pada bulan Desember 1940 dan sebagai pemimpin pertama, sekali lagi oleh PGAI, dipercayakan kepada Mahmud Yunus. Sekolah Tinggi ini terdiri dari dua fakultas, yaitu : Fakultas Syari’at dan Fakultas Pendidikan/Bahasa Arab. Akan tetapi sekolah tinggi ini hanya berjalan kurang dari tiga tahun, karena pada tahun 1942, saat Jepang telah menguasai kota Padang, ada ketentuan pemerintahan baru ini yang tidak membolehkan adanya sekolah tinggi di daerah pendudukannya.

Pada saat tentara sekutu menduduki kota Padang, secara beruntun terjadi pertempuran hebat antara pemuda-pemuda dengan tentara sekutu. Suasana ini mengakibatkan terancamnya sekolah-sekolah agama Islam yang ada di Padang. Banyak guru-guru dan murid-murid yang mengungsi ke Bukittinggi. Di Bukittinggi, atas prakarsa Mahmud Yunus dan dengan kesepakatan guru-guru yang ada, untuk menjaga kelangsungan pendidikan agama Islam didirikanlah Sekolah Menengah Islam (SMI) pada bulan September 1946. Sekolah ini dipimpin pertama kali secara langsung oleh Mahmud Yunus, namun tidak lama, pada bulan Desember, Mahmud dipindah tugaskan ke Pematang Siantar, dan kepemimpinan SMI dipegang oleh H. Bustami Abdul Gani. Menjadi Rektor pertama pada perguruan tinggi agama Islam negeri pertama di Sumatera Barat adalah jabatan terakhir yang diemban Mahmud Yunus selama menjadi pegawai Departemen Agama. Banyak aktifitas keagamaan dan kependidikan agama yang telah dijalaninya pada waktu sebelumnya, baik sebagai Dekan pada Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta, sebagai Kepala Lembaga Pendidikan Agama pada Jawatan Pendidikan Agama dan sebagai dosen pada beberapa perguruan tinggi. Pengalaman-pengalaman itu, tentu menjadi pertimbangan bagi Menteri Agama untuk mempercayakan jabatan Rektor IAIN Imam Bonjol di Padang. Jabatan ini dipegangnya dari tahun 1967 hingga memasuki masa pensiun pada akhir tahun 1970. Masa yang dianggap cukup untuk merintis dan mengasuh Institut Agama Islam yang baru berdiri ini.

Aktifitas Mahmud Yunus dalam bidang pendidikan Islam pada dasarnya telah dimulainya sebelum belajar ke Mesir. Keikutsertaannya dalam Rapat Alim Ulama Minangkabau di Padangpanjang pada tahun 1919 menjadi pajakan awal pemantapan dirinya untuk mengerahkan potensi, gagasan dan perjuangannya dalam bidang pendidikan Islam. Rapat ini menghasilkan keputusan antara lain mendirikan Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) yang kemudian menjadi salah satu tonggak episode perkembangan pendidikan Islam modern di Sumatera Barat. Ini terlihat dari beberapa kiprah organisasi ini dalam memajukan pendidikan agama Islam sebagai yang telah dikemukakan terdahulu. Beberapa sekolah yang didirikan oleh PGAI yang diawali dengan Normal Islam di Padang pada tahun 1931, Sekolah Tinggi Islam dan Sekolah Menengah Islam di Bukittinggi telah mempelihatkan komitmen yang jelas dari langkah organisasi ini dalam bidang pendidikan Islam. Melalui organisasi ini pulalah Mahmud Yunus mengabdikan diri, mencurahkan segenap ilmu serta gagasan-gagasan pendidikan, baik yang ia peroleh dari Mesir, maupun dari pengalaman belajar dan mengajar sebelumnya. Kepercayaan yang diberikan oleh organisasi ini kepada Mahmud Yunus untuk memimpin lembaga-lembaga pendidikan di bawah PGAI lebih dapat dilihat dari kompetensi serta integritas keilmuan yang dimilikinya. Gagasan-gagasan pembaharuan materi ajar, kurikulum hingga metode pengajaran pada lembaga pendidikan tersebut adalah buah dari kesungguhan intelektual Mahmud Yunus dalam mengabdikan diri dalam bidang pendidikan Islam.

Salah satu kepeloporan Mahmud Yunus yang hingga saat ini hampir-hampir dilupakan oleh sejarah adalah usaha yang dilakukannya untuk menempatkan mata pelajaran agama Islam dalam kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah pemerintah. Di masa pemerintahan Jepang, tepatnya pada tahun 1943 Mahmud Yunus terpilih mewakili Majlis Islam Tinggi (MIT) sebagai penasehat Residen (Syu-Cho-Kan) di Padang. Pada waktu residen Yano Kenzo berniat mendirikan Gyu Gun (Lasykar Rakyat), Mahmudpun termasuk salah seorang tokoh yang diharapkan dapat merekrut keanggotaan Gyu Gun, disamping tokoh lainnya seperti Ahmad Dt. Simarajo dan Khatib Sulaiman. Kedekatan Mahmud Yunus dengan pemerintahan inilah yang kemudian dia manfaatkan untuk merealisasikan obsesi nya. Ia mengusulkan kepada pemerintah agar pendidikan agama Islam diberikan di sekolah-sekolah pemerintah. Usulan Mahmud ini dapat dipertimbangkan oleh Jepang untuk diterima. Sejak saat itu pelajaran agama Islam diberikan di sekolah-sekolah pemerintah pada waktu itu dan sekaligus Mahmud Yunus diangkat menjadi pengawas pendidikan agama pada pemerintahan Jepang. Pada waktu yang bersamaan ia juga memimpin Normal Islam di Padang.

Upaya untuk memasukkan mata pelajaran agama Islam ke dalam kurikulum pendidikan umum (pemerintah) juga dilakukan oleh Mahmud Yunus setelah kemerdekaan. Sebagai mantan pengawas pendidikan agama pada masa Jepang, ia mengusulkan hal yang sama kepada Jawatan Pengajaran Sumatera Barat yang pada waktu itu dikepalai oleh Sa’aduddin Jambek. Usul inipun diterima, dan Mahmud sendiri yang menyusun kurikulum serta buku-buku pegangan untuk keperluan pengajarannya. Buku-buku tersebut kemudian diterbitkan oleh Jawatan Pengajaran Sumatera Barat pada tahun 1946. Pada waktu Mahmud Yunus dipindahtugaskan ke Pematang Siantar sebagai Kepala Kepala bagian Agama Islam pada Jawatan Agama Propinsi Sumatera, bersamaan dengan itu pula pindahnya ibukota Propinsi Sumatera ke kota itu. Di sini ia mengusulkan pula hal yang sama kepada Jawatan Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP & K) provinsi. Usul ini diterima oleh kepala Jawatan PP&K propinsi yang pada waktu itu dikepalai oleh Abdullah Nawawi. Usul ini dibawa ke dalam forum konferensi Pendidikan dan Pengajaran se- Sumatera yang diadakan di Padangpanjang bulan Maret 1947 dan diterima secara bulat oleh peserta konferensi. Dengan demikian pendidikan Islam masuk secara resmi dalam rencana pengajaran seskolah-sekolah negeri di Sumatera pada tahun 1947. Sementara do Sumatera Barat telah berjalan setahun sebelumnya. Untuk merealisasikan rencana tersebut, Jabatan Pengajaran melaksanakan kursus untuk guru-guru agama di Pematang Siantar selama sebulan penuh. Kursus ini dikuti oleh utusan kabupaten dari seluruh Sumatera dan sebagai pimpinan kursus dipercayakan oleh Mahmud Yunus.

Pada tahun 1948, Mahmud membuat rencana baru tentang pelajaran agama untuk sekolah umum tingkat pertama. Gagasan ini mendapat sambutan puladari pemerintah provinsi, akhirnya mengangkat Mahmud menjadi inspektur pelajaran agama pada kantor pendidikan provinsi, disamping ia tetap menjabat Kepala Bagian Islam. Pada waktu pemerintah Republik Indonesia Serikat berpusat di Jakarta (1950), mulai diadakan kesatuan rencana pendidikan Islam untuk seluruh Indonesia. Pada tahun sebelumnya kementerian Agama di Yogyakarta mengeluarkan penetapan bersama Menteri PP & K tentang pelajaran agama di sekolah-sekolah negeri. Dalam penetapan itu pendidkan agama dapat diberikan mulai kelas IV sekolah rakyat. Pada tahun 1950 Mahmud pindah ke Kementerian Agama RIS di Jakarta. Sebagaimana telah diketahui bahwa di Sumatera, pelajaran Agama Islam telah mulai diberikan di kelas satu sekolah rakyat, berdasarkan rencana Mahmud Yunus dan telah dilaksanakan di Sumatera Barat mulai 1 April 1946. Maka oleh Sekjen Kementerian Agama RI Yogyakarta bersama Mahmud Yunus, diusahakanlah untuk mengkompromikan antara kurikulum Sumatera tersebut dengan kurikulum Kementerian RI Yogyakarta. Rencana ini disampaikan kepada Menteri PP & K untuk mendapatkan persetujuan.

Setelah diadakan pertemuan beberapa kali antara Mahmud Yunus sebagai wakil Kementerian Agama RI dengan Sekjen Kementerian PP & K, Mr.Hadi, maka dikeluarkanlah peraturan bersama No.1432/Kab. tanggal 20-1-1951 (Pendidikan) dan No.K.1/651 tanggal 20-1-1951 (Agama), yang isinya antara lain: menetapkan pendidikan agama di sekolah rendah, dimulai pada kelas IV, banyaknya 2 jam seminggu (pasal 2 ayat 1). Di lingkungan istimewa, pendidikan agama dapat dimulai pada kelas satu, dan jamnya dapat ditambah menurut kebutuhan, tetapi tidak melebihi 4 jam seminggu (pasal 2 ayat 2) dan di sekolah-sekolah lanjutan tingkat pertama dan atas, diberi pendidikan agama 2 jam seminggu (pasal 3) Dengan keluarnya peraturan bersama itu, pendidikan agama Islam telah masuk dengan resmi ke sekolah-sekolah negeri dan berlaku juga untuk sekolah-sekolah partikelir, mulai dari SR, SMP, SMA dan sekolah-sekolah kejuruan.

Di masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) Mahmud Yunus mengemuka-kan pula rencana mendirikan Madrasah Tsanawiyyah untuk seluruh Sumatera. Usul rencana ini mendapat persetujuan pula dari Menteri Agama PDRI. Setelah penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah RI, beberapa madrasah Tsanawiyyah yang pada waktu itu bernama Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI), didirikan di Sumatera Barat dan mendapat persetujuan dari pemerintah. Madrasah ini diselenggarakan secara swasta, meskipun Mahmud Yunus telah memperjuangkannya untuk dijadikan sekolah negeri.

Pada tanggal 1 September 1950 Mahmud diangkat menjadi Kepala Penghubung antara pusat Kementerian Agama RIS dan pusat Kementerian RI Yogyakarta. Dalam jabatan inilah Mahmud lebih banyak berhasil mengajukan rencana-rencana pendidikan agama Islam, seperti dikemukakan pada uraian terdahulu. Disamping itu keluarnya peraturan bersama Menteri PP & K dan Menteri Agama tentang PTAIN (1951) dan keluarnya keputusan Menteri PP & K dengan persetujuan Menteri Agama tentang penghargaan ijazah-ijazah madrasah, adalah merupakan rangkaian usaha Mahmud selama memegang jabatan tersebut yang telah membawa prospek lebih baik bagi pendidikan agama di Indonesia pada umumnya. Didirikannya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) juga tidak dapat dipisahkan dari usaha yang dilakukan oleh Mahmud Yunus. Pada waktu ia menjabat sebagai Dekan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta, sebelumnya sudah berdiri Perguruan Tinggi Agama Islam ( PTAIN) di Yogyakarta. Karena itu, Muncul ide dari Mahmud Yunus untuk menyatukan kedua perguruan tinggi yang ada di bawah Departemen Agama ini. Pada waktu Mahmud menjabat sebagai Kepala Lembaga Pendidikan Agama pada Jawatan Pendidikan Agama, ia mengusulkan kepada Menteri Agama agar ADIA bias dijadikan sebagai sebuah perguruan tinggi sampai tingkat sarjana penuh. Mentri Agama yang pada waktu itu dijabat oleh K.H. Wahib Wahab sang menyetuji usul ini. Menteri segera mengadap Presiden untuk mendapatkan persetujuan. Presiden setuju untukmengintegrasikan ADIA dan PTAIN menjadi satu perguruan tinggi agama di bawah Departemen Agama. Dengan demikian keluarlah Peraturan Presiden Nomor Tahun 1960 tentang pendirian Institut Agama islam Negeri. IAIN pada waltu awal ini memiliki fakultas, yaitu dua fakultas di Jakarta, masing-masing fakultas Tarbiyah (Dekan : Mahmud Yunus) dan fakultas Adab (Dekan : H. Bustami Abdul Gani).dan dua fakultas di Yogyakarta, yaitu fakultas Syari’ah dan Ushuluddin dengan dekan masing-masing Prof Hasbi Ash-Shiddiqy, dan Prof Mukhtar Yahya. Sewaktu Mahmud menjadi Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta dan menjabat Rektor IAIN Imam Bonjol Padang, Mahmud beberapa kali terlibat dalam aktivitas di luar negeri. Perlawatan pertama adalah merupakan tugas dari Departemen Agama kesembilan negara Islam (1961), yaitu: Mesir, Saudi Arabia, Syria, Libanon, Yordania, Turki, Irak, Tunisia dan Marokko. Kunjungan ini ditujukan untuk mempelajari pendidikan agama di negara-negara tersebut.

Pada tahun berikutnya (1962), Mahmud Yunus berkesempatan menghadiri sidang Majlis A’la Istisyari Al-Jami’ah Al-Islamiyah di Medinah bulan April 1962 atas undangan Raja Sa’ud yang diterimanya melalui Kedutaan Besar Saudi di Jakarta. Kemudian aktif sebagai peserta Muktamar Buhutsul Islamiyah di Universitas Al-Azhar yang berlangsung di Mesir sebanyak empat kali Muktamar, berturut-turut tahun 1964, 1965, 1966 dan 1967. Dalam Muktamar ini Mahmud Yunus mengemukakan makalah yang berjudul “Al-Israiliyyat fit Tafsir wal Hadits” yang mendapat tanggapan serius dari peserta. Pada tahun 1969, Mahmud Yunus kembali diundang untuk menghadiri Majlis A’la Istisyari Al-Jami’ah Al-Islamiyah di Medinah. Aktivitas Mahmud di luar negeri itu telah menjadikan ia semakin menonjol dalam bidangnya, karena didukung dengan pengalaman-pengalaman internasional yang ditimbanya pada aktivitas-aktivitas tersebut. Mahmud Yunus di masa hidupnya dikenal sebagai seorang pengarang yang produktif. Aktivitasnya dalam melahirkan karya tulis tak kalah penting dari aktivitasnya dalam lapangan pendidikan. Popularitas Mahmud lebih banyak dikenal lewat karangan-karangannya, karena buku-bukunya tersebar di setiap jenjang pendidikan khususnya di Indonesia. Buku-buku karangan Mahmud Yunus menjangkau hampir setiap tingkat kecerdasan. Justru karangan-karangannya bervariasi, mulai dari buku-buku untuk konsumsi anak-anak dan masyarakat awam dengan bahasa yang ringan, hingga merupakan literatur pada perguruan-perguruan tinggi.

Pada perjalanan hidupnya, ia telah menghasilkan buku-buku karangannya sebanyak 82 buah buku. Dari jumlah itu Mahmud membahas berbagai bidang ilmu, yang sebahagian besar adalah bidang-bidang ilmu agama Islam, seperti bidang Fiqh, bahasa Arab, Tafsir, Pendidikan Islam, Akhlak, Tauhid, Ushul Fiqh, Sejarah dan lain-lain. Diantara bidang-bidang ilmu yang disebutkan, Mahmud lebih banyak memberi perhatian pada bidang pendidikan Islam, bahasa Arab (keduanya lebih banyak memfokus pada segi metodik), bidang Fiqh, Tafsir dan Akhlak yang lebih memfokus pada materi sajian. Sesuai dengan kemampuan bahasa yang ia miliki, maka karangan-karangannya tidak hanya ditulis dalam bahasa Indonesia, akan tetapi juga dalam bahasa Arab. Ia memulai mengarang sejak tahun 1920, dalam usia 21 tahun. Karirnya sebagai pengarang tetap ditekuninya pada masa-masa selanjutnya. Dia senantiasa mengisi waktu-waktunya untuk mengarang, dalam situasi apapun. Pada waktu perang kemerdekaan, ketika mengikuti perang gerilya, dia tetap menyempatkan diri untuk mengarang. Buku “Marilah Sembahyang” (4 jilid) adalah merupakan hasil karangan Mahmud sewaktu dia beserta pejuang-pejuang lainnya berada dalam pengungsian dari ancaman perlawanan tentara Belanda (Nica) di Batusangkar pada tahun 1949.

Aktivitas-aktivitas Mahmud dalam bidang-bidang lain tidak merupakan rintangan bagi aktivitasnya dalam mengarang. Hal ini dapat dilihat dari karangan-karangannya yang dihasilkan justru pada saat aktivitasnya yang lain lebih memuncak, terutama dalam bidang pendidikan. Hingga pada saat ia menjalani masa pensiun ia tetap mengarang, bahkan pada tahun-tahun terakhir dari kehidupannya (1982), masih ia sempatkan untuk selalu mengarang. Berikut ini diantara buku-buku karya Mahmud Yunus : (dengan urutan : Judul, tahun terbit, Penerbit, dan tempat terbit)

A. Bidang Pendidikan : (6 karya)

1. Pengetahuan Umum dan Ilmu Mendidik, (tidak teridentifikasi lengkap)
2. Metodik Khusus Pendidikan Agama, 1980, Hidakarya Agung , Jakarta
3. Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia (tidak teridentifikasi lengkap)
4. Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran, 1978, Hidakarya Agung, Jakarta
5. At-Tarbiyyah wa at-Ta’lim, (tidak teridentifikasi lengkap)
6. Pendidikan di Negara-Negara Islam dan Intisari Pendidikan Barat, 1968, Al-Hidayah Jakarta

B. Bidang Bahasa Arab : (15 karya)

7. Pelajaran Bahasa Arab I (tidak teridentifikasi lengkap)
8. Pelajaran Bahasa Arab II (tidak teridentifikasi lengkap)
9. Pelajaran Bahasa Arab III (tidak teridentifikasi lengkap)
10. Pelajaran Bahasa Arab IV (tidak teridentifikasi lengkap)
11. Durusu al-Lughah al-‘Arabiyyah ‘Ala Thariqati al-Haditsah I, tt. CV Al-Hidayah, Jakarta
12. Durusu al-Lughah al-‘Arabiyyah ‘Ala Thariqati al-Haditsah II, tt. CV Al-Hidayah, Jakarta
13. Metodik Khusus Bahasa Arab, tt, CV. Al-Hidayah
14. Kamus Arab Indonesia , 1973, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Jakarta
15. Contoh Tulisan Arab (tidak teridentifikasi lengkap)
16. Muthala’ah wa al-Mahfuzhaat, (tidak teridentifikasi lengkap)
17. Durusu al-Lughah al-‘Arabiyyah I, 1980, PT. Hidakarya Agung Jakarta
18. Durusu al-Lughah al-‘Arabiyyah II, 1980, PT. Hidakarya Agung Jakarta
19. Durusu al-Lughah al-‘Arabiyyah III, 1981, PT. Hidakarya Agung Jakarta
20. Muhadatsah al-‘Arabiyyah (tidak teridentifikasi lengkap)
21. Al-Mukhtaraat li al-Muthala’ah wa al-Mahfuzhhat (tidak teridentifikasi lengkap)

C. Bidang Fiqh : (17 karya)

22. Marilah Sembahyang I, 1979, PT Hidakarya Agung, Jakarta
23. Marilah Sembahyang II, 1979, PT Hidakarya Agung, Jakarta
24. Marilah Sembahyang III, 1979, PT Hidakarya Agung, Jakarta
25. Marilah Sembahyang IV, 1979, PT Hidakarya Agung, Jakarta
26. Puasa dan Zakat, 1979, PT Hidakarya Agung, Jakarta
27. Haji ke Mekkah, 1979, PT Hidakarya Agung, Jakarta
28. HukumWarisan dalam Islam, 1974, CV. Al-Hidayah Jakarta
29. Hukum Perkawinan dalam Islam, 1979, PT, Hidakarya Agung, Jakarta
30. Pelajaran Sembahyang untuk Orang Dewasa, 1980, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
31. Manasik Haji untuk Orang Dewasa (tidak teridentifikasi lengkap)
32. Soal Jawab Hukum Islam (tidak teridentifikasi lengkap)
33. Al-Fiqhu al-Wadhih, juz. 1, 1935, PT Hidakarya Agung, Jakarta
34. Al-Fiqhu al-Wadhih, juz. 2, 1936, PT Hidakarya Agung, Jakarta
35. Al-Fiqhu al-Wadhih, juz. 3, 1937, PT Hidakarya Agung, Jakarta
36. Mabadi`u Fiqhu al-Wadhih (tidak teridentifikasi lengkap)
37. Fiqhu al-Wadhih An-Nawawy (tidak teridentifikasi lengkap)
38. Al-Masailu al-Fiqhiyyah ‘Ala Mazahibu al-Arba’ah (tidak teridentifikasi lengkap)

D. Bidang Tafsir : (15 karya)

39. Tafsir Al-Qur`an Al-Karim (30 juz), (tidak teridentifikasi lengkap)
40. Tafsir Al-Fatihah, 1971, Sa’adiyah Putra, Padang Panjang – Jakarta
41. Tafsir Ayat Akhlak, 1975, CV. Al-Hidayah, Jakarta
42. Juz ‘Amma dan Terjemahannya, 1978, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
43. Tafsir Al-Qur`an Juz 1 – 10 (tidak teridentifikasi lengkap)
44. Pelajaran Huruf Al-Qur`an 1973 (tidak teridentifikasi lengkap)
45. Kesimpulan Isi Al-Qur`an
46. Alif Ba Ta wa Juz ‘Amma (tidak teridentifikasi lengkap)
47. Muhadharaat al-Israiliyyaat fi at-Tafsir wa al-Hadits (tidak teridentifikasi lengkap)
48. Tafsir Al-Qur`an Karim Juz. 11-20 (tidak teridentifikasi lengkap)
49. Tafsir Al-Qur`an Karim Juz. 21-30 (tidak teridentifikasi lengkap)
50. Kamus Al-Qur`an I (tidak teridentifikasi lengkap)
51. Kamus Al-Qur`an II (tidak teridentifikasi lengkap)
52. Kamus Al-Qur`an (juz 1 – 30), 1978, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
53. Surat Yaasin dan Terjemahannya (Arab Melayu), 1977, (tidak teridentifikasi lengkap)

E. Bidang Akhlak : (9 karya)

54. Keimanan dan Akhlak I, 1979, (tidak teridentifikasi lengkap)
55. Keimanan dan Akhlak II, 1979, (tidak teridentifikasi lengkap)
56. Keimanan dan Akhlak III, 1979, (tidak teridentifikasi lengkap)
57. Keimanan dan Akhlak IV, 1979, (tidak teridentifikasi lengkap)
58. Beriman dan Berbudi Pekerti, 1981, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
59. Lagu-Lagu Baru Pendidikan Agama/ Akhlak (tidak teridentifikasi lengkap)
60. Akhlak Bahasa Indonesia (tidak teridentifikasi lengkap)
61. Moral Pembangunan dalam Islam (tidak teridentifikasi lengkap)
62. Akhlak, 1978 (tidak teridentifikasi lengkap)

F. Bidang Sejarah : (5 karya)

63. Sejarah Pendidikan Islam (tidak teridentifikasi lengkap)
64. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 1979, Mutiara, Jakarta
65. Tarikh al-Fiqhu al-Islamy (tidak teridentifikasi lengkap)
66. Sejarah Islam di Minangkabau, 1971, (tidak teridentifikasi lengkap)
67. Tarikh al-Islam, tt, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
G. Bidang Perbandingan Agama : ( 2 karya)
68. Ilmu Perbandingan Agama, 1978, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
69. Al-Adyaan, (tidak teridentifikasi lengkap)

H. Bidang Dakwah : (1 karya)

70. Pedoman Dakwah Islamiyyah, 1980, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
I. Bidang Ushul Fiqh : (1 karya)
71. Muzakaraat Ushulu al-Fiqh (tidak teridentifikasi lengkap)
J. Bidang Tauhid : (1 karya)
72. Durusu at-Tauhid (tidak teridentifikasi lengkap)
K. Bidang Ilmu Jiwa : ( 1 karya)
73. Ilmu an-Nafs (tidak teridentifikasi lengkap)

L. Lain-Lain : (9 karya)

74. Beberapa Kisah Nabi dan Khalifahnya, 1980, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
75. Doa’-Do’a Rasulullah, 1979, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
76. Pemimpin Pelajaran Agama I, tt. CV. Al-Hidayah, Jakarta
77. Pemimpin Pelajaran Agama II, tt. CV. Al-Hidayah, Jakarta
78. Pemimpin Pelajaran Agama III, tt. CV. Al-Hidayah, Jakarta
79. Kumpulan Do’a, 1976, CV. Al-Hidayah, Jakarta
80. Marilah ke Al-Qur`an, 1971, CV. Al-Hidayah, Jakarta
81. Asy-Syuhuru al-‘Arabiyyah fi Biladi al-Islamiyyah (tidak teridentifikasi lengkap)
82. Khulashah Tarikh al-Ustaz Mahmud Yunus (tidak teridentifikasi lengkap)
Selengkapnya...

Ulama Minangkabau : Perspektif Epistimologis

Oleh : Muhammad Ilham

Selama ini, definisi ulama yang dikonstruk atau dipersepsikan oleh masyarakat adalah orang yang mengkaji fiqh, tasawuf, akhlaq, tafsir, hadits, dan sebagainya. Berangkat dari hal ini, seharusnya ulama tidak sebatas dilekatkan pada diri seseorang yang memahami tentang fiqh, tauhid, tasawuf, dan akhlaq saja melainkan orang yang mengetahui dan memahami tentang segala hal yang terkait dengan objek yang dikaji. Jika demikian penggunaan arti ulama, maka ulma bisa dilekatkan pada berbagai orang yang mendalami ilmu tentang apa saja, termasuk misalnya kedokteran, ekonomi, sains, teknik, dan bahkan juga seni dan budaya.


Selanjutnya tidak diperlukan lagi pembedaan istilah intelek dan ulama, karena pada hakekatnya ulama yang intelek dan intelek yang ulama tidak memilki perbedaan. Penggunaan konstruk dan persepsi yang berbeda terhadap fenomena yang sama tetapi berbeda objeknya saja ternyata terjadi dalam banyak hal. Misalnya menggunakan istilah madrasah yang berbeda dengan sekolah, guru dengan ustadz, kitab dengan buku, asrama mahasiswa dengan pondok pesantren, perpisahan dengan akhirussanah, dan lain sebagainya.

Sementara itu, Syekh, juga dapat ditulis Shaikh, Sheik, Shaykh atau Sheikh (Bahasa Arab: شيخ), adalah kata dari Bahasa Arab yang berarti kepala suku, pemimpin, tetua, atau ahli agama Islam. Istri atau anak seorang Syekh sering disebut Syeikha (Bahasa Arab: شيخة). Di Timur Tengah, istilah Syekh secara harfiah berarti orang yang lanjut usianya, yang mana pengertian ini digunakan dalam bahasa Arab Al Qur'an. Belakangan pengertiannya berkembang menjadi gelar yang berarti pemimpin, tetua atau bangsawan, terutama di Jazirah Arab dimana Shaikh telah menjadi gelar tradisional pemimpin suku Badui pada beberapa abad terakhir. Pemakaian sebagai tetua juga digunakan oleh Arab Kristen, yang mana menunjukan bahwa pemakaian tersebut tidak tergantung pada agama tertentu. Di Teluk Persia, gelar ini digunakan oleh para pemimpin masyarakat, yang dapat berupa para manajer atau pejabat tinggi, pemilik perusahaan besar, atau pemimpin lokal. Para anggota keluarga kerajaan Kuwait, yaitu keluarga al-Sabah, dan keluarga bangsawan Bahrain dan Qatar juga menggunakan gelar Syekh, sebagaimana juga sebagian besar keluarga bangsawan negara-negara di Teluk Persia. Di Afrika, gelar tersebut digunakan oleh sebagian penguasa muslim di keluarga kerajaan Ethiopia, para penguasa Bela Shangul, dan para bangsawan muslim suku-suku Wollo, Tigray dan Eritrea.

Secara khusus, dalam agama Islam gelar tersebut juga digunakan untuk menyebut ahli-ahli agama Islam di berbagai bidang, seperti para faqih, mufti, dan muhaddith. Dalam tarekat Sufi, Syekh adalah gelar kehormatan bagi seseorang yang telah memperoleh izin pemimpin tarekat untuk mengajarkan, membimbing dan mengangkat para murid dari tarekat tersebut. Di Indonesia, gelar Syekh biasanya digunakan oleh para muballigh keturunan Arab atau para ulama besar dan ahli agama Islam, baik yang menyebarkan ajaran berdasarkan faham Ahlus Sunnah wal Jama'ah maupun yang menyebarkan faham yang bersifat tasawuf. Lain halnya dengan sebutan Kiyai atau Kyai, yang bukan istilah baku dari agama Islam. Panggilan Kiyai bersifat sangat lokal, mungkin hanya di pulau Jawa bahkan hanya Jawa Tengah dan Timur saja. Di Jawa Barat orang menggunakan istilah Ajengan. Biasanya istilah Kiyai juga disematkan kepada orang yang dituakan, bukan hanya dalam masalah agama, tetapi juga dalam masalah lainnya. Bahkan benda-benda tua peninggalan sejarah pun sering disebut dengan panggilan Kiyai. Melihat realita ini, sepertinya panggilan Kiayi memang tidak selalu mencerminkan tokoh agama, apalagi ulama.

Sedangkan panggilan Ustadz, biasanya disematkan kepada orang yang mengajar agama. Artinya secara bebas adalah guru agama, pada semua levelnya. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa bahkan kakek dan nenek. Namun hal itu lebih berlaku buat kita di Indonesia ini saja. Istilah ini konon walau ada dalam bahasa Arab, namun bukan asli dari bahasa Arab. Di negeri Arab sendiri, istilah ustadz punya kedudukan sangat tinggi. Hanya para doktor (S-3) yang sudah mencapai gelar profesor saja yang berhak diberi gelar Al-Ustadz. Kira-kira artinya memang profesor di bidang ilmu agama. Jadi istilah ustadz ini lebih merupakan istilah yang digunakan di dunia kampus di beberapa negeri Arab, ketimbang sekedar guru agama biasa.

Sementara itu, Penceramah – sebuah konsep yang identik dengan tabligh – memang boleh siapa saja dan juga bisa bicara apa saja. Dari masalah-masalah yang perlu sampai yang tidak perlu. Dengan merujuk langsung kepada literatur hingga yang hanya opini saja. Bahkan terkadang cenderung bersifat entertain – menghibur penonton – sehingga terkadang seorang penceramah, apalagi dengan kemajuan media ellektronik dan perteleviasian sekarang ini, cenderung berperan sebagai seorang ”penghibur”. Bedanya dengan para artis, para penceramah ini adalah ”penghibur rohani”. Biasanya ceramah mereka selain lucu, juga komunikatif serta seringkali mengangkat masalah yang aktual. Sehingga yang mendengarkannya betah duduk berjam-jam. Itu sisi positifnya. Positif yang lainnya penceramah model begini adalah mampu merekrut massa yang lumayan banyak. Mungkin karena juga dibantu dengan media. Tetapi kekurangannya juga ada. Misalnya, umumnya mereka bukan orang yang lahir dan dibesarkan dengan tradisi keilmuan yang mendalam. Juga bukan jebolan perguruan tinggi Islam dengan disiplin ilmu syariah. Padahal point ini cukup penting, sebab yang mereka sampaikan ajaran agama Islam, tentunya mereka harus mampu merujuk langsung ke sumbernya. Agar tidak terjadi keterpelesetan di sana sini. Yang kedua, kelemahan tokoh yang dibesarkan media adalah akan cepat surut sebagaimana waktu mulai terkenalnya. Namun lepas dari keutamaan dan kelemahannya, para penceramah ini sudah punya banyak jasa buat umat Islam di negeri ini.

Banyak orang yang tadinya kurang memahami agama, kemudian menjadi lebih memahami. Yang tadinya kurang suka dengan Islam, berubah jadi lebih suka. Semua itu tentu saja tidak bisa kita nafikan, sekecil apa pun peran mereka. Tentu bukan pada tempatnya bila mereka melakukan hal-hal yang kurang produktif, kita lalu mencemooh, memaki atau bahkan bertepuk tangan gembira melihat bintang mereka mulai pudar. Kekurang-setujuan kita dengan beberapa hal yang mereka lakukan, jangan sampai membuat kita harus melupakan peran dan jasa mereka selama ini. Bahkan belum tentu kalau kita sendiri yang berada pada posisi mereka, kita akan mampu memenuhi harapan semua orang. Dalam kata pengantarnya, seorang cendekiawan muslim Indonesia, Jalaluddin Rahmat, pernah menulis mengenai ”reduksi makna dan nilai seorang ulama” karena perubahan situasi. Ia mengatakan : "Untuk konteks situasi saat sekarang ini, ulama pada hakikatnya bukan sekedar yang enak diorbitkan media, tetapi mereka yang sekolah ke Timur Tengah dengan serius, hingga mendapatkan ilmu yang cukup. Lalu ketika pulang ke negeri ini, mereka bekerja dengan baik menyampaikan ilmunya kepada masyarakat. Mungkin tidak ada salahnya, jika tiap masjid di negeri ini berinvestasi untuk melahirkan satu ulama. Bila kita membaca sejarah Islam di nusantara pada masa dahulunya, banyak ulama-ulama yang belajar ke Mekkah dengan dibiayai oleh masyarakat dikampungnya – walaupun untuk bekal keberangkatannya saja. Bahkan, Tan Malaka, dalam sejarahnya pergi sekolah ke Haarlem Belanda atas biaya orang kampungnya (Orang Pandam, Suliki – bahkan Tan Malaka ketika pulang ke Indonesia masih berutang pada orang-orang kampungnya : Penulis). Misalnya, dengan memilih lulusan pesantren yang punya nilai tinggi, untuk dibiayai kuliah S-1 dan S-2 ke Mesir, Saudi, Kuwait, Pakistan, Jordania, Suriah atau pusat-pusat ilmu lainnya seperti Iran, bahkan bila perlu ada juga yang belajar agama Islam ke negeri-negeri Barat ... mengapa tidak ?. Dengan asumsi, 4 tahun lagi mereka akan segera lulus S-1. Itu saja sebenarnya sudah jauh lumayan dari pada sekedar penceramah. Apalagi kalau bisa sampai S-2 atau bahkan S-3, tentu akan lebih baik lagi. Nantinya diharapkan tiap masjid dipimpin oleh lulusan-lulusan yang berkualitas seperti mereka. Mereka yang jadi imam, mereka yang juga mengajarkan ilmu-ilmu di masjid, dan mereka juga yang dijadikan rujukan dalam masalah agama. Orang-orang cukup datang ke masjid untuk berkonsultasi masalah syariah. Dan itu bisa dilakukan tiap hari dalam tiap waktu shalat. Sebab mereka memang dipekerjakan dan digaji oleh masjid, tentunya dengan standar yang baik. Sehingga para imam masjid ini tidak perlu nyambi jadi tukang ojek, atau jadi karyawan di pabrik dan perusahaan tertentu. Waktunya bisa dimanfaatkan 24 jam untuk umat dan beliau stand-by di masjid”.

Terkait dengan apa yang dikatakan oleh Jalaluddin Rahmat diatas, salah seorang ulama Sumatera Barat saat sekarang ini mengatakan : ”Bila masyarakat datang ke Masjid pada saat sekarang ini, mereka tidak menemukan ulama di masjid tersebut, akan tetapi mereka hanya menemukan gharin. Lalu dimana ulama berada ? Mereka bekerja mencari nafkah, bila ceramah saja mereka datang ke masjid. Harusnya, ulama-ulama tersebut dibiayai oleh negara sebagaimana yang terjadi di Malaysia. Hingga mereka bisa fokus melayani ummat. Efeknya adalah, timbul persepsi ditengah-tengah masyarakat yang cenderung menyederhanakan ulama sebagai profesi pekerjaan ekonomis.”

Ulama merupakan salah satu figur sentral-penting dalam pendidikan di Minangkabau. Di Minangkabau ulama merupakan tokoh kunci dalam membangun karakteristik (building of characteristic) Minangkabau yang berasaskan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Dari segi pemikiran, ulama sebenarnya telah membentangkan pemikirannya melalui institusi pendidikan yang didirikannya sendiri, terutama sekali melalui institusi pendidikan surau. Pendidikan dalam pergerakan eksistensi ulama sekurang-kurangya telah memberikan dua sumbang sih, yakni; sebagai penyebaran aliran, ajaran agama Islam, dan kedua sebagai penyebaran pemikiran ulama itu sendiri. Penyebaran pemikiran ini, kemudian menjadi cikal bakal pergerakan dan kemudian membuat jaringan guru dengan murid tidak terputus dan dapat ditelusuri. Dalam kultur jaringan seperti ini, sangat mempercepat penyebaran Islam dan transformasi masyarakat Minangkabau. Silfia Hanani mengatakan bahwa eksistensi ulama tidak bisa dipisahkan dari institusi pendidikan. Seorang ulama mewakili dua dunia yang harus dimilikinya, yaitu dunia transformasi jiwa imani (surau dalam artian tempat ritual) dan institusi pendidikan seperti surau maupun madrasah sebagai transformasi pencerahan keilmuan. Salah seorang diantaranya berasal dari Ulakan, Pariaman, Sumatera Barat, yang menuntut ilmu pada Syekh Abdul Rauf, seorang ulama yang terkenal pada waktu itu di Aceh yang sangat mendalam ilmunya tentang Islam, muridnya datang dari segala penjuru. Setelah murid dari Ulakan tadi tamat belajar, dia diberi gelar Syekh Burhanuddin, yang kembali ke Ulakan dan pada tahun 1680 Masehi mendirikan sebuah surau di sana. Surau itu dijadikan sebagai pusat pendidikan agama Islam, yang banyak didatangi murid dari seluruh daerah Sumatera Barat. Mula-mula yang menjadi murid Syekh Burhanuddin adalah penduduk yang bertempat tinggal di sekitar surau itu, kemudian dari daerah Sumatera Barat lainnya.

Di Sumatera Barat dahulu, orang laki-laki dewasa yang belum kawin tidak biasa tidur di rumah orang tuanya pada malam hari. Tempat yang dipilih adalah balai perternuan yang terdapat di daerah itu, dan di tempat inilah berkumpul pemuda yang masih bujangan pada malam hari untuk tidur bersama-sama. Setelah Islam masuk ke Sumatera Barat, tempat itu ada yang dijadikan sebagai pusat pendidikan, kemungkinan tempat itulah yang bernama surau kemudian harinya, karena musyawarah dalam bahasa Arab disebut syurau atau asyura menjadi surau saja. Sidi Gazalba yang telah mempelajari masalah ini secara mendalam mengatakan sebagai berikut : "Surau atau langgar yang mula-mula, merupakan unsur kebudayaan asli, setelah Islam masuk menjadi bangunan Islam. Dahulu tempat ini bertujuan sebagai tempat bertemu, berkumpul, berapat, dan tempat tidur pemuda-pemuda yang bersifat daerah. Pada masyarakat Mentawai yang masih dalam keadaan asli, bangunan sejenis masih menjalankan fungsi dan kepercayaan asli”.

Sesudah agama Islam berkembang di Sumatera Barat, surau tidak lagi diambil dari tempat pertemuan itu, melainkan sudah didirikan khusus oleh guru agama Islam (Syekh, Tuanku atau Ulama) dan khusus sebagai tempat pengajian. Fungsinya sebagai tempat tinggal masih tetap, yaitu sebagai tempat tinggal guru mengaji dan tempat bermalam bagi murid laki-laki atau pemuda lainnya. Tempat yang didirikan oleh Syekh Burhanuddin di Ulakan merupakan sebuah surau dan merupakan surau yang pertama di Sumatera Barat. Hal itu berdasarkan pada fungsinya yang sudah merupakan sebuah surau yang dikenal pada akhir abad ke-19. Pada waktu itu fungsi surau adalah sebagai pusat pendidikan agama Islam tempat beribadat serta sebagai tempat tinggal, yang berkembang di Sumatera Barat selama abad ke-17, ke-18, dan ke-19 Masehi.

Syekh Berhanuddin bukanlah pembawa Islam pertama ke Sumatera Barat, karena jauh sebelumnya sudah ada pedagang Aceh yang menyebarkannya. Di samping Syekh Burhanuddin di Ulakan ada pula seorang yang bergelar Syekh Burhanuddin yang meninggal di Kuntu Kampar pada tahun 1191 Masehi. Tetapi Syekh Burhanuddin yang meninggal di Kuntu Kampar itu bukanlah seorang Ulama Islam yang tinggal menetap pada suatu tempat, melainkan berpindah-pindah. 10) Syekh Burhanuddin yang meninggal di Kuntu Kampar itu datang dari tanah Arab melalui Aceh masuk ke Sumatera Barat. Mengajar di Batuhampar-Payakumbuh selama 10 tahun, Kumpulan Bonjol selama 5 tahun, Ulakan selama 11 tahun, Kuntu Kampar selama 15 tahun sampai dia meninggal di sana pada tahun 1191. Agama Islam sudah mulai masuk ke Sumatera Barat kira-kira pertengahan abad ke-12 M. yang dibawa oleh Syekh Burhanuddin yang meninggal di Kuntu Kampar. Pada abad berikutnya disebarkan oleh pedagang Islam yang datang dari arah utara Sumatera Barat. Pendidikan Islam pada waktu itu belum diselenggarakan pada tempat khusus. Syekh Burhanuddin Ulakanlah yang pertama mendirikan sebuah surau sebagai pusat pendidikan agama Islam, yang berkembang di Sumatera Barat.

Sebelum awal abad ke-19 banyak praktek agama Islam yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Antara ajaran agama Islam dengan adat setempat tidak terlihat lagi batasnya yang tegas, seperti pertaruhan besar pada acara mengadu ayam yang dinamakan "menyabuang”. Kebiasaan mabuk-mabukan dalam upacara adat, menganggap keramat seorang guru, percaya kepada takhyul, meminta berkat pada kuburan orang terkenal, dan berbuat syirik, jelas bertantangan dengan ajaran Islam. Pada tahun 1803 tiga orang haji pulang dari Mekah, yaitu : Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Mereka tidak setuju melihat praktek agama Islam yang jauh menyimpang dari ajaran Islam. Timbul pikiran mereka untuk memperbaharui keadaan tersebut, rakyat harus dididik untuk dapat menjalankan ajaran Islam sebagaimana mestinya. Gagasan pembaharuan pendidikan Islam mereka jalankan dengan keras, langsung memerintahkan penghentian seluruh kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Tindakan tersebut menimbulkan kegoncangan dalam kehidupan masyarakat, terjadi pembenturan antara kebiasaan yang telah menjadi darah daging anggota masyarakat di satu pihak dengan perintah penghentiannya yang keras di pihak lain. Akhirnya timbullah pertentangan antara golongan adat sebagai pendukung kebiasaan itu dengan golongan agama yang berkeinginan menjalankan ajaran agama Islam secara murni menurut Al-Quran dan Hadis Nabi. Timbullah perang saudara antara sesama orang Minangkabau, yaitu antara penganut agama Islam yang berhaluan keras dengan penganut adat yang memegang teguh kebiasaannya. Tetapi yang keluar sebagai pemenang dari perang itu bukan salah dari kedua pihak, melainkan orang Belanda yang sedang berusaha menanamkan kekuasaannya di Sumatera Barat.

Gagasan pembaharuan dari ketiga orang itu ditujukan terhadap penyimpangan ajaran Islam oleh para penganutnya sendiri waktu itu di Sumatera Barat. Tetapi, karena caranya sangat keras, akibatnya sangat lain yang diharapkan, walaupun akhirnya beberapa tujuan pembaharuan tercapai juga, tetapi korban jiwa sudah banyak. Semenjak itu seluruh daerah Minangkabau praktis dapat dikuasai oleh Belanda tanpa banyak mengeluarkan tenaga. Namun demikian ide pembaharuan dari ketiga orang haji dapat dikatakan sebagai ide pembaharuan pertama di bidang pendidikan Islam di Sumatera Barat.

Selanjutnya ide pembaharuan pendidikan agama Islam kedua datang dari Syekh Ahmad Khatib yang lahir di Bukittinggi pada tahun 1855 12). Kemudian Syekh Ahmad Khatib menetap di Mekah dan diangkat sebagai Imam Mazhab Syafei di Masjidil Haram serta sebagai guru pendidikan agama. Ide pembaharuan dalam pendidikan Islam tidak dijalankannya sendiri, melainkan diberikan melalui murid-muridnya yang belajar ke Mekah sambil menunaikan ibadah Haji. Di antara muridnya itu terdapat tiga orang pemuda yang penuh semangat, yaitu Haji Abdul Karim Amarullah atau Inyiak Dotor dan akronim HAKA, Muhammad Jamil Jambek atau Inyiak Djambek, dan Abdullah Ahmad. Ketiga orang itu berasal dari Sumatera Barat. Sedangkan murid Syekh Ahmad Khatib yang cukup menonjol dari Jawa bernama KH. Ahmad Dahlan yang kemudian menjadi pendiri Muhammadiah. Ketiga orang murid asal Sumatera Barat itulah yang menjadi pelopor pembaharuan pendidikan Islam di Sumatera Barat dengan cara mereka masing-masing. Tetapi walaupun caranya berbeda tujuannya tetap yaitu pembaharuan dalam pendidikan Islam. Sebelum tahun 1900 banyak ulama Islam Sumatera Barat terkenal sebagai basil pendidikan Islam semacam itu, pengetahuan mereka tentang Islam tidak kalah dengan pengetahuan ulama Islam abad ke-20 M., bedanya pada cara menerapkan agama dalam kehidupan masyarakat. Di antara ulama Islam Sumatera Barat, yang terkenal sebagai hasil pendidikan Islam sebelum tahun 1900 adalah : Syekh Abdullah Khatib, Ladang Lawas, Bukittinggi; Syekh M. Jamil Tungkar, Batusangkar; Syekh Tuanku Kolok, Sungayang, Batusangkar ; Syekh Abdul Manaf Padang Ganting, Batusangkar; Syekh M. Saleh, Padang Kandis, Suliki, Payakumbuh; Syekh Abdullah, Padang Japang, Payakumbuh, dan Syekh Ahmad, Alang Lawas, Padang serta Syekh Amarullah, Maninjau, Bukittinggi.

Disamping menghasilkan ulama besar, pendidikan Islam pada masa ini juga menghasilkan pemimpin masyarakat yang dihormati dan dipatuhi. Untuk mendapat predikat ulama Islam terkenal memerlukan waktu lama, karena harus dipraktekkan dalam masyarakat terlebih dahulu. Penilaian yang diberikan masyarakat itu sukar didapat dengan segera. Sebagai guru mereka tidak saja mendidik orang lain, tetapi juga anak mereka, yang biasanya juga menjadi ulama besar di kemudian hari. Syekh Ahmad, Alang Lawas, Padang mendidik anaknya Syekh Abdullah Ahmad yang kemudian terkenal sebagai salah seorang tokoh pembaharu pendidikan Islam Sumatera Barat dengan Sekolah Adabiah (Adabiah School). Buya Haji Abdul Karim Amarullah (HAMKA) dididik langsung oleh ayahnya Syekh Haji Abdul Karim Amarullah di Maninjau. Contoh ulama terakhir, Buya Haji Mansur Daud Datuk Palimo Kayo, dididik dan dibimbing oleh ayahnya Syekh Daud Rasyidi dan beberapa ulama lainnya yang secara tidak langsung menunjukkan bahwa faktor genetic-hereditically setidaknya cukup memegang peranan yang cukup signifikan dalam melahirkan jaringan ulama di Minangkabau. Hampir seluruh Syekh mendidik sendiri anak mereka dan semuanya berhasil dengan baik.

Pada akhir abad ke-19 M. banyak ulama Islam Sumatera Barat yang belajar ke Mekah dan pada awal abad ke-20 M. mereka sudah kembali lagi ke Sumatera Barat, dan langsung mengajar di surau yang sudah ada. Sistem pendidikan Islam di Sumatera Barat pada masa ini dinamakan Sistem Pendidikan Surau, karena pusat pendidikannya adalah surau tersebut. Pada akhir abad ke-19 M. sudah ada ulama Islam Sumatera Barat yang kembali dari Mekah, yang membawa perubahan terhadap pendidikan Islam. Jumlah mata pelajaran mulai pertengahan abad ke-19 sampai akhir abad ke-19 bertambah banyak dari masa sebelumnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang didapat oleh para Syekh. Cara penyampaian mata pelajaran tidak satu-satu lagi, melainkan sudah diberikan beberapa mata pelajaran sekaligus, seperti sistem sekolah sekarang. Buku yang dipelajari murid sudah semakin banyak, sebelum pertengahan abad ke-19 M. hanya dipergunakan satu buku untuk satu mata pelajaran. Sesudah pertengahan abad ke-19 M. untuk satu mata pelajaran sudah dipergunakan beberapa buah buku pelajaran, sedangkan pada akhir abad ke-19 M. untuk pelajaran Nahu saja sudah dipergunakan 6 atau 7 buah buku pelajaran. Mulai pertengahan abad ke-19 sudah banyak Qari tamatan Mekah, sedangkan sebelumnya hampir semua Qari tamatan Sumatera Barat. Qari tamatan Mekah mempunyai murid lebih banyak dari Qari tamatan Sumatera Barat. Penilaian ini hanya didasarkan karena mereka tamatan luar negeri.

Pada dasarnya tidak banyak perbedaan antara Pengajian AI-Quran sebelum pertengahan abad ke-19 dengan akhir abad ke-19. Tetapi pada pengajian kitab terdapat perbedaan besar yang merupakan perkembangan pendidikan Islam. Sebelum pertengahan abad ke-19 jumlah mata pelajaran hanya 4 buah saja, tetapi kemudian menjadi 12 buah, yaitu ilmu Nahu, Syaraf, Fikih, Tafsir, Hadis, Musthalah Hadis, Mantik, Maani. Bayan, Badik, dan Usul Fikih. Kadang-kadang ditambah lagi dengan ilmu Tasauf. Sebelum akhir abad ke-19 pengajian terdapat dua tempat, yaitu tingkat rendah dan tingkat tinggi. Pada tingkat rendah cara mengajar hampir sama dengan sebelum abad ke-19 : murid diajar satu per satu, dan jumlah mata pelajaran lebih banyak. Guru menyebutkan pelajaran murid mengikutinya dan selanjutnya menghafalkan seperti yang diucapkan gurunya. Guru yang mengajar pada tingkat rendah adalah guru bantu, yaitu murid tingkat tinggi yang mendapat kepercayaan Syekhnya, biasanya dipanggil "Engku Muda" atau "Alim Muda" atau "Guru Tua". Yang memakai perdikat "Tua" adalah murid yang hampir selesai pendidikan dan dapat bertindak dalam pelaksanaan pendidikan atas nama Syekhnya. "Alim Muda" setingkat di bawah "Guru Tua", sedangkan "Engku Muda" tingkatan guru bantu yang paling bawah.

Pada tingkat tinggi cara mengajar sudah berbeda, dalam dua jam pelajaran guru sudah menerangkan dua atau tiga pelajaran sekaligus. Murid tidak lagi dihadapi satu per satu, melainkan secara bersama-sama dan cara mengajar dinamakan sistem halaqah, guru membaca dan menerangkan pelajaran, sedangkan murid menyimak saja. Sebelum pelajaran dimulai murid diharuskan membaca pelajaran tersebut lebih dahulu dan sewaktu guru menerangkan murid mencocokkan pengertian atau pemahaman yang diperolehnya dari hasil bacaan sebelumnya. Keterangan guru lebih penting karena murid menyesuaikan pemahamannya dengan apa yang telah diterangkan. Apabila pemahaman bertentangan dengan keterangan guru, maka keterangan guru itulah yang dipakai. Selama guru mengajar tidak diadakan kegiatan tanya jawab, murid belajar sendiri, kemudian guru menerangkan arti pelajaran tersebut.

Setiap pelajaran yang diberikan dan diterangkan guru merupakan kelanjutan pelajaran sebelumnya. Dalam sistem halaqah murid disuruh belajar sendiri dan sekali atau dua kali sehari mereka menyesuaikan pemahamannya dengan keterangan yang diberikan guru sewaktu pelajaran sedang berlangsung pada sistem halaqah ini masing-masing murid memiliki kitab yang sama dengan yang sedang diajarkan gurunya, sehingga mereka dapat menyimak dengan sungguh-sungguh keterangan gurunya. Biasanya guru membacakan bahasa Arab lebih dahulu, sesudah itu baru menjelaskan artinya dan makna serta maksud pelajaran dalam kehidupan masyarakat. Sementara guru menjelaskan murid mengambil tempat di sekeliling guru atau duduk setengah melingkar di depan gurunya dengan bersila. Murid tingkat tinggi terdiri dari guru bantu dan murid tingkat rendah yang dianggap mampu mengikuti pelajaran karena sangat pandai. Dasar meletakkan murid di tingkat tinggi adalah kemampuan murid itu bukan pada umur atau lama mereka dalam belajar.

Dengan bentuk ujian yang demikian sedikit sekali murid yang berhasil, sebahagian tetap tinggal di sana sampai tua atau kembali ke kampungnya untuk menjadi guru mengaji biasa. Namun demikian murid yang begini pada hari tuanya nanti juga akan dapat menjadi seorang Syekh, tergantung dari kemampuannya mengajar atau berdakwah. Gelar Syekh akan diberikan oleh penduduk di tempatnya mengajar atau oleh muridnya. Kadang-kadang gelar Syekh diperolehnya ketika sudah berumur tua sekali, hanya sekedar penghargaan atas jasanya. Seorang Syekh dalam mengajar tidak menerima gaji, karena mereka mengajar karena Allah semata, bukan untuk mencari penghasilan. Seorang Syekh mendirikan surau atau mengajar biasanya dengan biaya sendiri, kecuali kalau ada sumbangan anak negeri setempat berupa zakat dan fitrah. Tetapi kalau Syekh yang sudah terkenal banyak menerima zakat fitrah, terutama dari bekas muridnya, sehingga dengan zakat fitrah itu, ia dapat memberikan biaya bagi beberapa orang muridnya yang tidak mampu.

Muridnya tidak membayar uang mengaji atau uang sekolah. Segala keperluan mereka, mereka siapkan dan cari sendiri. Bagi murid yang betul-betul tidak mampu atau tidak dibiayai oleh keluarganya, akan menjadi "pakiah " yang sekali atau dua kali seminggu meminta-derma ke kampung-kampung guna keperluan hidupnya selama mengaji. Kadang-kadang dengan sekali pergi minta derma itu sudah mendapat hasil untuk dua minggu atau sebulan biaya hidupnya. Tetapi pekerjaan "pakiah" ini dilakukan apabila memang sudah tidak ada lagi jalan lain. Surau dengan Syekhnya yang sudah terkenal jarang mengizinkan muridnya menjadi “pakiah”, karena zakat fitrah yang diterimanya sudah lebih dari cukup untuk membiayai hidup murid. Pada masa ini pendidikan Islam masih berpusat di surau-surau, sistem pendidikan dinamakan sistem surau seperti sistem pendidikan sebelumnya. Bedanya terletak pada penyelenggaraan tingkat rendah dan tingkat tinggi, keduanya sudah dipisahkan ruang belajarnya, walaupun tidak dibatasi oleh kelas, tetapi jam pelajaran yang berlainan saja. Sistem pendidikan pada masa ini merupakan peralihan dari sistem surau kepada sistem sekolah.

Syekh yang menjadi guru agama adalah orang yang sudah kembali dari Mekah dan Mesir yang sudah mulai banyak jumlahnya. Hasil pendidikan Mekah dan Mesir, di samping membawa ilmu pengetahuan ke Sumatera Barat juga membawa buku-buku dan faham baru yang berkembang tentang Islam dan ajarannya. Majalah Al Manar yang terbit di Mesir sudah menjadi langganan Syekh itu dan menjadi bacaan pula bagi muridnya. Dengan sendirinya pandangan serta wawasan mereka menjadi luas dan menjadi orang yang haus akan sesuatu yang baru serta apresiatif terhadap inovasi-inovasi baru. Sistem pendidikan Islam yang selama ini dilaksanakan di Sumatera Barat mereka pandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat sekarang, oleh karena itu, sistem pendidikan perlu diadakan pembaharuan. Pembaharuan yang mereka inginkan bukan hanya di bidang pendidikan Islam, tetapi pembaharuan dalam kehidupan masyarakat. Mereka merupakan orang yang terbuka dan bersedia menerima pendapat orang lain yang lebih baik dan pendapat mereka. Berbeda dengan hasil pendidikan Islam sebelumnya, di mana para ulama Islam fanatik dan sukar menerima pendapat orang lain, maka pada masa ini, sebagai hasil pembaharuan pendidikan Islam, mereka sudah berpandangan luas dan ber sifat terbuka.
Selengkapnya...