Jumat, 30 Oktober 2009

"Threshold Reality" sebagai Salah Satu Proses Perubahan Budaya

Oleh : Suci Humairah, MA (Dosen Jur. BSI)

Artikel ini kami beri judul: “Threshold Reality Dalam Proses Perubahan Budaya”. Istilah threshold reality kami gunakan untuk melihat dan menganalisis proses perubahan budaya suatu masyarakat. Istilah tersebut kami posisikan dalam dua pengertian: pertama, secara harfiah, kedua, dalam arti khusus. Dalam arti harfiah, threshold reality dipahami sebagai realitas ambang atau kenyataan ambang.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1989: 26) kata “ambang” berarti kayu melintang antara dua tiang pintu atau dua tiang jendela atau kayu palang antara dua tiang. Kalau dikatakan bahwa seseorang “berdiri diambang pintu”, artinya seseorang itu berdiri di bawah kayu melintang atau di bawah kayu palang dari sebuah pintu. Pada posisi yang demiikian, sesorang memang masih dapat melihat ke “bagian dalam” dan ke “bagian luar” dari rumah tersebut. Artinya, orang itu masih menjadi bagian dari rumah tersebut, sehingga masih mengetahui kondisi di dalam rumah dan juga kondisi diluar rumah, namun demikian tidak seutuhnya lagi; karena posisinya diambang.

Apabila konsep realitas ambang dipakai untuk melihat dan menganalisis proses perubahan budaya suatu masyarakat—seperti ditulis pada judul artikel ini, itu berarti bahwa disatu sisi individu-individu anggota masyarakat sebagai pemilik, penganut dan pelaku perubahan itu tidak sepenuhnya lagi berada didalam kebudayaanya sendiri, dan di sisi lain, yang bersangkutan juga tidak berada secara utuh di luar kebudayaannya. Dalam arti harfiah ini dapat disimpulkan bahwa realitas ambang itu adalah suatu kondisi dimana proses perubahan sedang berlangsung secara alamiah melalui berbagai cara, individu-individu anggota masyarakat yang menjadi pemilik, penganut, dan pendukung budaya itu masih dalam keadaan mengetahui dan sadar tentang nilai-nilai budayanya sendiri dan juga menyadari bahwa di luar kebudayaannya ada kebudayaan asing dengan nilai-nilai tertentu pula yang sedang dan akan mempengaruhi. Realitas ambang dapat digambarkan sebagai suatu kenyataan dimana proses dialektika—proses tawar-menawar antara dua kecenderungan yang bertentangan sedang berlangsung di tengah masyarakat, pro dan kontra bahkan konflik bisa terjadi, kemudian akan melahirkan suatu sintesa, bisa jadi sintesa itu berupa kecenderungan baru yang lain diluar dua kecenderungan yang berseberangan tadi dan bisa jadi sintesa tersebut berupa solusi dalam bentuk kesepakatan sosial yang tidak ada hubungannya dengan kecenderungan-kecenderungan yang bertentangan tadi.

Dalam pengertian yang kedua, dalam arti khusus seperti yang pernah dikemukakan oleh Saini KM, seorang guru besar dan penulis buku Seni Teater dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung, katanya, dalam pementasan suatu karya seni di atas panggung, misalnya seni teater, pada dasarnya pada pementasan karya di panggung tersebut menyuguhkan dua macam realitas sekaligus, pertama, realitas pancaindera, dan kedua, realitas nilai. Realitas pancaindera disatu sisi adalah segala bentuk aktifitas dan/atau perilaku seniman di atas pentas yang dapat diserap oleh pancaindera penontonnya, sedangkan realitas nilai disisi lain adalah realitas yang disuguhkan melalui peran-peran yang dimainkan oleh pemain sandiwara. Misalnya, sebagai salah satu contoh adalah pementasan drama Malin Kundang. Realitas pancaindera pada pementasan itu antara lain adalah perilaku /tindakan Malin Kundang terhadap seorang wanita tua, ibu kandungnya sendiri. Malin Kundang sebagai seorang saudagar yang kaya-raya merasa malu kalau orang tua yang buruk rupa itu mengaku-ngaku sebagai ibunya. Realitas nilai yang dibawa oleh cerita/sandiwara itu antara lain adalah: “terkutuklah anak durhaka”. Pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa sebagai manusia yang berakal janganlah sekali-kali terjerumus menjadi anak durhaka.

Dalam hubungan dengan pembahasan dan analisis ini, pergaulan hidup dan interaksi sosial dalam masyarakat yang kami amati, kami anggap dan kami pandang sebagai sebuah panggung sandiwara, dimana di atas pentas itu ada beberapa realitas sekaligus yang sedang berlaku, pertama, realiatas ambang; kedua, realitas pencaindera; ketiga, realitas nilai (ketiganya jalan bersama pada waktu yang sama).

C. Orientasi Teori

Teori-teori yang dijadikan pedoman dalam membahas dan menganalisis perubahan kebudayaan ini diantaranya adalah teori-teori kebudayaan dan perubahan kebudayaan, serta teori perubahan sosial. Pengertian kebudayaan yang digunakan dalam pembahasan ini adalah pengertian kebudayaan menurut tokoh antropologi aliran ideasionalisme, seperti dikemukakan Goudenough (1961: 521), bahwa kebudayaan adalah sistem gagasan, sistem ide atau sistem kognitif dari suatu kelompok masyarakat, yaitu suatu sistem yang terdiri dari pengetahuan, nilai-nilai, dan norma-norma yang berada dalam alam pikiran individu-individu anggota masyarakat, yang tersusun sebagai suatu pedoman dalam mengatur pengalaman dan persepsi mereka, menentukan tindakan, dan memilih alternatif yang ada.
Berdasarkan pengertian kebudayaan yang dikemukakan di atas, maka perubahan kebudayaan suatu masyarakat dipahami sebagai perubahan pada tatanan ideasional—pada sistem gagasan, sistem ide, sistem kognitif, yaitu pada aspek pengetahuan, nilai-nilai, dan norma-norma yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Perubahan pada tatanan ideasional akan membawa pada perubahan pola perilaku, interaksi sosial, dan tindakan-tindakan; perubahan-perubahan itu akhirnya akan menimbulkan perubahan sosial.

Mengacu pada konsep kebudayaan yang dikemukakan di atas, berarti mempelajari perubahan kebudayaan suatu masyarakat dapat dilakukan dengan mempelajari perubahan sosial, yaitu perubahan pada pola-pola perilaku dan interaksi sosial anggota masyarakat yang bersangkutan, karena perilaku dan tindakan itu merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan (manunggal) dengan sistem kognitif; dengan kata lain, perilaku dan tindakan adalahg konsekwensi logis dari sistem gagasan sebagai pedoman hidup.

Berkenaan dengan perubahan sosial kami petik pandangan seorang ahli , katanya, perubahan sosial merupakan perubahan penting dari struktur sosial. Yang dimaksud struktur sosial adalah pola-pola perilaku dan interaksi sosial. Dengan demikian, perubahan struktur sosial adalah perubahan pola-pola perilaku dan interaksi sosial. Menurut pakar lain, perubahan sosial adalah variasi atau modifikasi dalam setiap aspek proses sosial, pola sosial, dan bentuk-bentuk sosial, serta setiap modifikasi pola antar hubungan yang mapan dan standar perilaku.

Perubahan kebudayaan menurut ahli yang lain dapat terjadi antara lain melalui proses akulturasi, asimilasi, dan inovasi; dan perubahan kebudayaan itu pada dasarnya merupakan modifikasi yang terjadi pada perangkat-perangkat ide dan disetujui secara sosial oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Perubahan terjadi antara lain melalui proses substitusi, inkrepentasi, difusi atau karena adanya inovasi, sementara perubahan tersebut melalui tahapan tertentu, seperti (1) tahap inovasi, (2) tahap pengintegrasian inovasi, dan (3) tahap terminal .
D. Perubahan Budaya: Perubahan World-View

Pertanyaan pertama sebagai pembuka diskusi diawal bulan Juli yang lalu adalah pertanyaan yang muncul dari penulis muda. Pertanyaannya adalah: “Sepengetahuan Bapak, bagaimana kondisi kehidupan kaum lelaki dan kaum perempuan di lingkungan pedesaan kita pada dekade 1980-an?” Jawaban: Pada dekade 1980-an relatif sudah sama dalam banyak hal, kalau lelaki bisa menuntut ilmu sampai ke Perguruan Tinggi, para wanita pun dapat melakukan hal yang sama; kalau lelaki bisa bekerja kantoran di kota, kaum wanita juga demikian. Namun demikian, dalam beberapa hal atau pada bidang atau ranah tertentu tetap masih ada perbedaan. Misalnya dalam hal tradisi merantau. Kaum lelaki dari pedesaan sudah sejak lama mempunyai kebiasaan pergi merantau sebelum masa perkawinan. Kecuali lelaki yang masih dalam pendidikan, pada umumnya kaum lelaki berusia muda tinggal bersama orang tua mereka di kampung. Kaum wanita, terutama yang masih berusia muda atau belum menikah, pada dekade 1980-an dianggap sebagai wanita tidak baik, dianggap sebagai wanita yang berperilaku tidak ideal kalau dia pergi merantau sendirian atau merantau tanpa suami atau merantau sebelum menikah.

Pandangan dunia kaum wanita umumnya di pedesaan—yang diterima secara turun-temurun sampai dekade 1980-an pada umumnya adalah bahwa yang bisa merantau secara bebas itu adalah kaum lelaki, sedangkan wanita tidak bisa demikian, wanita bisa pergi merantau kalau dibawa/diboyong oleh suaminya. Adalah merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial dan dianggap wanita berperilaku menyimpang (deviant) apabila ada seorang wanita muda yang nekad untuk pergi merantau sendirian pada masa itu.

Pada dekade 1980-an ini, kalau ada sepasang orang tua (ibu-bapak) yang melepas/mengizinkan anak wanitanya yang berusia muda untuk mencari pekerjaan, misalnya ke Malaysia atau ke Batam, maka kedua orangtua beserta anak wanitanya itu akan menjadi bahan gunjingan orang sekampung, keluarga mereka akan menjadi bahan cemoohan semua orang.
Bagaimana keadaannnya pada dekade 2000-an, setelah 20-an tahun kemudian, apakah ada perubahan? Ada perubahan, bahkan sangat kontras, kalau dulu menjadi bahan gunjingan—dalam artian mendapat nilai yang negatif, dewasa ini anak perempuan berusia muda malah dianggap biasa saja pergi merantau sendirian, bahkan menjadi TKI ke negeri jiran Malaysia dilepas oleh ibu-bapaknya tanpa ragu dan was-was. Perubahan pada tataran wordl-view ini terjadi melalui pengaruh budaya asing, dengan semakin canggihnya teknologi informasi dan komunikasi akses untuk mendapatkan informasi terbuka lebar, sehingga setiap orang mempunyai kesempatan untuk mengetahui perubahan dan perkembangan dunia luar. Setelah kami coba melakukan klarifikasi dan verifikasi kepada beberapa orang tua yang mengizinkan anak perempuannya merantau sendirian, terbukti bahwa mereka pada umumnya tidak merasa keberatan lagi kalau anak wanita muda mereka pergi merantau sendirian. Ketika ditanya, kenapa tidak keberatan lagi seperti dulu? Jawaban mereka hampir sama, bahwa merantau juga dapat dilakukan oleh wanita yang masih muda sepanjang tempat bekerjanya aman dan tidak merupakan tempat maksiat. Ukuran yang dipakai akhir-akhir ini adalah sepanjang tidak melakukan hal-hal yang maksiat. Sepanjang tidak berperilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai agama, seperti menjadi PSK, wanita penghibur, dan sejenisnya, maka seorang wanita boleh saja pergi merantau diusia muda, meskipun tidak mengikuti suami.


Pertanyaan mendasar dalam hal ini adalah: Apa perbedaan budaya berbusana para generasi muda 1980-an dengan budaya generasi muda dekade 2000-an? Budaya berbusana generasi muda 1980-an masih mengikuti aturan-aturan agama, menutup aurat dan berbusana sopan, lapang, tidak menunjukan perilaku aneh, sempit dan terbuka sebagian tubuh. Pada generasi muda dekade 2000-an terutama wanita sudah banyak yang meninggalkan nilai-nilai ideal yang dipelihara dan dipertahankan selama ini. Ukuran atau parameter yang menjadi dasar utama dalam melihat serta menilai budaya berbusana ini, terutama bagi kaum perempuan adalah masalah model yang dipakai. Sepanjang masih dalam aturan-aturan etika menurut tradisi, misalnya busana yang dipakai perempuan masih menutup aurat, maka busana tersebut masih dianggap sopan dan diterima secara sosial, tetapi kalau sempit, memperlihatkan bentuk tubuh dianggap melanggar etika berpakaian secara adat.

Pada tahun 1980-an, kalau ada seorang seorang wanita (tua atau muda) memakai celana panjang dengan dasar jean dan berjalan di pedesaan di Minangkabau, mereka akan dianggap sebagai wanita yang berperilaku menyimpang. Kalau memakai celana panjang dengan dasar jean itu seorang wanita berusia tua, mereka akan dianggap sebagai wanita-wanita yang “tidak baik”, namun lama-kelamaan perubahan cara dan kebiasaan berbusana itu juga terjadi, nilai berubah, cara berbusana dengan memakai celana panjang dasar jean sudah diterima secara sosial, sehingga sekarang pada dekade 2000-an ini cara berbusana dengan memakai dasar jean itu tidak menjadi masalah sama sekali.

Kalau pada dekade 1980-an ada seorang wanita muda yang berpakaian minim berjalan di tengah kampung, maka wanita muda itu akan dinilai masyarakat, termasuk oleh kaumnya sendiri (wanita) sebagai wanita tidak berakhlak, wanita liar, wanita yang tidak perlu dihargai dan dihormati. Namun pada dekade 2000-an ini kelihatannya perubahan berlangsung dengan sangat dahsyat, kaum wanita semakin berani membukia auratnya di depan umum, bahkan menjadi kebanggan bagi mereka kalau mereka memakai busana minim dan sempit di depan umum. Perubahan yang terjadi pada budaya berbusana ini berawal dari pengaruh nilai-nilai budaya asing yang merambah segenap aspek kehidupan, seperti nilai-nilai dalam aspek etika, dan estetika, aspek sosial, aspek ilmu pengetahuan, aspek ekonomi, aspek religi, dsb. Dengan kuatnya pengaruhnilai-nilai budaya asing itu akhirnya sedikit demi sedikit individu anggota masyarakat terpengaruh, lambat-laun terjadilah penerimaan unsur-unsur budaya asing tersebut.


E. Kesimpulan

Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil diakhir pembahasan ini, antara lain sbb.:
1. Bahwa threshold reality atau realitas ambang adalah suatu kondisi dimana budaya suatu kelompok masyarakat sedang berada dalam proses perubahan.
2. Dalam kondisi threshold reality itulah terjadinya proses dialektika, proses tawar menawar antara kecenderungan-kecenderungan yang bertentangan, bahkan pro-kontra itu bisa jadi sampai menjadi konflik yang dapat berakibat pada perpecahan di tengah masyarakat.
3. Bahwa perubahan budaya suatu kelompok masyarakat dapat berlangsung melalui berbagai cara dan proses, misalnya melalui proses substitusi, inkrepentasi, asimilasi, dan proses inovasi. Proses substitusi, yaitu penggantian unsur yang lama dengan unsur yang baru yang secara fungsional dapat diterima oleh unsur yang lainnya atau kehilangan suatu unsur atau seperangkat unsur-unsur tanpa ada penggantinya. Perubahan juga dapat berlaku melalui proses inkrepentasi, yaitu penambahan unsur-unsur baru dalam sebuah kebudayaan tanpa mengganti unsur-unsur yang sudah ada dalam kebudayaan tersebut. Perubahan dapat terjadi karena adanya persebaran unsur-unsur budaya dari luar, dan karena adanya upaya pembaharuan atau inovasi.
4. Setiap individu warg pendukung dan penganut budaya hendaklah waspada menghadapi kondisi yang disebut realitas ambang jika keaslian budayanya ingin dipertahankan.


Selengkapnya...

In the Age of Divorce

Oleh : Muhammad Ilham (Dosen Jur. SKI)

Gunnar Myrdal dalam bukunya Asian Drama : An Inquiry into the Poverty of Nations mensyinyalir bahwa kebangkitan ekonomi di benua Asia berkorealsi dengan memburuknya eksistensi institusi keluarga. Ini berbeda dengan beberapa penelitian dengan kasus Indonesia, diantaranya Sukrisno Hadi (2000), Sylvia Astuti (2001) dan Sylvia Chen (2005) - yang menyimpulkan bahwa ada korelasi signifikan antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat perkawinan.

Tingkat perekonomian semakin membaik, maka jumlah perkawinan akan semakin meningkat secara signifikan. Sebaliknya, dalam suasana ekonomi mandeg, jumlah perceraian justru menjadi tinggi. Dalam masyarakat yang "maju", sebagaimana yang disinyalir Myrdal, ekonomi membaik, ternyata situasi perkawinan bukan membaik, malahan memburuk. Di negara-negara maju (dan gejalanya sudah mulai terasa di Indonesia) perceraian - sebagaimana halnya perkawinan dan ulang tahun - telah menjadi industri atau bussines. Cerai dan embel-embelnya telah tumbuh berkembang menjadi industri bagi para lawyer, travel agent, percetakan kartu undangan, wartawan infotainment (khusus bagi untuk selebritis). Cerai yang dahulu dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan menjadi parameter status sosial seseorang, kini telah menjadi biasa. Bagi kalangan selebritis, perceraian berkorelasi dengan tingkat popularitas. Bahkan, perceraian yang baru "isu" bisa menjadi berita populer dan selebritis yang diisukan itu menjadi kerap tampil di media massa. "Cerita ranjang" yang seharusnya tidak dipublikasikan, justru dengan bangga dan bahagia diceritakan dan menjadi santapan publik.

Dalam tradisi ilmu sosiologi (khususnya sosiologi keluarga) belakangan ini, defenisi keluarga terpaksa "direvisi ulang". Pemahaman keluarga telah kembali kepada zaman biadab. Masyarakat, terutama di negara-negara maju, telah biasa mendapati keluarga yang "non-konvensional" seperti keluarga satu jenis (homoseksual atau lesbian), single parent, dan samen leven atawa kumpul kebo. Bahkan di Indonesia, beberapa selebritis memproklamirkan diri mereka sebagai pengikut Samen Leven dan dengan bangga memperkenalkan anak-anak hasil samen leven mereka. Ada pula selebritis yang tidak percaya sama sekali dengan institusi keluarga, membiarkan perutnya "buncit" tanpa diketahui siapa pemegang "hak paten"nya dan ketika ditanya "Why", maka mereka akan menjawab, "Saya aja tak ambil pusing dengan siapa ayah bayi yang saya kandung, mengapa kalian banyak yang usil". Enteng, tanpa beban. Dan ini hampir setiap hari ditonton oleh masyarakat. Krisis ekonomi adalah lahan utama bagi ahli ekonomi. Itu wajar dan sudah semestinya. Maka krisis keluarga ini harus menjadi lahan utama tokoh agama. Kesadaran semua tokoh dan pemimpin ummat beragama untuk reformasi agama (tentunya : berdasarkan tekstual dalam konteks perubahan sosial) akan dapat menjadi drug of choice (obat manjur) untuk melindungi anak cucu kita dari penderitaan "krisis keluarga" dalam membina keluarga in the age of divorce (tahun mewabahnya perceraian).

(Selengkapnya : bisa hubungi abahiffa@yahoo.com)
Selengkapnya...

Islam di Sicilia

Oleh : DR.H. Saifullah SA., MA (Dosen Jur. SKI - Pernah menjadi Pensyarah Kanan pada FPI UKM Malaysia 2006-2008)

Secara geografis, Sicilia merupakan sebuah pulau kecil di Laut Tengah, dipisahkan oleh Selat Messina dengan daratan semenanjung Italia. Pulau Sicilia bentuknya mendekati segitiga dan oleh sementara orang dianggap mirip ”sepatu bot Romawi”, dengan luas 9.926 mil persegi. Di sebelah utara Sicilia terdapat Teluk Palermo, dan ditimurnya Teluk Catania, kedua teluk ini agak curam, sedang didaerah selatan pantainya agak landai dan datar, wilayah barat berbukit-bukit memanjang sejajar dan berkaitan dengan Italia selatan. Di wilayah timur Sicilia terdapat gunung Edna dengan ketinggian 11.870 kaki diatas permukaan laut, salah satu gunung berapi yang aktif di dunia.

Pulau Sicilia, merupakan penghubung antara daratan Afrika dan daratan Eropah. Itulah sebabnya pulau ini dianggap sangat strategis dan dijadikan ”bamper” atau benteng pertahanan terdepan dari berbagai kekuasaan yang menguasainya. Pada permulaan perluasan wilyah Islam di Afrika Utara, Sicilia dijadikan benteng pertahanan selatan oleh Byzantium. Pada masa pemerintahan Constans II (641-648) dia sengaja meninggalkan pusat pemerintahannya di Konstantinopel, dan bertapak di Sicilia, dalam rangka memberikan perhatian penuh pada pertahanan Byzantium dari ”bahaya dari timur dan selatan” yakni Islam. Sebaliknya bagi kekuatan Islam, Sicilia juga merupakan posisi penting menghadapi bahaya dari kekuatan-kekuatan Eropah umumnya dan Italia serta Byzantium khususnya.
Karenanya semua pihak berpendapat bahwa pulau Sicilia punya posisi sangat penting dan strategis dan karenanya pula perlu diduduki dan ditaklukkan.


1. Berbagai upaya penaklukan
Ketika Umar ibn al-Khattab (634-644) memegang tampuk pemerintahan di Madinah, beliau telah merasa aman bila wilayah Islam dipisahkan oleh air (lautan) dengan wilayah musuh (Byzantium), oleh itu beliau menolak usul Muawiyah bin Abi Sufyan untuk menyerang Cyprus, walaupun pada waktu yang sama beliau mengabulkan permintaan Amr bin ’Ash untuk menundukkan Mesir.
Tetapi pengganti Umar yakni ’Utsman bin Affan melihat besarnya kemungkinan armada laut Byzantium sewaktu-waktu dapat mencapai wilayah Sirya dan Palestina, oleh itu ’Utsman menyetujui memperkuat perbatasan laut, dan bersetuju untuk mendirikan galangan kapal di Alekxandria, Mesir. Semenjak itu, maka secara beruntun armada Islam melakukan penyerangan ke beberapa pulau di Laut Tengah.
Cyprus direbut tahun 649, tahun 650 menduduki pulau Rhodes, dan pada tahun 652 Abdullah – panglima pasukan dari Mesir – memukul mundur pasukan Yunani dari pulau-pulau selatan Yunani.
Untuk pertama kali Muawiyah – Khalifah pertama bani Umayyah – mengirim satu armada langsung menuju Sicilia. Serangan pertama ini tidaklah dimaksudkan untuk menduduki Sicilia, tapi sekedar ”menakut-nakuti” pasukan musuh, dan membuktikan bahwa kekuatan Islam ”boleh”.
Peperangan yang lebih besar terjadi antara gabungan pasukan Muawiyah (dari Sirya) dan Abdullah (dari Mesir) dengan pasukan Kaisar Constans II (655), di sekitar Afrika Utara yang ketika itu masih dibawah kekuasan Byzantium. Pada 693-694 Hasan bin Nu’man dapat menduduki kota benteng Carthage, dan penguasanya melarikan diri ke Sicilia. Dengan kejatuhan Carthage, maka Laut Tengah telah menjadi ”wilayah laut” Islam. Kapal-kapal dagang bangsa Gothia, Franka dan Lombardia yang biasanya mondar mandir di Laut Tengah, telah menjadi sasaran pasukan Islam. Panglima-panglima Islam secara sporadis menyerang pulau-pulau Balearic, Sicilia dan Sardinia.
Penyerangan yang berarti terhadap Sicilia, dilakukan oleh Ubaydah bin Abd. Rahman pada 728, kemudian oleh ’Utsman bin Abi ’Ubaydah (729), dibawah pimpinan Mustanir bin al-Haris (729). Suasana saling serang dan kadang-kadang berdamai ini, menyebabkan kedua belah pihak memperkuat benteng pertahanan masing-masing. Pasukan Charlamagne dan Gregory memperkuat benteng di Sicilia, Ibrahim bin Aghlab memperkuat benteng di Qairawan (Afrika Utara), sebagaimana juga Harsma bin ’A’yan di Tripoli.
Bagi pihak Islam – baik di belahan timur : pantai Palestina dan Lebanon – maupun di Afrika Utara, dan beberapa pulau yang telah dikuasai Islam, posisi Sicilia yang masih berada di tangan Byzantium, bagaikan ”duri dalam daging”, yang selalu menjadi masalah. Sedang bagi pihak Byzantium, dengan telah dikuasainya sekeliling Laut Tengah oleh Islam, maka mempertahankan Sicilia merupakan keharusan.
Pada tahun 826, terjadi konflik internal pasukan laut Byzantium. Comander Euphemius, berontak terhadap atasannya Kaisar Michael II dari Contantinopel, dan berhasil merebut Syracuse, tapi kemudian Euphemius dikalahkan oleh perwira lain bernama Balata. Euphemius melarikan diri ke Afrika Utara dan meminta Dinasti Aghlab melakukan intervensi ke Sicilia. Inilah titik awal pendudukan Sicilia oleh Islam.

2. Penaklukan Bani Aghlab ke Sicilia
Euphemius yang merasa berjasa besar mempertahankan Sicilia, dikalahkan oleh Balata dan melarikan diri ke Afrika Utara, dan meminta Ziyadat Allah untuk melakukan intervensi ke Sicilia. Ziyadat Allah yang telah lama menunggu peluang ini, mengirim panglima Asad ibn al-Furat untuk menyerang Syracuse dan mengepungnya selama setahun. Diakhir pengepungan Asad ibn al-Furat meninggal dunia dan digantikan oleh Muhammad ibn Abi al-Jawari. Karena pasukan Islam belum terbiasa bertempur di laut, maka pertempuran dilanjutkan melalui pertempuran darat, yang justru membawa kemenangan Islam. Berturut-turut mereka menguasai Mineo, kemudian Girgenti dan kemudian mengepung Castrogiovanni. Euphemius yang selalu mendampingi pasukan Islam sejak dari Afrika Utara meninggal dunia dikota ini.
Walaupun kedudukan pasukan Islam kadang-kadang kalah dan mengundurkan diri dari suatu wilayah, tapi pada umumnya, sejarawan menyatakan bahwa pendudukan Islam secara tetap di Sicilia adalah pada 827, dibawah kepemimpinan Bani Aghlab. Posisi Islam semakin kuat setelah kota Palermo dapat diduduki pada 12 September 831, dan seterusnya menjadikan Palermo sebagai ibukota, dan mengangkat Abu Fihr Muhammad bin Abd. Allah sebagai wali (gubernur) Aghlab di Sicilia 832). Wali lain yang dianggap berhasil di Sicilia adalah Abu Aghlab Ibrahim bin Abdullah, yang berhasil memperluas wilayah ke hampir seluruh wilayah Val di Mazara (841), Messina (842-3), Rogusa (845), Lentini (846-7). Pada 851 Abu Aghlab Ibrahim bin Abdullah wafat dan digantikan oleh Abbas bin Fadl bin Ya’qub sebagai wali Aghlab di Sicilia.
Secara keseluruhan Sicilia merupakan satu wilayah yang paling lama bertahan dan paling sukar untuk ditundukkan, berbanding wilayah-wilayah lain di Persia, Afrika Utara dan Spanyol. Hal itu disebabkan karena hampir setiap kota memiliki kota benteng yang tangguh, yang dipertahankan oleh rakyatnya secara mati-matian. Bagi pihak pasukan Islam, yang terbiasa bertempur secara terbuka di lapangan terbuka, maka pertempuran dari benteng ke benteng disamping merupakan hal yang baru, juga sukar dimenangkan. Seluruh Sicilia baru dapat ditaklukkan pada 902, setelah bertempur selama 75 tahun.

3. Pemerintahan Islam di Sicilia
Pendudukan Sicilia baru tuntas pada 902. Pada 909, di Afrika Utara terjadi pergolakan pemerintahan pusat Bani Asghlab dan digantikan oleh Dinasti Fathimi, dan dengan sendirinya pemerintahan di Sicilia juga ikut beralih ke dinasti Fathimi. Dinasti Fathimi mengangkat Ali bin Ahmad bin Abi al-Fawaris sebagai wali di Sicilia, namun ternyata orang-orang Arab di Palermo tidak bersetuju menerima al-Fawaris, dan membai’at Ziyadat Allah bin Qurhub (seorang bangsawab dan pimpinan informal Sicilia) untuk memimpin Sicilia. Ibnu Qurhub mengembalikan ritual yang sebelumnya dijalankan menurut ajaran Syi’i, kepada ajaran Sunni, karena kebnayakan penduduk Muslim Sicilia adalah Sunni. Secara berturut-turut pernah memerintah Sicila adalah Abu Musa ad-Dayf (915-919) (seorang berber suku Kutama), Salim Rasyid (919-937), Khalil ibn Ishaq (937-940), Ibn al-Kufi dan Ibn Attaf (940-948), al-Hasan ibn Ali ibn Abi al-Husayn a;l-Qalbi (948-965),
Pada masa pemerintahan keturunan Qalbiyah maka tamadun di Sicilia berkembang pesat, lebih-lebih pada masa pemerintahan Abu al-Futuh Yusuf ibn Abd. Allah (989-998). Untuk menggambarkan betapa kemajuan peradaban Sicilia pada masa ini, seorang pengembara Ibn Hawqal (943-977) menyatakan bahwa dia menyaksikan betapa di kota-kota Sicilia terdapat bangunan, pengaturan tata kota, istana dan masjid yang membuktikan betapa Sicilia telah maju dan tinggi peradabannya, di Palermo terdapat istana para wali yang indah dan menawan, kota ini memiliki tiga ratus mesjid, dan masjid Jami’nya dapat menampung sampai tujuh ribu jama’ah, Palermo juga punya tiga ratus guru, seluruhnya melambangkan kemajuan Palermo dan Sicilia.
Walaupun tidak seluruhnya, kebanyakan gubernur dan wali di Sicilia, cukup disenangi rakyat, sehingga secara politis keadaan cukup stabil dan berkembang. Para wali di Sicilia ternyata memiliki wewenang dan kekuasaan yang cukup tinggi, terbukti dengan dapatnya mereka memutuskan untuk berperang atau berdamai dengan musuh, tanpa harus menunggu keputusan pemerintah pusat di Afrika Utara. Gubernur juga berwenang menetapkan pembagian harta ghanimah secara langsung di Sicilia, bahkan gubernur dapat mencetak mata uangnya sendiri dengan mengukir namanya sendiri di mata uang bersangkutan di Sicilia.
Adapun menyangkut pranata sosial di Sicilia, banyak meniru pranata sosial di wilayah Islam lainnya. Jabatan dan hirearkhi pemerintahan Islam banyak diadopsi oleh Sicilia, sampai pada masa pemerintaha Kristen belakangan, seperti Janib, hajib, Silahi dan Jamadar. Dalam pengaturan istana banytak mengadopsi istana Fathimi di Mesir dan sebahagian istana Abbasi di Bagdad, seperti dalam pengaturan fityan (pelayan) istana. Pada masa Qalbi, para gubernurnya diberi gelar kehormatan langsung oleh Khalifah di Fathimi di Afrika Utara, seperti Abu Yusuf diberi gelar Tsiqat al-Dawlah, Ja’far diberi gelar Sayf al-Millah, dan Taj al_dawlah, sedang al-Akhl mendapat gelar Ta’yid al-Dawlah. Sedang dinasti Aghlab tidak memakai gear, kecuali Wali atau Gubernur.

4. Kependudukan dan peta pemukiman antar agama
Sejak masa pemerintahan Bani Aghlab, Sicilia mempunyai penduduk yang sangat beragam, baik bangsa asli Sicilia sendiri, atau pendatang, baik beragama Islam atau non-Muslim. Secara etnik mereka ada yang bangsa Yunani, Lombardia, Yahudi, Arab, Berber, Persia dan Negro. Bangsa Arab yang merupakan kelas penguasa (the ruling class), terdiri pula dari suku-suku Arab utara dan selatan jazirah Arab, Quraysh, Qays dan Yaman.
Dalam hal keagamaan, khususnya menyangkut pemeluk Kristian dapat dibagi kedalam 4 kategori : (1). Mereka yang tetap mengakui kekuasaan Byzantium, (2). Mereka yang terikat dengan kekuasaan Islam, kepada mereka ini diwajibkan membayar jizyah dan kharaj yang diperbaharui setiap sepuluh tahun. (3). Kristian vassa yang tinggal di daerah administratif Islam yang mendapat perlindungan (zimmi), yang diatur dengan hukum yang berlaku diukalangan mereka sendiri. Orang Zimmi diberi hak dan kebebasan menjalankan ibadah dan agamanya dan dilindungi hak miliknya. (4). Hamba sahaya Kristian, baik yang tertawan dalam peperangan, atau dibeli dalam perdagangan hamba, dan mereka yang menjadi buruh dalam pertanian orang Islam.
Daerah yang padat dihuni pemeluk Kristian adalah bahagian timur pulau, khususnya Val Demone. Sedangkan kaum Muslimin memadati kawasan Val de Mazara. Pertambahan penduduk Muslim terjadi karena migrasi yang cukup besar dari Arab dan Afrika Utara.

5. Perkembangan Perekonomian, Pertanian, Perkebunan dan Industri
Seperti sudah diketahui bahwa wilayah Sicilia adalah daerah yang cukup banyak curah hujan, sehingga sesuai untuk pertanian dan perternakan. Oleh Dinasti Aghlab diperkenalkan irigasi baik sistem hidraulic (peralatan untuk mengangkat air ke taraf yang lebih tinggi) dari Persia, sedangkan sistem siphon yang berasal dari Roma yang sudah lebih dahulu ada tetap dipertahankan. Dengan adanya irigasi (hempangan) ini maka pertanian, perkebunan berkembang maju. Kelak kita mengenal berbagai istilah reservoir air, arus dan kekuatan air, ukuran-ukuran yang diguna pakai di Sicilia adalah berasdal dari bahasa Arab.
Tanaman kapas dan rami dikembangkan di Giattini. Jeruk tumbuh di beberapa daerah sehingga di eksport ke luar negara. Orang Sicilia dan Eropah pada umumnya mengenal tanaman tebu, baik cara menanamnnya, cara menggilingnya dalam penggilingan dan mejadikannya menjadi gula adalah dari bangsa Arab. Adalah juga orang Arab yang memperkenalkan tanaman lontar, ulat sutera dan kenari hijau.
Industri pertambangan termasuk emas, perak, timah, air raksa, belerang, nafta, vitriol, antimony dan tawas berkembang pada masa ini. Sebahagian produksi belerang, garam ammonium dan fosphat ditambang dekat Gunung Edna. Kayu dihasilkan di lembah Cefalu yang subur dan luas. Di Palermo dan Carleone terdapat pabrik pakaian tiraz, sejenis pakaian yang populer pada masa itu.
Perdagangan dan eksport hasil pertanian dan pertambangan dikelola oleh bangsa Arab, perdagangan biji-bijian, ternak dan budak belian dikelola oleh bangsa Persia, selebihnya dikelola oleh bangsa Sicilia sendiri. Perdagangan Sicilia begitu maju, karena letak Sicilia yang sangat strategis, menghubungkan antara berbagai kota pelabuhan di Laut Tengah. Baik kota-kota di Asia Barat, Afrika Utara, Spoanyol, Perancis Selatan, Balkan dan Yunani, Konstantinopel dan Italia sendiri dengan beberapa kota pelabuhannya.

6. Perkembangan Kebudayaan
Bagaimana perkembangan Ilmu Pengetahuan di Sicilia dapat kita simak dari laporan perjalanan Ibn Hawqal yang datang ke Sicilia pada masa pemerintahan Abu al-Qasim (sekitar tahun 872-3). Palermo digambarkannya sebagai kota yang dikelilingi parit dan tembok. Dalam kota terdapat lima daerah pemukiman yang disebut harat. Istana gubernur terletak di kota lama Palermo, dibahagian lain terdapat tempat kediaman Amir dan para pembantunya, disekitarnya terdapat kantor-kantor dan arsenal atau gudang senjata dan penjara. Tentang perbentengan digambarkan Ibn Hawqal sebagai bangunan kukuh yang diapit oleh menara-menara pengintai, dan didalamnya berdiam para bangsawan, kesatria dan pedagang kaya. Kemudian ada wilayah yang disebut harat al-saqaliba yang terletak dekat pantai, menjadi tempat pertemuan para pelaut dan pedagang-pedagang asing. Berdasarkan laporan Ibn Hawqal tersebut, berarti Sicilia telah mengenal Ilmu Tata Kota (Landscaping).
Bahasa Arab menjadi bahasa resmi, bahasa ilmiah dan lingua franca masyarakat Sicilia sehari-hari, budaya Arab menjadi pakaian dan kebangaan bangsawan-bangsawan Sicilia. Issak Velasquez dari Cordova pada tahun 946 menerjemahkan Injil dari bahasa Latyn ke Bahasa Arab, dan di Sicilia umat Kristian membaca Injil dalam bahasa Arab tersebut. Bahkan kemudian setelah penguasa Islam tumbang dan digantikan penguasa Kristian, budaya Arab tetap dipertahankan sebagai kebanggaan. Ketika Ibn Jubair berkunjung ke Sicilia tahun 1184, pada masa pemerintahan Raja Normandia William II (1166-1189), mengatakan bahwa wanita Kristian meniru pakaian model Arab, yakni jubah panjang, memakai jilbab atau kerudung, berinai danm berharum-haruman serta berhias dengan perhiasan model ketimuran.
Dibawah pemerintahan Normadia, berkembanglah budaya campuran antara Kristian dan Islam, antara Arab dan Sicilia, Barat dan Timur. Tapi bagaimanapun budaya Arab tetap dominan. Tiga orang raja Normandia yang beragama Kristian, memakai sistem organisasi, gelar, fungsi, pakaian dan upacara kebesaran diraja, yang berasal dari raja-raja Islam sebelumnya. Roger II menyebut dirinya al-Mu’taz bi Allah, William I memakai gelar al-Hadi bi Amr Allah, William II dikenal dengan julukan al-Musta’iz bi Allah. Sedang gelaran-gelaran lain yang sering digunakan sepereti al-Malik al-Mu’azzam al-Qidds. William I dan II amat dominan dipengaruhi oleh gaya hidup dan budaya Arab, berbanding Roger. William I dan II sama-sama fasih berbahasa Arab. William II mempunyai penampilan yang sangat menampakkan kemegahan seorang raja Islam. Frederick II (1215-50) sejak kecil telah diasuh menurut pendidikan Islam, namun pada akhirnya adalah Frederick II ini pula yang menyapu bersih umat Islam dari Sicilia. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa pada masa itu kebudayaan Arab sedang ”trendy” dan menjadi contoh model budaya tertinggi, sehingga digunapakai oleh penguasa Normandia.
Dalam surat-surat keputusan Resmi Kerajaan tercantum motto yang berdasarkan ayat Al-Qur’an surat An-Nhl : 22 (ilahukum ilahun wahidun) .
Ibnu Khaldun dalam analisisnya menyatakan bahwa adalah sangat wajar bangsa yang terjajah, meniru apa saja yang digunapakai bangsa Penjajah. Teori itulah yang berlaku di Sicilia.

7. Perkembangan Ilmu Pengetahuan :
Cikal bakal Ilmu Pengetrahuan di Sicilia sebenarnya telah bermula sejak ekspedisi pertama dilaksanakan dibawah kepemimpinan Asad bin al-Furat, yang ketika itu berumur tujuh puluh tahun. Dia dipilih oleh Ziyadat Allah antara lain karena keulamaaannya atau kesarjanaannya, bukan sekedar karena kemampuannya dalam bidang militer. Bersama Asad ikut pula sejumlah sarjana lainnya untuk memperkuat ekspedisi tersebut. Hal ini menunjukkan adanya perhatian dan penghargaan yang tinggi kaum Muslimin terhadap orang yang beriman dan berilmu.
Para Penguasa masa Aghlab dab Kalbiyah sama-sama pencinta ilmu pengetahuan. Sicilia dijadikan destinasi dan atau transit keilmuan disamping Spanyol (Andalusia) pada masa itu.
Ilmu Fiqh merupakan cabang ilmu yang banyak mendapat perhatian, karena digunakan dalam mengatur masyarakat yang plural dan majemuk, mendampingi Hukum Romawi yang digunapakai sebelum dan sesudah era pemerintahan Islam. Bahasa Arab – baik sebagai bahasa akademik yang digunakan sebagai bahasa pengantar dunia keilmuan, maupun sebagai lingua franca bahasa pergaulan sehari-hari – dipelajari, didalami dan dikembangkan. Penerjemahan dari dan ke bahasa Arab berkembang pesat, banyak buku-buku ditulis dalam bahasa Arab.
Al-Qur’an dan Hadits yang menjadi sumber hukum Islam, dipelajari dengan baik, bersamaan dengannya berkembang Ilmu Tafsir, Ilmu Musthalah hadits dan ilmu-ilmu bantu yang digunakan untuk mendalami kedua sumber utama hukum Islam tersebut. Ahli hadits dari Sicilia Abul ’Abbas banyak meriwayatkan hadits-hadits yang berasal dari Abu Dawud dan juga mengajarkan kitab Sejarah At-Tabari.
Dalam bidang ilmu kalam terkenal nama Abd al-Haq bin Muhammad dan Ibnu Zafar, sedang dalam bidang sastera tersebut nama Ali Hamzah al-Basri, seorang pengagum al-Mutanabbi. Dalam bidang sejarah pula tercatat nama Abu Zayad al-Ghumari, seorang Berber, bidang fisika terdapat tokoh Abu Sa’id Ibrahim dan Abu Bakar al-Siqili, dan bidang kedokteran Abu Abbas Ahmad bin Abd. Al-Salam, yang pernah menulis komentar tentang karya Ibnu Sina dalam bidang kedokteran.
Beberapa nama terkenal yang hidup dan berkhidmat di Sicilia atau wafat di Sicilia, antara lain : Muhammad ibn Khurasan seorang sarjana Al-Qur’an yang berasal dari Khurasan, belajar di Mesir dan Iraq, berkiprah di Sicilia dan wafat disini tahun 996. Ismail bin Khalaf yang juga pernah belajar di Mesir kemudian berkhidmat di Sicilia, tapi kemudian karena pergolakan politik hijrah ke Spoanyol dan kemudian ke Mesiur dan wafat di Mesir (1063). Bukunya yang terkenal Kitab al-’Uyun fi al-Qira’at, masih tersimpan di Berlin, Istambul dan Bankipor.
Yang paling terkenal adalah al-Syarif al-Idrisi yang hidup dan mengabdi pada masa Roger II pada masa pemerintahan Normandia. Idrisi menulis buku Nuzhat al-musytaq fi ikhtiraq al-afaq, atas pesanan dan biaya Roger II, sehingga kitab itu disebut juga al-Kitab al-Rujari, yang selesai ditulis tahun 1154. Ia seorang ahli Ilmu Bumi, yang menciptakan dan menghadiahkan bola bumi (globe) kepada Roger II.

Disamping itu juga berkembang ilmu filsafat, sejarah, ilmu bumi, astronomi, kimia, matematika, pertanian, ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan dan sebagainya.
Secara keseluruhan posisi Sicilia dalam peta keilmuan dunia waktu itu, adalah penghubung dan mata rantai transformasi ilmu dari dunia timur (Islam) ke dunia Barat (Kristian), disamping melalui Spanyol, dan wilayah pendudukan Turki Utsmani di Eropah Timur.


8. Perpecahan internal (dalam) penguasa Muslim sebagai faktor dominan mundurnya Islam di Sicilia.
Perpecahan bermula ketika Sicilia diperintah oleh al-Akhl dari Dinasti Kalbi, yang merupakan bahagian dari Dinati Fathimi di Mesir (Afrika Utara), muncul pemberontakan yang dipimpin oleh Abu Hafs yang didukung oleh Abdullah bin al-Mu’iz dari Dinasti Ziri (Afrika Utara). Dalam peperangan segitiga ini, al-Akhl dari Dinasti Kalbi dapat dikalahkan – bahkan dibunuh (1038) -- oleh pemberontak Abu Hafs dan Abdullah Dinastri Ziri. Namun ternyata kemudian Abdullah bin Mu’iz dapat diusir dari Sicilia oleh Hasan As-Samsam, putera mahkota Kalbi. Sekalipun Hasan as-Samsam dapat menguasai keadaan, Sicilia sudah tidak padu bersatu lagi.
Pasukan Byzantium dibawah pimpinan Maniakes bersama 15.000 pasukan menyerang dan mengepung Messsina selama hampir dua tahun. (1037-39). Tahun 1041 pasukan Byzantium menundukkan Rametta, Troina dan sekitar Edna.
Walaupun As-Samsam dapat merebut kembali kota-kota tersebut, tapi Sicilia telah pecah dan diperintah oleh masing-masing penguasa kota benteng (qa’id) yang memerdekakan diri, semisal Muluk al-Tawaif di Spanyol. Abdullah bin Mankut menjadi yang dipertuan di Trapani, Marsala, Mazara, Sciacca dan daratan di ujung sebelah barat. Ali bin Ni’ma atau Ibnu Hawwas menjadi yang dipertuan di Castrogiovanni, Girgenti dan Castronovo. Ibnu Maklati menjadi yang dipertuan di Catania. Bahkan As-Samsam kemudian dimakzulkan dari tahtanya, dan dengan demikian maka berakhirlah kekuasaan dinasti Kalbi di Sicilia. Di Palermo sendiri berkuasa sisa-sisa bangsawan yang lemah, dan seluruhnya tidak pernah bersatu menghadapi musuh bersama yakni Byzantium dan Normandia.


9. Penaklukan Sicilia oleh Normandia
Tanah asal atau leluhur bangsa Normandia adalah semenanjung Scandinavia. Bangsa Normandia adalah sebangsa “perompak dan bajak laut yang belum berperadaban”. Kebanyakan mereka menyerang suatu kota pelabuhan, merampas semua isi kota dan akhirnya setelah membakar kota tersebut, mereka kembali ke kapal-kapal bajak laut mereka. Begitulah bangsa Normandia terkenal sebagai bangsa perompak dan samun laut yang ditakuti. Mereka telah menyerang berbagai kota di Inggeris, Perancis, Andalusia, Italia Selatan dan kemudian Sicilia.
Pada awal abad kesebelas, ketika Normandia muncul di Italia Selatan. Italia tenmgah berpecah belah antara penguasa lokal, Byzantium dan Lombardia, sehingga dengan mudah dapat menduduki Italia (1071).
Bangsa Normandia yang telah berkuasa di Italia Selatan, merasa terancam dengan kedudukan pasukan Islam di Sicilia, disamping itu juga tergoda oleh kesuburan dan kekayaan Sicilia.
Pada tahun 1053-1060, di Sicilia muncul seorang qaid baru bernama Muhammad bin Ibrahim as-Suma atau yang lebih dikenal dengan as-Suma. As-Suma sangat ambisius dan haus kuasa, untuk itu dia menaklkukkan Maklati di Catania, mengalahkan Ibnu Mankut di sebelah barat Sicilia, menyerang Ibnu Hawwas di Castrigiovanni. Tapi ternyata sejarah tidak berpihak kepadanya, As-Suma hampir dikalahkan oleh pasukan gabungan Ibnu Maklati, Ibnu Mankut dan Ibnu Hawwas. Merasa terjepit As-Suma mengundang bangsa Normandia untuk menyerang Sicilia. Inilah titik paling tragis kehancuran Islam di Sicilia, yakni ketika As-Suma mengundang Normandia untuk mengalahkan pasukan Islam saudaranya sendiri.
Bagi Normandia, undangan As-Suma bagaikan pucuk dipinta ulam tiba, pada Februari 1061, Roger menyerang Messina, dan setelah bertempur habis-habisan Roger dapat menguasai Messina, dan satu demi satu kota dapat ditaklukkannya, selama peperangan yang memakan waktu tiga puluh tahun. Dan pada 1091 berakhirlah kekuasaan Islam seluruh Sicilia dan seterusnya berada dibawah kekuasaan Normandia.

10. Umat Islam dibawah pemerintahan Kristen
Mulai tahun 1091 maka umat Islam di Sicilia, secara keseluruhan dan serta merta berada dibawah kekuasaan Penguasa Normandia yang Kristian. Walaupun pada awalnya dan di negeri asalnya bangsa Normandia kurang berperadaban, tapi setelah beberapa tahun berasimilasi dengan masyarakat Muslim Sicilia, mereka berangsur-angsur mulai menghargai peradaban, dan kemudian mencintai ilmu pengetahuan
Perbedaan perlakuan penguasa Katholik Spanyol dengan Pengusa Kristian di Sicilia adalah bahwa di Spanyol terjadi pemaksaan pertukaran agama (pemurtadan/konversi) sedang di Sicilia perlakuan agak lebih lunak, tapi tetap memberikan tekanan pada penduduik Muslim. Penguasa Normandia membolehkan umat Islam tetap berada dalam agama Islam, tapi memberikan kesempatan dan peluang bagi masyarakat Kristian secara berangsur-angsur menduduki wilayah Muslim. Penduduk Lombardia dalam jumlah besar berimigrasi ke wilayah-wilayah Butera, Lazza, Randazo, Vicari, Capizi, Nicosia dan Muniaci. Pada akhirnya penduduk Muslim terjepit dan akhir sekali terpaksa pindah meninggalkan Sicilia. Walaupun penguasa puncak tetap toleran pada umat Islam, tapi “baron-baron” yang menjadi kaki tangan kerajaaan bertindak melampiaskan kemarahannya pada Umat Islam. Dalam setiap terjadi kerusuhan atau masalah sosial, maka yang menjadi sasaran dan kambing hitam adalah umat Islam.


11. Pengusiran Umat Islam dari Sicilia
Semakin hari semakin tekanan dan penyiksaan terhadap Umat Islam semakin keras, pada tahun 1160 Tancred of Lecce melakukan pembunuhan massal di Butera, dan pada waktu kematian William II (1189), sekali lagi Tancred of Lecce melakukan pembunuhan massal terhadap sekitar seratus ribu umat Islam di Palermo. Hal yang sama berlaku hingga tahun 1190,
Puncak tekanan adalah pengusiran umat Islam di Sicilia yang dilakukan oleh Frederick II secara beruntunm pda 1221, 1222 dan 1224. Pada 1224, sisa-sisa terakhir umat Islam di Sicilia dibuang ke Lucera di Apulia, dan pada 1246 tidak ada lagi sisa umat Islam di Sicilia.


Selengkapnya...

Perubahan Sosial dalam Perspektif Islam

Oleh : Lisna Sandora, M.Pd (Dosen Jur. SKI)

Dunia, menurut Marx, adalah muara akhir dari hidup manusia. Soal akhirat, surga, neraka, Tuhan, baginya hanya merupakan proyeksi manusia. Tuhan-menurut Marx-sebenarnya tidak ada. Tuhan ada karena diciptakan oleh pikiran manusia. (God is created by man). Karena manusia takut menhadapi masa depan yang tak jelas, maka ia menciptakan dan mengakui Tuhan untuk menentramkan hatinya. annya dikesampingkan begitu saja.

Moralitas dan Marxisme, dipakai sekedar untuk legalisasi tujuan-tujuan material. Mialnya pemihakan terhadap kelas proletar. Sampai di sini memang masih terasa nuansa moralnya. Namum follow up dari pemihakan itu justru mengidap suatu metodologi yang sangat tidak bermoral: mengahncurkan kelas borjuis. Diakhir riwayat, kelas proletar itu mesti menjadi borjuis-borjuis baru yang tak kalah kejam dalam menghisap darah kelas lawannya.
Islam selalu melangkah dengan standar moral illahiyah yang berintikan tauhidillah, pengesaan dan penomorsatuan Allah di atas segalanya. Seluruh bangunan konsepsi Islam dinafasi oleh struktur nilai ini. Dalam urusan penjelasan masyarakat, perubahan sosial, dan pemerataan rizki ekonomi tidak ada sandaran lain kecuali paradigma Rabbaniyah, tata nilai sempurna yang datang dari Rabbul ‘Alamin.
Di dalam Islam, teori klassentrijd (perlawanan kelas) seperti ajaran Marx, adalah penalaran yang syadz (asing, tak dikenal). Ada baiknya dinukil pendapat Dr. Kuntowijoyo di sini, “Di dalam Islam, pemihakan kelas diakui sah adanya. Tapi elan vital yang mendasari pemihakan tersebut lebih didasarkan pada semangat untuk menegakkan keadilan, bukan perjuangan kelas untuk melenyapkan kelas yang lain. Islam mengakui diferensiasi dan bahkan polarisasi sosial. Banyak ayat al Qur’an yang memaklumkan dilebihkannya derajat sosial, ekonomi atau kapasitas-kapasitas lainnya dari sebagian orang atas sebagian yang lainnya. Kendatipun demikian, ini tidak dapat diartikan bahwa al Qur’an mentoleransi sosio-inequality”. Lebih tegas lagi, perbedaan status sosial dalam masyarakat merupakan ujian keimanan agar jelas siapa yang mengikuti syari’at Allah dan siapa yang kufur. Firman Allah: “Dan Dia-lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Amin: 165).
Adanya struktur masyarakat yang bertingkat lebih dimaknai sebagai perangkat normatif; Bukan pada obyektivitas sikon tinggi rendahnya jenjang derajat ekonomi, sosial, politik dan seterusnya. Oleh karena itulah, ukuran manusia dihadapan Allah Adalah Taqwa (QS. 49:13), bukannya berhenti pada nilai-nilai bendawi yang telah diraih. Pada dasarnya, menjadi orang miskin ataupun aghniya’ (kaya), masing-masing dari keduanya memiliki mas’uliyah (tanggung jawab) yang sama dihadapan mahkamah Allah. Dalam Islam, kaum aghniya’ tidak dengan sendirinya berderajat lebih tinggi dari kaum masakin. Dan kaum masakin tidak digitimasikan untuk iri hati atas previlis-previlis kaum aghniya’! Tidak. Malah sebaliknya, orang-orang kaya dibebani amanah untuk mendistribusikan kekayaannya secara adil. Sebab pada hakikatnya, konsep pemilikan mutlak tidak diakui dalam Islam. Nabi Muhammad Saw. bersabda ketika beliau hendak menegaskan amanah da’wah kepada Mu’adz bin Jabbal ke negeri Yaman. Setelah menda’wahkan syahadatain dan perintah menegakkan shalat, Muadz diperintah untuk memungut zakat atas harta mereka. “Tu’khadzu min ghaniiyihim, fa ruddu’ala raqiirihim”. (Diambil zakat itu dari orang-orang kaya mereka, lantas dikembalikan kepada orang-orang fakir mereka). (HR Bukhari).
Kata fa ruddu (maka dikembalikan) dalam hadits di atas mengandung konotasi bahwa harta kekayaan di tangan aghniya’ pada hakikatnya ada hak orang miskin di dalamnya. Sehingga lafadz yang dipakai Rasulullah Saw. Adalah fa ruddu (dikembalikan) seakan-akan beliau ingin menyatakan bahwa harta itu juga milik fakir miskin. Kata ini sekaligus menunjukkan bahwa zakat buka merupakan kebaikan hati si kaya kepada si miskin-seperti infaq, shadaqah-melainkan lebih merupakan kewajiban sistem yang digariskan Allah bagi kelas kaya yang dikaruniai kelebihan harta benda untuk menegakkan keadilan sosial. Pemihakan yang dilakukan Islam terhadap mustadh’afin dalam konteks zakat ini, bukanlah bertujuan untuk menghancurkan kelas kaya. Namun lebih menitikberatkan pada penciptaan struktur sosial yang adil, merata dan distribusi ekonomi yang sehat.
Khalifah Abu Bakar memerangi orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat adalah upaya kekuasaan Islam untuk memberlakukan hukm Allah semata dan bukan untuk menghancurkan orang-orang kaya seperti dalam Marxisme. Juga terhadap gerakan yang dilancarkan Abu Dzar al-Ghifari di zaman Mu’awwiyah. Bukanlah disemangati oleh kebencian terhadap para aghniya’. Melainkan lebih diilhami oleh panggilan suci menegakkan hukum Rabbani dalam kehidupan nyata. Kritik Abu Dzar terhadap penguasa waktu itu semata-mata disebabkan oleh keinginnannya yang tulus agar konsentrasi modal dan kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang diakhiri. Dalam memetakan perbedaan struktur sosial, Islam tidak menghadapkannya sebagai kemestian dikotomis, tapi fungsional. Masyarakat tidak diajari untuk mengilahkan harta. Sebaliknya, mereka tidak didik untuk mencintai kemiskinan yang fatalis. Namun, Islam meletakkan potensi ekonomi secara proporsional.
(Lebih lengkap : hubungi fiba.pdg@gmail.com / abahiffa@yahoo.com
Selengkapnya...

Selasa, 27 Oktober 2009

Peranan Klan Al-Qadri dalam Pengembangan Islam di Pontianak

Oleh : DR.H. Saifullah, MA (Dosen Jur. SKI-Pensyarah Kanan JPTI-FPI UKM Malaysia 2006-2008)

Orang-orang Arab yang sekarang banyak bermukim di Nusantara, kebanyakan berasal dari Hadramaut. Hanya beberapa keluarga saja yang berasal dari Muskat, di tepian Teluk Persia, Yaman dan Hejaz. Dengan memperhatikan populasi, pengaruh dan peranan mereka dalam menyebarkan budaya Arab dan Islam, kepada masyarakat lokal, dapatlah disimpulkan bahwa pendatang dari Hadramaut lebih menonjol dan dominan, berbanding pendatang Arab dari daerah lain. Hanya sayang sekali sedikit sekali tulisan atau penyelidikan yang berbicara tentang pendatang dari Hadramaut secara lebih mendalam dan spesisifik.
nan
Tulisan lebih lengkap, silahkan hubungi : fiba.pdg@gmail.com/abahiffa@yahoo.com
Selengkapnya...

Senin, 26 Oktober 2009

Problematika Epistimologis Studi Naskah Melayu

Oleh : Ahmad Taufik Hidayat, M.Ag (Dosen Jur. BSA)

Bila menyebut naskah Melayu, maka orang akan dihadapkan dengan dua pertanyaan penting: Apakah ruang lingkup naskah Melayu itu? apakah batasan geografis atau batasan kultural dalam hal ini agama Islam sebagai sebuah konsep keyakinan masyarakat Melayu? Bahasa atau logat apa yang dipakai dalam naskah Melayu? Arab, Jawa, Makasar, Sunda, Rejang atau perpaduan antara unsur lokal dan Asing?

Harus diakui, sulit menjawab petanyaan ini. Kebanyakan ahli hanya memakai satu pedoman, misalnya batasan geografis, persamaan kultur dan sebagainya. Tetapi pengertian naskah Melayu itu sendiri tentu belum sepenuhnya terjawab dengan hanya memilih satu pilihan saja. Hal itu harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Melayu di satu sisi, memiliki karakteristik yang beragam seiring dengan perkembangan yang mewarnai pembentukkan budaya yang disebut Melayu itu sendiri. Sedangkan di sisi lain, perkembangan ragam kebahasaannya mesti dilihat sebagai garis kontiunitas warisan-warisan lama yang memperkaya kultur Melayu. Keduanya dapat diletakkan dalam satu paket, dinamika Melayu. Namun sebelum sampai pada pembahasan tentang pemahaman naskah Melayu, perlu dipisahkan terlebih dahulu antara pengertian Melayu sebagai satu suku bangsa, dengan pengertian Melayu sebagai kultur yang luas, baik menyangkut perkembangan budaya tulis ataupun batasan geografis. Yang pertama, Melayu sebagai suku bangsa, yakni Melayu dalam batasan sempit. Sama dengan suku-suku lainnya di nusantara, seperti Jawa, Minang dan lain sebagainya. Melayu dalam pengertian demikian bukanlah yang dimaksud dalam buku ini. Sedangkan yang kedua adalah Melayu dalam batasan luas, yakni Melayu dengan segala dinamika sejarahnya. Pengertian terakhir inilah yang menjadi concern penulis dalam buku ini.
Ras Melayu yang mendiami kawasan maritim Asia tenggara terdiri dari ratusan etnis dengan variasi logat yang berjumlah ratusan pula. Akan tetapi untuk beberapa abad ke belakang kerajaan-kerajaan bandar di kawasan pesisir telah terikat ke dalam agama Islam dan secara bersama-sama menggunakan bahasa Melayu sebagai alat komunikasi dalam perdagangan dan diplomasi. Di seluruh wilayah ini—dari Sumatera hingga Philipina Selatan—terdapat kultur penulisan dan penyebaran naskah yang bisa diasosiasikan bercorak Islam: ditulis di atas kertas dengan menggunakan aksara Arab, lay out kitabnya yang khas bergaya Islam, dekorasi simetris dengan dua halaman serta kolofon berbentuk segi tiga yang tampak sangat indah.
Aktifitas penulisan ini menjadi sebuah warisan budaya yang secara umum dapat dianggap karya sastra. Sedangkan kolaborasi antara tardisi penulisan dengan kultur Islam, kenyataannya melahirkan karya sastra yang sangat kuat ciri keislamannya. Hal ini lah yang menyebabkan ras Melayu dan karya-karya kesusasteraannya sangat identik dengan Islam. Maka tidak lah berlebihan bila banyak kesimpulan yang mengatakan bahwa yang memperkuat basis kultural ras Melayu, terutama dalam ranah aktifitas tulis menulis, adalah Islam. Atau boleh dikata bahwa Melayu secara keseluruhan telah berhutang budi sangat besar atas keberadaan Islam di wilayah ini yang telah memperkenalkan bahasa Arab, sehingga mereka menggunakan bahasa tersebut sebagai bahasa pengantar dan dengan sarana bahasa Arab itu pula mereka memajukan peradaban mereka.
Tetapi, untuk sebagian besar wilayah pedalaman, agaknya ras Melayu sudah mendapat sentuhan aksara sansekerta. Beberapa karya ketatanegaraan dan prasasti sebelum abad ke-16 banyak ditulis dalam bahasa palawa. Namun setelah abad-abad itu, seiring dengan dominannya kultur Islam, maka karya-karya yang muncul pada rentang abad ke-17 hingga abad ke-19, umumnya beraksara Arab dengan logat Melayu dan Arab. Hal ini mengindikasikan bahwa sebelum Islam secara kultural mewarnai budaya lokal, telah terjalin proses penyerapan bahasa Sansekerta baik pra maupun pasca pamalayu. Penting dicatat, bahwa karya-karya dalam bahasa palawa pun akhirnya mendapat sentuhan Islam dan bercorak Islam. Mengapa hal itu bisa terjadi? untuk mengetahui lebih jauh, ada baiknya kita menelaah sedikit ke belakang, yakni masa-masa sebelum Islam secara kultural mendominasi budaya Melayu di kawasan Nusantara.
Pada prinsipnya, kerajaan-kerajaan Hindu di kawasan Nusantara mendapat pengaruh dari India. Namun tidak ada catatan yang pasti mengenai kapan terjadinya atau awal mula pengaruh tersebut. Bukti yang sedikit otentik adalah adanya penemuan tertulis berangka tahun 400 M berupa prasasti Yupa dari Raja Mulawarman di Kutai Kalimantan Timur. Ada dugaan kuat, bahwa sejak saat itu pengaruh India sudah masuk ke wilayah Nusantara. Namun berdasarkan penemuan lain, karya kesusasteraan Jawa yang paling tua baru muncul 4 abad setelah itu, yakni sebuah teks berangka tahun 856 M yang berisi puisi 29 bait dengan menggunakan aksara Jawa Kuna. Teks tersebut ditulis di atas batu berukuran 112 x 51 cm. Walaupun beraksara Jawa kuna, karakter Sansekerta India terlihat masih dipakai dalam naskah tersebut.
Mulai dari tahun 400 M hingga 1755 kesusasteraan Jawa mengalami setidaknya tiga periode penting: Periode pra sejarah yang berakhir tahun 732 M, periode Hindu-Jawa yang berakhir dengan runtuhnya kerajaan Maja Pahit tahun 1527 dan periode perkembangan kejayaan kerajaan Islam sekitar tahun 1511 hingga 1755. Pada rentang waktu itu kesusasteraan Jawa telah mengalami beberapa pergeseran dari segi corak, isi maupun format dan media penyampaiannya.
Pada periode pertama produk yang lahir adalah berupa kesusasteraan lisan yang disampaikan secara turun temurun. Dari segi kandungan dan bahasa yang dipakai, kesusasteraan pada periode ini dapat digolongkan kepada 2 corak; profan dan sakral. Sastra profan menggunakan bahasa sehari-hari, sedangkan sastra sakral menggunakan tinggi yang dikenal dengan bahasa Sangiang.
Memasuki periode ke-2, periode Hindu-Jawa, sistem aksara mulai banyak dipakai dalam penulisan karya sastra. Periode ini dapat pula dibagi kepada 2 periodeisasi pula: periode Jawa Tengah dan periode Jawa Timur.

Periode Jawa Tengah

Kesusasteraan yang muncul pada periode ini dikenal dengan sebutan karya sastra Jawa kuna. Umumnya berangka tahun abad ke-8 dan ke-9 M. Beberapa sastra awal dapat disebut misalnya, Inskripsi Sanjaya tahun 732 M, inskripsi Karang tengah yang berangka tahun 824 M serta inskripsi D 28 yang berangka tahun 856. Kesusasteraan Jawa Kuna awal ini banyak mendokumentasikan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Jawa pada masa itu. Inskripsi Sanjaya secara garis besar menekankan figur raja Sanjaya sebagai tokoh yang memiliki kekuatan Siwa. Namun dari aspek struktur kebahasaannya, inskripsi ini terlihat masih sangat tergantung dengan kesusasteraan India. Pengaruh itu sangat jelas terlihat pada tembang puisi yang menggunakan bahasa Palawa yang digubah mirip atau persis dengan puisi India Sardulawikridita, terutama pada bait 1-7 dan bait 12, Sragdhara pada bait 3,8 dan 11, puisi Vasantatilaka bait ke 9 dan Prhatiwi pada bait ke 10. Adapun inskripsi Karang Tengah memuat secara umum berita tentang pembangunan Candi Borobudur, Mendut dan Pawon. Sedangkan inskripsi D 28 yang sekarang disimpan di museum Nasional Jakarta berisi tentang pembuatan 3 lingga di Jawa. Kedua inskripsi ini telah merintis interes yang besar terhadap kandungan lokal baik dari segi kebahasaan maupun penyerapan informasi yang bersifat lokal.
Untuk jangka waktu yang lama, kultur kesusasteraan yang dibangun banyak memanfaatkan bangunan-bangunan suci semacam candi. Dari sini lahir karya-karya besar, meskipun pada dasarnya bersumber dari ajaran Hindu di India, yang telah mengapresiasi warna lokal. Karya-karya yang masyhur dari periode Jawa Tengah ini antara lain:
• Ramayana, karya epos kakawin (secara harfiah berarti lagu atau sajak). Meski sama dengan Ramayana sansekerta di India, tetapi muatan sejarah dalam sastera kakawin Jawa kuna ini sangat kental.
• Mahabharata, sebuah cerita peperangan besar dalam keluarga Bharata. Merpakan epos terbesar dalam sastra dunia karena berisi 180.000 puisi. Versi aslinya terangkum dalam 18 kitab.

Periode Jawa Timur

Pada periode ini, karya sastra Jawa terlihat sudah sangat otonom dalam pengertian menjangkau aspek yang lebih luas dan lebih menyerap prristiwa-peristiwa yang berlangsung. Pada periode ini pula lahir karya-karya ketatanegaraan yang sangat penting dalam pembentukkan struktur masyarakat Jawa pada tahap-tahap selanjutnya. Beberapa karya yang lahir pada masa ini antara lain:
• Pararaton, berisi tentang raja Singosari dan pernikahan ken Angrok dan ken dedes, isteri Tunggul Ametung.
• Negarakertagama-kakawin, berisi tentang perjalanan Hayam Wuruk yang ditulis pada tahun 1365
• Mahabharata Kakawin. Berbeda dengan Mahabharata dari periode Jawa Kuna, kitab ini ditulis dalam bentuk prosa.
• Arjuna Wiwaha karangan Mpu Kanwa, berisi tentang perkawinan Arjuna dengan Suprabha
• Bharatayuda kakawin karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Berisi tentang peristiwa peperangan keluarga di padang Kuru Ksetra yang terjadi karena perebutan kekuasaan, kerajaan Hastina.
• Hariwangsa kakawin karangan Mpu Panuluh. Berisi tentang cerita perkawinan Kresna dan Rukmini.
• Sutasoma, ditulis oleh Mpu Tantular pada masa Hayam Wuruk. Banyak memuat prinsip ketatanegaraan.
Selain karya-karya berupa naskah, kultur Jawa Timur (sering juga disebut Jawa tengahan; maksudnya masa pertengahan dalam kebudayaan Jawa) mewariskan ragam sastra lisan berupa kidung dan cerita-cerita, baik dalam format prosa maupun puisi.
Di tengah semaraknya tradisi sastra Jawa abad pertengahan ini, Islam mulai menyentuh kebudayaan Jawa. Walaupun naskah-naskah yang berbau Islam di Jawa marak sekitar awal abad ke-16, namun penetrasi kultural tersebut sudah berlangsung jauh lebih awal dari abad itu, tepatnya sekitar tahun 1478 M. Setidaknya ada dua peristiwa penting yang patut dicatat mengawali perubahan agama di Jawa dari Hindu ke Islam:
1. Runtuhnya kerajaan Majapahit oleh pasukan muslim pada tahun 1478 dalam sebuah peperangan, di mana pasukan Muslim di bawah kepemimpinan Raden Patah bersama dengan adipati Terung, Tuban, Surabaya, Gresik dan Madura. Dalam keterangan yang diperoleh dari cerita sumir, terlihat bahwa peperangan ini sesungguhnya lebih bercorak pemberontakan, karena sebelumnya, wilayah-wilayah yang tersebut di atas pada dasarnya berada di bawah kekuasaan Majapahit.
2. Pembangunan mesjid Demak yang ditengarai terjadi pada tahun 1506 M. Peristiwa ini tercatat Dalam babad Tanah Jawi dengan penekanan keterlibatan 9 wali dalam poses pembangunannya.
Kedua peristiwa inilah—meminjam istilah Titik Pudjiastuti—yang menjadi momentum perubahan agama di Jawa yang sangat penting, karena setelah masa-masa itu, kesusasteraan Hindu-Jawa boleh dikata tidak lagi memiliki gezah-nya dalam peradaban yang sudah berubah. Lalu mengapa Majapahit (baca:Jawa) menjadi penting diletakkan sebagai isyu perubahan corak naskah Melayu? Jawabannya jelas, bahwa setelah Majapahit runtuh, praktis pengaruh kekuasaannya untuk kawasan Melayu juga meredup dan bahkan padam. Demikian pula pengaruh kesusasteraannya, lambat laun namun pasti, segera pudar dari kancah kesusasteraan Melayu. Apalagi setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, kerajaan Aceh di Utara Sumatera berjaya menjadi kerajaan Islam paling kuat di wilayah Melayu secara khusus dan di wilayah Asia Tenggara pada umumnya. Kenyataan ini jelas membawa dampak besar bagi perkembangan paradigma kesusasteraan di wilayah ini, terutama pada abad ke-16 dan ke-17. Dengan terbukanya akses dagang antara negeri-negeri Muslim, maka aktifitas tulis menulis juga diakselerasi oleh gelombang besar pedagang-pedagang Arab, Persi, India dan Melayu Islam yang tertarik melakukan kontak dagang dengan Jawa, sebagai wilayah yang juga secara kontekstual telah tunduk dalam aturan perkongsian dengan penguasa Islam di Aceh.
Selain itu, penting dicatat bahwa kontak perdagangan juga berakibat pada akulturasi antara masyarakat pendatang di Jawa yang umumnya mendiami pantai Utara pulau ini dengan penduduk lokal, di mana para pedagang tersebut banyak yang menetap dan akhirnya menikah dengan wanita Jawa. Iklim seperti ini membantu terciptanya etnis yang heterogen yang relatif terpelajar dalam pengertian banyak bersentuhan dengan dunia tulis menulis. Dengan adanya pergesekan budaya antara Melayu Islam dan Jawa tentu berakibat pula pada perkembangan sastra Jawa. Berbeda dengan sastra pedalaman yang bercorak aristokrat, karya-karya sastra yang muncul di wilayah pesisir lebih kaya dengan sentuhan khas Islam dalam warna lokal, yang memiliki ciri-ciri antara lain:
• Sebagian besar adalah hasil terjemahan atau saduran dari karya-karya berbahasa Arab atau Parsi. Aktifitas penyaduran ini dilakukan oleh orang Melayu yang belajar dan menetap dalam jangka waktu yang lama di tanah Arab dan para pedagang dari India Selatan dan tanah Arab yang datang ke pelabuhan dan bandar-bandar di kawasan Melayu. Para pelajar melahirkan karya-karya berupa kitab keagamaan. Sedangkan para pedagang mewariskan karya-karya berupa hikayat yang lebih bernuansa hiburan. Karya saduran kelompok terakhir ini sering disebut sebagai karya sastra dagang.
• Hampir semua hasil karya naskah Islam Melayu tidak diketahui nama pengarang dan penanggalannya.
Setelah Majapahit runtuh, adalah kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di pulau Jawa yang juga memberi andil signifikan terjadinya transmisi nilai-nilai keislaman di Pulau Jawa, khususnya wilayah pesisir. Dari sini perkembangan tradisi penulisan ke wilayah timur Nusantara mulai bergeliat. Bertebarnya naskah-naskah Islam di kepulauan Lombok dan Bima mungkin merupakan indikasi paling kuat untuk menangkap gejala ini. Setidaknya dari perspektif budaya, naskah-naskah tersebut sulit dilepaskan dari pengaruh jawa Islam secara spesifik. Meski juga memuat unsur lokal sebagai manifestasi dari proses akulturasi, namun banyaknya persamaan corak kesusasteraan antara Jawa Islam dan wilayah Nusa tenggara adalah faktor penting lain yang bisa diajukan sebagai mata rantai perjalanan naskah-naskah Islam ke wilayah Timur.
Sumber penting yang menjelaskan islamisasi di wilayah Lombok dan penyebaran selanjutnya Islam ke wialayah Timur adalah Babad Lombok. Di dalamnya disebutkan bahwa agama Islam dibawa dari Jawa kemudian berkembang ke Nusa Tenggara Kalimantan dan terus ke Sulawesi. Selain keterangan dalam babad tersebut, dari segi kebahasaan penggunaan bahasa Kawi jelas menyadur pola puisi Jawa kuno. Meski beberapa jenis aksara ditemukan dalam penulisan naskah di Lombok, seperti Jejawen, Arab, Bali dan dalam jumlah yang sedikit, aksara Bugis. Tetapi harus, diakui bahwa komposisi penggunaan bahasa naskah lebih banyak menggunakan Jawa Kuno, Sansekerta dan Jawa. Kemudian baru diikuti oleh bahasa Arab, Melayu dan Bali.
Sebagaimana di Lombok, di wilayah Bima proses transmisi dan akulturasi antara budaya lokal dan Islam juga beragam, namun tetap tidak bisa dilepaskan dari sebuah frame geliat Islam di wilayah Melayu. Bukti tertulis yang tersebar di pulau ini ditulis dalam aksara Arab, Jawa kuno, Makasar dan Melayu. Khusus yang terakhir ini sejak abad ke-17 banyak difungsikan untuk dokumen resmi di Bima. Hal ini jelas sangat terkait dengan islamisasi dan hubungan timbal balik antara perkembangan kreatif tradisi tulis di satu sisi dengan membuminya bahasa Melayu di daerah ini khususnya dan wilayah Asia Tenggara secara umum pada sisi lain. Dalam kaitan ini penting melihat sebuah dokumen yang diterbitkan dari Sultan Bima II, Sultan Abdul Khair Sirajuddin tertanggal Maret 1645 yang menitahkan bahwa mulai sejak itu dokumen resmi istana haruslah: “ditulis dengan memakai bahasa Melayu dengan Rupa tulisan yang diridhai oleh Allah ta’ala. Dengan penegasan ini, jelas bahwa bahasa Melayu sudah mulai menjadi bahasa resmi dan bahasa pergaulan yang diakui di dunia Melayu seperti yang telah diterapkan terlebih dahulu di Aceh dan Sumatera pada umumnya, kemudian Jawa dan kepulauan timur wilayah nusantara.
Perkembangan Naskah Melayu di beberapa wilayah lainnya boleh dikata tidak jauh berbeda dengan pola-pola yang terjadi dikedua wilayah ini. Melayu Islam dalam muatan naskah-naskah lokal mengalami vernakularisasi (pribumisasi) dimana sistem kebahasaan dan penggunaan aksara Arab dan Melayu dalam ranah penulisan lokal berdampingan dengan aksara dan bahasa lokal, yang tentunya digunakan untuk tujuan dan produk naskah yang berbeda; untuk surat resmi, sastra rakyat, naskah keagamaan, penulisan sejarah dan beragam maksud lainnya. Setidaknya ada tiga hal penting yang memicu pribumisasi naskah melayu Islam dalam konteks ini:
• Kepentingan diplomasi, dimana kesultanan Islam menjadi faktor paling menentukan bagi meluasnya nakah ini.
• Ketiadaan sistem aksara di berbagai wilayah di Asia Tenggara dan Nuantara. Untuk kawasan Nusantara tercatat hanya 8 kelompok etnis yang memiliki sistem huruf, yakni: Jawa, Sunda, Bali, Batak, Rejang, Melayu, Bugis dan Makasar. Kenyataan ini membuat dominannya kultur yang lebih unggul dan mudah diterima berdasarkan kesamaan konsep keyakinan. Dalam hal ini, Melayu Islam pada kurun waktu yang sangat panjang mendominasi wilayah Asia Tenggara pada Umumnya dan Nusantara khususnya.
• Aktifitas dakwah para ulama di berbagai pusat-pusat Islam masa lalu. Dalam aktifitas ini, para ulama tersebut membutuhkan sarana pembelajaran yang efektif dalam bentuk tertulis dalam berbagai bidang keagamaan, yakni mushaf al-Quran sendiri, tafsir, fiqh, tashauf, bahasa Arab dan lain sebagainya. Beberapa sentra dakwah Islam yang ramai pada abad-abad ke-16 dan sesudahnya antara lain: Aceh, Pariaman, Palembang, Banten, Cirebon, Demak, Yogyakarta, Madura, Banjarmasin dan lain-lain.

2. Klasifikasi Naskah Melayu

Untuk melihat dinamika kerangka perkembangan naskah-naskah di wilayah Melayu sejak abad ke-16, hal itu bila diasumsikan bahwa wilayah yang dahulunya dikuasai oleh Hindu-Jawa telah membaur ke dalam koridor paradigma Melayu Islam, maka dapat diklasifikasikan melalui dua cara:
• Klasifikasi melalui pemilahan wilayah antara pesisir dan pedalaman
• Klasifikasi melalui pemilahan ragam produk naskah melayu berdasarkan fungsi dan konten naskah, yang terbagi kepada 5 ragam:
a. Naskah-naskah ketatanegaraan
b. Naskah-naskah keagamaan
c. Naskah-naskah sejarah dan silsilah kerajaan
d. Naskah-naskah kesusasteraan yang bersifat hiburan
e. Naskah-naskah yang berisi tentang obat-obatan dan mantra-mantra

Naskah-naskah Melayu Pedalaman

(Referensi: Uli Kozok, Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak, Gramedia, Jakarta:1999) bisa di download di Google Book

Naskah-Naskah Melayu Wilayah Pesisir
(Referensi: Uli Kozok, Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak, Gramedia, Jakarta:1999)

3. Naskah Melayu di Minangkabau

Referensi: M.Yusuf, M.hum, Katalogus Manuskrip Minangkabau; Ernst Ulrich Kartz, Southeast Asian Languages and Literatures: a bibliographical Guide to Burmese, Cambodian, Indonesian, Javanese, Malay, Minangkabau, Thai and Vietnamese. I.B. Tauris. (bisa didownload dari google book); Liaw Yock Fang (buku saya ada pada Syahrial); Edwar Jamaris. Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau YOI, Jakarta:2002. (bisa download di Google Book):

4. Naskah Melayu Dalam Angka

Penelusuran tentang jumlah naskah Melayu telah berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, dan melibatkan sejumlah besar ahli dari dalam dan luar negeri. Namun hingga sekarang, belum ada angka pasti berapa jumlah persisnya. Selain karena penyebaran naskah-naskah Melayu sangat luas, masih banyak naskah-naskah yang berada di tangan perorangan, kolektor ataupun situs-situs naskah yang belum terdeteksi dan terdaftar dalam catatan para ahli. Baru beberapa tahun belakangan, ada gairah untuk mendata naskah-naskah Melayu.
Nurcholish Madjid, pernah memprediksikan bahwa jumlah naskah-naskah Nusantara bisa mencapai angka jutaan. Meskipun bersifat perkiraan, namun sebaiknya perlu disikapi secara proaktif agar melalui langkah-langkah yang sistematis kita tidak kehilangan kesempatan untuk menyelamatkan khazanah budaya kuno tersebut.
Sementara ini koleksi naskah di Perpustakaan Nasional berjumlah lebih kurang 10.000 naskah. Jumlah ini sebagian besar diperoleh dari masa penjajahan saat lembaga ini masih bernama Koninklijk Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en Watenschapper--Perpustakaan Perkumpulan Pencinta Seni dan Budaya, yang berdiri pada 1778. Perpustakaan Nasional hanya meneruskan menyimpan koleksi naskah. Hanya sebagian kecil naskah yang berasal dari pembelian serta pencarian oleh Perpustakaan Nasional di era kemerdekaan hingga sekarang. Koleksi-koleksi yang berada di tangan perorangan dibeli oleh pihak Perpusatakaan dan dimanfaatkan seluas-luasnya bagi kepentingan ilmu pengetahuan. Namun, akhir-akhir ini, banyak dari pemilik/pewaris yang memahami nilai komersil sebuah naskah. Mereka tidak segan-segan mematok harga tinggi. Bahkan ada yang berani menawar satu bangunan mesjid untuk koleksi yang mereka miliki. Lantaran tingginya harga, banyak naskah kuno yang lepas ke tangan kolektor, baik dari dalam maupun luar negeri. Saat ini, paling banyak dalam setahun hanya tiga naskah yang berhasil dibeli atau diperoleh dari pemilik naskah, meskipun sudah dilakukan survai ke sejumlah situs naskah.
Koleksi naskah di Perpustakaan Nasional kebanyakan berasal dari wilayah Jawa. Sebagian besar berbahasa Jawa kuno, dan sebagian lagi Arab Melayu, Sansekerta dan Sunda. Sisanya adalah naskah-naskah yang berasal dari luar Jawa yang ditulis dalam bahasa Lombok, Batak, Bali, Minang dan Makassar. Naskah-naskah tersebut ditulis dengan media-media seperti kayu, lontar, rotan, tulang, nipah, labu hutan, beluang, dan kemudian juga ada dari kertas Eropa.
Naskah kuno tertua yang dimiliki Perpustakaan Nasional kebanyakan berasal dari abad ke-14 dan 15. Salah satunya naskah lontar Arjuna Wiwaha yang ditemukan di lereng Gunung Merapi-Merbabu, Jawa Tengah. Naskah itu ditulis dengan menggunakan huruf Merbabu dan menggunakan bahasa Jawa kuno. Sejumlah naskah kuno besar, seperti Pararaton, Sutasoma, dan Serat Catur Kanda dari Cirebon juga terdapat di Perpustakaan ini. Perpustakaan Nasional juga menyimpan naskah asli Negerakertagama yang merupakan hibah dari Leiden pada 1990an.
Dalam berbagai pertemuan kebahasaan dan kesusastraan Melayu/Indonesia, senantiasa diperdengarkan bagaimana penyebaran bahasa maupun kesusastraan Melayu dalam berbagai bidang ilmu dibentangkan dengan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Pada tahun 1985, misalnya, Dr Sri Wulan Pudjiati dalam Pertemuan Kebudayaan Daerah di Pekanbaru telah memaparkan bagaimana sekitar 10.000 naskah tersebut menyebar pada 28 negara. Di sisi lain, dalam beberapa kali pertemuan dengan Tan Sri Ismail Hussein disebutkan, tidak kurang dari 15.000 naskah Melayu beredar sampai jauh dari wilayah ciptaannya sendiri. Dalam catatannya tahun 1994, Sri Wulan memperkirakan bahwa total naskah Nusantara sedikitnya berjumlah 29.000 dengan perincian 10.000 naskah Melayu dan 19.000 naskah Jawa. Angka-angka ini diperoleh berdasarkan naskah-naskah yang tercatat di berbagai lembaga dan katalogus.
Di Inggris, misalnya naskah-naskah kita terinventarisasi secara teliti dalam sebuah katalogus susunan MC Ricklefs dan P Voorhoeve. Menurut katalogus tersebut, naskah kita sudah bermukim di Inggris sejak awal abad ke-17, bahkan mungkin sebelumnya. Naskah-naskah itu teridentifikasi ditulis dalam berbagai bahasa daerah, seperti Aceh, Bali, Batak, Bugis, Jawa (kuno), Kalimantan, Lampung, Madura, Makassar, Melayu, Minangkabau, Nias, Rejang, Sangir, Sasak, Sunda (kuno). Seluruh naskah yang ada di sana berjumlah lebih dari 1.200. Semuanya tersimpan rapih pada 20-an perpustakaan dan museum di beberapa kota di Inggris. Koleksi terbanyak berada di British Library dan School of Oriental and African Studies. Di kedua tempat itulah, para arkeolog, sejarawan, dan filolog dari seluruh dunia, termasuk dari Indonesia, sering melakukan riset kepustakaan. Justru karena tersimpan rapih dan terawat baik, peranannya jauh lebih besar daripada Perpustakaan Nasional RI yang juga banyak mengoleksi naskah kuno.

5. Katalogus Naskah-Naskah Melayu

Katalogus merupakan buah karya para filolog, peneliti dan pemerhati naskah untuk mendata keberadaan dan koleksi naskah di suatu wilayah dan menyusunnya secara sistematis guna memudahkan pelacakan naskah di wilayah tersebut pada tahap-tahap selanjutnya. Dengan adanya katalogus, maka orang akan terbantu khususnya pada tahap awal penjajakan naskah tanpa harus memeriksa secara langsung koleksi naskah-naskah tersebut, karena hal itu akan menghabiskan banyak waktu dan biaya. Berikut beberapa rangkuman katalogus yang dihimpun dari berbagai sumber:

Asma Ahmat, Katalog Manuskrip Melayu di Jerman Barat / Catalogue of Malay Manuscripts in West Germany, Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia, 1992. Siri bibliografi manuskrip no.8.

Asma Ahmat, Katalog Manuskrip Melayu di Library of Congress, USA, Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia, 1993. Siri bibliografi manuskrip no.12.

T.E. Behrend (ed.), Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia & Ecole française d’Extrême-Orient, 1998. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara, jilid 4.

Chambert-Loir, Henri, Catalogue des catalogues de manuscripts malais, Archipel 20 (1980): 45-69.

Henri Chambert-Loir & Oman Fathurahman, Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah-Naskah Indonesia Sedunia / World Guide to Indonesian Manuscript Collections, Ecole française d’Extrême-Orient / Yayasan Obor Indonesia, 1999.

Richard Greentree & E.W.B. Nicholson, Catalogue of Malay manuscripts relating to the Malay language in the Bodelian library, Oxford: Clarendon Press, 1910.

Mohammed Haron, Towards a Catalogue of Islamic MSS in South Africa with special reference to Melayu MSS at the Cape, Tradisi Penulisan Manuskrip Melayu, Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia, 1997: 243-263.

Harun Mat Piah & Ismail Hamid, Koleksi manuskrip-manuskrip Melayu di Brunei: satu maklumat awal, Sari 1.2 (1983) 103-123.

Joseph H. Howard, Malay MSS: A Bibliographical Guide, Kuala Lumpur: University of Malaya Library, 1966.

B.A. Hussainmiya, Malay manuscripts in Sri Lanka, Indonesia Circle 17 (1978) 39-40.

Teuku Iskandar, Catalogue of Malay, Minangkabau, and South Sumatran Manuscripts in the Netherlands, 2 vols, Leiden: Documentatiebureau Islam-Christendom, 1999.

Russell Jones, Six undescribed manuscripts: a preliminary note, Indonesia Circle 19 (1979) 26-31.

H.H. Juynboll, Catalogus van de Maleische en Sundaneesche Handshriften der Leidsche Universiteits-Bibliotheek, Leiden: Brill, 1899.

George Miller, Indonesian and Malayan traditional manuscripts in public collections in Australia, Canberra: ANU Library, 1982.

Munazzah Haji Zakaria, Katalog Manuskrip Melayu di Afrika Selatan, Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia, 1998. Siri bibliografi manuskrip no.16.

[Perpustakaan Negara Malaysia,] Katalog Ringkas Manuskrip Melayu di Perpustakaan Negara Malaysia, Kuala Lumpur: Pusat Manuskrip Melay, Perpustakaan Negara Malaysia, 1987.
... Tambahan Pertama, 1990.
... Tambahan Kedua, 1993.
... Tambahan Ketiga, 1997.
... Tambahan Keempat, 1999.

M.C. Ricklefs & P. Voorhoeve, Indonesian manuscripts in Great Britain: a catalogue of manuscripts in Indonesian languages in British public collections, Oxford UP, 1977.

M.C. Ricklefs & P. Voorhoeve, Indonesian manuscripts in Great Britain: addenda et corrigenda, Bulletin of the School of Oriental and African Studies 45.2 (1982): 300-322.

Rogayah Haji Md. Yasin et al., Katalog Koleksi Melayu Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 1990.

Ph.S. van Ronkel, Catalogus der Maleische Handschriften in het Museum van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Albrecht: Batavia, 1909. Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, deel 57.

Ph. S. van Ronkel, Supplement-Catalogus der Maleische en Minangkabaushe Handschriften in de Leidsche Universiteits-Biblioteek, Leiden: Brill, 1921.

Siti Mariani Omar, Katalog Manuskrip Melayu di Perancis / Catalogue of Malay Manuscripts in France, Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia, 1991. Siri bibliografi mansukrip no.9.

[University of Malaya Library,] Katalog Koleksi Melayu Perputakaan Universiti Malaya / Catalogue of the Malay Collection, University of Malaya, Kuala Lumpur: Perpustakaan University Malaya, 1980.

Wan Ali bin Haji Wan Mamat, Catalogue of Malay manuscripts in the Netherlands, KL: Perpustakaan Negara Malaysia, 1985.

Wan Ali bin Haji Wan Mamat, Katalog Manuskrip Melayu di Singapura, Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia, 1998. Siri bibliografi manuskrip no.13.

E.P. Wieringa, Catalogue of Malay and Minangkabau Manuscripts in the Library of Leiden University and other collections in the Netherlands. Volume one, comprising the acquisitions of Malay mansucripts in Leiden University up to the year 1896. Compliled by E.P. Wieringa, edited by Joan de Lijster-Streef and Jan Just Witkam, Leiden: Legatum Warnerianum, 1998.

Russell Jones & Clare Rowntree, An essay at description and dating of a Malay manuscript, Kajian Malaysia 1.2 (1983) 1-13.

Sri Wulan Rudjiati Mulyadi, Kodikologi Melayu di Indonesia, Lembaran Sastra 24 (1994), edisi khusus.

Annabel Teh Gallop with Bernard Arps, Golden Letters: Writing Traditions of Indonesia | Surat Emas: Budaya Tulis di Indonesia, London: The British Library, 1991.

Annabel Teh Gallop with an essay by E. Ulrich Kratz, The Legacy of the Malay Letter / Warisan Warkah Melayu, London: British Library, 1994.

Proudfoot & V. Hooker, Mediating Time and Space: The Malay Writing Tradition, A. Kumar & J. McGlynn (ed.), Illuminations. The Writing Traditions of Indonesia, New York: Weatherhill, 1996: 49-78

Achadiati Ikram (ed.), Katalogus Naskah Palembang. C-Dats-Unand. 2004

M. Yusuf (ed.), Katalogus Manuskrip dan Skritorium Minangkabau. C-Dats-Unand. 2006

Oman Fathurrahman & Munawar Holil, Katalog Naskah Ali Hasjmi Aceh. C-Dats-Unand. 2007

T.E.Behrend & Titik Pudjiastuti, Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara. Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Yayasan Obor Indonesia-Ecole Francaise D’extreme Orient. 1997. 3-A/3-B

Zunaimar, Tgk. M. Dahlan al-Fairusy. Katalog Manuskrip Perpustakaan Pesantren Tanoh Abe Aceh Besar. Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh. Buku I. 1980

Zunaimar, Tgk. M. Dahlan al-Fairusy. Katalog Manuskrip Perpustakaan Pesantren Tanoh Abe Aceh Besar. Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh. Buku II. 1993

6. Perkembangan Naskah Melayu Saat ini

Hingga saat ini jumlah naskah-naskah Melayu Klasik yang belum tertangani dan diolah dengan baik masih sangat banyak. Jones mengatakan setidaknya ada sekitar 10.000 naskah yang belum mendapat sentuhan para ahli, sedangkan menurut Henri C. Loir, jumlahnya ada sekitar 4000.
Subandi Sardjoko mengungkapkan, di beberapa daerah, jual- beli manuskrip sudah lama dilakukan masyarakat pewaris manuskrip dari nenek moyang mereka. Beberapa manuskrip penting hanya dijual sekitar Rp 2 juta kepada kolektor atau pedagang. Harga murah itu jelas tidak sebanding dengan kerugian yang diderita bangsa Indonesia akibat kehilangan kekayaan sejarah dan budaya tersebut. "Kehilangan manuskrip itu merugikan bangsa karena naskah tersebut banyak memuat ilmu pengetahuan dan teknologi serta kearifan lokal masa silam. Ada manuskrip yang bersisi resep obat-obatan, tata niaga, politik, etika pelestarian lingkungan, atau arsitektur rumah yang tahan tsunami. Semua itu memberikan alternatif pemikiran di tengah modernitas sekarang," katanya. Menurut Razak Zaidan, manuskrip dari Riau dan Medan— tentang hikayat Kesultanan Deli beraksara Arab-Melayu—juga sudah banyak yang dibeli warga Malaysia, Singapura, atau Australia. Manuskrip itu dijual seharga Rp 2 juta sampai Rp 17 juta. Tetapi, ada juga pemilik naskah yang rela menyerahkan manuskrip kepada lembaga pemerintah atau museum untuk disimpan. "Kalau manuskrip sudah jatuh di orang asing, bangsa ini harus pergi ke luar negeri untuk mempelajari sejarahnya sendiri. Generasi mendatang juga kesulitan mendapat akses untuk melacak akar budaya sendiri," katanya. Bahkan, Henri Chambert-Loir dari Ecole Francaise d"Extreme-Orient (EFEO; Lembaga Penelitian Perancis untuk Timur Jauh) mencatat, ada teks naskah Nusantara yang sangat langka saat ini telah dikoleksi oleh Library of Congress, AS. Sementara satu turunan naskah Bustanus Salatin dari Riau saat ini tersimpan di Afrika Selatan. Selain itu, beberapa naskah unik dari sebuah taman bacaan di Batavia pada awal abad ke-20 berada di Saint Petersburg, Rusia. Yumi Sugahara memperkirakan, saat ini masih banyak manuskrip yang tidak tercatat secara resmi karena disimpan masyarakat secara diam-diam, seperti terdapat di Aceh. "Kesadaran masyarakat tentang pentingnya manuskrip perlu ditingkatkan," katanya
Untuk banyak kasus di wilayah nusantara, gerbang kemusnahan naskah-naskah Melayu benar-benar sudah sangat dekat. Dalam laporan kompas yang lain tercatat sekitar 200 dari total 400 naskah kuno Melayu Riau yang berada di tangan perorangan terancam akan segera musnah. Hal itu disebabkan pola penanganan naskah yang tidak baik. Selain terancam kepunahan, naskah-naskah tersebut juga tidak lepas dari incaran para kolektor yang tertarik membeli naskah-naskah tersebut. Penanganan naskah yang relatif baik dilakukan oleh Raja Hamzah Yunus melalui lembaga non-pemerintah Yayasan Inderasakti, yang menyimpan sekitar 200 naskah Melayu.

Selengkapnya...

Minggu, 25 Oktober 2009

Komunikasi Pemasaran : Konsep dan Penerapannya di Perusahaan

Oleh : Dra. Tine Silvana R., M.Si (Dosen LB Prodi IIP)

Marketing selalu berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan individu dan kebutuhan kelompok yang dalam pemenuhan kebutuhan yang diinginkan mengandung nilai kesesuaian yang dibutuhkan dan dapat menimbulkan kepuasan individu dan kelompok. Hal ini sesuai dengan defenisi yang ada pada marketing. Defenisi marketing dapat ditinjau dari defenisi social dan defenisi secara manajerial.

(harap hubungi www.fiba.pdg@gmail.com)

Selengkapnya...

Kamis, 22 Oktober 2009

Kategori Penerjemahan Lisan

Oleh : Havid Ardi, SS., M.Pd (Dosen LB Jur. BSI)

The aim of this article is to clarify the categorization of interpretation, also understood as oral translation. There are many types of interpretation proposed by scholars. Some of the categorizations are similar, but some are overlapping and show inconsistency. First, existing definitions and classifications of interpretation are reviewed in terminological, conceptual and classification confusions are pointed out. Then, based on analysis, the new interpretation classifications are proposed.

A. PENDAHULUAN

Seperti penerjemahan pada umumnya, penerjemahan lisan (interpretation) merupakan proses pengalihan pesan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran yang dilakukan secara lisan. Penerjemahan lisan atau pengalihbahasaan memiliki berbagai jenis dan kategorisasi. Beberapa jenis pengalihbahasaan seperti: consecutive interpreting, simultaneous interpreting, whispered interpreting, liaison interpreting, community interpreting, conference interpreting dan lain sebagainya. Namun, beberapa istilah di atas merujuk pada konsep yang sama. Selain itu, kategorisasi yang ditawarkan para ahli dalam pengelompokan jenis pengalihbahasaan juga tumpang tindih dan inkonsisten.

Artikel ini dimaksudkan untuk mereview dan mendiskusikan beberapa jenis penerjemahan lisan dan ciri-cirinya serta kategorisasi yang ada saat ini. Berikutnya mengajukan model kategorisasi pengalihbahasaan. Artikel ini juga dimaksudkan sebagai kajian awal dalam merancang pelatihan atau pendidikan untuk melahirkan alihbahasawan (interpreter).

B. TINJAUAN PENERJEMAHAN LISAN

Banyak definisi pengalihbahasaan yang telah dikemukan para ahli. Misalnya, Brislin (1976:1), menyatakan:

Interpretation … refers to oral communication situations in which one person speaks in the source language, an interpreter processes this input and produces output in a second language, and a third person listens to the source language version.”

Definisi ini menegaskan bahwa pengalihbahasaan terjadi dalam setting komunikasi lisan antara komunikator dan komunikan yang menggunakan bahasa berbeda, sehingga alihbahasawan bertugas memproses input (Bsu) dari pembicara pertama dan menghasilkan output dalam versi bahasa (Bsa) yang dipahami oleh orang ke tiga. Input di sini berbentuk lisan.

Phelan (2001:6) menyatakan pengalihbahasaan adalah penerjemahan secara lisan apa yang didengar ke dalam bahasa lain. Ia menambahkan bahwa alihbahasawan terfokus pada gagasan bukan pada kesepadanan pada tataran kata secara terpisah (ibid: 7). Sependapat dengan Phelan, Seleskovitch (1976:92-93) menegaskan bahwa pengalihbahasaan yang dituturkan secara langsung, lebih ditekankan pada kesepadanan ide atau gagasan, daripada kesepadanan linguistiknya (frasa atau kata). Jadi alihbahasawan berkonsentrasi pada pemilihan redaksi kata yang tepat untuk menyampaikan gagasan sesuai waktu dan konteks pada saat itu, bukan menyampaikan sesuai dengan kata-kata seperti pada bahasa sumber (Shuttleworth & Cowie, 1997; Arjona, 1978).

Weber (1984) menambahkan “interpretation is the oral transposition of an orally delivered message at a conference or a meeting from a source language into a target language, performed in the presence of the participants”. Pendapat ini lebih menekankan fungsi pengalihbahasaan dalam menjembatani hambatan komunikasi lisan karena perbedaan bahasa. Namun pada konteks sekarang kehadiran di sini tidak selalu berada di tempat dan ruang yang sama.

Sementara, Edwards (dalam Kelly, 2005), menyatakan bahwa “Interpetation means the unrehearsed transmitting of a spoken or signed message from one language to another.” Edwards lebih menekankan proses pengalihbahasaan ini terjadi secara langsung atau spontan dan ia tidak terbatas pada bentuk lisan semata, namun juga dari dan ke bahasa isyarat. Definisi ini mengakomodir pengalihbahasaan dari bentuk lisan ke bentuk bahasa isyarat karena beberapa kesamaan, seperti aspek tekanan kognitif dan kecepatan.

Sementara, Gile (2000:40) menyebutkan, “interpreting is the oral translation of oral discourse, as opposed to the oral translation or written texts. The latter is known as sight translation or translation-at-sight.” Gile membatasi pengalihbahasaan merupakan penerjemahan secara lisan dari wacana lisan, dan hal ini berbeda dengan penerjemahan lisan dari teks tertulis. Sehingga sight translation menurut Gile (2000) tidak termasuk pengalihbahasaan. Hal ini berdasarkan beberapa perbedaannya dengan pengalihbahasaan - misalnya cognitive stress yang hampir tidak ditemui pada sight-translation (lihat Gile, 1995: xiii & 183). Namun, ia tetap memasukkan sight translation sebagai jenis pengalihbahasaan (lihat Gile, 1995:183). Kemungkinan disebabkan kesamaannya disamping perbedaannya diantara penerjemahan dan pengalihbahasaan (ibid: xiii).

Berdasarkan definisi di atas diperoleh simpulan bahwa pengalih-bahasaan merupakan penggantian bahasa ujaran lisan dan diproduksi kembali dalam bentuk lisan atau bahasa isyarat. Selain itu, pengalihbahasaan selalu terjadi dalam setting komunikasi yang melibatkan paling sedikit dua orang pembicara dan adanya pendengar/peserta yang memiliki bahasa berbeda dan tidak menutup kemungkinan bisa lebih dari dua orang. Pengalihbahasaan dapat melibatkan lebih dari dua bahasa jika yang terlibat dalam komunikasi lintas bahasa tersebut juga lebih dari dua orang dengan latar bahasa dan budaya yang jelas berbeda.

C. KATEGORISASI PENERJEMAHAN LISAN

Banyak kategori atau klasifikasi penerjemahan lisan yang telah diajukan para ahli penerjemahan selama ini, namun, beberapa kategori tersebut masih tumpang tindih dan inkonsisten. Selain itu juga terdapat beragam istilah yang merujuk pada konsep yang sama. Mari kita cermati beberapa kategorisasi penerjemahan lisan berikut.

Kreser dan Weber (dalam Nababan, 2003: 115) mengklasifikasikan penerjemahan lisan berdasarkan cara pengalihbahasaan, yaitu: pengalih-bahasaan secara simultan, konsekutif, berbisik, dan sight translation. Namun, sebenarnya, ada yang tumpang tindih pada klasifikasi ini, misalnya, dalam pengalihbahasaan secara simultan atau konsekutif dapat juga dilakukan secara berbisik. Selain itu juga terdapat keinkonsistenan, misalnya konsekutif dan simultan jika dibandingkan sama-sama berdasarkan waktu pengalihan (time atau moment of speaking) langsung atau menunggu, sementara, sight-translation karena bahasa sumbernya dalam bentuk wacana tulis yang dapat dibaca.

Sementara, Gentile, et al (1996:22) mengkategorikan penerjemahan lisan menjadi dua genre utama, yaitu liaison interpreting dan conference interpreting, sebagai prototipe pengalihbahasaan. Jika kita cermati makna kamus, liaison bermakna agen komunikasi atau penghubung yang merujuk pada fungsi, sementara konferensi merujuk pada tempat. Jadi penamaan ini belum konsisten satu sama lain.

Berikutnya, klasifikasi pengalihbahasaan yang ditawarkan Phelan (2001:6) ada tiga jenis pengalihbahasaan, yaitu: bilateral/liaison, konsekutif, dan simultan. Pengalihbahasaan bilateral (liaison) adalah pengalihbahasaan dua arah oleh alihbahasawan yang sama. Tipe ini biasanya dilakukan dalam setting masyarakat. Sementara simultaneous interpreting dan consecutive interpreting dibedakan berdasarkan cara atau saat alihbahasawan berbicara. Jika kita bandingkan, klasifikasi yang ditawarkan ini juga belum konsisten. Pengalihbahasaan bilateral dibedakan karena sifatnya yang dilakukan dalam bentuk dialog, alihbahasawan yang sama harus mengalihbahasakan ke dalam dua arah. Sementara, pengalihbahasaan konsekutif dan simultan berbeda berdasarkan saat bicara.

Selain berdasarkan genre, Gentile, et al (1996:22) juga mengklasifikasi penerjemahan lisan berdasarkan mode (metode atau cara pengalihbahasaan), yaitu: pengalihbahasaan secara simultan dan konsekutif sebagai dua cara dasar dalam pelaksanaan pengalihbahasaan. Baik liaison maupun conference interpreting dapat menggunakan kedua mode tersebut (ibid: 22). Klasifikasi kedua yang ditawarkan Gentile ini terlihat lebih konsisten karena sama-sama dibedakan berdasarkan mode. Namun, penggunaan istilah mode juga tumpang tindih, misalnya Clifford, berdasarkan mode pengalihbahasaan, ia membagi menjadi conference interpreting (antar dua bahasa lisan) dan sign language interpreting (antara bahasa lisan dan bahasa isyarat) (2001:366). Mode di sini sebenarnya merujuk pada alat atau channel komunikasi yang digunakan..

Dari diskusi sementara terlihat adanya perbedaan dan kesamaan pendapat dari beberapa ahli Secara umum kategorisasi jenis penerjemahan lisan yang telah ditawarkan para ahli dapat kita bandingkan dalam bentuk tabel berikut:

Tabel 1. Perbandingan Klasifikasi Pengalihbahasaan
Kategori Gentile, et al
(1996:22) Kreser & Weber
(dlm Nababan) Pöchhacker (2001) Clifford
(2001) Phelan
(2001: 6)
Genre/tipe
Spektrum prototipe Liaison,
Conference, Community,
Conference bilateral/liaison,
konsekutif,
simultan.
Mode Simultan
Konsekutif
simultan,
konsekutif,
berbisik,
sight translation conference,
sign language

Selain klasifikasi di atas, berdasarkan spesilisasi pekerjaan, liaison interpreting ini juga dibedakan berdasarkan jenis setting pekerjaannya seperti pengalihbahasaan medis (Kelly, 2008) & kesehatan mental, legal setting (court interpreting), bisnis, dan speech pathology (Gentile, 1996: 77-134). Selain itu, berdasarkan jarak antara dan alat yang digunakan juga muncul remote interpreting, yang menggunakan: telephone, video, videoconference (Kelly, 2008; Phelan, 2001), dan pasangannya face-to-face atau on-site interpreting (Kelly, 2008; Angelelli, 2004:49-50; Phelan, 2001).

Berdasarkan diskusi di atas dan di atas, ditawarkan kategorisasi pengalihbahasaan berdasarkan: setting interaksi, cara pengalihbahasaan, jarak dan alat yang digunakan, kekhususan bidang pekerjaan, dan berdasarkan wacana input & output.

1. Berdasarkan situasi dan interaksi (mode of interaction & setting)

Berdasarkan situasi dan dan interaksi terdapat dua jenis pengalihbahasaan, yaitu: pengalihbahasaan dalam setting konferensi (conference interpreting) dan masyarakat (community interpreting). Pembagian ini berdasarkan spektrum perbedaan yang ada diantara kedua pengalihbahasaan tersebut. Spektrum perbedaan ini antara lain, dari segi interaksi (multinasional dan nasional), institusi, masyarakat (Pöchhacker, 2001:411).

Pengalihbahasaan di masyarakat biasanya dilakukan untuk kebutuhan layanan masyarakat, misalnya pasien dan dokter (Angelelli, 2001; Gentile et al, 1996). Sementara alihbahasawan dalam konferensi biasanya melayani para pejabat negara. Karena perbedaan klien ini, alihbahasawan dalam konferensi biasanya memiliki prestise yang lebih tinggi, sehingga Robert (dalam Angelelli, 2001) lebih memilih istilah community interpreting di samping liason interpreting.

a. Pengalihbahasaan dalam setting konferensi (Conference interpreting)
Pengalihbahasaan ini dilakukan dalam setting konferensi, alihbahasawan duduk di tempat terpisah (booth) yang dapat melihat klien/atau peserta konferensi. Masing-masing booth biasanya terdiri dari dua alihbahasawan yang hanya mengalihbahasakan ke satu bahasa saja (Gentile et al, 1996). Mereka dapat dibedakan menjadi alihbahasawan aktif dan alihbahasawan pasif (Gile, 1995). Alihbahasawan aktif bertugas mendengarkan dan mengalihbahasakan wacana lisan yang didengarnya ke dalam bahasa sasaran, sementara alihbahasawan pasif menjadi asisten yang sewaktu-waktu harus siap memberi informasi jika ada bagian yang tertinggal (ibid). Sementara di booth lain alihbahasawan berbeda mengalihbahasakan ke bahasa yang berbeda. Peserta konferensi tinggal memilih saluran bahasa yang tersedia.

Berdasarkan saat bicara, pengalihbahasaan dalam setting konferensi seringkali dilakukan secara simultan, alihbahasawan langsung mengalihbahasakan gagasan yang disampaikan pembicara dalam bahasa sumber ke bahasa sasaran yang ditugaskan padanya pada saat yang sama (Phelan, 2001; Pöchhacker, 2001; Gentile et al, 1996). Namun tak jarang juga dilakukan secara konsekutif/bergantian yaitu alihbahasawan diberi waktu untuk mengalihbahasakan, hal ini apabila acara tersebut banyak melibatkan tanya jawab (Gentile et al, 1996).

Dalam conference interpreting, prose pengalihbahasaan hanya dalam bentuk interaksi satu arah, biasanya dari L2 ke L1. Lebih lanjut, berdasarkan: jarak fisik relatif berjauhan, informasi yang dimiliki antar klien dan status antar klien relatif sama, bekerja dalam tim (Gentile, et al, 1996:18).

b. Pengalihbahasaan dalam setting masyarakat (Community interpreting)

Pengalihbahasaan ini terjadi dalam sektor layanan publik untuk memfasilitasi komunikasi antara petugas dan masyarakat awam, seperti di kantor polisi, imigrasi, pusat kesejahteraan sosial, medis dan kesehatan mental, sekolah, dan istitusi sejenis lainnya (Wadensjö, 2000:33; Pöchhacker, 2001; Gile, 2000). Pengalihbahasaaan ini memiliki banyak nama, namun konsepnya merujuk pada konsep yang sama. Misalnya, Gentile menggunakan istilah liaison interpreting yang disebutnya sebagai genre pengalihbahasaan yang menuntut alihbahasawan yang sama untuk melakukan pengalihbahasaan dalam dua arah (bi-directional) yang terjadi dalam setting masyarakat (Gentile et al, 1996:17) yang dilakukan secara konsekutif maupun simultan. Sementara, Phelan (2001) menggunakan istilah pengalihabahasaan bilateral atau liaison, dan pengalihbahasaan dialog (dialogue interpreting) atau liaison interpreting (Gentile, 1996).

Alihbahasawan liaison bertugas mengalihkan bahasa ke dalam bentuk interaksi dua arah dalam setting lingkungan masyarakat umum (Gentile, et al, 1996:17). Di beberapa negara istilah pengalihbahasaan ini juga berbeda, seperti di UK pengalihbahasaan jenis ini disebut ad hoc atau public service interpreting, di Skandinavia disebut contact interpreting, dan di Australia disebut three-concerned interpreting atau pengalihbahasaan dialog (dialogue interpreting) (Gentile et al, 1996). Namun prinsip kerjanya sama, alihbahasawan yang sama harus menerjemahkan secara lisan untuk menjembatani dialog antara dua orang (atau lebih) ke dalam bahasa mereka masing-masing.

Lebih lanjut Pöchhacker, (2001:415) menjelaskan bahwa dalam community interpreting, dialog antar dua klien lebih dominan dilakukan secara konsekutif bilateral pendek-pendek. Sementara dari segi kliennya, pihak pertama lebih menguasai percakapan biasanya merupakan wakil dari institusi atau layanan publik (service provider atau jasa profesi) yang menyediakan layanan umum. Sementara klien kedua adalah pengguna layanan tersebut yang biasanya tidak menguasai bahasa yang umum dipakai di tempat tersebut.

Persamaan dan perbedaan antara conference dan community interpreting masih sangat sedikit dipelajari (Angelelli, 2000). Roberts (dalam Angelelli, 2000), misalnya, membandingan lima elemen berikut: 1) cara pengalihbahasaan (modes of interpreting) yaitu, simultan, konsekutif, konsekutif pendek; 2) bentuk discourse (modes of discourse) yaitu: monolog & dialog; 3) jenis wacana (discourse types) misal: naratif, prosedur; 4) kriteria evaluasi, misal: gaya penyampaian (style of presentation), akurasi isi; dan 5) prinsip etika, (kerahasian, ketentuan syarat keahlian). Sehingga akhirnya ia menyimpulkan bahwa kedua jenis penerjemahan ini sama berdasarkan jenis keterampilan yang diperlukan. Roberts menambahkan bahwa perbedaan sesungguhnya diantara kedua pengalihbahasaan tersebut hanya lebih banyaknya dialog dalam community interpreting, sementara dalam konferensi waktu untuk tanya-jawab biasanya terbatas (Roberts, dalam Angelelli, 2000: 581-2).

Berdasarkan situasi interaksi dapat dilihat pada tabel berikut (Angelelli, 2000:582-583 & 586):






Tabel 2. Perbandingan Community interpreting dan Conference interpreting
(modifikasi dari Angelelli, 2000)
Community interpreting Conference Interpreting
Bentuk dialog (dialogic mode) Bentuk monolog (monologic mode) (Sebagian besar)
Pengalihbahasaan ke dalam kedua bahasa seimbang (2 arah)
Sebagian besar pengalihbahasaan ke satu bahasa saja (ke bahasa dengan penguasaan A alihbahasawan)
Ada kemungkinan untuk mengontrol arus atau lalu lintas komunikasi.
Tidak dapat mengontrol pembicara (kecuali permintaan untuk mengurangi kecepatan, itupun apabila peralatan memungkinkan - dengan menekan tombol speaker)
Partisipasi pihak yang terlibat dalam komunikasi kemungkinal bukan pilihan/mutlak (misal pada kasus pasien) Partisipasi pihak yang terlibat dalam komunikasi mungkin opsional (misalnya seorang peserta)
Potensi perbedaan latar belakang antara pihak yang terlibat besar Potensi perbedaan latar belakang antara pihak yang terlibat kecil
Potensi variasi linguistik dari kode yang sama (dalam kedua bahasa) besar Potensi variasi linguistik dari kode yang sama kecil (biasanya hanya dalam 1 bahasa atau pembicara)
Potensi penggunaan register yang berbeda besar. Potensi penggunaan register yang berbeda kecil
Situasi komunikasi memungkin alihbahasawan untuk mengklarifikasi yang tidak jelas (Angelelli, 2000:586) Situasi komunikasi tidak memungkinkan alihbahasawan untuk melakukan klarifikasi.
Alihbahasawan mengalihbahasakan kedua partisipan (speaker dan hearer) Alihbahasawan hanya mengikuti satu pembicara saja dalam bentuk monolog.
Channel input yang digunakan biasanya hanya lisan Alihbahasawan mungkin menerima lebih dari satu input (lisan, tertulis atau visual pada proyektor)



2. Berdasarkan cara pengalihbahasaan (mode of interpreting)

Genre pengalihbahasaan berikutnya dibedakan berdasarkan waktu bicara. Beberapa ahli menggolongkan dua jenis pengalihbahasaan berdasarkan mode (cara) yaitu konsekutif dan simultan (misalnya Gentile et al 1996) dan summary interpreting (Kelly, 2005).

a. Pengalihbahasaan simultan (Simultaneous interpretation)

Pengalihbahasaan simultan disampaikan pada saat alihbahasawan mendengarkan bahasa sumber. Pengalihbahasaan secara simultan sering dilakukan dengan cara alihbahasawan duduk dalam booth kedap suara mendengarkan pembicara melalui headset dan mengalihbahasakanya ke dalam bahasa target dengan menggunakan mikropon sembari tetap mendengarkan. Pembicara dan penerjemah berbicara hampir dalam waktu bersamaan dalam bahasa yang berbeda. Delegasi dalam ruang konferensi mendengarkan alihbahasaanya dalam bahasa target melalui headset (Gile, 2000: 41).

Sebagai mode dasar dalam pengalihbahasaan, simultan dapat dilakukan dalam setting konferensi atau masyarakat Gentile et al (1996). Namun demikian, pengalihbahasaan ini lebih sering dilakukan dalam konferensi. Pengalihbahasaan ini biasanya melibatkan banyak bahasa, alihbahasawan hanya mengalihbahasakan dari satu bahasa ke bahasa pertamanaya atau jenis bahasa A/B. Dalam masyarakat, pengalihbahasaan simultan ini biasanya dilakukan dengan cara alihbahasawan duduk dekat partisipan yang memerlukan bantuannya yang disampaikan dengan cara berbisik (chuchotage) (Gentile et al, 1996:26). Ahli lain menyebutnya whispered interpretation karena alihbahasawan memang berbisik agar tidak mengganggu peserta lain. Namun perlu diingat bahwa hal ini dilakukan bila partisipan yang membutuhkan alihbahasaan dalam bahasa tersebut jumlahnya sedikit sehingga tidak perlu diberikan melalui perangkat sound sistem.

b. Pengalihbahasaan Konsekutif (Consecutive interpretation)

Pengalihbahasaan konsekutif dilakukan secara bergantian (successive) dengan pembicara. Sehingga ada yang menyebut pengalihbahasaan konsekutif dengan successive interpretation. Menurut Gile dalam consecutive interpreting, alihbahasawan mendengarkan segmen-segmen gagasan yang disampaikan pembicara selama beberapa menit dan membuat catatan (bila perlu), kemudian alihbahasawan menyampaikan ulang gagasan tersebut dalam bahasa target, sementara pembicara diam. Selanjutnya pembicara kembali meneruskan segmen berikutnya dan akan dialihbahasakan setelah ia memberi jeda (Gile, 2000:41). Durasi segmen tuturan pembicara bervariasi mulai dari 6-7 menit (Gentile et al, 1996). Terlihat bahwa waktu berbicara alihabahasawan dan pembicara dilakukan secara bergantian. Pelaksanaannya alihbahasawan dapat duduk bersama dengan peserta/partisipan komunikasi dalam satu ruangan atau diruang terpisah (booth), mencatat apa yang dikatakan pembicara. Bila pengalihbahasaan ini dilakukan dalam masyarakat, terkadang pengalihbahasaan dilakukan kalimat per kalimat..

Pengalihbahasaan konsekutif dapat dilakukan dengan alat atau tanpa alat. Bila partisipan yang memerlukan alihbahasa tersebut banyak maka diperlukan peralatan untuk memudahkan tugasnya. Terkait setting, mode konsekutif bisa dilakukan dalam masyarakat maupun konferensi tergantung kondisinya (Gentile et al, 1996:22). Hal yang menjadi pembeda adalah saat alihbahasawan berbicara dan arahnya. Terkait bahasa yang digunakan, pengalihbahasaan konsekutif dalam setting masyarakat biasanya terjadi pada even komunikasi yang hanya melibatkan dua bahasa dan peserta yang terbatas. Mode pengalihbahasaan konsekutif dalam konferensi dilakukan jika kegiatan konferensi memiliki porsi tanya jawab yang banyak dengan peserta multibahasa dan namun tetap setiap alihbahasawan hanya mengalihbahasakan ke satu bahasa.

c. Pengalihbahasaan secara ikhtisar (Summary Interpreting)

Summary interpreting merupakan cara pengalihbahasaan dengan memparafrase dan memadatkan informasi atau pernyataan dari pembicara. Hal ini berbeda dengan pengalihbahasaan simultan dan konsekutif yang berusaha mengungkapkan pesan tersebut sesuai bahasa aslinya. Biasanya mode pengalihbahasaan ini dilarang dalam legal setting (Kelly, et al, 2005).



3. Berdasarkan Spesialisasi Jenis pekerjaan (work speacialty)

Kekhususan masing-masing bidang pekerjaan seperti medis, bisnis, hukum yang banyak menggunakan istilah, register, kosakata, prosedur, dan konteks tertentu yang berbeda satu sama lain, sehingga memerlukan alihbahasawan yang profesional untuk masing-masing bidang pekerjaan. Gentile et al (1996), membagi jenis pengalihbahasaan ini menjadi bidang kesehatan mental, bidang hukum & pengadilan (legal setting), bisnis, dan speech pathology. Ahli lainnya juga membedakan antara alihbahasawan medis biasa dan alihbahasawan kesehatan mental (lihat Kelly, 2008).

a. Pengalihbahasaan medis (medical interpreting/Health Care Interpreting)

Pengalihabahasaan medis terkait dengan kekhususan bidang medis atau kedokteran. Alihbahasawan perawatan kesehatan merupakan alih-bahasawan yang dilatih mengenai etika profesional dan protokol, memahami istilah medis, dan mampu menjembatani komunikasi dari satu bahasa ke bahasa lain (Dower, 2003). Pengalihbahasaan ini terdapat di negara yang mempunyai penduduk yang tidak menguasai bahasa yang umum dipakai, seperti California dengan 20% penduduk tidak mampu berbahasa Inggris dengan baik. Oleh karena itu, UU dan peraturan pemerintah mensyaratkan adanya alihbahasawan untuk membantu kesulitan komunikasi pada layanan publik.

b. Pengalihbahasaan dalam bidang kesehatan mental (Mental health setting)

Alihbahasawan kesehatan mental sebenarnya masih termasuk dalam pengalihbahasaan dalam pelayanan kesehatan (health care interpreting) (Kelly, 2007). Namun kesulitan komunikasi pada pasien yang memiliki masalah kesehatan mental berbeda dengan setting layanan kesehatan lainnya sehingga Gentile et al, (1996) menempatnya secara tersendiri. Pasien di rumah sakit kesehatan mental terkadang menunjukkan sikap kurang bekerjasama, aneh dan juga perilaku yang dapat mengancam keselamatan orang lain sehingga menyebabkan komunikasi yang sangat berbeda dengan pasien medis biasa (Gentile, 1996). Dalam setting layanan kesehatan mental alihbahasawan harus memahami maksud wawancara yang dilakukan oleh psikiater dan sesi-sesi terapi, serta peran komunikasi tersebut diantara mereka. Interview ini biasanya mengalami distorsi atau penyimpangan dari pola percakapan biasa, tetapi hal merupakan informasi vital bagi diagnosis dan pemberian tindakan perawatan yang didasarkan pada perilaku verbal, vokal, dan paralinguistik.

c. Pengalihbahasaan untuk bidang gangguan bicara (speech pathology)

Pengalihbahasaan dalam pelayanan gangguan bicara sebanarnya juga termasuk pada pengalihbahasaan dalam seting pelayanan kesehatan, perbedaannya dengan alihbahasawan kesehatan mental, pengalihbahasaan dalam bidang gangguan bicara atau speech therapy ditujukan untuk penyembuhan pada pasien dengan gangguan organ bicara atau mengalami kelainan organ bicara pada anak-anak atau pasca stroke. Jadi kendala komunikasi tidak hanya disebabkan perbedaan bahasa tetapi juga kesulitan menggunakan organ bicara bukan gangguan mental. Seperti terapi kesehatan mental dalam alihbahasawan juga harus memahami bahwa informasi vital bagi diagnosis dan pemberian tindakan perawatan karena didasarkan pada perilaku verbal, vokal, dan para linguistik yang akan dilakukan therapist.

d. Pengalihbahasaan dalam bidang hukum/pengadilan (Court Interpreting)

Pengalihbahasaan jenis ini berlangsung di lingkungan legal formal. Partisipan yang terlibat adalah jaksa, hakim, pengacara, saksi dan tersangka yang seringkali dilaksanakan secara konsekutif. Orang yang melakukan tugas pengalihbahasaan ini disebut alihbahasawan pengadilan yang bekerja di bawah sumpah. Dia harus menjaga kerahasiaan informasi (confidentiality). Tugas utamanya memperlancar komunikasi dalam proses pengadilan pada aspek kebahasaan bukan memberi nasehat hukum, seperti yang dilakukan oleh pengacara atau pembela. Alihbahasawan tidak boleh memihak siapapun (impartiality).

Dalam wilayah hukum, komunikasi memiliki fungsi penting dalam mencapai tujuan dalam sistem hukum, namun tak jarang pola komunikasi yang muncul menyimpang dari pola komunikasi normal (Gentile et al, 1996:89). Misalnya, dalam ruang sidang, pola komunikasi akan sangat berbeda dengan wacana harian karena keperluan untuk memenuhi aturan legalistik yang ketat (Conley & O’Barr dalam ibid: 89). Beberapa aturan pengalihbahasaan dalam setting legal formal, misalnya, alihbahasawan hukum harus mampu melakukan alihbahasa dan sight translation dengan akurat dan lengkap, tanpa mengubah, menghilangkan, menambah apa yang dituturkan atau tertulis, dan ia juga tidak boleh memberikan penjelasan jika tidak diminta atau harus meminta izin terlebih dahulu. Alihbahasawan tidak boleh menunjukkan sikap lebih menyukai atau simpati pada salah satu pihak. Alihbahasawan tidak boleh melakukan percakapan dengan pihak-pihak yang terlibat, saksi, juri, penuntut, atau teman maupun keluarga kedua pihak diluar fungsinya sebagai alihbahasawan selama persidangan. Ia juga harus menghindari mengganggu pandangan dari individu yang terlibat, kecuali jika menggunakan bahasa isyarat atau mode visual lainnya.

Kemudian Edwards menyatakan “Two modes of interpreting are used in court by qualified interpreters —“simultaneous” and “consecutive.” A third common mode is “summary” interpreting, which should not be used in court settings” (dalam Kelly, 2005). Alihbahasawan dalam setting legal formal tidak terbatas hanya mengalihbahasakan ujaran lisan namun juga dilakukan secara sight translation, konsekutif, dan simultan. Alihbahasawan hukum tidak hanya mengalihbahasakan dalam pengadilan, tetapi mulai dari interogasi dengan polisi (di sini tertuduh memiliki hak diam untuk tidak bicara dan tidak boleh dipengaruhi oleh alihbahasawan), dalam pengadilan saat pembacaan tuduhan, pembicaraan dengan pengacara, selama persidangan, pemberian keterangan oleh saksi-saksi & penunjukan bukti-bukti dan cek-silangnya, sehingga tersangka bisa mengikuti proses tersebut (Gentile et al, 1996: 90-100).

e. Pengalihbahasaan dalam bidang bisnis (Business setting)

Gentile et al (1996) menggunakan istilah pengalihbahasaan dalam seting bisnis, yang dalam arti sempit adalah membantu dalam pembicaraan bisnis. Pembicaraan ini tidak hanya di kantor namun bisa di berbagai tempat seperti, pabrik, dalam pesawat, perkebunan, hingga restoran. Pada beberapa lokasi alihbahasawan mungkin saja menggunakan mode yang berbeda seperti chuchotage –simultan tanpa alat dengan berbisik- untuk partisipan terbatas (seperti di pabrik), sementara dalam presentasi publik alihbahasawan menggunakan mode konsekutif untuk partisipan yang lebih banyak.
Dalam seting bisnis, biasanya alihbahasawan disediakan oleh tuan rumah, sehingga biasanya alihbahasawan lebih menjadi agen bagi tuan rumah yang akan lebih banyak memperoleh informasi daripada pihak tamu. Pada saat negosiasi mendekati deadlock, biasanya suhu komunikasi akan meningkat dan melibatkan emosi saat pembicaraan, alihbahasawan harus mampu berdiplomasi dengan penggunaan kata-kata yang lebih lunak agar proses tetap berjalan baik (ibid:122). Sehingga alihbahasawan tidak harus mengutamakan akurasi pada saat tersebut, tapi lebih mengusahakan agar kesepakatan dan proyek bisnis tetap bejalan daripada saling menyakiti.

4. Berdasarkan Jarak dan Alat bantu (physical proximity & modality)

Berdasarkan jarak dan alat bantu terdapat dua jenis pengalihbahasaan, yaitu:

a. Jarak dekat (On-site interpreting/face-to-face interpreting)

Pengalihbahasaan jarak dekat adalah proses pengalihbahasaan berada dalam seting lokasi yang sama sehingga alihbahasawan dapat melihat partisipan secara langsung. Berdasarkan beberapa literatur on-site interpreting ada yang dilakukan dengan menggunakan alat atau tanpa alat.

1) Tanpa alat: berbisik (Whispered interpreting)

Whispered interpretation adalah suatu kegiatan penerjemahan lisan secara berbisik. Proses dilakukan dengan cara membisikkan informasi kepada pendengarnya. Saat bicara antara pembicara dan alihbahasawan dapat dilakukan secara bergantian (consecutive) atau hampir bersamaan (simultaneous). Tetapi penerjemah hanya boleh berbisik-bisik tidak berbicara keras. Ciri khususnya alihbahasawan membisikkan pesan dari bahasa sumber dalam bahasa sasaran ke telinga partisipan agar ia dapat memahami maksud dari pembicara. Pengalihbahasaan ini digunakan jika partisipan yang tidak memahami bahasa yang umum digunakan hanya sedikit dan hanya untuk 1 atau 2 bahasa saja (Gentile et al 1996). Selain itu juga pada lokasi tertentu.

2) Menggunakan alat:

Pengalihanbahasaan jarak dekat yang menggunakan alat cukup banyak yang telah kita kenali seperti menggunakan ruang kaca atau booth kedap suara sebagai tempat kerja alihbahasawan yang dilengkapi dengan headset dan mikropon. Pengalihabahasaan dengan alat ini biasa dilakukan dalam konferensi baik secara simultan maupun konsekutif. Selain itu juga dalam persidangan yang melibatkan tersangka yang berbeda bahasa. Perbedaannya terletak pada jumlah partisipan yang memiliki bahasa berbeda banyak (setting multinasional dan multilingual) sehingga tidak mungkin tanpa menggunakan peralatan.

b. Pengalihbahasaan jarak jauh (Remote Intepreting/RI)

Remote interpreting sebenarnya bukan sebuah ide baru, hal ini sudah dimulai sejak tahun 70-an, (Mouzourakis, 2006). Seiring dengan kemajuan teknologi, saat ini telah memungkinkan komunikasi dapat dilakukan dari jarak jauh baik melalui jaringan telepon, internet maupun televisi. Sehingga layanan pengalihbahasaan menggunakan media komunikasi terkini yang dapat menghubungkan komunikator & komunikan yang berbeda bahasa dengan bantuan alihbahasawan walaupun terpisah jauh. Layanan pengalihbahasaan dengan jarak jauh ini biasa disebut remote interpreting. Namun, juga terdapat beragam definisi mengenai remote interpreting Mouzourakis (2006:46) misalnya menggunakan RI untuk menyatakan keadaan proses pengalihbahasaan yang dilakukan dari tempat terpisah, alihbahasawan tidak berada di tempat rapat. Ia lebih menganggap RI sebagai variasi dari conference interpreting yang telah digunakan di PBB dan Uni Eropa. Namun, di Amerika remote interpreting hanya dilakukan dalam seting konferensi.

Alasan penggunaan RI sebenarnya untuk mengatasi ketidaktersedian alihbahasawan dan penghematan biaya perjalanan. Berdasarkan alat yang digunakan kita dapat membedakan jenis remote interpreting, yaitu:

1) Pengalihbahasaan telepon (telephone interpreting)

Pengalihbahasaan ini memiliki beragam istilah seperti “telephone interpreting”, “over-the-phone interpreting (OPI)”, “telephonic interpreting”, atau “phone interpreting”, namun maksudnya sama, yaitu layanan pengalihbahasaan dua arah yang dilakukan seorang alihbahasawan yang berada lokasi yang jauh untuk menjembatani komunikasi dua individu yang berbeda bahasa melalui telepon (Kelly, 2008; Kelly, 2007). Peralatan yang digunakan seperti headset dan jaringan telepon. Pengalihbahasaan ini biasa diberikan dari rumah atau melalui call center yang disediakan sebuah provider. Institusi yang menyediakan layanan call center ini biasanya menyediakan booth anti suara seperti dalam konferensi (Kelly, 2008).

2) Pengalihbahasaan Videokonferens (videoconference interpreting)

Dilakukan bila alihbahasawan tidak berada di ruang pertemuan tetapi melalui layar dan earphone dan speaker (Mouzourakis, 2006:46). Berbeda dengan definisi videoconference yang biasanya dilakukan untuk membantu komunikasi bagi partisipan yang mengalami memiliki gangguan pendengaran atau bicara sehingga memerlukan bantuan visual karena tidak dapat dilakukan dengan audio saja (telephoning interpreting). Pengalihbahasaan ini dilakukan untuk mengatasi ketidaktersediaan alihbahasawan, mengurangi biaya perjalanan, dan keterbatasan booth. Dengan videoconference, alihbahasawan dapat bekerja dari rumah dengan proses yang sama dengan melalui telepon (Mouzourakis, 46-47).

3) Pengalihbahasaan televisi (television interpreting)

Merupakan pengalihbahasaan jarak jauh yang dilakukan secara live dan disiarkan melalui televisi untuk masyarakat banyak sehingga juga disebut media interpreting. Berbeda dengan subtitling, television interpreting masih mengalami “kognitive stress” yang sama dengan alihbahasawan biasawa. Biasanya tamu atau sumber berada dari luar negeri yang harus dialihbahasakan ke bahasa sasaran hadir di studio atau dari jarak jauh (remote). Alihbahasawan harus mengalihbahasakan tuturan narasumber pada saat yang hampir bersamaan dan langsung disiarkan. Pada saat serangan ke Palestina beberapa saat yang lalu kita dapat menyaksikan proses pengalihbahasaan dari reporter TV Al Jazeera oleh alihbahasawan ke bahasa Indonesia yang dilakukan secara simultan.
4) Pengalihbahasaan radio (radio interpreting)

Merupakan variasi pengalihbahasaan jarak jauh, biasanya alihbahasawan menerjemahkan secara lisan tuturan lisan dari sumber berita, proses ini juga berlangsung secara simultan atau telah direkam sebelumnya. Seperti television interpreting hal ini juga berlangsung secara langsung pada saat mendengar tuturan nara sumber, alihbahasawan langsung mengalihbahasakan tuturannya dan disiarkan secara langsung ke pendengar.

5. Berdasarkan input & output (mode of discourse)

Masih belum terdapat kesepakatan diantara para ahli mengenai klasifikasi ini. Penerjemahan teks tertulis ke dalam wacana lisan dalam bahasa lain menurut Gile masih tergolong sebagai penerjemahan, ia menyebutnya sebagai sight translation atau translation at sight (bukan sight interpretation). Jika kita bandingkan, baik sight translation maupun dan sign laguage interpretation merupakan pengalihbahasaan yang melibatkan bentuk input dan output wacana yang berbeda (tulis atau lisan).

a. Sight translation

Sight translation merupakan bentuk penerjemahan dari teks tertulis dan dialihbahasakan menjadi bentuk lisan. Ada dua cara pelaksanaan sight translation, yaitu dilakukan secara simultan pada saat pembicara berbicara, atau hanya pada delegasi tertentu yang memerlukan saja (Gile, 1995). Selain itu Kelly (2005) menyatakan bahwa alihbahasawan dalam pengadilan juga harus mampu melakukan penerjemahan ini untuk menerangkan isi dari bukti-bukti tertulis.

b. Pengalihbahasaan bahasa isyarat (sign language interpreting)

Merupakan pengalihbahasaan yang melibatkan partisipan memiliki bahasa berbeda dan juga memiliki gangguan pendengaran atau bicara (tuna grahita), sehingga penerjemah harus mengalihkan bahasa sumber ke dalam bahasa isyarat. Di Amerika dan New Zealand, hal ini sudah dilakukan sebagai bentuk layanan bagi masyarakat. Di Amerika digunakan ASL sementara di New Zealand menggunakan NZSL.

D. PENUTUP

Berdasarkan diskusi dan pembahasan di atas dapat dibuat beberapa simpulan. Pertama terdapat beragam jenis pengalihbahasaan tergantung dari sisi pandang dalam melihat antara satu pengalihbahasaan dan pengalihbahasaan lain. Dari perbedaan interaksi, bentuk wacana (mode of discourse), cara pengalihbahasaan (mode of interpreting), peralatan yang digunakan (modalities), jarak antara alihbahasawan dan klien (space proximity), spesialisasi kerja. Dari beragam jenis tersebut memiliki beberapa kesamaan dan perbedaan dalam pelaksanaan tugasnya di lapangan, sehingga juga menuntut penguasaan kompetensi yang berbeda satu sama lain. Pemahaman akan pola kerja dari masing-masing jenis penerjemahan di atas akan memberi arahan mengenai pola pelatihan dan tantangan dalam hal tekanan kognitif yang akan dihadapi oleh alihbahasawan.
Selengkapnya...