Rabu, 05 Januari 2011

Tradisionalisme dan Modernisme Intelektual Minangkabau : Refleksi Naskah Syekh Paseban

Oleh : Dr. Ahmad Taufik Hidayat, M.Ag (Dosen Filologi FIBA)

Perkembangan tradisi intelektual Islam di Minangkabau memiliki latar sejarah yang cukup panjang. Walaupun Islam masuk ke wilayah nusantara dengan cara damai, tetapi menyangkut jalur-jalur islamisasi — seperti halnya wilayah nusantara secara umum — ia tidak hadir dalam bentuk tunggal. Tarekat sufi, perdagangan, pernikahan, birokrasi, pendidikan dan kesenian adalah diantara sarana Islam menyapa wilayah Minangkabau. Dampaknya antara lain adalah kekayaan amalan, praktek, mazhab serta corak yang membentuk dinamika tradisi intelektual Islam di wilayah ini.

Pada bagian awal bab ini akan diuraikan perkembangan sejarah islamisasi di Minangkabau yang membentuk dinamika dimaksud. Pada bagian selanjutnya pembahasan diarahkan pada pemetaan tradisionalisme, modernisme dan perubahan sosial yang dijadikan acuan teoritis guna menelaah konteks koleksi manuskrip yang dihasilkan dari dinamika intelektual di wilayah Minangkabau. Di sini lembaga Islam tradisional dianggap meredefinisi paham keagamaan mereka terhadap berbagai hal yang dianggap mengancam. Persoalan-persoalan pendukung yang berkaitan dengan isu ini, seperti pergesekan dengan kolonial Belanda, persoalan sosio ekonomi politik, serta perselisihan internal kelompok Islam tradisional menjadi bagian utuh dalam tulisan ini. Disparitas antara tradisionalisme dan modernisme di tengah perubahan sosial dalam kerangka masyarakat Minang oleh karenanya tidaklah terjadi secara kebetulan. Beberapa studi mengenai perubahan di Minangkabau meninjau pusaran konflik dari berbagai sudut pandang. Dobbin misalnya menengarai bahwa konflik dalam perang Paderi dilatari oleh faktor sosio-ekonomi.

Dari sudut pandang yang relatif tidak berbeda, Beckman melahirkan tesis bahwa kepemilikan dan pewarisan harta kekayaanlah yang sesungguhnya mempengaruhi perubahan sosial. Sedangkan Taufik Abdullah cenderung melihat faktor tabi’at alamiah masyarakat Minang yang memelihara konflik dan harmoni secara bersamaan sebagai alasan munculnya konflik dan perubahan. Sejauh ini faktor-faktor yang dikemukakan para ahli tersebut tidak banyak menyinggung kristalisasi sebuah pemahaman tradisional Islam, yang memunculkan figur sentral sebagai agen perubahan dalam spektrum konflik yang dituangkan dalam bentuk tertulis. Padahal, sebagaimana yang ditegaskan Fathurahman, manuskrip di Surau selain ditujukan untuk memberikan pengajaran kepada para anggota tarekat, juga ditulis untuk menjelaskan konteks tertentu, khusunya berkaitan dengan adanya penolakan terhadap gerakan pembaharuan keagamaan Islam. Oleh karena itu diperlukan pemetaan teoritis seputar konsep tradisionalisme, modernisme dan perubahan sosial.



Selengkapnya...

Improvisasi Seksualitas dalam Sejarah "Laki-Laki" Asia Tenggara

Oleh : Muhammad Ilham (Dosen Jur. SKI FIBA/Ketua PSIFA IAIN Padang)

Malam ini, saya membaca buku karangan Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680. Saya tak ingin mengupas dinamika perdagangan kawasan Asia Tenggara. Terlalu panjang dan pelik. Ada satu bagian yang membuat saya "tertawa sendirian" kala membaca buku sejarawan dari Australia ini, tentang bagaimana upaya luar biasa yang ditempuh oleh para lelaki - dalam sejarah "laki-laki" Asia Tenggara masa lalu - untuk memberikan kepuasan seks terhadap pasangannya. Para lelaki rela menanggung pembedahan kelaminnya - tentunya sangat menyakitkan - hanya untuk meningkatkan kenikmatan erotik pasangannya.

Laki-laki di Philiphina, misalnya, terutama di Philipina tengah dan selatan serta beberapa daerah di Kalimantan, dari masa dahulu, "familiar" memasang peniti logam yang dilengkapi dengan dengan berbagai roda, taji (saya tak tahu apa itu taji), atau kancing pada alat kelaminnya. Hal yang sama dipraktekkan juga sampai pada masa modern oleh beberapa kelompok masyarakat Kalimantan Barat Laut, khususnya suku Iban dan Kayan.

Di tempat lain seperti Siam dan Malaka, dulunya juga berjalan praktek sejenis ini. Para lelaki memasukkan bola-bola kecil antara setengah dan satu lusin lebih pada kulit lepas di bawah penis (membrum virille). Seorang pelancong Italia pernah meriwayatkan bahwa di Malaka dan Siam (Thailand) selama abad ke-15, raja-raja memakai sebanyak sembilan butir emas sebesar buah lonca yang setiap mereka melangkah, bergemericing. Waw, tak terbayangkan riuhnya. Emas untuk kalangan bangsawan, maka butir-butir timah hitam bagi kalangan laki-laki biasa. "Kaum perempuan mendapatkan kenikmatan yang tak tergambarkan dari situ", kata pengelana tersebut. Menurut Anthoni Reid, gejala-gejala "gemericing" ini juga ditemui di daerah Makassar pada abad ke-17, tapi tidak sebanyak yang di Siam atau Malaka. Hanya satu dua buah bola kecil pada penis mereka yang terbuat dari gading atau tulang ikan keras. Islam yang kemudian masuk ke Nusantara menghilangkan praktek demikian. Namun, sejumlah penduduk Toraja bukan Islam di pedalaman, masih tetap memakai bola-bola nan gemericing ini hingga abad ke-19. Kreatif sekali nenek moyang kita masa dulu .... !.

(Makalah lengkap akan diterbitkan di Jurnal Khazanah Edisi 2011)
Selengkapnya...