Selasa, 18 Agustus 2009

Tambo Sebagai Sumber Penelitian Sejarah

Oleh : Drs. Irhash A. Shamad, M.Hum (Dosen Jur. SKI)

Menggunakan tradisi lisan sebagai sumber sejarah, pertama-tama haruslah menempatkan sumber ini sebagai "jejak" bukan kesaksian--yang tertinggal dari masa lalu. Sumber tradisi lisan adalah abstraksi dari pengalaman sosial suatu masyarakat (Geertz, 1973:20). Sebagai abstraksi, maka tradisi lisan sering tidak mempertimbangkan akurasi informasi yang disampaikan, tetapi lebih pada pesan yang harus disampaikan. Kemampuan sejarawan dalam menangkap informasi yang tidak langsung dari tradisi lisan sebagai jejak masa lalu itu, tidak mustahil bisa menghasilkan suatu kesaksian dari fenomena sosial di mana tradisi itu dituturkan dan bukan dari substansi kisah yang diceritakan.

Dalam masyarakat tradisional, lazimnya tidak dikenal tradisi pencatatan tertulis. Pada umumnya sistem komunikasi dan pewarisan nilai antar generasi berlangsung secara oral. Bahkan di kalangan masyarakat tradisional yang sudah mengenal tulisanpun masih saja kurang memiliki kesadaran akan pentingnya pencatatan tertulis terhadap peristiwa yang mereka alami. Di Indonesia, banyak suku-suku bangsa yang tidak memiliki pencatatan tertulis, akibat lemahnya kesadaran sejarah (zijn voor geschiedenis) dan kesadaran waktu (zijn voor tijd) di kalangan mereka, sehingga hal ini secara umum telah menjadi kendala dalam pengungkapan sejarah masyarakat itu sendiri.
Salah satu kemungkinan yang dapat dilakukan untuk penelusuran sejarah masyarakat tradisional itu ialah dengan memanfaatkansumber-sumber lisan berupa tradisi lisan yang banyak terdapat di kalangan masyarakat itu. Namun, untuk menjadikan tradisi lisan sebagai sumber, tentunya memerlukan metodologi dan keahlian khusus, terutama dalam menangkap informasi-informasi kesejarahan yang tersirat dalam tradisi tersebut. Dalam kaitan ini,seyogianya harus disadari pula bahwa dalam hampir semua tradisi lisan, khususnya yang terdapat di Indonesia, secara eksplisit, tidak memiliki informasi-informasi kesejarahan yang akurat, karena disamping kandungan isinya yang tercampur mitos, juga sering anakronis. Oleh karena itu sumber-sumber seperti ini tidak dapat secara langsung digunakan.
Dalam Tulisan ini, akan dikemukakan salahsatu bentuk tradisi lisan yang terdapat di kalangan masyarakat Minangkabau Sumatera Barat, yaitu : Tambo. Tambo adalah salah satu bentuk ekspressi atas kesadaran masyarakat Minangkabau terhadap masa lalu mereka. Tambo berisikan tentang seluk beluk kebudayaan dan adat serta asal usul masyarakat Minangkabau. Dalam Tambo terkandung "narasi-narasi kesejarahan" yang ditujukan untuk berbagai kepentingan sebagai ekspressi atas kondisi sosial pada waktu dimana Tambo itu dibuat. Pengisahannya tidak berbeda dengan tradisi-tradisi lisan lainnya, terutama kandungan cerita yang sukar dipertanggung jawabkan kebenarannya, karena sering bercampur dengan hal-hal yang tidak empiris. Kisah-kisah yang dipaparkan pada umumnya tidak terlalu menghiraukan kebenaran apa yang disampaikan serta sering tidak kronologis (anakronis).
Tambo sebagai Tradisi Tuturan (Folklore)
Pada awalnya substansi Tambo dituturkan secara oral, dikabakan (dikhabarkan)dan didendangkan, karena itu tradisi ini oleh masyarakat disebut dengan "Bakaba". Tidak diketahui secara jelas,kapan tradisi bakaba dimulai oleh masyarakat Minangkabau. Namun dari istilah "Tambo", yang diperkirakan berasal dari bahasa Sanskerta "Tambay" atau "Tambe" yang berarti bermula (Navis, 1984:45), maka diperkirakan tradisi ini sudah ada semenjak zaman Hindu atau Budha.
Setelah masuknya agama Islam ke Minangkabau dan memperkenalkan tradisi menulis, maka Tambo kemudian mengalami perobahan transmisi dari bentuk oral ke bentuk tertulis. Tambo-Tambo yang semula dikabakan, ditulis ke dalam tulisan Arab Melayu. Sejalan dengan perobahan bentuk ini, substansinyapun mengalami perobahan dan masuknya wacana-wacana keislaman ke dalam narasinya.
Tambo-Tambo yang dalam bentuk tertulis ini dijumpai di beberapa daerah Minangkabau, terutama yang ditulis antara abad ke-17 dan abad ke-19. Hampir semua Tambo yang ditemukan itu memiliki kesamaan, baik bentuk, isi, maupun plot ceritanya. Perbedaan yang lazim terlihat antara Tambo satu daerah dengan Tambo daerah lainnya adalah dalam penggunaan istilah dan idiom yang digunakan yang disesuaikan dengan istilah atau idiom yang digunakan oleh lingkungan sosial penulisnya. Dengan persamaan-persamaan yang disebutkan,menjadikan Tambo tertulis dapat dianggap sebagai tradisi tuturan (folklore) dan setidaknya dari kandungan isinya memperlihatkan ciri tradisi lisan yang merupakan hasil kegiatan berbahasa, disusun dalam bentuk frasa, kalimat atau wacana, dan digunakan secara umum oleh masyarakat dari generasi kegenerasi ( cf. Yus Rusyana,1982/83:29). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penulisan Tambo, --yang bagi masyarakat Minangkabau merupakan penerusan dan pewarisan nilai antar generasi--, disamping merupakan bentuk pewarisan nilai-nilai serta miliki informasi kesejarahan, juga adalah merupakan gambaran dari kesadaran masyarakat dalam priode mana tambo itu dihasilkan. Seberapa banyak informasi yang dapat diambil dari Tambo sebagai sumber sejarah masyarakat, tentunya sangat bergantung dari cara bagaimana kita melihat tradisi ini sebagai sebuah kesaksian sejarah dan seberapa akurat interpretasi yang dapat dilakukan terhadap Tambo itu sendiri.
Secara garis besar, Tambo terbagi ke dalamdua jenis, yaitu : Tambo Alam dan Tambo Adat. Tambo alam biasanya mengandung kisah asal-usul nenek moyang masyarakat Minangkabau. Sedangkan Tambo Adat lebih banyak memuat tentang adat atau sistem dan aturan pemerintahan (Navis,1984:45). Akan tetapi kebanyakanTambo yang dijumpai dalam bentuk tertulis, menggabungkan kedua jenis ini. Tambo itu diawali dengan kisah asal usul keturunan masyarakat Minangkabau dan dilanjutkan dengan kisah bagaimana adat dan aturannya dibuat dan sekaligus membicarakan tentang adat itu sendiri. Semuanya terjalin dalam suatu struktur yang tidak konsisten.
Substansi Tambo terdiri dari beberapa pokok, yaitu a.l.:
1. Kisah
Kandungan kisah/cerita tentang asal usul masyarakat Minangkabau dalam Tambo, pada umumnya mempunyai alur cerita yang sama. Nenek moyang masyarakat Minangkabau diakarkan kepada tiga orang anak raja Iskandar Zulkarnaini (Alexander TheGreat), yaitu : Maharaja Alif, Maharaja Dipang dan Maharaja Diraja.Maharaja Alif, putera tertua (Maharaja Alif) menjadi raja di Benua Ruhun[1], putera kedua (Maharaja Dipang) menjadi raja di negeri Cina, sedangkan Maharaja Diraja, putera bungsunya berlayar ke selatan dan pada akhirnya mendirikan kerajaan di lereng gunung Merapi (kerajaan Minangkabau). Perjalanan ke selatan dan hal ihwal pembentukan kerajaan itu adalah setting utama dari penguraian kisah yang terdapat pada Tambo.
Maharaja Diraja melakukan pelayaran kearah selatan dengan diiringi oleh istri-istrinya dan disertai juga oleh Cati Bilang Pandai. Selain itu ikut pula dalam rombongan ini beberapa orang perempuan, antara lain : Harimau Campa, Kucing Siam, Kambing Hutan danAnjing Muallim[2]. Setelah melakukan pelayaran beberapa waktu, akhirnya sampailah di suatu tempat yang bernama Lagundi nan Baselo dan seterusnya sampai ke gunung Merapi yang pada mulanya sebesar telur. Setelah gunung menyentak naik dan laut menyentak turun dibangunlah sebuah nagari yang diberi nama Pariangan. Dan lama kelamaan berkembanglah wilayah lereng gunung ini seiring dengan perkembangan penduduknya. Dari sinilah berkembangnya nagari-nagari di Minangkabau.
2. Adat Istiadat
Paparan tentang asal usul adat Minangkabau dikemukakan seiring dengan kisah perjalanan Maharaja Diraja ini juga dikemukakan dasar-dasar adat serta sistem matrilinial telah diletakkan di masanya. Namun pada generasi berikutnya, terutama setelah meninggalnya Maharaja Diraja, barulah adat itu disusun sedemikian rupa. Di Minangkabau hingga saat ini dikenal dua kelarasan, yaitu Laras Koto Piliang dan Laras Bodi Caniago. Laras Koto Piliang yang cendrung bersifat otokratis digagaskan oleh Datuk Katumanggungan, putera Maharaja Diraja. Sedangkan LarasBodi Caniago bersifat demokrasi dan digagaskan oleh Datuk Parpatih nan Sabatang, putera Cati Bilang Pandai.
3. Hukum dan Ajaran Moral
Disamping kisah asal usul masyarakat Minangkabau serta adat istiadat, dalam Tambo juga terdapat bagian-bagian yang mengemukakan tentang hukum serta ajaran-ajaran moral. Pada Tambo yang telah ditulis (setelah masa Islam), pemaparan tentang hukum serta ajaran moral itu selalu dikaitkan dengan hukum Islam serta ajaran-ajaran moral yang terdapat dalam al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Penguraian ini selalu dikaitkan dengan adat Istiadat yang dikembangkan oleh peletak dasar adat Minangkabau. Pada bahagian ini terlihat dengan jelas bagaimana posisi agama dalam adat Minangkabau, seperti pepatah : Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah Adat berdasarkan Syari?at dan Syari?at berdasarkan Al-Qur an).
Seperti juga tradisi-tradisi yang terdapat pada daerah lainnya, Tambo, disamping tidak memiliki kesadaran waktu (kronologi), penamaan tempat juga sering hanya berdasarkan keadaan yang ditemukan pada saat itu. Kenyataan ini sering menimbulkan kekeliruan, terutama dalam mengidentifikasi wilayahnya pada saat ini. Meskipun untuk sebahagian memang masih tetap memakai nama itu hingga saat ini.

Sebagai sebuah Mitos, --bahkan dalam Tambo yang sudah ditulispun--, dalam penyajiannya sering mengaitkan setiap kisahnya dengan alam adikodrati serta faktor-faktor emosional penulisnya sendiri, sehingga tidak heran kalau dalam pengisahannya juga terdapat hal-hal yang sukar diterima secara akal sehat dan bahkan sering sangat subyektif. Kenyataan ini biasa ditemukan dalam pengisahan-pengisahan tradisional lainnya, di mana proses emosional dalam narasinya lebih banyak diwarnai oleh kepercayaan umum. Dalam Tambo yang ditulis setelah Islam, keterkaitan ini sudah barang tentu kepada ajaran agama Islam. Banyak sekali ditemukan wacana-wacana keislaman yang malah kadang-kadang berbaur dengan sisa-sisa kepercayaan lama (Hindu/Budha).
Menjadikan Tambo sebagai sumber bagi penulisan sejarah masyarakat Minangkabau, setidaknya dituntut beberapa hal, yaitu : (a) memandang Tambo sebagai salah satu bentuk tradisi tinggalan dari suatu ekspressi kultural kehidupan masyarakat pada suatu waktu tertentu, yang dengan itu (b) untuk menggali informasi kesejarahan yang terdapat di dalamnya diperlukan kekuatan interpretasi, terutama dalam menangkap fenomena sosial sesuai dengan aspek jiwa zaman (zeitgeist) yang melatar belakangi lahirnya Tambo itu sendiri, dan (c) melakukan berbagai analisa perbandingan dengan sumber-sumber tinggalan dan sumber-sumber tertulis lainnya secara cross-sectional, seperti tradisi-tradisi kesenian yang sezaman, kesaksian-kesaksian dan pencatatan sumber-sumber asing yang relevan,tentunya sejauh sumber itu relevan serta mendukung interpretasi tersebut.
Selengkapnya...

Penjualan (Pencurian?) Naskah Klasik Islam Melayu-Minangkabau

Oleh : Muhammad Ilham (Dosen Jur. SKI)

Antropolog Levi Strauss mengatakan bahwa budaya tidak terbatas soal di mana letaknya. Namun, ketika, naskah-naskah kuno Islam (Melayu ataupun Minangkabau) dijual ke negara lain, khususnya ke Malaysia, persoalannya justru menciderai hakikat budaya itu sendiri. Penjualan naskah-naskah kuno Islam beberapa tahu belakangan ini, harus disikapi serius oleh pemerintah dan budayawan Indonesia.

Hanya dalam hitungan lima tahun terakhir, sudah 60 naskah Melayu kuno Indonesia berpindah tangan ke Malaysia (www.detik.com). Padahal naskah Melayu itu dibuat sekitar tahun 1800-an. Negara tetangga itu masih akan terus memburu dokumen cagar budaya Indonesia. Bagaimanapun naskah Melayu kuno itu menjadi kekeyaan tersendiri buat bangsa Indonesia. Pemerintah pusat dan daerah harus melindungi naskah-naskah dari jarahan orang luar. Caranya tentulah, pemerintah harus membeli dari masyarakat yang jika memang mereka memperjual belikannya. Terjadinya penjualan naskah ini ke Malaysia, tidak terlepas dari minimnya perhatian pemerintah Indonesia soal kebudayaan itu sendiri. Ini dapat dilihat, ketika pemerintah telah memisahkan kebudayaan dari pendidikan itu sendiri.
Naskah Melayu kuno itu akan menjadi barang berharga yang memiliki nilai sejarah tinggi. Naskah itu nantinya akan menjadi bahan penelitian dari seluruh akademisi dan budayawan dari belahan dunia. Maka, dengan adanya perburuan naskah kono Melayu itu, nantinya Malaysia akan menjadi pusat penelitian sastra Melayu satu-satunya di dunia. Malaysia, begitu ngotot dengan naskah melayu kuno itu karena mereka akan memperkuat identitas melayunya. Seperti slogan mereka Trully Asia, Malaysia bener-bener ingin mewujudkan negeri tersebut sebagai pusat melayu di dunia.
Seperti yang kita ketahui, lagu rasa sayange, reok, batik, kini dipatenkan menjadi karya anak bangsa Malaysia. Sebentar lagi, naskah Melayu kuno yang mereka beli dari Kepri, juga akan menjadi hak paten milik mereka. Lantas bangsa kita ini akan tetap menjadi penonton pada hasil karyanya sendiri yang sudah dimiliki bangsa lain. Naskah yang kini sudah berpindah tangan itu, antara lain, sejumlah syair, hikayat, catatan harian, Al Quran kuno yang semuanya bertuliskan tangan pada abad 19 lalu. Para pemburu naskah Melayu ini dilakukan warga Malaysia baik dari mahasiswa maupun para akedemisi. Mereka membeli dari masyarakat di Pulau Lingga, Bintan, dan Pulau Penyengat di Kepri, dan beberapa kasus yang terjadi di Sumatera Barat. Kini 60 naskah Melayu itu dengan mudah dijumpai di Pustaka Universitas Kebangsaan Malaysia, Universitas Malaka serta museum pemerintah Malaysia. Naskah bertuliskan melayu arab itu, bakal menjadi dokomen sejarah soal akar sastra Melayu di dunia.



Selengkapnya...

Perpustakaan Islam Periode Klasik

Oleh : Dra. Sismarni, M.Pd (Dosen Jur. SKI)

Perpustakaan dalam Islam telah berdiri pada zaman klasik, tepannya pada masa pemerintahan dinasti Umaiyah. Jenis perpustakaan pada masa ini adalah perpustakaan pribadi yang dimiliki oleh Khalid ibnu Yazaid, perpustakaan semi umum yaitu perpustakaan yang dimiliki oleh Khalifah, dan para pembesar,dan perpustakaan umum yaitu perpustakaan Mesjid.

Peradaban adalah hasil dari kejeniusan suatu bangsa. Hal ini telah diakui secara umum, ambil saja contoh peradaban Yunani adalah hasil dari kejeniusan bangsa Yunani, begitu juga dengan peradaban Islam merupakan hasil dari para jenius umat Islam, demikian pula halnya dengan peradaban Barat yang sekarang memperlihatkan kejayaannya juga hasil dari jeniusnya bangsa Barata. Kejeniusan suatu bangsa tidak mungkin akan lahir dan berkembang dengan begitu saja tanpa didukung oleh upaya yang sungguh-sungguh dan sarana yang memadai, salah satu sarana yang sangat berperan dalam hal ini adalah perpustakaan. Berdirinya perpustakaan merupakan reaktualisasi kepedulian ilmuan-ilmuan Islam dalam meningkatkan potensi intelektual umat Islam khususnya dikalangan pelajar dan pemerhati ilmu pengtahuan.
Perpustakaan Islam dengan koleksi buku-bukunya memainkan peranan penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Disamping itu perpusakaan merupakan mesin penggerak yang dapat mengangkat kebesaran peradaban Islam. Selain dari itu perpustakaan juga merupakan salah satu sarana yang mempunyai andil yang cukup ampuh dalam melahirkan dan mengembangkan kejeniusan intelektual umat Islam yang selanjutnya mewariskan peradaban sehingga Islam pernah menjadi pemimpin dunia dalam masa yang cukup panjang sebelum peradaban barat mengamil alih kepemimpinan pada masa modern sekarang.

Kelahiran sebuah perpustakaan tidak terlepas dari sejarah manusia, karena pada dasarnya perpustakaan merupakan produk manusia. Dalam sejarahnya manusia pada awalnya hidup secara nomaden (berpindah-pindah). Pada perkembangan berikutnya manusia mulai hidup menetap dalam kehidupan ini manusia memperoleh pengalaman untuk memberi tanda pada sebuah batu, pohon, papan, lempengan serta benda lainnya kepada manusia lainnya untuk menyampaikan berita ke manusia lainnya. Tanda tersebut menjadi alat bagi mereka dalam berhubungan antara satu dengan yang lain dan. juga digunakan sebagai cantuman (record) mengenai apa yang dikatakan manusia maupun apa yang perlu diketahui seseorang. Hal ini akan dapat membantu daya ingat manusia karena mereka dapat melihat catatannya pada benda-benda tersebut diatas pesan dalam berbagai pahatan serta dapat diteruskan ke generasi berikutnya.
Kegiatan memberi tanda pada berbagai benda yang dilakukan dari satu generasi ke generasi berikutnya dianggap awal tumbuhnya perpustakaan dalam bentuk yang sangat sederhana. Hal ini sudah mulai dikenal ketika manusia mulai melakukan kegiatan penulisan pada berbagai benda walaupun demikian belum dapat dipastikan kapan perpustakaan pertama kali berdiri. Berdasarkan bukti arkeologis diketahui bahwa perpustakaan pada awalnya berupa kumpulan catatan transaksi niaga. Karena kegiatan perpustakaan purba tidak lain dalam bentuk penyimpanan kegiatan niaga. Manusia pada zaman purba berusaha mencatat kegiatannya dengan cara memahatkan catatannya pada kayu, batu, dan lempengan. Sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman dari kegiatan pencatatan diatas, kemudian dikenal beberapa perpustakaan diberbagai Negara seperti dibawah ini:
1. Sumeria dan Babilonia.
Perpustakaan di Sumeria sudah dikenal semenjak 3000 tahun SM, hal ini sejalan dengan pedapat Sulistio Basuki bahwa, bangsa Sumeria sekitar 300 tahun sebelum masehi telah menyalin rekening, jadwal kegiatan, pengetahuan yang mereka peroleh dari bentuk lempeng tanah liat (clay tablets) Tulisan yang digunakan masih berupa gambar (piglograph) kemudian ke aksara Sumeria. Setelah wilayah ini ditaklukan oleh Babilonia, kebudayaan Sumeria temasuk kepercayaan, peraktek keagamaan dan tulisan Sumeria mulai berpengaruh di Babilonia. Tulisan Sumeria emudian dirubah menjadi tulisan paku (cuneiform). Pada masa pemerintahan raja Ashurbanipal dari Assyiria (668-626 SM) didirikanlah perpustakaan di ibukta Nineveh. Perpustakaan ini berisi puluhan ribu lempeng tanah liat yang dkumpulkan dari segala penjuru kerajaan. Untuk mencatat koleksi digunakan system subjek serta tanda pengenal pada tempat penyimpanan. ( sulistio 1993:22).

2. Mesir
Pada masa pemerintahan Bathlaimus I ( 323-285 SM) raja pertama kerajaan Bathlalisah di Mesir,dibangun sebuah museum yang juga berfungsi sebagai universitas dan sebuah perpustakaan yang terkenal dalam sejarah yaitu “Perpustakaan Iskandariyah” ( The Library of Alexandria ).(Muchtar Yahya (1985:430) Dengan berdirinya perpustakaan ini maka berkembanglah perradaban Mesir kuno. Para ahli, para sarjana, mahasiswa dan pencinta ilmu berdatangan dari segenap negeri yang telah mempunyai peradaban.
Teks tertulis pertama yang ada di perpustakaan Mesir diperkirakan berasal sekitar tahun 4000 SM, Perpustakan ini mengalami kemajuan atas usaha Demetrius dan Phalerum. Koleksi yang tersedia pada perpustakaan ini sekitar 200 000, gulungan papyrusdan pada abad pertama Sm mencapai 700 000 gulungan. Perpustakaan kedua adalah Serapeum, memiliki 42 000- 100 000 gulungan terpilih. Semua gulungan ini disunting dan disusun menurut bentuknya dan diberi catatan sehingg menjadi sebuah bibliografi sastra Yunani (Sulistio 1993:23)
3. Yunani
Di Yunani perpustakaan mulai berdiri sekitar abad ke 6 dan ke 7 SM, yaitu perpustakaan milik Peisstratus (dari Athena) dan Polyerratus (dari Samos). Perkembangan perpustakaan di Yunani terjadi pada masa kejayaan Yunani yaitu dibawah pimpinan Pericles sekitar abad ke 5 SM. Pada waktu itu membaca merupakan pengisi waktu senggang dan merupakan awal dimulainya perdagangan buku.
Filosof Aristoteles dianggap sebagai orang pertama yang mengumpulkan , menimpaan dan memanfaatkan budaya masa lalu.Perkembangan perpustakaan Yunani kuno mencapai puncaknya pada semasa Hellenisme yang ditandai dengan penyebaran ajaran dan kebudayaan Yunani.
4. Roma
Kehidupan budaya dan intelektual Roma dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani. Ha ini disebabkan oleh terjadinya kontak ilmu antara orang Roma dengan Yunani. Pada masa kejayaan ilmu pengetahuan di Yunani, banyak orang Roma yang mempelajari filsafat, sastra dan ilmu pengetahuan lainnya. Perpustakaan pribadi mulai tumbuh di Roma disebabkan banyaknya perwira tinggi yang membaa rampasan perang, termasuk buku-buku. Di samping itu juga karena adanya perintah untuk membuka perpustakaan untuk umum. oleh Julius Caesar.
Berdasarkan hal tersebut akhirnya tersebarlah perpustakaan keseuruh bagian kerajaan Roma. Pada masa itu muncul bentuk buku baru dalam bentuk codek yang merupakan kumpulan parchmen,diikat serta dijilid menjadi satu seperti buku yang kita kenal sekarang. Codex mulai digunakan secara besar-besaran pada abad ke 4. Akibat kemunduran yang dialami kerajaan Roma, maka perpustakaanpun mengalami nasib yang sama, akhirnya yang tinggal adalah perpustakaan biara
5. Bizantium.
Awal berdirinya perpustakaan di Bizantium adalah pada masa kekuasaan Kaisar Konstantin Agung raja kerajan Roma Barat dan Timur ((324 SM ) Ia mendirikan perpustakaan kerajaan dan mengumpulkan karya Latin, karena bahasa Latin pada waktu itu merupakan bahasa resmi abad ke 6. Koleksi ini kemudian ditambah dengan karya-karya Kristen dan non Kristen, baik dalam bahasa Yunani maupun Latin. Koleksinya berjumlah 120.000 buku. Pada waktu itu gereja merupakan pranata kerajaan yang paling penting, karena adanya ketentuan bahwa seoang uskup harus memiliki sebuah perpustkaan, dengan dmiin maa bekembanglah perpustakaan gereja.

Sebelum melihat latar belakang berdirinya perpustakaan dalam Islam dirasa penting terlebih dahulu untuk menjelaskan pengertian dari perpustakaan tersebut. Berbicara tentang perpustakaan, pada umumnya orang akan memperediksikan sebuah gedung atau ruangan yang dipenuhi dengan rak buku. Anggapan yang demikian dapat dibenarkan karena bila kita perhatikan kata dasar dari perpustakaan adalah pustaka, berasal dari bahasa Latinl “Leber” atau “libri” yang bearti buku. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan “Library” dalam bahasa Arab “ Maktabah “Italia “ biblioteca” Perancis “bibliotheque”, Jerman, “bibliothek” dan dalam bahasa Belanda “Bibliotheek”.
Menurut istilah Perpustakaan dapat diartikan “ sebuah gedung atau ruangan yang digunakan untuk menyimpan buku atau terbitan lainnya yang disusun menurut tata susunan tertentu untuk digunakan sipembaca. Pengertian ini sejalan dengan pendapat Lasa yang mendefinisikan perpustakaan dengan “kumpulan bahan informasi yang terdiri dari bahan buku/ book materials dan bahan non buku materials yang disusun dengan system tertentu dipersiapkan untuk diambil manfa.atnya tidak untuk dimiliki sebahagian maupun keseluruhannya”.( Lasa Hs 1994:1)
Sedangkan menurut Webster’s Third Edition International Dictionary edisi 1961, bahwa perpustakaan adalah kumpulan buku, manuskrip dan bahan pustaka lainnya yang digunakan untuk keperluan studi atau bacaan, kenyamanan atau kesenangan. Lain pula halnya dengan pendapat International of Library Association and Institution (IFLA) perpustakaan sebagai kumpulan materi tercetak dan media non cetak dan atau sumber informasi dalam komputer yang disusun secara sistematis untuk digunakan pemaka
Berdasarkan pengertian diatas terlihat bahwa koleksi perpustakaan digunakan untuk sipembaca, dengan tujuan untuk mendayagunakan koleksinya untuk kepentingan mereka dengan kata lain koleksinya bukan unuk diperjual belikan.
Adapun yang melatar belakangi lahirnya perpustakaan dalam Islam adalah:
1. Ajaran Islam, Al-qur’an dengan perintah “bacalah” mendorong dan memotivasi umat Islam untuk memperoleh ilmu pengetahuan,dengan demikian mereka (intelektual Islam) berupaya untuk melakukan berbagai kegiatan seperti menerjemahkan buku-buku yang berhahasa asing kedalam bahasa Arab, berkumpul di mesjid untuk membahas dan mendiskusikan persoalan- persoalan ilmiah dan melakukan perjalanan jauh untuk mendangarkan tokoh-tokoh terkemuka berdiskusi tentang karya-karya mereka, sehingga berkembanglah kehidupan intelektual.. Hal ini merupakan dasar untuk menghasilkan pengetahuan dan literatur serta mampu merangsang timbulnya koleksi-koleksi buku-perpustakaan yang tertata rapi.
2. Dunia ilmu semakin menempati kedudukan yang sangat tinggi sementara Islam sangat menghargai ilmu pengetahuan sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-qur’an surat 3:190 kemudian surat 7:185 surat 30:40 dan lain-lain.
3. Kegiatan penerjemahan yang melahirkan sebuah buku juga termasuk suatu yang member andil bagi penerbitan buku.
4. Perhatian atau kepedulian Islam itu sendiri terhadap pendidikan dan buku. Dalam Islam buku tidak hanya diperlakukan semata-mata sebagai media bahkan lebih dari itu, ia mempunyai nilai-nilai moral yang dapat melandasi perhatian yang diberikan kepadanya, perhatian tersebut mengharuskan penyebar luasan dan pemeliharaan buku sebagai bahagian dari kegiatan mendukung ilmu pengetahuan dan pendidikan.
5. Diperkenalkannya teknologi kertas ke dunia Islam, sehingga ia mempermudah menurunkan biaya dan mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi atau mereproduksi buku sehingga mendorong ledakan jumlah buku untuk beredar
6. Kehidupan yang berkembang di dalam Mesjid menyebar keluar dan meninggalkan jejaknya di kalangan yang berpengaruh dimana-mana.
7. Kecintaan para penguasa dan para pembesar terhadap ilmu pengetahuan, maka untuk kepentingan itu mereka menyediakan dana khusus dan memberikan gaji yang besar kepada para ilmuan.
8. Perekonomian yang cukup makmur juga merupakan faktor pendukung berkemangnya perpustakaan pada zaman itu.
Islam adalah agama yang menaruh perhatian besar pada ilmu pengetahuan, hal ini terbukti dengan giatnya tulis-menulis sejak priode awal. Keterlibatan inilah yang juga mendorong cepatnya Islam menyebar ke daerah-daerah yang kaya akan buku dan perpustakaan kuno, sehingga mereka menemukan papyrus (lontar) dari Mesir dan menggali naskah-naskah kuno di daerah-daerah Telloh, Ur, Warka, Niniveh. Ugarit dan yang paling akhir Ebla yang terletak di wilayah Mesopotamia dan Mesir.
Mereka menemukan pula perpustakaan Agung (Great Library) di Alexandria yang paling terkenal pada waktu itu. Kecintaan pada bukupun menjadi karakteristik dunia Islam pada masa itu, karena mereka menggap perbuatan itu yang disertai dengan pendirian banyak perpustakaan merupakan suatu perbuatan amal shalih yang amat terpuji. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa perpustakaan dalam Islam telah tumbuh.semenjak awal. Akan tetapi amat disayangkan bukti-bukti pada tahun-tahun permulaan Islam tidaklah banyak ditemukan sampai dengan dikenalnya kertas dari Cina.
Setelah umat Islam berkenalan dengan kertas maka perpustakaan dalam Islam mulai didirikan oleh orang-orang kaya, kalangan bangsawan dan di istana-istana para penguasa. Karena Al Qur’an mengharuskan individu-individu untuk mengajarkan ilmu pengetahuan dan menyediakan kekayaan yang dimilikinya bagi orang lain yang kurang beruntung, maka para hartawan membiayai pembangunan perpustakaan dan seringkali membukanya untuk para ilmuwan dan kadang-kadang untuk umum.
Menurut para ahli, perpustakaan pertama dalam Islam adalah perpustakaan pribadi yaitu perpustakaan Khalid ibnu Yazid bin Muawiyah (w704) ia seorang sastrawan dan kolektor buku. Perpustakaan ini lahir pada masa pemerintahan dinasti Ummayah (661-750 M) yaitu suatu dinasti Islam setelah pemerintahan khulafuraysyidin. Dinasti ini telah melakukan beberapa perubahan bukan saja dalam system pemerintahan tetapi juga dalam bidang peradaban terutama kehidupan ilmu dan akal.
Adapun yang mendorong Yazid untuk mendirikan perpustakaan adalah untuk menghibur diri setelah kecewa karena tidak mendapatkan kekhalifahan. (J. Pederson 1984:152) disamping perpustakaan Khalid koleksi lain dimiliki oleh perpustakaan-perpustakaan mesjid kekhalifahan, lembaga pendidikan dan perpustakaan umum. (John L. Esposito jilid 4 1990:351).
Pada periode dinasti Abbasiyah perpustakaan memperlihatkan perkembangan yang menggembirakan. Hal ini terlihat setelah khalifah al Mansur (754-775) khalifah ke dua dari dinasti Abbasiyah mendirikan biro penerjemahan di Baghdad. Kemudian pada masa pemerintahan Harun Al Rasyid lembaga ini bernama khizanah al hikmah (khazanah kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penelitian).. Pada perpustakaan ini banyak tersimpan buku-buku berbahasa asing yang telah diterjemahan kedalam bahasa Aeab seperti dari bahasa Yunani, Parsi, Syiriac dan Sanskrit, dan terdaftar dalam katalog bernama Fibrist karya Ibn Al Nadim dan Kasyif karya Haji khalifah.
Pada tahun 815 al Ma’mun mengembangkan lembaga ini dan merubah namanya dengan bayt-al-Hikmah. Perpustakaan ini menyerupai universitas yang bertujuan untuk membantu perkembangan belajar, mendorong penelitian, dan mengurusi terjemahan teks-teks penting. Koleksi buku Perpustakaan Baghdad berjumlah 400 hingga 500 ribu jilid. Menurut riwayat, khalifah Al Makmun Al Rasyid, telah memperkerjakan cendekiawan-cendekiawan terkenal pada perpustakaan ini diantanya yaitui Al Kindi -filosof-, untuk menerjemahkan karya-karya Aristoteles ke dalam bahasa Arab. Al Kindi sendiri menulis hampir tiga ratus buku tentang masalah-maslah kedokteran, filsafat sampai musik yang disimpan di Bayt Al-hikmah. Musa Alkhawarizmi, matematikawan ternama dan penemu aljabar juga bekerja di tempat ini dan menulis buku terkenalnya kitab Al-jabr wa’al-muqabilah.
Perpustakaan bayt al-Hikmah adalah perpustakaan pertama terbesar dalam Islam. Pada perpustakaan ini para ulama dan intelektual melakukan berbagai aktifitasnya. Begitu juga mahasiswa-mahasiswa Islam, berdatangan ke perpustakaan tersebut untuk memperluas dan mendalami berbagai jenis ilmu pengetahuan, seperti,. Mendalami Al-Qur’an, kesusasteraan dan filsafat astronomi, tata bahasa, lexicography dan obat-obatan.
Ruang perpustakaan tersebut diperindah dengan karpet sedang seluruh pintu dan koridornya berkorden. Para manager, pegawai, portir (penjaga pintu) dan pekerja kasar lainnya ditunjuk untuk memelihara keberadaan Baitul Hikmah Menurut Al-Maqrizi anggaran pemeliharaan mencapai 257 dinar pertahun guna untuk kelengkapan permadani, kertas, gaji pegawai, air, tinta dan pena, perbaikan-perbaikan dan sebagainya. Kertas, pena dan tinta disediakan cuma-cuma bagi para siswa yang diambilkan dari hasil wakaf dan para dermawan. Ibnu Al Furat ( W. 924 M) mengatakan bahwa pada masa-masa terakhir jabatannya ia memikirkan murid-muridnya. Katanya “Barangkali mereka tidak mampu mengeluarkan uang sebesar satu sen-pun atau bahkan kurang dari itu untuk membeli tinta dan kertas, maka sudah menjadi kewajiban saya membantu dan menyediakannya”. Dan untuk ini ia mengeluarkan 20.000 dirham dari dompetnya sendiri. ( lihat, http/jaen 2006.wordpress.com 2007/04/14)
Perpustakaan lain yang tak kalah besarnya pada masa ini adalah perpustakaan di Madrasah Nizamiah yang didirikan pada 1065 M oleh Nizam Al Mulk. Ia adalah seorang perdana mentri dalam pemerintahan Saljuq.. Koleksi di perpustakaan ini diperoleh sebagian besar melalui sumbangan, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Al-Atsir (sejarawan) bahwa Muhib Al-Din ibn Al-Najjar Albaghdadi mewariskan dua koleksi besar pribadinya kepada perpustakaan ini.dan Khalifah Al-Nashir juga menyumbangkan beribu-ribu buku dari koleksi kerajaannya kepada perpustakaan tersebut. Karyawan dan pustakawan-pustakawan diberi gaji yang besar. Hal ini bukan hanya terjadi di perpustakaan Nizamiah saja. Akan tetapi hampir di seluruh perpustakaan zaman tersebut. Bahkan Al Nadim memaparkan adanya tanda-tanda keirihatian dari para pustakawan –khususnya pustakawan Bayt Al Hikmah, sebab mereka memiliki kedudukan yang tinggi di dalam masyarakat, karena kecendikiawanan mereka.
Diantara pustakawan terkenal Nizamiah adalah Abu Zakariah Tibrizi dan Ya’qub ibn Sulaiman AL-Askari. Pada tahun 1116 M perpustakaan ini mengalami musibah : kebakaran hebat yang menghabiskan seluruh bangunan dan isinya. Di samping bayt al- Hikmah, Khalifah Mustansir Billah mendirikan sebuah perpustakaan yang luar biasa di madrasah yaitu perpustakaan al-Mustanriyah yang didirikan pada 1227 M. Uniknya perpustakaan ini adalah memiliki rumah sakit di dalamnya. Oleh karena itu perpustakan ini berfungsi sebagai madrasah dan rumah sakit.
Pengelana dunia terkenal (Ibn Baththuthah) menjelaskan bahwa Mustanriah dan perpustakaannya, melalui sumbangan-sumbangan sekitar 150 unta dengan muatan buku-buku yang langka disumbangkan ke perpustakaan ini. Perpustakaan ini memiliki koleksi yang cukup besar, dari milik kerajaan saja perpustakaan Mustanriah mendapatkan 80.000 buku. .(http./www.pks-jakselor.id/indek pkp?name=news&file=article&sid=1396
Bila diperhatikan, perpustakaa pada waktu ini bukan hanya berkembang di Bagdad saja melainkan hampir diseluruh kota besar di dunia timur. Kairo misalnya berdiri perpustakaan khalifah dengan jumlah buku yang tersedia sekitar 2.000.000 (dua juta) eksemplar. Selain dari itu ada lagi perpustakaan Darul Hikmah yang juga bertempat di di Kairo. Perpustakaan ini mempunyai 40 lemari. Dalam setiap lemari memuat sampai 18.000 buku. selain itu, diperpustakaan ini juga disediakan segala yang diperlukan pengunjung seperti tinta, pena, kertas dan tempat tinta
Perpustakaan ini terbuka untuk umum, bagi mereka yang ingin menghabiskan waktu untuk menelaah buku-buku, juga disediakani penginapan, makan dan bahkan diberi gaji. Untuk melihat bagaimana keadaan perpustakaan di Kairo ini dapat diketahui dari perkataan Filosof besar Ibn Sina yang pernah berkunjung kesana :
” Disana, saya menemukan sejumlah ruangan yang penuh dengan buku, tersusun dalam lemari-lemari yang ditata dalam barisan yang rapi. Satu ruangan dikhusukan bagi buku-buku tentang bahasa dan puisi; ruangan lain untuk bidang hukum; dan seterusnya; kumpulan buku dalam bidang tertentu mempunyai ruangannya sendiri. Lalu saya (Ibnu Sina) meneliti katalog penulis Yunani kuno dan mencari buku yang saya butuhkan . Dalam koleksi perpustakaan ini saya menemukan sejumlah buku yang hanya diketahui oleh sedikit orang saja, dan belum pernah saya lihat dan tak pernah lagi saya lihat sesudahnya”.
Di Afrika Utara (Tripoli) berdiri pula perpustakaan yang dibangun oleh Bani Ammar.. Perpustakaan ini berisi buku-buku yang langka dan baru dijamannya. Bani Ammar mempekerjakan orang-orang pandai dan pedagang-pedagang untuk menjelajah negeri-negeri dan mengumpulkan buku-buku yang berfaedah dari negeri-negeri yang jauh dan dari wilayah-wilayah asing. Jumlah koleksi bukunya mencapai 1.000.000. Terdapat 180 penyalin yang menyalin buku-buku di sana.
Jika dialihkan panngan kita ke arah barat atau ke Andalusia, maka terlihatlah betapa majunya peradaban Islam disana. Ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat, begitu juga lembaga-lembaga pendidikan temasuk perpustakaan. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka berdirilah universitas Islam pada setiap pusat kota, seperti Cordova, di kota ini berdiri lembaga pendidikan sebanyak 27 buah dan bebeapa perpustakaan. Di samping pepustakaan pusat yang memiliki 400.000 buku terdapat pula perpustakaan-perpustakaan pribadi. ( Abdullah Salam 1980:25) Universitas Granada yang didirikan oleh khalifah Banu Nasr yang ke tujuh dan pada masa Yusuf Abu Al- Halaj ( 1333-1354M ) berdiri pula universitas Sevill dan Malaga (Muslim Ishak 1980:7).
Pada setiap universitas tersebut dilengkapi dengan perpustakaan yang mempunyai sarana dan prasarana yang lengkap. Perpustakaan lain adalah perpustakaan Al-Hakam dengan koleksi buku didalamnya mencapai 400.000 buah. Perpustakaan ini mempunyai katalog-katalog yang sangat teliti dan teratur yang mencapai 44 bagian. Di perpustakaan ini terdapat pula para penyalin buku yang cakap dan penjilid-penjilid buku yang mahir.
Perpustakaan –perpustakaan zaman tersebut tidak saja dilindungi dan ditopang oleh para khalifah, tetapi juga para raja-raja kecil yang juga ikut memberikan sumbangan untuk berdirinya perpustakaan-perpustakaan, sehngga banyak melahirkan perpustakaan pribadi, salah satunya adalah perpustakaan pribadi milik Mahmud Al Daulah ibn Fatik. Beliau adalah seorang yang ahli dalam menulis dan kolektor besar, ia menghabiskan semua waktunya di perpustakaannya untuk membaca dan menulis. hal inilah yan membawa beliau ke jenjang popularitas. Oleh karena itu keluarganya merasa sedemikian diabaikan, sehingga ketika ia meninggal, keluarganya berupaya untuk membuang buku-bukunya karena dibakar oleh kemarahan.
Para pelindung perpustakaan juga mencurahkan sebagian besar pemikirannya untuk desain, tata letak dan arsitektur perpustakaan agar masyarakat luas dapat menjangkau buku-buku dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan dengan mudah. Kebanyakan perpustakaan-perpustakaan tersebut ditempatkan di gedung yang dirancang secara khusus, dengan banyak ruangan untuk berbagai tujuan, galeri-galeri dengan rak buku, ruangan-ruangan untuk kuliah dan debat, termasuk juga ruangan-ruangan untuk hiburan musikal. Semua ruangan berpermadani sehingga para pembaca dapat duduk diatasnya. Gorden-gordennya menciptakan suasana menyenangkan dan pengaturan ruangan menciptakan suhu yang sesuai.
Dilihat dari penataan koleksi, perpustakaan-perpustakaan zaman tersebut pustakawan sudah menata buku berdasarkan klasifikasi ilmu pengetahuan tertentu. Mereka telah membuat sistem klasifikasi ilmu pengetahuan yang diterapkan untuk penataan buku di perpustakaan. Diantara klasifikasi yang paling terkenal adalah yang dibuat oleh : Al-Kindi (801-973 M ), Al Farabi (wafat pada 950 M), Ibn Sina (980-1037 M), Al Ghazali (1058-1111M), Al-Razi (864-925 M) dan Ibnu Khaldun (1332-1403 M). Para pustakawan pada umumnya memiliki kualitas yang benar-benar tinggi, di samping berfungsi sebagai pustakawan mereka juga sebagai penulis-penulis terkenal yang telah menerjemahkan karya-karya dari bahasa Yunani dan Persia, diantaranya Al Murthadha yang mengepalai perpustakaan Subur, ia adalah seorang ’alim dan cukup besar pengaruhnya dikalangan cendikiawan, Hakim Abd Al-Aziz pemimpin perpustakaan Dar Al’Ilm di Kairo, terkenal karena penguasaannya akan yurisprudensi. Profesi pustakawan zaman itu memberikan kehormatan yang tinggi dan gaji yang cukup besar.
Para ulama jaman itu memiliki perpustakaan yang isinya mencapai ribuan buku.Tetapi sangat disayangkan, perpustakaa yang telah berkembang begitu pesatnya akhirnya hancur karena perang Salib dan invasi bangsa Mongol ke dunia Islam. Petaka serangan Salib telah membuat umat Islam kehilangan perpustakaan-perputakaan paling berharga yang ada di Tripoli, Maarrah, Al-Quds, Ghazzah, Asqalan, dan kota-kota lainnya yang dihancurkan mereka. Serangan bangsa Mongol yang begitu dahsyat telah memporak porandakan kota Bagdad dengan sekalian isinya termasuk perpustakaan, mereka membakar dan membuang koleksi buku ke Sungai Tigris.. Ini adalah pemusnahan buku paling mengerikan dalam sejarah perpustakaan Islam.
Salah satu perpustakaan besar Islam yang ada sekarang adalah Perpustakaan Masjid Nabawi. Perpustakaan ini didirikan pada pertengahan abad ke-14 H. Pembangunannya dipimpin oleh Sayid Ahmad Yasin Al-Khiyari (wafat 1380 H). Koleksi kitabnya sampai sekarang sudah bertambah hingga mencapai 60 ribu judul buku. Koleksi kitab yang terdapat disana antara lain: kitab tauhid, tafsir Alquran, tajwid, qiraat, dan ilmu-ilmu Alquran, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Syarah Nawawi, kitab sejarah Islam, sejarah Makkah, sejarah Madinah, dan buku-buku pelajaran bahasa Arab, kitab-kitab fikih dari empat mazhab (Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali), maupun kitab-kitab fikih dari mazhab-mazhab lain, kitab-kitab ushul fikih, dan akhlak.

Pada umunya setiap perpustakaan mempunyai tujuan, anggota, organisasi, dan kegiatan serta sejarah yang berbeda. Perbedaan ini mengakibatkan timbulnya berbagai jenis perpustakaan. Adapun jenis perpustakaan pada awal Islam dapat diklasifksikan kepada tiga jenis yaitu:
1. Perpustakaan Umum, yaitu perpustakaan yang dibangun oleh Negara pendanaanya subsidi dari Negara dan msyarakat Lokasi perpustakaan ini biasanya di Mesjid, Madrasah, rumah sakit dan lembaga lainnya.Perpustakaan ini dipromotori oleh penguasa dan para ilmuan. Fasilitas buku lebih banya daan luas. Perpustakaan jenis ini terbuka untuk semua lapisn masyarakat tanpa kecuali. Aturan peminjaman tidak begitu ketat, kepada peminjam hanya diingatkan untuk berhati-hati dalam menggunakan dan menjaga kondisi buku, tidak dibenarkan membuat coretan-coretan pada buku perpustakaan. Peminjam tidak dibenarkan meminjamkan buku ke pihak yang ketiga dan harus mengembalikannya setelah selesai menggunakannya. Adapun yang termasuk kategori perpustakaan ini adalah: Bait al-hikmah di Baghdad, Bait Al-hikmah di Kairo, Darul ilmi atau perpustakaan buku “Sabur”, dan perpustakaan di sekolah-sekolah
2. Perpustakaan Semi umum (semi publik), perpustakaan ini merupakan perpustakaan milik khalifah atau raja-raja yang juga menyediakan berbagai mcam buku ilmu pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu. Dana perpustakaan ini secara mandiri lokasinya di istana, rumah pejabat dan took buku. Adapun promotornya adalah khalifah, pejabat dan para ilmuwan. Koleksi yang tersedia juga banyak, sementara peminjamnya terbatas kelompok tertentu
3. Perpustakaan Khusus, yaitu perpustakaan yang dibangun oleh ulama, sarjana dan sastrawan secara pribadi dan sebagairumah bacaatau referensi mereka masing-masing. Diantara perpustakaan ini adalah perpustakaan Djamaluddin al-Qafathi dan perpustakaan Imaduddin Asfahani ibn Al- Amid. Pendanaan : mandiri berlokasi dirumah-rumah kelompok intelektual sebagai promotornya adalah ilmuwan dan pemerhati keislaman dengan fasilitas yang tersedia buku-bukunya banyak tapi lebih spesifik dan tidak dibuka untuk umum
Dari ketiga type perpustakaan di atas berkembang nama-nama perpustakaan yang tersebar diberbagai wilayah Islam. Dari Dar al Hikmah lahirlah Dar al Ilm dan Dar al Kutub, Bait al Hikmah melahirkan Bait al Ilm dan Bait al Kutub dan dari Hizanah al Hikmah maka tercetuslah Hizanah al Ilm dan Hizanah al Kutub.




Selengkapnya...

Dinasti Mamluk di Mesir, Masa Kemunduran Islamkah ?

Oleh : H. Khilal Syauqi, Lc. (Dosen Jur. SKI)

وقد عمل الأيوبيون فى مصر فى فترة ضعفهم أيام الصالح نجم الدين أيوب على استجلاب المماليك للإعتماد عليهم فى حروبهم. و كان هذا الأمر هو الذى فتح الطريق لحكم المماليك على بلاد مصر بعد وفاة الصالح نجم الدين أيوب. و أن الممليك رغم تولتهم بمنصب شريف كلقب سلطان أو أمير السلطان كانوا يعتزون بهذه التسمية ولا يرضون عنها بديلا, ويرون فيها مجدهمفقد لعب سلاطين الممليك دورا مهمة في تطور حضارة الإسلام خصوصا بعد أن هدمها و مزقها جيش التتار. و كا نجاحهم فى موقعة عين جالوت دليلا على جهدهم و إهتمامهم نحو حضارة الإسلام. وكذلك كل ما قد عملها أثناء توليهم بالسلطان من ناحية إصلاحات الداخلية والخارجية سياسا, إقتصاديا وثقافيا حتى أصبحت بلاد مصر مركزا حضاريا في ذلك الوقت يتبين لنا مدى إهتمامهم بهذه الحضارة العتيقة.

Dalam kurun waktu lebih dari 14 abad, dalam sejarah Islam telah muncul beberapa pemerintahan yang sangat berpengaruh terhadap dinamika perkembangan peradaban Islam. Pada umumnya apabila suatu masa pemerintahan Islam tersebut mengalami kekuatan dan kejayaan, maka akan berdampak pada kemajuan peradaban Islam. Demikian pula sebaliknya.
Salah satu di antara rezim pemerintahan dalam Islam adalah pemerintahan Dinasti Mamluk di Mesir, yang mulai berdiri sejak tahun 1250 M dan berakhir pada tahun 1517 M. Pemerintahan Dinasti Mamluk ini berpusat di Kota Kairo Mesir dan telah memberi kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan peradaban Islam, sesuai dengan maju mundurnya atau jaya lemahnya.
Posisi Dinati Mamluk dalam sejarah peradaban Islam sangatlah penting karena momentum keberadaannya di abad pertengahan. Keutamanaan pembahasan mengenai abad pertengahan (abad ke 7 hingga ke-11 H/abad ke-13 hingga ke-17 M) adalah bahwa era ini merupakan masa pembantukan salah satu sistem politik dalam Islam. Di era ini terjadi pengkristalan dan penerapan pemikiran-pemikiran dibidang sosial dan politik yang lahir sejak zaman dinasti-dinasti besar – Bani Umayyah dan Bani Abbas – dan kesultanan-kesultanan lainnya di dunia Islam bahagian barat dan timur.
Dalam buku yang ditulis Amany Lubis ia memberikan suatu kritikan terhadap posisi sejarah Dinasti Mamluk dalam periodisasi sejarah Islam -terutama dikalangan penulis-penulis sejarah Indonesia- yang telah memposisikan sejarah Dinasti Mamluk ini pada fase kemunduran sejarah Islam. Maka hal ini menurut Amany Lubis harus ditinjau kembali pembahasannya karena mengkaitkan kajatuhan sistem kekhalifahan di Bagdad dengan mundurnya politik dan peradaban Islam adalah pemikiran yang sebenarnya menyalahi perkembangan sejarah saat itu.
Dalam tulisan singkat ini, penulis ingin memaparkan kembali prihal yang berhubungan dengan Dinasti Mamluk di Mesir sebagai wacana untuk menjawab pertanyaan apakah kita setuju dengan periodisasi yang mengatakan bahwa Dinasti Mamluk di Mesir adalah masuk kepada masa kemunduran umat Islam?




A. Asal Usul Mamluk di Mesir

Mamalik yang menjadi penguasa di Mesir adalah anak-anak dari berbagai daerah di Asia Tengah dan sekitarnya, didatangkan ke Mesir kemudian dibeli oleh Sultan dinasti Ayyub yang sedang berkuasa di sana.
Kata al-Mamalik adalah jamak dari Mamluk maknanya sangat jelas, yaitu orang yang dibeli dengan harta kemudian orang tersebut menjadi milik bagi yang membeli. Seorang Mamluk berasal dari ibu-bapak yang merdeka (bukan budak atau hamba). Berbeda dengan ‘abd yang berarti hamba sahaya yang dilahirkan oleh ibu-bapak yang juga berstatus sebagai hamba dan yang kemudian dijual.
Panggilan mamluk terhadap para Mamalik adalah suatu kebanggan yang tidak mau mereka ganti dengan panggilan lain. Sampai ketika para Mamluk ini sudah menjadi penguasa pun panggilan “mamluk” tetap menjadi kebanggan mereka. Hal ini barangkali karena mereka pada hakikatnya bukanlah orang-orang terhina atau tertindas layaknya budak di depan tuan-tuan mereka atau di tengah-tengah masyarakat. Setelah dibeli, mereka dibawa ke tempat yang telah disediakan khusus untuk mereka. Tempat-tempat penampungan para Mamluk yang dibeli oleh sultan dinamakan at-tibaq atau al-atbaq – berasal dari kata tabaqah atau tabaq – yang maksudnya adalah sekolah-sekolah bagi para Mamluk yang mengajarkan materi agama maupun kemiliteran.
Disanalah mereka akan disuguhkan bermacam-macam ilmu pengetahuan, mulai dari pemahaman agama sampai keahlian dalam bidang milter dan perang. Setelah selesai masa pendidikan tersebut barulah para Mamalik ditugaskan di berbagai bidang dalam pemerintahan, sesuai prestasi mereka masing-masing. Di antaranya ada yang ditugaskan sebagai pengawal khusus dalam istana, ditugaskan dalam struktur pemerintahan sebagai pegawai administrasi dan ditugaskan dalam barisan perang kerajaan. Dimanapun mereka ditugaskan sesungguhnya itu semua merupakan jalan atau peluang bagi mereka untuk mencapai posisi terdepan dalam pemerintahan.
Mamalik itu dibeli di beberapa pasar yang ada di Mesir baik di kota Kairo, seperti di Suq Khan Khalili dan Khan Mansur ataupun di luar kota Kairo seperti kota Iskandaria. Sultan dinasti Ayyub membeli para mamluk dari pedagang-padagang dalam negeri yang terlebih dahulu telah membeli para budak dari tangan pedagang-pedagang asing. Sebutan untuk pedagang-pedagang asing itu di Mesir adalah al-khawajah, sedangkan untuk pedagang dalam negeri terkenal dengan sebutan tajir al-mamalik atau dallal al-mamalik.
Para mamluk tersebut berasal dari berbagai wilayah yang terdapat di Asia Tengah, terutama daerah-daerah yang berada diantara Laut Kaspia dan Laut Hitam. Mereka berasal dari daerah semenanjung al-Qarm (Kaspia), Kaukas, Qafjak, Asia al-Shughra (Asia Kecil), Persia, dan bilad ma wara’ al-nahr (daerah-daerah yang berada diseberang sungai) . Maka dari itu para mamluk tersebut terdiri dari keturunan Turki, al-Syarakisah (Syirkasiyah), Romawi, dan Akrad (kurdi) bahkan sebahagiannya juga berasal dari Eropa.
Keberadaan Mamalik secara besar-besaran yang kemudian menjadi penguasa pada dinasti Mamluk di Mesir tidak terlepas dari kebijakan para sultan yang sedang berkuasa di Mesir. Setidaknya terjadi dua fase pembelian Mamalik secara besar-besaran di Mesir yang dilakukan oleh para sultan berkuasa. Fase pertama yaitu ketika Sultan al-Malik al-Shaleh Najmuddin Ayyub, sultan ketujuh dari dinasti Ayyub, berkuasa dari tahun 638-647 H / 1240-1249 M. Sedangkan fase kedua, terjadi pada masa Sultan Al-Mansur Qalawun, sultan kedelapan dari dinasti Mamluk Bahri, berkuasa dari tahun 678-689 H / 1279-1290 M.
Pada fase pertama terkenal sultan al-Malik al-Shaleh Najmuddin Ayyub, sebagai sultan yang paling banyak membeli dan mengumpulkan Mamalik. Hal ini disebabkan karena persaingan yang terjadi antara dirinya dengan saudaranya al-Adil yang merasa lebih pantas menjadi penguasa. Mamalik fase pertama ini dikenal dengan dua sebutan ; al-Mamalik al-Bahriyah (mamluk bahri) dan al-Mamalik al-Atrak (Mamluk Turki) . Dinamakan Mamluk Bahri karena mereka ditempatkan disebuah benteng di Pulau Raudah yang dikelilingi sungai Nil, sedangkan penamaan mereka dengan sebutan Mamluk Turki adalah karena sebagain besar mereka berasal dari keturunan Turki.
Adapun fase kedua, terkenal sultan al-Mansur Qalawun sebagai sultan yang juga berperan dalam membeli Mamalik dalam jumlah yang besar. Sultan Qalawun sengaja membeli para Mamalik dengan tujuan mengokohkan posisinya dalam kekuasaan sampai kepada anak-cucunya kelak, ternyata apa yang diinginkannya betul-betul terwujud. Ia berserta anak dan cucunya berhasil bertahan menjadi penguasa di Mesir selama lebih dari satu abad lamanya (dari tahun 1279-1382).
Mamalik fase kedua ini juga dikenal dengan dua sebutan, pertama dikenal dengan al-Mamalik al-Syarakisah (Mamluk Syirkasiah), kedua terkenal dengan sebutan al-Mamalik al-Burjiyah (Mamluk Burji). Penamaan mereka dengan sebutan Mamluk Syirkasiah karena mereka berasal dari daerah Syirkassia, yaitu sebahagian wilayah Georgia yang terletak antara Laut Kaspia dan Laut Hitam, pada masa sekarang terkenal sebagai wilayah pecahan Uni Sofyet. Adapun penamaan dengan sebutan Mamluk Burji adalah karena sejak masa sultan al-Asyraf Khalil ibn Qalawun berkuasa, para Mamluk ini diletakkan di sebuah Burj (menara) yang terdapat di benteng, ketika itu jumlah mereke sekitar 3700 Mamluk.
Berdasarkan asal-usul Mamalik di atas, Ahli sejarah mengelompokkan pemerintahan mereka selama di Mesir menjadi dua bagian. Yaitu Mamluk Bahri (648H / 1250 M-792 H / 1390 M) dan Mamluk Burji (784 H/1382 M - 922 H/1517 M).
B. Dinasti Mamluk dalam Pemerintahan


Pada akhir masa pemerintahan Sultan Malik al-Shaleh, ditunjuklah calon penggantinya atau pangeran yaitu Pangeran Turansyah. Pangeran Turansyah adalah putra Sultan Malik al-Shaleh. Tetapi menurut pengamatan dan pandangan para pimpinan militer Bani Ayub yang berasal dari budak-budak dari Pegunungan Kaukakus Asia Tengah, kebijakan militer Pangeran Turansyah berbeda dengan kebijakan ayahnya. Jika Sultan Malik al-Shaleh, ayah Pangeran Turansyah lebih memperhatikan para militer yang berasal dari para budak dari Pegunungan Kaukakus Asia Tengah, sebaliknya Pangeran Turansyah terkesan lebih memperhatikan para militer yang berasal dari suku Kurdi.
Kecenderungan dan perhatian Pangeran Turansyah yang lebih besar kepada para militer yang berasal dari suku Kurdi tersebut telah menimbulkan kecemburuan, kekhawatiran, dan kecemasan di kalangan para pemimpin militer Bani Ayub yang berasal dari budak-budak Pegunungan Kaukakus Asia Tengah, terutama tentang posisi dan kedudukan mereka dalam pemerintahan. Oleh sebab itu mereka menyusun siasat secara rahasia dan diam-diam untuk menggagalkan Pangeran Turansyah menjadi sultan, menggantikan Sultan al-Malik al-Shaleh.
Peluang para pemimpin Bani Ayub yang berasal dari budak-budak Pegunungan Kaukakus tersebut muncul ketika Sultan Malik al-shaleh meninggal dunia pada 1249 M di Cairo Mesir. Sementara itu, Pangeran Turansyah sedang berada di luar Kota Cairo menghadapi tentara pasukan Salib yang datang dari Eropa. Peristiwa kematian Sultan Malik al-Shaleh dirahasiakan oleh Syajarah al-Dur, untuk sementara waktu janda Sultan Malik al-Shaleh itulah yang menjalankan pemerintahan, sehingga tidak terjadi kekosongan pimpinan pemerintahan. Selanjutnya para pemimpin militer yang berasal dari budak-budak Pegunungan Kaukaus tersebut bekerja sama dengan Syajarat al-Dur menggagalkan Pangeran Turansyah menjadi sultan sehingga iapun terbunuh pada tahun 647 H/ 1249 M yaitu pada tahun kematian bapaknya, al-Malik al-Shaleh.
Setelah Sultan malik al-Shaleh meninggal dunia, seperti disebutkan di atas, pemerintahan dipegang oleh Syajarat al-Dur, janda Sultan Malik al-Shaleh, yang juga berasal dari keturunan budak-budak dari Pegunungan Kaukakus. Untuk memperkuat posisi Sajarat al-Dur sebagai kepala pemerintahan, maka dimintalah pengesahan atau legitimasi dari Khalifah Bani Abbas di Baghdad, yang waktu itu dijabat oleh Khalifah al-Musta’shim (640-656 H/ 1242-1258 M). tradisi ini telah berlaku sejak lahirnya pemerintahan sultan di samping khalifah pada masa Bani Abbas. Khalifah Bani Abbas yang dipandang sebagai pimpinan spiritual (spiritual-power) dan pimpinan politik (political- power) berhak menentukan legitimet atau tidaknya pemerintahan seorang sultan, sesuai dengan pandangan akidah Sunni tentang fungsi dan kedudukan khalifah.
Tetapi, Khalifah al Musta’shim tidak menyetujui Sajarat al-Dur menjadi sultan, dengan alasan karena ia seorang wanita, walaupun para pemimpin militer Mamluk telah menyepakatinya. Maka dengan demikian, tertutuplah kesempatan Sajarat al-Dur menggantikan kedudukan suaminya Sultan Malik al-Saleh, walaupun ia telah memerintah lebih dari 3 bulan lamanya. Selanjutnya, berdasarkan kesepakatan para senior Mamluk diusulkanlah untuk menjadi sultan di Mesir menggantikan kedudukan Sultan Malik al-Shaleh seorang pimpinan militer Mamluk yang cerdas, tangkas dan cakap memimpin, yaitu Izzuddin Aybek, dengan gelar Al-Malik al-Muiz. Pengusulan tersebut dikabulkan oleh Khalifah al-Musta’shim, maka dengan demikian resmilah Izzuddin Aybak menjadi sultan di Mesir pada tahun 1250 M. Ia dianggap sebagai sultan pertama pada dinasti Mamluk. Izzuddin Aybak akhirnya secara de facto dan de yure menjadi kepala pemerintahan pertama dinasti Mamluk di Mesir, walaupun sebelumnya selama lebih kurang 3 bulan Sajarat al-Dur secara de facto telah menjadi Sultanah pertama dalam sejarah Islam di Mesir. Ia juga tercatat sebagai satu-satunya penguasa wanita muslim di kawasan Afrika Utara dan Asia Barat.
Dinasti Mamluk di Mesir dapat bertahan sekitar 267 tahun. Pada tahun 1517 M, dinasti Mamluk diserang oleh Sultan Salim I dari kerajaan Turki Usmani, yang ketika itu berada pada masa kemajuan dan kejayaan. Selama rentang waktu tersebut telah tampil sebanyak 47 sultan yang memimpin dinasti Mamluk ini.
Beberapa orang diantara sultan-sultan dinasti Mamluk, terutama yang berasal dari kelompok Mamluk Bahriyah dipandang oleh sejarawan sebagai sultan-sultan yang kuat dan telah berhasil membawa kejayaan dinasti Mamluk. contohnya Sultan Qutuz, Sultan Baybars, Sultan Qalawun dan Sultan Nasir Muhammad ibn Qalawun.
Sultan Qutuz (1259-1260) dengan bantuan panglima perangnya, Baybars, berhasil mematahkan serbuan bangsa Mongol ke Palestina dalam peperangan Ain Jalut (Goliath), 3 September 1260. Padahal sebelumnya tidak ada kepala pemerintahan Islam yang mampu mengalahkan pasukan bangsa Mongol tersebut, termasuk Khalifah al-Musta’shim dari Bani Abbas.
Pentingnya kemenangan ini dalam sejarah Islam adalah tertahannya pasukan Mongol sampai di negeri Syam dalam proses penjarahannya di dunia Islam, dan selanjutnya dapat melindungi tanah Mesir dari serangan mereka. Nilai tambah dari kemenangan dalam Ain Jalut bagi kesultanan Mamluk adalah bersatunya kembali Mesir dan Syam di bawah naungan sultan Mamluk setelah mengalami perpercahan pada sultan-sultan keturunan Salahuddin al-Ayyubi.
Pada masa Sultan Baybars berkuasa, kemajuan demi kemajuan terus dicapai. Para sejarawan mencatat bahwa Baybars adalah sultan besar pertama dinasti Mamluk. Hal ini bukan saja karena ia telah berhasil membangun infrastruktur Mesir, akan tetapi juga karena jasanya yang sangat besar dalam menghidupkan kembali kekhalifahan Abbasiyah di Mesir setelah Baghdad dihancurkan oleh pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulogo Khan pada 1258 M. Walaupun pertimbangan penobatan khalifah pertama yang bergelar al-Mustansir (1226-1242 M) bersifat politis agar Baybars mendapatkan legitimasi sebagai sultan dari khalifah, namun peristiwa ini sangat penting mengingat sosok khalifah bagi umat Islam merupakan simbol persatuan umat.
Setelah masa pemerintahan Sultan az-Zahir Bibars, Sultan Mamluk yang besar berikutnya adalah Sultan Mansur Qalawun (678-689 H/1280-1290 M). ia bergelar al-Alfi karena telah dibeli dengan harga 1000 dinar, harga yang cukup mahal di zamannya. Namanya menjadi harum bukan saja karena jasa-jasanya dalam pengembangan administrasi Negara, tetapi juga perluasan hubungan luar negeri untuk memperkuat posisi Mesir dan Syam di jalur perdagangan internasional.
Sultan Mamluk yang berhasil mencapai puncak kejayaan adalah Sultan Muhammad an-Nasir ibn Qalawun, sultan Mamluk yang kesembilan dari dinasti ini. Sejarawan Ibn Tagri Bardi menyatakan bahwa ia adalah sultan yang terhebat. Pada masa ini dinasti Mamluk telah menjadi sebuah dinasti yang kuat dengan bertambah majunya sitem pengaturan administrasi pemerintahan sebagaimana berkembangnya seni bangunan. Kairo telah menjadi sebuah Ibukota bagi sebuah kerajaan dengan wilayah yang cukup luas, tergabung di dalamnya Mesir, Syam, Hijaz dan Yaman, kemudian disegani baik dari penguasa yang ada di Eropa maupun penguasa yang ada di Asia.
Sultan an-Nasir Muhammad ibn Qalawun telah terbukti menjadi sultan yang disenangi oleh berbagai lapisan masyarakat, baik di dalam maupun di luar kesultanannya. Dialah yang telah melindungi Mesir dari jamahan bangsa Mongol, sehingga Mesir selamat dari kehancuran, seperti apa yang telah terjadi pada wilayah-wilayah yang pernah dikuasai oleh tentara Mongol. Sejarah telah menjadikannya contoh dalam berdiplomasi dan pengelolaan sebuah kerajaan Islam.
Apabila diperhatikan secara kasat mata peninggalan-peninggalan pemerintahan dinasti Mamluk di Mesir, seperti bangunan-bangunan masjid, istana, madrasah, benteng, buku-buku ilmu pengetahuan dan lain sebagainya, semua itu menunjukkan akan adanya sebuah peradaban besar pada masa itu, makanya menjadi sangat tidak masuk akan sekali jika mengatakan pemerintahan dinasti Mamluk adalah masa kemunduran umat Islam yang seoleh-olah tidak pernah membawa kemajuan dalam peradaban Islam.
Dalam perjalanan sejarah, dinasti ini mampu melahirkan beberapa sarjana Islam kenamaan. Baik sebagai keturunan asli Mesir atau para imigran dari Syiria, Bagdad dan daerah Islam lainnya. Karena bagaimanapun pasca runtuhnya Bagdad 1258 M, Hulago Khan terus melakukan ekspansi ke beberapa kawasan sekitarnya, sehingga mengharuskan warga setempat melarikan diri mencari perlindungan. Hal inilah yang mendorong warga asing (laur Mesir) berbondong-bondong memasuki kawasan Mesir abad pertengahan. Dari kalangan antropologi misalnya dapat kita temukan sang Maestro besar Ibnu Khaldun (1406) yang pernah menjabat sebagai hakim tinggi pada masa Sultan Burquq, kemudian al-Maqrizi (1364-1442) sebagai keturunan Baklabak, serta Abu Fida’, Ibnu Tagri Bardi dan al-Suyuti. Dalam bidang teologi dan hadits terdapat Ibnu Taymiyah, al-Thufi, Izzuddin bin Abdi Salam, Ibnu Hajar al-Asqolani (1372-1449). Dan masih banyak lagi ulama kenamaan lainnya yang terlahir pada era ini.

D. Penutup
Sunggupun demikian peran dan kontribusi dinasti Mamluk di Mesir tetapi hal itu seakan-akan terabaikan oleh sebagian sejarawan, karena menganggap masa pemerintahan dinasti Mamluk di Mesir termasuk pada periode kemunduran Islam. Harun Nasution umpamanya, dalam bukunya Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, telah membagi sejarah umat Islam kepada tiga periode besar yaitu periode klasik (650-1250 M), periode pertengahan (1250-1800 M) dan periode modern (1800-sekarang). Menurut Harun Nasution periode pertengahan juga dibagi atas dua masa, petama adalah masa kemunduran (1250-1500 M) dan kedua masa kemajuan tiga kerajaan besar (kerajaan Turki Usmani, Safawi dan Mughal di India) berlangsung dari tahun 1500-1800 M. Dengan demikian, masa pemerintahan dinasti Mamluk di Mesir termasuk masa kemunduran Islam secara keseluruhan, tanpa kecuali. Ini sesuatu yang ironis dan perlu penelitian yang obyektif.



Selengkapnya...

Tantangan Epistimologik Naskah Islam Klasik Minangkabau

Oleh : Muhammad Ilham (Dosen Jur. SKI)

Dalam kalangan masyarakat Minangkabau, tradisi penulisan dan persebaran naskah-naskah keagamaan ini dapat dipastikan dilakukan secara terus menerus (kontiniu), seiring dengan terus berlangsungnya perkembangan dan persebaran Islam. Mayoritas para ahli sejarah atau sejarawan sepakat bahwa Islam di wilayah nusantara, berkembang sejak awalnya dengan corak atau style tasauf (Azyumardi Azra, 1996; Hamka, 1983; Hasan Muarrif Ambary, 1995; Dennys Lombard, 1999), maka naskah-naskah keagamaan yang muncul-pun mayoritas memuat pembahasan-pembahasan mengenai tasauf, baik yang ditulis oleh para penganut tareqat Syattariyah maupun Naqsyabandiyah, dengan segala devian tareqatnya.

Tradisi penulisan, penyalinan dan persebaran naskah-naskah keagamaan di dunia Melayu-Indonesia memiliki keterkaitan dan berkorelasi dengan proses Islamisasi yang terjadi (Uka Tjandrasasmita, 1999:201). Umumnya naskah-naskah tersebut ditulis untuk kepentingan transmisi pengetahuan keIslaman yang terjadi di pelbagai institusi keagamaan, seperti pesantren, surau, dayah, rangkang dan lain-lain (Hasan Muarrif Ambary, 1995: 166).
Seperti yang terjadi di wilayah lain di dunia Melayu-Indonesia, tradisi pernaskahan dikalangan masyarakat Minangkabau mengandung sebuah ”kearifan lokal” (local-wisdom) yang sedemikian kaya dan telah menarik perhatian banyak orang untuk melihat serta mengetahui nilai-nilai kebudayaan Minangkabau yang terkandung didalamnya (Oman Fathurrahman, 2000: 34). Kearifan lokal dalam hal ini tentu saja mencakup hal yang sangat luas, yang terkandung dalam naskah-naskah yang ditulis seperti tradisi keber-agama-an, keragaman pemahaman dan berbagai pilihan solusi dalam upaya pemecahan masalah-masalah kultural dan lain-lain, baik yang bersifat teks maupun konteksnya. Di daerah Minangkabau, baik dalam konteks kultural maupun geografis, tradisi penulisan dan kemudian persebaran naskah-naskah keagamaan ini dapat dipastikan terjadi secara terus menerus, seiring dengan terus berlangsungnya perkembangan dan persebaran ajaran Islam. Karena Islam sejak awalnya berkembang dengan corak atau pendekatan tasauf, maka naskah-naskah keagamaan yang muncul-pun mayoritas mengandung pembahasan tentang tasauf, baik yang diamalkan oleh penganut tareqat Syattariyah maupun Naqsyabandiyah. Uniknya, sebagaimana yang dikatakan oleh Zurniati (2005: 9-11), di Minangkabau perkembangan dan persebaran Islam yang bercorak tareqat ini terjadi secara sistematis melalui surau-surau.

Jadi tidaklah mengherankan apabila pembahasan mengenai sejarah Islam di Minangkabau, surau menempati posisi yang signifikan, termasuk didalamnya ketika membahas tradisi penulisan dan penyalinan naskah-naskah Islam. Dalam bahasa Oman Fathurrahman (2000: 36), surau-surau di Minangkabau dapat dianggap sebagai ”skriptorium” naskah, tempat dimana aktifitas penulisan dan penyalinan naskah-naskah keagamaan berlangsung. Hal ini justru menguntungkan dalam proses penyelidikan, karena pola persebaran naskah-naskah keagamaan melalui surau-surau di Minangkabau ini membuat keberadaan naskah-naskah tersebut mudah ditelusuri, karena mayoritas surau-surau tersebut hingga saat sekarang masih banyak dijumpai. Kendatipun kondisi dan fungsinya tidak seperti pada awal perkembangannya sebagai centre of excellence keilmuan Islam.

Berbeda dengan apa yang terjadi di wilayah lain di Indonesia, tradisi penulisan naskah-naskah keagamaan di Minangkabau ini tampaknya masih berlangsung hingga saat sekarang, walaupun dengan intensitas yang berbeda. Sejumlah naskah-naskah Syattariyah periode akhir abad ke-20 Masehi yang dijumpai, merupakan salah satu betapa tradisi tersebut masih terus berlangsung seiring dengan masih mengakar dan terus berkembangnya Islam tareqat, khususnya tareqat Syattariyah dan Naqsyabandiyah di Minangkabau ini.

Mempertimbangkan persebaran-persebaran tareqat-tareqat Syattariyah dan Naqsyabandiah di Minangkabau yang demikian intensif, serta memperhatikan fungsi naskah-naskah keagamaan sebagai media untuk mentransmisikan berbagai ajaran tareqat tersebut, dan juga berdasarkan kepada beberapa beberapa asumsi dasar dari para peneliti-peneliti terdahulu yang cukup intens mengkaji permasalahan naskah-naskah Islam Minangkabau, maka bisa diasumsikan bahwa naskah-naskah keagamaan (Islam) di Minangkabau ini terdapat dalam jumlah yang cukup besar. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk melakukan proses inventarisasi dan identifikasi naskah-naskah ini, bahkan bila memungkinkan, dilanjutkan dengan proses penelaahan akademik terhadap makna kontent teks dalam upaya pengayaan epistimologi keilmuan pernaskahan.

Dalam konteks Sumatera Barat, perkembangan dan persebaran Islam yang bercorak tareqat-tasauf ini secara sistematis melalui surau-surau. Tidaklah mengherankan kemudian, jika sejauh menyangkut telaah atas berbagai hal yang berkaitan dengan Islam periode awal di Sumatera Barat, peran surau sangatlah signifikan (Azyumardi Azra, 1988 dan 2003), termasuk ketika masuk dalam pembahasan tentang tradisi penulisan dan penyalinan naskah-naskah keagamaannya. Pada dasarnya, pola persebaran naskah-naskah keagamaan melalui surau-surau di Sumatera Barat ini pada gilirannya sangat mempermudah upaya penelusuran keberadaan naskah-naskah tersebut, karena surau-surau itu sendiri hingga sekarang masih banyak dijumpai. Akan tetapi dalam kenyataannya, upaya untuk mengetahui keberadaan naskah-naskah keagamaan tersebut, apalagi membaca dan memahami secara akademik-epistimologis dan memanfaatkannya, seringkali menemui hambatan, baik naskah-naskahnya yang dikeramatkan hingga tidak boleh diakses oleh sembarang orang maupun karena naskah-naskah tersebut telah rusak dimakan oleh usia. Tentu saja, upaya identifikasi dan inventarisasi atas naskah-naskah tersebut telah pernah dilakukan, terutama naskah-naskah Islam Minangkabau yang berada di luar negeri, lebih khususnya lagi di Belanda. Sejumlah katalog yang pernah ditulis, kendati tidak semuanya dikhususkan pada naskah-naskah keagamaan Islam saja, melainkan juga naskah-naskah lainnya seperti sastra dan lain-lain. Naskah-naskah yang pernah diteliti seperti yang dilakukan oleh van Ronkel (1921) yang mencatat tidak kurang daripada 257 naskah dengan judul tersimpan di Perpustakaan Universiti Leiden (Chambert-Loir & Oman Fathurrahman, 1999: 173-176). Disamping itu, ada juga penelitian yang dilakukan oleh Teuku Iskandar (1999) yang juga mencantumkan kembali naskah-naskah Minangkabau yang pernah dicatat oleh van Ronkel diatas dengan beberapa tambahan koleksi baru.

Sementara itu, naskah-naskah yang ada di Minangkabau yang pernah diteliti oleh beberapa peneliti diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Ali Hj. Wan Mamat (1995) yang melakukan pendokumentasian naskah-naskah Melayu di Sumatera Selatan dan Jawa Barat yang juga menyebut beberapa naskah Melayu di Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) Padang Panjang. Sedangkan Wibisono dkk. (1989) menyelidiki tentang naskah-naskah keagamaan Islam Minangkabau di beberapa masjid dalam perspektif arkeologis. Disamping itu, beberapa orang peneliti daripada Fakulasi Adab IAIN Imam Bonjol Padang (Rusdi Ramli dkk., 1997) dan dari Universitas Andalas Padang (Muhammad Yusuf dkk., 2001) memberikan informasi tambahan keberadaan naskah-naskah keagamaan secara ”grand tour”, walaupun tidak semua naskah boleh teridentifikasi. Menurut Ramli dkk. serta Yusuf dkk., ada beberapa daerah di Minangkabau yang merupakan ”enclave” naskah-naskah Islam Minangkabau diantaranya Kampung Lubuk Gunung Gadut 50 Kota, Taram 50 Kota, Batipuh Padang Panjang, Bingkudu IV Angkat Canduang, Tiaka Payakumbuh, Kuranji Padang, Pariangan Batusangkar, Pauh IX Padang, dan Kurai XIII Bukittinggi. Umumnya naskah-naskah tersebut berada ditangan personal. Sedangkan surau-surau yang masih menyimpan naskah-naskah Islam Minangkabau tersebut diantaranya surau Bintungan Tinggi nan Sabaris Pariaman, surau Tigo Jorong nagari Kudu Gantiang Barat kec. V Koto Kampuang Dalam Pariaman, surau Tandikek Pariaman, surau Padang Japang kenagarian VII Koto Tagalo kec. Guguak 50 Kota, surau Balingka kec. IV Koto Agam serta surau Batang Kabuang dan Surau Paseban di Koto Tangah Padang.

Diasumsikan masih banyak lagi naskah-naskah yang bertebaran di berbagai daerah baik yang bersifat person maupun institusi-surau. Apalagi bila diperhatikan bahwa persebaran naskah-naskah tersebut baru fokus pada beberapa daerah saja seperti sekitar daerah Kabupaten 50 Kota/Payakumbuh, Padang Pariaman, Kota Padang, Batusangkar dan Tanah Datar. Sementara itu, daerah-daerah lain masih belum teridentifikasi naskah-naskah Islam Minangkabau ini.
Selengkapnya...