Senin, 18 Oktober 2010

Panggil Aku Kartini Saja

Oleh : Muhammad Ilham

Biografi ini mengajak mengingat Kartini, tapi bukan dari sudut pandang domestik rumah seperti dia adalah gadis pingtan lalu dinikahkan secara paksa lalu melahirkan lalu mati. Coba singkirkan kenangan itu dan alihkan pikiran pada bagaimana cara Kartini melawan itu semua, melawan kesepian karena pingitan, melawan arus kekuasaan besar penjajahan dari dinding tebal kotak penjara Kabupaten yang menyekapnya bertahun-tahun (Nukilan di Sampul Belakang)


Salah satu kelebihan Pramudya Ananta Toer adalah kekayaan imajinatifnya untuk menyederhanakan kekeringan analisis antara fakta-fakta sejarah. Di tangan sastrawan yang "dipinggirkan" sejarah Indonesia ini, beberapa fakta sejarah mampu dihadirkannya dengan deskripsi-naratif bahkan deskriptif-analitis yang membuat para pembacanya tidak bosan. Bacalah misalnya, Arok-Dedes, Pram bisa "menyambung" pengetahuan para pembaca tentang pertanyaan yang selama ini selalu muncul, "mengapa Dedes yang cantik dan berasal dari kelas Brahmana, mau dan setuju suaminya - Tunggul Ametung - dibunuh oleh Arok yang berasal dari kelas Sudra, dan selanjutnya menjadi suaminya". Dari buku-buku sejarah textbook yang selama ini kita kenal, pertanyaan ini tidak terjawab. Karena disamping faktanya tidak begitu banyak, sejarawan memiliki "ketakutan" terjebak dengan analisis yang penuh subjektif. Apalagi berhubungan dengan langgam bahasa sastra (katakanlah Novel) memiliki potensi yang menjebak itu. Namun, Pram justru mampu menjawab pertanyaan tersebut (terlepas dari benar-tindaknya). Dan beberapa Novel Sejarah karya Pram yang lain, katakanlah Tetralogi, Arus Balik dan Gadis Pantai, misalnya, mengajak kita memahami "jiwa zaman" kala peristia yang dinarasikan Pram tersebut terjadi. Dan, Pram mampu menghadirkannya dengan analisis logis dengan bahasa yang menarik.

Demikian juga dengan buku Panggil Aku Kartini Saja. Buku yang menjadi bacaan favorit istri saya ini, memperlihatkan kemampuan Pram menghubungkan fakta-fakta sejarah dengan imaginatif, tapi "terkesan" logis. Dengan "ruang yang terbatas", karena Pram menulis Novel Sejarah dalam masa pembuangannya di Pulau Buru, Pram mampu melahirkan karya ini dengan baik. Tak terbayangkan oleh saya, bila ia diberi akses luas untuk melacak arsip-arsip Kartini di Belanda, misalnya, tentu Pram akan lebih mampu menghadirkan Novel Sejarah yang luar biasa tentang Kartini. Buku "panggil aku Kartini saja" sebenarnya masih ada kelanjutannya (jilid III dan IV) tetapi naskah tersebut hilang di tahun 1965. Jadi apa yang terekam atau tergambarkan di sini mengenai Kartini hanya sebagian dari apa yang akan diungkapkan oleh Pram.

Pram mengawali buku ini saat Perang Jawa (Diponegoro) berakhir. Perang yang paling mahal dalam sejarah penjajahan Belanda di Indonesia. Pemerintah Belanda meminjamkan hutang kepada Hindia Belanda sebesar ƒ 37 juta ditambah bunga. Nilai uang jatuh dan Javasche Bank yang baru didirikan menghadapi kebangkrutan. Muncullah Johannes van den Bosch mengusulkan cultuurstelsel untuk mengisi kas Hindia-Belanda. Cultuurstelsel yang pada kenyataannya menjadi tanam paksa kemudian menghisap bumi dan rakyat Hindia Belanda. Untuk pertama kali pemerintah Hindia Belanda mempergunakan kekuasaannya dan "kewibawaannya atas penduduk dijadikannya alat untuk mengeksploitasikan Jawa pada waktu itu secara modern". Petani-petani pribumi menjadi terlalu miskin dan bahkan terusir dari tanah garapannya yang berubah menjadi perkebunan partikelir (swasta).

Kemudian muncul golongan liberal seperti Multatuli, E.S.W. Roorda van Eisinga, Dr. Ds. Baron ban Hoëvell yang menghendaki kelongaran dari cara memerintah Pribumi. Mereka menghendaki pendidikan yang lebih banyak lagi bagi para amtenar, Eropa, dan Pribumi. Tingkat pengajaran dan pendidikan pada waktu itu sangat rendah di kalangan penduduk bangsa Eropa, apalagi di kalangan Pribumi. Yang ada hanya sekolah-sekolah Nasrani yang tidak jauh berbeda dengan pengajaran di surau-surau. Sekolah Belanda Gubernemen pertama didirikan di Weltevreden (tahun ?). Baru dua tahun kemudian sekolah tersebut terbuka bagi sejumlah kecil Pribumi pilihan, bahkan anak bupati pun masih sulit mendapatkan bangku. Seolah Bumiputra atau sekolah Melayu gubernemen mulai didirikan tahun 1849 di Jepara, Pasuruhan, dan Padang. Di Makasar dan Maros tahun 1853, di Banjarmasin tahun 1863, di Ambon tahun 1607. Waktu itu bahasa Belanda merupakan satu-satunya bahasa ilmu pengetahuan. Pada tahun 1902 di seluruh Jawa dan Madura hanya ada 4 orang bupati yang pandai menulis dan berbicara bahasa Belanda; salah satunya adalah ayah Kartini. Di luar para bupati ada satu-dua orang yang maju, misalnya Raden Saleh.

Dengan latar belakang inilah Kartini lahir dan besar. Kartini lahir di Jepara, 21 April 1879. Beliau termasuk orang Indonesia yang beruntung pada zamannya. Karena kedudukan ayahnya, Kartini dapat mengenyam pendidikan formal di sekolah, meskipun hanya sampai pada tingkat dasar, karena setelah itu Kartini masuk dalam pingitan. Kartini sendiri sebenarnya ingin melanjutkan sekolah, bahkan kalau perlu ke negeri Belanda, tetapi sayang ayahnya tidak mengijinkan. Pada awal berdirinya sekolah-sekolah di Hindia Belanda, hanya anak-anak dari keluarga ningrat/bergelar saja yang bisa masuk sekolah. (THS, cikal bakalnya ITB, pun tidak terkecuali; mahasiswanya adalah siswa-siswa yang memiliki gelar, termasuk Soekarno yang memiliki gelar "Raden", kalau tidak salah.) Dalam masa pingitan, Kartini melakukan hal-hal yang disukainya seperti membatik, melukis, membaca, dan juga belajar bahasa Prancis. Ayahnya yang membuka kesempatan bagi Kartini dan saudari-saudarinya untuk melihat dunia luar (ke Batavia, mengunjungi kapal "Sumatera" di pelabuhan, memberi bacaan) sekaligus mempunyai hak veto atas putri-putrinya yang berhak mengatakan "tidak" atas kehendak para putri ini.

Kartini pandai berbahasa Belanda, baik lisan maupun tulisan, dan sudah terkenal di kalangan orang Belanda dan Indonesia tentang bahasa Belandanya yang baik. Bahkan di masa hidupnya, surat-suratnya ingin diterbitkan oleh Mr. Abendanon, tetapi Kartini menolak. Beliau sadar bahwa seorang putri Jawa yang bisa berbahasa Belanda dengan baik adalah istimewa. Kartini tidak mau diistimewakan. Beliau merasa sebagai bagian dari rakyat dan memang beliau sendiri yang mengucapkan, "Panggil aku Kartini saja - itulah namaku". Pikiran Kartini berkisar pada rakyat, keseniannya, penyakitnya, pendidikannya, perempuannya, perlakuan yang diterima rakyat, dan lain-lain. Dan semua itu disampaikan dalam bahasa Belanda yang runut. Kartini juga pernah diminta untuk menulis di majalah. Menulis menjadi jalan keluar bagi Kartini untuk mengeluarkan isi hati dan pikirannya. Andaikan Kartini hidup lebih lama lagi, tentu tulisan-tulisannya akan lebih banyak lagi.

Meskipun hanya berpendidikan SD, lingkup pemikiran Kartini meluas melampaui lingkungan kamar dan rumahnya. Sebagai salah satu orang yang terkemuka di zamannya, melalui surat-suratnya ke orang Belanda (dalam bahasa Belanda) Kartini menjadi corong kondisi rakyat Hindia Belanda. Sayang sekali, ayahnya yang bertindak sebagai pembuka gerbang kesempatan bagi Kartini untuk mengecap dunia luar adalah sekaligus penutup gerbang tersebut. Wikipedia menyebutkan Kartini dinikahkan dengan Bupati Rembang yang sudah memiliki tiga istri. Kartini wafat pada usia 25 tahun beberapa hari setelah melahirkan putra pertamanya (September 1904). Himpunan surat-surat Kartini diterbitkan tahun 1911 dengan judul "Door Duisternis tot Licht". Pada tahun 1923 buku ini telah mengalami cetak ulang ke-4. Terjemahan bahasa Melayu (tahun ?) "Habis Gelap Terbitlah Terang" dilakukan oleh Baginda Abdoellah Dahlan dan Baginda Zainoedin Rasad, dan pada penerbitan selanjutnya dibantu Soetan Moehammad Zain serta Baginda Djamaloedin Rasad.

Inspired : Pramudya Ananta Toer (2000), B. Saraswati (2008)

Selengkapnya...

Senin, 11 Oktober 2010

PERS BUMIPUTERA MASA PERGERAKAN NASIONAL 1927-1930 Kasus Suratkabar Fadjar Asia

Oleh : Hj. Umi Rusmiani Humairah, M.Pd (Dosen Jur. SKI)

Sejak awal kelahirannya media pers Indonesia telah berfungsi sebagai media atau alat perjuangan. Artinya, sejarah kehidupan pers di Indonesia bertolak dari pengembangan fungsi pers sebagai sarana perjuangan, pengabdi masyarakat, dan pembbangkit senabgat nasionalisme di kalangan rakyat bumiputera. Karena itu tidak berlebihan jika disebut bahwa perkembangan pers nasional sekarang ini adalah hasil dari satu proses pengembangan fungsi dan tugas pers sebagai sarana komunikasi nasional yang berorientasi pada pengabdian masyarakat yang bertolak dari wawasan kebangsaan yang diciptakan oleh kebangkitan kesadaran terhadap penindasan colonial Belanda.



A. Pendahuluan
Sejak awal kelahirannya pers bumiputera (surat kabar dan majalah) menjadi saksi bagi bangkitnya semangat kesadaran kebangsaan (nasionalisme) Indonesia dan yang pasti pers merupakan mitra setiap hampir semua organisasi pergerakan. Kecuali itu, media pers juga menjadi media yang sangat efektif bagi tokoh-tokoh pergerakan dalam menyebarkan ide-ide pergerakannya. Pers juga telah berfungsi sebagai alat untuk memenuhi kepentingan komersial dan media untuk menyebarkan ide-ide yang terkait erat dengan peningkatan taraf hidup rakyat bumiputera yang hidup menderita di bawah cengkeraman kolonialis Belanda (Baca: Pemerintah Hindia Belanda)

Tentu saja, kemunculan dan perkembangan media pers bumiputera tidak bisa dilepaskan dari tokoh yang membidani kelahirannya. Hampir seluruh penerbitan media pers bumiputera dilakukan oleh tokoh-tokoh pergerakan, baik yang bergerakan di bidang social, politik, pendidikan, keagamaan dan bidang lain-lainnya yang didasarkan pada semangat kemerdekaan Indonesia. Karena itu, pemikiran dan afiliasi pimpinan pers bumiputera pada organisasi tertentu dan tujuan yang ingin dicapai akan memberi warna tersendiri bagi media pers yang diditerbitkan dan diasuhnya. Jika, media persnya diterbitkan dan dikelola oleh tokoh-tokoh atau kaum pergerakan yang berideologikan Islam, maka dapat dipastikan ideology yang sama diusung oleh media tersebut. Begitu juga, media pers yang diterbitkan oleh tokoh-tokoh atau kaum pergerakan yang berideologikan nasionalis (kebangsaan) dan komunis.

Mencermati aktifitas pers bumiputera pada masa Pergerakan Nasional secara langsung dapat ditemukan sisi lain dari kegiatan sekelompok orang atau masyarakat pada masa itu. Selain itu dengan mempelajari sejarah pers secara sungguh-sungguh maka masa pergerakan nasional yang memiliki aspek multidimensional itu akan dapat dipahami secara utuh. Sebab, pers merupakan cerminan dari suatu masyarakat dan situasi zaman. Berbagai realitas social yang hadir pada masa itu pun dapat diketahui secara lebih komprehensif.

Makalah ini akan mencoba untuk mengkaji kembali eksistensi media pers bumi yang hidup pada masa pergerakan nasional. Mengingat banyaknya media pers bumiputera yang terbit pada masa itu, maka objek pembahasan dibatasi pada satu media saja, yakni Surat Kabar Fadjar Asia (selanjutnya disebut Fadjar Asia). Fadjar Asia adalah suratkabar yang terbit di Batavia (Jakarta) pada tahun 1927 hingga 1930. Suratkabar yang berlambang Bola Dunia ini diterbitkan dan dikelola oleh tokoh-tokoh Syarikat islam (SI) yakni H.O.S.Tjokroaminoto (selanjutnya disebut Tjokroaminoto) dan H. Agus Salim (selanjutnya disebut Agus Salim). Selama hidupnya suratkabar ini dikenal sebagai media pers yang sangat radikal dalam menyikapi kebijakan pemerintah colonial terutama yang menyangkut perjuangan kemerdekaan Indonesia. Keradikalan tersebut setidaknya dapat dicermati dari pemberitaan dan artikel dalam Fadjar Asia yang menyangkut isyu-isyu pergerakan nasional, seperti ideology pergerakan, pemberontakan komunis, penahanan tokoh-tokoh pergerakan, dakepada rakyat bumiputera. Karena itu makalah ini akan memfokuskan kajian pada seputar isyu-isyu tersebut dalam liputan Fadjar Asia. Pemuatan isyu-isyu tersebut merupakan wujud dari keikut sertaan Fadjar Asia dalam menyuarakan semangat kebangkitan kebangsaan nasional Indonesia (baca: perjuangan kemerdekaan Indonesia).

B. Suratkabar Fadjar Asia: Sekilas Pandang

Fadjar Asia merupakan kelanjutan dari suratkabar Bendera Islam yang terbit di Yogyakarta pada tahun 1924-1927. Bendera Islam dikelola oleh petinggi-petinggi Syarikat Islam seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, dan Sjahbuddin Latif. Setelah eksis selama 4 tahun corong pergerakan Syarikat Islam ini dilanda krisis keuangan lantaran banyak pelanggan dan agen-agen yang belum atau mungkin juga tidak membayar “kewajibannya”. Problema internal diperparah dengan kepindahan Tjokroaminoto ke Batavia pada tahun 1927. Akan tetapi, redaktur tetap bersikukuh untuk meneruskan penerbitan Fadjar Asia. Memindahkan tempat penerbitan Bendera Islam ke Jakarta dan mengganti namanya menjadi Fadjar Asia menjadi pilihan redaktur untuk tetap mempertahankan semangat dan misi Bendera Islam yakni suratkabar yang berdasarkan politik ke-Islaman. Semangat ini selalu dicantumkan dalam setiap penerbitan Fadjar Asia.

Fadjar Asia mulai terbit pada Selasa 7 November 1927 Masehi bertepatan dengan 12 Jumadil Awwal 1346 Hijriyah. Mulanya terbit setiap Selasa, Kamis, dan Sabtu dan sejak edisi yang ke 12 yang terbit pada 3 Desember 1927 suratkabar ini menjadi harian; setiap hari libur tidak terbit. Perubahan masa terbit ini dibarengi dengan penambahan jumlah lembaran yang semula satu lembar (4 halaman) menjadi satu setengah lembar (6 halaman). Selain itu harga langganan yang semula f.1.20/bulan untuk dalam Hindia Belanda dan f.2/bulan untuk luar Hindia Belanda menjadi f.1.70/bulan dan f.2.70/bulan untuk dalam dan luar Hindia Belanda. Media ini dicetak dan diterbitkan oleh Drukkerijk Uitgevers en handel Maatschappij “Fadjar Asia” . Pada mulanya alamat redaksi di Pasar Senen Nomor 125 Weltevreden dengan nomor telepon 1825 kemudian dipindahkan ke Sluisbrugstraat Nomor 31C juga di Weltevreden dan nomor teleponnya tetap.
Meskipun Fadjar Asia dipimpin dan dikelola oleh tokoh-tokoh teras Syarikat Islam yakni Tjokraminoto (pimpinan redaksi) dan Agus Salim (redaktur) dan dibantu oleh tiga orang staf redaksi Sj.Latif, DR.Soekiman, dan Wondosoewirjo, namun media ini bukan organ atau alat perjuangan Syarikat Islam. Sehubungan dengan ini redaksi menyebutkan “…tidak mendjadi organ PSI, tetapi Sk Islam sadja, akan mendjadi penerangan sekalian orang Islam baik jang di LID maupoen boekan..” . Dalam edisi lain disebutkan “Fadjar Asia adalah media pergerakan oemoem khoesoes pergerakan Islam Indonesia jang menoedjoe maksoed mentjapai kemerdekaan Negara Indonesia.”

Tidak didapat keterangan jumlah (oplah) Fadjar Asia setiap kali terbit. Akan tetapi dari salah satu edisi dapat diketahui bahwa suratkabar ini mempunyai oplah yang cukup besar dan sirkulasinya tidak hanya di Indonesia tetapi juga menjangkau hingga manca negara, seperti London, Den hag, Moscow, Mesir, India, Malaka, dan China. Luasnya sirkulasi media ini setidaknya dapat juga dicermati dari banyaknya koresponden dan tulisan-tulisan yang diterima redaksi dari berbagai wilayah baik dari dalam maupun luar Hindia Belanda.
Fadjar Asia hanya mampu bertahan hidup selama 4 tahun. Edisi terakhir no.181 yang terbit pada Bulan Agustus 1930. Masalah keuangan menjadi factor utama berhentinya penerbitan media ini. Masalah klasik in I sebenarnya bisa dihindari jika para pelanggan dapat melunasi pembayarannya. Banyaknya pelanggan yang diberhentikan mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap keuangan Fadjar Asia. Sebab, hal ini telah mengurangi pemasukan yang pada gilirannya habis sama sekali.

C. Isyu-Isyu Pergerakan Nasional dalam Liputan Fadjar Asia
Isyu-isyu yang dimaksud adalah peristiwa-peristiwa yang menyangkut tentang pergerakan nasional yang mewarnai konstelasi politik Hindia Belanda ketika itu, seperti ideology pergerakan, pemberontakan komunis, penangkapan dan penahanan tokoh-tokoh pergerakan.

1. Islam dan Kebangsaaan
Isyu pergerakan yang mendapat perhatian cukup besar dari Fadjar Asia adalah persoalan ideology pergerakan. Pada penghujung tahun 1920-an iklim pergerakan nasional Indonesia diwarnai oleh adanya perbedaan pandangan tentang ideology pergerakan yakni antara Islam dan Nasionalisme (Kebangsaan). Tidak kurang dari 4 kali, Fadjar Asia mengulas tentang persoalan tersebut. Tulisan-tulisan itu ditulis oleh Soekarno, Tjokroaminoto, Agus Salim, dan Kertosuwirjo. Dari ke empat tokoh ini hanya Soekarno yang berideologikan nasionalis (Kebangsaan); karenanya dapat dipahami jika dalam tulisannya ia membela dan memperjuangkan paham tersebut.
Tulisan tentang ideology pergerakan pertama kali muncul pada edisi 172 yang terbit tanggal 29 Juli 1929. Tulisan ini dibuat oleh Agus Salim yang mengecam pemahaman nasionalisme Soekarno yang menurut Salim tidak sesuai dengan jiwa seorang muslim karena lebih mengutamakan kepentingan duniawi dan jauh dari nilai-nilai agama terutama Islam. Tulisan Salim dibantah Soekarno melalui tulisannya yang diberi judul “Ke Arah Persatoean: Menjamboet Toelisan H.A.Salim”. Menurut Soekarno, nasionalisme Indonesia bukan tiruan dari produk nasionalis barat tetapi nasionalisme yang sesuai dengan budaya timur dan menjujung tinggi nilai-nilai moral. Meskipun kedua tokoh ini berbeda pendapat dalam hal ideology pergerakan namun keduanya sepakat untuk menghindari keretakan dan selalu menjaga persatuan dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Artikel tentang Islam dan nasionalisme kembali muncul dalam Fadjar Asia edisi November tahun yang sama. Kali ini ditulis oleh Kertosoewirjo dengan judul “Islamisme, Nasionalisme, Internasionalisme”. Karena tulisan ini cukup panjang, maka oleh redaki dimuat sebanyak dua kali; yang pertama dimuat pada edisi ke 255 (3 November 1928) dan berikutnya pada edisi ke 258 (6 November 1928) Tulisan ini merupakan tanggapan dari tulisan Saerun pada suratkabar Kengpo yang terbit pada 1 November 1928. Dalam tulisannya itu, Saerun, menyebutkan bahwa dalam Islam tidak ada nasionalisme dan internasionalisme sebab islam merupakan agam yang selalu menjaga persatuan dan menjadikan seluruh umatnya sebagai saudara meskipun berbeda agama dan tanah air. Pernyataan ini dibantah oleh Kertosoewirjo. Menurutnya, seorang muslim adalah nasionalis sejati. Akan tetapi nasionalisme yang dimaksud adalah nasionalisme yang berdasarkan Islam. Dalam tulisan berikutnya, Kertosoewirjo menyatakan bahwa paham internasionalisme juga dikenal dalam Islam sebagaimana yang tersirat dari adanya rukun Islam yang ke lima yakni menunaikan ibadah haji ke Mekkah bagi yang mampu.
Tulisan tentang Islam dan nasionalisme kembali muncul pada edisi ke 113 yang terbit pada 24 Mei 1929. kali ini yang muncul adalah tulisan Tjokroaminoto. Berbeda dengan tulisan sebelumnya, Tjokroamoinoto lebih memfokuskan pembahasan pada persoalan arti penting nasionalisme bagi umat Islam dalam menjalankan syari’at agamanya. Menurut Tjokro, nabi Muhammad adalah patriot dan nasionalis sejati sepanjang sejarah manusia. Patriotisme dan nasionalisme merupakan isyarat hidup dan bangkitnya suatu umat. Sementara itu kemerdekaan nasional wajib dicapai sebagai salah satu syarat untuk dapat menjalankan syari’at Islam. Islam adalah cita-cita yang paling tinggi sedangkan nasionalisme dan patriotisme adalah tanda-tanda hidup agar setiap kaum muslimin sanggup menjalankan Islam secara menyeluruh.

2. Pemberontakan Komunis
Pemberontakan komunis (baca: Partai Komunis Indonesia) terjadi di banten (Jawa Barat) dan Silungkang (Sumatera Barat) pada akhir 1926 dan awal 1927. Keduanya dengan mudah digagalkan oleh pemerintah colonial Hindia Belanda. Pemberontakan tersebut merupakan perbuatan yang tidak saja merugikan pergerakan nasional Indonesia tetapi juga menyengsarakan kehidupan rakyat bumiputera. Akibat pemberontakan tersebut sepanjang tahun 1927 rakyat di seluruh Hindia Belanda baik yang komunis maupun bukan dan bahkan mnentang komunis sekalipun mendapat perlakuan dan balasan dari pemerintah. Ribuan orang ditangkap dan ditahan bahkan diasingkan termasuk orang-orang yang tidak tahu menahu dengan kegiatan komunis.
Terkait dengan banyaknya rakyat bumiputera yang ditabgkap Fadjar Asia dalam editorialnya mengecam keras pemerintah. Disebutkan bahwa pemerintah sudah kalut dan tidak dapat berfikir rational lagi sehingga bertindak sewenang-wenang dan tidak dapat membedakan mana yang komunis dan mana yang bukan komunis. Tindakan membabi buta yang ditunjukkan pemerintah oleh Fadjar Asia disebut sebagai “Politik Was-was dan Curiga” dan “Pengawasan Salah sifat”. Bahkan lebih keras lagi Fadjar Asia menyebut sikap pemerintah itu sebagai “Politik Badjingan”. Meskipun demikian Fadjar Asia masih menaruh harapan besar kepada pemerintah supaya selalu melakukan pengawasan yang benar-benar teliti sehingga dapat membedakan antara yang komunis dengan yang bukan komunis.
Dalam editorialnya dengan tegas Fadjar Asia menyatakan keberpihakannya pada pemberontakan. Tentu saja keberpihakan ini bukan berarti Fadjar Asia mendukung setiap tindakan-tindakan anarkhis dan bukan pula dukungan terhadap paham dan atau gerakan komunisme yang jelas-jelas bertentangan dengan ideology Fadjar Asia yakni Islam. Keberpihakan ini lebih didasari pada kondisi riil masyarakat bumiputera yang elalu ditindas dan diintimidasi serta seringkali diperlakukan tidak manusiawi oleh pemerintah. Kesewenang-wenangan itulah yang telah menyulut kemarahan penduduk bumiputera yang nerasa hidupnya terhina dan tidak tersentuh oleh keadilan. Timbulnya pemberontakan itu juga dipahami sebagai aksi penduduk bumiputera dalam membela harga dirinya selaku manusia yang berhak untuk hidup merdeka dan tidak diperlakukan seperti hewan-hewan piaraan. Oleh karenanya adalah hal yang wajar jika kemudian Fadjar Asia memberikan dukungannya kepada pemberontak.Artinya, keberpihakan itu menunjukkan bahwa Fadjar Asia mentang keras setiap bentuk penindasan sesame manusia.
Lalu, mengapa pemerintah tidak segera mengambil tindakan terhadap Fadjar Asia yang telah menujukkan keberpihakannya kepada kaum pemberontak ?. Bisa jadi, hal itu disebabkan, Fadjar Asia dipimpin dan dikelola oleh tokoh-toko Syarikat Islam yang telah berperan besar dalam menyingkirkan pengaruh paham komunis di dalam tubuh organisasi Islam tersebut, sehingga pemerintah merasa perlu untuk menjalin hubungan suratkabar itu. Artinya, antara pemerintah dan Fadjar Asia mempunyai pandangan yang sama terhadap komunisme yakni bahaya yang harus segera disingkirkan. Seperti pemerintah juga menyadari bahwa keberpihakan fadjar Asia kepada pemberontak bukan berarti suratkabar itu mendukung gerakan komunis tetapi lebih disebabkan banyaknya anggota Syarikat Islam yang menjadi korban.

3. Penahanan Tokoh Perhimpunan Indonesia
Pada tanggal 10 Juli 1927 pemerintah Belanda melakukan penangkapan dan penahanan terhadap 4 orang pelajar Indonesia yang sedang menimba ilmu di negeri tersebut, yakni Mohammad Hatta, Nazir Pamuncak, dan Abdulmadjid Joyodiningrat, dan Ali Sastroamijoyo. Keempat orang ini adalah tokoh Perhimpunan Indonesia (PI), organisasi pergerakan yang didirikan di Belanda pada tahun 1908. Penangkapan terhadap tokoh-tokoh PI tersebut didasarkan atas tuduhan bahwa mereka telah membuat dan menyebarkan tulisan yang dikategorikan menghasut pemberontakan terhadap pemerintah Belanda. Dalam sidang pengadilan di Den Haag tanggal 28 Maret 1928 mereka di bebaskan karena tidak terbukti melakukan kesalahan.
Penangkapan dan penahanan terhadap pelajar-pelajar tersebut mendapat perhatian yang cukup serius dari Fadjar Asia. Dengan panjang lebar surat kabar ini memuat tulisan tentang keberadaan dan aktifitas tokoh-tokoh PI yang ditangkap dan ditahan itu. Selain itu, Fadjar Asia juga memelopori dibentuknya Comitte Penoeloeng Studenten Indonesia yang menerima sumbangan untuk disalurkan kepada aktifis PI tersebut.
Dalam salah satu edisinya Fadjar Asia memuat tulisan tentang liputan pengadilan terhadap Hatta dan kawan-kawan di Nederland. Dalam tulisan yang cukup panjang ini disebutkan bahwa pengadilan terhadap Hatta dan kawan-kawan mendapat perhatian cukup besar dari masyarakat Negeri Belanda. Bahkan ruangan sidang tidak cukup untuk menampung pengunjung. Menurut Fadjar Asia adalah hal yang wajar jika di kalangan studenten di dalam tubuh PI itu mempersoalkan hak menguasai, mengatur, dan mengurus bangsa dan tanah air sendiri. Fadjar Asia juga mengharapkan kepada para aktifis yang ditahan itu untuk selalu tegar dalam perjuangan kemerdekaan. “Dalam keadaan seperti itu kita tidak boleh berketjil hati, meskipoen amat besar dan berat cobaan itu. Tetapi kita sebagai kaoem nasionalis Indonesia tetap menjalankan kewadjiban kita jang soetji dan moelia”.
Dalam edisi lainnya Fadjar Asia menyebutkan : “Bahwa tiap-tiap bangsa di moeka Boemi ini jang hidoepnja didjadjah bangsa lain perjoeangan kemerdekaan meroepakan perkara jang tidak dapat dipoengkiri”. Dalam edisi lainnya Fadjar Asia menyebutkan “Tiap-tiap pergerakan jang menoejoe peroebahan besar wadjib ada hambatan, wadjib menderita atas dirinja. Sesoenggoehnja hambatan2 dan penganiajaan pada hakekatnja merupakan ujian bagi kemoeliaan dan toejoean kaoem pergerakan.
Bagi Fadjar Asia ujian-ujian yang dialami kaum pergerakan dalam melakukan aktifitasnya merupakan konsekuensi yang memang harus diterima. Dengan banyaknya ujian maka setiap orang akan dapat mengukur kemurnian perjuangan. Sebab, menurut Fadjar Asia “oejian tidak akan melemahkan djiwa djoestru akan mengoeatkan dan menggembirakan kaoem pergerakan dan bergoena oentoek menjaring antara kaoem pergerakan jang palsoe jang bergerak mentjari nama dan poejian dengan jang moerni berjoeang”.
Fadjar Asia menyebutkan bahwa tiap-tiap bangsa mempunyai keyakinan dan hak malah memikul beban yang cukup berat untuk mencari dan menuntut kemerdekaan. Oleh karena itu perjuangan agar selalu diteruskan meskipun para pemimpin ditangkap dan dipenjarakan. Perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak akan pernah lemah hanya karena adanya penangkapan dan pengadilan.
Sikap Fadjar Asia yang terang-terangan memberikan dukungan kepada para aktifis pergerakan kemerdekaan Indonesia yang ditangkap dan ditahan di negeri Belanda merupakan komitmen surat kabar ini untuk terus memberikan dukungan pada kaum pergerakan. Meskipun surat kabar ini merupakan surat kabar yang berkait erat dengan SI yang nota benenya adalah organisasi pergerakan yang berideologikan Islam, namun tetap mendukung setiap langkah kaum pergerakan lainnya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia meskipun berbeda ideologi.

4. Penahanan Tokoh Partai Nasionalis Indonesia
Ketika pemerintah kolonial sedang sibuk menumpas sisa-sisa pemberontakan PKI di Jawa dan Sumatera Barat, Soekarno dan Sartono mendirikan organisasi pergerakan yang berdasarkan pada nasionalisme (kebangsaan). Organisasi yang diberi nama Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) ini didirikan di Bandung pada tanggal 4 Juli 1927, dan Soekarno sebagai ketuanya. Pada bulan Mei 1928 nama organisasi pergerakan ini dirubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Menurut Ricklefs PNI merupakan partai politik penting yang pertama kali berpandangan kewilayahan yang meliputi batas-batas Indonesia yang kelak berlaku dan berideologi nasionalisme. Dalam Anggaran Dasarnya disebutkan bahwa tujuan adalah PNI berjuang untuk kemerdekaan bagi kepulauan Indonesia yang akan dilakukan secara non-kooperatif dan dengan organisasi massa. Dalam perkembangannya PNI memainkan peranan yang besar dalam menentukan arah gerakan nasionalis. Akan tetapi, pemerintah melakukan pengawasan yang ketat terhadap PNI karena kegiatan-kegiatannya yang ekstrim dan seringnya tokoh-tokoh organisasi ini mengecam keras pemerintah. Sebaliknya, kerasnya kecaman-kecaman yang dilontarkan para tokoh PNI semakin meninggikan pamor organisasi ini dikalangan rakyat.
Pemerintah kolonial semakin panik dan khawatir terhadap sepak terjang Soekarno dan kawan-kawan. Untuk meredam aktifitas PNI, maka pada tanggal 29 Desember 1929 pemerintah melakukan penggeledahan dan penangkapan terhadap anggota dan tokoh-tokoh PNI di seluruh Jawa. Empat orang pimpinan teras PNI ditangkap dan ditahan, yakni Soekarno (Ketua PNI), Gatot Mangkoepraja (Sekretaris II PNI), Maskun Soemadiredja (Sekretaris II PNI Cabang Bandung), dan Soepriadinata (Anggota PNI Cabang Bandung). Ke empat tokoh itu dituduh telah melakukan hasutan dan hinaan terhadap pemerintah ini masing-masing dihukum 4 tahun, 2 tahun, 1,8 tahun, dan 1,3 tahun. Sebelum melakukan penangkapan dan penahanan terlebih dahulu pemerintah melakukan penggeledahan terhadap aktifis PNI di seluruh Jawa pada tanggal 29 Desember 1929.
Penangkapan dan penahanan itu sendiri merupakan jawaban pemerintah atas pidato-pidato tokoh-tokoh tersebut dalam forum-forum terbuka, terutama sekali Soekarno yang selalu mengecam pemerintah kolonial. Pada tanggal 25 Desember 1930 tokoh-tokoh PNI yang dihukum oleh Landraad Bandung ini disidangkan dan dijatuhi hukuman. Dalam pidato pembelaannya, Soekarno selaku pimpinan PNI membeberkan segala bentuk penindasan yang dilakukan pemerintah terhadap penduduk bumi putera. Kecaman-kecaman dan hujatan-hujatan juga mewarnai isi pidatonya yang kemudian terkenal dengan nama Indonesia Menggugat. Bahan-bahan pembelaannya itu diusahakan oleh tokoh-tokoh PNI lainnya yang tidak ikut ditahan, sehingga isinya sangat tajam dan lengkap.
Setidaknya ada 2 alasan pemerintah melakukan penggeledahan dan penangkapan serta penahan terhadap tokoh-tokoh PNI. Pertama, PNI (dipandang) sebagai organisasi politik yang melanjutkan perjuangan PKI dengan diam-diam walaupun susunan pengurus dan cara kerjanya berlainan. Kedua, PNI telah menghasut rakyat untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah dalam setiap pertemuan-pertemuan partainya. Kedua tuduhan ini pada gilirannya mendorong pemerintah untuk berkesimpulan bahwa PNI berusaha menyusun kekuatan dan menggerakkan rakyat untuk melakukan makar terhadap pemerintah.
Adapun pasal-pasal yang dilanggar oleh PNI adalah 108 dan 109 tentang pemberontakan dan usaha kejahatan; 110 tentang usaha secara bersama untuk melakukan pemberontakan dan secara bersama-sama melakukan kejahatan untuk merubah bentuk pemerintahan yang syah dengan cara yang tidak syah; 163 bis tentang menghasut orang lain untuk melakukan perbuatan dengan alat untuk mengakibat perbuatan; dan pasal 171 menimbulkan kerusuhan untuk menggangu ketertiban umum.
Sehubungan dengan adanya penggeledahan dan penahanan terhadap tokoh-tokoh PNI yang dituduh telah mengganggu rust en orde (keamanan dan ketertiban) di kalangan masyarakat Fadjar Asia menjelaskan sikapnya bahwa tindakan pemerintah itu merupakan wujud dari keinginannya untuk menjinakkan PNI. Tuduhan yang ditujukan tanpa bukti itu lebih disebabkan oleh kekhawatiran pemerintah terhadap bangkitnya kesadaran penduduk bumiputera untuk menuntut hak-haknya. Bagi Fadjar Asia penggeledahan dan penangkapan tokoh-tokoh teras PNI itu merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemerintah.
Sehubungan dengan meluasnya penentangan terhadap kasus tersebut Fadjar Asia pada salah satu edisinya memuat mosi dari Persatoean Perhimpoean Pergerakan Kemerdekaan Indonesia (P.P.K.I). Mosi yang isinya mencerca dan menyalahkan tindakan pemerintah kolonial terhadap PNI itu ditandatangani oleh pemimpin-pemimpin organisasi pergerakan yang tergabung dalam federasi tersebut yakni : Soetomo (Studie Club), Koesoemo Oetojo (Boedi Oetomo,) Tjokroaminoto (PSI) Otto Iskandardinata (Pasoendan), Dachlan Abdoellah (Sarekat Soematera), dan Hoesni Thamrin (Kaoem Betawi).
Mosi yang merupakan hasil kesepakatan dari pertemuan tertutup tokoh-tokoh pergerakan pada tanggal 12 Januari 1930 di Jakarta itu antara lain menyebutkan bahwa tindakan pemerintah terhadap tokoh-tokoh PNI telah melukai hati rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia akan terus melanjutkan pergerakan kemerdekaan bangsanya sampai berhasil. Khusus bagi PNI meskipun tokoh-tokoh terasnya ditahan namun akan terus melanjutkan dan menguatkan pergerakannya. Mosi ini kemudian diserahkan kepada Dewan Rakyat (Volksraad).
Keterangan pemerintah kepada Volksraad sehubungan dengan kasus PNI dalam bentuk tertulis yang dibacakan oleh Klewiet de Jonge selaku Wakil pemerintah untuk perkara umum pada sidang Volksraad tanggal 10 Januari 1931 pada hari yang sama dimuat oleh Fadjar Asia dan disambung pada penerbitan berikutnya. Dalam keterangannya itu pemerintah kolonial Hindia Belanda menjelaskan alasan-alasan ditahannya tokoh-tokoh PNI. Pemerintah merasa perlu untuk memberikan penjelasan tentang penahanan tersebut sebab :
…keterangan dari pihak pemerintah adalah perloe poela dan bergoena oentoek menghilangkan paham salah dan pikiran keliroe. Kehendak college ini akan segera mendapat keterangan itoe sebagai terkoempoel dalam mosi toean2 Koesoemo Oetojo dkk jang telah diterima oleh college pada tanggal 3 Janoeari boelan ini tidak dengan oendian, hanja mengoeatkan niat jang memang soedah terkandoeng dalam hati pemerintah..
Penahanan tokoh-tokoh pergerakan dari PNI itu dilakukan pemerintah bukan untuk mentaati hukum (undang-undang) akan tetapi karena suatu hal yang memang harus dilakukan untuk menghindari terulangnya peristiwa tahun 1926 dan 1927 yakni pemberontakan PKI. Tokoh-tokoh pergerakan itu dianggap telah melakukan kejahatan yang “…tidak sadja melanggar art.108 W.v.s (Pemufakatan) mengadakan pemberontakan, demikian joega artikel 106 jang melarang menjertai soeatu perkoempoelan jang bermaksoed hendak mengerjakan kedjahatan”. Menurut pemerintah, Soekarno dan kawan-kawan adalah:
… orang-orang jang hendak mendjalankan pergerakan ,,Lepas dari Nederland” tentoe telah mengetahoei, bahwa propaganda jang dilakoekan dengan soenggoeh (actief) soepaja dengan selekas-lekasnja tertjapai tjita-tjita ,,Lepas dari Nederland” itoe, nistjaja akan menimboelkan bahaja besar peroesoehan dan pemberontakan, jang dipandang sebagai hasil boeah akalnja itoe…..
Keterangan pemerintah yang dinantikan oleh masyarakat Indonesia terutama kaum pergerakan menurut Fadjar Asia hanya pernyataan yang membenarkan aksinya terhadap PNI. Dengan sedikit mengejek Fadjar Asia menulis dalam rubri Tanah Air yang diberi title “Keterangan Pemerintah Tidak Memoeaskan” yakni : “ …keterangan pemerintah jang baroe saja dinjatakan dalam Volksraad itoe tidaklah memoeaskan sehingga lantaran keterangan itoe bolehlah kita katakana barang apa jang moela-moela boeat sesaat kita kirakan segadjah besarnja achirnja tinggal sekatak besarnja”.
Peristiwa yang menimpa PNI menurut Fadjar Asia merupakan cobaan tidak hanya bagi warga PNI tetapi juga bagi semua kaum pergerakan nasional. Sebab, tiap-tiap aktifitas pergerakan nasional pada hakekatnya adalah usaha untuk menuju atau menciptakan perubahan yang besar dan signifikan. Oleh karena itu “…ta’ boleh tidak wadjiblah ada rintangannja, wadjib menderita pertjobaan atas dirinja.” Harapan agar kaum pergerakan dapat mengambil hikmah dari kasus PNI ini kembali dipertegas Fadjar Asia. Menurut surat kabar ini rintangan-rintangan dan penganiayaan yang dilakukan secara keji dan sadis yang dilakukan pemerintah terhadap kaum pergerakan sesungguhnya “…tidak lain pada hakekatnja melainkan bergoena sebagai oejian bagi kebangoenan dan kemoeliaan maksoed dan toejoeannja kaoem jang bergerak menoenjoekkan kebenaran ataupoen jang bergerak menoejoe peroebahan besar”.
Dukungan Fadjar Asia terhadap tokoh-tokoh PNI yang ditahan pemerintah tidak sampai pada sidang pengadilan tokoh-tokoh tersebut, sebab saat persidangan yang digelar sekitar Bulan Agustus 1930 Fadjar Asia tidak terbit lagi. Fadjar Asia tidak dapat menyaksikan langsung kiprah tokoh-tokoh pergerakan tersebut di hari-hari berikutnya. Dengan kata lain Fadjar Asia tidak bisa memberikan pembelaan terhadap penderitaan kaum pergerakan itu dari pelaksanaan hukum pemerintah yang sewenang-wenang.

5. Derita Rakyat dalam Liputan Fadjar Asia
Sebagai suratkabar pergerakan yang lahir dan tumbuh di tanah jajahan yang rasialis dan rakyatnya hidup di bawah penindasan pemerintah Fadjar Asia berkewajiban untuk ikut membela penderitaan rakyat. Fadjar Asia menyadari benar bahwa rakyat bumiputera sukar memperoleh keadilan karena rakyat dapat diperlakukan seenaknya saja oleh pemerintah. Dalam keadaan yang demikian, menurut Fadjar Asia, rakyat tidak bisa berbuat banyak dan terpaksa harus menahan segala kepedihan dan penderitaan. Dalam keadaan seperti ini Fadjar Asia tampil dan memberi perhatian serta dukungan terhadap aktifitas rakyat yang memperjuangkan hak-hak hidupnya.
Kesenggsaraan dan penderitaan hidup rakyat terjadi semata-mata kesewenang-wenangan aparat pemerintah. Dalam pengamatan Fadjar Asia pemerintah dan semua aparatnya telah melanggar undang-undang dan peraturan yang telah ditetapkan. Kondisi rakyat bumiputera yang sangat menyengsarakan itu diekspos Fadjar Asia secara gamblang di antaranya adalah kebengisan dan kesewenang-wenangan polisi yang seringkali melakukan penangkapan dan penahan terhadap orang-orang yang sebenarnya tidak bersalah. Orang-orang yang ditahan meskipun tidak jelas kesalahannya sering kali mendapat penyiksaan. Tidak sedikit di antara tahanaan itu yang kemudian meninggal atau menjadi cacat. Tidak jarang pula orang yang kemudian terbukti tidak bersalah sama sekali ketika dibebaskan pulang dengan kondisi pisik yang mengenaskan. Padahal sebelumnya kondisi pisiknya segar bugar. Fadjar Asia sangat menyesalkan kejadian tersebut. Menurut suratkabar ini polisi sangat kejam kepada rakyat. Seharusnya polisi dapat menjadi mitra rakyat dalam menjaga keamanan dan ketertiban lingkungan. Bukan menjadikan rakyat sebagai musuh yang harus diperangi.
Kesewenang-wenangan juga terjadi di bidang hukum atau undang-undang yang ditandai dengan seringnya hakim dan atau pejabat pemerintah lainnya yang semena-mena dalam memutuskan perkara, sehingga rakyat harus menanggung segala akibatnya. Pengambilan keputusan tidak lagi disandarkan pada undang-undang yang berlaku sehingga tidak ada keadilan bagi rakyat dan rakyat selalu berada dalam posisi yang salah. Keburukan dan kekejaman pemerintah yang oleh Fadjar Asia disebut tidak manusiawi lagi segera dipublikasikan dengan memuat tulisan yang antara lain menyebut bahwa peraturan atau undang-undang yang dibuat pemerintah bukan lagi untuk melindungi dan memberi rasa keadilan pada rakyat tetapi hanya untuk menjaga keamanan dan ketertiban negeri serta untuk kelanggengan kekuasaan pemerintah.
Menurut Fadjar Asia, hukum dan segala peraturan lainnya idealnya adalah untuk kepentingan rakyat agar terhindar dari segala tindakan pejabat pemerintah yang semena-mena bukan untuk menindas apalagi menyusahkan rakyat. Dengan kata lain segala peraturan yang dibuat oleh pemerintah adalah untuk melindungi rakyat dan membantu rakyat untuk mendapatkan hak-haknya. Selanjutnya Fadjar Asia menegaskan: “Seorang residen dengan kehendaknja belaka dapat mehapoeskan kemerdekaan-kemerdekaan ra’jat. Salahkah djika kita katakan, bahwa wet jang indah-indah bunjinja itoe dan jang memberi deradjat kemoeliaan kepada keradjaan Nederland dalam politik berdjadjahan kalah harganja dengan kehendak seorang residen sadja”.
Ternyata himbauan Fadjar Asia kepada pemerintah agar memperlakukan rakyat dengan baik dan bijaksana tidak ditanggapi. Rakyat tetap saja menderita dan tidak tersentuh keadilan. Meskipun telah berkali-kali rakyat memohon dan mencari keadilan, namun yang didapat justru kebuasan pemerintah beserta seluruh aparatnya. Dengan nada menyindir, Fadjar Asia menyebutkan bahwa bagi rakyat kekuasaan identik dengan kebuasan.
Kondisi rakyat yang semakin hari semakin mengenaskan mendorong Fadjar Asia kembali untuk membeberkannya. Menurut Fadjar Asia, rakyat adalah manusia yang juga mempunyai hak, tetapi rakyat selalu mengalami kesulitan untuk mendapatkan hak-haknya. Meskipun ada hakim, hukum, dan pengadilan tetapi itu semua hanya perangkat kekuasaan. Rakyat selalu kesulitan dalam mencari dan mendapatkan keadilan. Rakyat sudah tidak tahu lagi kemana mencari keadilan.
Menurut Fadjar Asia, sebagai manusia yang lemah dan hidup di bawah kekuasaan pemerintah rakyat seharusnya mendapat perlindungan hukum dan keadilan untuk keamanan dan kesejahteraan hidupnya. Jika hukum berpihak kepada rakyat maka dapat dipastikan rakyat akan menjalankan kewajibannya dengan baik. Petugas hukum baik polisi maupun hakim wajib menunjukkan kesabaran dan memperlihatkan moralitas yang tinggi. Keramahan dan kemurahan hati patut ditunjukkan para petugas hukum sebab mereka adalah bagian dari tegaknya hukum dan keadilan. Jika hal-hal tersebut tidak dimiliki oleh para penegak keadilan maka akan hancurlah wibawa mereka dan pada gilirannya hal tersebut akan merusakkan keamanan dan ketertiban yang coba dibangun pemerintah.
D. Peraturan Pemerintah tentang Pers.
Peraturan pertama terhadap pers dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tanggal 8 April 1856 yang termuat dalam "Reglement of de Drukwerken in Nederlandsch- Indie". Peraturan ini dibuat sebagai reaksi terhadap munculnya pers swasta di daerah koloni yang sebahagian besar berkarakter liberal dan sering dianggap mengganggu pemerintah karena kecenderungannya untuk selalu bersikap terang-terangan dan menghasut. Peraturan tentang pers itu merupakan alat untuk mengekang pertumbuhan pers dan merupakan cara yang
efektif untuk menindak setiap kritikan yang tidak dapat ditolelir oleh pemerintah. Pasal 13 peraturan tentang pers itu menyebutkan bahwa setiap karya cetak sebelum diterbitkan satu eksemplar harus dikirim pada pemerintah setempat, yaitu kepada pejabat Justisi dan Algeemene Secretarie. Pengiriman ini harus dilakukan oleh pihak penerbit setelah ditandatangani. Bila peraturan ini tidak dipatuhi maka karya cetak tersebut akan disita dan dapat saja dilakukan penyegelan terhadap percetakan tersebut atau dikenakan denda sebesar f 50- f 1000. Pasal 17 menyebutkan bahwa pencetak atau penerbit bertanggungjawab bila sipenulis yang ditunjukkan tidak dapat dituntut.
Pada saat dikeluarkannya aturan tentang pers terse¬but pers bumi putera belum menampakkan sosok yang sesung¬guhnya, hingga yang terkena dampak dari aturan itu adalah pers Belanda sendiri. Akibatnya pihak-pihak progresif dalam masyarakat Belanda baik di negeri Belanda maupun di Hindia Belanda mencela peraturan itu, sebab pengawasan preventif sebagaimana yang tercermin dalam peraturan itu merupakan tindakan terkutuk terhadap kebebasan pers.
Kenyataannya peraturan baru ini membawa hasil yang sangat mengejutkan bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda dimana hal ini terutama berkaitan dengan semakin menyatunya pers dengan pergerakan nasional. Dengan kata lain peraturan itu tidak mencukupi untuk mengawasi pasang surut perkembangan kesadaran politik dalam masyara¬kat Hindia Belanda. Oleh karenanya pada tanggal 15 Maret¬ 1914 pemerintah kolonial memberlakukan Haatzai Artikelen yakni pasal tentang penanaman benih kebencian) yang ter¬cantum dalam pasal 154-157 ditambah dengan pasal 207 dan 208 dari Wetboek van Strafrecht van Nederland-Indie yang baru dengan maksud mempermudah pelaksanaan penindakan terhadap pers.
Memasuki tahun 1930-an pergerakan nasional Indonesia semakin menunjukkan keradikalannya. Kondisi ini tentu saja mengkhawatirkan pemerintah kolonial Hindia Belanda, oleh karena itu pemerintah menganggap perlu untuk mengambil tindakan antisipatif dengan mengambil tindakan terhadap alat per¬juangan yang paling ampuh dari pergerakan nasional, yaitu pers. Untuk itu pada tanggal 7 september 1931 pemerintah mengeluarkan apa yang kemudian dikenal dengan Persbreidel Ordonantie. Inti dari peraturan ini adalah memberi kekuasaan kepada Gubernur Jendral untuk melarang mencetak, mengeluarkan dan menyebarkan surat kabar atau majalah jika media pers itu dianggap mengganggu rust end orde. Pasal 2 ordonansi ini menegaskan, bahwa Gubernur Jendral berhak melarang percetakan, penerbitan, dan penyebaran Surat Kabar paling lama 8 hari. tetapi apabila sesudah terbit media masa tersebut dianggap mengganggu ketertiban umum lagi maka larangan terbit bisa lebih lama lagi meskipun tidak lebih dari 30 hari berturut-turut.
Penting untuk diketahui, bahwa siapapun yang terkena peraturan ini tidak diberi kesempatan untuk membela diri, tidak diadakan kemungkinan untuk meminta keputusan yang lebih tinggi, juga pemeriksaan umum sama sekali tidak terbuka hingga masyarakat umum tidak mengetahui apa yang menjadi alasan dari hukuman yang diberikan kepada mereka yang terkena aturan itu. Dengan adanya Persbreidel Ordonantie, maka hidup matinya media pers tergantung pada pendapat pemegang kekuasaan. Kekuasaan de Jonge selaku Gubernur Jendral Hindia Belanda terlihat ketika ia mengadakan pembersihan dalam pergerakan nasional dengan tidak hanya melakukan penangkapan para pejuang kemerdekaan tetapi juga melarang terbitnya media pers yang dianggap melanggar ketertiban umum. semua itu dimungkinkan, karena Gubernur Jendral mempunyai hak luar biasa.
Sejak diberlakukannya Persbreidel Ordonantie tahun 1931, dunia pers bumiputera mulai menghadapi ranjau pemberangusan oleh penguasa kolonial. Sebagaian pers itu terpaksa lebih hati-hati untuk menghindari penindakan dari pemerintah kolonial demi kepentingan yang lebih luas lagi. Sebagian lainnya tidak dapat menghindar dari tangan besi pemerin¬tah. Menurut Pluvier antara tahun 1931 sampai 1936 tidak kurang dari 27 pers bumi putera yang dibreidel oleh pemerintah.
E. Penutup
Berdasarkan uraian terdahulu dapat dicermati bahwa Fadjar Asia telah memperlihatkan secara menyolok sikap agresif dan mengkritisi, baik secara halus maupun kasar tindakan pemerintah kolonial yang banyak menimbulkan kesulitan dan kesengsaraan di kalangan rakyat bumiputera. Kemudian, dengan lantang pula suratkabar ini membela pergerakan nasional Indonesia serta memihak kepada rakyat bumiputera yang tertindas. Sikap demikian itu merupakan tuntutan bagi setiap media pers bumiputera dalam keikutsertaannya membela harga diri bangsa apapun resikonya. Meskipun demikian sepanjang hidupnya Fadjar Asia tidak pernah berurusan dengan pihak pemerintah. Tidak sekalipun redaksi atau jurnalisnya yang berurusan dengan pemerintah sehubungan dengan kerasnya kecaman dan krtitikan yang dilontarkan media kaum pergerakan itu. Setidaknya ada dua 2 (dua) alasan yang dapat dikemukakan mengenai terhindarnya Fadjar Asia dari tindakan pemerintah.
Pertama, Fadjar Asia terbit pada masa Gubernur Jenderal de Graeff, seorang pejabat pemerintah yang dikenal sangat liberal. Meskipun ia mempunyai hak luar biasa (exorbitante recht), namun ia tidak menggunakan hak luar biasanya itu untuk menindak Fadjar Asia. Lain halnya dengan sikap Gubernur Jenderal setelahnya, yakni de Jonge yang memang sejak mula sudah bertekad untuk tidak mentolerir semua omong kosong agitator politik bumiputera yang dianggapnya sok pintar. Exorbitante recht yang digunakan de Graeff hanya untuk kondidi-kondisi yang genting dan mendesak ternyata oleh de Jonge digunakan dengan sangat mudahnya termasuk untuk media pers yang tidak disenanginya. Hasilnya banyak terjadi pembreidelan terhadap pers pergerakan. Jadi, adalah suatu kebetulan bahwa Fadjar Asia terbit pada saat Hindia Belanda dipimpin oleh seorang Gubernur Jenderal yang sangat liberal dan tidak memanfaatkan kekuasaan untuk semena-mena menggunakan hak luar biasanya, sehingga Fadjar Asia terhindar dari tindakan pemerintah yang dapat menghambat peredarannya.
Kedua, sebagaimana telah disebutkan bahwa peraturan pemerintah mengenai pembreidelan pers (Persbreidel Ordonantie) baru muncul setelah Fadjar Asia tidak terbit lagi. Jika peraturan tersebut telah muncul pada masa terbitnyanya Fadjar Asia bukan mustahil surat kabar tersebut juga menjadi korban peraturan tersebut seperti media pergerakan lainnya. Kemungkinan dapat dibreidelnya Fadjar Asia didasarkan pada pengamatan bahwa surat kabar ini banyak mengkritisi dan mengecam kebijakan-kebijakan pemerintah baik dengan bahasa yang halus maupun kasar.
Keberanian Fadjar Asia “menentang arus” dan bersuara lantang membela rakyat bumiputera yang menderita, sengsara, dan tertindas oleh sikap pemerintah kolonial Hindia Belanda sesungguhnya merupakan hal yang tabu ketika itu. Akan tetapi, sebagai bagian dari perjuangan rakyat bumiputera dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia, Fadjar Asia tidak bisa tinggal diam melihat penderitaan bangsanya. Fadjar Asia telah memposisikan dirinya sebagai alat penerangan dan sarana untuk menyebarluaskan ide-ide kaum pergerakan. Tuntutan agar pers bumiputera dapat menjadi alat pembela rakyat yang sengsara dan menderita telah dijalankan oleh Fadjar Asia. Dengan kata lain, Fadjar Asia ikut menentang keberadaan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Meskipun masa terbit Fadjar Asia hanya selama 33 bulan, namun ia telah turut menjadi saksi bagi tumbuh dan berkembangnya semangat perjuangan kemerdekaan Indonesia.

(Artikel lengkap akan diterbitkan dalam Jurnal Tabuah Edisi Januari/Juni 2011)

Selengkapnya...

Rabu, 06 Oktober 2010

Pengaruh Arsitektur Rumah Gadang Terhadap Masjid Kuno di Minangkabau

Oleh : Sudarman, MA (Dosen Arkeologi Islam FIB-Adab)

Karya arsitektur termasuk dalam bentuk kebudayaan materi sehingga mudah untuk diamati dan di observasi (Koentjaraningrat 1974: 110). Kebudayaan materi tidak berdiri sendiri, dia lahir dari sebuah ide dan prilaku, mengkaji budaya materi sebenarnya meneleti tentang budaya ide dan tingka laku. Materi hanya sebagai alat untuk menafsirakan budaya masa lalu yang sempat terekam oleh benda-benda yang pernah dipergunakan oileh pemangku budaya tersebut.


Pembabakan sejarah arsitektur Indonesia menurut Djauhari Sumintarja yang dikutip oleh Syafwandi ( Syafwandi : 1983 : 50-52) adalah :
1. Rumah Tradisional, istilah rumah tradisional dapat diartikan sebuah rumah yang dibangun dan dugunakan dengan cara yang sama sejak berapa generasi. Suatu hal yang menarik dari ciri rumah tradisional adalah peninggian lantai, seperti di Aceh, Minangkabau. Ciri lainnya adalah dari segi konstruksi, yang dibangun dengan kolong atau tinggi, sehingga kolong rumah dapat dimamfaatkan sebagai tempat menyimpan barang
2. Arsitektur Hindu, arsitektur masa kebudayaan Hindu adalah sejumlah arsitektur dari zaman dan tempat dari suatu lingkungan masyarakat Hindu.pada masa ini kayu masih digunakan sebagai bahan utama pembuatan rumah, perjalanan selanjutnya batu menjadi bahan dominan yang dipergunakan untuk membuat bangunan profan dan sakral. (Heinz Frick; 1997)
3. Arsitektur masa kebudayaan Islam, arsitektur masa kebudayaan Islam adalah sejumlah arsitektur dari zaman dan tempat dari suatu lingkungan masyarakat Islam. Kebudayaan Islam di Indonesia dimulai pada akhir abad XIII, ketika Sumatera didirikan suatu kerajaan Islam yang bernama Pasai. Dalam kekayaan arsitektur kebudayaan Islam di Indonesia yang meliputi bangunan mesjid, istana, menara dan makam-makam.
4. Arsitektur masa penjajahan Barat, adalah arsitektur yang direncanakan dengan ide Barat. Di Indonesia ciri Barat mulai tampak ketika Portugis abad XVI datang ke pulau Maluku untuk berdagang rempah-rempah. Di sanalah mulanya terdapat bangunan-bangunan yang didirikan dengan ide barat. Kemudian pada dekade berikutnya Belanda pun tak ketinggalan dengan benteng Fort Victoria-nya yang dibangun tahun 1580 di Ternate.
5. Perkembangan Arsitektur masa empat Windu merdeka, pangkal dari arsitektur zaman ini dimulai tahun 1984.
Pada masa arsitektur kebudayaan Islam inilah mesjid menjadi simbol karya arsitektur yang sangat unik. Keunikannya bukan hanya sekedar bentuknya yang tidak sama dengan mesjid yang ada wilayah lain, juga keunikannya terletak dari perdebatan para ahli tentang budaya apa yang mempengaruhi arsitektur mesjid di Nusantara. Menurut Tawalinuddin (Tawalinuddin; 2010) ada dua aliran besar yang berkembang tentang arsitektur mesjid di Nusantara. Pertama aliran India sentris yang dipelopori oleh de Graaf, dia menyatakan bahwa arsitektur mesjid di Nusantara berasal dari India, karena mesjid-mesjid di Nusantara atapnya bertiingkat hal ini juga terjadi di mesjid-mesjid Malabar. Kedua, aliran Nusantara sentris yang dipelopori oleh Stuttreheim dan Sutjipto Wiryosuparto, keduanya sepakat bahwa arsitektur mesjid di Nusantara di pengaruhi oleh budaya lokal atau arsitektur tradisional.
Berdasarkan landasan perdebatan tentang budaya mana yang mempengaruhi mesjid di Nusantara, maka mesjid di Minangkabau juga perlu dikaji secara mendalam. Karena de Graaf telah menjustifikasi bahwa mesjid Taluk di Minangkabau berasal dari Malabar. Pendapatnya ini didasarkan adanya kesamaan antara arsitektur mesjid Taluk dengan mesjid yang ada di Malabar. Padahal Tawalinuddin (Tawalinuddin; 2010) berpendapat bahwa atap mesjid di Minangkabau bergonjong sama dengan atap rumah adat Minangkabau.
Kedua pendapat yang berbeda diatas tentunya tidak bisa di generalisir kepada semua mesjid kuno yang ada di Minangkabau, karena setiap mesjid yang ada di Minangakabau memiliki ciri khas yang berbeda, tentu harus ada pola-pola umum yang bisa dijadikan patokan untuk melacak arsitektur yang mempengaruhi mesjid di Minangkabau. Yang pasti bahwa orang Indonesia umumnya dan orang Minangkabau khususnya yang sudah menjadi muslim tetap sebagai orang Indonesia/Minangakabau, demikian juga budayanya tetap budaya Indonesia/Minangkabau oleh karena itu masuk akal jika mereka membangun mesjidnya dengan meniru (mengambil) bentuk bangunan yang sudah ada sebelumnya. (Tawalinuddin 2010). Maka penelitian ini akan memelacak unsur-unsur apa saja yang dipengaruhi oleh Arsitektur Rumah Gadang terhadap mesjid kuno di Minangkabau?

II. Arsitektur Tradisional Minangkabau
Arsitektur Tradisional Minangkabau mempunyai kekhasan dan ciri tersendiri baik dalam bentuk arsitekturalnya maupun filosofi yang dikandung bentuk bangunannya dan mempunyai hubungan yang erat dengan setting sosial budaya masyarakat. Karakteristik suatu bangunan dapat ditinjau berdasarkan topologi, morfologi dan tipologi. Elemen-elemen arsitektur tradisional dapat menjadi karakteristik dari suatu daerah tersebut. Menjadikan suatu daerah dan mengingatkan orang atau masyarakat terhadap suatu lingkungan tertentu (Elfida Agus; 1999)
Ditinjau dari bentuk, ukuran, serta gaya pemerintahan Kelarasan dan Gaya Luhak, Rumah Gadang mempunyai nama yang beraneka ragam. Menurut Gaya Kelarasan aliran Koto Piliang, bentuk Rumah Gadangnya diberi nama Garudo Taban, karena di kedua ujung rumah diberi beranjang (gonjong). Sedangkan Rumah Gadang dari Kelarasan Bodi Caniago lazimnya disebut Garudo Menyusukan Anak. Bangunan tidak beranjung atau berserambi pada bagian kiri dan kanan bangunan, tetapi pada bagian ujung kiri dan kanan di bawah gonjong diberi beratap (emper) yang merupakan sayap burung yang sedang mengerami anaknya.
Jika menurut Gaya Luhak, masing-masing Luhak mepunyai gaya dan namanya sendiri. Rumah Gadang yang merupakan kepunyaan dari Kaum Penghulu Pucuk di Luhak Tanah Datar dinamakan Gajah Maharam karena besarnya. Sedangkan modelnya Rumah Baanjuang karena Luhak tersebut menganut aliran kelahiran Koto Piliang.
Rumah Gadang Luhak Agam merupakan kepunyaan Kaum Penghulu Andiko (yang memerintah) dinamakan Serambi Papek (Serambi Pepat) yang bentuknya bagai dipepat pada bagian kedua ujung bangunannya. Sedangkan modelnya adalah Rumah Gadang di bawah gonjong pada kedua ujungnya diberi ber emper dengan atap, karena Luhak tersebut menganut Kelarasan Bodi Coniago.
Rumah Gadang Luhak Limopuluh Koto disebut dengan Rajo Babandiang yang bentuknya seperti rumah di Luhak Tanah Datar yang tidak mempunyai dan memakai Anjuang pada kedua ujung bangunan atau tidak mempunyai lantai yang ditinggikan pada kedua ujung bangunannya.
Bentuk dasar dari bangunan Rumah Gadang berbentuk segi empat atau empat persegi panjang yang tidak simetris yang mengembang ke atas. Dilihat pada sisi lain maka Rumah Gadang adalah Rumah Panggung, karena lantainya terletak jauh di atas tanah.
Rumah Gadang bentuknya yang memanjang tersebut biasanya didasarkan kepada jumlah ruang dalam bilangan ganjil: 3,5,7,9, dan ada pula 17 ruang pada masa lalu tetapi sekarang tidak diketemukan lagi (Syamsidar, 1991).
Menurut Usman yang dikutip oleh Elfida Agus (1995), ada 3 (tiga) point perwujudan hasil budaya Minangkabau yang dapat dirasakan sebagai pengamat, yaitu:
1. Ideal (mengandung nilai-nilai atau norma)
2. Tingkah laku berpola (upacara ceremonial)
3. Fisik (karya nyata)
Yang dimaksud dengan arsitektur Minangkabau tersebut ialah karya nyata masyarakat Minangkabau kedalam wujud fisik, dimana wujud dan bentuknya marupakan pengejawantahan sistem dan tatanan sosial budaya yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau ke tiga luhak tersebut. Yang sering dikenal masyarakat awam ialah arsitektur rumah bagonjong (bergonjong), dimana atapnya melengkung dan badannya melendut dibagian tengah. Memang bentuk ini banyak dipakai sebagai wujud arsitektur Minangkabau, namun sebenarnya masih mampunyai banyak ragam hias berdasarkan type-typenya.




III. Arsitektur Mesjid di Minangkabau
Islam masuk ke Minangkabau melalui dua jalur. Pertama melalui jalur Pesisir Timur (Selat Malaka) melalui Rantau Kuantan, Kampar, Siak dan Indragiri. Kedua dengan Pesisir Barat (Samudra India) melalui Bandar-bandar lama seperti Tiku dan Pariaman. (Aswil Rony dkk ; 2002,11; 2002; 11). Selanjutnya agam Islam dari Pesisir Timur (daerah rantau) dan daerah Pesisir Barat bertemu di daerah Minangkabau asli. Inilah mungkin yang dimaksud pepatah (syara’ mendaki, adat menurun) yang artinya adat turun kedaerah rantau (Pesisir) dan syara’ (hukum agama) mendaki ke darek (wilayah asal nenek moyang Minangkabau). (Aswil Rony dkk , 2002; 11)
Sejak Islam datang dan mejadi agama mayoritas di Minangkabau, maka Islam yang datang itu tidak serta merta kemudian menghapus tradisi dan kebudayaan yang telah berkembang sebelumnya. Bahkan yang terjadi adalah adanya pengaruh Hal ini telah diakomodir dalam statmen adat “balabuah batapian, babalai bamusajik” syarat berdirinya suatu Nagari harus memenuhi empat usur; (Aswil Rony dkk, 2002; 11)
1. Mempunyai jalan, untuk perhubungan (balabuah)
2. Mempunyai tempat mandi (batapian)
3. Mempunyai tempat musyawarah (babalai)
4. Mempunyai mesjid, sarana ibadah (bamusajik)
Menurut Yulianto Sumalyo, arsitektur mesjid di Minangkabau bersifat vernacular artinya memakai bentuk-bentuk setempat (arsitektur tradisional) seperti mesjid Taluak di Bukittinggi, terlihat jelas selain pada hiasannya,juga pada atapnya miring sangat tajam. Pada puncak atapnya yang pIramidal empat tingkat (dalam bahasa Minang barundak) dihias dengan miniatur rumah gadang , yaitu rumah adat Minangkabau dengan atap mejemuk runcing mencuat di ujung-ujungnya. (Yulianto Sumalyono; 2000; 478). Menurut Sudarman (sudarman; 2007; 87) ada tiga tipe arsitektur mesjid di Minangkabau. Pertama, tipe mesjid Koto Piliang. Mesjid tipe pertama ini mengadaopsi arsitektur rumah gadang dengan menghadirkan gonjong di diatas puncak mesjid. Kedua, tipe Bodi Caniago. Tipe ini menghilangkan simbol-simbol rumah gadang secara masif. Ketiga, tipe campuran antara Koto Piliang dengan Bodi Caniago.
IV. Unsur mesjid yang dipengaruhi oleh arsitektur Rumah Gadang
Untuk melihat sejauh mana pengaruh arsitektur tradisional (rumah gadang) terhadap mesjid kuno di Minangkabau, maka dilakukanlah analisis komperatif (analiasa perbandingan). Dari perbandingan itulah kemudian akan ditemukan apa saja arsitektur mesjid yang dipengaruhi oleh arsitektur rumah gadang.
Menurut Roseri Rosdy Putri, arsitektur rumah gadang terdiri dari (Roseri Rosdy Putri ;1990 ;72)
1. Lantai
Bangunan dengan lantai yang ditinggikan sehingga terletak diatas tanah, dikenal dengan sebutan rumah panggung, merupakan ciri asli arsitektur daerah di Indonesia, lantai yang ditinggikan ini dimaksudkan untuk memberi perlindungan diri dari gangguan alam seperti ancaman banjir, gempa, kelembaban udara, dan ganguan binatang buas.
Lantai terbuat dari papan. Ke ujung kiri kanan dari lantai ditinggikan satu tingkat atau dua tingkat dinamakan anjung. Bila Rumah Gadang tidak beranjung maka lantai yang sebelah kedua ujungnya juga tinggi merupakan lantai perahu.
Pada Rumah Gadang yang asli, lantai tidak terbuat dari kayu, akan tetapi dibuat dari bambu yang dipecah dan didatarkan yang disebut dengan palupuah. Jadi tidak menggunakan paku di dalam pemasangannya tetapi hanya menggunakan rotan yang telah dibelah untuk mengikat sehingga lantai tersebut tidak terlepas dan bercerai berai (Syamsidar, 1991).
Mayoritas mesjid kuno di Minangkabau lantainya ditinggikan, maksud dan tujuannya tidak jauh berbeda dengan lantai rumah gadang. Kemiripan ini bukan dengan tanpa sengaja, tetapi ada by design yang sudah direncanakan. Pendirian mesjid koto nan ampek di kota Payakumbuh, bersamaan dengan didirikannya rumah gadang bahkan letaknya saling berdekatan. Kesamaan ini karena dilatarbelakangi juga oleh tukang yang membut mesjid dan rumah gadang yang diarsiteki oleh satu orang. Sehingga memungkinkan untuk membuat lantai yang sama.


2. Tiang
Teknik dan cara pembuatan bangunan Rumah Gadang pada bagian tengah pada dasarnya merupakan kelanjutan dari teknik dan cara pembuatan atau mendirikan tiang-tiang atau tonggak-tonggak yang ada dalam sebuah Rumah Gadang seperti disebut dengan tiang: tonggak tuo maksudnya tiang yang dituakan di mana pada tiang tersebut menghubungkan seluruh tiang-tiang bangunan rumah gadang. Tiang panjang merupakan tiang-tiang yang melintang berdekatan dengan tonggak tua dan ada lagi tiang yang disebut dengan tiang dalam, tiang temban, tiang dapur, tiang tepi, tonggak gantung yang kesemuanya adalah tiang-tiang yang membentuk kerangka Rumah Gadang menjadi empat persegi panjang dengan dibatasi oleh tiang-tiang pada garis tengah rumah. (Roseri Rosdy Putri ;1990; 57)
Tiang Rumah Gadang berbentuk dasar bulat yang dibuat bersegi-segi. Tidak ada tiang rumah Gadang yang terbuat dari kayu bulat. Tiang merupakan bagian penting dari bangunan. Segi-segi dari tiang tidak sama besarnya. Tiang yang besar terdapat pada tengah bangunan. Tiang yang berada di tengah bangunan dibuat bersegi 8 sedangkan yang terletak di samping bersegi 5. Tiang-tiang ini banyak fungsinya, yang mana tiap nama menunjukkan fungsinya yaitu tiang: tepi, temban, tengah, dalam panjang, salek, dapur, yang kesemuanya diberi ukiran yang sesuai menurut fungsinya (Syamsidar, 1991).
Kayu yang dipilih dalam pembangunan Rumah Gadang adalah kayu yang terbaik. Terutama yang akan digunakan sebagai tiang. Hal inidisebabkan karena tiang-tiang pada banguan Rumah Gadang tidak ditanam ke dalam tanah sehingga diperlukan kayu yang kuat. Kayu tersebut dipotong dengan besaran yang berbeda tergantung nantinya akan dijadikan tiang yang mana. Ada beberapa macam tiang yaitu tuo, tepi, temban, tengah, dalam, panjang, salek, dan dapur. Tiang-tiang tersebut memiliki ukuran yang berbeda-beda karena memiliki fungsi yang berbeda. Tonggak tuo berada di tengah bangunan memiliki segi 8 dan ukuran yang paling besar. Hal ini disebabkan karena tiang ini merupakan tiang utama yang menyangga bangunan Rumah Gadang dan menghubungkan antara tiang-tiang yang lain. Tiang-tiang yang lain memiliki segi 5 dengan besaran yang lebih kecil karena fungsinya bukan sebagai kolom struktur. Dari susunan tiang-tiang tersebut dapat disimpulkan bahwa bangunan Rumah Gadang memiliki jenis struktur/kerangka batang.
Mesjid yang ada di Minangkabau seluruhnya mempergunakan tiang sebagai penyanggah utama, mesjid raya lima kaum memiliki tiang 99 buah, mesjid Ganting Padang di topang oleh 25 tiang, demikian juga dengan mesjid-mesjid kuno yang lainnya. Tidak berbeda dengan tiang yang ada di rumah gadang, mesjid juga mengenal tonggak tuo (dimesjid dikenal dengan tiang macu). Keberadaan tiang macu memiliki makna suci bagi bangunan mesjid, terlihat dengan bagaimana masyarakat memperlakukan tiang tersebut. Tiang macu mesjid Bingkudu diambil dari rimbo Bayur Tanah datar, untuk membawa tiang macu dari rimbo tersebut memakan waktu berbulan-bulan, demikian juga dengan tiang mesjid lima yang diambil dari Gunung Merapi dengan memakan waktu yang begitu lama.
Dilihat dari prosesi pencarian tiang yang ada di rumah gadang dan tiang yang ada di mesjid kuno di Minangkabau memiliki kemiripan serta bagaimana memperlakukan tonggak di rumah gadang dan tiang macu di mesjid kuno juga sama.
3. Kecuraman atap
Atap rumah gadang, biasa dikenal dengan sebutan gonjong, menjulang runcing ke atas. Bentuk atap yang dibangun curam ini adalah karena geografis wilayah tropis yang penghujan. Dengan demikian air hujan yang turun tidak tertahan di atap tetapi langsung jatuh ketanah. Selain itu juga untuk menghindari kebocoran. (Roseri Rosdy Putri ;1990)
Demikian juga dengan mesjid-mesjid kuno di Minangkabau memiliki atap tumpang 3 sampai 5. Jika diperhatikan, bentuk atap tumpang pada bangunan mesjid Kuno di Indonesia, bentuk tumpangnya tidaklah tinggi dan curam. Misalnya seperti yang terlihat pada mesjid Agung Cirebon, Panjunan, Angke, Marunda, Jepara dan ternate yang betarap tumpang tiga. Pada mesjid-mesjid kuno di Minangkabau, bentuk atap tumpang teraasnya justru menjulang tinggi ke atas. Hal in dapat kita lihat pada mesjid Taluk, Kubu Kerambil, Tuo Taram yang beratap tumpang 3 dan mesjid limo kaum, Padang Gantiang yang beratap lima.Kecuraman atap ini memiliki kesamaan dengan kecuraman yang terdapat pada gonjong bangunan rumah gadang. Sehingga dapat dikatakan bahwa atap bangunan mesjid-mesjid kuno di Minangkabau kemungkinan mendapat pengaruh dari gonjong bangunan rumah gadang dengan alasan pembuatan yang sama. Bahkan atap tumpang tiga tingkatan masyarakat yang disebut “urang nan tigo jinih”, yaitu penggulu, imam khatib dan urang banya (Anonim, 1888: 314-315)
4. Ragam Hias
Salah satu hal yang sangat penting pada ukiran rumah adat Minangkabau adalah nama ukirannya. Nama ukiran dapat dilihat dari kaitan ukiran dengan kehidupan masyarakat. Setiap nama ukiran melambangkan suatu gejala hidup dalam masyarakat yang menjadi pedoman dalam penyelenggaraan kehidupan masyarakat Minangkabau. Penggambaran kehidupan gejala alam dapat dilihat dari nama ukiran yang berasal dari nama tumbuh-tumbuhan dan nama binatang. Sedangkan penggambaran nilai-nilai kehidupan manusia dalam masyarakat dapat dilihat dari nama ukiran yang berasal dari kata-kata adat.
Rumah gadang terkenal kaya akan ukiran kayunya. Seni ukir Minangkabau berorientasi kepada aalam. Seluruh motif ukuran yang diciptakan dikembalikan kepada sifat-sifat dan bentuk-bentuk alam. Ukiran yang terdapat pada bangunan rumah gadang merupakan sumber dari segala perkembangan motif ukiran yang dikenal oleh masyarakat sekarang.
Ragam hias yang ada di rumah gadang juga dipergunakan sebagai rahgama hias di mesjid-mesjid kuno di Minangkabau. Mesjid Asasi Padangpanjang merupakan mesjid yang mirip dengan rumah gadang, karena seluruh badan mesjid dipenuhi oleh ragam hias yang ada di rumah gadang, hal ini menandakan bahwa pengaruh rumah gadang terhadap mesjid ini sangat dominan, demikian juga dengan mesjid-mesjid kuno yang lainnya menghadirkan ragam hias flora dan fauna yang ada driumah gadang sebagai ukiran dinding mesjid.

V. Penutup
Arsitektur Rumah gadang merupakan bangunan yang terlebih dahulu hadir dalam kehidupan budaya materi masyarakat Minangkabau, maka arsitektur sesudahya akan dipengaruhi oleh arsitektur yang terlebih dahulu hadir. Mesjid kuno hadir ditengah masyarakat yang telah memiliki kensep arsitektur bangunan tradisonal, maka sebuah kelaziman kalau arsitektur mesjid dipengaruhi oleh arsitektur rumah gadang.
Hal ini bisa dilihat dari kesamaan lantainya yang berkolong, bangunannya yang ditopang oleh banyak tiang, kecuraman, serta ragam hias yang dipergunakan untuk menghais dindind rumah gadang dan mesjid kuno.


Selengkapnya...

Bahasa dan Kesantunan Berbahasa

Oleh : Nofel Nofriadri, SS., M.Pd (Dosen Jur. Bahasa dan Sastra Inggris)

Diskusi pada bab ini akan dipaparkan dalam konteks ethnography of speaking dengan pendekatan yang beragam. Pendekatan-pendekatan tersebut adalah melihat kesantunan dari kacamata semantik, pragmatik dan sociolinguistic. Uraian kesantunan berbahasa ini melihat bagaimana bentuk dan fungsi dari tuturan yang berlaku terhadap penutur, antar penutur dan lingkungan social budaya.

Ada beberapa bahasan-bahasan tentang hubungan bahasa dengan kebudayaan yang sangat terkait dengan kesantunan berbahasa. Bahasa dapat dikatakan sebagai alat atau sarana kebudayaan dan juga disebut sebagai bagian kebudayaan. Bahasa dapat juga sebagai hasil dari kebudayaan. Makna dari bahasa itu sendiri juga tidak terlepas dari kontek budaya. Bahasa berupa representasi dari sebuah budaya yang juga dapat dikatakan bahwa setiap budaya berbeda dapat dilihat cara berfikir yang terefleksi dalam bahasa sebagai wujud kekhasan sebuah kebudayaan. Melihat fungsi bahasa sebagai sarana berfikir dan sebagai alat komunikasi, tentunya tata cara berbahasa dipengaruhi oleh norma-norma budaya. Kesantunan berbahasa merupakan fenomena nilai dan makna yang berfungsi dalam proses komunikasi antar personal dalam wadah budaya (satuan nilai) tertentu. Kesantunan mencerminkan pola pikir dan nilai kebudayaan, atau sebaliknya.

DIlihat secara formalis dengan pengertian bahasa sebagai bentuk, ujaran-ujaran merupakan wujud dari pemikiran atau ide yang dikemas menjadi kalimat. Kalimat tersebut dilihat dari secara semantic sehingga menjadi kesatuan pesan yang bermakna. Pesan itu kemudian ditangkap oleh lawan bicara dan kemudian terjadi proses komunikasi (paradigm funsional). Ketika proses interaksi yang memfungsikan bahasa tersebut makna merupakan sesuatu yang dinamis. Makna cendrung dipengaruhi oleh partisipan, kontek wacana dan konteks budaya. Nilai dan makna tuturan tidak hanya dicerminkan oleh makna leksikal tetapi siapa yang mengatakan, bagaimana dia mengatakan serta kapan dan dimana ia mengatakan. Disinilah kajian pragmatic yang menyangkut dengan speech act dan speech event. Nilai-nilai kesantunan berbahasa juga tercermin disini.

Dalam suatu proses komunikasi sebagai wujud tindak tutur terdapat prinsip kerjasama dalam bertutur (cooperative principle). Prinsip kerjasama dalam percakapan ini kemudian berkembang menjadi sub-prinsip yang disebut dengan maxim (quantity, quality, relation and manner). Hal-hal tersebutlah yang kemudian mencerminkan kesantunan dalam berbicara.

Secara ringkas, teori kesantunan bahsa menurut Brown dan Levinson (1978) berkisar atas nosi muka (face). Yule menyebutnya dengan face wants yang dibagi menjadi dua yaitu face threatening act dan face saving act. Muka terancam disebut sebagai muka negative dan muka positif adalah sebaliknya. Karena ada ancaman terhadap tindak ujar itu maka terdapat pula strategi untuk mengurangi atau, kalau dapat menghilangkan ancaman itu. Pilihan-pilihan itu adalah:

  1. Bald-On-Record Melakukan ujaran secara terus terang ‘apa adanya’, tanpa basa basi memenuhi prinsip Grice (maxim)
  2. Negative politeness, melakukan tindak ujar dengan kesantunan negatif.
  3. Positive politeness, melakukan tindak ujar dengan kesantunan positif.
  4. Off-Record , secara samar-samar dan tidak transparan.
  5. Tidak melakukan tindak ujaran.

Leech mendasarkan pada nosi-nosi:

  1. Maksim timbang rasa
  2. Maksim kemurahan hati
  3. Maksim pujian
  4. Maksim kerendahan hati
  5. Maksim kesetujuan
  6. Maksim simpati

Kesantunan berbahasa dapat dilakukan dengan beberapa cara:

  1. Menerapkan prinsip kesopanan: prinsip yang berusaha untuk memaksimalkan kesenangan atau kearifan, keuntungan, rasa salut atau rasa hormat, pujian, kecocokan dan kesimpatikan. Menerapkan prinsip kerjasama merupakan hal yang penting.
  2. Menghindari kata-kata tabu
  3. Penggunaan eufemisme
  4. Penggunaan kata yang honorific
  5. Menerapkan tindak tutur tidak langsung (indirect speech act)
  6. Penggunaan konstruksi berpagar, yaitu konstruksi kalimat yang menggunakan klausa subordinatif atau kelompok kata yang dapat mengurangi paksaan terhadap lawan bicara. (kalau boleh, jika tidak keberatan)
  7. Memperhatikan aspek-aspek non linguistic (paralinguistics)
Kesantunan berbahasa dalam kacamata sosiolinguistik lebih dilihat dari status individu ditengah status social yang memiliki peran social masing-masing. Kesopanan juga dapat dilihat dari kata sapaan terhadap seseorang dalam komunitas social. Sapaan ini mencerminkan nilai-nilai yang ada dalam sebuh budaya.


Selengkapnya...