Jumat, 25 Desember 2009

Rohana Koedoes dan Rahmah el-Yunusiyah : Dua Wanita Tegar Minangkabau

Oleh : Muhammad Ilham


Ada dua orang wanita Minangkabau pada masa rezim Sukarno yang berani menentang "kemapanan" putra sang-Fajar ini. Pertama Rohana Kudus dan yang kedua Rahmah el-Yunusiyah. Rohana Kudus, saudari dari Sutan Syahrir menentang keinginan beberapa "petualang politik" di MPRS agar mentahbiskan Sukarno menjadi Presiden se-Umur Hidup. Sebagai jurnalis, Rohana Kudus mentransformasikan pemikirannya ini dalam "kata-kata". Sementara, Rahmah e-Yunusiyah, memanfaatkan "hak eksklusifnya" sebagai anggota MPRS menentang Sukarno. Sejarah kemudian mencatat bahwa Rahmah dikenal sebagai salah seorang perempuan yang membuat repot Soekarno. Sikap keras kepala dan penentangannya pada Presiden RI yang pertama itu, yang membuat Rahmah berseberangan dengan Soekarno.

Rahmah menganggap Soekarno telah melenceng dari demokrasi terpimpinnya dan kedekatannya dengan kaum komunis. Konsekuensinya, Rahmah dikucilkan. Sekali pun Rahmah adalah anggota MPRS dari Sumatra Bagian Tenagh, ia memilih bergerilya di hutan ketimbang harus ikut dengan kemauan pemerintah pusat. Rahmah mengalami masa-masa sulit di dalam hutan Sumatra, provinsi Jambi pada tahun 1950-an itu. Namun ia teguh pada pendirian, menentang komunis di bumi Minang. Tidak banyak generasi masa kini yang kenal siapa Rahmah el Yunusiyah. Namun, jika membayangkan seberapa jauh gema kekuatannya, bisa dibayangkan ia bukan perempuan sembarangan. Perempuan yang lahir di Padang Panjang, 20 Desember 1900 dari pasangan ulama Minangkabau Muhammad Yunus bin Imanuddin dan Rafiah ini adalah perintis sekolah pesantren putri Diniyyah Putri di Padang Panjang, Sumatra Barat pada 1920. Inilah pesantren putri yang menjadi cikal bakal pendidikan Islam modern di awal abad 19. Dengan konsep pendidikan berasrama, Rahmah mendidik murid-murid perempuannya pendidikan umum dan agama. Tidak kurang 20 ribu alumni telah dihasilkan pondok pesantren ini. Muridnya pun merentang dari berbagai kalangan dan bangsa. Rasuna Said, salah seorang pahlawan nasional dan penggerak kaum perempuan, adalah salah satunya. Tokoh-tokoh besar lain yang pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren ini adalah Datin Aisyah Gani, bekas menteri di masa pemerintahan perdana menteri Malaysia, Mahathir Mohammad. Nama besar pesantren ini membuat banyak murid dari negara tetangga ikut menimba ilmu di sini. Selain Malaysia, murid-murid lainnya juga berasal dari Brunei dan Singapura.


Rahmah dengan konsep sekolah khusus wanita, tidak saja mengajari cara belajar, membaca, atau menulis, juga pelajaran bahasa Belanda, gimnastik, menenun, menyulam, menjahit serta kebidanan. Pelajaran retorika atau berpidato di atas mimbar juga diajarkan, sehingga Diniyyah Puteri digelari tempat ayam betina diajar berkokok. Tapi Rahmah tidak patah semangat. Baginya, langkah untuk memajukan perempuan, meski itu berbasis agama sekalipun, pasti menghadapi tentangan dan celaan. Rahmah sendiri tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi. Ia hanya disekolahkan hingga kelas tiga di sekolah formal. Ia kemudian menimba ilmu umum dan agama secara otodidak dan berguru pada kakaknya, seorang ulama terkenal, Zainuddin Labay.


Dalam bukunya Islam dan Adat Minangkabau, Buya Hamka sempat menyinggung kiprah Rahmah di dunia pendidikan dan pembaharu Islam di Minangkabau. Hamka menyebut Rahmah ikut memajukan kaum perempuan dan mementahkan anggapan bahwa Islam tidak menyokong pemberdayaan perempuan. Kiprah Rahmah juga diakui hingga ke Timur Tengah sana. Dalam sejarah Universitas Al Azhar, baru Rahmah seoranglah ulama perempuan yang diberi gelar Syeikhah. Dalam sejumlah esainya, Azyumardi Azra mengatakan perkembangan Islam modern dan pergerakan Muslimah di Tanah Air tidak bisa dilepaskan dari nama Rahmah sebagai perintis.


Sejak kecil Rahmah memang dikenal keras hati dan berpikiran maju. Jika ada yang tidak disukainya, dengan berani ia mengatakan tidak. Ketika merintis sekolah ini di awal usia 20-an, Rahmah tidak segan-segan berjualan kue untuk menambah biaya pendirian sekolah. Seraya membangun sekolah, ia terus bergerak menentang kolonial Belanda di Sumatra Barat. Tidak heran jika petinggi Belanda di Padang Panjang dan Bukittinggi sangat membenci Rahmah. Ia bahkan pernah dijadikan tahanan rumah oleh komandan tentara Belanda karena aktif menggerakkan para pemuda Sumatra Barat. Ketika konfrontasi dengan Malaysia, murid-murid Rahmah yang bersuamikan para pejabat Malaysia ikut berperan mendinginkan panasnya api konfrontasi. Ketika Gubernur pertama Sumatra Barat, Harun Zein, berkunjung ke Malaysia dalam rangkaian diplomasi perdananya, nama Rahmah disebut-sebut dalam berbagai pertemuan. Karena terpesona oleh pola pendidikan yang diterapkan Rahmah pula, Rektor Al Azhar Syekh Abdurrahman Taj, yang berkunjung ke Diniyyah Putri pada 1961, kemudian terinspirasi untuk membangun Fakultas Khusus Perempuan di Mesir. Sikap keras Rahmah itu bertahan hingga masa tuanya. Ia tidak pernah mau berkompromi dengan pemerintah pusat, jika itu dinilainya menzalimi masyarakat daerah. Sebagaimana ulama-ulama teguh pendirian lainnya di masa perjuangan, Rahmah memilih berseberangan dengan pemerintah.


Selengkapnya...

Kamis, 17 Desember 2009

Syekh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi @ Syekh Bayang

Oleh : Drs. Yulizal Yunus, M.Si (Dosen Jur. BSA/Ka Puslit IAIN Padang)

Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi, Syeikh (glr. Syeikh Bayang, 1864 – 1923). Ia pemimpin delegasi ulama tua (tradisional) moderat bersanding dengan pimpinan ulama tua radikal Syeikh Khatib Ali Al-Padani, bermitra dialog dengan pimpinan ulama muda (modernis) yang radikal Syeikh Dr. Haji Abdul Karim Amrullah dan yang moderat Syeikh Dr. Abdullah Ahmad, dalam rapat besar 1000 ulama di Padang, 15 Juli 1919. Ia Penulis buku best seller yang disebut BJO Schrieke dengan kepustakaan pejuang abad ke-20 yang penul moral yakni Taraghub ila Rahmatillah (1910).

Digelari Syeikh Bayang, karena ia satu di antara ulama tua, pemimpin paham tarekat naqsyabandi di Padang, lahir di Bayang (Pancungtaba), amat tinggi ilmunya di bidang Islam, banyak menulis buku fiqh dan tarekat, luas pengalaman serta moderat, menawarkan corak pikiran ikhtilaf (berbeda pendapat) di interenal umat Islam, ittifaq (bersatu) di eksternal umat Islam sebagai strategi menghadapi penjajah. Ulama yang lahir di Bayang secara historis, tidak saja membuat Bayang menjadi sentra pendidikan Islam, tetapi pernah mengakses Bayang sebagai pusat pengembangan Islam di Pantai Barat Sumatera sekaligus pusat konsentrasi gerakan perlawanan rakyat di Sumatera Barat melawan penjajah dengan spirit Islam, berbasis di Surau Syeikh Buyung Muda (murid Syeikh Abdul Rauf Singkel) di Puluikpuluik, Bayang (1666) di samping surau 5 temannya yakni Syeikh Burhanuddin di Ulakan, Surau Baru Syeikh Muhammad Nasir di Padang, Surau Syeikh Sungayang di Solok, surau Syeikh Padang Ganting dan surau Lubuk Ipuh (TBKW, 1914:249).

Ayah Syeikh Bayang juga seorang ulama besar bernama Syeikh Muhammad Fatawi, guru dari banyak ulama di Sumatera Barat. Sedangkan ibunya juga dari keluarga alim di Pancungtaba, yang namanya tidak dapat dikenal lagi. Meski ia ditinggalkan ibu dan bapak ketika masih kecil, namun ia tidak mematahkan semangatnya untuk belajar. Ia terus belajar dengan murid ayahnya Syiekh Muhammad Jamil (tamatan Makah, 1876) saudara tua dari Syeikh Muhammad Shamad (wafat di Mekah 1876). Kemudian ketika berumur 15 tahun, ia melintasi bukit barisan dari kampungnya Pancungtaba (Bayang) sampai di Alahan Panjang – Solok, di sana belajar agama dengan Syeikh Muhammad Shalih bin Muhammad Saman, penulis buku fiqh Al-Kasyf. Karena pintar ia digelar gurunya dengan Tuanku Bayang. Setelah itu Tuanku belajar fiqh dan tarekat pula dengan Syeikh Mahmud di Pinti Kayu, Solok.
Untuk memperdalam ilmu Islam lebih lanjut, Muhammad Dalil terus berkelana ke bekas Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu Minangkabau dan di sana memperdalam tarekat dengan seorang Syeikh bernama Syeikh Musthafa. Hal yang suprise ia tidak saja menjadi murid kesayangan (shuhbat al-ustadz), bahkan isteri gurunya itu bernama Nenek Ayang (Siti Jalasah) kecantol dengan pemuda alim tampan ini dan meminangnya untuk dijadikan pasangan anak gadisnya bernama Siti Rahmah.

Setelah menikah dengan Siti Rahmah Muhammad Dalil hijrah ke Padang tahun 1891. Di Padang ia membuka pusat pengajian halaqah di Rumah Asal (rumah gadang milik kaum isterinya kepenakan Syeikh Gapuak, pendiri Masjid Ganting, Padang) sekaligus membina masjid tertua di Padang itu. Banyak murid berdatang ke halaqahnya berasal dari berbagai penjuru di dalam/ luar provinsi Sumatera Barat. Di samping membuka halaqah ia aktif berdakwah dan termasuk da’i kondang, disukai jema’ah bahkan dihormati pembesar Belanda di Padang ketika itu.

Tahun 1903 Muhammad Dalil, berangkat ke Makkah untuk naik haji sekaligus belajar memperdalam ilmunya dalam bidang ke-Islaman di sana. Tercatat gurunya di Makkah di antaranya Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawiy (1860 – 1917), mufti dan tiang tengah penegak mazhab syafi’iy serta mawalli yang dipercaya Arab menjadi imam di Masjidil Haram, sekaligus mengajar fiqhi dan matematik. Juga tercatat gurunya Syeikh Jabal Qubis ahli tasauf dan tarekat naqsyabandi asal Jabal Abu Qubis berseberangan dengan Jabal Quayqian, sebelah timur Makkah dekat dengan Masjidil Haram.
Ulama-ulama yang sama mendapat pendidikan dari Syeikh Ahmad Chatib dengan Syeikh Bayang di antaranya, ulama muda (modernis) empat serangkai yakni Dr.H.Abdul Karim Amarullah (Maninjau – Agam), Dr. Abdullah Ahmad (Padang), Syeikh Jamil Jambek Al-Falaki (Bukittinggi) dan Syeikh Muhammad Thaib Umar (Sungayang- Tanah Datar) dan ulama tua (tradisional) dua serangkai ialah Syeikh Chatib Muhammad Ali Al-Fadani (Padang) pimpinan ulama tua yang radikal penulis buku kepustakaan pejuang abad ke-20 Burhan Al-Haq, Syeikh Taher Jalaluddin Al-Falaki (ulama kharismatik Malaysia asal Bukittinggi ayah dari Hamdan mantan Gubernur Pulau Pinang, Malaysia), Syeikh Sulaiman Al-Rasuli (Candung), Syeikh Ibrahim Musa Parabek, Syeikh Arifin Batuhampar, Syeikh Muhammad Jamil Jaho, Syeikh Ahmad Baruah Gunung Suliki, Syeikh Abbas Ladang Lawas Bukittinggi, Syeikh Abdullah Abbas Padang Japang, Syeikh Musthafa Padang Japang, Syeikh Musthafa Husen Purba Baru, Syeikh Hasan Maksum Medan Deli, Syeikh KH. Muhammad Dahlan dll. dari Jawa – Madura, Kalimantan, Sulawesi dan dari negara- negara Islam lainnya.

Pasca Makkah, Syeikh Bayang di Padang melanjutkan halaqahnya. Bahkan diperkuat dengan membentuk jaringan surau halaqah dalam titik utama seperti di Ganting Padang (Rumah Asal dan Masjid Raya Ganting), Pasar Gadang dan Palinggam Padang (rumah isterinya Siti Nur’aini asal Saningbakar), Seberang Padang dekat rumah isterinya Putti Ummu bersama temannya Syeikh Muhammad Thaib, Lolong Padang, Ulak Karang dan Surau Kalawi Pasir Ulak Karang pimpinan Syeikh Muhammad Qasim (Tuanku Kalawi) serta di kampungnya sendiri di Bayang dalam beberapa tempat pula. Ia mengajar berputar dalam jadwal yang diatur sedemikian rupa oleh pimpinan jaringan halaqah masing-masing. Disiplin ilmu yang diajarkan Tafsir, Tauhid, Fiqh, ushul Fiqh, Nahu dan sharaf dll. Selain mengajar Syeikh juga importir buku-buku dan mengarang buku.

Era Syeikh Bayang ini merupakan gelombang ketiga supremasi pengembangan Islam di Sumatera Barat. Gelombang pertama pengembangan Islam generasi Burhanuddin Al-Kamil (1200) dan Burhanuddin Panglima Islam di Painan kemudian ke Ulakan (1523) dan Syeikh Buyung Muda (1666) Puluikpuluik angkatan Syeikh Burhanuddin Ulakan (1666) dilanjutkan generasi Tuanku Nan Tuo pasca Padri (1837). Gelombang kedua berawalnya pembaharuan pemikiran Islam adalah era Syeikh Ahmad Chatib Al-Minangkabawiy (yang tadinya dikirim belajar ke Mekah, pergi bersama ayahnya yang Khatib Nagari itu naik hajji tahun 1871) diteruskan dengan era gerakan murid-muridnya. Gerakan pembaharuan dilanjutkan murid Syeikh Ahmad Chatib yang terkemuka di kalangan ulama tua (tradisional) dikenal dua serangkai Syeikh Chatib Ali (Padang) dan Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi sendiri (Bayang, Pesisir selatan), di kalangan ulama kaum muda (modernis) dikenal empat serangkai yakni Syeikh Dr. H.Abdul Karim Amrullah dari Mninjau, Syeikh Muhammad Jamil Jambek di Bukittinggi, Syeikh Muhammad Thaib Umar di Sungyang dan Syeikh Dr.H. Abdullah Ahmad di Padang. Empat ulama modernis ini merupakan ulama penyambung mata rantai perjuangan pembaharuan Islam di Minangkabau sejak awal abad ke-20.
Gerakan pembaharuan pemikiran Islam murid Syeikh Ahmad Chatib di Minangkabau semakin mengambil bentuk awal abad ke-20. Diwarnai dengan taktik politik adu domba Belanda yang menghembuskan angin pertentangan kepada dua golongan Islam sama-sama murid dari Syeikh Ahmad Chatib yakni Kaum Muda (Modernis) dipimpin DR. H. Abdul Karim Amarullah yang radikal serta kawan-kawannya empat serangkai yang moderat dan Kaum Tua (Tradisional) dipimpin Syeikh Chatib Muhammad Ali Al-Fadaniy yang radikal dan Syeikh Bayang (Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi) yang moderat. Pertentangan kaum muda dan kaum tua itu disusupi PR kepada dalam 40 masalah khilafiyah, ditengahi rapat 1000 ulama yang sangat a lot di Padang, 15 Juli 1919 dipimpin BJO Schrieke bekas ketua pengajaran di HIS. Syeikh Bayang terlibat lansung dalam rapat besar 1000 ulama itu sebagai pemimpin ulama tua yang moderat dan penuh moral (BJO Schrieke, 1973:72) didukung Syeikh Chati Ali pimpinan ulama tua yang radikal, berhadapan dengan ulama muda dipimpin Dr. Hajji Abdul Karim Amrullah (radikal) dan Dr. Abdullah Ahmad (moderat). Di antara ulama tua moderat pengikut Syeikh Bayang ialah Syeikh Muhammad Thaib (Seberang Padang), Syeikh Abdullah (Belakang Tangsi Padang), Syeikh Muhammad Qasyim (Ulak Karang Padang asal Raorao Batusangkar), Syeikh Abdullah Basyir (orang keramat Berok Padang), Syeikh Harun bin Abdul Ghani (Toboh Pariaman), Syeikh Sulaiman Arrasuli (Candung), Syeikh Abdurrahman (kakek H. Ilyas Ya’kub) serta sejumlah ulama Lubuk Aur yakni Ahmad Dores, Fakih Rumpunan, Fakih Mas`ud, Khatib Dzikir, Penghulu Raja Muda, Imam Machudum, Manjang, Saitik, Sarnedi, Silapau, Syamsiah, Dunanenjung dan diperkuat Syeikh Batangkapas, Syeikh Ismail (Palangai, Balaiselasa) dll.

Pasca rapat besar 1000 ulama itu, semangat pembaharuan semakin menggelorakan semangat ulama-ulama kaum muda yang sudah sejak awal menghirup angin pembaharuan dihembuskan majalah Al-Manar Rasyid Ridha dan ‘Urwat Al-Wusqa disambut Al-Imam Taher Jalaluddin di Singapura (saudara sepupu Ahmad Chatib) dan Al-Manar serta Al-Munir Al-Manar Dr. HAKA (ayah HAMKA) dan Dr. Abdullah Ahmad di Padang dan Padang Panjang. Kaum muda pembaharu ini mendapat pujian besar, terus melanjutkan pengaderan (pendidikan kader) terhadap generasi pembaharu, sentranya antara lain di Thawalib Padang Panjang, Parabek, Sungayang dan Padang Japang di samping juga menulis buku dan menerbitkan pers Islam seperti jenis Bulletin, Jurnal, koran dan Majalah. Demikian pula kaum tua (tradisional) giat menyusun kekuatan dan penulisan buku polemik dan apologetik pembelaan paham tarekat yang dianut.
Syeikh Bayang sendiri sejak awal melahirkan beberapa buku polemik dan disetak berudlang-ulang di antaranya, Taragub ila Rahmatillah (cet. ke-11 1916) merupakan buku best seller dan disebut sebagai kepustakaan pejuang abad ke-20 yang penuh moral, Majmu wa Musta’mal (fiqh dagmatik), Miftahul Haq (fiqh) dan Dar Al-Mau`izhah (1326 H) disebut nazam apologetik pembela tarekat naqsyabandi, Thalab Al-Shalah (1916) syair nasehat, Inilah Soal – Jawab bagi Segala Anak buku pertanyaan popular mengenai figh dan dogmatik (cet. ke-3 1335 H), Rasul-25 (1918) dll.
Syeikh Bayang wafat 2 jumadil awal 1342 H (1923), ulama pejuang pendidikan Islam ini, ironisnya banyak dicatat dalam sejarah kolonial dan nyaris tidak dikenal lagi dalam sejarah dan historiograpi domestik. Saksi yang ditinggalkan menjadi saksi bisu Masjid Raya Ganting Padang dan di arah mihrabnya tidak jauh dari rumah anaknya Aisyah terdapat makam ulama ini dengan mejan Turki yang indah. Allah swt menganugerahi anak 20 orang putra putri, yakni 10 dari pihak isterinya Siti Rahmah, di antaranya: Khaidir, Saida, Hajjah, Hafsah, syafi’i, Abu Bakar, Aisyah dan tiga orang lagi tidak dikenal karena telah lama meningal dunia, serta 10 anak dari pihak istrinya Siti Nuar’aini, di antranya Wahid, Syawijah, Amin, Nurdiyah, Syamsudin, Rusyd, Muhammad Saad, Nurjani, dan dua orang anak laki-laki tidak dikenal, karena meningal sejak kecil.

Selengkapnya...

Kritik Puisi Arab dalam Lingkar Kritik Sastra : Theoritical Concept Dan Naqd Tatbiqî

Oleh : DR. Asrina & Drs. Wartiman, MA (Dosen Jur. BSA)


من طبيعة الفن الأدبي القويم، أن نقد الشعر -- كما كان النقد الأدبي-- كان يشترك بين الآداب العالمية تتصل بنقدها وغاياتها، ثم يتعلق بالعلوم الأدبية والأصول النقدية التي تستعمل في شرح أسباب جمال الشعر وقوته وتمييز عناصره وتذوقه وصدق شعوره وصحة تفكيره وجمال تصويره وقدرته على التأثير والخلود. وهكذا كانت قوانين نقد شعر العرب تنشأ من دراسة الشعر وتتألف من خواصه وطوابعه الممتازة، منها التراكيب الصحيحة والأوزان المتبعة والمعاني الفردية. ولذلك لا بد من الوقوف أن نقد الشعر هو فن له أصول وطرائق والعلم الذي يعتمد بالنظريات والتطبيقات.


A. PENDAHULUAN
Kritik sastra --termasuk di dalamnya kritik puisi-- merupakan suatu bidang kajian yang tidak hanya melibatkan sisi praktis dan teoritis, tetapi juga mempunyai ragam definisi dan pengertian karena menyangkut berbagai aspek, seperti aspek estetika, ilmiah dan historis. Munculnya perbedaan definisi juga disebabkan karena setiap kata yang dipakai untuk mengartikan kritik sastra juga mempunyai sejarahnya sendiri-sendiri. Dan tidak terbatas pada dasar-dasar pengkajian, kata kritik sastra sendiri juga mengalami evolusi, yakni pergeseran makna, perubahan dan bisa juga penguatan. Sebagai contoh, kata naqd dalam sastra Arab yang mempunyai beragam arti secara etimologis, dianggap mulai terfokus pada pengertian kritik sastra setelah munculnya Naqd asy-Syi’r karya Qudâmah bin Ja’far pada awal abad IV H. (Lebih lanjut lihat Muhammad Hasan ‘Abdullâh, t.th : 34-35).
Di samping mempunyai beragam definisi, kritik sastra juga merupakan salah satu bidang kajian yang bisa ditelusuri dari aspek histories (Lihat Herman J. Waluyo, 1978 :145-148), terutama jika sastra dilihat dari segi masa lalu dan perkembangannya. Pada kritik sastra Arab, aspek historis ini bisa dilihat mulai dari pertumbuhannya pada masa pra-Islam hingga saat ini dengan berbagai catatan tentang dasar-dasar yang dijadikan para kritikus sebagai pegangan, baik dari segi lafal, makna, maupun faktor-faktor yang berpengaruh dalam memberi penilaian terhadap karya sastra terutama puisi.
Berbeda dengan karya prosa, karya puisi dalam khazanah kesusastraan Arab mempunyai karakteristik tersendiri. Ciri khas tersebut tidak hanya membedakan karya puisi dengan karya prosa tetapi juga menjadikan kritik puisi lebih rumit, jelimet dan membutuhkan keahlian tertentu, di samping penguasaan terhadap hal-hal yang bersifat umum dalam kritik sastra Arab. Adanya konsistensi terhadap musikalitas puisi di samping bentuk pengungkapan yang puitis terutama pada puisi-puisi multazam menempatkan puisi tidak hanya sebagai ungkapan pikiran dan perasaan melalui imajinasi yang indah tetapi juga memperlihatkan bahwa puisi adalah irama jiwa dan getaran kalbu.

B. KRITIK SASTRA DALAM TERMINOLOGI SASTRA
Sebelum mengungkap arti kritik sastra dalam khazanah sastra Arab, terlebih dahulu akan diurai pengertian kritik sastra secara umum. Secara etimologis kritik sastra berasal dari bahasa Yunani kuno krites yang berarti hakim. Bentuk aktif krites adalah krinein yang berarti menghkimi.(Partini Sardjono Pradotokusumo, 2005: 55). Berdasarkan pandangan bahwa kritik sastra adalah sebuah penghakiman, maka dalam proses penghakiman diperlukan syarat-syarat untuk menghakimi karya sastra. Ini berarti sebuah karya sastra bisa dikatakan memenuhi standar sebagai sebuah karya seni harus berdasarkan kriteria tersebut. Kongkretnya, kriteria yang dimaksud bisa dipraktekkan dalam menilai sebuah karya puisi atau prosa. Tidak jauh dari pengertian tersebut C. Hugh Holman mengartikan bahwa critic adalah “one who estimates and passes judgment on the value and quality of literary or artistic work”(C. Hugh Holman, 1986: 116), seseorang yang mengestimasi dan menjustifikasi nilai dan kualitas suatu karya sastra atau seni. Jika masalah penilai terhadap karya sastra adalah masalah benar salah, maka sastra sebagai seni kata tidak ubahnya dengan pernyataan yang lugas dalam sebuah pengadilan. Pernyataan benar salah yang berdasarkan kriteria tertentu dengan verifikasi sebagai validitas utama.
Makna lain dari kritik adalah upaya untuk menilai karya sastra bukan sebagai sebuah penghakiman dan justru melihat upaya penilaian dari segi estetis, yaitu segi indah dan buruk. Karya sastra memang tersusun dari bahasa sebagai bentuk norma yang dapat dirinci dengan benar dan salah, namun demikian karya sastra melampaui benar dan salah karena bahasa sastra mengandung kekhasan tersendiri. Landasan ini yang mendorong Hans Robert Jauss membedakan karya sastra sebagai bahasa khusus ( poetik) dan bahasa komunikasi sebagai bahasa praktis.( Hans Robert Jauss , 1982: 16). Apresiasi terhadap bahasa khusus yang disebut dengan karya sastra disebut dengan asthetik. Kata asthetik (Jerman) dalam bahasa Indonesia bisa berarti estetika atau kritik sastra. Alangkah dekatnya arti “menilai sastra” dengan “keindahan” di dalamnya. Upaya menilai karya sastra juga berarti upaya untuk mengeks-ploitasi keindahan di dalamnya.
Penyebutan kritik sastra sebagai poetik tampaknya sudah ada sejak masa Aristoteles abad ke-4 SM. Aristoteles menyebut kritik sastra adalah dengan poetika yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sebagai فن الشعر. Poetika adalah kata benda yang berarti segala bentuk karya seni yang menggunakan media bahasa. Selain itu poetika juga mewadahi konsep apresiasi karya sastra, yakni komedia, tragedi dan epik.(Lihat Abd ar-Rahman Badawi, 1953: 3 dan 85).
Sementara itu Abrams dalam Glossary to Literary Terms menerangkan bahwa kritik sastra adalah studi yang mengarah pada pendefinisian, klasifikasi, analisis dan evaluasi karya sastra. Dalam hal ini ia membedakan antara kritik sastra pada kritik teoritis (theoritical criticism) dan kritik praktis atau terapan (practical criticism). Kritik teoritis (theoritical criticism) berupaya untuk menetapkan suatu landasan dasar prinsip-prinsip yang bersifat umum, suatu pertalian logis dari beberapa istilah, membedakan dan memberi kategorisasi yang bisa diaplikasikan terhadap karya-karya sastra sebagai suatu “kriteria” (standar atau norma-norma) di mana karya-karya tersebut atau para penulisnya bisa dievaluasi.( M.H. Abrams, 1981 : 35). Sedangkan kritik praktis (practical criticism) lebih tertuju untuk mendiskusikan bagian-bagian dari karya sastra atau penulisnya. Dalam hal ini prinsip-prinsip yang bersifat teoritis berfungsi sebagai pengontrol analisis dan evaluasi yang dilakukan secara implisit atau membawanya hanya pada kecenderungan-kecenderungan sesaat. (Ibid : 35). Senada dengan Abrams, Holman mendefinisikan bahwa kritik sastra adalah studi dan evaluasi karya seni seseorang, sebagaimana juga memformulasikan metodologi yang bersifat umum atau prinsip-prinsip estetika karya tersebut. (C. Hugh Holman, op.cit : 116).
Baik Holman maupun Abrams nampaknya sepakat bahwa di dalam kritik sastra terdapat dua sisi kajian yaitu teori dan praktek. Kedua bidang kajian tersebut mungkin saja sejalan atau mungkin juga dipertentangkan. Teori mesti dapat dioperasikan secara praktis sehingga dapat dipahami secara lebih rinci dan mendalam. Sementara praktek bisa saja merupakan pengaplikasian suatu teori. Dalam pengaplikasian inilah sebuah teori dibuktikan kebenaran, obyektifitas, sistematika, keumuman sekaligus aspek-aspek pragmatisnya. Dengan sendirinya teori tidak dapat dianggap valid apabila belum bisa diuji dalam praktek. Atau sebaliknya, teori didapatkan sebagai hasil dari suatu praktek.
Dalam konteks kesusastraan Indonesia, --meskipun ada beberapa tokoh yang mengadopsi pengertian dari luar-- kritik sastra didefinisikan sebagai karya berbentuk prosa yang mengandung analisis dan wawasan tentang kelemahan, kekuatan dan nilai suatu karya sastra. Sedangkan orang yang pekerjaannya menulis kritik sastra disebut kritikus sastra .( Nyoman Tusthi Eddy, 1991 : 119). Menurut Partini yang terpenting di dalam kritik sastra adalah analisis. Mengutip Jassin, dia mengatakan bahwa kritik sastra adalah baik buruknya suatu hasil kesusastraan dengan memberikan alasan-alasan mengenai isi dan bentuknya.(Partini Sardjono Pradotokusumo, op.cit : 57). Dengan demikian kritik sastra merupakan kegiatan penilaian yang ditujukan pada karya atau teks. Karya yang dihasilkan dari proses kritik sastra tergolong ke dalam nonfiksi karena kritikus atau pembaca tidak menciptakan karya baru yang sama atau mirip dengan karya sastra yang telah dibacanya. Karya yang dihasilkannya adalah hasil dari penafsiran terhadap karya tertentu.
Mengingat kenyataan bahwa setiap karya sastra bukan materi yang ada dengan sendirinya melainkan materi yang diciptakan pengarang, kritik sastra mencakup segi-segi kepengarangan yang bersangkutan dengan hakikat karya sastra. Karena itu kritik sastra mempunyai tiga fungsi dilihat dari sudut pragmatisnya. Pertama, bagi pengarang berfungsi mengenalkan dan mengukuhkan karya ciptanya di samping sebagai cermin untuk melihat wujud dan nilai karyanya. Kedua, bagi masyarakat pembaca berfungsi sebagai jembatan antara pengarang dan karyanya dengan pembaca. Pembaca dapat tergugah untuk membaca sebuah karya sastra setelah membaca sebuah kritik tentang karya itu. Ketiga, bagi dunia kesusastraan berfungsi untuk pengembangan sastra. Dalam sebuah kritik karya sastra mendapat sentuhan ilmiah melalui berbagai wawasan dan metode kritik. (Lebih lanjut lihat Partini Sardjono Pradotokusumo, Pengkajian Sastra, : 57 dan Nyoman Tusthi Eddy: 120).
Di dalam kesusastraan Arab, kritik sastra dikenal dengan istilah an-naqd al-adab (النقد الأدبي) , kata naqd berarti kritik (criticism) sedangkan al-adabî kata yang disifatkan pada adab (literature/sastra). Menurut etimologi, kata an-naqd (النقد)sendiri mempunyai makna yang beragam. Di antara makna an-naqd menurut bahasa adalah pembayaran kontan, membedakan, memberikan kritikan, memukul dengan jari tangan untuk mengetes, mematuk, mengintai atau mencuri pandang, menimbang, menyengat dan menggigit. (lihat Muhammad at-Tuwnjî, 1993: 864). Dari sekian makna lugawi ini dapat dipahami bahwa kata naqd bermakna: (1) memberikan dengan segera sebagai lawan dari penangguhan pembayaran; (2) memilih atau membedakan sesuatu seperti memilih dirham (mata uang) yang baik dari yang buruk; (3) mencoba atau mengetes sesuatu untuk mengetahui keadaannya seperti memukul buah pala dengan telunjuk untuk mengetahui kualitasnya atau burung mematuk-matuk buah dengan paruhnya; (4) mencuri pandang ke arah sesuatu untuk memastikan atau mengetahui keadaan atau ukurannya; (5) menampakkan aib dan kejelekan seperti ular yang menggigit.
Meskipun mempunyai banyak makna secara bahasa, menurut Muhammad Hasan ‘Abdullâh, secara umum berputar pada dua makna sentral. Pertama, bermakna مادي (bersifat materi), karena itu kata naqd bisa berarti uang tunai atau pembayaran kontan, atau berarti emas dan perak pada kata النقدان. Kedua, bermakna التمييز (membedakan).(Muhammad Hasan ‘Abdullâh, t.th : 34). Penggunaan kata tersebut dalam kalimat, baik secara leksikal maupun majasi mempunyai makna yang berdekatan. (Muhammad at-Tuwanjî, loc.cit). Kata naqd yang berarti membedakan antara yang bagus dengan yang jelek, kadang-kadang dihubungkan dengan puisi dan kadang-kadang dihubungkan pula dengan prosa. (Muhammad Hasan ‘Abdullâh, t.th: 35).
Menurut ‘Abd ar-Rasul al-Gifari, naqd diartikan dengan mengevaluasi sesuatu dan menetapkan hukum baik atau buruk terhadapnya. Kadang-kadang juga didefenisikan sebagai kreativitas sosial yang bergerak maju yang bertujuan untuk melepaskan hakikat-hakikat dan mempersembahkannya dalam bentuk yang murni pada masyarakat atau kelompok, atau diartikan juga sebagai cermin yang memantulkan gambaran yang beragam tentang kehidupan dan seni.( Abd ar-Rasûl al-Gifârî, 2003: 26-27). Namun jika wilayah kajiannya dibatasi pada kritik sastra, maka akan didapati suatu definisi yang lebih detail dan menyeluruh. Kata Naqd berasal dari kalimat naqd ad-darâhim, memilah dirham untuk memisahkan yang baik dari yang buruk. Penggunaan istilah ini mengalami perkembangan sejak dahulu yaitu untuk membedakan yang benar dari yang palsu dan menurut istilah dimaksudkan untuk memaparkan hasil karya sastra, menganalisis dan memberitahukan nilai estetikanya. Kemudian pemahaman tentang kritik lebih ringkas lagi menyentuh kekelemahan suatu teks. Bagi karya sastra, kritik dimaksudkan untuk menyingkap kekuatan dan kelemahannya, kebaikan dan keburukannya dan memunculkan hukum atas karya tersebut. (ibid : 27).
Istilah naqd dalam khazanah sastra Arab sudah ada semenjak dahulu, karena itu naqd sebenarnya adalah istilah kuno yang masih tetap eksis sampai sekarang. Kata ini sudah dikenal lebih dari dua abad sebelum Az-Zamakhsyarî (w. 238 H). Ibn Qudâmah (Qudâmah bin Ja’far w. 337 H) menulis buku yang berjudul Naqd asy-Syi’r. Al-Âmadî (w. 371 H) menyebutkan kata an-naqd dan an-nuqqâd di dalam karyanya Al-Muwâzanah. Sementara Ibn Rasyîq (w. 463 H) memberi judul bukunya dengan Al-‘Umdah fî Sina’ah asy-Syi’r wa Naqdihi. Penggunaannya baik secara etimologi maupun secara terminologi tidak berbeda. Kritik sastra diartikan sebagai penerimaan, pengkajian, pemikiran dan pendiskusian teks-teks sastra dengan mengambil unsur-unsur keindahan di dalamnya dan memilah keburukannya. Kritik sastra adalah menampakkan kelemahan dan kebaikan yang terdapat dalam karya sastra. Kritik sastra adalah isyarat tentang keindahan yang dipuji dan sisi negatif untuk menyatakan kekurangan dan kesalahan. Kritik sastra adil dengan pembuktian dan memeriksa bukan dengan keinginan dan kecenderungan semata. (Muhammad at-Tawanjî, : 865).
Di dalam Qâmûs al-Mustalahât al-Lugawiyah wa al-Adabiyyah dikemukakan bahwa naqd (criticism) adalah istilah dalam sastra dan seni, yaitu analisis terhadap unsur-unsur karya sastra atau karya seni untuk memilah keindahannya dari kejelekannya, kebenarannya dari kepalsuannya, sebagai suatu tuntutan atau keinginan untuk membuat suatu hukum bagi karya tersebut. (Amil Ya’qûb dkk, 1987 : 291-292). Mengurai atau menganalisis unsur-unsur karya sastra atau seni, baik segi keindahan atau keburukannya maupun aspek kejujuran atau kepalsuannya hanya sebagai syarat untuk menghakimi suatu karya. Dengan demikian defenisi tersebut terasa gersang karena kritik diperlukan hanya untuk memastikan status suatu karya. Padahal lebih jauh lagi kritik lebih dari sekedar untuk menghakimi tetapi juga untuk mengangkat derajat suatu karya atau memberi kepuasan bagi penikmat karya tersebut.
Muhammad Ibrâhim Nasr menganggap naqd adalah cermin yang jujur yang memantulkan segi-segi kebaikan dan keindahan dalam karya sastra, sebagaimana merefleksikan aspek-aspek kelemahan dan kekurangannya. (Muhammad Ibrâhim Nasr, 1398 H: 14). Nasr memandang bahwa kritik adalah wahana untuk melihat aspek-aspek keindahan dan kelemahan suatu karya sastra. Melalui kritik akan tampak hal-hal yang menyebabkan karya sastra dianggap baik atau indah dan sebaliknya melalui kritik akan terungkap apa saja kelemahan karya tersebut.
Namun untuk kajian lebih jauh tentang karya sastra, sepertinya Nasr tidak merasa cukup dengan definisi tersebut dalam memahami apa yang disebut dengan kritik sastra. Ia menganggap batasan untuk memahami kritik sastra tidak cukup sampai di situ karena pada hakekatnya tulisan-tulisan tentang kritik bersifat umum dan sangat luas karena karya apapun pasti memiliki segi keindahan dan keburukan atau segi kesempurnaan dan kekurangan.
Badawî Tabânah memandang bahwa kritik adalah suatu karya sastra yang memperlihatkan sisi tatbiqî perasaan atau pengalaman, pengetahuan dan budaya kritikus lebih banyak daripada sisi nazarî, karena yang diperlukan ketika memulai teks sastra hampir sama di hadapan kritikus. Kritikus mempelajari karya untuk memahaminya, menganalisis untuk menentukan segi keindahannya kemudian mengungkapkan pendapatnya tentang karya itu karena tujuan karya kritiknya adalah untuk menentukan nilai sastra yang benar (Badawî Tabânah, 1958: 23). Tabânah menambahkan bahwa wilayah kritik sastra semakin meluas mencakup “penetapan karya sastra dari segi estetika, menerangkan nilai sastra dari segi tematik, pengungkapan dan emotif, menentukan posisinya dalam dunia sastra, membatasi apa yang dapat dihubungkan dengan karya itu pada teks-teks sastra yang telah ada, mengukur keterpengaruhan dan pengaruhnya, meng-gambarkan keluasan kekerabatannya, ciri khasnya dalam emosi dan pengungkapan, menyingkap faktor-faktor psikologis yang ber-pengaruh dalam penciptaannya serta faktor-faktor luar lainnya” (ibid : 23-24).
Nampaknya Tabânah tidak perlu berpikir keras untuk mengeliminasi satu aspek dan mengunggulkan aspek yang lainnya. Perhatikan bagaimana ia merangkai kata tatbiqî dengan kata nazarî yang mesti dimiliki seorang kritikus dan bagaimana ia menerangkan wilayah kajian kritik yang mencakup aspek-aspek yang tidak bisa diukur seperti estetika dan emotif dan aspek-aspek lain yang bisa diukur. Kata tatbiqî selalu terkait dengan keahlian, kreatifitas dan aplikasi sementara nazarî selalu diasumsikan sebagai sesuatu yang positivistik, terukur dan obyektif. Sementara itu “estetika” selalu diasumsikan subyektif, tidak terukur dan spekulatif digabungkan dengan hal-hal yang bisa diukur (bersifat sainstifik) seperti pengungkapan (aspek-aspek kebahasaan) dan tematik. Tetapi kemudian dua kubu yang masing-masing mempunyai sifat oposisional digabungkan sebagai suatu wacana yang lebih umum dalam kritik sastra. Estetika menghasilkan suatu interpretasi (tafsir) sedangkan sains menghasilkan suatu evaluasi.
Sejauh ini pokok soal yang dikembangkan hanya ingin memperlihatkan beberapa istilah kritik sastra berikut arti yang terkandung di dalamnya. Arti yang merujuk pada satu obyek yaitu sastra, mesti disederhanakan menjadi dua aspek, yaitu normatif dan estetik yang memiliki keragaman istilah maupun penggunaannya seperti krites, krinein, critic, criticism, asthetik, poetik dan naqd. Tabânah menegaskan bahwa bukanlah hal yang mengherankan jika terdapat beragam definisi dan pengertian kritik sastra, karena setiap peneliti mendapati dirinya berhadapan dengan beragam definisi dan batasan yang bervariasi dan berbeda berdasarkan perbedaan peneliti, masa, generasi dan historis, bahkan di kalangan orang yang sebangsa atau di kalangan para kritikus yang semasa.(ibid : 22). Sejauh ini kemajemukan tersebut tidak berhenti pada seni dan kodratnya karena kodrat seni merujuk pada sifat seni itu sendiri yang berkaitan dengan mempengaruhi emosi dan perasaan sebelum memberi petunjuk pada akal. Ditambah lagi bilamana dunia dan ciri khasnya harus serupa dalam jiwa dan jelas dalam pikiran.
Kritik sastra sebagai suatu upaya untuk mengoreksi dan menilai karya sastra, baik dari segi ilmiahnya maupun segi artistiknya dituntut mampu memberi kesegaran bagi kegersangan ilmiah. Di samping itu, kritik sastra juga harus mempunyai gaya bahasa yang indah agar dapat memberi kenikmatan bagi pembacanya. Karena itu tidak mengherankan jika kritik sastra cenderung bersifat analitis dalam melakukan evaluasi dan tafsir karya sastra. Dalam satu sisi tampak bahwa kritik sastra merupakan karya ilmiah dan di sisi lain sebagai karya seni. Sebagai karya ilmiah, kritik sastra memerlukan pengkajian dan pengamatan atas kekurangan dan kelebihannya serta membutuhkan penerapan prinsip-prinsip umum. Sebagai karya seni, kritik sastra termasuk produk yang dapat membangkitkan kegairahan atau semangat. Dua aspek yaitu –memberi penerangan dan penjelasan dari segi keilmuan serta memberi kepuasan dari segi keindahan dan kenikmatan sastra tampaknya menjadi dua sisi yang harus ada dalam kritik sastra.

C. C. KRITIK SASTRA SEBAGAI ILMU
Dengan memperhatikan bahwa kritik sastra adalah menilai sastra, maka perlu dijelaskan ruang lingkup kritik sastra sebagai ilmu. Jika yang dimaksud dengan ilmu adalah pemecahan masalah dengan tuntutan ilmu itu sendiri, maka kritik sastra termasuk bagian dari ilmu sastra. (Lihat Sangidu, 2005 : 38). Kritik sastra adalah ilmu yang mempunyai kaidah-kaidah dasar yang tetap walaupun mungkin berbeda pada cabang-cabangnya. (Muhammad Zaglûl Salâm, 1964 : 143).
Pernyataan kritik sastra sebagai ilmu mengingatkan pada asas-asas keilmuan yang ditandai oleh adanya teori (Lihat lebih lanjut Sangidu : 13 dan Nyoman Khuta Ratna : 1), metode (lebih lanjut lihat Nyoman Khuta Ratna : 34-35 dan Sangidu :13-14), dan obyek yang termasuk dalam dunia obyek empiris. Dengan demikian kritik sastra sebagai ilmu mencakup teori dan metode kritik sastra serta praktek kritik sastra dalam karya sastra.
Obyek kajian kritik sastra adalah karya sastra, baik karya prosa maupun puisi. Mengenai obyek kajian kritik sastra ini, tidak ada perdebatan para ahli. Sementara mengenai teori sastra didefinisikan sebagai persoalan yang mengandung perinsip-prinsip, kategori, kriteria dan semacamnya. (Rene Wellek dan Austin Warren, 1956 : 39) atau cara menciptakan karya sastra. Sementara itu menyangkut metode, terdapat dua pemahaman tentang metode kritik sastra. Dalam hal ini metode sulit dipisahkan dari teori.
Secara umum metode kritik dipahami sebagai sesuatu yang terkait dengan sifat pemikiran kritik dalam ilmu yang dimiliki manusia. Sifat pemikiran kritik ini didasarkan pada asumsi “tidak akan menerima sesuatu sebelum dapat dicerna oleh akal”. Sifat ini dimulai dari keraguan untuk sampai pada keyakinan. Ini adalah pemikiran kritik dalam bentuk yang paling dasar, yakni tidak menerima proposisi atau persoalan-persoalan yang hubungannya terpisah dari apa yang telah tersiar dan tersebar, bahkan mencoba untuk menguji dan mencari dalil melalui sarana-sarana yang dapat memperkuat penerimaan dan kebenarannya sebelum dijadikan sebagai dasar untuk mencapai hasil yang dituju. Dan secara khusus, metode kritik sastra terkait dengan studi kesusastraan dengan cara menangani persoalan-persoalan kesusastraan dan pandangan tentang penciptaan karya sastra dengan segala bentuk dan analisisnya. Dengan demikian, pemahaman metode kritik sastra secara khusus ini bergerak sesuai dengan aturan-aturan khusus yang tersusun dari beberapa komponen dan yang terpenting adalah teori sastra. (Salâh Fadal, 2005 : 8)
Setiap metode, di dalam sastra, mesti memiliki teori. Jika metode merupakan cara yang tersistem untuk mencapai tujuan, maka teori merupakan asas hukum yang dijadikan pijakan. Teori sastra inilah yang akan mengemukakan persoalan-persoalan penting dan mengupayakan dasar-dasar yang saling menyempurnakan untuk menjawab persoalan tersebut. Persoalan yang paling penting adalah apa itu sastra, yakni persoalan-persoalan yang berkaitan dengan sifat karya sastra, materinya, unsur-unsurnya, jenisnya dan kaidah-kaidahnya. Persoalan yang kedua berkaitan dengan hubungan sastra dengan masyarakat, kehidupan, penciptaan dan penyampaian, yakni hubungan yang bersifat pembuktian sastra dengan apa yang terkait dengannya atau apa yang dihasilkannya, sepeti hubungan imajinatif, hubungan yang terbalik atau bertolak belakang. Teori sastra mesti –atau setidak-tidaknya-- berusaha menjawab kedua persoalan tersebut baru kemudian menjawab persoalan yang ketiga, yakni persoalan berhubungan dengan fungsinya yang bersifat artistik dan kemanusiaan.
Setiap teori melalui beberapa jalan yang pantas dilaluinya untuk menerangkan hakikatnya dengan ukuran yang beragam. Jalan inilah yang diambil oleh penganut suatu teori untuk menganalisis karya sastra dan menerangkan kesesuaian antara kaidah-kaidah yang bersifat intrinsik dan kaidah-kaidah lainnya. Jalan ini juga yang mencerminkan metode yang dipakai oleh penganut suatu teori sastra. Dengan demikian pemahaman yang mendasari sastra adalah teori, sementara metode kritik adalah yang menguji kesesuaian teori ini dengan dasar-dasarnya dan mencobanya secara praktis.
Hubungan antara teori-teori sastra yang berbeda tidak terbatas pada hubungan dalam contoh karya yang bersandar pada penggunaan istilah. Setiap teori juga menampakkan metode yang beragam yang dihimpun oleh dasar pengetahuan yang satu. Suatu teori sastra juga melalui jalan dan metode yang beragam dalam prakteknya. Dengan demikian hubungan antara teori sastra dengan metode kritik adalah hubungan metode dengan mazhab atau alirannya. Karena sebagian besar teori-teori sastra ditandai dengan logika tertentu dan terkait dengan susunan pemikiran yang diyakini, dipercayai dan diterima tanpa harus tunduk pada pengujian yang bersifat kritis melalui latihan sastra baik dalam hal mencipta, mengkritik dan menelaah. Dari sinilah akan tercermin apa yang dinamakan dengan aliran sastra. Dengan demikian teori sastra selain akan melahirkan dan menggunakan berbagai metode kritik sastra juga akan melahirkan suatu aliran sastra.
Jika teori sastra dan metode kritik merupakan bagian tak terpisahkan dari kritik sastra, maka bagaimana halnya dengan sejarah sastra?. Dalam hal ini kritik sastra harus dilihat dari jalan yang dilalui dalam mengkaji sastra itu sendiri, yaitu segi historis dan segi artistik. Karena itu kajian kritik sastra adalah kajian sastra dan sejarah. Bertolak dari segi kritik yang mempunyai dasar, landasan teori dan metode, maka itu adalah kajian seni. Bertolak dari segi masa lalu dan perkembangannya maka kritik sastra adalah kajian historis. Karena itu, meskipun berbeda, antara kritik sastra, teori sastra dan sejarah sastra tidak dapat dipisahkan. (Lihat Rene Wellek dan Austin Warren : 39). Keterkaitan antara teori sastra, kritik :sastra dan sejarah sastra –sebagaimana yang diungkapkan Sangidu-- karena ketiga-tiganya berkaitan langsung dengan karya sastra. (Lihat Sangidu, t.th: 38). Sementara kritik sastra sebagai ilmu tidak hanya mencakup teori sastra dan metode kritik tetapi juga praktek kritik dalam karya sastra. Dengan demikian konsep kritik sastra sebagai ilmu, tidak hanya terbatas pada teori sastra dan juga metode kritik sastra, melainkan juga mengikut sertakan apa yang dinamakan sejarah kritik sastra.


Selengkapnya...

Wacana Keagamaan Dalam Naskah "At-Thariqat An-Naqsyabandiah Al-Khalidiyah"

Oleh : Syofyan Hadi, M.Ag (Dosen Jur. BSA)


المخطوطات من الآثار الثقافية المكتوبة في الزمن القديم ومن الوثائق التي تجذب الباحثين للبحث عنها. والعناية بالمخطوطات قليلة جدا ولم تكن مسرة بالنسبة للعناية بالآثار الثقافية الأخرى غير المكتوبة مع أن وجودها كتراث ثقافي ورثه القدماء كثير متنوع لم تكن هي محدودة في الأدب وحدها ولكنها اشتملت على الفلسفة أو الحكمة والعادات والتاريخ والأحكام والأدوية والدين. ومن تلك المخطوطات ما كانت مخزونة في المكتبات سواء أكانت داخل إندونيسيا أم خارجها ومنها ما كانت منتشرة في أيدي المجتمع.

A. PENDAHULUAN
Naskah atau manuskrip kuno memiliki otoritas dan otentisitas kesejarahan yang tinggi dalam merekam dan menceritakan ragam dinamika yang pernah terjadi pada masa lampau. Sebagai sebuah teks, naskah bisa tampil sebagai “cermin” dari apa yang terjadi pada masanya. Ia dengan jujur dan objektif merekam apa yang ada tanpa tendensi apapun kecuali untuk catatan dan sumber informasi bagi masa sesudahnya (Nasaruddin, 2008, h. 63)
Naskah merupakan salah satu bentuk peninggalan tertulis kebudayaan masa silam serta merupakan dokumen yang menarik bagi peneliti. Dibandingkan dengan bentuk-bentuk peninggalan budaya lainnya yang berbentuk non tulisan, agaknya perhatian terhadap naskah masih lebih kecil dan belum menggembirakan. Sementara, keberadaan naskah sebagai salah satu warisan budaya dari para leluhur sebenarnya sangatlah banyak dan beragam, tidak hanya terbatas pada kesusasteraan, tetapi juga meliputi filsafat, adat-istiadat, sejarah, hukum, obat-obatan dan agama. Naskah-naskah tersebut sebagian telah tersimpan di perpustakaan, baik di dalam maupun di luar negeri, dan sebagian lagi masih “tercecer” di tangan masyarakat.( Oman Fathurahman, 2008, h.17).
Dalam kerangka inilah naskah at-Ţarîqat an-Naqsyabandiyah al-Khâlidiyah menarik untuk disentuh. Ia Berisi tentang tema-tema keagamaan, seperti iman, islam, ihsan, kosmologi dan eskatologi. Naskah ini merupakan bagian dari cerminan pemahaman keagamaan umat Islam pada masanya. Karena naskah ini adalah ajaran tasawwuf yang merupakan bagian khazanah pemikiran umat Islam yang sangat dinamis dan plural.
Makalah ini, dengan segenap keterbatasannya berusaha melihat naskah at-Ţarîqat an-Naqsyabandiyah al-Khâlidiyah secara filologis untuk mengetahui keberadaan dan kandungannya. Kemudian menganalisis isi kandungan dan memposisikannya sebagai khazanah pemikiran Islam.

B. TINJAUAN FILOLOGIS ATAS NASKAH AT-ŢARÎQAT AN-NAQSYABAN-DIYAH AL-KHÂLIDIYAH
1. Deskripsi Naskah
Judul naskah : adalah at-ţarîqat an-Naqsyabandiyah al-Khâlidiyah. Penamaan ini tidak ditemukan di kulit luar naskah ataupun di halaman awal seperti naskah ataupun buku pada umumnya. Akan tetapi, judul ditemukan di halaman paling belakang berupa stempel. Penulis naskah adalah Khalifah Syaikh Ya’qûb (w. 1985), seorang guru dan pengembang ţarîqat Naqsyabandiyah di Pauh Duo Solok Selatan. Naskah ini berasal dan ditulis di Madrasah Mujâhadah Taram Batu Bajarang, nagari Pauh Duo, Solok Selatan sebuah surau ţarîqat Naqsyabandiyah.
Informasi Penyalianan : tidak ditemukan kolofon dalam naskah ini baik di awal maupun di belakang seperti layaknya penulisan kolofon pada kebanyakan naskah lain. Akan tetapi, Pada halaman 60 dalam uraian tentang silsilah ţarîqat Naqsyabandiyah, ditemukan informasi penulisan kitab ini yaitu tahun 1370 H. Jika dikonversi ke tahun Masehi mengikuti teori M.B.Lewis, maka penulisan naskah diperkirakan tahun 1951 M. Hal itu berarti bahwa teks tersebut sudah berusia sekitar 58 tahun.
Alas naskah: Jika dilihat jenis kertas yang digunakan kelihatan naskah yang diteliti tergolong baru dan muda. Di mana, alas naskah menggunakan kertas lokal yang sudah bergaris. Hal tersebut memungkinkan muncul dugaan lain bahwa naskah tersebut adalah salinan baik dilakukan oleh Syaikh Khalifah Ya’kub sendiri maupun salah seorang muridnya dan kemudian disimpan di surau di mana sang guru tinggal. Sampul naskah kertas tebal warna coklat
Jenis tinta : Tinta yang dipergunkan untuk menulis teks adalah tinta warna hitam, hijau dan rubrikasi berwarna merah pada bagian tertentu. Ilustrasi yang terdapat di dalam naskah dominan berwarni hijau.
Ukuran Naskah : naskah berukuran 21x16 cm, Ukuran teks 18x15 cm. Teks rata-rata berisi 15 baris perhalaman.
Jenis Aksara dan Bahasa : Aksara yang dipergunakan adalah aksara Arab. Juga ditemukan pada beberapa bagian aksara Latin yang dipakai dalam mengungkapkan sajak dan pantun. Jenis aksara Arab yang digunakan adalah ”askhi lokal” Naskah ini menggunakan bahasa Melayu (sebagiannya bahasa Minangkabau dengan dilaek setempat).
Penomoran halaman : pemberian nomor halaman oleh penulis tidak beraturan, pada jilid pertama menggunakan angka latin, sedangkan jilid kedua menggunakan angka Arab. Antara jilid pertama dan kedua nomor halamannya tidak bersambung. berkemungkinan juga penomoran halaman diberikan belakangan setelah penyalinan selesai oleh murid-murid atau pengikut ajaran ini.
Pemilik naskah : naskah ini tidak ditemukan di surau tempat sang guru pernah menulis kitab ini. Naskh diperoleh dari kelurga Buya Razali yang berdomisili di Jorong Bulantik, Pauh Duo, Solok Selatan.
Jumlah halaman : naskah terdiri dari 175 halaman. Teks terdiri dari dua jilid, jilid pertama sebanyak 81 halaman, dan jilid kedua 94 halaman. Jilid pertama dari halaman 1 hingga 50 berisi penjelasan pengajian ţarîqat Naqsyabandiyah. Selanjutnya dari halaman 51 sampai 81 berisi kumpulan do’a dan amalan zikir. Jilid pertama, metode penulisannya berbeda dengan jilid kedua. Pada jilid pertama halaman awal berisi pokok bahasan pada halaman berikutnya. Misalnya halaman 1 adalah pokok pikiran yang akan dijelaskan pada halaman 2, halaman 3 berisi ide pokok yang dijelaskan pada halaman 4, begitu seterusnya. Namun, pada jilid kedua setiap halaman adalah penjelasan utuh tentang pengajian ţarîqat Naqsyabandiyah. Sehingga, pembahasan pengajian ţariqat Naqsyabandiyah pada jilid kedua lebih panjang, namun pembahasannya lebih banyak tentang zikir. Pada jilid kedua juga ditemukan lima bentuk ilustrasi yang menggambarkan tata cara berzikir dalam ţariqat Naqsyabandiyah.

2. Deskripsi Isi
Naskah ini membicarakan ajaran pokok ţariqat Naqsyabandiyah, mulai dari ajaran dan paham ţariqat Naqsyabandiyah tentang peroses penciptaan alam sampai amalan-amalan zikir dan do’a serta tata cara mengerjakannya. Namun demikian, pada jilid pertama naskah ini sedikit telah memberikan kemudahan dalam menggambarkan isinya, karena pada halaman sebelum pembahasan ide pokok tersebut dirincikan dengan cukup lugas dan sederhana. Adapun isi ringkas naskah ini pada jilid pertama adalah; tentang ilmu dan tafakkur, awal penciptaan langit dan bumi serta alam semesta, hakikat nȗr Muhammad, maqâm-maqâm yang mesti dilalui seorang murid, ma’rifat yang jatuh ke hati murid, manfaat zikir lâ ilaha illa Allâh, rukun islam, syarat islam, hal-hal yang membinasakan islam, tanda-tanda islam, rukun syahadat, syarat syahadat, hal-hal yang membatalkan syahadat, perumpamaan syahadat seperti manusia, syarat membaca syahadat, faidah syahadat, hikmah huruf syahadat, rukun sembahyang, syarat sembahyang, hakikat sembahyang, tiang sembahyang, perumpamaan sembahanyang, hakikat yang dipersembahyangkan, rukun penyembahan, isi sembah, yang dipersembah, sembahyang zahir dan batin, batin sembahyang, rupa sembahyang, sembahyang hakikat, faidah sembahyang, rukun iman, syarat iman, yang membinasakan iman, nȗr iman, kesempurnaan iman, makna lâ ilaha illa Allâh, makna Muhammadur rasûlullâh, khaşaiş Muham-madur rasûlullâh, arti agama, sifat dua puluh. Selanjutnya pembahasan tentang bentuk-bentuk zikir yang mesti dalakukan.
Sementara jilid dua berisikan enam bab; bab pertama tentang asal-usul ţarîqat şûfiyah. Bab dua penjelasan tentang hakikat zikir lâ ilaha illa Allâh. Bab tiga berisi bermacam-macam kaifiyat dan cara-cara berzikir. Bab empat berbicara tentang rahasia zikir wuqûf. Bab lima rahasia murâqabah yang pertama. Bab enam menguraikan rahasia murâqabah kedua. Bab tujuh menguraikan tentang rahasia murâqabah yang ketiga. Bab delapan menguraikan rahasia tawajjuh. Bab sembilan menguraikan rahasia zikir taḥlîl. Bab sepuluh membicarakan tentang rahasia murâqabah yang keempat. Bab sebelas tentang rahasia murâqabah yang kelima. Bab dua belas rahasia murâqabah yang keenam. Selanjutnya adalah bentuk-bentuk amalan zikir dan do’a.

C. ANALISIS WACANA KEAGAMAAN DALAM AT-ŢARÎQAT AN-NAQSYABANDIYAH AL-KHÂLIDIYAH

Naskah ţarîqat Naqsyabandiyah ini, pada intinya memaparkan tiga ajaran pokok agama; îmân, islâm dan ihsân. Namun, pada bagian awal naskah ini dibicarakan tentang pembagian diri atau yang populer dalam pembahasan ţarîqat dengan istilah kaji tubuh. Ini juga dijumpai dalam kitab-kitab ţarîqat yang lainnya, seperti Syattari dan Samani. Di mana disebutkan, bahwa diri itu terbagi empat, pertama diri yang terjali yaitu alam basyariyah, kedua diri yang terqâri, yaitu melenyapkan pandangan pada alam basyariyah, dan menyatukan pandangan pada alam ma’nawiyah, ketiga diri yang tersembunyi yaitu nyawa daripada Tuhan kita yang laisa kamiśliħi syai’un, keempat diri yang sebenar diri yaitu bersatunya Jalâl dan Jamâl Tuhan. (h.1)
Pengajian tubuh menjadi bagian yang penting untuk dibicarakan di awal pembahasan, dengan tujuan agar setiap murid mengetahui bahwa tubuh manusia terdiri dari dua unsur; jasmani dan rohani. Jasmani adalah bagian yang kasar (lahir) yang memiliki kebutuhan yang rendah (basyari) seperti halnya binatang. Sedangkan rohani adalah bagian yang halus (batin), merupakan bagian dari roh Tuhan (Quds) yang ditiupkan ke dalam jasmani manusia. Dengan mengetahui hal itu, seorang murid kemudian diharapkan mengenal diri (tubuh)nya, sehingga dia mampu menangkis segala godaan syaithan dan hawa nafsunya yang selalu menggerogoti manusia melalui kebutuhan jasmani (basyari). Pengenalan akan diri juga bertujuan agar setiap murid mengetahui akan hakikat dan tujuan penyembahan (ibadah) yang sedang atau akan dilakukan.
Berikutnya, dibicarakan tentang proses penciptaan alam raya yaitu tentang nȗr Muhammad sebagai alam awal dan cikal bakal penciptaan dan terjadinya alam raya ini. Disebutkan bahwa pada awalnya yang ada hanyalah Allah, kemudian diciptakan nȗr Muhammad yang diletakan di dalam hijab intan yang putih, bentuknya berkilat-kilat seperti cermin, ia pun bertasbih memuji Allah selama tujuh puluh ribu tahun dan bermunajat kepada-Nya. Ketika nȗr Muhammad berhadapan dengan Allah dan memandang kepada-Nya, ia merasa malu, hingga terbitlah keringatnya sebanyak enam tetes. Dari tetes keringat yang pertama Allah menjadikan arwah Abu Bakar, dari tetes yang kedua Allah menjadikan arwah Umar, dari tetes yang ketiga Allah menjadikan arwah Usman, dari tetes keringat yang keempat Allah menjadikan arwah Ali bin Abi Thalib, dari tetes keringat yang kelima Allah menjadikan segala bunga dan dari tetes keringat yang keenam Allah menjadikan padi dan beras. Kemudian Allah melihat kepada nyawa Muhammad, maka menjadikan Allah nyawa para nabi dari keringat nyawa Muhammad, kemudian dijadikan nyawa orang-orang mukmin, seterusnya nyawa Muhammad diletakkan di dalam kendi dari permata akik yang merah dan dirupakanlah bentuk dunia dan alam. (h.3-4).
Terkait dengan bagaimana proses adanya atau kemunculan Nȗr Muhammad sebagai cikal bakal penciptaan alam, penganut ţarîqat Naqsyabandiyah dilarang untuk membicarakanya ataupun memikirkannya. Karena tidak akan pernah akal manusia sampai kepadanya.
....kalau saudara hendak bertanya dari pada apakah nȗr Muhammad itu dijadikan? Sebelum kita menjawab pertanyaan itu marilah kita periksa dalam ragi tidak ada gula rasa manis dan kalau kita periksa dalam beras pulut hitam tidak pula bergula, manakala keduanya dicampurkan dan diparam maka bernamalah kedua barang itu tapai manis rasanya dimanakah datang manis padahal tidak ada di dalam ragi dan beras, sedangkan datang manis lagi tidak sampai akal kita untuk memikir-mikirkannya, apalagi kedatangan nȗr Muhammad dan arwah tentulah lebih lagi tidak dapat kita memikir-mikirkannya, lagi pula nȗr Muhammad dan arwah itu barang yang halus tidak dapat dilihat dengan mata kepala, jadinya keadaan nȗr Muhammad dan arwah tidak dapat difikir-fikirkan dan tidak dapat dihingga-hinggakan.... (hal. 44-45)
Di sinilah perbedaan yang mendasar antara eskatologi yang diajarkan oleh ţarîqat Syattariyah dengan faham martabat tujuh dengan Naqsyabandiyah dengan faham nȗr Muhammad. Dalam ajaran martabat tujuh sebelum alam waḥdah yang juga disebut nȗr Muhammad atau dikenal juga dengan ta’aiyun awal, masih ada lagi alam lain yang disebut alam aḥadiyah sekalipun disebutkan masih bersifat mutlak dan belum mempunyai karsa mencipta. Sementara, Naqsyabandiyah menempatkan nȗr muhammad sebagai hal pertama sebagai awal alam atau yang selain Tuhan.
Kemudian, naskah ini memulai pembicaraan tentang îmân, islâm dan ihsân. Di mana, pembahasan tentang islâm mendapat tempat lebih dahulu dalam naskah ini daripada îmân. Adapun pembahasannya mencakup rukun islâm, hakikat islâm, syarat-syarat islâm, yang merusak islâm, tentang syahadat, sembahyang, puasa, zakat dan haji.
Disebutkan, bahwa rukun islâm itu ada lima, mengucapkan dua kalimat syahadat serta mengerti dan memahami makananya. Mendirikan shalat lima waktu dengan mengetahui rukun dan syaratnya, menunaikan puasa Ramadhan serta mengetahui rukun dan syaratnya, membayarkan zakat jika harta cukup nisabnya serta mengetahui rukun dan syaratnya, serta menunaikan ibadah haji ke baitullâh jika mampu dan mengerti rukun dan syaratnya.
Di sini terlihat, betapa ajaran ţarîqat an-Naqsyabandi sangat memperhatikan kesempurnaan ibadah secara syar’i. Dengan demikian, pengetahuan dan pemahaman yang utuh tentang rukun dan syarat suatu ibadah menjadi bagian yang dituntut bagi seorang âbid untuk mencapai taqarrub yang sempurna kepada Allah. Sehingga, tidaklah dikatakan benar pendekatan diri seorang hamba kepada Allah jika syari’atnya tidak betul. Pada halaman awal dari naskah ini terlihat jelas penegasan akan perlunya syari’at tersebut sebelum memasuki ilmu hakikat yang akan mengantarkan seorang hamba sampai kepada ma’rifatullâh atau bahkan tingkat yang lebih tinggi lagi.
Bismillâhirraḥmânirraḥîm, Barmula hakikat ţarîqat Naqsyabandiyah, yaitu berkekalan atas sifat ubudiyah serta (berkekalan?) hatinya kepada Allah ta’âla, lama berhenti ia hati pada padang ma’rifah, dengan (..........) dapat limpahan ia hati daripada Allah ta’âla yang pemudah, dapat minuman sejuk, dapat makanan sedap, dapat pakaian jombang, ilmu (zâqiyah?) minumannya wujdaniyah makanannya, ilmu laduniyah pakaiannya, minumannya ia hati, air yang titik daripada laut syari’at, dan makanan ia hati akan buah yang jatuh daripada syajarah syari’at,... (h.1).
Ilmu dan amal adalah dua hal yang tidak boleh dipisahkan dalam ajaran Naqsyabandiyah (h.2). Bahkan, seorang yang berilmu tanpa beramal atau sebaliknya beramal tanpa ilmu adalah dianggap bukan seorang muslim.
..... Barmula membinasakan Islam itu, yaitu empat perkara, mano-manonya nan empat, pertama memperbuat sesuatu perbuatan dengan tidak diketahui. Kedua tahu dan tiada diamalkan. Ketiga tiada tahu tiada mau belajar. Keempat mencela-cela orang membuat baik.....(h.10)
Namun demikian, ilmu dan amal belum cukup mengantarkan seseorang mengenal Allah dan merasakan manisnya berhubungan dengan Allah. Seseorang harus mengikutkan keduanya dengan tafakkur yaitu mengasah ketajaman akal dan zikir yaitu mengasah ketajaman hati (h. 3 dan 7). Ilmu, amal, tafakkur dan zikir inilah yang pada akhirnya akan mengantarkan seorang hamba merasakan nikmatnya berhubungan dengan Allah.
Selanjutnya, dibicarakan tentang empat hal yang menjadi syarat islâm, yaitu sabar terhadap ketetapan Allah, ridho terhadap hukum Allah semenjak alam azali, yakin akan bijaksananya ketetapan Allah, taat kepada firman Allah dan sabda Rasul-Nya. Kemudian yang membinasakan islâm, yaitu melakukan sesuatu amal tanpa didasari ilmu, berilmu tetapi tidak mengamalkan, tidak berilmu tetapi tidak mau belajar, mencela orang berbuat baik. Sementara tanda seorang muslim adalah merendahkan diri kepada sesama muslim, suci lidah dari berdusta dan mengumpat, suci perut dari memakan yang haram, dan suci hati dari loba dan rakus (h.10)
Di sini terlihat, betapa ajaran ţarîqat Naqsyabandi sangat mengutamakan ketinggian akhlak dan menjadikan hubungan baik dengan sesama manusia menjadi bagian yang mesti dimiliki seorang yang akan menjadi pengikut ajaran ini. Bahwa hubungan yang baik dengan Allah, ditandai dengan munculnya sifat-sifat terpuji yang pada gilirannya menjadikan manusia menjunjung tinggi hak-hak serta kemuliaan dan kehormatan orang lain. Ajaran ţarîqat Naqsyabandi adalah penyelarasan dan keseimbangan hubungan yang harmonis antara hamba dengan Allah dan antara sesama hamba. Bukanlah ajaran ţarîqat Naqsyabandi yang hanya menghabiskan hidup dan waktunya untuk berzikir dan beribadah kepada Allah, tanpa adanya kepedulian kepada sesama manusia.
Pembicaraan tentang îmân pada naskah ini mencakup pengertian îmân, hakikat berîmân kepada Allah, para malaikat, para nabi dan rasul, kitab-kitab Allah, hari kiamat dan qaḍâ atau keputusan Allah, syarat îmân, yang membinasakan îmân, kesempurnaan îmân, karamah lâ ialaha illallâh, termasuk pembahasan tentang hakikat sifat dua puluh, juga pembicaraan tentang hakikat nȗr Muhammad sebagai penciptaan awal dan asal segala yang ada.
Disebutkan bahwa, rukun îmân itu enam perkara, pertama âmantu billâh, artinya meyakini Allah ta’âla bersifat ujud lagi qidam, lagi baqâ lagi mukhâlafatuħu lil hawâdiś, dan seterusnya hingga akhir sifat dua puluh. Kedua wa malâ’ikatiħi, artinya meyakini bahwa bahwasanya malaikat itu dijadikan oleh Allah ta’âla daripada nȗr Muhammad, tidak beribu tidak berbapak tidak laki-laki tidak perempuan dan tidak minum tidak makan tidak lalai tidak lengah daripada mengingat Allah ta’âla, tidak durhaka hanya beribadah kepada Allah. Ketiga wa kutubiħi, artinya meyakini bahwa Allah ta’âla menȗrunkan kitab yang jumlahnya seratus empat buah. Enam puluh diturunkan kepada nabi Syiś, tiga puluh diturunkan kepada nabi Ibrahim, sepuluh diturunkan kepada nabi Idris, Injil diturunkan kepada kepada nabi Isa, Zabur diturunkan kepada nabi Daud, Taurat diturunkan kepada nabi Musa, Qur’an diturunkan kepada nabi kita Muhammad şallallâhu ’alaihi wasallam.(h.17-18)
Selanjutnya, dijelaskan bahwa kitab yang seratus empat itu terkandung di dalam al-Qur,an, dan al-Qur’an yang terdiri dari 30 juz dan 114 surat terkandung maknanya di dalam surat al-Fâtihah. Surat al-Fâtihahpun terkandung maknanya dalam bismillâhirrahmânirrahîm. Dan bismillâhirrahmânirrahîm itupun tersimpan maknanya dalam makna bâ (ب) bismillâh. Adapun makna atau tujuan bâ itu, tersimpan di dalam makna titiknya.
Rukun îmân keempat wa rusuliħi, artinya meyakini bahwa aku Allah ta’âla mengutus banyak rasul untuk menyeru manusia menuju jalan-Nya. Adapun jumlah mereka sebanyak 314 atau 315 orang. Dan kelima wa al-yaumi al-âkhir, artinya meyakini bahwa akan ada akhir dari kehidupan berupa kematian. Akan tetapi, kematian itu sendiri hanyalah perpindahan tempat dari satu alam ke alam berikutnya. Setelah kematian, pilihan tempat yang akan dihuni manusia hanya dua; ’illiyîn, artinya tempat yang tertinggi di langit yang ketujuh, yaitu tempat arwah orang yang şalih-şalih. Dan sijîn, artinya tempat arwah orang-orang yang durhaka, tempatnya pada bumi yang ke tujuh yang di sana terdapat berbagai azab. (h.19)
Pembicaraan tentang hari akhirat mendapat bagian yang cukup panjang, mulai dari bentuk siksa kubur, peniupan sangkakala oleh malaikat Israfil sebagai tanda kiamat besar dan peniupan kedua untuk berbangkit, selanjutnya diceritakan huru-hara mahksyar. Di sanalah Rasulullah kemudian memberikan syafa’atnya kepada umatnya yang bershalawat. Syafaat itu dikenal dengan istilah Payung Panji Rasulullâh. Payung Panji itu yaitu berupa naungan yang luasnya seribu enam ratus tahun perjalanan. (h.20)
Selanjutnya, disebutkan tentang timbangan amal atau mîzân yang dengannya manusia akan mengetahui ukuran kebaikan dan keburukan yang pernah dikerjakannya selama hidup di duni. Setelah mengetahui timbangan amalanya, untuk lebih membuktikan keadilan Allah, maka semua manusia disurȗh meniti şirâtal mustaqîm yaitu titian yang ukurannya lebih halus daripada rambut dan lebih tajam daripada pedang, terbentang di pinggang neraka, di bawahnya terdapat berbagai-bagai azab, keloknya ada tujuh. Di kelok yang pertama seseorang akan ditanya tentang syahâdat, di kelok yang kedua ditanya tentang shalat, di kelok yang ketiga ditanya tentang puasa puasa, di kelok yang keempat ditanya tentang zakat, dikelok yang kelima ditanya tentang haji, di kelok yang keenam ditanya tentang keluarga, di kelok yang ketujuh ditanya tentang harta. Barulah kemudian manusia memperoleh sorga jika ia mampu melewati titian dengan selamat, dan menyelesaikan setiap pertanyaan yang diajukan. Di sorga manusia akan disuguhkan aneka kenikmatan yang tidak pernah terlihat mata, terdengar oleh telinga dan tergores di hati. (h.21)
Rukun îmân keenam wa al-qadri khairihi wa syarrihi minallâh ta’âla, artinya meyakini bahwa baik dan buruknya yang menimpa manusia adalah sudah ditetapkan Allah semenjak azali, bahkan taat atau durhaka seseorang adalah juga sudah menjadi ketetapan Allah. Di sini, terlihat bahwa ţarîqat an-Naqsyabandi menganut paham Jabariyah dalam tauhid mereka. Sekalipun mereka tidak setuju dengan paham Qadhariyah maupun Jabariyah, bahkan mereka menyebutkan bahwa mayakini paham Jabariyah dan Qadhariyah adalah bagian yang membinasakan îmân (lihat, h. 22)
Sementara pembicaraan tentang ihsân terdapat dalam uraian bagain kedua yang cukup panjang. Pembahasannya meliputi pengenalan manusia akan Allah (ma’rifatullâh), dan tata cara berzikir. Namun demikian, dalam pembahasan ini juga disebutkan silsilah ţariqat Naqsyabandi, dari Nabi Muhammad saw, sampai maulana Khalid nama di mana ajaran ţarîqat ini dinisbahkan. Tujuan penyebutan silsilah ini adalah penting untuk lebih terarahnya zikir yang dilakukan seorang sâlik (murid) atau yang lebih dikenal dengan istilah wasîlah atau rabiţah. Adapun silsilah tersebut adalah Rasulullah ṣal’am - Abu Bakar ash-Shiddiq - Abu Yazid al-Bustami atau Thaifur bin Isa - Abdul Khaliq al-Fujdawani kebangsaan al-Khaujakan - Syaikh Baha’iddin an-Naqsyabandiyah - syaikh Abdullâh al-Ahrâr as-Samarqandiy - imâm ar-Rabbani Muhaddad alfu as-sani (beliau dilahirkan tahun 971 Hijriyah beliau yang memperbaharui gerakan ţariqat ini dengan sahabat-sahabatnya pada tahun 1002 Hijriyah) - haḍratul maẓhariyah Syamsuddin Habîbullâh Jani Jani - maulânâ Khâlid (dilahirkan 1192 Hijriyah dan wafat 1242 Hijriyah, nama terakhir inilah yang menjadi nisbah ajaran ţarîqat ini sampai waktu buku ini ditulis tahun 1370 Hijriyah. Ajarannya populer dengan sebutan ţariqat an-Naqsyabandiyah khâlidiyah. (h. 59-60)
Selanjutnya, diajarkan tentang mujâhadah seorang murid, tata cara bimbingan seorang guru mursyid dalam membimbing muridnya hingga melewati maqâm demi maqâm dalam zikirnya, pembagian zikir, hikikat zikir, hingga zikir yang tanpa batas. Sampai dalam setiap gerak langkahnya, seseorang telah melihat wujud Allah. Musyâhadahnya dengan Allah menjadikan seseorang terhindar dari segala dosa dan kejahatan. Inilah hakikat ihsân, seperti yang tersebut dalam sebuah hadits, bahwa ihsân adalah seseorang beribadah seolah-olah telah melihat Allah.
Ada macam-macam cara dan jenis-jenis zikir serta derajatnya disisi ţariqat an-Naqsyabandiyah. Yaitu;
Pertama, zikir iśmu aż-żat dalam laţîfah al-qalb, letaknya dua jari di bawah susu kiri agak ke kiri. Di sini si murid berzikir 5000 menyebut Allah, Allah dengan hati sanubari dalam sehari semalam, lengkap dengan segala adab dan syarat-syaratnya. Selesai zikir 5000 maka dikerjakannya zikir Allah, Allah dengan tidak beradab dan bersyarat, akan tetapi digerakannya saja telunjuknya yang kanan berkekalan dan berkepanjangan dan diikutinya gerakan telunjuk itu dengan hati. Jika si murid setelah mengerjakan zikir iśmu aż-żât tersebut, tidak juga terbuka hijab atau dinding antaranya dengan Allah, maka murid itu meminta kepada guru mursyid agar masuk suluk atau khalwat. Di dalam khalwat guru mursyid menyurȗh murid mengerjakan zikir iśmu aż-żât 70.000 siang dan 70.000 malam dengan mencukupi adab-adab dan syarat-syaratnya serta dikerjakannya pula adab-adab khalwat dan syarat-syarat rukun khalwat.
Kedua, żikir laţîfî atau zikir laţâ’if atau zikir sebelas ribu atau zikir tujuh tempat. Dalam khalwat murid mengerjakan żikir laţâ’if tujuh kali sebelas ribu (7x11.000) siang hari dan tujuh kali sebelas ribu (7x11.000) malam. Jika murid nanti keluar dari khalwat, dia harus mengerjakan di kampungnya zikir laţâ’if hanya sebelas ribu zikir Allah, Allah siang dan malam. Laţâ’if, yaitu bilik darah pada tujuh tempat dalam diri yang sangat vital sekali, yang disebut juga dengan laţhifah, yaitu bahagian yang halus dalam diri tempat berpusatnya semua kehidupan manusia. 7 tempat itu ialah :
a. Laţâ’if al-Qalb, banyaknya 1000 kali.
b. Laţâ’if ar-rȗh, banyak 1000 kali.
c. Laţâ’if as-Sirri, banyaknya 1000 kali.
d. Laţifat al-Khafi, banyaknya 1000 kali.
e. Laţifat al Akhfa, banyaknya 1000 kali.
f. Laţifat an- Nafs an- Nâtiqah, banyaknya 1000 kali.
g. Laţifat al-kulli Jasad, banyaknya 1000 kali.
Ketiga, zikir nafî iśbât yaitu menyebut lâ ilaha illallâh di dalam hati sebanyak seribu seratus (1100) nafas sehari semalam. zikir laţâ’if ini dikatakan juga sulţân aż-żikr artinya raja/kepala zikir artinya kalau żikir lathâ’if ini baik dan lancar maka segala zikir-zikir yang lain pun lancar pula mengerjakannya. Sebaliknya, kalau zikir laţâ’if ini tidak lancar maka segala zikir-zikir lain pun tidak akan sempurna pula.
Keempat, zikir wuqûf yakni menghadirkan seseorang dalam segala laţa’if dan anggota dan suku-sukunya akan zat Allah, dengan tidak berkaifiyat dan tidak diberati dengan zikir iśmi aż-żât, tetapi adalah Dia nya hadir bilâ muśamma yakni zat Allah yang wâjibul wujûd. zikir wuqûf ini tidak dengan membaca kalimat Allah, Allah dalam hati dan tidak pula lâ ilaha illallâh, hanya semata-mata ingati akan muśamma yakni yang dinamai Allah zat yang bersifat kesempurnaan dan Maha Suci daripada bersifat kekurangan.
Cara mengerjakan zikir wuqûf ini hendaklah badan tetap setetap-tetapnya dan hening sehening-heningnya bahkan nafas dipelihara seola-olah nafas itu tidak diluar dan tidak di dalam tidak ke atas dan tidak ke bawah, hati hadir kepada zat Allah manakala terlepas hati hadir kepada Allah dengan lekas dan dengan cepat-cepat di baca dalam hati, Allâhumma anta maqsûdi wa riḍâka maţlûbi a’thinî mahabbatika wa ma’rifatika.
Setelah si murid telah merasakan karam atau hilang kesadarannya, barulah guru mursyid mengajarkan bermacam-macam murâqabah. Terdapat enam macam murâqabah yang mesti diajarkan, manakala murid waktu mengerjakan zikir wuqûf telah karam pada zat Allah yakni hamba telah merasa lenyap selenyap-lenyapnya, yang ada hanya zat Allah semata-mata. Adapaun murâqabah tersebut adalah; murâqabah al-muţlaq, murâqabah al-aqrabiyah, murâqabah al-ma’iyah, murâqabah al-ahadiyah al-af’âl, dan murâqabah al-ahadiyah żât. (h. 63- 70)
Adapun penjelasan tentang murâqabah dijabarkan secara rinci sampai akhir daripada teks naskah ini. Di antaranya bisa dilihat dari penggalan berikut;
.....caranya mengerjakan murâqabah al-muţlaq yakni kita i’tikadkan bahwa Allah ta’âla menilik (melihat) kepada kita zahir batin, yang mana tilik Allah itu berkekalan dan berkepanjangan kepada hamba-Nya, dikelas ini hendaklah murid diberi percobaan sekurang-kurangnya dua jam jangan putus-putus lahir dan batin hendaklah diperhatikan dengan seksama, kalau seseorang telah tahqîq, bahwa pekerjaannya lahir batin dilihat Allah perkataannya didengar oleh Allah, dan segala niatnya dan cita-cita diketahui oleh oleh Allah, berarti orang itu telah melaksanakan murâqabah muţlaq, seseorang yang belum pandai murâqabah kepada Allah, kalau dianya menjadi kepala negara, pasti negara itu akan binasa, kalau dianya mengurus keuangan pasti uang itu akan hilang, suatu bangsa yang tidak pandai murâqabah binasalah segala pekerjaannya, tidak mungkin pembangunan negaranya dapat dibangunkan, belum tentu keamanan negara dapat dipelihara, pasti krisis muril tidak dapat dibendung, tidak dapat tidak (kerupus?) akan simaharaja lela, mungkin kemerdekaan negara itu akan dihembuskan angin peredaran zaman, kalau isi dunia telah murâqabah kepada Allah, barulah terjamin perdamaian segala bangsa di muka bumi ini, dan jauhlah peperangan terlaksanalah perdamaian dunia yang abadi...(73-74)

Ihsân terhadap sesama juga diajarkan dalam ţarîqat ini, betapa syarat memperoleh kebahagiaan hidup bahkan sorga Allah di akhirat adalah kesediaan seseorang untuk mendo’akan musuh atau orang yang telah berbuat jahat kepadanya. Inilah bentuk ihsân terhadap kesalahan orang lain, bahwa kita bersedia membalas kejahatan dengan kebaikan, yang salah satu bentuknya adalah mendo’akan kebaikan untuk mereka. Bukankah nabi Muhammad pernah melakukannya terhadap penduduk Ṭa’if yang telah melempar dan menyakitinya tanpa alasan yang benar?
Rahasia zikir tahlîl sekhatam yang kelima, hendaklah tatkala akan memulai sekhatam yang kelima diniatkan pahalanya dihadiahkan kepada segala orang musuh-musuh dan ‘aduw-‘aduw kita yang berbuat kejahatan diatas diri kita, seperti sabda Rasul ṣal’am, wa ahsin ilâ man asâ’a ilaika, artinya berbuat baiklah kepada orang yang berbuat kejahatan kepada engkau, dari itu kita berhadiah sekhatam tahlil kepada musuh-musuh kita, setelah selesai dikerjakan yang kelima lalu kita berdo’a yakni, Ya Allah tolonglah sampaikan pahala zikir tahlîl yang kelima kepada segala arwah musuh-mush dan ‘aduw-‘aduw kami, dan kepada arwah orang-orang yang berbuat jahat kepada kami. (Rahasia zikir tahlîl sekhatam yang keenam), hendaklah diniatkan sekhatam tahlîl yang keenam pahalanya kepada segala arwah sahabat-sahabat kenalan kita yang tersangkut paut dengan kita, manakala telah selesai dikerjakan lalu kita berdo’a pula yakni, Ya Allah tolonglah sampaikan pahala tahlîl yang sekhatam keenam kepada segala arwah sahabat-sahabat kenalan kami yang telah berjasa baik kepada kami dan kepada arwah orang yang berkasih-kasihan dengan kami,....(h.85-86)

Ajaran ţarîqat ini sangat baik jika saja semua umat Islâm mau mempelajari, mengahayati serta mengamalkannya. Betapa tidak, jika zikir umat islâm telah sampai ke tingkat seperti yang diajarkan dalam ajaran ţarîqat ini, maka dipastikan tidak akan ada kejahatan, kemaksiatan, perampokan, korupsi para pejabat, perselingkuhan dan sebagainya, karena semua orang telah berzikir dan mengingat Allah dalam setiap hembusan nafasnya, sehingga dia melihat Allah dan kebesaran-Nya dalam setiap gerak langkah, bahkan setiap kali naik dan turunnya tarikan nafasnya. Bukankah kejahatan terjadi karena seseorang telah melupakan Allah kala itu?
Namun, satu hal dalam ajaran ţarîqat Naqsybandiyah yang perlu hati-hati dalam menjelaskannya agar orang lain atau pengikut ajaran ini tidak salah dalam memahaminya, yaitu terkait dengan zikir wuqûf. Dijelaskan, bahwa seseorang yang sudah memperoleh intisari zikir wuqûf, maka dia sudah berhak memakai pakaian haji, sebab orang tersebut sudah melaksankan inti ibadah haji, yaitu wuqûf batin.
.....seorang yang belum pandai mengerjakan zikir wuqûf pada sisi ţarîqat an-Naqsyabandiyah kalau orang itu pergi mengerjakan ibadat haji dan dianya mengerjakan wuqûf di padang Arafah pada sembilan Zulhijjah, maka amal wuqûf di padang Arafah itu tidak berharga tidak berarti kosong melompong, karena rahasia amal wuqûf itu belum diketahuinya, pada zaman dahulu kalau seseorang murid telah mendapat intisari dari zikir wuqûf yang telah dipaparkan tadi maka murid itu diharuskan memakai pakaian haji, disebabkan murid itu telah mengerjakan ibadah amal haji yang batin yakni zikir wuqûf, segala amal ibadah haji sudah ada bayangannya dalam ţarîqat an-Naqsyabandiyah...(h. 72)

Kunci persoalannya terdapat pada kalimat terakhir, yaitu bagi yang sudah mendapatkan intisari zikir wuqûf berarti dia sudah mengerjakan ibadah amal haji yang batin. Tentu saja hal ini tidak menjadikan seseorang harus meninggalkan ibadah haji yang diatur secara syari’at berupa perjalanan fisik ke Baitullah, karena hal itu adalah ibadah haji yang disebut ibadah zahir.

D. KESIMPULAN
Dari Uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang tema keagamaan yang terkandung dalam naskah at-Ţarîqat an-Naqsyabandiyah al-Khâlidiyah, yakni:
1. Secara umum naskah tersebut berbicara tentang tiga aspek pokok agama; yaitu iman, islam, dan ihsan.
2. Naskah ini juga membahas tentang proses awal penciptaan alam raya atau yang dikenal dengan istilah kosmologi, di mana disebutkan bahwa nur Muhammad adalah cikal bakal terciptanya alam semesta.
3. Kematian dan hal-hal yang terkait dengan proses serta kondisi hidup setelah kematian (eskatoligi) juga menjadi pembasan utama dalam naskah ini.
4. Naskah at-Ţarîqat an-Naqsyabandiyah al-Khâlidiyah secara umum bisa dikategorikan kitab tasawwuf yang beraliran salaf atau lebih tepat disebut tasawwuf suni.


Selengkapnya...

في جامعة إمام بنجول الإسلامية الحكومية ببادنج معوقات تعليم اللغة العربية

Oleh : H. Abdul Manan Sihombing, MA (Dosen Jur. BSA)

The proficiency in a foreign language, especially speaking and writing is one of someone’s needs for it will ease his/her activities, which are being run. Since the need of someone for the language will differ from one to the others, it will also call for different teaching subjects and methods. The language teaching in Indonesia, especially at IAIN Imam Bonjol, has passed a long tough journey. Even the fact so, It does not mean that the teaching can significantly raise student’s level because the curriculum has no strong fundamentals. Meanwhile, successful learning and teaching process need a stable curriculum.


إنّ اللغة وسيلة من وسائل الإنسان يتفوّق بها على الكائنات الأخرى ويسيطر بها على الآخرين. يستطيع كذلك أن يحصل على مستوى رفيع في مجتمع يعيش فيه، ما إذا كان لسانه ينطلق وتميل إليه نفوس سامعيه ويقتنع عقولهم بما يلقيه من بيانات ساحرة. وتزيد هذه المنزلة عالية بإجادته إحدى اللغات الأجنبيّة فضلا عن لغته الأمّ. كلّما أجاد أكثر منها كلّما زاد عليه التقدير. ومن ثمّ، قد بذل كثير من الناس جهده وفكره على تعلّم لغة من اللغات الأجنبيّة الحيّة حتى تصبح حاجة من حوائج ينبغي استيفاؤها. فهذه الظاهرة تدفع إلى بناء مؤسّسات أو معاهد تدرس فيها هذه اللغات.
إن التعبير باللغة أو اللغات الأجنبيّة حاجة من حوائج شخص ما، فأوجه احتياجه إليها تختلف عن غيره وفق طلباته ومواقفه، دينيّا كان أو مهنيّا أو اجتماعيا. وكذلك الطريقة إلى اكتسابها واستخدامها في جهة أخرى تختلف أيضا، متماشية مع الحاجة أو الغرض الذي له آثار واضحة أثناء عمليّة التعلم والتعليم. فينبغي للمؤسسة أو المعاهد التعليمية أن تنظر هذه النقط واضحة لتتمكّن من استيفاء هذه الحاجة ويكون التعليم له مناسبته بواقع الحياة وله ارتباطه كذلك بميادين المهن "link and match". وأوضح المثال لهذه الظاهرة، اللغة الإنجليزية، وهي إحدى اللغات التي كان استخدامها أوسع انتشارا في العالم، تدرّس في وطننا إندونيسيا في المدارس الرسمية أو المعاهد في شكل دورات، لمختلف الطبقات من الأعمار والمصالح باستراتيجيات وطرق تدريس متنوّعة. فهناك درسها للأطفال قبل التحاقهم بالمدرسة ودرسها للشباب وأصحاب الحرف الخاصّة وغيرهم ممّا يؤدّي في النهاية- كما شاهدنا في التلفاز- إلى سيطرة تامّة على هذه اللغة رغم فقدان الأستاذ من صاحب اللغة.
ب- نبذة تاريخيّة عن برنامج تعليم اللغات
في وطننا إندونيسيا، لا يكون تعلّم اللغات الأجنبيّة وليد اليوم. فقد وجدت المعاهد تنتشر في أنحاء البلاد تعلّم اللغة الإنجليزية والفرنسيّة والألمانيّة واليابانيّة حتى العربيّة. وأكثر من تعلّم تلك اللغات من طلاّب تمكّن من استخدامها شفاهة وكتابة على سبيل لا بأس به – إن لم نقل على سبيل ممتاز- إلاّ من تعلّم اللغة التي يأتي ذكرها في الآخر. فقد شاهد الزمان أنّ من حاول أن يجيدها كأنّه قد حصل على قدر من المهارات لا يجاوز حدّ الكفاءة المطلوبة. ومن ثمّ نتساءل : ما المرض الّذي أصاب تلك المعاهد التي تعلّمها وطلابها كما حدث في جامعتنا إمام بنجول المحبوبة- حتى عجزوا عن نيل ما حصلت عليه أنظارها من إنجازات ؟ لإتيان إجابة يقتنع بها جميع الأطراف ليس سهلا ميسّرا بوجود العوامل التي تؤثّر بعضها في بعض.
في هذه المقالة نحاول أن نركّز الكلام على مشاكل تواجهها جامعتنا إمام بنجول الإسلاميّة الحكوميّة بشيء من التفاصيل راجين من صاحبي القرار أن يأخذوا هذه الأفكار في عين الاعتبار ويقوموا بما ينبغي قيامه من إصلاح النظام والتنظيم وغيره.
كما هو المعهود أنّ جامعتنا قد قطعتْ باللغة العربيّة مسافة طويلة منذ أن شعرتْ بحاجة ماسّة إلى تأهيل أبنائها لهذه اللغة فأرسلت بعض خبرائها إلى مدينة مالنج ، إحدى المناطق في جاوة الشرقيّة لإجراء الدراسة، ما إذا كان البرنامج يتمكّن من تطبيقه في إمام بنجول، علما بأنّ البرنامج هناك يوصف ناجحا في تحويل ألسنة طلاّبها من الرطانة إلى العربيّة التي لا تبلغ هذه الدرجة أيّ جامعة من الجامعات الموجودة في إندونيسيا حتى الآن، شرقا وغربا. من أجل نجاح هذا البرنامج هناك، اجتذبتْ جامعة إمام بنجول أن تحتذي حذوها واتّبعتْ كلّ خطواتها بدون أيّ انحراف أو تحريف. فحدث ما حدث بالبرنامج فأصبحتْ اللغة العربيّة لا تموت فيها ولا تحيا بل أسوأ من ذلك، تتحمّل اللجنة (تغير اسم اللجنة حاليا بمركز اللغات) والأساتذة الذين شاركوها انتقادات لاذعة من طرفي من قد استغرقوا في تشاؤم عميق ومن لا يحبّون اللغة العربيّة سائدا وسيّدا على جميع المواّد الدراسيّة.
في الحقيقة، كان برنامج تعليم اللغة العربيّة في مالنج يهتدي إلى مدرسة الجيش الأمريكيّ في تعليم اللغات الأجنبيّة في عهد الحرب العالميّة الثانيّة. حينئذٍ، اقتضتْ ظروف الجيش الأمريكيّ أن تقوم بعمليّة تعليم مكثّف لعدّة لغات في آنٍ واحد لعدد هائل من الأفراد وفي أقلّ وقت ممكن فيما يتراوح بين ستّة إلى تسعة أشهر. وهذا التعليم كان أكبر تجربة في التاريخ في مجال تعليم اللغات لغير الناطقين بها حيث بلغ عدد الدارسين خمسة عشر ألفا (15000) انتظموا في وقت واحد في 427 فصلا دراسيّا وعدد اللغات المطلوب تعلّمها سبع عشرة لغة (17)، والغاية الأولى من التعلّم هي تمكّن الدارس من التحدّث باللغة اليوميّة بطلاقة ونطق أقرب ما يكون إلى نطق المواطنين. كانوا يتعلّمون 15 ساعة في الأسبوع في أيدي الخبراء وأصحاب اللغة(حمادة إبراهيم، 1987،ص: 61). فنتيجة هذا المشروع كانتْ رائعة مدهشة بحيث جعلتْ الناس يتساءلون: لماذا لا تطبق هذه الطريقة في زمن السلم أيضا ؟
بالنظر إلى النجاح الذي حقّقه الجيش الأمريكي في تعليم اللغات الأجنبيّة، تريد الدول الأوروبيّة أن تجدّده على تعليم اللغة الإنجليزيّة على أعداد ضبّاطهم الذين كانوا يقومون بوظائفهم مع استعمال لغة أخرى ويلتحقون في النهاية بقوّات الحلفاء التي كانت تتحدّث باللغة الإنجليزيّة. فدخل برنامج تعلّم اللغات الأمريكيّ إلى أوروبا عن طريق حلف شمال الأطلنطيّ. وفي عام 1951 شهدتْ باريس ثورة هائلة في مجال التعليم للغة الإنجليزيّة (المرجع نفسه، ص : 74). رغم اقتداء مشروع باريس في طريقة أمريكا إلاّ أنّه فشل إلى حدّ ما.
ويرجع الفشل إلى أسباب تاليّة:
1- لم تكن مسألة تعليم اللغة الجديدة مسألة حياة أو موت بالنسبة للعسكريّين.
2- لم تكن غالبيّة الضبّاط يعيشون داخل معسكرات كما كانت الحال بالنسبة لأفراد الجيش الأمريكيّ.
3- والأخير، لم يحتفظ مشروع حلف شمال الأطلنطيّ بالكثافة التي كانتْ سمة المشروع الأمريكيّ ولا بالمادّة التي استغرقتها الدورة الأمريكيّة التي بلغتْ تسعة أشهر. (المرجع نفسه ، ص: 75).

ج- المآخذ على برنامج العربيّة في جامعتنا
حدّد بعض العلماء أنّ التعلّم هو تغيّر سلوك فرد من حال إلى حال أخرى أحسن ممّا قبل نتيجة التعليم . وعرّفه الدكتور رشدي طعيمة أنّه عمليّة إعادة بناء الخبرة Restructuring التي يكتسب المتعلّم بوساطتها المعرفة والمهارات والاتّجاهات والقيم...إنّه بعبارة أخرى مجموع الأساليب التي يتمّ بواسطتها تنظيم عناصر البيئة المحيطة بالمتعلّم بكلّ ما تتّسع له كلمة البيئة من معانٍ من أجل إكسابه خبرات تربويّة معيّنة (رشدي طعيمة، 2000 : ص 27) . إنّ التعليم أو التعلّم الناجح لا يتمّ إلاّ بالمنهج الذي يسير عليه، وهو الذي يوجّه سيره. فمفهوم المنهج أوسع من مجرّد نقل الخبرات أو المعرفة من المعلّم إلى المتعلّم.
قبل أن بدأتْ الجامعة هذا البرنامج ينبغي لها أن تهتمّ أوّلا بالمنهج الذي هو محور النجاح كما حقّقتْه جامعة مالنج ثمّ يأتي النجاح ثانيا، ليس العكس. تعالوا أن ننظر المنهج بكلّ عناصره ثمّ نتساءل هل برنامج قد سار على منهج سليم أو لا، ثمّ نحاول على مقارنته بما سارتْ عليه جامعة مالنج.
إنّ المنهج بعبارة ساذجة هو خطّة تعليميّة تعمل على تزويد الدارسين بمجموعة من المعلومات والخبرات والمفاهيم وهو بكونه خطّة، له عناصره كالآتية: وهي الأهداف والمحتوى وعمليّة التعلّم والتعليم (الطريقة) والتقويم .
ارتبطتْ كلّ هذه العناصر بعضها بعضا حيث يؤثّر عنصر عنصرا آخر ويتأثّر به. فعلى الجامعة أن تشغّل البرنامج ابتداءً من العنصر الأوّل ثمّ الثاني ثمّ ما يلي. ففي هذه المقالة المتواضعة لا يمكن إطالة الكلام في هذه النقط الأربع بالدقيق، إنّما نركّز فيما هو أشدّ ضرورة لنا.

د - الأهداف
إنّ الهدف هو إيصال ما يقصد إليه، وذلك بصياغة تصف التغيّر المطلوب لدى المتعلّم صياغة تبيّن ما الذي سيكون عليه المتعلّم حين يكون قد أتمّ خبرة التعلّم بنجاح. لا يعني هذا أنّ الأهداف تنبع من جهة صاحب القرار أو كبار الجامعة بدون الأخذ في عين الاعتبار جهات تشترك في تحقيق الأهداف مثل الدارسين. نحن نرى أنّ الجامعة ترجو من الدارسين تجاه اللغة العربيّة أكثر ممّا كانوا في حاجة إليه. تصرّ الجامعة على إخراجهم بعد تعلّم اللغة العربيّة لمدّة ثمانية أشهر (هذا باعتبار الفصل الدراسي يعمل فعّالا لا يزيد من أربعة أشهر ) قادرين على المهارات الأربع رغم أنّهم عمون في العربيّة قبل التحاقهم بالجامعة. بالإضافة إلى ذلك، كلّ يعرف أنّ مدخلات الجامعة inputs يعني الدارسين الذين التحقوا بها، أكثرهم هؤلآء الذين فشلوا، سواء كان الفشل في دخول الجامعات العامّة الحكوميّة أو الأهليّة. صحيح، أنّ الجامعة قد أجرتْ امتحان القبول للطلاب الجدد، إلاّ أنّه -على ما ظهر- لا يستهدف إلى تصفية من هم جديرون من الطلاب بمتابعة المحاضرات التي قد تكون تطلب منهم مراجعة المعلومات في مراجع مكتوبة بالعربيّة. شتّان ما بين الجيش الأمريكيّ وطلاّبنا الجدد حيث إنّ أفراد الجيش الأمريكيّ الذين اشتركوا في البرنامج اختير منهم أذكياء. لا نقصد في هذا الإطار أننا ندين المدخلات من الطلاب، إلا أننا نطلب من جميع الأطراف ألاّ يصرّوا على الطلب من مدرسي اللغة العربية أحسن النتيجة بأقلّ ما ينفق إلي سبيل ذلك من الجهد ورأس المال.
على صعيد آخر، قبل أن تنصب الأهداف، كانت الجامعة وضعتْ وراءها الجهات الثلاث أى حاجة المجتمع والطلاّب والإمكانيات المتاحة مع أنّ التربويّين أكّدوا أهمّية اشتقاق الأهداف من مصادر منها: المجتمع المحلّي أي من ناحية احتياجهم إلى العربيّة، وسيكولوجيّة الطلاّب من حيث دوافعهم، وحاجاتهم إلى العربيّة ومستوياتهم فيها (اقرأ: رشدي أحمد طعيمة و محمّد السيّد مناع، 2000 : ص 56 - 57) وكذلك الإمكانيّات المتاحة مثل الأساتذة الذين لهم كفاءة لغويّة تغطّي المهارات الأربع.

هـ- المحتوى
بعد نصب الأهداف ولتحقيقها، تأتي مرحلة ثانية وهي مرحلة اختيار الخبرات التربوية. وهذه الخبرات تسمى محتوى وهو عادة يكون على شكل كتاب الدرس جاهزا. في البداية أنّ الجامعة كانتْ تهدف بالبرنامج إلى تمكين الطلاّب من استخدام اللغة كلاما أكثر من استخدامها فهما وكتابة ولذلك اختارتْ كتاب العربيّة للناشئين مادّة للدرس. كما بيّنّا سابقا أنّ أهداف البرنامج كانتْ تخالف ما هو في حاجة الطلاّب إليه. فأصبح الفصل عند سير الدرس ينقسم إلى فريقين: فريق يمثّل مصلحة الجامعة وكتاب الدرس، وفريق يمثّل حاجة الطلاّب والأساتذة. فريق في وادٍ، وفريق في آخر. إذا كانتْ الجامعة تلتزم ببرنامجها فيجب عليها إعداد الأساتذة من أبناء اللغة ليدربوا مهارة الكلام على المدرسين أولا ثم الطلاب ثانيا وكذلك توفير التسهيلات اللازمة كما قامتْ به مدرسة الجيش الأمريكيّ وتحديد عدد الدارسين في الفصل، بألاّ يزيد من عشرين طالبا مثلا. بالصراحة أنّ ما أصابنا من سوء تعليم العربيّة في إندونيسيا عموما، وخصوصا في جامعة إمام بنجول من أجل أمرين: أوّلا نقصان الكتب التي تحتوي على خبرات تناسب حوائجنا وبيئتنا حتى لا تكون الموادّ الدراسيّة غير واقعيّة. ففي الوقت الراهن حاول مركز تعليم اللغات أن يقسم الطلاب إلى ثلاثة مستويات من متقدمين ومتوسطين ومبتدئين ليسهل على المدرسين تعليم هؤلاء الطلاب الذين تختلف أهداف تعليمهم وخلفياتهم التعليمية. فأهداف التعليم للمتقدمين القدرة على استخدام اللغة للتواصل الدولي. إلا أن الكتاب الذي يعتمد عليه يحتوي على النصوص المقروءة أكثر مما يقدم من المهارات الأخرى مثل مهارة الكلام والكتابة. وأما مستوى المتوسطين فيهدف تعليمهم إلى القدرة على الكلام وفهم المقروء. والكتاب الذي يستعمل، يزدهر بالحوار ويخلو من ريح النصوص التي تتناسب مع الهدفين اللذين يراد تحقيقهما. لنكون على بصيرة نأخذكم إلى النظر إلى اقتباس من ذلك الكتاب:
"كان الإنسان قديما يسافر من بلد إلى بلد ماشيا على الأقدام أو راكبا على ظهور الحيوانات. وكانت الرحلة تأخذ وقتا طويلا ويجد الإنسان فيها تعبا كثيرا. أما في الوقت الحاضر فقد تقدمت وسائل السفرَ؛ فهناك وسائل برية كالسيارات والقطارات، ووسائل بحرية كالسفن، ووسائل جوية كالطائرات، وأصبحت الرحلة تأخذ وقتا قصيرا ويجد الإنسان فيها متعة وراحة". (ص: 84)

لو رمقنا النظر إلى الكتاب كله، لوجدنا فيه نصوصا عامة لا تساعد الطلاب على فهم الكتب الدينية مع أن الهدف لهذا المستوى هو فهم المقروء من الكتب الدينية أو التراثية. وجدت النصوص القرائية قصيرة لا يبلغ طولها أكثر من نصف الصفحة ويتكون من أنشطة يومية. مضمون الكتاب مثل هذا إنما هو يصلح للتواصل الدولي لا لقصد فهم الدين بواسطة الكتب العربية. بالإضافة إلى ذلك لا نعرف أي قالب من القوالب أو قاعدة من القواعد يراد تعليمها، رغم أن في بداية الدرس يذكر قالب معين. ففي المثال الذي قد مر ذكره وجدنا الاهتمام بتعليم "الحال"، وهو موجود في النص فقط دون التدريبات. سوي أسئلة للاستيعاب وجدت تدريبات لكلمات مضادة وجمع التكسير ثم ينتهي الدرس. ومن الأسف الشديد يبرمج الكتاب أن يدرس للفصل الأول قبل القيام بامتحان نصف الدور فقط. وأما بعد الامتحان والفصل الثاني فالله أعلم بما سيكون منه. وأما آخر المستوى فيركز تعليمهم أن يزودهم مهارة الكلام فحسب. الكتاب الذي يلجأ إليه المدرسون لتحقيق هذا الهدف يوصف مقبولا إلى حدٍ ما، وهو العربية للناشئين تم إعداده للمبتدئين.
وثانيا الأساتذة الأكفاء الذين لهم ألسنة طلقة في تعبير ما يدور في صدورهم بعبارة صحيحة رائعة، شفاهة وكتابة. نجاح الكتاب يرتبط بكفاءة المدرسين. فمنهم من تدرب –بعدد قليل- وتعود على استخدام اللغة العربية شفاهة ومنهم من تعود على تعليم اللغة العربية صرفا ونحوا حتى لكأن اللغة العربية هي القاعدة النحوية والصرفية. ويرجع السبب بذلك عجز جميعهم عن خلق البيئة اللغوية المناسبة لتترعرع العربية وتصبح شابا قويا. استخدام اللغة المعينة في حياتنا اليومية يرتبط أساسا بسيكولوجي الذين يتكلمون بهذه اللغة. كلما استخدمها المدرسون بقدر كبير كلما زادت شعور الرضى بها وأصبحت عادة لغوية جديدة وأصبحوا مزدوجي اللغة. شعور الحياء من المدرسين وصعوبة تغيير العادة اللغوية أثناء معاملتهم تجعل اللغة العربية مستغربة في دولة غير إسلامية. وجدير بالذكر أن الطلاب يتكلمون العربية بطريقة سماعهم من حولهم ثم يحاكون. فموقف المدرس في هذه الحالة مهمة جدا لتعليم الطلاب بطريقة غير مباشرة


Selengkapnya...

Kamis, 10 Desember 2009

Perspektif Teori Transisi Demokrasi

Oleh : Muhammad Ilham (Dosen Jur. SKI)

Dalam tradisi ilmu politik, ada empat variabel untuk menentukan apakah negara tersebut menjalani masa transisi secara damai atau anarkis bahkan "berdarah". Pertama, Watak Civil Society. Konsep ini mengacu kepada kemampuan, dinamika dan kemampuan organisasi kemasyarakatan. Dalam masyarakat transisi, civil society-nya penuh dengan dinamika. Masyarakatnya terlibat secara emosional dengan persoalan-persoalan publik. Namun, Civil Society ini memiliki dua karakter yaitu karakter demokratis dan karakter sekterian-parokial-primordial.

Karakter pertama "dihidupi" oleh aura dan nilai-nilai penghargaan terhadap pluralisme, kesediaan berkompromi untuk mewujudkan platform bersama yang demokratis serta timbulnya iklim kritik-terbuka dan transparan. Sementara yang kedua, dimotivasi oleh semangat fanatisme ideologi atau agama, anti-pluralisme, menginginkan previlese (baca: hak-hak khusus) bagi suatu kelompok dan anti kritik. Di antara kedua karakter civil society tersebut, hanya berkarakter demokratis yang memiliki kontribusi pada penyelenggaraan transisi secara damai.

Kedua, efektifitas pemerintah dalam mewujudkan atau mengimplementasikan kebijakannya. Pemerintah merupakan satu-satunya "organ" yang sah-legal untuk bertindak mengatasnamakan masyarakat secara keseluruhan. Memiliki daya paksa. Pemerintah yang efektif sangat mudah mempengaruhi kondisi politik secara nasional. Pemerintah yang kuat adalah pemerintah yang dipercaya oleh masyarakatnya. Pemerintah jenis ini dapat mempengaruhi transisi ke demokrasi secara damai. Sebaliknya, pemerintahan yang lemah dan kehilangan legitimasi, maka kebijakan-kebijakan mereka akan mudah dinilai dan ditafsirkan oleh kelompok politik lain sebagai upaya manipulatif. Dengan sendirinya, kebijakan-kebijakan tersebut bukannya diikuti, malah dilawan. Pemerintah jenis ini berpotensi membawa negara ke arah anarki.

Ketiga, Political Society. Konsep ini mengacu kepada aturan main yang menjadi mekanisme kompetisi politik antar aktor dan organisasi politik. Aturan main politik sangat penting. Dalam masyarakat politik ini, juga terdiri dari dua karakter yaitu masyarakat politik harmoni dan masyarakat politik terdisintegrasi. Masyarakat politik yang harmoni akan mudah menerima kemenangan atau kekalahan dalam sebuah kompetisi politik. Penyebabnya, karena mereka yakin dan percaya akan sifat adil dan jujur dari kompetisi. Pihak yang kalah merasa kalah secara fair dan bukan merasa dicurangi oleh sebuah sistem atau aturan main yang manipulatif. Masyarakat tipikal ini memiliki kontribusi bagi terciptanya transisi damai. Sedangkan masyarakat politik yang terdisintegrasi sangatlah rawan. Kekalahan dan kemenangan sangat sulit diterima dengan lapang dada. Bukan karena faktor kebesaran jiwa para aktor politik, akan tetapi lebih disebabkan kepada rasa dizalimi oleh aturan main yang manipulatif. Bahkan, konflik tidak akan menyusut setelah terselenggaranya kompetisi politik melalui pemilu, justru konflik semakin rawan dan menakutkan. Tipikal ini dengan cepat akan membawa negara ke dalam anarki yang berkepanjangan.

Dan yang Keempat, soal kondisi ekonomi. Memang harus diakui, bahwa ekonomi bukanlah satu-satu soal, namun memiliki peranan yang sangat signifikan karena berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pokok dan tersedianya lapangan pekerjaan. Perekonomian yang tumbuh akan memberikan kesejahteraan yang lebih kepada masyarakatnya. Kepuasan publik akan meningkat. Kepuasan publik yang meningkat akan berkorelasi positif dengan kemampuan pemerintah membawa masyarakat menuju demokrasi damai. Sebaliknya, ekonomi yang memburuk justru menimbulkan ketidakpuasan. Masyarakat akan menjadi rumput kering yang akan mudah terbakar untuk melawan dan marah secara massal. Krisis ekonomi akan mudah menyulut anarki berkepanjangan.

Pertanyaannya : "Bila diperhatikan variabel-variabel di atas, apakah Indonesia masa reformasi ini bisa atau berpotensi melakukan transisi secara damai ?"

Selengkapnya...

Karya Taufiq Ismail Dalam Khazanah Kesusateraan Islam Indonesia

Oleh : Drs. Yulizal Yunus, M.Si (Dosen Jur. BSA/Ketua Lemlit IAIN IB Padang)

Karya Taufiq Ismail genre syair munasibat (occasional poetry), sarat nilai religius. Dalam perspektif religiositas sastra ini menempatkan karyanya pada posisi signifikan dalam khazanah kesusasteraan bagian dari al-fann al-islami (الفن الأسلامي/ seni Islam). Religositas sastranya memamsuki dimensi profetik yang sufistik, mengandung majmu’atun min al-mau’izhah wa l-hikmah wa l-irsyad (sekumpulan nilai pengajaran yang indah, hikmah dan panduan ke arah jalan yang benar).

Keagungan sastra Taufik terletak pada pengisian bahasa naratif dengan pengalaman religius yang cukup kaya melampaui derjat diskriptifnya terhadap fenomena. Nilai Islami pada puisinya tidak terletak pada kata-kata simbol Islam, tetapi keagungannya terletak pada makna ajaran dan keindahan narasi, ada banyak di dalamnya hikmah dan isyarat-isyarat pemahaman ke-Indonesiaan dan ke-Islaman yang benar. Dari perspektif kedalaman Taufik menyelami peristiwa akmbn (aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara) untuk bahasa politik dan diskripsinya dalam narasi diisi makna religiositas sastra yang dalam pada puisinya menempatkan Taufiq pada posisi penyair Islam terbesar di awal abad ke-21 ini.

(Lebih lanjut, hubungi Redaksi Jurnal DIWAN cc. www.adabpadang.co.cc)

Selengkapnya...