Selasa, 23 November 2010

Wanita dan Kemiskinan dalam Perspektif Sejarah Gender (Tulisan 1)

Oleh : Muhammad Ilham (Dosen Jur. SKI/Ketua PSIFA IAIN Padang)

“Kemiskinan itu lingkaran setan, dan titik pusatnya adalah kebijakan. Kemiskinan itu karena majikan tidak mengarahkan kepada kemandirian, lalu siapakah majikan itu ?” (Cordoso, 1999). Saya mulai makalah ini dengan sebuah kutipan (artikel-opini) dari koran Kompas, berikut :


“Permasalahan terbesar yang dihadapi negara Asia-Afrika, termasuk dalam hal ini negara Indonesia, adalah permasalahan kemiskinan. Dalam keadaan seperti ini, mau tidak mau wanita ikut menanggung beban. Secara kumultaif, data menunjukkan, dari penduduk yang miskin, 70 persennya adalah wanita. Kemiskinan telah mendorong wanita-wanita Thailand, termasuk gadis-gadis di bawah umur menjual diri di bursa seks kelas bawah dengan tarif murah, karena kemiskinan ini pula wanita-wanita di Philipina, antara tahun 1987-2002, sekitar 261.527 orang wanita, umumnya berusia belasan tahun, memasuki Jepang sebagai wanita penghibur. Kemiskinan juga mendorong para wanita Indonesia menjadi buruh migran ataupun dalam istilah lain, tenaga kerja wanita, di beberapa Negara Timur Tengah dan Malaysia serta Brunei Darussalam. Wanita, 67 % diantaranya. Kemiskinan juga bertaburan di Bangladesh, Srilanka, India, Indonesia dan sebagian besar negara-negara Afrika. 35 anggota berbagai organisasi dari 11 negara Asia, yang memberikan perhatian besar terhadap wanita, menyatakan bahwa disparitas yang makin besar dalam pembangunan ekonomi, akses kepada pasar, teknologi dan sistem harga yang lebih adil dalam model pembangunan yang ditawarkan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), telah membuat banyak negara dan manusia terjungkal dalam kemiskinan. Program penyesuaian struktural yang dipaksakan Bank Dunia dan IMF kepada negara-negara pengutang terbesar justru membuat orang miskin menjadi bertambah miskin. Kemiskinan dan berkurangnya pekerjaan produktif dengan gaji cukup di negara asal tenaga kerja, telah memaksa laki-laki dan perempuan, termasuk anak-anak, bermigrasi ke luar negeri. Saat ini terdapat sedikitnya 12 juta pekerja migran dari Asia, separuh diantaranya perempuan, dan jumlahnya terus bertambah”.

Dari pernyataan di atas, kita bisa melihat, bahwa kapitalisme, melalui Bank Dunia dan IMF sebagai alatnya, justru melahirkan kemiskinan yang semakin meluas di Asia dan Afrika. Di negara Sosialis seperti Cina, masalah yang dihadapi pun tidak berbeda. Kemiskinan masih menghantui sebagian besar masyarakatnya.

Dibanding wanita di belahan bumi yang lain, dari segi kesejahteraan, wanita Timur Tengah paling baik kondisinya. Meskipun para wanita ini tidak bekerja, tidak pernah terdengar adanya kemiskinan wanita. Hal ini karena nafkah mereka ditanggung sepenuhnya oleh para wali atau kalaupun tidak ada wali, negara menjamin kebutuhan mereka. Wanita Timur Tengah juga mendapatkan jaminan pendidikan sama dengan pria, bahkan banyak didirikan sekolah khusus wanita. Fasilitas khusus wanita tersedia di mana-mana, termasuk fasilitas kesehatan dan transportasi. Hijab yang mereka kenakan tidak menghalangi kemajuan. Hanya saja, peran wanita banyak dibatasi oleh negara. Sistem pemisahan mutlak antara pria dan wanita serta domestikasi peran, membatasi gerak wanita dalam aktivitas kehidupan umum. Bahkan sampai saat ini, wanita-wanita Timur Tengah tidak mempunyai hak politik, termasuk untuk sekedar memilih anggota parlemen dalam pemilu.

Dari gambaran tentang wanita di atas, kita bisa melihat beragamnya problematika yang dihadapi oleh wanita. Jika kita tinjau lebih jauh, semua problematika wanita tidak bisa kita lepaskan dari problematika manusia seluruhnya. Sebagai contoh, problem kemiskinan yang dihadapi, juga dihadapi oleh rumah tangga dengan kepala keluarga pria. Kalau dikatakan karena kurangnya akses ekonomi wanita, pendapat ini bisa gugur dengan fakta wanita di Timur Tengah yang berkecukupan tanpa harus bekerja. Bisa dikatakan bahwa tidak ada masalah wanita yang murni dapat dilihat hanya karena kewanitaannya saja.

Upaya pemecahan problema wanita yang selama ini dilakukan dengan mendasarkan pada fakta yang berbeda di tempat yang berbeda, tidak akan menuntaskan permasalahan. Karena akar permasalahan wanita pada dasarnya sama, dimanapun ia berada. Wanita diberbagai tempat dengan berbagai kondisi tetaplah merupakan bagian dari manusia, dengan kebutuhan dan naluri yang sama. Kondisi wanita yang berbeda diberbagai belahan dunia disebabkan oleh penerapan peraturan yang berbeda.
Sekiranya peraturan yang diterapkan di seluruh dunia untuk mengatur kebutuhan dan naluri manusia yang sama, tidak akan muncul masalah wanita yang beragam. Dan sekiranya peraturan yang dibuat sesuai dengan ‘kemanusiaan’ wanita, permasalahan wanita akan terselesaikan, tanpa melihat siapa yang menjalankan aturan. Dan tanpa menimbulkan permasalahan baru serta ketimpangan hubungan antara pria dan wanita. Akhirnya menjawab siapa ‘menjajah’ wanita dan siapa yang membuat wanita (secara umum) (di)miskin(kan), dapat kita katakan bahwa peraturanlah menimbulkan problematika wanita. Saya fikir, dari sinilah salah satu point kunci melihat, bahwa wanita merupakan “sosok” yang rentan dengan kemiskinan.

Dalam Laporan Pembangunan Manusia Nasional Indonesia 2004, United Nation Development Programme (UNDP) memperkirakan posisi perempuan Indonesia dengan memakai GDI (Gender-related Development Index) berada di urutan ke-91 dari 144 negara yang telah dihitung GDI-nya. Pengukuran ini membedakan antara laki-laki dan perempuan pada bidang-bidang kesehatan, pendidikan dan pendapatan. Angka GDI Indonesia adalah 59,2 dan menunjukkan bahwa tingkat melek huruf perempuan lebih rendah, lebih sedikit waktu mereka untuk sekolah dan memperoleh bagian pendapatan. Pendapatan hanya 38% untuk perempuan dan 62% diterima laki-laki. Padahal jumlah perempuan di Indonesia sekitar 104,6 juta orang atau lebih dari separoh total jumlah penduduk yang ada (208,2 juta jiwa). Akan tetapi kualitas hidup perempuan masih tertinggal dari kaum laki-laki. Masih sedikit peluang dan akses mereka dalam berpartisipasi dalam pembangunan dan akibatnya jumlah perempuan yang menikmati hasil pembangunan juga terbatas. Oleh karena itu, tanpa usaha penghapusan dikriminasi gender berbagai langkah dan upaya pengentasan kemiskinan tidak akan berjalan optimal.
Program pengentasan kemiskinan seharusnya memuat strategi dan langkah-langkah yang secara signifikan mengurangi jumlah perempuan miskin. Kesetaraan gender dan kesehatan reproduksi merupakan hal yang mutlak bagi terealisasinya Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) pada tahun 2015. Untuk itu setiap pemegang kepentingan harus berkomitmen membebaskan perempuan dari diskriminasi, kekerasan dan buruknya kondisi kesehatan yang dihadapi kaum perempuan setiap harinya. Ketidaksetaraan merupakan inefisiensi secara ekonomi, selain juga pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan membahayakan kesehatan.

Dalam teori sosiologi, kita kenal ada kemiskinan kultural dan struktural. Kemiskinan kultural ada bila ia telah menjadi sesuatu yang membudaya seperti adanya rasa malas, keengganan melakukan perubahan, atau sebagai perilaku yang dianggap lumrah. Sementara, kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terjadi karena cengkeraman sistem sosial maupun kekuasaan yang dzalim. Di sini budaya patriarki juga jadi sistem yang menguntungkan satu jenis kelamin dan membuat yang lain cenderung terdiskriminasi.

Saya lebih cenderung bahwa “pangkal bala” (pe)miskin(an) wanita tersebut merupakan kemiskinan structural, tanpa mengabaikan factor cultural. Namun, factor cultural ini, sejalan dengan mulai tingginya tingkat pendidikan, maka factor cultural ini akan terleminir dan tereduksi. Akan tetapi, sebagaimana yang saya paparkan dalam tulisan diatas, proses (pe)miski(nan) tersebut TERBUKTI karena factor kebijakan yang diambil oleh pemegang kebijakan (elite sosial politik).

Upaya penghapusan kemiskinan tidak akan berhasil dengan maksimal apabila perempuan belum bisa menikmati hak-hak sosial, budaya, ekonomi, dan politik secara penuh. Karena itu, kasus ini hanya akan bisa secara terselesaikan ketika kebijakan pendidikan, kesehatan reproduksi dan kesempatan ekonomi bagi wanita tidak diskriminatif.

1. Persamaan dan kesataraan di bidang pendidikan. Perlu disadari meskipun kesenjangan gender dalam pendidikan dasar antara anak laki-laki dan anak perempuan menyempit sejak tahun 1970, tetapi penyempitan kesenjangan itu berjalan lambat dan tidak merata, terutama di negara-negara paling miskin. Padahal, pendidikan dasar merupakan modal untuk mengembangkan kemampuan dalam mengembangkan keterampilan yang diperlukan di dalam aktivitas ekonomi yang semakin bersifat intensif-pengetahuan. Dalam konstitusi Indonesia, kesetaraan dan dan keadilan gender terungkap dengan menjamin hak setiap warga Negara untuk mendapatkan pendidikan tanpa membedakan jenis kelamin. Pasal 31 ayat 1 uud 1945 mengamanatkan bahwa “Semua warga Negara berhak mendapatkan pengajaran”. Hak untuk mendapatkan pendidikan tidak membedakan jenis kelamin. Seperti yang tercantum pada Dokumnen Deklarasi Dakar tentang pendidikan yang menyatakan: “Menghapus disparitas gender dalam pendidikan dasar dan menengah menjelang tahun 2005 dan mencapai kesetaraan gender dalam pendidikan menjelang 2015 dengan suatu fokus pada kepastian akses anak perempuan tehadap pendidikan dasar yang bermutu. Selain itu, jenjang pendidikan yang ditamatkan perempuan jauh lebih rendah daripada laki-laki. Ingat, syndrom cinderella complex.

2. Di bidang kesehatan, angka kematian ibu (AKI) yang disebabkan oleh kehamilan dan persalinan masih sangat tinggi. Intervensi strategis terkait dengan kesehatan reproduksi perempuan juga perlu dilakukan karena kesehatan reproduksi merupakan penyebab utama dari kematian perempuan usia 15-44 tahun.

3. Pendekatan makro ekonomi dan program pembangunan yang dilakukan sebagian besar masih mengabaikan kontribusi ekonomi perempuan. Padahal, perempuan di negara berkembang pedesaan bertanggung jawab atas 60-80 persen produksi bahan makanan. Dalam kesempatan ekonomi, akses perempuan terhadap pasar tenaga kerja menunjukkan kecenderungan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Keterbatasan perempuan dalam mengakses pasar tenaga kerja berlaku untuk semua tingkatan.
Dengan demikian peningkatan investasi terhadap perempuan khususnya dalam hal pendidikan, kesempatan usaha, HAM dan kesehatan reproduksi mutlak diprioritaskan. Setiap kebijakan pembangunan dan program penanggulangan kemiskinan yang dicanangkan haruslah mengintegrasikan kesetaraan dan keadilan gender. Jika hal itu terlaksana, cita-cita membebaskan jutaan orang dari kemiskinan, khususnya wanita, akan segera terlaksana.

Catatan penutup :
Makalah ini tidak begitu sistematis, lebih kepada mengkritisi secara “dangkal” kebijakan-kebijakan makro, bukan kasus per kasus. Semoga bisa dikembangkan dalam diskusi


DAFTAR BACAAN

Hendri Saparini, “Buruh Migran Wanita dan Persoalan Ketimpangan Ekonomi : Sebuah Taksonomi Sosi-Ekonomi”, dalam Kompas 12/8/2009

Fatima Mernisi, Kuntum Mawar dalam Kurungan, Bandung: Mizan, 2010

Wan Lathif Wan Mat, “Demokratisasi di Timur Tengah : Potensi dan Hambatan”, Haraqah Daily, 29 Oktober 2010

Emma Yohanna, “Wanita dan Keterlibatan dalam Pembangunan di Sumatera Barat”, Pidato pra-kampanye Calon Anggota DPD-RI 2009-2014, tanggal 11 Maret 2009.

www.ilhamfadli.blogspot.com/peran_politik_wanita/html

www.kalyanamitra.com/ungguh tanggal 22 Nopember 2010.

Selengkapnya...

Sabtu, 20 November 2010

Surau Sebagai Skriptorium Naskah Minangkabau : Studi Kasus Surau Paseban

Oleh : Dr. Ahmad Taufik Hidayat, M.Ag (Dosen Studi Naskah FIB-Adab)

Penelitian lebih awal mengatakan bahwa sebagian surau di Minangkabau diduga kuat pernah difungsikan sebagai skriptorium. Pengertian skriptorium di sini merujuk pada sebuah tempat penyalinan manuskrip. Menurut Rujiati Muladi, yang dimaksud dengan skriptorium adalah sebuah ruangan yang luas atau terdiri atas ruang-ruang kecil yang difungsikan untuk menyalin naskah dengan berbagai aturan ketat yang harus dipatuhi. Segala peralatan yang diperlukan di dalam skriptorium disediakan oleh seorang petugas khusus. Para petugas yang menyalin naskah tidak diperbolehkan mengubah sesuatu di dalam teks, walaupun ada kesalahan di dalam teks yang dihadapinya.


Pendahuluan
Pengertian yang diajukan Rujiati merujuk pada bentuk-bentuk skriptorium pada masa lalu, terutama yang berkembang pada kurun awal abad Masehi di Yunani, dimana aktifitas penyalinan manuskrip giat dilakukan. Pastinya sulit menemukan bentuk konkrit dari model skriptorium yang disebut Rudjiati, namun bukannya tidak mungkin pula bangunan Surau di Minangkabau pernah berfungsi sebagai dimaksud. Dalam hal ini, menarik untuk ditelusuri lebih jauh guna memperkuat dugaan-dugaan di atas, melalui telaah terhadap sebuah model Surau yang terdapat di Koto Tangah, Surau Paseban. Surau ini dipilih sebagai objek karena alasan adanya koleksi manuskrip yang relatif banyak dan menjelaskan adanya kontinuitas sebuah tradisi menyangkut skriptorium. Penting diajukan di sini bagaimana sesungguhnya sejarah sebuah skriptorium institusi keagamaan tradisional lokal yang memiliki banyak koleksi manuskrip.

Riwayat Singkat Syekh Paseban

Dari informasi yang dituturkan Imam Maulana Abdul Manaf Amin (murid Syekh Paseban) kepada muridnya Zul Asru Tuanku Rajo Basa disebutkan bahwa Syekh Paseban lahir pada tahun 1817 M di wilayah Koto Panjang, Koto Tangah Padang. Dahulu, wilayah ini masuk dalam kabupaten Padang Pariaman. Nama kecil beliau Karapiang, dengan gelar Sidi Alim. Beliau bersuku Piliang, sebuah konsul kekerabatan yang banyak menyebar di wilayah Pariaman dan sebagian Padang. wafat di Mekkah pada tahun 1937, dalam usia relatif sangat tua, 120 tahun. Rentang masa hidup Syekh Paseban bila dilihat dari perkembangan dinamika Islam di Minangkabau bertepatan dengan konflik paham keagamaan antara kaum Paderi dengan kalangan adat yang dibackup oleh ideologi tradisional Islam, antara 1831 hingga munculnya paham modernisme Islam Salafi pada awal abad XX. Dalam dinamika seperti itu, dimana terjadi beberapa gelombang pemurnian dan pembaharuan yang membentuk sikap beragama masyarakat Minang, Syekh Paseban hidup dan berkembang. Selain itu, pergesekan di tengah-tengah masyarakat juga diprovokasi oleh kehadiran pihak kolonial.

Keadaan sulit memunculkan kerinduan di masyarakat Koto Tangah akan hadirnya figur sentral yang tidak hanya berfungsi sebagai penyuluh, tetapi juga mampu menjembatani kepentingan-kepentingan masyarakat dalam situasi konflik. Namun sayang, tidak banyak yang dapat dikorek mengenai sejarah hidup beliau pada masa sebelum pergi menuntut ilmu. Sedikit informasi itu antara lain berkenaan dengan cerita-cerita mengenai tanda-tanda bahwa Syekh Paseban akan menjadi orang besar di kemudian hari. Salah satu cerita yang dituturkan oleh Buya Idris, cucu Syekh Paseban, menyebutkan bahwa pada suatu ketika semasa Syekh Paseban masih dalam gendongan ibunya, pernah datang seorang ulama dan mengatakan agar sang anak dipelihara dengan baik, karena kelak akan menjadi orang berpengaruh di tengah-tengah masyarakat. Menurut hemat penulis alasan inilah, dan berbagai tuntutan situasi ketika itu mengapa akhirnya orang tua Syekh Paseban mengirim beliau untuk belajar ke Tanjung Medan Ulakan Pariaman.

Peran Surau bagi Pembentukkan Karakter Islam Tradisional

Secara tradisional, ada dua arena pembentukkan karakter masyarakat Minangkabau, Surau dan lapau. Keduanya sangat berpengaruh besar dalam perkembangan mental masyarakat ini. Surau adalah lambang kesakralan mencerminkan sikap relijius, sopan santun serta kepatuhan kepada Allah, sedangkan lapau mencerminkan aspek keduniawiyan (profan) yang mengandung kekerasan, keberanian. Kecendrungan perkembangan anak-anak suku Minangkabau ditentukan dari banyaknya porsi waktu yang mereka habiskan sebagai bagian hidupnya sehari-hari dari kedua tempat ini. jika seorang anak lebih banyak berada di lapau tanpa pernah atau sekurang-kurangnya jarang mengaji di Surau, maka orang menyebut mereka parewa. Sebaliknya, jika waktu yang dihabiskan oleh seseorang lebih banyak di Surau, maka orang itu disebut urang siak atau pakiah.

Karena itu, dari aspek mental keagamaan, bagi masyarakat tradisional Minang, terutama kaum pria-nya, fungsi Surau jauh lebih penting dalam membentuk karakter mereka di kemudian hari. Selain untuk memperoleh informasi, juga dijadikan ajang bersosialisasi. Semenjak berumur 6 tahun, kaum pria telah akrab dengan lingkungan Surau. Struktur bangunan rumah tradisional orang Minang yang dikenal dengan rumah gadang memang tidak menyediakan kamar bagi anak laki-laki. Karena itu, setelah berumur 6 tahun, anak laki-laki di Minangkabau seperti terusir dari rumah induk. Hanya pada maktu siang hari mereka boleh bertempat di rumah guna membantu keperluan sehari-hari. Sedangkan pada waktu malam, mereka harus menginap di Surau. Selain karena tidak disediakan tempat, mereka juga merasa risih untuk berkumpul dengan urang sumando (suami dari kakak/adik perempuan) dan mendapat ejekan dari orang-orang karena masih tidur dengan ibu. Dalam ucapan yang khas, lalok di bawah katiak mande. Tetapi, di Surau mereka bukan sekedar menginap. Banyak aktifitas penting yang mereka lakukan di sana. Belajar silat, adat istiadat, randai, indang menyalin tambo dilaksanakan berbarengan dengan aktifitas keagamaan seperti belajar tarekat, mengaji, shalat, salawat, barzanji dan seterusnya. Karakter pembentukan Islam tradisional sesungguhnya berangkat dari aktifitas seperti ini.Demikian besar fungsi Surau bagi perkembangan generasi muda Minang pada masa lalu. Karena itu sungguh sebuah ironi, bila lembaga yang demikian strategis akhirnya mengalah pada perubahan.
Surau mewadahi proses lengkap dari sebuah regenerasi masyarakat Minang, sesuatu yang sulit dicari tandingannya dalam kultur manapun di dunia ini. Segala kebutuhan yang bersifat praktis, skill, kebijaksanaan, tutur kata dan tata krama yang diperlukan orang Minang pada masa dewasanya sebagian besar diperoleh di Surau. Adat budaya yang mengacu pada konsepsi alam takambang jadi guru yang melahirkan kebijkasanaan sehingga orang Minang harus tahu di nan-ampek (kato mandaki, kato manurun, kato mandata dan kato malereang), adalah bentuk kearifan yang diperoleh melalui pelatihan terpadu yang mengintegrasikan antara konsepsi ideologis dengan norma-norma budaya dan praktis lewat lembaga semacam Surau. Masyarakat tardisional yang di-back up oleh adat sangat kaya dengan prinsip-prinsip hidup semacam ini, sekedar menyebut contoh, misalnya untuk memberi i’tibar terhadap sikap tawadhu’ ada ungkapan ilmu padi, makin barisi makin marunduak.

Seiring dengan berkembangnya Islam, Surau menjadi aset yang dapat dipergunakan untuk menyebarkan dan mengenalkan konsep-konsep dasar Islam. Kedatangan Syekh Burhanuddin di penghujung abad ke-17 dengan mendirikan Surau di daerah Ulakan Pariaman menjadi titik awal dari terbentuknya karakter tradisional Islam hampir di seluruh wilayah penyebaran maupun pengaruhnya. Hal itu disebabkan karena kemampuan Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh Burhanuddin sangat mengakomodasi tradisi lokal. Aspek-aspek tasauf yang dikandung dalam ajaran ini—sebagaimana halnya dengan pengalama-pengalaman awal islamisasi di wilayah nusantara—memudahkan diterimanya Islam, karena memiliki kesamaan-kesamaan dengan ajaran Hindu/Budha yang telah terlebih dahulu dipraktekkan. Kedekatan emosional masyarakat Minang dengan Surau menjadi faktor kunci lestarinya pemahaman tradisional di ranah Minang dan buah dari sebuah interaksi antara dua kultur yang saling berdialog. Sudut pandang kelompok modernis terhadap Surau tradisional sesungguhnya melepaskan ikatan-ikatan kultural ini yang telah terjalin demikian lama sehingga memunculkan bentuk-bentuk Islam tradisi yang mapan di wilayah Minangkabau. Ada narasi sejarah yang terpenggal dari sudut pandang seperti ini, meskipun pada tataran kebutuhan praktis yang bersifat temporal, pembaharuan yang digaungkan Islam modernis patut diapresiasi juga. Pemaksaan atas narasi besar Islam Arabia (ideologisasi Islam seolah-olah hanya tipikal Arab-lah yang benar) di gelanggang persemaian Islam kultural tentu sulit diterima, apapun alasannya. Ada sekian proses-proses penyesuaian dalam narasi kecil Islam nusantara yang tidak harus dinilai sebagai bid’ah, kafir, jumud dan seterusnya. Dengan demikian, Surau dalam kerangka demikian—meminjam sebutan yang digunakan Nurcholish Madjid untuk Pesantren di Jawa—tidak hanya identik dengan makna keislaman, namun juga mengandung keaslian (indigenous) yang berangkat dari kearifan lokal. Dengan kata lain, masyarakat Minangkabau juga memiliki kearifan tersendiri ketika Islam hadir dan mengidentifikasi diri terhadap unsur lokal. Kemampuan Tarekat Syattariyah melakukan pendekatan dengan cara sufistik terhadap membuat islamisasi yang terjadi di wilayah Minangkabau tidak mengancam fondasi dasar masyarakat Minang, bahkan memperkaya elemen-elemen kultural yang ada.

Dari perspektif ini,Taufik Abdullah melihat bahwa pembentukan tradisi—sebagai sesuatu yang dilestarikan dari masa lampau—lebih dari sekedar persoalan legitimasi, namun juga menyangkut persoalan otoritas dan kewenangan. Sesuatu yang disebutnya sebagai paradigma kultural untuk melihat dan memberi makna terhadap kenyataan, yang tumbuh dari proses seleksi, dimana harapan berbenturan dengan kenyataan, dan kebebasan ekspresi harus mencari bentuk terbaik dengan keharusan-keharusan sturktural. Pada saaat itu, tradisi dapat dianggap sebagai seperangkat nilai dan sistem pengetahuan yang mengarahkan sifat dan corak komunitas. Dengan kata lain, menurut Abdullah, tradisi telah memberi kesadaran identitas serta rasa keterkaitan dengan sesuatu yang dianggap lebih awal. Mengikatkan diri kepada sumber atau person-person masa lalu adalah sebuah keharusan bagi tarekat Syattariyah bila ingin memperkenalkan Islam dalam struktur adat yang sudah terbentuk. Bukankah terbentang jarak yang sangat jauh antara wilayah Minangkabau dengan pusat Islam di Timur Tengah? Dan disepakati oleh para ahli sejarah bahwa pengenalan Islam ke wilayah ini bukan dengan wajah kekerasan. Lalu bagaimana Islam mengidentifikasi diri jika tidak dengan melakukan penyesuaian pada taraf tertentu terhadap tradisi yang diyakini secara kolektif oleh masyarakat lokal, sebagaimana ia harus mengidentifikasi diri sebagai bagian otentik dari dunia Islam meskipun terpencil ?

Sebagai kelanjutan dari menguatnya posisi agama dalam struktur adat Minangkabau, maka berakibat pula pada menguatnya kedudukan ulama dan guru-guru agama. Di bawah pengelolaan ulama-ulama tradisional, Surau-Surau melanjutkan peran-peran lamanya sebagai pusat pencerdasan masyarakat dengan warna tradisional yang kental.

Surau Paseban Sebagai Lembaga Islam Tradisional

Dengan latar belakang demikian Surau Paseban muncul mengemban corak tradisionalnya. Tidak ada yang meragukan bahwa pada saat Surau ini berdiri pada penghujung awal abad XX, model pendidikan Surau pada dasarnya sudah mulai kehilangan pamor karena dianggap kurang dinamis, meskipun tudingan ini tidak sepenuhnya benar. Mendirikan Surau pada saat demikian dari logika praktis misalnya, jelas akan kalah bersaing. Kenyataannya, kita berhadapan dengan sebuah kelompok keagamaan yang memiliki keyakinan yang begitu kuat untuk eksis.

Berdirinya Surau Paseban pada awal abad XX dianggap sebagai reaksi spontan masyarakat terhadap kebutuhan akan adanya institusi yang berfungsi sebagai pencerah di tengah-tengah masyarakat. Sejauh ini tidak dapat digali apakah alasan ini cukup masuk akal dalam konteks tahun itu. Sama tidak jelasnya, mengapa pada akhirnya Syekh Paseban yang berinisiatif atau ditunjuk sebagai pendiri sekaligus pemimpin, dan itu berarti guru spiritual bagi masyarakat setempat. Tetapi jika boleh dikatakan bahwa pengaruh paham pembaruan masih belum diminati atau belum banyak diketahui oleh masyarakat di sekitar Surau, maka pilihan untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan tradisional mungkin tidak terlalu berlebihan bila ada semacam tuntutan dari masyarakat. Tetapi di sini kita membicarakan sebuah institusi yang pada saat berdiri sudah tidak punya “bargaining” lagi dalam konteks persaingan dengan lembaga pendidikan yang ada. Lagipula kalangan pembaru sudah menjalankan misinya lebih dari satu abad, jika dihitung dari kemunculan gerakan pemurnian Paderi. Apakah sudah demikian terkonsetrasinya komunitas tradisional? Tidak diketahui dengan pasti. Di sini perlu peninjauan lebih jauh aspek-aspek apa saja yang berkemungkinan menjadi pendorong utama, dan yang benar-benar memiliki daya dorong tentunya, terhadap kemunculan Surau ini.

Pertama, dari pelacakan nama “paseban” diperoleh sejumlah informasi penting. Kata “paseban” mengandung pengertian tempat bermusyawarah, tempat mengadili perkara-perkara yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, baik persoalan perdata, pidana, ibadah, muamalah, moral dan sebagainya. Apapun persoalan yang muncul, selalu dibawa ke Paseban. Tetapi pengertian ini tidak banyak membantu dalam mengungkap latar pendirian Surau ini. Pengertian lain dari kata “paseban” yang diungkap oleh pewaris Surau, Buya H. Idris Adam dan beberapa tokoh masyarakat lainnya adalah penjara. Konon, persis di tempat bangunan Surau Paseban, pernah berdiri sebuah rumah tahanan. Pengertian kedua ini memiliki kesamaan dari segi makna, karena sama-sama mengandung arti tempat mengadili perkara, namun berlainan dari segi konteks historis yang melingkupi makna kata tersebut. Rumah tahanan yang berdiri sebelumnya menjelaskan sebuah dinamika politik antara pribumi dengan pihak kolonial, terkait dengan penggunaannya pada masa lalu. Dalam hal ini tentu tidak sulit menangkap kemungkinan-kemungkinan yang muncul. Sebagaimana disebut dimuka, Belanda memiliki agenda kebijakan-kebijakan di tanah jajahannya seperti monopoli perdagangan, tanam paksa, belasting yang pastinya akan mendapat respon keras dari masyarakat. Sebagai sebuah sikap antisipasi, penjara didirikan untuk membungkam pentolan-pentolan pembangkang yang tidak bersedia patuh kepada pihak kolonial. Ketika issu belasting diberlakukan banyak pihak dari pribumi yang merasa dirampas hak-hak mereka atas tanah dan harta mereka sendiri. Untuk menunjukkan sikap tidak senang dengan kebijakan ini, mereka melakukan pemberontakan dan pembangkangan. Dengan demikian, ditinjau dari aspek ini, maka berdirinya Surau Paseban mengandung sebuah kesadaran historis terhadap ketertindasan pada masa lalu, mempertahankan kekayaan sumber daya lokal dan konflik dengan kolonial. Bagian pertama ini akan dibicarakan dalam sub judul kondisi geografis dan demografis.

Kedua, faktor figur sentral di Surau Paseban, yakni Syekh Paseban sendiri. Sebagaimana termuat dari biografinya, Syekh Paseban agaknya memang digadang-gadang atau “disiapkan” untuk menjadi pemimpin masyarakat sekitar. Perjalanan hidup dan pengalaman menimba ilmu yang ditempuh Syekh Paseban telah menjaga mata rantai sebuah tradisi keilmuan tarekat Syattariyah. Hal ini akan ditinjau dalam pembahasan tentang jaringan keilmuan Syekh Paseban.

Ketiga, dari dinamika yang berkembang, perasaan terancam dari sebuah dinamika keagamaan yang terus mereduksi wilayah kelompok tradisional, terutama menyangkut paham keagamaan yang mereka yakini, menimbulkan semangat untuk membuktikan eksistensi bahwa pengajaran-pengajaran “lama” masih ada, dan itu dibuktikan dengan cara mendirikan Surau Paseban.

Surau Paseban Sebagai Skriptorium

Bersamaan dengan proses pemapanan Islam di wilayah ini pada abad ke-17 dan ke-18, Surau diduga digunakan oleh para ulama dan murid-muridnya sebagai skriptorium. Dengan demikian, di Surau-Surau-lah seharusnya para penulis menuangkan dan menyebarluaskan gagasan-gagasan keagamaan, terutama yang terkait dengan ajaran-ajaran mendasar Islam. Dalam konteks demikian, manuskrip adalah wujud nyata dari karya penulis dan menjadi media pembelajaran yang sangat efektif, terutama dilihat dari proses isalmisasi di Minangkabau. Berkaitan dengan ini, harus diakui bahwa sebagai institusi yang mengemban tugas pendidikan sekaligus penyebaran ajaran-ajaran keislaman, yang sumber-sumber ajarannya ditulis dengan bahasa Arab, Surau beserta orang-orang yang mengajar dan belajar di dalamnya adalah mereka yang terlebih dahulu mahir mengolah aksara, dalam hal ini aksara Arab.

Penggunaan aksara Arab dalam aktifitas tulis-menulis disebabkan terutama sekali karena masyarakat Minang termasuk dalam sebagian besar suku-suku di nusantara yang tidak memiliki sistem aksara. Kebudayaan Hindu yang meninggalkan sejumlah prasasti di wilayah ini memang dapat dijadikan bukti bahwa masyarakat Minangkabau telah tersentuh oleh budaya tulis baca sebelum Islam. Meskipun kebudayaan Hindu tetap bertahan hingga abad ke-15, tetapi tidak mewariskan budaya tulis terhadap masyarakat Minang dalam pengertian yang luas. Aksara Hindu hanya dipakai dan digunakan dalam lingkungan yang amat terbatas, yakni lingkungan elit kerajaan saja. Berbeda dengan aksara Arab yang dibawa Islam. Jauh sebelum keterlibatan ulama Surau dalam aktifitas tulis menulis, aksara ini telah diperkenalkan oleh pedagang-pedagang dan sekaligus pendakwah muslim melalui kitab suci al-Quran, kitab-kitab hadis maupun naskah-naskah keagamaan. Dan setelah dilakukan penulisan maupun penyalinan ulang oleh ulama-ulama Surau, masyarakat telah familiar dengan aksara ini, meskipun aksara tersebut dipakai untuk bahasa yang dikenal oleh masyarakat, yakni Melayu atau bahasa lokal dengan modifikasi tertentu dikarenakan ketidaksamaan ejaan antara bahasa Arab dan bahasa lokal.

Dengan pola kedekatan demikian, fungsi aksara Arab bagi masyarakat Minang menjadi demikian luas dan dinamis. Naskah-naskah yang termasuk ke dalam kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab sebagai bacaan keagamaan dalam konteks dakwah dan pendidikan Islam, termasuk dalam hal ini al-Quran, jelas dimaksudkan untuk disebarluaskan, diajarkan dan dibacakan kepada masyarakat yang tersentuh oleh dakwah Islam. Sedangkan naskah-naskah berbahasa Melayu atau berbahasa lokal tetapi menggunakan aksara Arab sebagai sistem kodenya, telah menjembatani antara kearifan lokal dengan nilai-nilai keislaman dalam karya tertulis. Karena itu, tidak mengherankan secara bertahap namun pasti, aksara Arab pada akhirnya menggeser aksara Hindu sebagai sebuah kebudayaan yang tidak sempat berkembang di wilayah ini.
Kemampuan yang mereka miliki dalam hal ini turut membawa dampak bagi kesusasteraan lokal non-keagamaan yang sebelumnya—kecuali hikayat —ditradisikan melalui lisan. Sebagai konsekuensinya, tradisi lokal ini pun pada akhirnya tidak terlepas dari pengaruh Islam, tidak saja terlihat dari aspek aksara yang digunakan, tetapi juga dari perubahan karakter tokoh-tokoh yang diceriterakan, alur cerita serta penambahan materi yang sesuai dengan keinginan penulis.

Secara lebih spesifik, penulisan dan penyalinan manuskrip di Surau erat kaitannya dengan pewarisan sumber-sumber rujukan kalangan tradisi. Kata “tradisional” pada aspek tertentu mengandung penegasan adanya transmisi literatur keagamaan dari generasi ke generasi. Dalam hal ini, Surau-Surau berbasis tarekat Syattariyah yang melaksanakan penulisan manuskrip-manuskrip keagamaan pada masa lalu mengemban proses ini. Fathurahman menegaskan bahwa, Tarekat Syattariyah di nusantara dengan persebaran manuskrip-manuskripnya dapat menjelaskan matarantai keilmuan dan saling keterhubungan guru dan murid komunitas ini. dalam konteks itu, demikian Fathurahman, Surau Paseban tergolong produktif melahirkan manuskrip. Pada saat sekarang jejak-jejak produktifitas Surau Paseban dalam melahirkan naskah masih terlihat. Berdasarkan pendataan di lokasi dugaan-dugaan tersebut terlihat realistis. Terdapat 29 manuskrip dengan berbagai kondisi. Jumlah ini merupakan sebagian saja dari keseluruhan naskah yang pernah ada di Surau itu. Menurut salah satu sumber dari Surau Paseban menyebut angka 40. Konon, menurut informasi sumber tersebut, banyak diantara murid ataupun kerabat yang membawa serta diantara manuskrip-manuskrip itu meskipun tidak ada izin dari Syekh Paseban sendiri. Akibat dari pelanggaran demikian, orang yang membawa manuskrip-manuskrip itu mengalami berbagai musibah. Diluar konteks magis seperti itu, keterangan ini sedikit menjelaskan harga sebuah manuskrip bagi komunitas Surau ini pada masa lalu dalam kehidupan sosial keagamaan mereka.

Adanya dugaan bahwa Surau Paseban dijadikan sebagai tempat menulis naskah boleh jadi benar. Beberapa petunjuk dari hasil pengamatan langsung, agaknya memperkuat dugaan itu. Namun batasannya tidak terlalu kaku, terutama terkait dengan tokoh, tempat dan waktu penulisan atau penyalinan naskah. Biasanya informasi mengenai hal-hal itu diperoleh dari kolofon, namun sayangnya tidak semua penyalin menyertakan kolofon dalam kitab yang mereka tulis. Dari keseluruhan koleksi manuskrip yang ditemukan di Surau Paseban, terlihat adanya perbedaan dari segi karakter huruf dan jenis kertas. Petunjuk ini sedikit mengarahkan adanya sejumlah orang yang terlibat dalam aktifitas penulisan.

Menurut informasi yang berkembang di lokasi, secara garis besar koleksi yang terdapat di Surau Paseban dapat dipilah menjadi tiga bagian. Pertama, manuskrip-manuskrip yang dibawa oleh Syekh Paseban dari Surau-Surau tempat beliau mengajar. Kedua, manuskrip-manuskrip karangan Syekh Paseban sendiri ataupun salinan dari kitab-kitab terdahulu, dan ketiga, manuskrip-manuskrip yang dikarang atau disalin ulang oleh para murid, baik ketika menetap di Surau, maupun setelah tamat belajar di Surau dan mendirikan Surau di tempat masing-masing. Keterangan dari pewaris Surau dan guru-guru dari generasi sekarang hanya menyebut bahwa sebagian manuskrip-manuskrip itu dibawa oleh Syekh Paseban dari Surau Padang Gantiang dan Surau Pakandangan tempat dimana Syekh Paseban pernah menimba ilmu. Sebagian lain, menurut asumsi ini tentu ditulis oleh Syekh Paseban dan murid-muridnya di Surau Paseban sendiri. Sebagaimana maksud dari penelitian ini, keterangan atau asumsi ini akan ditinjau lebih jauh lewat telaah kodikologis.

Dari segi penggunaan bahasa, pada umumnya kitab-kitab yang terdapat di Surau ini menggunakan aksara dan bahasa Arab. Pada bagian pinggir lembaran naskah—yang biasanya ditulis untuk menjelaskan teks inti (syarah), baik berupa terjemahan dari kata-kata tertentu maupun berupa penjelasan panjang dari sebuah gagasan—sering dijumpai akasara Arab berbahasa Arab Melayu. Terkadang aksara Arab dengan bahasa Melayu ini ditulis terpisah pada beberapa lembar. Barangkali bentuk interpretasi dari seorang atau beberapa murid ketika menerima pelajaran dari guru ketika aktifitas pengajaran berlangsung. Untuk sekelompok manuskrip, model penulisan, termasuk dalam hal ini karakter huruf yang digunakan, memperlihatkan banyak kesamaan. Harusnya, keseragaman ini dapat menggiring pada kesimpulan adanya seorang penyalin naskah yang sangat aktif pada masa aktifitas pengajaran di Surau Paseban masih berlangsung atau pada masa Syekh Paseban masih hidup. Guratan-guratan pada sisi pinggir teks yang berbahasa Arab Melayu setidaknya menjelaskan difungsikannya teks pada masa itu.

Dari segi jumlah, manuskrip yang ada saat ini di Surau Paseban berjumlah 29 manuskrip dengan berbagai kondisi. Namun jumlah tersebut menurut keterangan Imam Maulana Abdul Manaf Amin, jumlahnya ratusan. Manuskrip yang disebutnya kitab-kitab tersebut tersimpan di mihrab Surau dan tidak diperbolehkan untuk dibawa keluar. Bagi murid-murid atau orang lain yang ingin membaca dan menyalin isi naskah, maka harus dilakukan di dalam mihrab tersebut. Gambaran tentang keberadaan kitab-kitab (manuskrip) di Surau Paseban dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

“Di atas sudah kita terangkan bahwa, sesudah sekalian kitab, sudah dijemur, kemudian diletakkan kembali ke tempatnya di mihrab. Maka beliau beramanat ketika itu kepada orang banyak yang kata beliau “Siapa orang yang hendak kitab aku ini tidak boleh dilarang, tetapi isinya yang boleh diambil yang kitabnya tidak aku izinkan dan tidak aku ridhokan melampaui pintu muka.” Arti amanat beliau, siapa yang mau kitab beliau itu salinlah di mihrab, tidak boleh dibawa ke luar. Oleh karena amanat beliau itu begitu bunyinya, maka mufakatlah pengurus supaya kitab ini terpelihara jangan berserak. Maka dibuatlah bilik dalam mihrab, sekalian kitab beliau disimpan di dalam yang tukangnya Khatib Muhammad Nur, anak beliau dan saya sendiri sama membantu tukang.

Setelah kamar selesai dibangun, sekalian kitab disimpan di dalamnya. Kamar itu tidak boleh dibuka, kecuali ada orang hendak melihat atau menyalinnya. Kuncinya terpegang kepada satu tangan orang yang tetap disuruh setelah orang kembali dari Mekkah. Maka pakaian beliau yang dibawa dari Mekkah, diletakkan di atas kasur tempat duduk beliau mengajar di dalam kamar mihrab. Kasur dan pakaian beliau itu dianggap orang sebagai makam beliau. // Orang-orang yang teragak dengan beliau ke Surau dan pakaian itulah kini menemui beliau kamar itu. Dibuka selain yang yang dua ini yaitu penyalin sepeninggal beliau Syekh Paseban, Inyiak Adam mendirikan Sekolah Rakyat Al-Islamiyah di muka Surau Gadang, Kota Panjang dan ada kantornya. Pada suatu hari, Inyiak mengadakan rapat di rumah sekolah itu. Saya dan kakak saya Buya Gafur diundang menghadiri rapat itu. [Saya] Sebelum memasuki sekolah, saya menengok dahulu ke kantor sekolah, saya tercengang karena melihat empat kitab besar yaitu kitab Nahayah, kitab Syekh Paseban. Saya terheran mengapa kitab ini dibawa Inyiak ke sini? Padahal amanah beliau tidak diiizinkan melampaui pintu muka, ini berada di sini, telah jauh dari Surau, telah melanggar amanah beliau. Kemudian pada tahun 1986 Masehi Inyiak Adam mengadakan maulid di Surau Paseban. Beliau undang Buya Haji Bahar dan Buya Haji Salim dari Candung. Buya Haji Muhammad dari Jaho, Padang Panjang, Buya Batang dan saya dari Batang Kabung. Buya Syafi’i saya dan Pakih Rifin. Buya haji Bahar dan Buya Haji Salim di Surau Usang, Buya Dalil dan kami ditempatkan di Surau Baru karena Buya Dalil dan Buya Bahar tidak cocok. Di Surau Baru ada almari berisi kitab, saya perhatikan kitab itu kitab Angku Paseban, waktu Inyik akan menaik Surau itu saya berkata kepada Buya Dalil “Kitab ini tidak diizinkan beliau melampaui pintu muka.” Maka setelah Inyiak duduk, dia berkata kepada Buya Dalil “Begitu Buya perkataan // Khatib itu betul, yang dimaksud beliau itu tidak boleh melampaui pintu muka Artinya kitab itu hendaklah dipelihara, jangan disia-siakan, inikan terpelihara terletak dalam lemari yang terkunci tidak tersia-sia.” Maka saya diam saja kalau saya jawab “Yang ini betul dalam almari, tetapi yang di kantor sekolah bagaimana?” kalau saya jawab begitu mungkin beliau marah pada saya itu saya diam saja.

Sekarang kamar itu tidak terawat lagi, kadang berkunci kadang-kadang tidak dan telah menjadi tempat tidur dan kitab-kitab beliau itu telah berserak letaknya dan ada yang diambil orang. Ini menurut pendapat saya, telah melanggar amanah beliau bagaimana sebenarnya? Sudah habiskah kepercayaaan kita terhadap beliau? Sudah dipandang leceh, sudah dipandang enteng saja kata-kata beliau itu. Inilah yang saya resahkan dan menjadi perasaan di jiwa saya.”

Dari kutipan di atas diperoleh keterangan penting bahwa koleksi yang dimiliki Surau ini telah banyak dibawa keluar oleh murid dan keturunan Syekh Paseban sendiri. Kecuali beliau, murid-murid yang lain agaknya kurang memahami arti penting menjaga koleksi manuskrip warisan sang guru. Belakangan, peran menjaga koleksi itu diteruskan oleh Zul Asri, murid dari Imam Maulana. Sebagaimana gurunya, Zul Asri sendiri sangat menghargai manuskrip yang tersisa. Ada semacam penghormatan yang mendalam terhadap sosok Syekh Paseban.
Dari ke 29 koleksi manuskrip yang ada di Surau Paseban di atas sedikitnya menjelaskan beberapa hal:
Pertama, dari sisi penguasaan keilmuan, patut diduga bahwa Syekh Paseban lebih menguasai ilmu Fiqih berdasarkan komposisi koleksi naskah di Surau tersebut. Jika keterangan dari Imam Maulana di atas benar, dimana banyak naskah yang dibawa ke luar dan dimiliki secara pribadi maupun lembaga oleh oknum murid-murid beliau, maka dugaan ini bisa saja mentah kembali, tentu saja karena kemungkinan adanya manuskrip lain yang lebih banyak (misalnya tasauf/tarekat, tafsir, mantiq dan sebagainya).
Komposisi naskah berdasarkan telaah di lokasi dapat dilihat dalam tabel berikut:
No Tema Naskah Klasifikasi Pembidangan Keilmuan Jumlah
1 Fiqih/Ushul Fiqh Hukum Islam 13
2 Nahwu/Balaghah Bahasa/Sastra 8
3 Tafsir Pemahaman terhadap makna dan arti ayat al-Quran 5
4 Tauhid/Ushul al-Din Ketuhanan 2
5 Lain-lain Tidak teridentifikasi 1

Dari tabel dan uraian di atas tidak ditemukan satu pun naskah yang berkaitan dengan tashauf atau pun tarekat. Padahal seperti diterangkan sebelumnya, Surau Paseban pelanjut dari tradisi tarekat Syattariyah di Minangkabau yang hingga hari ini masih diberlangsungkan oleh penerus atau murid-murid beliau. Di sini penjelasan Imam Maulana di atas menjadi penting untuk kembali melakukan pelacakan terhadap naskah-naskah lain (terutama bidang tasauf dan tarekat) yang dikoleksi oleh oknum murid.
Kedua, koleksi manuskrip yang ada menggambarkan sebuah model transmisi keilmuan Syekh Paseban berupa kepemilikan kitab-kitab keagamaan yang dibawa dari tempat beliau pernah menuntut ilmu. Di antara kitab-kitab yang dideskripsikan di atas, hanya satu yang hampir dapat dipastikan disalin di Surau Paseban oleh seorang bernama Amânullah al-Fariyâmani (kitab Itmâm al-Dirâyah li Qirâ’ah al-Nuqâyah). Hal itu berkenaan dengan keterangan di dalam kolofon mengenai tempat diselesaikannya manuskrip ini (Koto Tangah). Selebihnya berkemungkinan besar dibawa dari Surau-Surau tempat beliau menuntut ilmu. Meski hanya satu nama yang ditemukan, namun dugaan bahwa Surau ini pernah dijadikan sebagai skriptorium—dalam pengertian sebagai tempat menyalin naskah—boleh jadi benar. Sejauh ini tidak ada petunjuk lain yang berkenaan dengan kiprah kepenulisan al-Fariyâmani dalam tradisi tulis di Surau Paseban, dan Surau-Surau berbasis tarekat Syattariyah lainnya. Tetapi dari aspek kesamamaan karakter tulisan dapat diajukan dugaan bahwa orang dimaksud mungkin ditugaskan untuk menyalin kitab-kitab di Surau ini. Corak dan model karakter huruf kitab Itmâm al-Dirâyah li Qirâ’ah al-Nuqâyah yang disalin oleh al-Fariyâmani memiliki kesamaan dengan naskah-naskah:
MM.04.Paseban.10;MM.04.Paseban.11;MM.04.Paseban.12;MM.04.Paseban.13;MM.04.Paseban.14;MM.04.Paseban.15;MM.04.Paseban.16;MM.02.Paseban.01;MM.02.Paseban.02;MM.02.Paseban.03;MM.02.Paseban.04;MM.02.Paseban 05;
Pada manuskrip kitab Nahu Muqaddimah fi ‘ilm al-‘Arabiyah dengan nomor katalog MM.09 Paseban 22, ditemukan jenis huruf dan nama penyalin yang berbeda. Seperti diterangkan dalam bagian deskripsi (lihat naskah nomor 14 dari urutan deskripsi), di bagian kolofon disebutkan bahwa penulis atau penyalin adalah Imam Khatib Marah (dari) Negeri Fansur. Keterangan kolofon adalah satu-satunya petunjuk, terutama mengenai nama penyalin, bahwa manuskrip ini memang tidak ditulis di Surau Paseban. Sangat berkemungkinan manuskrip ini dibawa dari Tanjung Medan Ulakan, tahap-tahap awal Syekh Paseban menimba ilmu keagamaan dalam perjalanan pendidikannya. Ilmu Nahu sendiri merupakan kunci utama dalam mempelajari kitab-kitab keagamaan dan tentunya sangat mempengaruhi penguasaan materi sang murid pada tahap-tahap selanjutnya. Pada kitab al-Bakri (MM.04. Paseban 20) juga memunculkan nama penyalin, Khatib Intan Orang Negeri Rajo. Namun tidak ada kejelasan tempat persis ditulisnya kitab, sehingga menyulitkan pengidentifikasian.

Ketiga, dari keterangan tanda air (watermark/countermark) dalam kertas-kertas yang digunakan sebagai media penyalinan kitab, menjelaskan bahwa naskah-naskah ini berusia cukup tua. Informasi itu dapat dilihat dari tabel berikut:
No Nama watermark/countermark Negara Produsen Tahun pembuatan/penggunaan keterangan
1 Pro Patria J.H/J.H. Hessel Belanda 1778 2 Manuskrip
2 Pro Patria/B.H. Pasman Belanda 1808 2 Manuskrip
3 Pro Patria/G.R Belanda 1776 5 Manuskrip
4 Pro Patria/FKP - - 1 Manuskrip
5 Pro Patria/JHA - - 1 Manuskrip
6 Pro Patria/HV Belanda 1632-1634 1 Manuskrip
7 J. HONIG & ZOON Belanda 1737-1787 1 Manuskrip
8 Pro Patria/HIVD Elden - - 1 Manuskrip
9 Pro Patria/J.H & Z HONIC - - 1 Manuskrip
10 Pro Patria - - 1 Manuskrp
11 Pro Patria/VDL Belanda 1734 1 Manuskrip
12 Foolscap/DS Belanda Awal abad ke-17 1 Manuskrip
13 Kertas lokal - - 6 manuskrip
14 Tidak teridentifikasi - - 3 Manuskrip

Keterangan tahun pembuatan/penggunaan kertas di dalam tabel masih harus dikonversikan dengan perkiraan penggunaannya di wilayah minangkabau. Jika kertas dibawa dari pabrikan Eropa ke wilayah ini dengan menggunakan transportasi yang umum waktu itu (misalnya kapal) setidaknya memakan waktu dua sampai tiga bulan. Belum lagi persoalan teknis birokrasi kerajaan, distribusinya di wilayah nusantara hingga digunakan oleh para penulis dan penyalin. Mungkin benar perkiraan yang menyebutkan bahwa kertas-kertas Eropa yang datang ke wilayah ini memakan waktu 15 tahun ke tangan para penulis dan penyalin naskah. Jika diperkirakan Surau Paseban telah memulai aktifitas sekitar penghujung abad ke-19, maka berdasarkan data-data cap kertas yang ditemukan, agaknya naskah-naskah itu telah lebih dahulu hadir di Surau-Surau tempat beliau belajar, sebelum akhirnya mendirikan Surau, hal mana sedikitnya berhubungan dengan kesimpulan kedua di atas, bahwa pada dasarnya koleksi naskah-naskah tersebut kebanyakan tidak ditulis di Surau Paseban.
Keterangan usia kertas agaknya dapat membantu identifikasi penanggalan dalam kolofon. Kitab al-Minhâj misalnya disebutkan selesai ditulis pada tanggal 30 Rajab 1125 H/22 Agustus 1713 M. Sedangkan dari pengamatan watermark/countermark kertasnya produksi Pro Patria/GR yang berangka tahun 1776 M. Tidak mungkin ia ditulis sebelum kertas yang digunakan belum disediakan. Perbedaan mencolok juga terlihat pada kitab Muqaddimah fi ‘Ilm al-‘Arabiyah. Di dalam kolofon disebutkan bahwa kitab ini selesai disalin pada bulan Dzul Hijjah 1100 H/Oktober 1689. Padahal naskah ini menggunakan kertas Eropa dengan watermark/countermark Pro Patria/J Honig & ZOON yang diproduksi sekitar tahun 1737-1787. Malah situs data base watermark lain mendaftarkan merek ini sebagai kertas produksi tahun 1750-1799.
Informasi yang mengandung kesesuaian diperoleh dari kitab Hâdi al-Muhtâj fi Syarh al-Minhâj. Disebutkan bahwa kitab selesai disalin pada bulan Dzul Hijjah tahun 1201/September 1787. Sedangkan kertasnya adalah Pro Patria/GR yang diproduksi sekitar tahun 1776. Terdapat jarak 11 tahun dari masa kertas diproduksi hingga sampai ke tangan penyalin naskah.
Meski terdapat kejanggalan antara pengakuan penyalin dengan tahun produksi kertas pada beberapa naskah, tetapi secara umum, bahwa naskah-naskah ini berangka tahun lebih tua (dengan rentang penulisan 1632-1808 berdasarkan cap kertas dan keterangan kolofon) dari Surau Paseban dan Syekh Paseban sendiri jelas mendukung pendapat di atas, di mana pada umumnya naskah-naskah tersebut memang dibawa ke Surau Paseban, dan bukan lahir di Surau Paseban.
Keempat, ditinjau dari judul-judul naskah dan nama pengarang mempertegas bahwa Surau Paseban melanjutkan sebuah tradisi keagamaan dalam mazhab Syafi’i. Di antara nama-nama penting yang terungkap dalam naskah antara lain Abu al-Qâsim ‘Abd al-Karîm al-Fadhl Ibn al-Hasan al-Râfi’i al-Syâfi’i (w. 623 H/1266 M), Mahyu al-Dîn Abû Dzakariyâ Yahya Ibn Syaraf al-Nawawi (w. 676 H/1277M), Muhammad ibn ‘Abd al-Rahmân ibn al-Hasan Tâj al-‘Ârifîn al-Bakry al-Shiddîq al-Syâfi’i al-Asy’ari dalam bidang Fiqih; Abdullâh Jalâl al-Dîn Muhammad Ibn Yusuf Ibn Hishâm al-Anshâri (708 H -761 H/1308 M-1359 M), Jalâl al-Dîn al-Qazwîn (w.739 H/1338 H), dalam bidang tata bahasa Arab (terutama nahwu); Imâm Jalâl al-Dîn Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalli al-Syâfi’i (791 H-864 H/1388 M-1459 M), dalam bidang tafsir; dan al-Imâm al-‘Allamah Mazîd al-‘Ish Jalâl al-Dîn al-Suyûthi al-Syâfi’iy (849 H-911 H/1445 M-1505 M), dalam bidang tauhid dan ushûl al-dîn.
Meski hanya sedikit nama pengarang yang bisa terkuak di lokasi, namun beberapa nama merupakan tokoh kunci dalam penyebaran mazhab al-Syâfi’i. Di sini akan dikupas dua nama penting dalam bidang Fiqih. Abu al-Qâsim al-Râfi’i, dapat dianggap penulis utama dalam barisan keilmuan dan keulamaan mazhab Syafi’i yang karya-karyanya banyak menjadi rujukan oleh ulama-ulama pada masanya dan sesudahnya. Hadirnya karya al-Râfi’i di Surau Paseban merupakan bukti penting bagi pengungkapan sumber awal pengajaran mazhab Syafi’i di ranah lokal. Sebagai tokoh penting dalam literatur fiqih bermazhab Syafi’i, al-Râfi’i telah meletakkan tonggak baru dalam perujukan sumber-sumber mazhab ini. Kapasitas al-Râfi’i dalam bidang ini dilanjutkan kemudian oleh Mahyu al-Dîn Abû Dzakariyâ Yahya Ibn Syaraf al-Nawawi, tokoh yang karyanya juga terlacak di Surau Paseban. Sebagaimaman al-Râfi’i, al-Nawawi juga melahirkan karya-karya yang menjadi sandaran dalam penulisan ataupun penyalinan kitab-kitab fiqih mazhab Syafi’i pada masa-masa berikutnya.
Keterangan ini juga membuktikan bahwa, sepanjang menyangkut pengajaran keagamaan umum, ulama lokal semisal Syekh Paseban tidak melakukan interpretasi ulang terhadap sumber-sumber utama mazhab Syafi’i. Manuskrip keagamaan yang hadir di Surau ini lebih bersifat salinan ulang dengan model yang lebih ringkas dari kitab aslinya. Tidak sebagaimana yang dilakukan oleh al-Râfi’i maupun al-Nawawi terhadap literatur yang lebih terdahulu, dimana, selain meringkas mereka menjalankan proses kreatif dalam menyeleksi sumbe-sumber dan melakukan pen-tashih-an terhadap sumber-sumber yang dianggap benar. Mengutip Calder, Ahmad Baso memberi alasan bahwa hal itu lebih disebabkan kepada prinsip diakronik dalam bermazhab, dimana pengikut mazhab, dalam hal ini ulama mazhab Syafi’i, akan selalu menjaga loyalitasnya terhadap tradisi dengan menghargai prestasi-prestasi yang telah dicapai ulama-ulama pendahulu mereka.
Keempat point di atas merupakan sifat-sifat khusus dari koleksi manuskrip di Surau Paseban. Penelusuran aspek fisik terhadap koleksi naskah Surau ini, tentunya diluar dari naskah-naskah yang ditulis oleh Imam Maulana Abdul Manaf Amin, murid Syekh Paseban yang telah disebut di muka. Corak penulisan dan koleksi yang dimiliki oleh Imam Maulana relatif berbeda dengan apa yang ditemukan di Surau ini. 22 naskah yang ditulis oleh Imam Maulana, diakui sebagai bentuk kreatifitas, dimana ia mmerangkum dari berbagai sumber, termasuk dari manuskrip yang dimiliki oleh Syekh Paseban sendiri. Secara umum, karya-karya Imam Maulana terbagi dalam berbagai tema keagamaan: tasauf, fiqih, sejarah amalan-amalan tradisional. Kitab-kitab yang ditulis oleh Imam Maulana Amin al-Khatib pada umumnya menggunakan bahasa Arab Melayu dengan aksen bahasa sedikit berbau Minang. sebagian besar manuskrip tulisan beliau saat ini tersimpan di Surau Surau Nurul Huda Subarang Air Batang Kabuang Koto Tangah, tempat dimana ia melanjutkan aktifitas menulis hingga akhir hayatnya yang terletak sekitar 5 km arah Utara dari Surau Paseban. Karakter hurufnya terlihat khas, mudah dikenali dan dapat dibaca dengan baik. Terkadang, sebagian kopian dari manuskrip-manuskrip peninggalan beliau dibawa ke Surau Paseban, serta Surau-Surau lain yang menjadi konsentrasi penyebaran ajaran-ajaran Syekh Paseban.

Sebuah naskah Fiqih versi kopian yang ditulis oleh Imam Maulana Abd al-Manaf Amin al-Khatib

Karangan-karangan Imam Maulana ditulis berupa saduran, ringkasan atau kesimpulan dari gagasan-gagasan yang terdapat dalam kitab-kitab peninggalan Syekh Paseban, dan catatan dari ajaran-ajaran Syekh Paseban sendiri yang disusun berbentuk kitab.
Aktifitas penulisan Imam Maulana sesungguhnya terletak pada upaya penjabaran kembali nilai-nilai tradisional, terutama dalam hal ini kelompok yang dinamakan penganut tarekat Syattariyah dalam sebuah dunia yang mulai berubah. Ada semacam spirit untuk memberi interpretasi baru dalam menyebarkan gagasan-gagasan yang secara tradisional dikembangkan oleh para pendahulu mereka. Spirit itu terlihat jelas dari karya-karya tulisan Imam Maulana yang hingga saat ini masih dibacakan di Surau-Surau yang didirikan oleh murid-murid Syekh Paseban. Selain penyederhanaan dari segi isi, uraian juga disampaikan dalam bahasa Arab Melayu, agar kendala-kendala dalam memahami kitab-kitab berbahasa Arab dapat diatasi. Untuk alasan-alasan di atas tulisan-tulisan Imam Maulana penting untuk dijadikan alat pembacaan terhadap konteks sejarah manuskrip yang ada di Surau Paseban.
Koleksi manuskrip yang terdapat di Surau Paseban memiliki arti penting guna melihat dinamika transmisi dan kesinambungan ajaran-ajaran keislaman pada awal abad XX. Dalam ranah yang lebih luas, koleksi-koleksi serupa juga banyak tersebar di wilayah Minangkabau. Terkait dengan issu penolakan terhadap paham pemurnian dan pembaharuan, secara umum naskah-naskah keagamaan yang diajarkan di Surau-Surau Minangkabau relatif seragam. Demikian pula sifat-sifat koleksi manuskrip yang terdapat di Surau-Surau pada awal abad XX, tidak banyak ditulis di Surau, melainkan dibawa dari tempat belajar sebelum mendirikan Surau.

Penutup

Surau Paseban yang dijadikan sebagai studi kasus, diketahui memiliki sedikitnya 29 manuskrip dalam berbagai cabang keilmuan. Melalui pembacaan fisik naskah diperoleh kesimpulan bahwa keberadaan manuskrip di Surau merupakan bukti adanya aktifitas penyalinan dan distribusi kitab yang menjadi salah satu model transmisi ajaran-ajaran keislaman pada masa lalu, terutama memasuki awal abad XX. Sedikitnya hal itu mengindikasikan bahwa Surau tersebut pernah dijadikan sebagai skriptorium pada masa lalu. Hal itu didukung pula oleh adanya kesamaan beberapa manuskrip dari aspek tulisan dengan manuskrip yang memuat nama penyalin. Oleh karena itu, di sini dapat digagas bahwa Surau Paseban memang pernah dijadikan sebagai tempat menyalin naskah. Dari studi ini dapat pula diketahui kontinuitas dari sebuah mazhab melalui identifikasi nama-nama pengarang yang terdapat di dalam manuskrip-manuskrip tersebut. Berdasarkan penelitian ini, Surau Paseban telah memainkan peran penting dalam proses transmisi ini dengan secara aktif memainkan peran penghubung Islam tradisional pada awal abad XX dengan masa-masa sebelumnya melalui pengadaan manuskrip dan sekaligus pengajarannya di Surau. Berangkat dari hal tersebut, koleksi manuskrip yang ada di Surau Paseban merupakan gambaran tidak langsung dari penguasaan materi-materi keagamaan yang dimiliki oleh seorang Syekh.
Hasil penting lainnya dari penelitian terhadap fisik naskah adalah keterangan yang dperoleh dari cap air kertas. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa manuskrip-manuskrip yang terdapat di Surau Paseban berusia cukup tua, antara 1632-1808 M.
Selain itu, melalui penggalian terhadap manuskrip di Surau Paseban dan perjalanan keilmuan Syekh Paseban juga diperoleh infomrasi penting bahwa standar keilmuan ulama pada masa lalu dalam tradisi keulamaan yang diajarkan melalui wadah Surau sangat komplek. Penguasaan kitab-kitab keagamaan dan didukung oleh ilmu-ilmu alat yang kuat, terbukti mampu melahirkan generasi ulama dengan kualitas yang kuat berupa wawasan dan pengetahuan yang luas. kelengkapan materi keagamaan di Surau yang terekam dalam koleksi manuskrip yang ada membuktikan hal itu.
Penelusuran terhadap koleksi manuskrip di sebuah Surau, ada sejumlah saran yang perlu penulis kemukakan:
1. Perlu terus dilakukan pelacakan terhadap sumber-sumber manuskrip keagamaan yang ada di tangan pribadi agar penelitian terhadap koleksi sebuah Surau dapat dilakukan secara utuh. Apalagi di tengah kian semaraknya perhatian banyak pihak sepanjang hampir satu dekade ini terhadap keberadaan manuskrip-manuskrip keagamaan. Manuskrip-manuskrip di tangan pribadi yang dibawa dari Surau sulit diakses dengan berbagai alasan. Untuk upaya ini, perlu dijalin kerjasama dengan berbagai stakeholder yang melibatkan pihak universitas (dalam hal ini Universitas Andalas, UNP, Universitas Bung Hatta dan lain-lain), IAIN, Departemen Agama RI (dalam hal ini Badan Litbang Lektur Keagamaan Departemen Agama RI), Perpustakaan Wilayah, Pemerintah setempat dan masyarakat luas guna mensosialisasikan pentingnya arti manuskrip bagi kehidupan masyarakat luas.
2. Berangkat dari pembacaan terhadap koleksi manuskrip yang ada di Surau Paseban terlihat sejumlah penguasaan materi-materi keagamaan pada masa lalu di Surau, dan oleh karenanya penting direkosntruksi dan direvitalisasi kembali bagi perumusan program Pemerintah dalam menggalakkan upaya “kembali ke Surau”. Hal itu tentu saja disertai dengan semangat membenahi kembali situs-situs Surau yang kondisinya kian hari kian memprihatinkan.
3. Dari aspek lain, ketersediaan manuskrip-manuskrip keagamaan dalam bentuk suntingan masih sangat langka. Kemampuan masyarakat membaca manuskrip-manuskrip berbahasa Arab dan Jawi tidak sama dengan kemampuan mengakses teks-teks keagamaan berbahasa Indonesia dengan aksara Latin. Oleh karena itu perlu digalakkan upaya transliterasi manuskrip-manuskrip keagamaan, agar dapat karya-karya tulisan tangan yang semakin rusak itu dapat dinikmati kembali oleh masyarakat luas untuk berbagai kepentingan.

Selengkapnya...

Membangun Citra Perpustakaan Perguruan Tinggi

Oleh : Yendri, S.Sos., S.IPI (Pustakawan FIB-Adab)

Tiga pilar utama didalam membangun citra perpustakaan yang positif adalah pertama membangun citra Perpustakaan, kedua membangun citra pustakawan ketiga membangun perpustakaan yang berbasis teknologi dan informasi. Kebijakan yang salah akan memberikan dampak yang negatif dimata pemakai, oleh sebab itu membangun citra positif merupakan kebijakan yang sangat diperlukan. Sistem informasi manajemen (SIM) perpustakaan merupakan pengintegrasian antara bidang pekerjaan administrasi, pengadaan, inventarisasi, katalogisasi, pengolahan, sirkulasi, statistik, pengelolaan anggota perpustakaan, dan lain-lain. Sistem ini sering dikenal juga dengan sebutan sistem otomasi perpustakaan.


Latar Belakang

Perpustakaan merupakan salah satu sarana pembelajaran yang dapat menjadi sebuah kekuatan untuk mencerdaskan bangsa. Perpustakaan juga mempunyai peranan penting sebagai jembatan menuju penguasaan ilmu pengetahuan yang sekaligus menjadi tempat rekreasi yang menyenangkan, menyegarkan, dan mengasyikkan. Oleh karena itu citra perpustakaan perlu dibangun agar dapat berkembang dengan baik pada era globalisasi ini. Dengan membangun citra perpustakaan yang positif, keberadaan perpustakaan akan membawa dan mengembangkan citra institusinya, baik di dalam maupun di luar lembaga induknya. Dalam mengembangkan citra, perpustakaan berusaha meningkatkan layanannya yang sesuai dengan sistem manajemen mutu (Quality Management System). Wiliam S. Dix Pustakawan pada Princeton Univercity, yang dikutip oleh ( Saleh, 1995 : 178) mengatakan bahwa perpustakaan dapat dikatakan bermutu apabila dapat memberikan layanan yang cepat, tepat dan benar pada pemakai (user)

Strategi yang ditawarkan untuk mengembangkan citra perpustakaan khususnya perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia melalui 3 (tiga) pilar utama yaitu:
- pertama membangun citra perpustakaan (building image),
- kedua meningkatkan citra pustakawan (librarian image),
- ketiga mengembangkan perpustakaan yang berbasis pada teknologi informasi dan komunikasi atau information and communication technology (ICT based)

Dengan menerapkan strategi tiga pilar utama tersebut di atas, apa yang direncanakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) sebagai institusi yang melaksanakan pengawasan, pengendalian, dan pembinaan perguruan tinggi telah menargetkan 25 (dua puluh lima) perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia akan mencapai kualitas yang berstandar nasional atau bertaraf internasional akan tercapai ( Pudjiono, 2006 : 1 )

Berbicara tentang citra adalah merupakan seperangkat kesan atau image di dalam pikiran orang terhadap sesuatu objek. Citra suatu perpustakaan dapat dikatakan sebagai suatu pandangan yang diberikan masyarakat tentang sebuah institusi perpustakaan. Misalnya Perpustakaan IAIN Imam Bonjol padang, dengan kekuatannya di bidang kelengkapan koleksinya atau sumber daya manusianya, maka seorang pemakai lebih dulu akan memikirkan produk layanan apa yang dapat memenuhi kebutuhannya sebelum ia memilih produk layanan yang tersedia di perpustakaan tersebut.

Setiap perpustakaan selalu memberikan kesan atau image, baik yang positif maupun negatif pada berbagai pihak yang selalu berhubungan dengan layanan dari perpustakaan tersebut. Hal ini merupakan konsekuensi logis, mengingat dalam segala aktivitasnya perpustakaan selalu berhubungan dengan berbagai pihak, khususnya dengan pemakai perpustakaan. Jadi dengan sendirinya pihak yang berkepentingan akan selalu mengamati keberadaan perpustakaan tersebut agar tidak merugikan pemakainya. Dapat kita bayangkan seandainya pemakai perpustakaan diperlakukan dengan kasar atau tidak dilayani sebagaimana mestinya hal ini akan memberikan efek atau kesan negatif pada citra perpustakaan

Oleh karena itu setiap perpustakaan diharapkan mampu memberikan citra positif agar selalu sukses dalam berinteraksi dengan pemakai. Citra negatif dapat memperlemah serta merusak strategi yang telah dibangun secara efektif. Sedangkan citra positif bisa didapatkan dengan mengkomunikasikan keunikan dan kualitas terbaik yang dimiliki perpustakaan itu kepada pemakainya. Citra positif juga dapat kita berikan melalui pelayanan prima sehingga pemakai merasa senang dan puas dari layanan yang kita berikan. Demikian pula dengan perpustakaan perguruan tinggi merupakan jantung bagi kehidupan sivitas akademika. Melalui perpustakaan dapat diperoleh data maupun informasi yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan dan perencanaan serta dapat menyegarkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

Namun demikian kondisi tersebut belum disadari betul, hal ini dapat dilihat dari pendapat (Hasan, 2001 : 10 ) yang ditulis Pudjiono, mengenai kondisi perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia masih perlu perhatian, karena hanya ± 60% (enam puluh persen) dari sekitar 4.000 (empat ribu) perguruan tinggi di Indonesia yang mempunyai perpustakaan berstandar baik. (Pudjiono, 2006 : 5)

Ironis memang, kondisi perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia masih kurang berkembang sesuai dengan fungsi dan perannya karena diakui atau tidak, bangsa ini belum optimal dalam mengembangkan sumber-sumber pembelajaran. Hal ini juga dapat dilihat dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tidak ada satu pasal pun yang menuliskan kata perpustakaan. Padahal menurut UNESCO, pendidikan untuk semua (education for all), dapat lebih berhasil jika dilengkapi dengan keberadaan perpustakaan.

Untuk memperbaiki kondisi tersebut, perpustakaan tidak lagi berperan sebagai sesuatu yang pasif dan tidak dapat diajak berbicara. Sebaliknya, perpustakaan harus menjadi sarana interaktif dan menjadi tempat dihasilkannya berbagai informasi dan ilmu pengetahuan baru. Dengan demikian perpustakaan perguruan tinggi perlu membangun citra positif di mata masyarakat pemakai dan lingkungannya.

Kebijakan yang salah akan memberikan dampak yang negatif dimata pemakai, oleh sebab itu membangun citra positif merupakan kebijakan yang sangat diperlukan. Contoh kebijakan yang salah seperti mengambil tindakan yang memerlukan waktu cepat seperti memperbaiki fasilitas yang sudah rusak tidak ditanggulangi dengan segera, kebersihan, fasilitas yang tidak dijaga membuat pengunjung tidak nyaman. Agar pemakai di dalam mencari informasi yang dibutuhkannya, selalu terpenuhi maka kita harus terus membangun citra positif perpustakaan.

Pembangunan Citra Perpustakaan

Dalam sebuah institusi pendidikan, keberadaan perpustakaan harus memberikan andil tersendiri dalam proses pembelajaran. Untuk itu perlu adanya sinergi yang kuat antara kebijakan dan institusi pendidikan dengan pengelola perpustakaan terutama untuk memberikan daya dukung dalam mencapai tujuan dan misi institusi. Disini peran pengambilan kebijakan, pengelola perpustakan dan civitas akademika (pengguna) tidak bisa saling dipisahkan didalam mencapai tujuan dan misi yang kita harapkan.

Setiap perpustakaan selalu memperoleh kesan atau image, baik yang positif maupun negatif dari berbagai pihak yang selalu berhubungan. Hal ini merupakan konsekuensi logis, mengingat dalam segala aktivitasnya perpustakaan selalu berhubungan dengan berbagai pihak, khususnya dengan pemakai perpustakaan. Jadi dengan sendirinya pihak yang berkepentingan akan selalu mengamati keberadaan perpustakaan tersebut agar tidak merugikan pemakainya. Seringkali dapat kita lihat sebagai misal bahwa pemakai perpustakaan diperlakukan dengan kasar, hal ini akan memberikan efek atau kesan negatif pada citra perpustakaan.

Oleh karena itu setiap perpustakaan diharapkan mampu memberikan citra yang positif agar selalu sukses dalam berinteraksi dengan masyarakat lingkungannya. Citra yang negatif dapat memperlemah serta merusak strategi yang telah dibangun secara efektif. Sedangkan citra yang positif bisa didapatkan dengan mengkomunikasikan keunikan dan kualitas terbaik yang dimiliki perpustakaan itu kepada pemakainya.

Siapa pun tahu, bahwa perpustakaan "masih menjadi tempat yang menjemukan” dan ditempatkan pada posisi yang semakin "terasing" serta menjadi "anak tiri" di lingkungannya sendiri. Oleh karena itu banyak perpustakaan khususnya perpustakaan perguruan tinggi mulai berbenah untuk meningkatkan citra diri baik dari hal yang kecil atau sepele sampai dengan pembenahan yang berskala besar.

a. Membangun Citra Perpustakaan Berskala Kecil
Peningkatan citra yang berskala kecil di yaitu membenahai hal-hal yang menyangkut kebersihan, keindahan dan fasilitas lainnya yang mendukung kenyamanan pengunjung sebagai contoh tersediannya WC yang bersih, pendingin ruangan (AC) yang cukup dan sebagainya harus diperhatikan untuk meningkatkan citra perpustakaan. Dalam rangka meningkatkan citra perpustakaan ada perpustakaan yang mengganti namanya dengan menggunakan istilah asing atau singkatan seperti Brawijaya University Library untuk Perpustakaan Universitas Brawijaya, Airlangga University Library untuk Perpustakaan Universitas Airlangga, Electronic Library untuk Perpustakaan Institut Pertanian Bogor, Sunan Ampel Surabaya untuk Perpustakaan IAIN Sunan Ampel Surabaya, dan lain-lain. Dengan perubahan nama tersebut membuat perpustakaan lebih menarik dan diminati oleh pemakai. Ini juga salah satu kebijakan yang dilaksanakan oleh perpustakaan di dalam meningkatkan citranya di mata masyarakat baik di lingkungannya sendiri, nasional maupun internasional.

b. Membangun Citra Perpustakaan Berskala Menengah
Dari membangun citra perpustakaan bersekala kecil pihak pengelola Perpustakaan juga mempunyai keinginan-keinginan yang terpendam, misalnya dapat kita lihat pada peningkatan citra yang berskala menengah, seperti mengembangkan website perpustakaan sampai dengan membenahi koleksi dan ruangan. Website dapat kita kenali dengan beberapa homepage yang dapat diakses lewat internet, disamping menyediakan dengan koleksi-koleksi dalam bentuk digital baik yang diolah sendiri atau yang berasal dari pembelian, seperti koleksi digital karya sivitas akademika (skripsi, tesis, penelitian, disertasi), dan malah ada perpustaakaan telah menerapkan konsep e-library menitik beratkan pada penggunaan sarana komputer yang bersifat multiple purposes yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan dan kepentingan. Misalnya melihat nilai, mengisi tranksip nilai sampai mengakses data secara on-line bila mahasiswa membutuhkan literature dalam mengerjakan tugas akademik.

c Membangun Citra Perpustakaan Berskala Besar
Peningkatan citra yang berskala besar, dapat kita lihat beberapa perpustakaan mulai berbenah dengan membangun gedung perpustakaan sesuai dengan standar yang dibutuhkan oleh perpustakaan. Bangunan gedung perpustakaan yang dirumuskan berdasarkan konsep yang sistemik, yaitu sebagai kesatuan sistem keandalan bangunan gedung yang memiliki keterkaitan dengan kesatuan sistem penataan bangunan gedung dengan lingkungannya. Adapun tujuannya adalah guna terwujudnya pemanfaatan ruang perpustakaan yang berpihak kepada kepentingan pemakainya terutama sivitas akademikanya (mahasiswa, staf pengajar, dan peneliti) yang berlandaskan asas kemanfaatan yang menampung nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, asas keselamatan, keseimbangan, dan keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya.

Adapun rumusan sistem keandalan bangunan gedung perpustakaan, terdiri atas aspek keselamatan, kesehatan, dan kenyamanan. Keandalan bangunan gedung telah diarahkan untuk dapat memandu harmonisasi standar, yang berpedoman pada pengembangan standar-standar teknis nasional yang harmonis dengan standar teknis negara lain dan standar internasional.

Dengan adanya peningkatan citra perpustakaan baik dari skala kecil sampai besar, kita berharap perpustakaan tidak lagi “menjemukan”, “terasing”, dan “menjadi anak tiri” di lingkungannya sendiri dan kita berharap juga hadirnya sebuah perpustakaan yang besar dan memadai serta berstandar atau bertaraf internasional.

Meningkatkan Citra Pustakawan
Siapa pun tahu bahwa profesi pustakawan di negeri ini masih merupakan “pilihan profesi yang alternatif”, tenaga pustakawan “dipandang sebelah mata”, tenaga pengelola perpustakaan “tenaga buangan”, dan lain-lain. Walaupun kita tahu bahwa tenaga pustakawan merupakan jabatan karir dan jabatan fungsional yang telah diakui keberadaannya oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) nomor 18 tahun 1988 dan telah diperbaharui dengan SK Menpan nomor 132 tahun 2002.

Melihat permasalahan tersebut di atas, mau tidak mau perpustakaan perguruan tinggi mulai berbenah dengan membekali para tenaga pengelolanya baik tenaga administratif maupun fungsional pustakawannya bersikap profesional dalam memberikan pelayanan. Untuk dapat bersikap profesional banyak perpustakaan perguruan tinggi mulai melakukan pengembangan sumber daya manusia (SDM), khususnya melatih tenaga pengelola perpustakaan atau pustakawan dalam bidang layanan, komputer, bahasa Inggris, studi banding ke berbagai perpustakaan yang lebih maju. Pengembangan SDM lainya adalah dengan mengikutsertakan dalam seminar maupun magang di bidang ilmu perpustakaan, teknologi informasi dan komunikasi, dan mengikutsertakan pendidikan formal S2 bidang ilmu perpustakaan dan informasi. Peningkatan kualitas/mutu layanan dengan cara pembekalan layanan prima bagi tenaga pengelola perpustakaan/pustakawan.

Pustakawan dituntut bersikap professional untuk meningkatkan kualitas/mutu layanan. Untuk menjadi tenaga profesional yang perlu diperhatikan adalah kepribadian, kompetensi, dan kecakapan. Selain itu tenaga pengelola perpustakaan dituntut bersikap SMART, yaitu Siap mengutamakan pelayanan, Menyenangkan dan menarik dalam memberikan layanan, Antusias atau bangga pada profesinya sebagai tenaga fungsional pustakawan, Ramah dan menghargai pemakai perpustakaan, serta Tabah di tengah kesulitan yang dihadapi. (Pudjiono, 2006. 12)

:: Artikel lengkap, diterbitkan dalam Jurnal SHOUT al-MAKTABAH edisi 03/2010
Selengkapnya...

Selasa, 02 November 2010

Failure in Intercultural Communication : Pragmatics Analysis

Oleh : Darmayenti, M.Pd (Dosen Lingusitik Jur. BSI FIBA)

In daily communication, we find many people fail to interpret and gain the meaning between interlocutors. In other words, they may be unable to use language effectively in order to achieve a specific purpose and to understand language in context. As Rintell & Mitchell (1989) point out, it can cause misunderstandings or create offence when speakers can understand only the literal meaning of words and do not know the rules of use for interpreting those words.

Intercultural communication sometimes breaks down in real-life conversations, not because of the speaker’s errors in syntax, or their inaccurate pronunciation in the target language, but because of their pragmatic incompetence, which leads to pragmatic failure.

Pragmatic failure belongs to the field of cross-cultural pragmatics, a new branch of pragmatics which has developed rapidly in the past twenty years. Several research studies about pragmatic failure in speech acts have been conducted in EFL classroom settings in China (He & Yan, 1986; Hong, 1991; Gu, 2003; Chen, 2005; Zhang, 2005), but few have been done on Chinese Learners of English in the target language community. On the basis of a literature review and a small-scale, exploratory study in the host environment, The purpose is to gain a better understanding of the phenomena in order to make recommendations on how to raise the pragmatic awareness, and develop the pragmatic ability of speakers in community.
Related to the explanation above, in this article will explain briefly the overview of the critical concepts and causes of failure in intercultural communication situation. Furthermore, there are three main concepts will be discussed. Those are pargmalinguistics failure, sociopragmatic failure, and pragmatic failure. This idea is inspired by the research which had been conducted by Lin (2008). Lin (2008) conducted the research in English daily communication in China. In this case, this analysis will be compared with Indonesian conversation in some daily setting of communication. It is hoped that this explanation will give new concept to the readers.
CONCEPT OF PRAGMATICS FAILURE
The concept of pragmatic failure was first proposed by Jenny Thomas (1983) to define the inability to understand what is meant by what is said. Ziran He (1997) points out that pragmatic failure is not the general performance errors in using words or making sentences, but those mistakes which fail to fulfil communication because of infelicitous style, incompatible expressions and improper habit. Qian (1997) explains that although the speaker uses sentences which are grammatically correct, they unconsciously violate the norms of interpersonal relationships and social norms in speech, or take no notice of time, hearer and context. For example, ‘Where are you going?’ is cordial greeting form among the Chinese, but if used to show friendliness to native English speakers; it is likely to be regarded as an intrusion of privacy. This sitution also occurs in daily conversation in Indonesian people, for instance, the utterance “where are you going” is just a greeting to show friendliness. So, it can be sum up that this aspect between Chinesse and Indonesian culture is the same. Wolfson (1983, 62) points out, ‘In interacting with foreigners, native speakers tend to be rather tolerant of errors in pronunciation or syntax. In contrast, violations of rules of speaking are often interpreted as bad manners since the native speaker is unlikely to be aware of sociolinguistic relativity.’
There are two principal types of pragmatic failure in the literature, namely pragmalinguistic failure and sociolinguistic failure. Pragmalinguistic failure:
…occurs when the pragmatic force mapped by S onto a given utterance is systematically different from the force most frequently assigned to it by native speakers of the target language, or when speech act strategies are inappropriately transferred from L1 to L2.(Thomas 1983, 99)
Hong’s study (1991) shows pragmalinguistic failure is closely linked with language itself, referring to the case that learners unconsciously transfer native expressions into English ignoring their pragmatic meaning, or use other inappropriate expressions of the target language.
Sociolinguistic failure, in contrast, is closely related to cultures defined by Thomas (1983:99) as ‘…social conditions placed on language use’ stemming from ‘…cross-culturally different perceptions of what constitutes appropriate linguistic behaviour.’ It involves lack of awareness of the conventions and the socio-cultural norms of the target language, such as not knowing the appropriate registers and topics or taboos governing the target language community.
These two types of pragmatic failure cannot always be distinguished as they are closely connected and overlapping. An inappropriate utterance may be regarded as pragmalinguistic failure from one angle, or sociolinguistic failure from another angle; correct interpretation of the failure relies on an understanding of different contexts, intentions and interlocutors (He, 1997).
Pragmatic failure is mostly categorized and analyzed according to different communicative acts such as greeting, addressing, responding to compliments, and accepting invitations. Different from the previous studies, mainly based on the theoretical framework of Thomas (1983), the model in this paper for the categorization of pragmatic failure will be shown and analyzed with examples from literature in the following section.

CONCEPT OF PRAGMALINGUISTIC FAILURE
There are some aspects that makes the interlocutors fail in gaining the purpose of the communication that they holding. Based on the research that there are three aspects make the communication fail. Those are Inappropriate transfer of expressions, Inappropriate transfer of speech act strategies and Inappropriate use of target language expressions. Those aspects will be explained as follows:

Inappropriate Transfer of Expressions
Based on the research that had been conducted by LIn (2008), it could be found that some Chinese students might translate an utterance from their first language into the target language. At the lexical level, they might take it for granted that the Chinese words are equivalent to those of English in cultural connotation and then transfer the habit of Chinese language use into intercultural communication contexts.
Example 1
Situation: The drug stores in a town are usually open on Sundays. An English visitor didn’t know that, so he asked the Chinese guide.

Visitor: Are the drug stores open on Sundays?
Guide: Of course.
(The visitor seemed embarrassed.)
(Lin, 2005, 58)
This situation can also be seen between two interlocutors in Indonesian communication, such as:
According to Thomas (1983), ‘Of course’ indicates enthusiasm in a Chinese context, meaning ‘Yes, indeed it is’ in English, but in the example it would be abrupt and impolite because it seems to imply that the English native speaker is ignorant or stupid, and only an idiot would ask such a question.
Situation: In the morning, a grandma is sweeping out the yard. Other grandma greets her.
Grandma 1 : Are sweeping out the yard? (lagi nyapu mak!)
Grandma 2 : yea.
Based on ths conversation between grandma 1 and 2 can be seen that utterance is silly question since that the second grandma has seen what the grandma 1 is doing. That utterance just as a greet one. So, it can be concluded that the Chinese and Indonesian culture on this aspect is the same.

Inappropriate Transfer of Speech Act Strategies

Austin (1962, 145) defines speech acts as all things we do with words when we speak. Production of words or of sentences is considered as the performance of speech acts. Based on the research that some Chinese learners might not use English expressive ways and mechanically apply the conventionalized L1 communicative strategies to the target language as the following examples show.
Example 2
Situation: A Chinese student was at a native speaker’s home.

ENS: What would you like to drink? Tea or coffee?
C : No, no, no. No trouble, please.
(The host did not serve him anything to drink.)

(Xia et al, 1995, 152, cited in Wang, 2004, 9)

In Chinese culture when the host offers something to drink or eat, the guest will usually refuse at first by saying ‘no’ whether s/he would like to take it or not. Then the host must keep on asking the guest to accept the offer until s/he accepts it. In contrast, the native English speaker generally expects that the guest will give a truthful reply, and does not serve any drink or food if the guest says ‘no’. As a result,the Chinese guest’s improper reply left him thirsty because the strategy he subconsciously used is not appropriate in the target language.
This act can also be found in Indonesian culture. When someone offers something to do or to eat, speakers usually refuse for the first time. However, that expression is a kind of platitude. Eventhough she or he feel hungry or even starving.
Example 3
ENS: Thanks a lot. That’s a great help.
C : Never mind.
(Gu, 2003, 87)

Chinese speakers usually respond to others’ thanks by saying ‘Mei Guan Xi’, but it can be expressed in English by ‘It doesn’t matter.’, ‘Never mind.’ or ‘That’s all right.’ In English, these expressions are not always interchangeable. Example 3 shows that the Chinese learner didn’t respond to the compliment appropriately.
However, this attitude can also be found in Indonesian conversation. They often reply that expression with “all right, nevermind, okey”.

Inappropriate Use of Target Language Expressions

The meaning of linguistic forms used to perform certain speech acts may change when they are translated literally from Chinese to English. When Chinese people don’t know the exact meaning of a certain word or expression, they may regard the literal meaning as its connotation and use it in the context improperly.
Example 4

Situation: The conversation was between a female college student of English and a male American student of literature. They had known each other for some time. (After a talk with each other for a moment)

ENS: Bye!
C : Wait a moment, please. Have you seen my letter?
ENS: …
C : The letter?
ENS: What?
C : Letter?
ENS: I think I’ve lost it.
C : Oh, you break my heart!
ENS: (embarrassed) What?
(Both felt embarrassed)
(Wang, 2004, 7)
This example shows that the Chinese learner of English was not aware of the association between ‘break one’s heart’ and love affairs, which put both of them in an embarrassing situation. Wang (2004) reports that the Chinese student learnt later that the phrase is often used when someone is deserted by their lover, but she thought that it meant ‘make somebody feel sad and disappointed’.
It can be also seen in teenagers commnuication in Indonesia, for instance,
Girl : how about my last message?
Boy : I have deleted it.

SOCIOLINGUISTIC FAILURE

There are some causes make the communication fail in China. Those are Cultural and value judgements, Taboo topics, Inadequate comprehension of utterances, and Pragmatic failure due to social factors. Those aspects will be explained as follows:

Cultural And Value Judgements

In intercultural communication, being unaware of each other’s respective social and cultural tradition, the interlocutors may participate in the communication with their own cultural values and use their own cultural systems to interpret the new situations they experience.
Example 5
Situation: An American teacher was talking to a Chinese student.

ENS: Your English is excellent.
C : No, no! My English is very poor, and it is far from being perfect.
(Ma, 2004, 40)

In the example above, the Chinese learner used polite and modest expressions of accepting a compliment in Chinese. S/he had transferred the Chinese appropriate politeness strategy of self-denigration to English as a way of showing modesty. This kind of response may be perceived as embarrassing because it implies that the native English speaker’s compliment is questionable.
In Indonesia context, that exprression also can be found, such as, when someone has a new dress. (your dress is very beautiful). The listener oftens respons ( this is just a bad dress).

Example 6
Situation: After a Chinese person stayed in her Canadian friend’s house, she was ready to leave.

Chinese: ‘I’m sorry I took up you too much time.’
Canadian friend: No, you didn’t.
(Wang, 2000, 57)

Wang reports that the Canadian friend thought what the Chinese said was not true and responded to her carefully and immediately by saying ‘No, you didn’t’. The Chinese person wanted to express politeness, but being unfamiliar with Chinese culture, her friend did not understand the pragmatic meaning. ‘Thank you. I really appreciate your time.’ would have been appropriate in this context.
Taboo Topics

What is considered an act of politeness in Chinese culture might be regarded as intrusion upon a person’s privacy by an English native speaker. To show warmth and concern is regarded as a polite act in Chinese culture. That is why when two Chinese meet each other even for the first time, they might ask about each other’s age, marital status, children, income and the price of an item. In contrast, in Western culture it may be regarded as impolite to ask a person such questions which are considered too personal in public.
This situation is also found in daily communication in Indonesia. When some goes back home from somewhere (long time to leave th village), she or he is often asked about amount of children ( how many chidren do have?, do you have built the house?, what is your job now?, etc)
Example 7
Situation: A Chinese student was at her friend’s house.
Chinese : Look! What a beautiful vase you’ve got here.
ENS : I got it last week. And it was made in China.
Chines : The design is marvellous. And the shape, too. How much did you pay for it?
ENS : Oh, I bought it at the China Exhibition. It’s not expensive. But I don’t know if the exhibition is still on.
(Song & Fu, 2003, 63)

In Song & Fu’s (2003) study, when the subjects were asked to identify the inappropriate expression and improve it in the above scenario, the result showed that some of their subjects exhibited a low sensitivity to the improper expression contained in it and could not identify the problem. It is generally considered impolite to ask an acquaintance among the professional classes the price of an item directly in the English-speaking country.
Inadequate Comprehension of Utterances

In intercultural communication, some Chinese learners may know the literal meaning of an utterance, but may fail to understand its contextual meaning, or fail to accurately understand the speaker’s intended force.
Example 8
Situation : The conversation was between a Chinese high school female teacher of English and a female visitor from America. They met at Tian’anmen Square for the first time.
Visitor: Nice to meet you.
Chinese: Nice to meet you, too.
(After chatting for a while)
Visitor: Nice meeting you.
(The Chinese teacher continued talking.)
Visitor: Sorry, we have to go.
(Wang, 2004, 11)
In this example, the English native speaker wanted to end the conversation by saying ‘Nice meeting you’, but the Chinese teacher of English did not understand the discoursal force of the sentence and continued talking.



Pragmatic Failure due to Social Factors

Thomas (1983) points out that ‘sociopragmatic’ judgements concern the size of imposition, cost/benefit, social distance, and relative rights and obligations. Chinese learners of English may sometimes use speech act realization strategies irrespective of social factors such as social status, degree of imposition, and time and space when the interaction takes place. Thus, they may appear to be behaving in a pragmatically inappropriate manner.
Example 9
Situation: Chinese non-English major sophomores asked a professor in the United States to buy and mail a dictionary for them. Some of their requests are as follows.
I want you to buy the dictionary.
Buy the dictionary for me and I will be happy.
You can buy the dictionary for me.
I expect that you can deliver the dictionary to me.
(Xu, 2001, 32)

Xu (2001) reports that the expressions above were very direct. There was a great social distance between the students and the professor, and they had no right to force the professor to do anything for them, but some students failed to choose proper strategies to soften the force of the face threatening act. The non-target-like request strategies are indicative of the students’ pragmalinguistic incompetence, which resulted in their inappropriate sociopragmatic use.

POTENTIAL SOURCES OF PRAGMATIC FAILURE

The above section has presented some examples of failure in doing communication that Chinese students committed in intercultural communication, and has briefly analyzed how these cases of pragmatic failure came into being. This section will identify and sum up three factors causing pragmatic failure. It should be pointed out that there is some overlap in these factors. Those are cultural differences, pragmatics transfer, and lack of pragmatics knowledge.
Cultural Differences

A culture is a complex set of shared beliefs, values and concepts which enables a group to make sense of its life and which provides it with directions for how to live. Chen & Starosta (1998, 54) state that culture not only provides the foundation for the meanings we assign to our perceptions, it also determines how we choose to expose ourselves to and direct our attention toward specific kinds of messages and events. Our verbal communication styles reflect and embody the beliefs and worldviews of our culture (Chen & Starosta, 1998:147). Cultures vary from country to country, and also differ among various groups within a country. Culture divergence interferes in language use and may lead to negative transfer.In an investigation of the reception and production of pragmatic routines by foreign language students of English, finds that the use of pragmatic routines by learners living in the target speech community for one year or under is generally characterised by strong L1-culture transfer.
It state that Chinese culture is referred to as a collectivistic culture emphasizing conformity to group norms and harmonious interpersonal relationship.It indicates that, in contrast, countries such as Great Britain and the United States belong to an individualistic culture stressing the self and personal achievement, and as a result equal or horizontal relationships are highly valued. However, we do not suggest that Chinese are a homogeneous cultural group or that every Chinese person is a typical Chinese. The same is true in other countries. When we acknowledge individual differences, people from these two different cultural contexts have their own shared cultural values, beliefs and communicative preferences. Where there is a lack of awareness of cultural distinctiveness, the home culture is looked on as the norm, the target language culture as deviant. A second language learner’s understanding of conceptualizations and constructs in second culture is fundamentally affected by his or her culturally defined worldviews, beliefs, assumptions and presuppositions. In intercultural communication, the occurrence of culture conflicts and inappropriate speech acts is inevitable.


Pragmatic transfer

Research has shown that English learners’ pragmatic knowledge in their native language significantly influences their comprehension and production of pragmatic performance in English. Negative pragmatic transfer involves utilizing the sociolinguistic rules of speaking in one’s native speech community when interacting within the host speech community (Wolfson, 1989). Potential L1 transfer by more direct strategies and non-conventionally indirect forms. Yu (2004) conducted an empirical study of the compliment response behaviour of two groups of Chinese learners of English compared with that of native Chinese and English speakers in order to determine how they responded to compliments in different situations. Compliment responses by the learners in Taiwan were more likely to be rejections than acceptances. The English behaviour of the English learners in Taiwan and in the United States reflected native language communicative styles and a transfer of L1 socio-cultural strategies. Clearly, deviating from what is considered the norm in the host speech community could lead to a communication breakdown.

Lack of Pragmatic Knowledge
As has been shown above, inadequate pragmatic knowledge can lead to miscommunication. In China, He & Yan (1986) carried out an initial quantitative research study on the pragmatic failure of Chinese students in communication in English. Its results show that lack of pragmatic knowledge is the main cause of pragmatic failure for Chinese learners. The subsequent studies of some other researchers indicate that Chinese learners with good grammatical competence do not necessarily develop their pragmatic competence in English, which can prevent them from communicating effectively with native English speakers.
It can be concluded that the deficit of pragmatic competence in EFL participants with reference to a possible lack of input and also to an overemphasis on grammatical issues. Although much effort has been made to improve the teaching of English in China by both Chinese and foreign teachers, the traditional grammar-translation method, with careful explanation of word meaning and usage followed by drilling and mechanical exercises, is still widely used in many contexts all over the country. It is commonplace for teachers to deliver a lesson by analyzing sentence structures, explaining lexis and answering questions on grammar. Correctness of the language form is the most important thing to students and teachers (Guo, 2004). Although some course-books are compiled with an introduction to cultural knowledge, some teachers may focus more on the explanation of language points, and seldom integrate cultural knowledge and pragmatic rules with the teaching of linguistic forms. As a result, there may be occurrences of pragmatic failure and a lack of cultural and pragmatic knowledge among the students. The results from this exploratory study indicate that Chinese students seem to lack competence in using English appropriately in a certain social context.
CONCLUSION

From what has been discussed above, it can be understood that what intercultural pragmatic failure is and what the potential causes of pragmatic failure are. Language learners must not only acquire the correct forms and sounds of the target language, but also the knowledge of how language is pragmatically used in the target culture.It is important to develop Chinese learners’ pragmatic competence in the EFL classroom so as to increase their intercultural communicative competence in English.
In order to successfully interact with people from other cultures, there are some aspects to be considered. Namely, we have to understand our own and others’ cultural values, norms, customs and social systems. English teachers should integrate the target culture into English learning, not only including values, beliefs, customs and behaviours of the English-speaking countries, but also the cultural connotations of words, phrases and idioms.
Last, it can be suggested for English students who will conduct the linguistics research, it is better to analyze the social aspect in communication, especially in Indonesia context.

Selengkapnya...