Selasa, 25 Mei 2010

Menakar Nasionalisme BO dan SDI

Oleh : Drs. Irhash A. Shamad, M.Hum (Dekan FIB-Adab)

Masalah penetapan hari besar untuk mengenang perjuangan bangsa dalam suatu negara yang telah berdaulat merupakan sebuah keharusan historis untuk melestarikan nilai-nilai kejuangan yang telah diwariskan oleh generasi masa lalu, sama halnya juga dengan penganugerahan gelar kepahlawanan bagi para pelaku sejarah perjuangan bangsa itu sendiri. Akan tetapi persoalan momentum apa dan siapa tokoh yang akan ditetapkan, seringkali melibatkan berbagai pertimbangan akademis dan iklim politis pada waktu itu. Meski pertimbangan akademik pada bagian ini seharusnya menempati otoritasi paling atas, namun kepentingan politik dan kekuasaan nampaknya selalu berada lebih di depan. Oleh karena itu setiap pergantian kekuasaan dan perubahan iklim politik masalah momentum itu selalu mengundang munculnya perdebatan-perdebatan akademis dan sekaligus juga politis. Persoalan tokoh, pahlawan, maupun hari besar nasional dari sudut akademis tentulah berada di ranah kesejarahan, sementara dari ranah politis, relevansinya lebih menyangkut persoalan legitimasi dan kepentingan kekuasaan itu sendiri.
Makalah ini akan mengemukakan seputar hari kebangkitan nasional yang diperingati setiap tanggal 20 Mei yang ditetapkan semenjak tahun 1948 dengan mengambil momentum tanggal kelahiran organisasi Boedi Oetomo (BO). Akhir-akhir ini persoalan penetapan hari kebangkitan nasional ini kembali menjadi wacana yang diperdebatkan menyangkut ketepatan konteks kesejarahan yang mendasarinya dengan terminologi nasionalisme dan kebangkitan itu sendiri. Makalah ini tidaklah bertendensi memberikan preskripsi yang membenarkan atau menyalahkan, namun lebih pada maksud pengayaan wacana berdasarkan pilihan dan perbandingan analitis yang lebih mendekati pembenaran konteks kesejarahan sesuai dengan terminologi yang digunakan dalam menetapkan momentum itu sendiri.

Nasionalitas, Kebangsaan dan Kebangkitan Nasional

Persoalan dasar yang menjadi ajang perdebatan tentang hari kebangkitan nasional, sesungguhnya berawal dari konsepsi kata kebangkitan nasional itu sendiri. Sementara klaim momentum kelahiran dua organisasi Boedi Oetomo dan Serikat Dagang Islam yang sering dipertentangkan, sebenarnya adalah implikasi dari penafsiran atas aktualitas sejarah yang dipilih (mungkin dipelajari) untuk menentukan organisasi mana yang lebih tepat ditetapkan sebagai momentum yang akan diperingati.

Kebangkitan nasional adalah moment disaat mana sekelompok orang telah mendefenisikan diri mereka sebagai warga suatu “bangsa”, untuk kemudian mencoba berdiri dan bangkit dari keterpurukan akibat penjajahan dan dominasi bangsa lain. Rasa sebagai “sebangsa” dapat saja tumbuh secara imagined (meminjam istilah Ben Anderson 1991) pada saat orang-orang merasa dipersatukan oleh berbagai hal, seperti kepentingan bersama, pengalaman bersama, image tentang kesatuan bersama, dan rasa senasib dan sepenanggungan. Jadi bukan oleh adanya suatu nation dalam arti yang sesungguhnya , tetapi “nation” sebagai suatu masyarakat yang dibayangkan (imagined communities).

“Bangsa” yang dibayangkan dalam persepsi komunitas multi etnik ialah sebuah “bangsa” yang akan menjadi kulminasi dan dapat mempersatukan suku-suku bangsa yang beraneka ragam budaya menjadi sebuah kekuatan yang akan dapat mengatasi kesulitan bersama, memenuhi dan memelihara kepentingan bersama sebagai sebuah bangsa berdaulat yang juga dicita-citakan bersama. Ketika komunitas yang beragam ingin bangkit untuk menemukan realitas sesungguhnya dari “bangsa yang dibayangkan” itu, maka adalah menjadi sebuah keharusan untuk mencari titik yang mempersamakan diantara komunitas-komunitas yang ada ke dalam sebuah kepentingan bersama dengan menciptakan identitas bersama . Sehubungan dengan ini, pengalaman keterjajahan menjadi alasan utama menyatukan tekad bersama untuk bangkit. Situasi penjajahan yang dialami oleh daerah-daerah yang sama-sama merasakan tekanan penjajahan telah memilah antara warga yang dijajah (masyarakat lokal) dengan penjajah (pemerintah asing) dalam posisi yang berseberangan, dan gagasan untuk bangkit melawan ketertindasan dengan semangat untuk keluar dari situasi yang ada tentulah bukan dari kalangan yang menikmati “keuntungan” dari situasi itu . Demikianpun pengalaman penjajahan tentu belum cukup untuk mempersatukan daerah-daerah untuk bangkit secara bersama, karena perbedaan etnik antara daerah itu tentu menjadi kepentingan tersendiri, karena itu adanya simbol sebagai identitas bersama sangat diperlukan.

Perjuangan Emansipasi

Boedi Oetomo (BO) yang hari kelahirannya (20 Mei 1908) diperingati sebagai hari kebangkitan nasional dipertanyakan kembali, karena beberapa tahun sebelum kelahirannya sudah lebih dahulu berdiri sebuah organisasi yang dianggap lebih nasionalis dan mewakili aspirasi mayoritas bumiputera, yaitu Syarikat Dagang Islam (SDI).

SDI, disamping lebih dahulu tiga tahun (16 Oktober 1905) dari BO, ternyata pendiriannya merupakan suatu bentuk perlawanan yang dilakukan oleh rakyat terhadap penjajahan dalam arti yang sesungguhnya, dan dalam rangka emansipasi untuk menuntut hak yang seharusnya diberikan kepada rakyat, tanpa diskriminasi dan tanpa prasangka negatif . H. Samanhudi, pendiri SDI pada waktu itu sangat menyadari bahwa situasi penjajahan yang telah menindas bangsa ini melalui monopoli dagang Belanda dengan kerjasama etnis Tionghoa. Karena itu, perlawanan yang paling mendasar sesuai konteks masa ini adalah memperkuat basis ekonomi bangsa melalui organisasi dagang yang mempersatukan para pedagang bumiputera.

Sementara BO didirikan pada 20 Mei 1908 oleh murid-murid Sekolah Dokter pribumi di Weltevreden (yang kemudian dikenal dengan STOVIA), gagasan awalnya hanyalah sebagai perkumpulan orang-orang Jawa dan hanya untuk kepentingan etnis Jawa dan Madura . Organisasi ini lebih bersifat lokal dan bahkan hanya terbatas untuk kelas tertentu dari masyarakat Jawa, khususnya kalangan priayi . Pada awal berdirinya, BO tidak dalam posisi perlawanan terhadap penjajah untuk memperjuang nasib rakyat , tetapi justru sebaliknya memperjuangkan kelompok sendiri dan pro pemerintah, karena perkum-pulan BO ini lebih merupakan organisasi pegawai-pegawai pemerintah ketimbang mewakili aspirasi rakyat terjajah. Ini artinya bahwa aspirasi apa yang sesungguhnya ada di dalam organisasi BO, jelas bukanlah perjuangan emansipasi sebagai yang menjadi interest mayoritas bangsa pada waktu.

Identitas Kebangsaan : Islam atau Jawa?

Membicarakan tentang cikal bakal nasionalisme dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia ini, maka penelusurannya haruslah berawal dari munculnya gagasan menyatukan semua bentuk identitas kelompok (baca: suku bangsa) untuk diarahkan ke satu titik dimana semua bentuk primordialisme harus dilebur menjadi sebuah identitas baru ; kebangsaan. Namun, dalam kondisi tertentu tidaklah mudah menemukan sebuah identitas bersama yang dapat menyatukan berbagai primordialisme yang akan dapat digalang untuk memperjuangkan cita-cita bersama. Islam adalah pilihan identitas bagi SDI untuk menemukan jalan masuk “penciptaan” identitas kebangsaan itu, sementara BO lebih memilih Jawaisme. Keduanya memang berangkat dari primordialisme, namun terdapat perbedaan yang sangat mendasar. Islam pada dekade ini dan sebelumnya telah membangkitkan semangat perlawanan rakyat di berbagai daerah, meski belum terdapat kesamaan kepentingan dalam perjuangan yang dilancarkan, namun simbol Islam ini terbukti telah menggerakkan secara nyata berbagai perlawanan rakyat terhadap penjajahan dan penindasan. Meskipun perlawanan rakyat daerah berlangsung secara partial, namun sentiment Islam ini telah membuat pemerintahan jajahan sangat mengkhawatirkan perkembangannya dan merasa perlu memberi perhatian tersendiri. Kekhawatiran pemerintahan kolonial bahwa Islam tidak sekedar agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk negeri, melainkan juga menjadi simbol identitas “kebangsaan” yang telah disadari sejak akhir abad ke 19 . Maka dalam kaitan pencarian identitas bangsa pada waktu ini, sesungguhnya pilihan “Islam” oleh SDI ini tidaklah dalam porsi primordialisme sempit sebagaimana banyak diasumsikan, akan tetapi lebih merupakan pilihan strategis yang sesuai konteks zamannya , yaitu sebagai identitas kebangsaan yang memang menjadi milik mayoritas bangsa ini.

:: Artikel lengkap, diterbitkan di Jurnal Khazanah Nomor 4/2010
(http://www.irhashshamad.blogspot.com)

Selengkapnya...

Ruqyah sebagai Media Pengobatan Gangguan Jin Menurut Ajaran Islam

Oleh : Drs. H. Suhefri, M.Ag (Dosen Ushul Fiqh FIB-Adab)

Sudah menjadi pengetahuan masyarakat luas di Indonesia bahwa salah satu bentuk media pengobatan yang menjadi pilihan sebagian warga masyarakat adalag ruqyah. Bahkan saking menggejalanya pengobatan dalam bentuk ruqyah ini, sampai-sampai media televisi merasa penting untuk menjadikan pelaksanaan ruqyah sebagai sebuah berita informasi. Ada pula satu fakta yang pernah terjadi di IAIN Imam Bonjol Padang ketika beberapa orang mahasiswi mengalami kesurupan.



Untuk mengobati dan menyembuhkan mereka, beberapa orang mencoba mendatangkan tiga orang dukun / paranormal ke kampus IAIN. Tetapi ternyata tidak satu orangpun yang mampu untuk menyembuhkan para mahasiswi yang sedang kesurupan tersebut. Akhirnya salah seorang anggota BEM mencoba menghubungi dan meminta datang seorang ustad ahli ruqyah, yaitu ustad Zul Asri, Lc. Alhamdulillah akhirnya dengan izin Allah SWT para mahasiswi tersebut berhasil dipulihkan seperti sedia kala.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas dalam makalah sederhana ini akan dikemukakan kupasan/bahasan tentang ruqyah yang mencangkup hal-hal berikut:
1. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan ruqyah tersebut.
2. Semenjak kapan ruqyah ini dikenal sebagai media pengobatan.
3. Berapa macam pembagian ruqyah itu.
4. Bagaimana modelnya ruqyah syar’iyyah itu dan apa saja keistimewaannya.
5. Bagaimana bentuk pelaksanaan ruqyah.
6. Berbagai penyakit apa saja yang dapat diobati melalui ruqyah.
7. Beberapa aspek tentang jin yang perlu diwaspadai.
8. Sihir dan hubungannya dengan jin.
9. Membentengi diri dari sihir dan dari gangguan jin.
Itulah beberapa hal kajian pokok dalam makalah ini, yang melalui kupasannya diharapkan para pembaca memperoleh informasi yang jelas dan bermanfaat. Namun bila ditemukan kekurangan dan kekeliruan, maka penulis akan sangat berterima kasih atas masukan dan koreksian yang diberikan, guna terwujudnya makalah yang lebih sempurna dari bentuknya yang ada saat ini.
B. Hakikat Ruqyah
Kata ruqyah adalah bentuk isim mufrad yang jamaknya adalah al-Ruqa yang secara harfiyah berarti jampi, mantera, dan bacaan. Sedangkan menurut istilah syar’i, ruqyah adalah jampi berupa bacaan yang terdiri dari ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-hadits shahih yang dibacakan sebagai lafaz doa guna memohon kepada Allah SWT agar diberikan kesembuhan bagi orang yang mengalami penyakit tertentu.


Analisis :
Dari definisi tersebut di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan ruqyah menurut syari’at Islam adalah:
1. Adanya jampi-jampi atau mantra-mantra.
2. Jampi atau mantra tersebut berfungsi sebagai doa kepada Allah SWT.
3. Isi jampi atau mantra tersebut berupa ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits shahih.
4. Jampi tersebut dibacakan oleh seseorang kepada seseorang yang lain dalam rangka pengobatan penyakit tertentu untuk mendapatkan kesembuhan.
Penggunaan kata ruqyah dalam al-Qur’an :
Kata ruqyah bila dirujuk kedalam al-Qur’an terdapat dalam surat al-Qiyaamah ayat 26 dan 27
        
Artinya: Sekali-kali jangan apabila nafas telah sampai di tenggorokan dan dikatakan siapakah yang dapat menyembuhkan.

Makna mufradat :
Kata ‘man raaq’ berarti siapakah yang dapat menyembuhkan dan menyelamatkan (dari ancaman kematian).
Makna Jumali :
Bila seseorang sedang berada dalam keadaan sakratul maut, nafas terakhirnya sudah sampai di tulang tenggorakan bagian atas, maka tidak akan ada satu orangpun yang akan mampu untuk menolong menyelamatkannya dari ancaman kematian, termasuk para tabib atau dokter sekalipun. Atau dengan ungkapan lain : siapakah yang dapat mengobati agar dia bisa sembuh dari bencana maut yang segera akan menimpanya ? Qatadah berkata : Carilah untuknya beberapa tabib, tetapi tabib-tabib itupun tidak akan berguna baginya sedikitpun dari apa yang telah digariskan oleh Allah SWT.
Tafsir Ayat :

Ayat di atas memberikan penjelasan bahwa bila seseorang sudah berada dalam keadaan sakratul maut, niscaya tidak ada seorangpun yang mampu untuk menyembuhkan, melindungi maupun menolongnya. Pertanyaan yang terdapat dalam ayat tersebut di atas merupakan Istifham Inkari, yaitu sebuah pertanyaan yang di dalam pertanyaan itu sudah langsung terkandung jawaban yang mengingkari / tidak membenarkan apa yang dipertanyakan tersebut.
C. Latar Belakang Sejarah Ruqyah
Ruqyah sudah sangat dikenal di kalangan bangsa Arab pada masa jahiliyah. Namun seringkali isi jampi-jampi tersebut berupa kesyirikan, misalnya minta perlidungan kepada jin atau syetan atau kepada selain Allah, dan pengucapannyapun dengan secara sir atau setengah berbisik. Itulah sebabnya ketika ‘Auf bin Malik al-Asyja’i menghadap kepada Rasulullah SAW untuk menanyakan perihal isi ruqyah, maka Rasulullah menjawab,


“Bacakanlah ruqyahmu itu kepadaku, bila tidak mengandung syirik maka tidak ada masalah (HR. Muslim, no 2200).

Selain itu Rasulullah sendiri pernah diruqyah oleh malaikat Jibril ‘alaihisssalam, sebagaimana Rasulullahpun melakukan ruqyah terhadap beberapa orang sahabat. Di antaranya adalah kedua cucu beliau sendiri Hasan dan Husein dengan lafazh do’a


Artinya: Saya minta perlindungan untuk kalian berdua dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan syetan dan binatang berbisa serta dari pandangan mata yang mengandung sihir (HR. Bukhari, no 3371)

D. Macam-macam Ruqyah
Ruqyah dilihat dari isi jampi yang dibacakan terbagi kepada dua:
1. Ruqyah Syar’iyyah yaitu ruqyah yang sejalan dengan syari’at Islam dengan tiga macam ciri-ciri sebagai berikut:
a. Isi jampi-jampinya diambil dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits shahih.
b. Dibaca dengan bahasa aslinya dan sesuai dengan kaedah bacaannya serta urutannya.
c. Dibaca dengan suara yang keras sehingga kedengaran oleh semua orang yang berada di ruangan/lokasi tempat pelaksanaan ruqyah. Di samping itu diyakini bahwa bacaan ruqyah itu bukanlah yang menyembuhkan penyakit melainkan izin dari Allah yang Maha Menyembuhkan sebagaimana do’a Nabi Ibrahim AS dalam surat as-Syu’ara’ ayat 80

Artinya: dan apabila aku sakit (Allah) yang menyembuhkan aku.
2. Ruqyah Syirkiyyah yaitu ruqyah yang isi jampinya mengandung kesyirikan. Dalam kaitan inilah Rasulullah saw bersabda:

Artinya: Sesungguhnya ruqyah berupa jimat dan guna-guna adalah syirik (HR. Ahmad, no 3883)

E. Beberapa Keistimewaan Ruqyah Syar’iyyah
Di antara keistimewaan ruqyah syar’iyyah yaitu:
1. Pelakunya mendapatkan pahala dari Allah, karena ruqyah merupakan bagian dari ajaran Islam. Kalau yang dibaca itu ayat-ayat al-Qur’an maka setiap huruf akan dibalas Allah dengan sepuluh kebaikan.
2. Ruqyah merupakan sunnah rasul. Kalau dipraktekkan berarti telah menghidupkan salah satu dari sunah Beliau.
3. Ruqyah adalah bagian dari zikir dan do’a. Dengan zikir, hati akn merasa tenang, ketenangan hati sangat dibutuhkan bagi orang yang sakit atau orang yang sedang mengalami musibah.
4. Ruqyah syar’iyyah merupakan sarana pengobatan yang bebas dari unsur syirik, karena sepenuhnya memohon bantuan dan pertolongan Allah semata.
5. Ruqyah syar’iyyah merupakan benteng yang sangat kuat dan kokoh dari segala jenis gangguan syetan jika pembacanya tidak sakit. Dan sekaligus merupakan refreshing ruhani bagi orang-orang yang beriman.



F. Bentuk Pelaksanaan Ruqyah
Adapun hal-hal yang harus dilakukan oleh si pengobat dalam pengobatan ialah:
1. Si pengobat (raqi) harus berada di sebelah kanan penderita, dengan meletakkan tangan kanannya di atas kepala (ubun-ubun) penderita tanpa harus menekan.
2. Dibacakan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits shahih ke telinga penderita dengan cara murattal sesuai dengan perintah Allah SWT.
Dalam surat al-Muzammil / 73:4.
Sebagaimana Rasulullah saw telah mensyaratkan bahwa ruqyah-ruqyah harus berasal dari al-Qur’an, atau hadits-hadits shahih, atau ruqyah-ruqyah yang berasal dari zikrullah atau berzikir kepada nama-nama-Nya yang baik dan sifat-sifat-Nya yang mulia.
G. Ruqyah Untuk Pengobatan Berbagai Penyakit.
Abdurrahman as-Sa’di mengatakan bahwa ruqyah dengan menggunakan ayat-ayat al-Qur’an dapat menyembuhkan berbagai penyakit baik non fisik maupun berupa penyakit fisik. Ini sejalan dengan informasi al-Qur’an dalam surat al-Isra’ ayat 83



Artinya: Dan Kami turunkan dari al-Qur’an itu sesuatu yang dapat menjadi kesembuhan dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.


H. Beberapa Aspek dari Jin yang Perlu Diwaspadai
Di antara hal-hal yang perlu diwaspadai dari jin antara lain adalah :
1. Mewaspadai kiat-kiat jin dalam menyesatkan manusia, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-A’raf ayat 16 dan 17



Artinya: Iblis berkata karena Engkau telah menghukum saya tersesat saya benar-benar akan mengalang-halangi mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari depan dari belakang dari kanan dan dari kiri mereka. Niscaya engkau tidak akan mendapati sebagian besar mereka pandai bersyukur

2. Menyadari bahwa minta pertolongan kepada jin adalah dosa besar, sebagaimana dalam surat al-Jinn ayat 6



Artinya: Dan bahwa adalah beberapa laki-laki ddari kalangan manusia berlindung kepada beberapa laki-laki dari kalangan jin maka jin-jin itu menambah kepada manusia dosa yang bertumpuk.

3. Menyadari bahwa di akhirat jin akan berlepas tangan dari semua orang yang berasil disesatkannya. Ini sejalan dengan informasi surat Ibrahim: 22


Artinya: Dan ketika perkara sudah diputuskan di akhirat syetan berkata sesungguhnya Allah telah memberi janji kepada kalian berupa janji yang benar dan sayapun telah memberi janji kepada kalian lalu saya ingkari dan saya tidak punya kekuasaan atas kalian melainkan hanya sekedar mengajak kalian (ke jalan yang sesat) lalu kalian mengabulkan seruanku maka sekarang janganlah kalian memaki aku tetapi makilah diri kalian sendiri.

I. Sihir dan Hubungannya dengan Jin
1. Sebelum membahas tentang sihir dan hubungannya dengan jin, penulis merasa perlu terlebih dahulu untuk mengemukakan bahsan tentang surat al-Falaq, karena dari beberapa kitab tafsir yang penulis telaah, ternyata banyak mufassirin yang melandaskan pembicaraan tentang sihir kepada surat ini. Lengkapnya bunyi surat ini adalah :




Makna Mufradat :
adalah bentuk isim jamak dari kata , yang berarti orang yang melakukan peniupan pada buhul tali baik laki-laki atau perempuan untuk menyihir seseorang. Akar katanya adalah , yaitu meniup dengan menggerakkan lidah tanpa mengeluarkan ludah. Huruf ta pada ujung kata adalah untuk mubalaghah, yang menunjukkan lak-laki atau perempuan dengan kemampuan sihir yang tinggi yang meniup buhul tali dengan sungguh-sungguh. Sedangkan alif lam ma’rifah pada awal kata menunjukkan :
1. sishir tidak berasal dari tiupan, tetapi dari si peniup.
2. Penyihir adalah Orang yang propesinya sudah sangat dikenal pada masa jahiliyyah.
Adalah isim jamak dari yang berarti ikatan atau buhul tali. Bentuk kata tunggal ini terdapat sebanyak tiga kali dalam al-Qur’an yaitu: dalam surat al-Baqarah ayat 235 dan 237 dan dalam surat Thaha ayat 27, sedangkan dalam bentuk kata jamak ( ) hanya terdapat dalam surat al-‘Alaq ayat empat ini saja.
Makna Jumali :
Surat ini berisi informasi tentang perintah untuk berlindung kepada Allah yang telah menciptakan subuh dan malam gelap, dari berbagai kejahatan makhluk-Nya, termasuk kejahatan para penyihir yang meniup pada buhul tali. Demikian juga perintah berlindung dari bahaya yang ditimbulkan oleh para pendengki bila dia telah termakan oleh rasa dengkinya.
Munasabah :
1. Surat al-Falaq ini sangat erat kaitannya dengan surat sebelumnya yaitu surat al-Ikhlas yang berbicara tentang keesaan Tuhan dan dia adalah as-Shamad yang kepada-Nya tertuju segala tumpuan harapan dan kebutuhan. Karena itu wajar bila kepada-Nya pula setiap makhlik bermohon untuk dilindungi. Kewajaran tersebut dicerminkan oleh surat al-Falaq yang inti kandungannya adalah mohon perlindungan kepada Allah.
2 Sedangkan munasabah surat ini dengan surat sesudahnya yaitu surat an-Naas bahwa surat al-Falaq dan surat an-Naas dinamai muawwidzatain, yaitu dua surat yang menuntun pembancanya untuk menuju kepada yang Maha Melindungi, atau memasukkan pembacanya ke dalam kawasan yang dilindungi dari kejahatan sebagian makhluk-Nya.
Tafsir Ayat :
Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw agar mengajarkan kepada umat beliau untuk membiasakan diri berlindung kepada Allah SWT sebagai Tuhan yang Maha Mengatur waktu subuh dan malam hari bila telah hitam pekat, dari berbagai bahaya yang berasal dari:
1. Kejahatan sebagian makhluk Allah.
2. Kejahatan penyihir yang meniup pada buhul tali.
3. Pendengki yang memendam rasa dengki di hatinya.
Sekaligus surat ini mengingatkan kepada umat agar melindungkan diri hanya kepada Allah SWT saja karena memang hanya Dia yang Maha Melindungi.
Asbabun Nuzul Surat :
Ash-Shuyuthi mengutip sebuah riwayat dari al-Baihaqi bahwa Nabi merasakan pusing kepala, lalu Allah menurrunkan dua malaikat untuk mengobati Nabi dengan jalan ruqyah, maka Nabi sembuh seperti sedia kala.
Hakekat Sihir :
Ulama berbeda pendapat dalam menilai apa sebenarnya sihir itu. Muhammad ‘Ali ash-Shabuni mengutip perbedaan pendapat itu sebagai berrikut:
1. Sihir adalah pengalihan pandangan dan upaya yang menghasilkan sesuatu seolah-olah menyerupai mu’jizat atau karamah. Contoh: bisa mengangkat tubuh keudara bagaikan burung yang terbang.
2. Sihir itu adalah pemalsuan, penipuan dan permainan sulap yang tidak ada faktanya sama sekali.
3. Sihir adalah permainan tipu daya.
4. Sihir adalah hasil kerjasam dengan jin.
5. Sihir adalah jampi-jampi terhadap beberapa jenis benda sehingga berkhasiat ghaib. Contoh: Tangkal, jimat, pagar diri, penglaris, dll.
6. Sihir adalah penghidmatan terhadap jin.
Analisis :
Dari kutipan di atas dapat dianalisis sebagai berikut:
1. Ternyata sihir adalah suatu penipuan, sedangkan penipuan itu adalah sesuatu yang diharamkan oleh al-Qur’an karena hal itu sesuatu yang buruk yang dilakukan oleh orang kafir sesuai dengan larangan Allah dalam surat at-Thariq ayat 15.
2. Ternyata sishir adalah hasil kerjasama antara dukun dengan jin. Sedangkan minta bantuan pada jin itu sesuatu yang diharamkan dalam al-Qur’an, sesbagaimana dalam surat al-Jinn ayat 6
Sering tukang sihir dalam menyihir sasarannya menggunakan rambut, jarum, paku, keris kecil, bisa hewan buas dan sebagainya untuk dimasukkan kedalam tubuh sasarannya dengan bantuan jin. Jadi dalam hal ini sihir baru akan mempan/berpengaruh terhadap sasaran yang disihir dengan menggunakan bantuan jin. Ringkasnya benda-benda sihir tetap berupa benda-benda tidak bermakna tanpa campur tangan dan pertolongan jin.
J. Membentengi Diri dari Sihir dan Gangguan Jin
Cara membentengi dari sihir dan gangguan jin antara lain:
1. Memahami kembali ‘Aqidah Islamiyah dengan pemahaman yang tafshili dan benar mengacu kepada pemahaman syahadatain dan aplikasinya secara utuh sesuai dengan apa yang telah dipahami oleh salaf ummat ini
2. Memelihara segala macam ibadah yang suddah diwajibkan seperti pelaksanaan shalat fardhu secara baik dan benar, tidak melalaikannya dan selalu melakukannya berjama’ah di masjid.
3. Menutup aurat yang juga merupakan perintah wajib sesuia dengan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT dan telah dituntunkan oleh rasulullah dalam sunnahnya.
4. Melazimi tilawatul Qur’an setiap harinya, sebab tilawatul Qur’an merupakan salah satu zikir yang paling bagus.
5. Membiasakan membaca zikir-zikir yang ma’tsur yang telah diajarkan oleh rasulullah seperti membaca zikir shabah dan masa’, do’a-do’a sebelum dan sesudah suatu perbuatan serta do’a-do’a yang diajarkan rasulullah.
6. Memelihara wudhu’ setiap hari, walaupun tidak akan shalat ataupun baca al-Qur’an. Dan jika batal usahakan berwudhuk secepatnya, sehingga keadaan kita selalu dalam keadaan suci dari hadats.
7. Selalu memelihara zikir kepada Allah SWT, baik dalam keadaan bekerja, sedang sendirian, sedang dalam perjalanan atau di tempat-tempat yang asing bagi kita, kecuali ditempat-tempat yang terlarang untuk berzikir.
8. Menjauhkan diri dari berbagai bentuk perbuatan yang dapat melalaikan kita dari berzikir kepada Allah SWT, seperti bermain musik atau mendengarnya dan menonton tontonan yang tidak ada manfaatnya.
9. Menjauhi segala macam bentuk maksiat, sekecil apapun maksiat itu, seperti bergunjing, berdusta, apalagi dosa-dosa besar seperti meninggalkan shalat, membuka aurat di depan orang yang bukan mahram, dll.
10. Berteman selalu dengan orang-orang yang shaleh lagi baik, yang dengannya kita bisa saling mengingatkan dan menjaga. Tetapi sebaliknya kita harus menghindari berteman dengan orang yang tidak baik atau orang-orang yanmg akan melalaikan kita.
K. Ayat-ayat yang Digunakan dalam Ruqyah.
Al-Qahtani mengutip ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan petunjuk hadits dalam beberapa literatur, yang dapat digunakan untuk menghilangkan dan mengobati pengaruh sihir atau kesurupan jin pada seseorang/ pasien. Literatur yang dikutip itu adalah Zaadul Ma’ad oleh Ibnul Qayyim juz IV halaman 124, Fathul Bari oleh Ibnu Hajar al-‘Atsqalani juz 10 halaman 123, Shahih Muslim juz IV halaman 1917, Majmu’ul Fatawa oleh Abdullah bin Baaz juz III halaman 228.
Ayat-ayat yang dibacakan itu adalah sebagai berikut:
1. Ta’awwudz.
2. Al-Fatihah ayat 1-7.
3. Al-Baqarah ayat 255.
4. Al-A’raf ayat 117-122.
5. Yunus ayat 79-82.
6. Thaha ayat 65-80.
7. Al-Kafirun ayat 1-6.
8. Al-Ikhlas ayat 1-4.
9. Al-Falaq ayat 1-5.
10. An-Naas ayat 1-6.
L. Penutup:
Dari uraian yang telah lalu, dapat disimpulkan bahwa ruqyah syar’iyyah adalah media pengobatan yang dibenarkan dalam Islam untuk menyembuhkan pasien dari beberapa jenis penyakit. Sebaliknya ruqyah syirkiyyah, sungguhpun mampu juga untuk mewujudkan kesembuhan namun caranya haram.
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Ashfihani, ar-Raghib, al-Mufradat fi Gharibil Qur’an, Beirut: Darul Ma’rifah, t.t.

Azhim, Abdul, Bebas Penyakit dengan Ruqyah, Jakarta: Qultum Media, 2006


Biran, Afwan Syafar, Jin Sihir dan Fenomena Kemusyrikan, Jakarta: Maktabah Darul Ulum, 2004

Bihri, Hasan, Penjelasan Lengkap Tentang Ruqyah, Jakarta: Pustaka Ghoib, 2005

Al-Jauziah Ibnu Qayyim, Zadul Ma’ad, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999

Al-Khurais, Muhammad bin Abdurrahman, Kemusyrikan Menurut Mazhab Syafi’I, Jaakarta: Atase Agama Kedubes Saudi Arabia, 2003

Al-Khuraisi, Ibrahim, Hal-hal Yang Perlu Diketahui Setiap Musli, Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, 2007

Makhluf, Hasanain Muhammad, Tafsir wa Bayan,(Saudi Arabia : Maktabah Abdul Wahhab Mirza, 1409 H

Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Mesir : Mushthafa al-Babil Halabi, juz 27, 1394 H

Al-Muzi’i, Muhammad bin ‘Ali bin ‘Abdullah, Taisir al-Bayan li Ahkam al-Qur’an,juz II, Makkah: Al-Jami’ah Ummul Qura, 1418 H

Al-Qardhawi, Yusuf, Sikap Islam Terhadap Ilham, Kasif Mimpijimat Perdukunan dan Jampi, Jakarta: Bina Tsaqafah, 1997

___________, Halal Haram Dalam Islam, Surabaya: Bina Ilmu, 1982
Al-Qohthani, Sa’id bin Ali bin Wahf, Doa dan Ruqyah Dengan al-Qur’an dan AS-Sunnah, Jakarta: al-Qawam, 2007



Ash-Shabuni, Muhammad ‘Ali, Rawai’ul Bayan fi Tafsiri Ayatil Ahkam Minal Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, t.t


Shihab,M. Quraish, Tafsir al-Qur’an al-Karim, Tafsir Atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, Jakarta: Pustaka Hidayah, cet ke 3, 1999


Ash-Shuyuthi, Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul, Saudi Arabia: Mirza, 1409 H










Selengkapnya...

Jumat, 21 Mei 2010

Epistimologi Sebuah Pendekatan Islam

Oleh : Afnidanengsih, MA (Dosen Ilmu Tasauf FIB-Adab)

Eksistensi ilmu sama tua-nya dengan keberadaan manusia. Secara fitrah manusia adalah makhluk yang selalu ingin tahu, dia ingin tahu dengan dirinya. Manusia yang tidak tahu dengan dirinya adalah manusia yang tidak punya makna hidup, sekaligus tidak punya tujuan dalam kehidupannya untuk menjadikan hidup seseorang lebih bermakna. Malah sebaliknya, orang yang tahu dengan dirinya adalah orang yang mampu mencapai tujuan hidupnya, bahkan ia bisa menjawab siapa dan untuk apa dirinya.


Pertanyaan ini akan timbul apabila manusia itu memiliki ilmu pengetahuan bahkan mampu menguasainya. Manusia sepakat, bahwa ilmu adalah suatu hal yang penting dalam kehidupan, tetapi juga setuju untuk berbeda ketika menjawab dan menjelaskan dari mana sumber ilmu dan bagaimana cara untuk memperolehnya. Kesepakatan yang berbeda inilah yang mendorong munculnya dinamika pemahaman, persepsi , argumentasi manusia ketika memahami apa itu ilmu.
Sebuah realita telah terjadi isme-isme dalam masalah ilmu. Lebih jauh bahkan terjadi dua kutub yang berseberangan. Empirisme dan materialism mengklem dialah yang benar, sementara idealisme dan rasionalisme menyakini dialah yang benar, ujungnya ialah relatifisme, hidup adalah relative. Kajian epistemologi merupakan salah satu masalah yang telah menyeret ilmuan ke dalam perbedaan pandangan yang berkepanjangan. Perbedaan pandangan ini tidak hanya terjadi dewasa ini, tetapi sudah warisan dari zaman Yunani. Islam telah menyelamatkan warisan filsafat Yunani dari kehancurannya, telah memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.
Kebanyakan mereka yang telah mengemukakan jawaban terdapat persoalan-persoalan dapat dikelompokkan salah satu dalam dua pendapat yaitu rasionalis dan empiris. Akan tetapi, sejalan dengan perkembangan pemikiran filsafat, kedua pendapat ini juga mendapat kritikan yang tajam dari kritisisme. Seolah-olah dialektika pemikiran itu menunjukkan dirinya secara nyata dalam alam pemikiran filsafat. Penampakkannya jelas dalam proses perjalanan pemikiran rasionalis dan empiris yang pada akhirnya telah melahirkan apa yang dikemudian hari amat terkenal dan mewarnai pemikiran dunia hingga dewasa ini, yang dikenal dengan scientific method atau metode ilmiah.
Pengertian Epistemologi
Epistemologi merupakan istilah yang dipakai dalam mengungkapkan salah satu komponen filsafat ilmu. Kajiannya tentang ; (a) asal usul, (b) anggapan dasar, (c) tabiat, (d) kecermatan pengetahuan (Tim Penulis Rosda, 1995 : 96). Juga dapat diartikan, tentang teori pengetahuan yang benar dan lazimnya hanya disebut dengan “teori pengetahuan” (Surajiyo, 2005 : 53). Kata Harun Nasution dalam bukunya “filsafat Agama” epistemology adalah sebuah ilmu yang mengkaji tentang apa itu pengetahuan dan bagaimana cara memperolehnya (Harun Nasution, 1976 : 13). Sedangkan terminologinya adalah cabang filsafat yang meneliti pengetuahuan manusia, kepercayaan serta tabiat dan dasar pengalaman (Dik Hartako, 1986 : 23). Bahkan dalam redaksi yang berbeda juga ditemukan pengertian epistemology adalah teori mengenai refleksi manusia atas kenyataan. Berangkat dari pengertian di atas, dapatlah dirumuskan bahwa epistemology ialah salah satu cabang filsafat yang membahas tentang hakikat kebenaran dengan menggunakan metoda dan sistem mengantarkan manusia untuk memperoleh pengetahuan.
Salah satu cabang filsafat yang mengkaji ruang lingkup dan batas-batas pengetahuan adalah epistemology. Karena epistemology dapat memecahkan berbagai masalah (problem-solving capacity) yang mendasar dan meliputi pengkajian sumber-sumber watak, dan kebenaran pengetahuan, yaitu ; apakah yang dapat diketahui oleh akal manusia? darimanakah kita memperoleh ilmu pengetahuan? apakah kita memiliki ilmu pengetahuan yang dapat diandalkan atau kita harus puas hanya dengan pendapat-pendapat atau sangkaan-sangkaan? Apakah kemampuan kita terbatas dalam mengetahui fakta pengalaman indera, atau kita dapat mengetahui yang lebih jauh daripada apa yang diungkapkan oleh indera?
Terdapat 3 persoalan dalam epistemology :
1. apakah sumber-sumber pengetahuan itu? dari manakah pengetahuan yang benar itu datang? dan bagaimana kita dapat mengetahui? merupakan problem asal (origin).
2. apakah watak dari pengetahuan? adakah dunia yang riil di luar akal dan kalau ada, dapatkah kita mengetahuinya? merupakan problem penampilan (appearance) terhadap realitas.
3. apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? bagaimana kita membedakan antara kebenaran dan kekeliruan? merupakan problem kebenaran (verification). (Juhaya S. Praja, 2003 : 87-88).
Ketika menjelaskan pengertian epistemology Islam dapat dilakukan pendekatan dengan menempatkan Islam sebagai subjek yang dijadikan titik tolak berpikir. Falsafah pengetahuan dijadikan objek, sebagai bahan kajian sehingga pendekatan ini dinamakan genetifus obyektifus. Berdasarkan pendekatan ini dapat dirumuskan, bahwa epistemology Islam itu adalah usaha manusia untuk menelaah masalah-masalah obyektifitas, metodologi, sumber serta vitalitas pengetahuan secara mendalam (meng-akar) dengan menggunakan subjek Islam merupakan titik tolak berpikir.
Bentuk-bentuk Pengetahuan yang terdapat dalam al-Qur’an
Secara garis besarnya, berikut ini dapat dijelaskan bentuk-bentuk pengetahuan yang terdapat dalam al-Qur’an yaitu :
a. Pengetahuan alam, terdapat dalam surat Saba’ ayat 10 artinya, “dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud as karunia dari Kami. (Kami berfirman) : Hai gunung-gunung bertasbihlah berulang-ulang bersama Baud, dan Kami telah melunakkan besi untuknya.”
b. Pengetahuan geografis, terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 22, artinya, “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap dan Dia menurunkan hujan dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu dan Dialah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung serta sungai-sungai padanya. Dan menjadikan buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutup malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah bagi kaum yang memikirkan.”
c. Pengetahuan sejarah, terdapat dalam surat Yusuf ayat 109, artinya, “…mengapa mereka tidak berjalan di muka bumi untuk memperhatikan bagaimana akibat orang-orang purbakala”.
d. Pengetahuan matematika, terdapat dalam surat al-Isra’ ayat 12, artinya “…Allah menjadikan malam dan siang jadi dua ayat (tanda kekuasaan-Nya) dan dijadikan siang untuk mencari rezeki dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun”.
Inilah sebahagian bentuk-bentuk pengetahuan dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan tentang berbagai macam pengetahuan, seperti masalah ekonomi, social budaya, industry, kemasyarakatan, pertanian, aqidah (keyakinan), muamalah dan lain sebagainya.
Harun Nasution dalam bukunya “Kedudukan Akal dalam Islam” menyebutkan uraian ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan dorongan al-Qur’an kepada manusia untuk mempergunakan akal adalah : dabbara (merenungkan) berjumlah 8 ayat, faqiha (mengerti) berjumlah 20 ayat, nazhara (melihat secara abstrak) berjumlah 30 ayat dan tafakkara (berpikir) berjumlah 1 ayat. (Harun Nasution, 1979 : 17). Selain yang berhubungan dengan pemakaian akal dalam al-Qur’an juga terdapat ayat-ayat yang berkenaan dengan penggunaan indra antara lain dalam surat al-Maidah ayat 80, artinya, “Kamu melihat kebanyak dari mereka tologn menolong dengan orang-orang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka, dan mereka akan kekal dalam siksaan”. Jadi, pemakaian akal dan indra dalam al-Qur’an merupakan sesuatu hal yang diperintahkan, karena al-Qur’an memberikan tempat bagi falsafah kendatipun al-Qur’an bukan buku falsafah.
Metoda mendapatkan Pengetahuan
1. Pengetahuan lewat akal
Islam memberikan kedudukan yang tinggi terhadap akal manusia, ini terlihat dari beberapa ayat al-Qur’an. Pengetahuan yang diperoleh melalui akal disebut dengan pengetahuan akli, sementara pengetahuan yang diperdapat melalui indera disebut pengetahuan empiri. Pemakaian akal dan indera dalam mendapatkan pengetahuan tidaklah dapat dipisahkan karena satu dengan lainnya saling mendukung. Aktifitas akal disebut berpikir, karena ia merupakan karakter manusia sebagai makhluk yang paling mulia, bahkan dapat memunculkan perkembangan ide, konsep dan gagasan. (Jujun S. Surisumantri, 1981 : 52). Kemudian dipertegas lagi oleh Harun Nasution, akal dalam pengertian Islam bukanlah otak melainkan daya berpikir (Harun Nasution,1979;9). Selanjutnya juga dikatakan el Muhammadi, akal berarti ikatan antara pikiran (al-fikri), perasaan (wujdan) dan kemauan(al-iradah). Bila ikatan itu tidak ada maka tidak ada-lah akal itu (TM. Usman al Muhammadi, 1970 : 3).
Ide merupakan istilah yang diterima dari Plato (filosof Yunani) karena ide itu merupakan sesuatu yang bersifat tetap, gambaran mental, pola dan paham sedangkan konsep adalah gagasan yang bersifat umum. Konsep juga merupakan bentuk khas pertimbangan yang memantulkan apa yang bersifat universal dan essensi di dalam segala hal ikhwal. Juga dapat dibentuk secara praktis berulang-ulang yang mencakup perbandingan, analisa, sintesa dan peng-kongkritan. (SJ. Poeradisastra, 1979 : 3). Jadi berpikir itu merupakan perkembangan gambaran mental manusia secara khusus dapat memantulkan apa yang bersifat umum, hakiki ketika menangkap berbagai masalah yang dihadapinya. Hal ini dapat disimpulkan bahwa, akal dalam Islam tidak dapat disamakan dengan ratio dalam bahasa latin, atau reason dalam bahasa Inggris. Karena akal dalam perspektif Islam merupakan perpaduan dari 3 unsur yaitu pikiran, perasaan dan kemauan. Pikiran terdapat pada otak, perasaan terdapat pada indera sedangkan kemauan terdapat pada jiwa.
Filosof Islam mencoba membagi akal kepada 2 jenis yaitu akal praktis (amilah) yang berasal dari materi melalui indera pengingat yang ada pada jiwa, sedangkan akal teoritis (alimah) yang mampu menangkap arti-arti murni, yaitu arti-arti yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat. Dengan kata lain, akal praktis dapat menangkap pengertian dari benda fisik sedangkan akal teoritis menangkap pengertian yang bersifat metafisik.
Akal teoritis memiliki tingkatan sebagai berikut :
a. akal material (al aqlu al hayulani) yang merupakan potensi belaka yaitu akal yang kesanggupannya untuk menangkap arti murni yang tak pernah berada dalam materi. Akal material ini hanya bersifat potensi, dapat menangkap sesuatu dari luar jika ada rangsangan.
b. akal bakat (al aqlu bi al malaka) akal yang kesanggupannya untuk berpikir abstrak secara murni telah mulai kelihatan. Ia dapat menangkap pengertian dan kaedah umum yang memerlukan abstraksi.
c. akal actual (al aqlu bi al fi’li) akal yang lebih mudah dan lebih banyak menangkap pengertian dan kaedah umum yang dimaksud. Akal actual ini merupakan gudang bagi arti-arti abstrak yang dapat dimunculkan setiap kali dikehendaki juga sebagai wadah untuk menyimpan pengertian.
d. akal perolehan (al aqlu al mustafad) akal yang didalamnya arti-arti abstrak tersebut selamanya sedia untuk dimunculkan dengan mudah sekali yang menghasilkan pengertian yang sebenarnya.
Pengetahuan lewat Indera
Merupakan seluruh pengetahuan yang diperoleh manusia melalui serapan atau persentuhan indera manusia dengan dunia luar yang disebut juga dengan empiri. Empiri berasal dari Yunani yaitu “ pengalaman”. Penginderaan merupakan proses refleksi (pantulan) objek-objek luar yang khusus ditangkap oleh indera-indera tertentu. Bahkan setiap indera itu mempunyai fungsi masing-masing sehingga dapat menghasilkan pengetahuan. Dengan jalur indera kita menumpukkan gambaran-gambaran konsepsional dari alam eksternal, karena barang siapa kehilangan indera berarti telah kehilangan pengetahuan (Ibrahim Madkour, 2002 : 281). Proses indera bekerja melalui tahapan-tahapan yaitu :
1. dengan refleksi (pantulan) menerima rangsangan dari luar.
2. Pencerapan, dimana objek yang diterima memantul secara menyeluruh setelah melalui pengelolaan yang akan terjadi penggabungan penginderaan.
3. Objek dan gejala dunia luar dipantulkan secara khusus, tingkat ini telah sampai kepada tingkat abstraksi (pengertian).
Dalam Islam, indera manusia dibagi kepada 2 bagian yaitu indera luar dan indera dalam yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri yaitu :
a. Indera bersama (al hiss al musytarak) bertempat di bagian depan otak yang berfungsi untuk menerima kesan-kesan yang diperoleh dari panca indera luar dan meneruskannya ke indera batin.
b. Indera penggambar (al khayal) bertempat di bagian depan otak yang bertugas untuk melepaskan kesan-kesan yang diteruskan indera bersama dari materinya.
c. Indera peng-reka (al mutakhayyilah) yang bertempat di bagian tengah otak untuk mengatur gambar-gambar yang telah dilepaskan dari materinya dengan memisah-misahkan dan kemudian menghubungkannya satu dengan yang lain.
d. Indera penganggap (al wahmiyah) juga bertempat dibagian tengah otak yang mempunyai fungsi menangkap arti-arti yang dikandung oleh gambar itu.
e. Indera pengingat (al hafizah) yang bertempat di bagian belakang otak, berfungsi untuk menyimpan arti-arti yang ditangkap indera penanggap (Harun Nasution, 1979 : 7-8).
Dalam tradisi filsafat, mereka yang telah mengemukakan jawaban terhadap persoalan persoalan yang ada, dapat dikelompokkan dalam salah satu dari dua aliran yaitu rasionalisme dan empirisme. Adapun kelompok rasionalis berpendapat, bahwa akal manusia dapat mengungkapkan prinsip-prinsip pokok dari alam tanpa adanya bantahan dari yang lain. Sedangkan kelompok empiris berpendirian, bahwa semua pengetahuan pada dasarnya datang dari pengalaman indera, dan oleh karena itu pengetahuan kita terbatas pada hal-hal yang dapat di alami.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metoda memperoleh ilmu pengetahuan yang berusaha mencari kebenaran lewat pintu rasional (akal) dan empiri (indera), yang kemudian juga dibicarakan oleh aliran berikutnya.
PENUTUP
Islam mengkaji prinsip-prinsip epistemology, bahkan al-Qur’an sangat memberi motivasi yang kuat agar lebih jauh membahas berbagai dimensi ilmu pengetahuan. Dengan mempergunakan panca indera dan akal sebagai sebuah metodenya. Juga dalam al-Qur’an sangat banyak ditemukan ayat-ayat yang membicarakan tentang pokok-pokok ilmu pengetahuan, baik secara akal (rasional) maupun indera (empiri). Bahkan akal merupakan perspektif penggabungan antara pikiran, perasaan dan kemauan. Terutama pengetahuan tentang alam, geografis, sejarah, matematika, falsafah dan sebagainya. Ilmu dalam Islam bersumberkan dari ayat-ayat khalqiyah (kauniyah) dan ayat-ayat kalamiah (wahyu) yang bersumber dari Allah SWT.

Selengkapnya...

Perkembangan Arsitektur Masjid di Dunia Islam

Oleh : Sudarman, MA (Dosen Arkeologi Islam FIB-Adab)

Ilmu sejarah memandang arsitektur sebagai ungkapan fisik bangunan dari budaya masyarakat pada tempat dan zaman tertentu, untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam melaksanakan sebuah kegiatan. Maka menurut teori ini, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa keberadaan arsitektur, seumur dengan adanya manusia di muka bumi. Bangsa-bangsa yang telah berbudaya tinggi pada zaman dahulu, meninggalkan bukti sejarah dan budaya berupa karya-karya arsitektur, kadang-kadang tidak sedikit yang mengagumkan termasuk mesjid-mesjid peninggalan kejayaan Islam masa lampau.


A. Pengantar
Ilmu sejarah memandang arsitektur sebagai ungkapan fisik bangunan dari budaya masyarakat pada tempat dan zaman tertentu, untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam melaksanakan sebuah kegiatan. Maka menurut teori ini, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa keberadaan arsitektur, seumur dengan adanya manusia di muka bumi. Bangsa-bangsa yang telah berbudaya tinggi pada zaman dahulu, meninggalkan bukti sejarah dan budaya berupa karya-karya arsitektur, kadang-kadang tidak sedikit yang mengagumkan termasuk mesjid-mesjid peninggalan kejayaan Islam masa lampau.
Pada perkembangan arsitektur tidak lepas dari pengaruh bentuk dan konsep lebih dahulu ada, oleh karena itu pengembangan dan pencampuran bentuk dari tempat dan zaman berbeda adalah hal yang lazim. Percampuran semakin kompleks dengan perkembangan budaya manusia, terutama dalam aspek perhubungan. Semakin banyak orang bepergian dan berimigrasi, semakin banyak dilihat dan pengalaman, maka pencampuran budaya semakin cepat dan kompleks.
Arsitektur Islam mengalami perkembangan dari bentuk yang sederhana pada abad ke-6 sampai pada tingkat kesempurnaan yang mengagumkan pada abad ke-8 dan seterusnya. Ia memiliki keanekaragaman bentuk sesuai dengan budaya ummat yang menciptakannya. Perkembangan arsitektur itu dipengaruhi oleh tiga keadaan. 1). Tingginya teknologi bangunan, 2). Pengaruh sosial politik dan kenegaraan, politik dan kenegaraan, 3). Berubahnya tingkat ekonomi masyarakat menyebabkan adanya kemampuan mereka untuk membuat industri keramik
Menurut Ernst J. Grube, ciri-ciri arsitektur Islam, kelihatan tipikal dan harus dijelaskan sebagai ekspresi suatu kebudayaan yang diciptakan oleh Islam, yang menunjukkan sikap fundamental yang berbeda dengan kreasi-kreasi arsitektur non muslim

Tidak diragukan bahwa Islam mempunyai hubungan yang erat dengan arsitektur . hubungan itu terwujud dalam kenyataan bahwa tenaga yang menggerakkan kreativitas arsitektur Islam adalah Islam. Arsitektur Islam tidak mungkin ada jika Islam tidak ada. Sebelum Islam, tidak ada arsitektur yang disebut Islam. Karena intisari Islam adalah tauhid, maka dapat dikatakan bahwa tenaga yang menggerakkan seni arsitektur Islam.
Pengaruh tauhid tampak, misalnya ikonoklasme atau anikonisme, yaitu larangan agama untuk menggambar mahluk bernyawa. Menggambar mahluk bernyawa berarti menyaingi Tuhan karena yang berhak menciptakam mahluk bernyawa hanyalah Tuhan. Larangan tersebut merupakan bentuk kehati-hatian agar tidak ada yang disembah selain Allah. Sebelum kedatangan Islam di Jazirah Arab. Gambar patung mahluk yang bernyawa, atau selain Allah sering di sembah. Larangan ini termanifestasi pada hiasan atau dekorasi dinding bangunan yang bersih dari gambar mahluk yang bernyawa. Konsekuensinya, dekorasi yang digemari adalah kaligrafi sebagai sarana untuk mengungkapkan ayat-ayat al-Qur’an, bentuk-bentuk geometris (geometrical patterns) dan arabesk
Salah satu ciri monumen-monumen arsitektur Islam adalah fokus (pusat perhatian) terletak pada ruang tertutup, yakni pada bagian luar, bagian depan, atau artiklasi eksterior bangunan. Contoh sikap yang paling dan diakui secara luas ini terlihat pada rumah-rumah kaum muslimin. Dengan fokus pada halaman, rumah itu menampakkan pada dunia luar dinding tinggi tanpa jendela, yang disela hanya satu pintu rendah saja
Pada semua zaman di dunia Islam dapat ditemukan arsitektur tersembunyi (hidden architecture) atau arsitektur yang menjadi ada hanya ketika dimasuki, dilihat dan dialami dari dalam: bukan ketika dilihat sebagai monument atau simbol yang tampak pada semua sisi, meskipun ada pengecualian-pengecualian “Arsitektur tersembunyi” dapat dipandang sebagai ciri utama dan dominan dalam arsitektur Islam yang sesungguhnya, Mesjid Raya Umayyah di Damaskus adalah sebuah contoh tipikal sedangkan Kubah batu di Palestina adalah sebuah pengecualian tipikal. Damaskus mengikuti tipe yang mapan dan membantu menciptakan sebuah tradisi. Sedangkan Kubah Batu yang berdiri sendirian diatas panggungnya dan tampak dari sebuah sisi merupakan bangunan unik dalam kebudayaan Islam.
Dari penelitian yang dilakukan Ernst. J. Grube yang dikutip oleh Ismail Faruqi, menarik dua kesimpulan. Pertama, sangat sedikit tipe bangunan di dunia Islam yang mengartikulasikan ruang interior melalui eksteriornya. Kedua, bangunan-bangunan itu sama sekali tidak fungsional, misalnya jembatan-jembatan dan menara-menara pengawas tidak fungsional atau tidak berfungsi, kecuali hanya sebagai pajangan arsitektur.

B. Periodesasi Arsitektur Mesjid
Mesjid adalah hasil karya seni arsitektur Islam yang utama, sebab mesjid merupakan titik tumpuan dari ungkapan kebudayaan Islam, sebagai konsekuensi dari ajaran Islam yang mengajarkan shalat dan mesjid sebagai tempat pelaksanaannya. Dalam arsitektur Islam dikenal beberapa jenis mesjid sesuai dengan penggunaannya. Di antaranya adalah; mesjid jami’ mesjid madrasah, mesjis makam dan mesjid tentara.
Perkembangan arsitektur Islam khususnya mesjid, semakin kompleks karena kecenderungan memasukkan budaya daerah (vernakulerisme). Banyak pula arsitektur mesjid selain tetap ada unsur-unsur utama mesjid; mihrab, mimbar pada arah kiblat, semata-mata mengambil bentuk setempat seperti Cina, India, Afrika Barat, termasuk di Indonesia, sering disebut regionalisme dalam arsitektur. Corak hypostyle berasal dari Arab, mendominasi gaya arsitektur dari abad VII M. Hingga sekarang masih banyak dipakai, bercampur dengan berbagai unsur seni dan budaya pada zaman dan tempat dimana mesjid didirikan. Percampuran berbagai macam elemen, arsitektur untuk pembangunan mesjid terlihat antara lain dengan banyak dipakainya arsitektur yang sudah ada pada abad I M zaman Romawi kemudian dipakai dan dikembangkan pada zaman Byzantine sejak abad III M dan zaman-zaman berikutnya
Perkembangan arsitektur Islam umumnya dan mesjid khususnya dilihat dari sudut pandang tempatnya dibagi menjadi tujuh wilayah: 1). Arsitektur Islam pada zaman Nabi di Madinah. 2). Arsitektur mesjid pada zaman Abbasiyah dan Seljuk. 3). Arsitektur mesjid zaman Fatimiyah dan Mamluk di Mesir dan Suriah. 4). Arsitektur mesjid di Spanyol. 5). Perkembangan arsitektur mesjid pada zaman Usmani dan Turki. 6). Perkembangan arsitektur Mesjid di India. 7). Perkembangan arsitektur mesjid di Indonesia.
Menurut Martin Frishman, seorang arsitek dari London membagi fase mesjid kepada tiga fase. Fase pertama adalah formatif awal yang memperkenalkan mesjid hypostyle (mempunyai atap yang disangga oleh tiang-tiang). Pada fase itu bentuk asli mesjid adalah ruang atau aula hypostyle dengan halaman dalam terbuka tanpa atap dan dikelilingi dinding-dinding yang sekaligus berfungsi sebagai tiang.
Fase kedua menyaksikan munculnya berbagai variasi regional yang dominan di wilayah geografisnya masing-masing.
Fase ketiga yang tumpang tindih dengan fase kedua dan tidak bertentangan dengan regional, dapat disebut gaya monumental (monumental style), yang ditandai oleh penggunaan skala monumental yang diserap dari arsitektur Barat. Yang dimaksud dengan gaya monumental adalah gaya bangunan berukuran besar yang secara historis adalah agung, penting dan abadi.
Flechter dalam buku A history of architecture berbeda dengan Martin Frishman, Flechter membagi perkembangan arsitektur mesjid kepada tiga periode
a. Klasik
Pada periode ini dimulai pada masa Nabi Muhammad Saw (622 M- 632M), Khulafaur Rasyidin (632 M-661 M), Umayyah (661 M-750 M), dan Abbasiyah (749 M-2158 M). pada bentuk awalnya arsitektur mesjid bukanlah bangunan yang megah seperti yang tampil pada masa kejayaannya, melainkan bersahaja dan sederhana. Mesjid pertama yang dibangun Nabi Muhammad sangat sederhana, denahnya merupakan segi empat dengan hanya dinding yang menjadi pembatas sekelilingnya. Sepanjang bagian dalam dinding tersebut dibuat bagian depan yang disebut mihrab dan serambi yang langsung bersambung dengan lapangan terbuka sebagai bagian tengah dari mesjid segi empat tersebut. Bagian pintu masuk diberi gapura, bahan yang dipergunakan sangat sederhana, seperti batu alam atau batu gunung, pohon dan daun kurma. Namun demikian, arsitektur sederhana ini merupakan prototype dari arsitektur mesjid pada masa kemudian.
Ketika terjadi perpindahan arah kiblat yang sebelumnya kearah utara (mesjid al-Aqsa) kemudian dipindahkan ke Baitullah diMekah, maka dinding yang posisinya mengarah ke Mekah dijadikan arah kiblat. Bedanya dari serambi lainnya ialah terdapat sedikit penonjolan pada dinding ini dan tempatnya sedikit ditinggikan, selanjutnya dijadikan oleh Nabi Muhammad Saw sebagai tempat menyampaikan dakwahnya. Pada perkembangan lebih lanjut tempat ini berubah bentuk menjadi semacam relung atau ceruk yang senantiasa menunjukkan arah kiblat, kemudian bernama mihrab.
Arsitektur mesjid pada saat itu terdiri dari urutan sebagai berikut: pertama-tama dibutuhkan sebuah tempat, kemudian tempat itu dibuat menyerupai ruang agar orang yang melakukan shalat dapat berlindung dari berbagai gangguan alamiah.
Pada saat Bani Umayyah berkuasa, sekitar tahun 700 M dibangun mesjid-mesjid diberbagai tempat, misalnya Basrah, Kufah dan Fustat. Mesjid pada masa ini berbentuk segi empat dan beratap rata. Pada dinding yang berada diarah kiblat kembali ada penonjolan atap sebagai mihrab. Atapnya ditopang oleh sejumlah tiang sehingga keseluruhan ruangannya seperti dipenuhi oleh barisan tiang-tiang. Ini menunjukkan pada saat itu belum ditemukan cara pemakaian konstruksi pendukung atap dengan jumlah tiang yang sedikit. Namun bahan dinding sudah diperindah dengan batu-batu merah serta mulai memakai tiang-tiang dari batu. Contoh yang menonjol dari tipe bangunan yang memakai arsitektur semacam ini adalah Mesjid Ziyad di Kufah (638 M) dan mesjid Amr di Fustat (641 M)
Perkembangan selanjutnya arsitektur masjid memperoleh pengaruh dari luar, di antaranya dengan diambilalihnya bentuk gereja menjadi masjid di daerah-daerah yang ditaklukkan Islam. Di Damsyik oleh kaum syi’ah dibangun sebuah masjid yang pada mulanya adalah gereja dengan cara mengubah beberapa bagiannya lalu dibuat tonjolan berupa mihrab pada dinding yang mengarah ke kiblat. Pada saat ini dapat disebutkan bahwa telah lahir bentuk arsitektur corak mesjid gereja atau masjid basiliki. Hiasan mosaik yang tadinya membuat episode cerita gerejani diubah menjadi motif-motif yang mencerminkan hiasan khas Islam yang terdiri dari motif tumbuh-tumbuhan yang ditambah dengan unsur alam lainnya. Pada masa Umayyah arsitektur masjid mengalami perubahan yang sangat berarti, terutama disebabkan dorongan dari pada pemimpinnya. Al-Walid (705-715) salah seorang rajanya, adalah tokoh pembangunan mesjid. Ia memperkenalkan penambahan kelengkapan arsitektur mesjid berupa menara yang kemudian menjadi bagian dari bangunan mesjid, dan selanjutnya perekembangan arsitektur masjid dalam Islam menjadi beraneka ragam dalam bentuk dan coraknya.
Pada periode berikutnya, kepentingan penguasa turut memperkaya arsitektur masjid, misalnya dengan munculnya maksura, sebuah tempat khusus dibuat untuk menjadi tempat penguasa melaksanakan shalat. Selanjutnya mimbar juga merupakan elemen arsitektur masjid yang cemerlang. Mimbar kebanyakan dibuat dengan bahan kayu seperti terdapat pada mesjid Okba Qairawan. Hal ini memungkinkan para ahli ukir untuk menerapkan hiasan megah pada bahan tersebut. Lama kelamaan bentuk masjid tidak lagi beratap rata tetapi mengembang pemakaian lengkung dan kubah. Konstruksi lengkung ini dinamakan iwan, yakni merupakan gapura atau gerbang dengan beratapkan bentuk lengkung yang menutupi tiga bagian dinding dari badan gapura, sedang bagian dinding lainnya dalam keadaan terbuka, yakni bagian depan.
Pada masa pemerintahan Sultan al-Mu’tasim (833 M- 842 M), ia memindahkan pusat pemerintahan ke Samara. Di ibukota yang baru ini ia mendirikan mesjid Jami’ Askar. Penulis Barat menyebut mesjid ini sebagai the great of sumarra. Mesjid ini besar dan mempunyai kekhasan arsitektur Islam. Kekhasan arsitektur mesjid ini adalah terdapatnya penggunaan pilar yang merupakan kolom dari susunan batu-batu yang ditempatkan di antara empat buah tiang yang mengapit kolom tersebut pada setiap sudutnya. Bahan batu pengisi kolom itu terdiri dari susunan batu bata yang dibakar. Selanjutnya menara berbentuk spiral yang dikenal dengan julukan ma al-wiyah.
Sebelum diperluas masjid Agung Samarra jauh lebih besar dibandingkan masjid Nabi di Madinah. Tata ruangnya sama yaitu hypostyle, terdiri dari halaman dalam segi empat dikelilingi riwaq dan haram. Halaman dalam atau lazim disebut shan, juga segi empat, 130 x 110 M. Riwaq kiri dan kanan masing-masing mempunyai empat jalur. Riwaq depan tiga deretan dan haram sembilan deret. Deret dan lajur dibentuk oleh kolom berpenampang segi empat, semuanya berjumlah 456 buah menara.
Tinggi menara 55 M, berdiri di atas platform segitiga, denah bujur sangkar 33 X 33 M. Bentuk menara sangat unik, spiral makin ke atas makin kecil, sisinya untuk tangga melingkar. Puncak menara dihiasi dengan deretan mengelilingi badan selindris terkecil dengan pelengkung-pelengkung patah disangga kolom-kolom selindris dobel seperti jendela.

b. Periode Pertengahan
Periode ini dimulai pada masa pemerintahan Fatimiyah (909 M-1171), Bani Seljuk (1038 M-1194 M), Mongol (1206 M-1634 M), dan Persia (1314 M-1393 M), Pada periode ini arsitektur masjid merupakan hasil dari penggunaan konstruksi ruang dan tiang. Logika dasar dari penggunaan tiang-tiang tersebut adalah ingin memperoleh ruangan yang lebih luas dan besar. Contoh yang dapat dikemukakan pada masa ini adalah masjid al-Azhar (970 M-972 M) dan masjid al-Hakim (990 M-1002 M). Pengaruh Bizantium kelihatan membekas pada arsitektur kedua masjid ini, dengan bentuk menaranya yang masif serta penggunaan lengkung sebagai gapura dan pintu gerbang. Karena diperlukan adanya penggunaan pengaman, maka bangunan masjid ini dikelilingi oleh tembok pengaman yang terbuat dari batu bata yang sangat tebal dan kuat. Pada ruang utamanya ditemukan kekhususan dengan dipergunakannya tiang-tiang marmer sebagai pendukung atap. Bagian ini terdapat pada dinding arah kiblat, yang dengan lengkung-lengkung dan kubahnya menunjukkan corak Persia.
Pola dasar masjid al-Azhar adalah hypostyle, di tandai oleh adanya halaman dalam segi empat, dikelilingi oleh riwaq berdenah tapal kuda dan haram sebagai ruang sembahyang utama.
Ciri lain dari arsitektur hypostyle pada mesjid ini, juga terlihat dari adanya banyak kolom berjajar dan berderet dalam ruang. Menyangga atap dasar. Halaman dalam panjangnya 50 M dan lebarnya 34 M. Dinding di atas kolom yang mengelilinginya dihias dengan pelengkung-pelengkung patah, lingkaran-lingkaran dengan garis-garis konsentrik (rosette), hiasan arabesque dan intricate, semuanya menggunakan stucco.
Kolom-kolom silindris dengan kepala dihias bercorak floral aliran romawi coronthian. Di atas dinding diberi mahkota dengan stucco corak geometris. Intricate dan Arabesque membentuk deretan segi tiga sepanjang bagian atas dinding gerigi. Corak dekorasi tersebut terlihat mendapat pengaruh cukup besar dari seni zaman Tulun
Gerbang masuk utama, ditandai dengan dua buah menara dan sebuah kubah. Arsitektur menara, bentuknya tidak lagi gemuk seperti pada masjid Agung Samara karena konstruksinya sudah lebih maju. Penampang menara segi delapan makin keatas makin kecil, tangganya di dalam. Pada setiap lantai tedapat bordes keliling. Bagian luar dinding dan bordes penuh dengan dekorasi berupa ukiran atau relief Stucco pada geometris-intricate dan Arabesque.
Haram atau ruang sembahyang utama pada arah kiblat, terdiri dari lima deret kesamping kiri dan kanan semetris. Di dalamnya terdapat 64 kolom melintang dan membujur masing-masing silindris, kepala dihias corak floral, sama dengan kolom di riwaq atau iwan. Setiap kolom menyangga sebuah pelengkung patah, untuk memperkuat konstruksi diberi balok melintang dan membujur, jadi selain ramai dengan kolom, di dalam haram, juga penuh dengan balok, selain bagian dari konstruksi berfungsi pula sebagai hiasan dan memperkuat arah kiblat.
Pada masa pemerintahan Salahuddin (1433 M-1452 M) beliau membuat kreatifitas konstruksi dalam segi arsitektur mesjid, ia tidak hanya membangun mesjid sebagai simbol pengabdian tetapi bersamaan dengan itu memasukkan simbol –simbol intelektual. Kreatifitasnya dikenal dengan arsitektur mesjid madrasah. Mesjid ini sebenarnya hanya hasil akulturasi berbagai budaya yang pernah mempangaruhinya, seperti gaya Seljuk, Usmaniyah, dan Umayyah.
Sesudah pemerintahan Salahuddin, muncul dinasti baru, yakni Mamluk (1250 M – 1517 M) yang juga tampil sebagai penerus perkembangan arsitektur Islam. Sultan Baybars adalah Sultan yang terkenal dari kaum Mamluk ini. Monumen arsitektur Islam yang lahir dari zaman kekuasaannya ialah Mesjid Madrasah Sultan Baybars (1266 M-1269 M) yang diberi julukan namanya sendiri sebagai sebagai bukti kaitan antara pembangunan masjid dan kepentingan Sultan sebagai pendirinya. Pada mesjid ini juga didirikan bangunan kuburan kubah. Masjid ini memiliki konstruksi ruang tiang. Karena tiang-tiang itu seperti biasanya merupakan cara untuk memperluas ruang. Maka masjid itupun nampak luas dan besar ruangannya. Empat buah kubah dipergunakan sebagai atap penutup masjid dengan kubah yang menutupi ruangan yang ada pada dinding arah kiblat sebagai kubah utamanya.
Arsitektur mesjid az-Zahir Baybars hypostyle, bujur sangkar, luasnya 120 X 120 M, pengaruh Persia cukup besar pada masjid antara lain pada gerbangnya terdiri dari ceruk dalam bidang vertical, bagian atasnya pelengkung patah. Iwan depan di mana terdapat gerbang tersebut terdiri dari dua deret dan iwan lateral tiga baris. Mesjid dalam arsitektur simetris, gerbang utama di tengah dan masing-masing iwan lateral mempunyai pintu masuk.
Sultan Mamluk yang suka berperang, keras cara membangun kehidupannya, secara tidak langsung mempengaruhi corak arsitekturnya, diantaranya muncullah suatu corak lain dari arsitektur masjid, yakni bangunan yang merupakan perpaduan antara masjid madrasah dan rumah perawatan bagi orang-orang yang berpenyakit.
Mesjid Sultan Qalaun ini di bangun pada tahun 1284, denah mesjid hampir bujur sangkar 21 X 23 M berdampingan dengan madrasah dipisahkan atau bisa juga dikatakan dihubungkan dengan karidor mesjid di tengah, dikelilingi oleh delapan kolom, masing-masing pada titik sudut dari segi depalan, bila dihubungkan dengan garis. Empat kolom berhias kepala floral, masing-masing satu pasang berhadapan di utara dan selatan jauh lebih besar dari empat lainnya, dua di timur dua di barat, seperti bangunan semi religious umumnya dibangun pada masa itu, dinding kiblat sangat tebal, bagian luarnya tidak sejajar dengan bagian dalam, karena dibuat sejajar dengan jalan. Kedepan kolom menerus tinggi ke atas, di tengah kosong berada di bawah sebuah kubah khas Mesir, atap runcing, penampang berbentuk parabolic. Kubah bertumpuh pada drum berpenampang segi delapan sangat tinggi pula, sehingga ruang di dalam bawah tanah mendapat cukup sinar alami.
Di sisi barat depan masjid terdapat menara, terdiri dari empat bagian, bagian bawah menyatu dengan dinding mesjid, lantai dua berdenah bujur sangkar, lantai tiga juga bujur sangkar dan lantai empat silindris diatapi kubah, bentuknya sama dengan kubah mesjid tapi kecil.

c. Periode Modern
Periode modern dimulai pada masa Safawi (1501 M- 1732 M), Mongol di India (1526 M- 1858) dan Ottoman Turki (1300 M-1923 M). Arsitektur mesjid pada masa modern ini menampilkan corak yang sedikit berbeda dari arsitektur sebelumnya, Umat Islam pada masa Usmani menampilkan tiga bentuk mesjid, yakni tipe masjid lapangan, mesjid madrasah dan masjid kubah. Hal yang baru dalam rangka perkembangan arsitektur Islam gaya Usmaniyah ini ialah munculnya perencanaan bangunan oleh seoran arsitek yang pernah belajar di Yunani, yaitu Sinan, beliau telah menghasilkan karya-karya dalam berbagai bentuk bangunan. Di antaranya masjid Sulaiman di Istambul (1550 M-1557 M), Mesjid ini menampilkan pertautan yang simbolis antara kemegahan istana sebagai lambang yang besar kekuasaannya dan keagungan mesjid sebagai sarana keagamaan, misalnya dengan munculnya menara yang langsing dan tinggi seolah-olah muncul dari lengkung-lengkung kubah dan melesat lepas ketinggian. Pada mesjid agung tersebut terdapat pula kolam hias yang sangat indah. Selain itu, muncul pula bangunan-bangunan mesjid yang berfungsi ganda, misalnya mesjid yang dilengkapi dengan dapur umum yang diperuntukkan khusus untuk memberi makan fakir miskin.
Di Mughal India, arsitektur mesjid mengalami perkembangan pesat terutama ketika pusat pemerintahan Mughal dipindahkan dari Agra ke Delhi. Mesjid jami’ Delhi (1644 M-1650 M) adalah representasi dari kebesaran Mughal pada waktu. Masjid jami’ Shahjahanabad merupakan semacam platform, sehingga untuk masukke halaman harus naik tangga cukup tinggi. Arsitektur masjid hypostyle mempunyai sahn sangat luas dibanding dengan haram yang pendek dan tidak besar, di tengahnya ada tempat wudhu. Iwan relatif sempit jika dibandingkan dengan sahn tersebut hanya satu lapis dibentuk oleh deretan kolom dan dinding. Arsitekturnya sangat simetris, denah keseluruhan termasuk iwan dan sahn bujur sangkar. Mesjid ini memiliki tiga gerbang masuk, masing-masing yang utama di depan atau timur dan dua pada iwan lateral disisi utara dan selatan.
Dari ketiga gerbang tersebut diatas masuk ke halaman dalam (sahn), di tengahnya terdapat air mancur untuk wudhu. Haram denahnya melebar pada ujung arah kiblat dari sahn. Haram mempunyai iwan gerbang, arsitekturnya mirip yang ada pada masjid-mesjid di Iran, berupa ceruk di dalam sebuah bidang datar tegak, bagian atasnya berupa pelengkung patah namun tak mempunyai muqarnas, bentuknya seperti kubah dibelah dua. Di kiri-kanan gerbang dihias dengan semacam plaster silindris, di puncaknya terdapat amortizement. Bentuknya khas India seperti gardu berdenah segi delapan, mempunyai tiang juga delapan, penyangga kubah tersebut patah-patah delapan mengikuti denah yang diatapi, mempunyai titisan berbentuk segi delapan pula.
Iwan gerbang diapit oleh portico, di kiri dan kanan masing-nmasing mempunyai lima pelengkung. Pada ujung-ujung portico terdapat menara kembar memperkuat bentuk simetris dari haram. Dinding portico dan iwan gerbang dihias dengan garis-garis dan kotak-kotak merah dari warna bahan batu merah berlatar belakang putih dari warna marmer. Bagian atas dinding portico dihias dengan deretan runcing-runcing seperti gerigi. Di dalam haram terdapat tiga petak bujur sangkar dibentuk oleh dinding dan kolom yang tengah terbesar diapit di kiri-kanan lebih kecil. Ketiga petak berderet sejajar dinding kiblat masing-masing diatapi kubah, kubah besar berada di tengah-tengah masjid. Bentuk ketiga kubah sangat khas India, menggelembung di tengah, runcing diatas seperti bawang, sehingga sering disebut kubah bawang. Pada puncaknya dihias dengan cunduk, bahan yang dipakai terbuat dari logam, berupa bola-bola kecil disunduk, pucuknya runcing.
Kebesaran Syafawi ternyata juga tercermin dalam arsitektur masjid, salah satu dari sekian banyak masjid yang dibangun adalah Mesjid Agung Isfahan. Di bangun pada tahun 773 M, kemudian hingga abad XVII M mengalami berbagai pengembangan. Struktur dan bahan bangunan pada waktu itu menurut catatan sejarah terbuat dari kayu dan beratap datar, peninggalan itu sudah tidak ada, sebagian bangunan sekarang masih merupakan hasil perluasan abad IX.
Masjid Agung Isfahan terletak di tengah-tengah kota yang suasananya sangat padat, tata letak dan denah berbentuk segi empat tidak beraturan. Mesjid ini berarsitektur hypostyle terdiri dari sahn di kelilingi empat iwan :dua iwan lateral (riwaq), iwan gerbang (pishataq) dan iwan qibla (haram). Bangunan sekeliling mesjid menyatu, membentuk denah kotak-kotak segi empat tidak beraturan. Salah satu iwan dikonversikan untuk ruang sholat dengan sebuah mihrab. Sebuah madrasah ditambahkan kedalam komplek kemudian ditambah pula ruang shalat musim dingin dengan portal sangat megah.
Meskipun tidak semetris bangunan ini mempunyai garis tengah sumbu yang kuat membelah kompleks menjadi dua ditengah-tengah sahn. Saat ini di tengah sahn terdapat kolom segi empat, menjadi tanda titik potong garis sumbu melintang dan membujur dari seluruh kompleks. Pada ujung sumbu arah kiblat di mana terdapat mihrab ditutup dengan kubah besar. Ujung sumbu lainnya juga ditandai oleh sebuah kubah, masing-masing menghadap tegak lurus. Kolam dengan air mancur di tengah pada setiap iwan, terdapat sebuah portal makin memperkuat titik perpotongan sumbu melintang dan membujur. Keempat portal bentuknya satu sama yang lainnya mirip, terdiri dari sebuah ceruk sangat besar, tinggi, bagian atasnya berupa pelengkung patah dibingkai oleh sebuah bidang datar segi empat. Di dalam masing-masing ceruk bagian atasnya dihias dengan muqarnas. Hiasan dominasi warna emas, biru, kuning dan putih bercorak kaligrafi, arabesque, intricate memenuhi hampir semua bidang menghadap ke sahn.
Pada portal iwan-haram di atas terdapat dua menara kembar, silindris khas Iran bentuk dan posisinya seperti tanduk. Sahn kompleks masjid jami’ Isfahan dikelilingi oleh pelengkung-pelengkung patah dari masing-masing iwan, bertumpu karena bangunannya bertingkat dua. Atap dari bagian tertutup sebagian besar berupa kubah berderet membujur dan melintang, masing-masing disangga oleh empat buah kolom. Denah, tata letak, bentuk dan dekorasi dari kompleks masjid ini rupanya menjadi ciri khas dari arsitektur muslim di Iran.


C. Penutup
Peradaban besar selalu meninggalkan bangunan yang megah, kemegahannya selalu dipengaruhi oleh suasana politik, social dan kultur suatau masyarakat. Islam telah membangun peradabannya selama 13 abad lamanya. Dalam rentang waktu yang begitu panjang, terdapat corak dan warna arsitektur Islam terutama masjid sebagai arsitektur yang penuh dengan profan.
Secara sederhana perkembangan arsitektur masjid dibagi menjadi periode klasik, pertengahan dan modern. Setiap periode memiliki bentuk dan corak arsitektur yang berbeda. Perbedaan itu dipengaruhi kebijakan politik pemerintah, kondisi geografis, budaya suatu masyarakat serta mindset suatu bangsa.

Selengkapnya...

Rabu, 19 Mei 2010

Khawarij : Fundamentalisme Awal Islam

Oleh : Erman, M.Ag (Dosen Jur. SKI)

Fundamentalisme berasal dari bahasa Latin fundamentum yang berarti dasar atau sendi. Istilah tersebut digunakan untuk menyebut orang-orang yang meyakini hal-hal yang fundamental dalam agama. Setiap muslim sesuai pengertian ini merupakan fundamentalis karena beriman kepada hal-hal yang menjadi dasar atau sendi agama Islam. Munculnya istilah fundamentalisme untuk pertama kali adalah penyebutan yang ditujukan kepada gerakan konservatif-militan dalam agama Kristen yang mengemuka di Amerika Serikat pada tahun 1920-an.


Fundamentalisme berasal dari bahasa Latin fundamentum yang berarti dasar atau sendi. Istilah tersebut digunakan untuk menyebut orang-orang yang meyakini hal-hal yang fundamental dalam agama. Setiap muslim sesuai pengertian ini merupakan fundamentalis karena beriman kepada hal-hal yang menjadi dasar atau sendi agama Islam. Munculnya istilah fundamentalisme untuk pertama kali adalah penyebutan yang ditujukan kepada gerakan konservatif-militan dalam agama Kristen yang mengemuka di Amerika Serikat pada tahun 1920-an.
Mereka menekankan kebenaran Bible dan menolak setiap temuan sains modern yang dianggap bertentangan dengan ajaran Kristen. Padahal, sains modern justru telah membawa masyarakat Barat pada kemajuan. Karena itu, kehadiran kaum fundamentalis merupakan oposan dari gereja ortodoks terhadap kemajuan sains modern yang dituduh merusak sendi-sendi fundamental dalam agama Kristen. Mengingat karakter konservatifnya yang berpegang teguh pada ortodoksi agama Kristen, fundamentalisme seringkali dikonfrontasikan dengan modernisme yakni aliran yang mengutamakan setiap yang baru sebagai konsekuensi perkembangan sains modern (Asep Syamsul, 2000 : 29-30).
Setelah revolusi Islam Iran (1979), istilah fundamentalisme mulai diterapkan para orientalis dan pakar ilmu sosial untuk mengkaji gerakan-gerakan sosial dan politik yang muncul dalam Islam dengan asumsi bahwa berbagai penomena gerakan sosial dan politik itu memiliki kesemaan karakteristik dengan gejala fundamentalisme di dunia Barat. Mereka menggunakan istilah tersebut untuk menggeneralisasi berbagai gerakan sosial, politik dan keagamaan sejalan dengan munculnya gelombang yang disebut kebangkitan (revivalisme) Islam (Azyumardi Azra, 1996 : 107). Istilah fundamentalisme juga seringkali digunakan secara tidak seimbangan dan tidak netral, bahkan cendrung memiliki makna labelisasi dan penyebutan yang bersifat mapan terhadap fenomena gerakan dalam kehidupan sosial, politik dan keagamaan. Dari beberapa kajian yang dilakukan oleh para ahli, istilah tersebut cendrung memiliki makna negatif untuk memberikan gambaran buruk dan menyudutkan kelompok yang diasumsikan sebagai gerakan fundamentalis. Fazlur Rahman (1979 : 164), misalnya, menyebutkan fundamentalisme Islam sebagai orang yang dangkal, superfisial, dan anti intelektual yang pemikiran-pemikirannya tidak bersumber kepada al-Qur’an dan tradisi Islam klasik. Nurcholish Madjid (1992 : 586) juga memberikan penilaian yang pejoratif dan kurang netral dan menyebut fundamentalisme Islam sebagai sumber kekacauan dan penyakit mental yang menimbulkan akibat yang lebih buruk dibandingkan dengan masalah-masalah sosial yang sudah ada, seperti minuman keras dan obat terlarang. Untuk beberapa kasus tertentu, stigmasi fundamentalisme Islam terhadap gerakan yang muncul dalam masyarakat Islam mungkin ada benarnya karena berangkat dari fakta-fakta empirik yang menunjukkan warna gerakan yang cendrung puritan, radikal dan ekstrim. Tetapi, labelisasi fundamentalisme Islam yang bersifat sinisme itu digunakan secara mapan dan tidak berubah-rubah untuk menggeneralisasi semua fenomena gerakan sosial, politik dan keagamaan dalam Islam jelas merupakan simplikasi yang keliru. Istilah fundamentalisme Islam kadangkala juga dipakai secara overlapping dengan istilah radikalisme dan revivalisme. John L. Esposito (1994 : 17) lebih suka menggunakan istilah revivalisme untuk menyebut gerakan sosial, politik dan keagamaan dalam Islam. Sebutan fundamentalisme Islam, kata John L. Esposito, terlalu dibebani oleh praduga Kristen dan stereotip Barat yang menyiratkan ancaman monolitik yang tidak pernah ada dalam realitas empirik masyarakat Islam. Meskipun demikian, istilah fundamentalisme Islam tetap dipergunakan dalam makalah ini. Fundamentalisme Islam dimaknai sesuai dengan penjelasan dan batasan yang diberikan oleh Jamhari dan Jajang Jahroni (2004 : 3-4) yaitu suatu gerakan sosial, politik dan keagamaan yang memiliki keyakinan ideologis kuat dan fanatik yang selalu mereka perjuangkan untuk mengganti tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung. Upaya memperjuangkan ideologi itu seringkali meraka lakukan melalui aksi-aksi radikal, militan dan ekstrim, bahkan tidak menutup kemungkinan berperilaku kasar terhadap kelompok lain yang bertentangan dengan paham mereka.
Kemudian, kerangka yang dibuat sosiolog, marty, yang sudah dimodifikasi Azyumardi Azra ( 1996 : 109-110) agaknya juga sangat compatible diterapkan dalam tulisan ini. Pertama, kaum fundamentalis mengambil sikap perlawanan secara radikal terhadap ancaman yang dipandang mengancam eksistensi agama. Kedua, mereka menolak hermeneutika atau sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya. Teks kitab suci mesti dipahami secara literal sebagaimana adanya karena nalar dipandang tidak mampu memberikan penafsiran yang tepat. Ketiga, penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Kaum fundamentalisme berpandangan bahwa perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci. Dalam hubungan ini, masyarakat dan perkembangannya harus disesuaikan dengan kitab suci, kalau perlu dengan kekerasan dan bukan sebaliknya.

B. AKAR SOSIO-HISTORIS KEMUNCULAN KHAWARIJ
Setelah terbunuhnya Usman bin Affan, masyarakat Islam dari golongan Muhajirin dan Anshor berulang kali mendatangi Ali bin Abi Thalib dan meminta kesediannya menjadi khalifah. Permintaan tersebut selalu ditolak oleh Ali karena persoalan siapa yang menjadi khalifah tegas Ali sebaiknya diselesaikan lewat musyawarah sehingga memperoleh legitimasi dari sahabat-sahabat termuka di Madinah ketika itu. Tetapi, karena masyarakat Madinah seringkali mendesak Ali dan menyebutkan bahwa masyarakat Islam perlu segera memiliki seorang pemimpi sehingga tidak terjadi kekacauan yang lebih besar, akhirnya Ali luluh juga dan bersedia menduduki jabatan khalifah. Ketika diangkat sebagai khalifah, kekuatiran Ali menjadi kenyataan karena sebagian masyarakat Islam tidak menyampaikan janji setia (baiat) kepada dirinya. Ia hanya dibaiat oleh mayoritas masyarakat Madinah yang terdiri dari golongan Muhajirin dan Anshor. Beberapa sahabat senior seperti Abdullah bin Umar, Saad bin Abi Waqqas, Hasan bin Tsabit dan Abdullah bin Salam yang ketika itu berada di Madinah belum mau ikut membaiat Ali. Mereka baru mau membaiat Ali jika semua umat Islam sudah menyatakan baiat (J. Suyuthi Pulungan, 1997 : 152). Karena itu, Ali diangkat sebagai khalifah tidak berdasarkan konsensus karena masyarakat Islam sebagai sistem sosial yang tersusun dari unsur yang memiliki peran yang saling berhubungan tidak saling melengkapi dan mengisi dalam menentukan eksistensi kehidupan bernegara untuk mencapai tujuan yang sama. Implikasinya, instabilitas sosial dan politik dalam tubuh masyarakat Islam sulit dielakkan pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Salah seorang tokoh yang menolak membaiat Ali dan mengambil sikap konfrontatif adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam. Sikap Muawiyah berujung pada terklasifikasinya masyarakat Islam kepada dua kelompok besar yakni pendukung Ali dan Muawiyah. Situasi sosial demikian menggambarkan bahwa instabilitas sosial dan politik dalam masyarakat Islam sudah semakin mengkuatirkan dan nasib Ali sebagaimana disebutkan oleh Ahmad Syalabi (1997 : 306) tak obahnya bagaikan orang yang menambal kain usang, jangan menjadi baik malah bertambah sobek, mengingat selama masa pemerintahannya stabilitas sosial dan politik hampir tidak pernah dialami barang satu haripun.
Salah penyebab konflik politik dalam masyarakat Islam pada masa pemerintahan Ali adalah bergelutnya beberapa kepentingan dari kelompok sosial yang ada. Muawiyah bin Abi Sufyan yang sangat berambisi menjadi khalifah yang telah dirintisnya sejak menduduki jabatan gubernur Syam selalu menuntut Ali untuk mencari dan mengadili orang yang membunuh khalifah Usman. Sebuah tuntutan yang kelihatannya suci untuk mencari keadilan ternyata mengandung dimensi kepentingan kekuasaan yang membawa pada konfrontasi terbuka terhadap Ali dan pendukungnya. Sikap konfrontatif Muawiyah semakin menguat setelah Ali bin Abi Thalib mengambil kebijakan untuk mengganti semua gubernur yang diangkat oleh Usman bin Affan, termasuk Muawiyah sendiri, dengan para pejabat baru. Kebijakan Ali yang pada awalnya ingin mengembalikan keadaan dan citra pemerintahan seperti pada zaman Abu Bakar Shiddiq dan Umar bin Khattab, justru memancing kemarahan keluarga Bani Umaiyah dan mendorong mereka membangun kekuatan untuk melawan Ali. Dalam waktu bersamaan muncul pula kelompok sosial baru koalisi Aisyah, Thalhah dan Zubeir yang beroposisi terhadap Ali dengan motif yang sama dengan Muawiyah yaitu menuntut keadilan atas kematian Usman bin Affan (Jamal Ahmad, 1984 : 42).
Konfrontasi koalisi Aisyah, Thalhah dan Zubeir terhadap Ali membawa kepada perperangan Jamal (36 H) yang dimenangkan oleh kelompok Ali. Sedangkan konfrontasi Muawiyah dan pendukungnya berujung pula pada perperangan Shiffin (37 H) yang harus diakhiri dengan tahkim atas permintaan pihak Muawiyah.
Pada perperangan Shiffin, pasukan Ali sebenarnya mampu mendesak pasukan Muawiyah dan mereka hampir saja memperoleh kemenangan. Tetapi, kesempatan itu hilang disebabkan strategi yang dimainkan oleh Amru bin ‘Ash, yang mengangkat al-Qur’an sebagai tanda meminta perdamaian. Para Qurra yang berada di pihak Ali mendesak dirinya untuk menerima tawaran itu. Akibatnya, pertikaian politik antara Ali dan Muawiyah menempuh jalan damai dengan cara bertahkim (arbitrase). Sebagai pengantara dari masing-masing kelompok yang sedang bertikai ditunjuklah Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali dan Amru bin ‘Ash dari pihak Muawiyah. Kedua sepakat untuk melengserkan Ali dan Muawiyah dari jabatan khalifah.
Ketika hasil tahkim diumunkan kepada masyarakat Islam, Abu Musa al-Asy’ari menyebutkan bahwa sesuai dengan kesepakatan majlis tahkim, maka Ali dan Muawiyah diturunkan dari jabatannya. Amru bin ‘Ash menyampaikan hal yang berbeda dari kesepakatan yang sudah dibuat dan mengumumkan hanya Ali yang turun dari jabatan dan Muawiyah tidak. Keputusan yang disampaikan oleh Amru bin ‘Ash membuat tahkim bukannya menyelesaikan ketegangan untuk mencara perdamaian antara Ali dan Muawiyah melainkan ketegangan semakin menguat yang membawa kepada terjadinya dualisme pemerintahan.
Pasca tahkim, mayoritas umat Islam tetap mengakui Ali sebagai khalifah dan dua bulan berikutnya diiringi pula oleh Muawiyah yang memproklamirkan diri sebagai khalifah. Karena merasa ditipu, Ali bin Abi Thalib tidak mau meletakkan jabatan khalifah hingga akhirnya hayatnya (Harun Nasution, 1986 : 4). Hasil tahkim yang tidak adil juga mendapat protes dan kecaman dari sebagian pendukung Ali. Mereka bukan hanya tidak setuju dengan keputusan majlis tahkim melainkan juga menyatakan keluar dari kelompok Ali. Kelompok yang keluar inilah yang sangat populer dengan sebutan kaum Khawarij. Karena itu, munculnya kaum Khawarij dalam perspektif sosio-historis adalah refleksi dari kekecewaan kepada hasil tahkim yang tidak adil. Atas nama kepentingan, tahkim tidak mampu mengakomodasi kepentingan semua masyarakat Islam. Mereka juga kecewa terhadap Ali yang mau menerima ajakan Muawiyah untuk menyelesaikan pertikaian politik dengan cara bertahkim.
Sebagai refleksi kekecewaan, lebih-kurang 1200 orang kaum Khawarij sebagamana dikatakan oleh Abdul Aziz Dahlan (2001 :42) berkumpul di Harura untuk menyusun barisan dan mengangkat Abdullah bin Wahab al-Rasibi sebagai pemimpin. Dengan diangkatnya Abdullah bin Wahab al-Rasibi sebagai pemimpin oleh kaum Khawarij berarti bertambah pula kelompok sosial baru yang menjadi kekuatan sosial politik pasca peristiwa tahkim yang melakukan gerakan sosial dan politik sesuai kepentingan mereka.
C. GERAKAN FUNDAMENTALISME KHAWARIJ
Labelisasi fundamentalisme Islam terhadap gerakan kaum Khawarij agaknya terlalu sulit untuk dielakkan, mengingat sikap perlawanan yang mereka ambil pasca peristiwa tahkim mengaktual dalam bentuk aksi-aksi radikal, ekstrim dan bertolak-belakang dengan kelompok mayoritas umat Islam. Mereka seringkali terlibat dalam pemberontakan dan tindakan kekerasan pada masa pemerintahan Ali, Daulah Bani Umaiyah dan Abbasiyah. Kehadiran mereka menjelma sebagai kelompok garis keras yang dalam mencapai tujuan tertentu hampir tidak mengenal kompromi. Dalam hubungan ini, sebagian dari karakteristik fundamentalisme Islam sebagaimana yang sudah disinggung sebelumnya sangat melekat pada setiap gerakan yang dilakukan oleh kelompok Khawarij.Kaum Khawarij yang disebut sebagai fundamentalisme Islam klasik dalam menyikapi hasil tahkim melakukan gerakan perlawanan terhadap kekuasaan dengan cara keluar dari kelompok Ali dan membangun prinsip-prinsip perjuangan yang radikal dan ekstrim. Bagi mereka, semboyan tiada hukum selain hukum Allah yang dikutip dari surat al-Maidah ayat 44 merupakan landasan idiologis yang berharga mati dan mesti diperjuangkan di manapun dan kapanpun. Sebagai bentuk gerakan memperjuangkan idiologis, mereka mengkafirkan Ali dan Muawiyah karena sudah menyelesaikan konflik dengan cara bertahkim yang tidak sesuai dengan hukum Tuhan (Abdul Aziz Dahlan, 2001 : 46-47).
Tidak puas dengan hanya mengkafir Ali dan Muawiyah, mereka memandang kafir pula setiap orang yang tidak sepaham dengan mereka dan menurut sikap radikal mereka orang tersebut halal darahnya untuk ditumpahkan. Tuduhan kafir yang ditujukan terhadap Ali, Muawiyah dan orang tidak sepaham dengan mereka sekalipun tidak lagi termasuk dalam diskursus politik karena sudah merambah masuk ke dalam wilayah teologis, kehadiarnnya tetap saja sebagai respon yang mengambil sikap perlawanan terhadap kekuasaan yang masih berlangsung dan berfungsi untuk melegitimasi aksi-aksi radikal mereka. Dalam dunia politik, kondisi seperti itu lumrah terjadi di mana orang atau kelompok yang merasa tidak puas dengan suatu keputusan politik mengambil sikap yang berlawanan (oppositinalism) dan bernaung di balik nilai-nilai suci agama untuk melegitimasi tindakannya. Fenomena ini terlihat secara jelas pada setiap gerakan kaum Khawarij setelah mengetahui hasil penyelesaikan sengketa politik perang Shiffin melalui majlis tahkim.
Radikalisme pemikiran sebagai karakteristik fundamentalisme yang djumpai di kalangan kaum Khawarij bermula dari pemahaman yang dangkal dan literalis terhadap kitab suci al-Qura’n. Kecendrungan tersebut tergambar dari komentar Abu Zahrah (t.t : 77) yang menyebutkan bahwa selain surat al-Maidah ayat 44 mereka juga menggunakan surat Ali Imran ayat 97 yang menjelaskan tentang kewajiban ibadah haji untuk mengkafirkan orang yang tidak sepaham dengan mereka. Ayat ini dipahami oleh kaum Khawarij secara harfiyah (literal) untuk mengkafirkan semua orang yang belum melaksanakan ibadah haji. Padahal, ayat tersebut tegas Abu Zahrah menyebutkan bahwa sifat kafir hanya bisa ditujukan kepada mereka yang mengingkari kewajiban ibadah haji.
Sikap skripturalistik yang menjadi karakteristik kaum fundamentalisme Islam klasik (Khawarij) mendorong mereka untuk memahami doktrin agama dengan cara berlebihan-lebihan (ekstrim) dan biasnya mereka melakukan tindakan kekerasan yang bertentangan dengan missi kitab Suci. Gerakan mengkafirkan Ali, Muawiyah dan mereka yang tidak sepaham merupakan gambaran dari sikap ekstrim kaum Khawarij. Faktor yang mewarnai pemikiran mereka adalah lingkungan geografis dari mana mereka berasal. Mereka menurut Abu Zahrah (t.t, : 35) merupakan orang-orang Arab Baduwi yang berpikir sederhana dan berwatak keras, serta hidup secara nomaden di lingkungan geografis padang pasir yang panas dan gersang.
Masyarakat Arab Baduwi kata Ahamad Syalabi (1992, : 347) suka memberontak dan berperang meskipun karena sebab-sebab yang irrasional. Salah satu kasus adalah perperangan Basus yang berlangsung selama bertahun-tahun dan menelan korban yang tidak sedikit. Penyebabnya adalah karena Kulaib bin Rabi’ah, kepala suku Taghlib, memanah seekor unta kepunyaan Jassas bin Murrah. Karena tidak memaafkannya, Jassas membunuh Kulaib. Padahal Kulaib sendiri adalah suami saudara perempuan Jassas.
Di samping sikap skripturalistik, kaum Khawarij mengambil sikap perlawanan secara radikal terhadap Ali dan para pendudukungnya. Pasca persitiwa tahkim, mereka seperti diungkap oleh Ahmad Salabi (1992 : 318-319) mulai menyusun strategi untuk melakukan pemberontakan dan konfrontasi terbuka terhadap pendukung Ali yang berujuang pada perperangan di Nahrawan, sebuah daerah yang terletak dekat Baghdat. Sekalipun perperangan dimenangkan oleh pihak Ali, namun tidaklah mengurangi semangat gerakan kaum fundamentalisme Islam klasik itu untuk melakukan pemberontakan dan kekerasan. Sebaliknya, kekalahan melahirkan dendam yang semakin besar kepada Ali karena mengingat apa yang sudah dialami oleh saudara-saudara mereka di Nahrawan.
Puncak dari kemarahan tersebut, mereka menyusun strategi untuk membunuh Ali, Muawiyah dan Amru bin ‘Ash yang mereka anggap paling bertanggungjawab terhadap hasil tahkim yang tidak adil. Pembunuhan Ali, Muawiyah dan Amru bin ‘Ash yang dianggap oleh kaum Khawarij sebagai tugas suci dan diserahkan kepada tiga orang. Masing-masing mereka menurut Ahmad Syalabi (1997 ; 306-307) adalah Abdurrahman bin Muljam yang berangkat ke Kaufah untuk membunuh Ali, Barak bin Abdillah al-Tamimi pergi ke Syam untuk membunuh Muawiyah dan Amru bin Bakar al-Tamimi pergi ke Mesir untuk membunuh Amru bin ‘Ash. Di antara mereka hanya Abdurrahman bin Muljam yang behasil membunuh Ali dengan cara menusuknya dengan pedang ketika beliau hendak melaksanakan shalat Shubuh. Barak bin Abdillah al-Tamimi juga berhasil menikamkan pedangnya ke tubuh Muawiyah meskipun tidak berujung kepada kematian. Sedangkan Amru bin Bakar al-Tamimi gagal menjumpai Amru bin ‘Ash di Mesir.
Pada masa pemerintahan Ali, kaum Khawarij seringkali melakukan tindakan kekerasan dan merampas harta-harta orang-orang menentang gerakan mereka. Kaum Khawarij juga membolehkan untuk membunuh siapa saja dari masyarakat Islam yang tidak mau bergabung dengan mereka. Salah seorang yang menjadi korban kekerasan mereka dalah Abdullah bin Kabbab yang mengakhiri hidupnya dengan cara dibunuh. Ali pernah meminta kepada kaum Khawarij untuk menyerahkan orang membunuh Abdullah bin Kabbab. Tetapi, mereka menyembunyikannya dan mengatakan kepada Ali bahwa mereka semua ikut terlibat dalam pembunuhan itu (Ahmad Syalabi, 1992 : 317-319).
Setelah Ali terbunuh, beberapa tindakan radikal tetap dilakukan oleh kaum Khawarij pada masa pemerintahan Daulah Bani Umaiyah. Salah satu bentuk perlawanan kaum Khawarij yang dianggap gemilang terhadap kekuasaan Daulah Bani Umaiyah adalah sepeninggal Muawiyah bin Abi Sufyan sekitar tahun enam puluh Hijriyah. Mereka mengangap dengan meninggalnya Muawiyah berarti belenggu yang membatasi gerak mereka sudah lepas. Di samping itu, muncul pula kegoncangan situasi sosial dan politik dalam kehidupan umat Islam sepeninggal Muawiyah. Situasi demikian dimanfaat oleh pemimpin kaum Khawarij, Nafi’ bin Azraq, untuk memperoleh pengaruh dan kesuksesan yang besar. Ia berhasil menaklukan daerah Ahwaz dan berhasil menegakkan kekuasaan di Aswad, Basrah (Ahmad Syalabi, 1992: 324). Nafi’ bin Azraq juga berhasil memasuki kota Basrah dan menghancurkan penjara untuk membebaskan orang-orang Khawarij yang ditahan sebagai tawanan perang oleh Bani Umaiyah.
Selama belasan tahun terjadi banyak pertempuran sengit antara kaum Khawarij dan pasukan Bani Umaiyah. Kalau tidak terjadi perpecahan dalam tubuh mereka tegas Abu Zahrah (t.t. : 80) pertarungan terhadap Bani Umaiyah akan berjalan lebih lama lagi.
Sikap perlawanan yang diambil oleh kaum Khawarij pada masa Daulah Bani Umaiyah masih memiliki hubungan dengan kekecewaan mereka terhadap Muawiyah bin Abi Sufyan pada peristiwa Tahkim. Lawet semboyan tiada hukum selain hukum Tuhan, mereka sudah mengkafirkan Muawiyah dan menghalalkan darahnya untuk dibunuh. Sesuai dengan pandangan politik mereka, kaum Khawarij menyebut pemerintahan Daulah Bani Umaiyah adalah pemerintahan yang tidak sah. Para penguasa mereka tidak dipilih oleh masyarakat Islam ketika itu (J. Suyuthi Pulungan : 199). Pandangan yang sama mereka gunakan pula pada masa berikutnya untuk meligitimasi tindakan mereka yang radikal dan ekstrim pada masa Daulah Bani Abbasiyah.
Sebagai aliran sempalan, sikap perlawanan yang dilakukan oleh kelompok Khawarij memang sangat literal, radikal, militan dan ekstrim. Beberapa karakteristik fundamentalisme sangat melekat pada setiap gerakan yang mereka dilakukan. Karena itu, penyebutan fundamentalisme Islam terhadap gerakan yang dilakukan oleh kaum Khawarij sangat beralasan.









DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abu Zahrah, Muhammad, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, Dar al-Fakir al-‘Arabi, Mesir, t.t.
Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam, Paramadina, Jakarta, 1996
Dahlan, Abdul Aziz, Teologi dan Akidah dalam Islam, IAIN IB Press, Padang, 2001
Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004
John L. Esposito, Ancaman Islam, Mitos atau Realitas, t.p., Bandung, 1994
Madjid, Nurcholish, Islam : Doktrin dan Peradaban, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, 1992
M. Romli, Asep Syamsul, Demonologi Islam, Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam, Gema Insani, Jakarta, 2004
Nasution Harun, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986
Pulungan, Suyuthi J, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, PT. Raja Garfindo Persada, Jakarta, 1997
Rahman, Fazlur, Islam and modernity, and Intelectual Transformation, Bibliotheca, Minneapolis, 1979
Syalabi, Ahamd, Sejarah Kebudayaan Islam, PT. al-Husna Zikra, Jakarta, 1992



Selengkapnya...

Orisinalitas Al-Qur'an

Oleh : Dr.H. A. Shafwan Nawawi, M.Ag (Kajur/Dosen BSA)

Al-Quran telah dikaji dari beberapa segi, seperti dari aspek bahasa, aspek imu pengetahuan dan bahkan daris aspek siente dan tecnologie, aspek atau lainya. Dari kajian berbagai aspek tersebut, terdapat kesimpulan yang kuat dan meyakinkan, bahwa al-Quran benar-benar bukan buatan manusia dan dalam waktu yang sama kandungan al-Quran itu merupakan kazanah kebenaran yang mutlak


Muqaddimah

Namun ternyata masalah kandungan isi al-Quran ini Belem juga tuntas, khususnya bagi mereka yang tidak ingin al-Quran tetap sebagai pegangan hidup Amat Islam. Buktinya masih ada pakar yang belum meyakini atau bahkan mempertanyakan orisinalitas al-Quran, sebagai kalamullah lalu menganggapnya sebagai kalam Muhammad atau karangannya Bila logika yang mereka bisa diterima, maka tentu dengan demikian mereka merasa bebas mempertanyakan atau mengotak-atik isi atau kebenaran al-Quran.
Sebelum membahas orisinilitas al-Quran dikemukakan lebih dulu mengenai definisi al-Quran yang telah dirangkum oleh ’Abd al-Wahhāb Khallāf sebagai berikut;
Al-Quran ialah firman Allah yang dibawa turun oleh al-Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hati sanubari Rasul Allah Muhammad bin Abdullah sekaligus bersama lafal Arab dan maknanya, benar-benar sebagai bukti bagi Rasul bahwa ia adalah utusan Allah dan menjadi pegangan bagi manusia agar mereka terbimbing dengan petunjukNya ke jalan yang benar, serta membacanya bernilai ibadah. Semua firman tersebut terhimpun dalam mushaf yang diawali dengan surah al-Fatihah dan ditutup dengan surah al-Nas, diriwayatkan secara mutawatir dari satu generasi ke genersi yang melalui tulisan dan lisan , serta senantiasa terpelihara keorisinalannya dari segala bentu perubahan dan penukaran atau penggantian.

Terlihat dari definisi ini bahwa ’Abd al-Wahhāb Khallāf sebenarnya mencoba merumuskannya keaslian al-Quran sebagai firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sekaligus sebagai jawaban atas kemungkinan munculnya pemikiran yang meragukannya sebagai wahyu Allah, dan juga berfungsi untuk membedakan antara sabda Nabi Muhammad dengan wahyu Allah tersebut.

Pemikiran Tendensius Seorang Orientalis

Timbulnya keraguan tersebut sebenarnya datang dari mereka yang jauh dari Islam, terutama kaum orientalis dan yang sepaham dengan mereka sebagaimana dikutip Quraisy Shihab dari Abdul Halim Mahmud, sebagaimana dikatakannya : Para orientalis dari saat ke saat berusaha menunjukkan kelemahan Al-Quran
Pernyatataan Abd Halim Mahmud ini ada benarnya. Hal ini tergambar dalam sikap yang dikemukan oleh Helmut Gätje, yang mengatakan:
“One cannot support the claim that it includes all of the relevation . Through the moslem tradition, a view shorter pieces known to us which are expressly designated as original part of the relevation , yet are not in the Quran.’(Tak seorangpun dapat mengklaim bahwa al-Quranmemuat semua wahyu. Melalui riwayat , sejumlah surat pendek disampaikan kepada kita, yang secara jelas ditunjukkan sebagai bagian dari wahyu, namun tidak terdapat dalam al-Quran)
Jika diamati dengan saksama tanpak dengan jelas bahwa Gatje sebenarnya telah terjebak oleh pemikirannya sendiri yang menunjukan kapsitasnya sebagai seorang ilmuan terabaikan. Seyogyanya sebagai seorang ilmua dia mampu membedakan wahyu dengan al-Quran. Tapi yang terjadi , dia malah subjektifnya yang berlebihan memojokkan Islam, sehingga mengidentikan wahyu dengan al-al-Quran.
Disnilah mula terkuaknya ketidakhati-hatiannya dalam memberikan analisa tentang Islam, karena dia cendrung memahami semua yang datang dari Allah adalah al-Quran. Padahal yang dikatakan dari Allah itu ada yang disebut ilham, hadis qudsi dan wahyu Quran sendiri.

Dua Sisi Originalitas al-Quran

Kajian mengenai orisinalitas ini telah ditulis banyak ulama baik dalam negeri maupun dari manca negara, khususnya Timur Tengah. Dari apa yang mereka tulis mengenai orisinalitas ini, dapat dilihat dari dua sisi, ekstrinsik dan interinsik

1. Ekstrinsik

Al-Quran al-Karim sebagai wahyu Allah pertama kali disampaikan oleh Rasul Allah Muhammad kepada masyarakat Arab Quraisy di Makkah. Saat itu bangsa Arab berada dalam kondisi yang disebut Jahiliyyah dengan kultur kekinian mereka saat itu dalam kesederhanaan dan belum mengenal agama kecuali warisan nenek moyang mereka. Di tengah masyarakat seperti Allah menurunkan al-Quran kepada mereka melalui Nabi Muhammad saw.
1) Nabi Muhammad saw adalah seorang yang Ummiy. Dalam kamus Tartīb al-Qamūs al-Muhīth hanya satu makna Ummiy, yaitu من لا يكتب او من على خلقة الامة لم يتعلم الكتاب (orang yang tidak bisa membaca atau orang yang terlahir dari masyarakat yang tidak belajar membaca). Dari pemaknaan ummiy dengan kamus Bahasa Arab ini saja sudah cukup untuk menolak pendapat yang mengatakan Nabi Muhammad bukan Ummiy dalam pengertian tidak bisa membaca dan menulis melainkan tidak memahami sejarah umat terdahulu. Pendapat ini tidak sesuai dengan fakta sejarah Quraisy sendiri yang menyebutkan bahwa masa itu masyarakatnya memang ummiy dalam arti tidak dapat membaca dan menulis.. Ketika ayat yang pertama turun Nabi Muhammad disuruh membaca, lalu dia menjawab ما انا بقارئ (Saya tidak bisa membaca). Lihat bahwa Nabi Muhammad menggunakan kata dalam bentuk isim fa’il , tidak fi’il mādhi atau fi’il mudhāri’ yang mengandung unsur waktu. Tapi dengan menggunakan Ism Fa’il, artinya ia menggunakan kata tanpa unsur waktu, yang dalam kaedah bahasa menunjukkan bahwa ketidakmampuannya membaca yang diucapkannya itu merupakan sesuatu yang menjadi keseharian (present habit) nya.
Inilah yang yang membuktikan bahwa al-Quran yang keluar dari mulutnya itu bukan karangannya atau pemikirannya sendiri. Dengan kata lain dia hanya menjadi media yang mengkomunikasikan pesan Allah kepada umat manusia. Jadi yang keluar dari mulutnya itu adalah kalamullah, bukan hasil perenungannya selama empat puluh tahun sebagaimana dikatakan oleh Allah dalam surah Yunus ayat 16.
قُلْ لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا تَلَوْتُهُ عَلَيْكُمْ وَلَا أَدْرَاكُمْ بِهِ فَقَدْ لَبِثْتُ فِيكُمْ عُمُرًا مِنْ قَبْلِهِ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Katakanlah: "Jikalau Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya kepadamu dan Allah tidak (pula) memberitahukannya kepadamu." Sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya[677]. Maka apakah kamu tidak memikirkannya

Jika al-Quran itu kalam Nabi Muhammad, tentu tidak ada ucapanya seperti ini.

2) Pengakuan dari Musuh Nabi Muhammad Sendiri. Dalam riwayat dijelaskan bahwa Walid bin Mughirah, misalnya, adalah musuh Nabi Muhammad yang sangat keras terhadapnya. Dia mengakui integritas Nabi Muhammad tapi ia ingkar dengan apa yang dibawanya. Namun dia mengakui bahwa al-Quran yang disampaikan Nabi Muhammad itu bukan karangannya sendiri melainkan sesuatu yang luar biasa. Malah Hakim bin Umayyah, yang tadinya juga sangat memusuhi, akhirnya masuk Islam, kemudian melarang kaumnya memusuhi Rasul
Begitu juga dengan yang lain. Al-Quran mencapai tingkat tertinggi dalam keindahan bahasanya serta sangat mengagumkan mereka saat itu, baik yang menerima Islam atau tidak. Berbagai riwayat mengatakan bahwa sering para tokoh Arab yang kafir itu mendengarkan ayat-ayat al-Quran secara sembunyi-sebunyi karena takut ketahuan oleh kaumnya, padahal mereka mengagumi isi dan percaya bahwa ayat-ayat tersebut membawa kebahagiaan dunia akherat .Dalam hal ini al-Quran juga mencatat perilaku tersebut seperti tercantum pada ayat 26 surah Fushshilat:
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَسْمَعُوا لِهَذَا الْقُرْآَنِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ
Dan orang-orang yang kafir berkata: "Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al Quran ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka

Ini membuktikan bahwa al-Quran itu bukan karangan Nabi Muhammad saw, hingga Walid yang sudah biasa berhadapan dengan Nabi Muhammad sebelumnya merasakan sesuatu yang baru yang dibawa oleh Rasulullah tersebut. Semuanya ini membuktikan lemahnya anggapan sebagian kaum orientalis semisal Watt, yang mengatakan bahwa al-Quran itu karangan Muhammad.
3) Keterpeliharaan al-Quran. Maksudnya al-Quran terpelihara dari berbagai kemungkinan bias, berkurang atau bertambah, atau ditukar dan diganti barang satu huruf pun. Hal ini disebabkan beberapa faktor, seperti ditulis oleh Quraisy Shihab.
- Masyarakat yang ada saat itu adalah masyarakat yang tidak mengenal tulis baca. Satu-satunya andalan mereka adalah hafalan
- Masyarakat saat itu sangat sederhana dan bersahaja. Ini pulalah yang menyebabkan mereka punya banyak waktu luang untuk menambah ketajaman pikiran dan hafalan.
- Al-Quran dan Rasul menganjurkan kaum muslimin agar banyak membaca al-Quran serta mempelajarinya dan itu mendapat respon yang hangat dari mereka
- Dalam al-Quran banyak sekali dorongan untuk bersikap teliti dan hati-hati dalam menyampaikan berita apalagi dalam menyampaikan al-Quran.

Kesemua ini, kata Qurais Shihab, menjadi penunjang hafal dan terpeliharanya al-Quran Maksudnya terpeliharanya seluruh ayat al-Quran secara murni, tanpa tambahan, penukaran atau penggantian. Artinya ialah bahwa semua fakta ini menunjukkan al-Quran itu adalah firman Allah bukan karangan Muhammad.
Nashruddin Baidan, merumuskan orisinalitas al-Quran ini, berangkat dari fakta sejarah kekinian Bangsa Arab saat itu , di mana keberadaan al-Quran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw memang murni dari Allah. Rumusannya adalah sebagai berikut:
1) Al-Quran tersebut sebagai bukti kerasulan Nabi Muhammad saw. Al-Quran menjadi mukjizat baginya, karena al-Quran terpisah atau dipisahkan dari sabdanya atau wahyu yang kemudian disebut sebagai hadis qudsi, tidak termasuk al-Quran. Artinya al-Quran benar-benar berdiri sendiri dengan urutan dan bacaannya yang tidak boleh diubah atau diganti atau dihilangkan. Karenanya hanya ayat al-Quran yang bisa digunakan dalam shalat untuk memenuhi bacaan rukun dalam shalat tersebut. Tidak bisa diganti dengan hadis qudsi, meskipun sama-sama wahyu Allah.
2) Terhimpunnya al-Quran dalam satu mushhaf. Artinya ayat-ayat yang diterima sebagai al-Quran hanyalah ayat-ayat yang menjadi isi kandungan mushhaf al-Quran, yang kemudian dibukukan dalam mushhaf ’Usmaniy. Maka jika ada yang mengklaim ada potongan lain dari ayat al-Quran yang tidak ada dalam mushhaf Usmaniy, tidak diakui berasal dari Allah. Artinya ayat-ayat al-Quran yang diakui hanya merujuk pada mushhaf yang satu itu.
3) Diriwayatkan secara Mutawatir. Ini sangat penting. Sebagai wahyu yang diterima Rasul Allah harus diriwayatkan sejumlah perawi yang menurut adatnya mustahil mereka sepakat berdusta. Apalagi orang-orangnya adalah orang-orang terpercaya dan kepercayaan Rasulullah hingga tidak mungkin berkhianat. Kemutawatiran ini bersambung juga secara mutawatir sampai ke perawi pertama.
4) Membacanya benilai ibadah. Ini memberikan batasan dan sekaligus mendorong umat Islam agar sering membaca al-Quran karena dipandang sebagai amal yang berinilai ibadah. Tidak demikian untuk membaca hadis-hadis. Dalam sejarahnya al-Quran dibaca setiap hari dan dan masing mengkhatam bacaan al-Quran dengan siklus waktu tertentu sesuai kemampuan masing-masing pula.
5) Terpeliharanya al-Quran secara kolektif dalam bentuk hafalan dan tulisan, mulai dari masa Nabi Muhammad saw, Masa Abu Bakar, Umar , Ustman dan Ali sampai kepada sistem periwayatan Hadis benar-benar telah kuat dan kurat

2. Intrinsik

Orisinalitas al-Quran dapat dilihat dari internal al-Quran sendiri dan kaitannya dengan Nabi Muhammad saw. Maksudnya al-Quran adalah kalam Allah bukan sabda RasulNya. Hal ini dapat dilihat dari hal-hal berikut;
1) Penggunaan kalimat yang bersifat Khithâbiy. Maksudnya dalam al-Quran, khusus yang ditujukan kepada Nabi Muhammad saw, Allah menggunakan kata-kata fi’l al-Amr, kata perintah: قل Katakanlah (pada mereka ya Muhammad) atau kata dari kata ganti nama (dhamir li Mukhāthab) seperti ك dalam kalimat al-Quran semisal انك على خلق عظيم atau dhamir li al-mukhāthab ت semisal dalam kalimat افرئيت الذي يكذب بالدين . Untuk apa kata perintah atau kata ganti kedua tersebut jika al-Quran itu adalah karangannya sendiri. Ia tidak berperlu berkata engkau pada dirinya sendiri. Ini akan langsung ditolak oleh masyarakat Arab jika ia mengaku al-Quran adalah karangannya sendiri.
2) Adanya ayat-ayat yang Mengancam Dirinya Sendiri
Kalau al-Qur’an karangan Nabi Muhammad, kenapa juga ada ancaman yang sangat keras terhadap dirinya sendiri. Tentu hal ini tidak logis akan dibuat oleh penulisnya sendiri. Lihat misalnya surah al-Haqqah ayat 44-46 :

وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيلِ (44) لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ (45) ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ (46
Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami. Niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya, Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya

Dalam mengulas ayat ini Ibnu Katsir mengemukakan maksud Allah: Kalaulah Muhammad itu berbuat seperti yang mereka (orang-orang) kafir tuduhkan, berupa penambahan risalah atau pengurangan atau dia mengatakan sesuatu yang bersumber dari dirinya sendiri terhadap Kami (Allah) pastilah Kami akan menghukumnya. Tapi kenyataannya tidak demikian
3) Adanya pernyataan al-Quran tentang Nabi Muhammad dan hubungan dengan al-Quran.
- Surah Yunus 16
قُلْ لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا تَلَوْتُهُ عَلَيْكُمْ وَلَا أَدْرَاكُمْ بِهِ فَقَدْ لَبِثْتُ فِيكُمْ عُمُرًا مِنْ قَبْلِهِ أَفَلَا تَعْقِلُونَ (16)
Katakanlah: "Jikalau Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya kepadamu dan Allah tidak (pula) memberitahukannya kepadamu." Sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya Maka apakah kamu tidak memikirkannya?

Yang dimaksud aku disini adalah Nabi Muhammad saw. Thabari menjelaskan bahwa ayat ini merupakan tanggapan atas kaum Musyrikin yang menuntut kepada Nabi Muhammad agar Nabi Muhammad menghadirkan al-Quran selain ini (selain yang telah dibacakannya selama ini) Makan turunlah ayat diatas yang diawali dengan kata قل , katakan pada mereka wahai Muhammad ..dan seterusnya . Artinya ialah bahwa Nabi Muhammad tidak bisa menambah atau menjawab begitu saja, karena memang al-Quran itu bukan buah pikiran dia.
- Surah al-Najmu ayat 4
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4) عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
yang diajarkan kepadanya oleh yang sangat kuat.

Dia disini maksudnya adalah Nabi Muhammad saw. Ayat ini menjelaskan bahwa Nabi Muhammad itu tidak mengucapkan ayat-ayat tersebut berasal dari pikirannya, tapi semata-mata berasal dari wahyu yang diterimanya dari Allah. Hanya wahyu Allah, yaitu al-Quran, itu saja yang disampaikannya.
Jadi kalau al-Quran itu karangan Nabi Muhammad sendiri, kenapa dia harus menjadi orang ketiga dari ucapan yang keluar dari mulutnya sendiri. Dan kenapa dia diperlakukan sebagai orang yang tidak mengatakan apa-apa kecuali apa yang diwahyukan.

4) Adanya ayat-ayat yang mendiskriditkan dirinya sendiri.
Maksudnya ada sejumlah ayat yang memposisikan Nabi Muhammad dalam posisi dipersalahkan atau dipermalukan. Namun ternyata dia tetap menyampaikannya juga, sekalipun hal itu suatu rahasia yang cendrung memojokkan peribadinya. Kalau memang al-Quran itu benar merupakan karangan karangan dia mengapa dia mau mempermalukan dirinya sendiri di tengah para sahabatnya. Untuk jelasnya perhatikan surah al-Ahzab ayat 37 berikut;

وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا

Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.

Ayat ini, antara lain mengungkapkan persoalan pribadi yang dihadapi oleh Nabi Muhammad saw. Ketika Zainab yang telah jadi istri anak angkatnya yaitu Zaid bin Haritsah, dia (Nabi ) kemudian tertarik hendak menikahi Zainab, dan timbul rasa ingin di hatinya agar Zaid bercerai dengan istrinya, karena kebetulan Zainab memang tidak suka dengan Zaid. Zainab mau menikah dengan Zaid , hanya karena mempertahankan imannya, yakni taat pada perintah Rasul, sesuai ayat yang turun tentang kasusnya itu. Ketika Zaid mengadu kepada Nabi Muhammad saw, tentang sikap istrinya itu, Nabi Muhammad justeru mengatakan, pertahankan istrimu itu dan bertaqwalah. Padahal dalam hati sebenarnya Nabi jatuh cinta pada Zainab dan berharap menikahinya.. Nah . Rahasia inilah yang diungkapkan oleh ayat diatas hingga semuanya jadi nyata. Zaid akhirnya menceraikan Zainab dan Allah menikahkan Nabi Muhammad dengan Zainab tersebut.
Sebagaimana manusia Nabi Muhammad sangat malu, atas keinginannya itu dan tidak ingin diketahui oleh siapapun, hingga dia menyuruh Zaid menahan istrinya atau tidak menceraikannya. Tapi ternyata ayat yang ada justru mengungkapkannya secara terbuka rahasia tersebut. Jadi jika al-Quran itu karangan dia, tentu dia tidak akan mengungkap peristiwa tersebut di hadapan orang ramai. Ini suatu bukti yang amat otentik bahwa al-Quran benar-benar bukan karangan dia, tapi melainkan wahyu yang murni dari Allah dan Nabi Muhammad tidak punya pilihan lain kecuali harus menyampaikan kepada umat sekalipun kandungannya mnegeritiknya secara tajam dan fulgar.

Penutup

Akhirnya yang disimpulkan dari tulisan ini ialah bahwa selalu ada upaya rang untuk menjatuhkan posisi al-Quran dari kalam Allah menjadi kalam Muhammad, yang salah satunya dengan mempertanyakan Orisinalitas al-Quran, agar dengan demikian Al-Quran itu sendiri bisa dikritisi atau diotak atik sebagaimana sebuak buku biasa yang pada gilirannya al-Quran dapat diragukan kebenarannya. Memahami Orisinitas menjadi sangat pendting bagi ilmuan muslim sebelum terjebak oleh maker pemikiran yang hadir secara simpatik dan rasional, tapi punya tendensi yang jahat terhadap kitab suci al-Quran
Karena penulis menyarankan, agar para cendikiawan muslim, waspada dalam hal ini, agar tidak terjebak kepada sesuatu yang justru mengantarkan yang bersangkutan berseseberangan dengan kitab suci agamanya sendiri.

Refrensi

-Abd al-Wahhāb Khallāf. Ilm Ushūl al-Fiqh,cet ke-8 al-Dar al- Kuwaitiyyah,1968.h.23
-Abd al-Rahman al-Suhayliy.al-Raudhu al-Unufu.Fi Syarhi al-Sirah al-Nabawiyah li Ibn Hisyam. Juz 2 Dar al-Kutub al-Hadits.Cairo 1967
- Al-Thahir Ahmad al-Zawiy. Tartib al-Qamus al-Muhith.Juz 1 Dar al-Fikr Beirut.cet ke-3 1970
-Helmu Gatje . The Quran and Its Exegesis, terj.Arnold T.Welch.Cet ke-1 Roudle and Kegan Paul Ltd.1976-
-Mongomery Watt. Introduction to The Al-Quran
-M.Quraish Shibah. “Membumikan” al-Quran. Penerbit Mizan
-Nashruddin Baidan.Metode Penafsiran al-Quran. Pustaka Pelajar.Yogyakarta.2002
- Ibnu Katsir. Abu al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir al-Quraysiy al-Dimasyqiy. Tafsîr al-Quran al-‘Azhîm.Dar Mishra li al-Thaba’ah. Jilid 3
-Thabari Jami’u al-Bayan Fi Ta’wil al-Quran.jilid 6 Dar al-kutub al-Islamiyyah. Beirut Libanon.Cet ke 3 1999

Selengkapnya...