Jumat, 19 Juni 2009

Refleksi Kasus Ambalat : Pentingnya Kesadaran Geo-Historis

Oleh : Muhammad Ilham (Dosen Jur. SKI)

Hampir 70 %, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia belum diakui. Sehingga batas-batas teritorial yang berkaitan dengan (utmanya) laut, memiliki potensi besar dalam menciptakan konflik (Kompas, 3/3/2008). Ambalat hanya salah satu kasus yang muncul ke permukaan. Dari sejumlah masalah batas laut, penetapan yang paling cepat terwujud baru dengan Filipina. Selebihnya masalah yang dihadapi Indonesia begitu besar. Namun, tampaknya Indonesia tidak serius untuk menyelesaikan persoalan batas laut dengan negara tetangga.

Itu terbukti dengan berlarut-larutnya penyelesaian masalah itu. Menurut Sobar Sutisna, Kepala Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal, itu dikarenakan tidak ada pressure dari pihak terkait di pihak Indonesia.

Seandainya Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI tahun 1945 memutuskan wilayah negara Indonesia merdeka adalah pendapat Muhammad Yamin, bangsa ini akan lebih sulit menjaga kedaulatan teritorialnya daripada yang ada kini. Terobsesi oleh kejayaan Majapahit, tampaknya Yamin menginginkan wilayah negara Indonesia seluas wilayah kerajaan terbesar di Asia Tenggara, antara abad XIV sampai XV. Memang wilayah itu sampai ke Pattani, Thailand, dan Mindanao, Filipina. Jangankan yang seluas itu, dengan wilayah bekas Pax Nerlandica “saja” sudah begitu besar masalah perbatasan yang harus dihadapi. Ironisnya bangsa ini tidak menunjukkan kemauan kuat untuk mengatasinya. Mengapa demikian? Ditinjau dari aspek sejarah dan budaya, setidaknya ada tiga faktor.

Pertama, karena lemahnya, kalau tidak mau disebut “hilangnya” karakter dan orientasi kebaharian. Bagaimana sejarah bisa menjelaskan? Mungkin benar karena keunggulan VOC/Belanda setelah menghancurkan Gowa ditandai Perjanjian Bungaya (1669) mengakibatkan ketidakberdayaan nenek moyang bangsa ini di laut. Kedua, lemahnya kesadaran lingkungan geografis. Rendahnya kesadaran geografis bisa ditunjukkan minimnya pengetahuan mahasiswa tentang peta Indonesia. Pengetahuan geografi merupakan sarana awal memahami potensi dan daya dukung daerah terhadap pembangunan yang berwawasan lingkungan. Strategi pembangunan yang tepat dengan dukungan anggaran memadai untuk pengembangan provinsi berkarakter bahari (baca: kepulauan), khususnya di wilayah perbatasan, seharusnya menjadi prioritas utama. Ketiga, telah berjalan lama tidak terintegrasinya pembelajaran sejarah dan geografi dalam sistem pendidikan. Pembelajaran sejarah gagal menjelaskan keterkaitan antara dimensi “waktu” dan “ruang”. Suatu “peristiwa” (tidak hanya politik, tetapi juga sosial dan bencana) yang terjadi di suatu “tempat” tentu bukan suatu kebetulan. Di situlah kaitan kedua disiplin itu harus diberikan. Dengan ancaman terhadap kedaulatan teritorial, menjadi renungan bersama akan pentingnya kesadaran geohistoris.


Selengkapnya...

Sosiologi Kekerasan

Oleh : Muhammad Ilham (Dosen Jur. SKI)

Kasus Perang Aceh dengan Hikayat Perang Sabil yang termaktub dalam analisis antropologisnya (terdapat dalam buku yang diterbitkan INIS: Nasehat-Nasehat Snouck Hourgronje Jilid I - IX) Snouck Hourgronje memperkuat hal ini. Oleh karena itu, untuk ke depan, di samping menekankan pendekatan humanis terhadap ajaran Islam, kita juga harus menekankan jiwa humanis budaya-budaya di Indonesia. Karena bagaimanapun juga, seperti dalam setiap agama di dunia ini, setiap budaya lahir untuk menjaga dan mengembangkan peradaban ummat manusia (pernah dipublikasikan di www.padang-today.com & didiskusikan di PadangTV)

Salah seorang wartawan perang CNN legendaris, Peter Arrnet pernah meliput Perang Irak-Iran secara Live pada tahun 1982. Ia pernah melihat salah seorang ibu tua renta berdiri berjam-jam di stasiun kereta api milik tentara Iran. Peter Arrnet menanyakan siapa yang ditunggu oleh ibu tersebut. Si Ibu menjawab, "Saya menantikan anak kedua saya pulang dari front melawan "Yazid" Saddam Hussein, anak pertama saya telah syahid, mati di barisan depan agar pasukan pelapis bisa maju, sekarang saya menunggu dengan bahagia kedatangan anak kedua saya, hidup atau mati. Nanti saya berencana ingin mengirim anak bungsu saya yang sekarang telah berumur 18 tahun, keluarga kami adalah keluarga pejuang dan saya bangga karena rahim saya telah melahirkan para pejuang Iran dan Islam". Menurut hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh USA Today (1997, 2001 dan 2003) terhadap anak-anak Palestina dijelaskan bahwa mereka merasa tidak memiliki harapan terhadap masa depan. Mereka merasa hidup mereka tidak berarti lagi. Karena itu tidak ada pilihan lain lagi kecuali melawan dengan berbagai cara. Demikian juga halnya dengan sebuah penelitian yang dilakukan oleh sejarawan Peter O'Gonnor White terhadap komunitas Tamil di Sri Langka. Sri Langka, sebuah negara yang secara genetik dekat dengan Hindustan, akan tetapi mayoritas beragama Budha. Etnis terbesar yang terdapat di negara ini adalah etnis Sinhala (mayoritas) dan Tamil. Etnis terakhir ini merupakan etnis minoritas yang beragama Hindu, dan berada di bawah bayang-bayang diskriminasi sosial politik yang dilakukan oleh etnis Sinhala.

Berbagai usaha dilakukan etnis Tamil agar mereka bisa berpisah dari Sri Langka. Akan tetapi, usaha melalui jalur diplomasi dan kerusuhan-kerusuhan sporadis tidak membuahkan hasil. Akibatnya, mereka merasa kehilangan harapan. Maka jalan satu-satunya adalah mentradisikan bom bunuh diri secara simultan dengan harapan timbulnya ekses psikologis dan perhatian dunia. Sejak kecil para pemuda Tamil diajarkan sisi-sisi negatif etnis Sinhala dan "kaburnya" masa depan mereka. Militansi dan jiwa altruisme ditanamkan sedari kecil. Keputuasaan, hampir dalam berbagai kasus, selalu diakhiri dengan prinsip altruisme radikal dan dijustifikasi oleh nilai-nilai agama. Kelompok Radikal HAMAS di Palestina selalu mengatakan bahwa pengorbanan yang dilakukan oleh pemuda Palestina dalam meledakkan diri mereka bukan "kematian mubazir", tapi dalam konteks Islam menurut mereka kematian tersebut adalah syahid. Begitu juga dengan statement yang pernah diungkapkan oleh ulama muda syiah kharismatis Irak, Moqtada al-Shadr, yang mengatakan bahwa tindakan martyrdom yang dilakukan oleh kelompok perlawanan Irak terhadap Amerika Serikat di Irak bukanlah kesia-siaan, akan tetapi merupakan "jalan yang benar". Demikian juga halnya dengan apa yang dilakukan oleh MNLF di Filiphina ataupun pola diaspora terror yang dilakukan oleh Osama bin Laden. Keputusasaan terhadap ketidakberhasilan membebaskan Arab Saudi dan Timur Tengah dari Amerika Serikat, membuat Osama bin Laden "meluaskan" wilayah operasinya. Sama halnya dengan beberapa pejuang dalam sejarah setiap bangsa di dunia ini, Ia akhirnya merantau, keluar dari "relung sucinya" atau negaranya demi satu tujuan yang makro. Mungkin ini juga yang dilakukan oleh Azhari cs. dan Hambali cs, yang satu “melanglang ke Indonesia�, satu lagi ke Thailand dan Malaysia.

Ada sebuah artikel menarik dalam salah satu situs dunia maya� yang melihat perbandingan menarik antara Osama bin Laden dengan para pejuang-pejuang yang merantau dari negeri mereka sendiri. Belasan teroris yang menghantam Amerika pada 11 September, selain berpendidikan tinggi dan bermotif politik dan ideologis kuat, semuanya adalah perantau. Mereka pernah bermukim lama di negeri orang. Teroris atau bukan, para perantau cenderung membawa misi politik. Seringkali mereka membuat sejarah ketika mereka berkelana, atau berkelana untuk membuat sejarah. Tan Malaka, misalnya, yang diangkat anak oleh seorang pejabat Belanda dan disekolahkan di Haarlem, terbuai oleh Marxisme pada 1920an, giat di Eropa, lalu keliling Asia. Dia adalah orang Indonesia pertama yang menguak bab sejarah untuk negeri lain: di Filipina dia memperkenalkan Marxisme. Tujuannya satu: eksistensi politis Indonesia. Ada pula yang membawa ide-ide chauvenis, otoriter dan semi-fasis, seperti Soepomo dan Ki Hajar Dewantara sekembali dari Belanda pada 1920an, atau Sarloth Sar (Pol Pot) dan Khieu Samphan, dua mahasiswa Kamboja yang sepulang dari Perancis menjadi arsitek negara-teror Khmer Merah pada 1970-an. Sementara di belahan dunia lain, Che Guevara mengembara dari tanah airnya, Bolivia, untuk berevolusi di Kuba dan Afrika. Perantauan, meski ragam, punya daya, ilham, tekad, dan dinamika tersendiri. Osamah bermimpi mewujudkan cita-citanya melalui LSM Al-Qaeda, tapi tak pernah memberi batasan apa dan di mana cita-citanya itu ingin diwujudkannya. Orang tak tahu dia berjuang untuk apa, siapa, dan negeri apa. Jangankan dibanding dengan Tan Malaka, bahkan dengan Khomeini-pun, pola Osamah amat berbeda dan terbelakang. Khomein punya target yang spesifik (Iran), Osamah tidak.

Secara sosiologis, cinta terbesar adalah cinta terhadap agama dan ideologi yang sering dipersonifikasikan dengan konsep fanatisme. Kecintaan terhadap agama mengalahkan kecintaan terhadap yang lain karena agama memiliki daya tarik luar biasa dengan justifikasi normatif religiusnya. Ingat, Surat-Surat Cinta Dr. Azahari kepada istrinya dan penggalan Surat (wasiat) Imam Samudra dalam bentuk Puisi beberapa hari jelang kematian dan eksekusi? Secara umum terlihat bahwa keputusan yang diambilnya tersebut merupakan bentuk kebenciannya terhadap Amerika Serikat dan sekutunya dan kecintaannya terhadap (menurutnya) eksistensi agama Islam. Demikian juga dengan apa yang dilakukan oleh Ayip Firdaus dan Misno (pengakuan mereka secara lisan yang direkam dan kemudian ditayangkan di media massa Indonesia setelah CD-nya ditemukan oleh Densus 88 Anti Teror). Dalam rekaman "ucapan perpisahan" bagi keluarga mereka, baik Ayip maupun Misno seragam mengatakan bahwa tindakan mereka ini merupakan perwujudan dari kecintaan mereka terhadap agama Islam dan kemudian terselip ungkapan bersifat "investasi" yaitu "kesyahidan (menurut mereka) mereka adalah jalan bagi terbawanya 70 anggota keluarga mereka untuk masuk sorga".

Sosiolog Emille Durkheim mengatakan bahwa dalam kasus-kasus yang lebih altruistik, pelaku bunuh diri (baca: pengebom bunuh diri) menyimpulkan bahwa kehidupan mereka yang selamat lebih bernilai dibandingkan dengan kehidupannya sendiri atau bahkan kelangsungan hidup mereka bisa terjamin bila ada yang meninggal. Tipe seperti ini biasa terjadi dalam peran ketika seseorang mengobankan dirinya sendiri dengan harapan bahwa kawan-kawannya akan selamat. Banyak peristiwa-peristiwa tragis kepahlawanan yang pada akhirnya peristiwa itu memberikan inspirasi tentang kepahlawanan (terlepas dari salah atau benarnya). Prosesi "Minum Racun"nya Socrates karena keteguhan akan memegang prinsip justru memberikan inspirasi besar terhadap perjalanan filsafat pemikiran dunia setelahnya. Begitu juga dengan sang ana al haq al Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Mishio Torugawa, seorang petinggi militer Jepang pada masa Perang Dunia II, sebelum melakukan harakiri (bunuh diri bercirikan kultural a-la Jepang) mengatakan bahwa kematiannya merupakan "tumbal" untuk kejayaan Jepang pada masa yang akan datang. Demikian juga yang terlihat dalam peristiwa Puputan yang dilakukan oleh I Gusti Ngurah Rai di Bali dan kematian Robert Walter Monginsidi. Di Filiphina, hal ini bisa terlihat dari Jose Rizal. Kemudian juga terlihat dari apa yang diungkapkan oleh "Singa Padang Pasir" dari Libya Omar Mochtar sebelum menuju tiang gantungan yang dipersiapkan oleh penjajah Italia.

Standar kultural dan kepercayaan mungkin membawa seseorang untuk siap melepaskan hidupnya untuk menunjukkan keberanian atau menunjukkan dirinya berarti. Hasil dari tindakan ini adalah terjaminnya keberlangsungan hidup anggota keluarganya. Mereka dapat hidup dengan kebanggaan dan harapan. Faktor budaya sangat memegang peranan yang signifikan dalam melahirkan anggapan ini. Bagi kultur masyarakat Jepang klasik dan Palestina hingga saat sekarang, jiwa altruisme dengan bentuk tindakan bom bunuh diri (dengan embel-embel demi negara dan agama tentunya) justru meninggalkan kebanggaan individual-komunal. Dari sudut pandang sosiologi, menurut Emille Durkheim, fenomena terorisme dan bom bunuh diri tersebut merupakan suatu fakta sosial dan bukanlah fenomena individual. Untuk mengantisipasinya, maka harus dicari penyebab yang juga merupakan fakta sosial. Dalam konteks ini, berbagai fenomena terorisme dan bom bunuh diri terjadi karena adanya pemahaman norma-norma religius yang destruktif, perilaku tidak adil dalam realitas sosial dan lain-lain yang bersifat diskriminasi struktural. Oleh karena itu, perlu para "pemegang otoritas" agama (Islam) untuk kembali memikirkan pola dakwah, pendidikan dan pendekatan terhadap transformasi ajaran Islam tersebut kepada ummat Islam itu sendiri. Pertanyaan logis yang mengedepan di benak kita harus dengan jujur untuk kita jawab yaitu: Mengapa ummat Islam memiliki potensi besar melakukan tindakan teror ? Mengapa para pelaku teroris di Indonesia tersebut adalah orang-orang yang dekat dengan pondok pesantren?

Kedepan kurikulum dalam dunia pendidikan Indonesia, khususnya ummat Islam Indonesia, harus menekankan pendekatan yang humanis, hubungan dengan Tuhan juga berkorelasi erat dengan hubungan dengan manusia serta penekanan terhadap ajaran bahwa manusia yang Islami dan disayang oleh Allah SWT. adalah manusia yang menjaga peradaban dan ciptaan Allah. Di samping itu, diskriminasi dan ketimpangan sosial harus sedikit demi sedikit diperbaiki. Keadilan harus ditegakkan, tanpa pandang bulu. Rasa persaudaraan antar ummat beragama perlu dikembangkan dan dianggap perlu, bukan dilestarikan. Bila dilihat secara historis, budaya kekerasan ada dalam setiap budaya di Indonesia yang kadang-kadang dijustifikasi oleh ajaran agama (Islam).

Selengkapnya...

Karya Taufik Ismail Dalam Khazanah Kesusasteraan Islam Indonesia

Oleh : Drs. Yulizal Yunus, M.Si (Dosen Jur. BSA)

Karya Taufiq Ismail genre syair munasibat (occasional poetry), sarat nilai religius. Dalam perspektif religiositas sastra ini menempatkan karyanya pada posisi signifikan dalam khazanah kesusasteraan bagian dari al-fann al-islami (الفن الأسلامي/ seni Islam). Religositas sastranya memamsuki dimensi profetik yang sufistik, mengandung majmu’atun min al-mau’izhah wa l-hikmah wa l-irsyad (sekumpulan nilai pengajaran yang indah, hikmah dan panduan ke arah jalan yang benar).

Abstrak

Keagungan sastra Taufik terletak pada pengisian bahasa naratif dengan pengalaman religius yang cukup kaya melampaui derjat diskriptifnya terhadap fenomena. Nilai Islami pada puisinya tidak terletak pada kata-kata simbol Islam, tetapi keagungannya terletak pada makna ajaran dan keindahan narasi, ada banyak di dalamnya hikmah dan isyarat-isyarat pemahaman ke-Indonesiaan dan ke-Islaman yang benar. Dari perspektif kedalaman Taufik menyelami peristiwa akmbn (aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara) untuk bahasa politik dan diskripsinya dalam narasi diisi makna religiositas sastra yang dalam pada puisinya menempatkan Taufiq pada posisi penyair Islam terbesar di awal abad ke-21 ini.


Pendahuluan
Tak dapat dipungkiri Taufiq Ismail sebagai “seorang penyair” menempati status (kedudukan) terpandang dalam sejarah kesusasteraan Islam Indonesia modern. Karya sastranya diklasifikasi refrensi dan bergegsi ditempatkan pada etalase refrensi khazanah Kesusasteraan Islam tepenting. Di antara alasannya dari perspektif perkembangan kesusasteraan Islam di Indonesia karya sastra Taufiq khusus genre syair munasibat (occasional poetry) menunjukkan ciri spasifik dibanding sastra kitab dan syair yang digubah para ulama tradisional ahli metafisik yang sufistik dan intelektual yang menyair puisi profetik lainnya di abad ini.
Dalam tradisi bersastra khusus genre puisi, nilai Islami yang ditawarkan Taufiq berbasis pengalaman religius yang kaya sejak kecil. Ia tidak serta merta menggunakan bahasa ramziyah (/ رمزيةsymbol) Islam dan tidak pula memasang title dan thema Islami namun sarat dengan makna Islami. Dipastikan Taufiq mempunyai cara berbahasa yang khas. Kalau Dr.Thaha Mahmud Thaha (1966) menyebut sastra agung itu hanya pada bahasa yang sarat makna melampaui derjat yang jauh, maka keagungan sastra Taufik terletak pada cara menggunakan bahasa dalam mendiskripsi, menceritakan fenomena dominan politik dan mengisinya dengan pengalaman religius.
Puisi Taufiq menunjukan corak tersendiri dalam menyikat esensi kehidupan politik. Ia menuangkan shurah (صورة/ imajinasi), athifah (عاطفة /perasaan(, fikrah (فكرة/ide( dan pengalamannya dapat membuai penikmat sastra bahkan membawa lebih jauh masuk ke dalam dirinya seolah telah berada dalam peristiwa politik mulai sejak orde lama, orde baru dan era reformasi. Kalau tidak ada ditemukan berita tentang masa lalu itu, rasanya puisi Taufiq cukup mewakili mewartakan masa lalu yang tak kering dengan esensi politik.
Mengenai bentuk puisi politik Taufik ini juga dicatat Aguk Irawan Mn (Sinar Harapan, 2004), katanya “dalam bersastra, karya Taufik memang nyaris tak pernah kering dan sepi dari muatan politik. Bahkan Taufik sering membenturkan isu budaya, pendidikan, ekonomi dan sosial dengan hiruk-pikuk yang berbau politik. Demikian halnya dengan Asrul Sani, Pramoedya Ananta Toer, B. Soelarto, Muchtar Lubis, Wiratmo Soekito dan penulis-penulis lain, maka Taufik sebagai sastrawan pelopor penandatangan Manikebu ingin juga memperlihatkan bahwa dengan berkesenian serta bersastra ia tetap menekuni politik”. Namun keagungan sastra puisi politik Taufiq itu di sana sini penuh dengan esensi penyadaran kepada nilai-nilai Islami. Dimungkinkan nilai Islami yang dimunculkan Taufiq dalam puisinya dapat sebagai kontrol dalam hiruk pikuk kehidupan yang nyaris dipanglimai oleh politik.
Nilai sastra Islami yang dimaksud mengutip M.Quthub (dalam Yulizal, 1999) adalah kombinasi nilai pengajaran yang indah (mau’izhah/ موعظة), hikmah (حكمة) dan arah yang lurus menuju kebenaran atau irsyadah (ارشادة). Seni sastra Islam itu seperti menyaratkan 3ka yakni estetika, erotika dan etika. Kalau estetika saja bisa terjebak l’art for l’art atau fann li fann ( فن لفن/ seni untuk seni ), demikian pula kalau hanya estetika dan eritika saja tanpa etika bisa terjerembab kepada fornografi, artinya etika atau akhlak dalam bersastra merupakan kontrol tersosialisasinya mau’izhah, hikmah dan irsyadah dalam puisi politik Taufiq. Pemikiran ini dapat digambarkan sbb.:














Dalam event Taufiq Ismail 55 Tahun dalam Sastra Indonesia, saya seperti teman-teman kritikus sastra lainnya diminta mempresentasikan makalah membahas “Karya-karya Taufiq Ismail dalam Khazanah dan Perkembangan Kesusasteraan Islam di Indonesia” pada seminar di Studio TVRI Sumatera Barat Padang, siaran langsung jam 17.00-18.30 wib, 28 Mei 2008.
Dalam presentasi ini saya membatasi diri, melihat karya sastra Taufiq Ismail genre puisi dan posisinya yang signifikan dalam khazanah kesusasteraan Islam serta perubahannya dalam dimensi perkembangan kesusasteraan Islam di Indonesia bersamaan dengan pilar sejarah bangsa (orde lama, orde baru, dan era reformasi). Melihat posisi syair Taufiq dalam khazanah kesesusastraan Islam dimungkinkan mempersandingkannya dengan puisi yang digubah para ulama dahulu dan intelektual Islam yang menyair di abad-abad modern ini. Melihat bentuk puisi Taufiq dalam perkembanbangan kesusasteraan Islam di Indonesia, dapat dimunculkan dalam bentuk perubahannya dalam lima setengah dasawarsa.

Ulama dan Taufiq Ismail dalam Khazanah Kesusastraan Islam
Menarik memperhatikan proses kreativitas Taufik Ismail kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935 dan selama 55 tahun dalam sastra Indonesia dan sudah cukup banyak mengantongi penghargaan sastra tingkat nasional dan internasional. Ia melahirkan karya sastra yang tak bisa dilewatkan begitu saja oleh analis sastra, mahasiswa sastra Islam dan penikmat sastra lainnya. Justeru karya sastra Taufiq genre puisi peristiwa, posisinya amat signifikan dalam khazanah kesusasteraan Islam. Dari perspektif puisi peristiwa dengan elegi Taufiq kalau tidak melebihi, setara dengan rasa` (رثاء) penyair besar Arab Adonis (lahir 1930) dewasa ini.
Kepenyairan dan syair-syair Taufiq ini selama proses kreativitasnya sejak 55 tahun lalu sampai era reformasi Indonesia ini, dalam perspektif historis sastra di Indonesia mengingatkan kita kepada tradisi kepenyairan tokoh agama menulis syair yang sangat-sangat washfiyah (وصفية - diskriptif) memotret dan menarasikan fenomena dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Dahulu seperti ditemukan pada sejarah ulama di daerah kelahiran Taufiq sendiri Minangkabau (Sumatera Barat), ulama banyak menulis sastra kitab termasuk syair bernafaskan Islam. Kelebihan karya sastra mereka -- genre syair (puisi)-- di samping mengajarkan Islam dengan cara bersastra, juga intens menggerakkan sosialisasi nilai sub kultur Minangkabau – adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah— dan sangat profetik. Sampai awal reformasi Taufiq juga menawarkan genre syair yang sarat dengan nilai Islami. Antara ulama dan Taufiq dapat digambarkan sbb.:











Nilai Islam yang ditawarkan Taufiq dalam bentuk sikap tidak menyukai budaya al-khadzb (الكذب /dusta) dan fenomena hilangnya budi pekerti mulia (al-akhlaq al-mahmudah/ الأخلاق المحمودة ) di bawah payung (tema) iklim budaya politik tak menentu di tanah airnya, lihat baitnya dalam “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” (1998) yang mirip syair hija` (هجاء) Arab sbb.:

“…ada pula pembantahan terang-terangan
yang merupakan dusta terang-terangan
di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak…”

Demikian pada kepenyairan Taufiq Ismail tidak dapat diabaikan, seperti karya sastra para ulama itu, deras menghembuskan semangat "profetik", yakni kombinasi nilai dimensi sosial dan dimensi transendental. Namun Taufiq memperlihatkan ciri spasifik dalam kepenyairannya, di antaranya dalam menyair kedalaman makna bahasa sudah menjadi pertimbangan dalam mendiskripsi fenomena. Lihatlah berangkat dari fenomena bangsa ini betapa Taufiq amat dalam memberi penyadaran makna kalimat “ lailahaillallah – لاإله إلاالله” dalam kaitan berbagai musibah meski tidak memakai symbol kata itu dalam syairnya "Ketika Burung Merpati Sore Melayang" (1998) berikut ini:

Ada burung merpati sore melayang
Adakah desingnya kau dengar sekarang
Ke daun telingaku, jari Tuhan memberi jentikan
Ke ulu hatiku, ngilu tertikam cobaan
Di aorta jantungku, musibah bersimbah darah
Di cabang tangkai paru-paruku, kutuk mencekik nafasku
Tapi apakah sah sudah, ini murkaMu?

Nafas sastra profetik (memakai istilah Kuntowijoyo) seperti ini sebenarnya sudah sejak lama merupakan akar budaya nusantara lalu tenggelam. Sekarang muncul lagi dalam bentuk baru dan menjadi ciri post modern. Dalam corak baru sendiri sastra profetik ini dimunculkan Taufiq Ismail seperti penyair Islam lainnya di Indonesia. Kenapa karya sastara ulama menaruh nilai Islami yang tinggi dan sangat profetik sufistik?. Justeru para penggubahnya ialah para ulama ahli "metafisik" Islam dan mendalami metafisik Islam. Dalam lintasan kepengarangan sastra dan ulama, sejak lama telah melahirkan dan memunculkan tokoh, sebutlah seperti Jalaluddin Rumi, Fariduddin Attar, lbnu 'Arabi, Abu 'Athahiyah, Maarri, Ibnu 'Atha, lqbal, juga ulama Indonesia Hamzah Fansuri, Amir Hamzah, Chatib Ali Al-Padani, Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi (Syeikh Bayang), Sulaiman Arrasuli (Inyiak Candung) dll. Mereka ialah ulama sufi yang dekat dengan tradisi bersastra, merupakan sumber ilham bagi ulama lainnya menghubungkan tradisi beragama dengan tradisi bersastra.
Fenomena tadi pun dicatat Abdul Hadi (1985:vi dalam Yulizal, 1999) bahwa ulama dapat menghubungkan tradisi keagamaan dengan tradisi bersastra. Hal itu dimungkinkan karena karya sastra ulama memancarkan kesahduan sufistik bahkan mencerminkan "higher sufistik". Ada kesadaran yang tinggi, sastra itu mempunyai nilai keindahan (جمال /estetik) dan berpotensi sebagai canel (wasilah/ وسيلة) mencapai Tuhan.
Keindahan yang ada pada manusia adalah tiruan dari masternya Tuhan. Mengacu teori mimetic Plato dan Aristoteles, bahwa seni yang kaya dengan keindahan adalah mimesis/ muhakah (محاكاة /mimetik, tiruan) dari kenyataan sehari-hari. Kenyataan dan kehidupan sehari-hari merupakan tiruan pula dari kenyataan tertinggi yang disebut dunia ide dan gagasan, sepenuhnya berada di tangan Tuhan. Artinya, alam ide yang merupakan kenyataan tertinggi di tangan Tuhan itu adalah master, sedangkan kenyataan sehari-hari adalah gandaanya. Dimisalkan manusia membuat kursi yang merupakan salah satu perwujudan seni rupa wujud pahat, adalah tiruan dari masternya, di mana Allah swt. punya Al-'arsyistawa/ tempat bersemayam-Nya (QS 20:5). Pan¬dangan tentang dunia ide/ gagasan tertinggi yang dianut Aristoteles berbeda dengan Plato. Aristoteles melihat, keindahan dalam karya seni bukan sekedar mimetik (tiruan) seperti yang dianut Plato, tetapi adalah kemampuan pesona yang dapat dikembangkan untuk memperluas cakrawala dan khazanah manusia melebihi kenyataan sehari-hari. Tetapi kedua tokoh ini menempatkan seni di atas dari fenomena kenyataan sehari-hari dan keindahan merupakan esensi seni termasuk sastra.
Keindahan dalam karya sastra menurut Plato, mengacu kepada dunia ide. Dunia ide mengacu sifat Ilahi (Tuhan). Berarti keindahan mengacu kepada keindahan Tuhan. Pandangan ini sejalan dengan Muhammad Quthub (1973:7 dalam Yulizal, 1999), menyebut keindahan itu adalah "hakikat al-kaun" (حقيقة الكون/kenyataan/ realita alam) dan puncak keindahan itu adalah al-haq (الحق /kebenaran). Berarti keindahan adalah ide, lahir dari akal yang jernih. Kebenaran adalah sesuatu yang dapat diterima akal dan logis secara mutlak dimiliki oleh Tuhan. Karena itu pula keindahan dan kebenaran merupakan unsur penting dalam seni, yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan unsurnya yang lain. Keindahan dimaksud adalah indah yang menaruh kebenaran, tetapi sesuatu yang indah tidak menaruh nilai kebenaran tidaklah dapat digolongkan dengan keindahan dari perspektif seni Islam. Karena itu pula Bahauddin Al- Amiry (1982) beralasan mengatakan, bahwa al-haq (kebenaran) merupakan unsur penting dalam karya seni yang dicontohkan dalam karya seni jenis sastra genre syair.
Kalau ada budayawan atau da’i yang menolak hubungan seni dengan Islam dan Tuhan, tentulah dapat dipahami, bahwa prinsip mereka berangkat dari sisi pandangan relatifitas dan mungkin beraliran l’art for l’art. Mungkin mereka berangapan, keindahan secara mutlak berada di tangan Tuhan, sedang¬kan keindahan yang ada pada alam termasuk manusia, keindahan itu relatif bagian terkecil (dari kemahaindahan Tuhan) dan boleh lagi dintervensi agama dan etika. Islam adalah agama besar yang diredhai. Mereka menganggap Islam itu hanya berhubungan dengan Tuhan. Di dalam beribadat sebegitu jauh mereka tidak melihat ada hubungannya dengan seni. Shalat misalnya tidaklah diperlukan musik pengiring, tetapi yang diperlukan intens atau apa yang disebut istilah khusyuk.
Di dalam Islam mende¬katkan hubungan dengan Allah memerlukan keindahan sebagai unsur penting dalam seni, karena Allah itu Maha Indah (Jamil/ جميل). Ulama membangun istana indah di kalbunya terekspresi dalam tutur kata yang indah seperti doa dan syair sebagai ekspresi keindahan untuk mencari Tuhan Yang Maha Indah seperti juga lewat tariqat yang dianut dan dibelanya.
Sebelum Islam datang, manusia telah mempunyai kekayaan budaya juga. Kedatangan Islam pun tidak meniadakan kebudayan yang ada, tetapi memberikan perubahan, inovasi, rehabilitasi dan sebagainya. Yang tidak baik diperbaiki dan yang baik direkayasa dan disarati dengan nilai yang diredhai (Islami). Karena itu pula kebudayaan, khususnya seni dengan esensi keindahannya merupakan refleksi (pantulan) Islam dalam aspek kebudayaan. Islam menjadi sumber kebudayaan, khususnya seni dengan esensi keindahan. Akidah dan seni bertemu dalam jiwa muslim yang intens. Karena kata Muhammad Quthub, tashauwur Islami (تصور إسلامي /penci¬traan Islam) dalam seni dimulai dari hakikat ilahiyah (حقيقة إلهية) yang kemudian melahirkan segala wujud. Kemudian bersamaan lahirnya wujud itu, muncul bermacam-macam bentuk gambar dan puspa warna dari wajud yang ada dan ekspresi indah melalui kata-kata kemudian menjadi sastra. Ini merupakan 'inayah (عناية) secara khusus kepada manusia sebagai khalifah Allah di bumi. Allah memberikan lapangan yang luas dalam seni termasuk gambar sebagai seni rupa yang indah. Semua itu kembali kepada semua wajud yang ada. Wajud yang ada itu kembali kepada hakikat ilahiyah. Karena hakikat ilahiyah itulah masternya dan gan¬daanya harus kembali pada master.
Ternyata amat diperlukan penghayatan estetik yang dalam mencapai dimensi transendental. Karya seni yang jauh dari keindahan transendental, disertai pula lemahnya akidah, pengetahuan agama dan pengalaman religius yang rendah, maka pada giliranya seniman dalam berimajinasi dalam menuangkan ide dan pengalaman estetiknya sering terperangkap dalam suatu dilematik. Agaknya persoalan ini yang menimpa "Langit Makin Mendung" Ki Panji Kusmin yang memenjarakan HB.Yasin dan mengundang Hamka dan Bahrum Rangkuti berpolemik a lot. Hamka dan Bahrum pun diserang. Aksi menyerang ulama pengarang seperti Hamka sudah berlangsung sebenarnya tahun 1962 sebelum lahirnya Manifes Kebudayaan ditandai lahirnya Lembaran Kebudayaan Lentera Surat Kabar Bintang Timur pimpinan Pram, tahun 1962.
Berbeda dengan Najib Mahfuzh sastrawan Mesir yang meraih hadiah Nobel 1988 lalu, berimajinasi jernih dilandasi akidah yang kuat meski dalam saat tertentu di negerinya dimarjinalkan juga karena dicap `ilmaniyah (علمانية/sekuler). Dalam ceritanya Masjid di Lorong Sempit, ia seperti menempatkan iman yang kuat di atas segala-galanya dalam karya sastra. Ia menarasikan seorang pelacur yang punya setetes iman “bila masuk masjid aman”, tapi benar-benar diimaninya, dapat menyelamatkan dirinya di dalam masjid, dibanding seorang pimpinan mesjid Abd.Rabuh (imam dan da’i) yang tidak ikhlas dan imannya rapuh, mati dalam keadaan marah pasca pidatonya yang berapi-api mengusir mengusir pelacur yang terpaksa masuk masjid untuk berlindung dari ancaman bombardier pesawat tempur. Pelacur tetap tenang dan aman dalam masjid, karena ia yakin siapa yang masuk masjid aman, sementara iman karena jijik dengan pelacur disebutnya haram di gang sempit itu, ia lari ke luar masjid dan langsung disambar serpihan bom dan mati.
Esensi akidah dalam sastra, panjang lebar pernah saya urai dalam buku “Sastra Islam di Indonesia (1999)”. Dijelaskan ketika seniman melakukan proses kreatifitas dan akidah imannya rapuh, maka lahirlah karya seni (rupa, gerak, suara/ sastra) yang bisa terperosot kedalam fiqh al-batin (kode prilaku) menodai Tuhan.Terkadang agamanya terjual karena "nawaitu" yang kurang baik, dalam merebut fasilitas dari para pihak yang mungkin zalim. Dalam keadaaan seperti ini tidak lagi dapat dimasukan ke dalam seni dan keindahan yang bersumber dari Tuhan, bahkan justru membahayakan akidah dan agama. Kalau membahayakan akidah tentu dilarang dan banyak ulama mengharamkan. Karena seni seperti itu boleh digo¬longkan kepada "lagha" (perkataan sia-sia). Di dalam paham awam perbuatan seperti itu adalah prilaku jahil dan Islam menganjurkan sebaiknya ditinggalkan (QS AL Qashah:55). Untuk contoh kasus ini misalnya seorang penyanyi, yang nyanyinya berlainan dengan perbuatannya maka hasil yang diperolehnya diharamkan oleh Nabi Muhammad saw (Nailul Authar VIII:100), karena dipahami pebagai perbuatan nifaq (kemunafikan) dan penyanyinya digolongkan munafik.
Perinsip Islam kokoh dalam akidah dan syari'atnya, memadukuatkan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, dalam arti profetik kokoh memadukan nilai dimensi sosial yang provan dan dimen¬si transedental memperjelas arah religiositas. Ulama pengarang seperti juga Taufiq memiliki kesadaran profetik yang cukup luas. Bait ulama misalnya lihatlah "NTS" (Nazam Thalub Al-Shalah) Muhammad Dalil Bin Muhammad Fatawi sbb:

Orang meninggalkan sembahyang tiap hari
Di atas dunia disiksa ilahi
Sepuluh perkara siksanya diberi
……
Sempurna wudhu' baik sembahyangnya
Apabila mati diterima amalnya
Di dalam kubur lelapnya senang

Taufiq dalam penyadaran ibadatnya mempunya syair “Sajadah Panjang”, lihat baitnya yang dipopulerkan group musik Bimbo ssb:
….
===
ada sajadah panjang terbentang
hamba tunduk dan sujud
di atas sajadah yang panjang ini
diselingi sekedar interupsi
=====
Reff:
mencari rejeki, mencari ilmu
mengukur jalanan seharian
begitu terdengar suara adzan
kembali tersungkur hamba
======
ada sajadah panjang terbentang
hamba tunduk dan ruku’
hamba sujud tak lepas kening hamba
mengingat DIKAU sepenuhnya

Dari bait tadi penyair bagaikan penyampai ajaran Nabi. Lihat pula penyadaran religius dalam bait-bait Jalaluddin Rummi sebagi berikut:

……
Lakukanlah pekerjaan dari diri ke dalam diri
Karma dengan perjalanan semacam itulah
bumi akan menjadi tambang emas
…….

Lain pula penyampaian pengalaman religius lqbal dalam baitnya berikut:
Apa arti hari-hari dan malam-malam mu
Jika bukan pekerjaan waktu tanpa siang dan malam

Kau adalah karya manusia yang beroleh rahmat Tuhan
O.. masjid kurtubah, keberadaanmu berasal dari cinta
Umat Islam takkan sirna sebab ia punya ajaran kekal

Terasa sekali pengalaman religius penyair dan ulama penyair mempunyai esensi higher sufisme yang sangat profetik. Ahli metafisika muslim biasa menulis sajak. Seorang sufi sebenarnya dapat menjadi seorang seniman yang terpikat oleh keindahan (Rusli Marzuki Saria 1988:6 dalam Yulizal, 1999). Fenomena syair Indonesia yang memancarkan kesyahduan nilai Islami dan tak mengabaikan sufistik sampai sekarang di Indonesia merupakan trend baru dalam perkembangan sastra modern di Indonesia era post-modernism.

Posisi Taufiq dalam Perkembangan Sastra Islam di Indonesia
Sastra Islam di Indonesia, diperkirakan telah ada sejak ma¬suknya Islam ke Indonesia. Abad ke 7 (sekitar tahun 669). Fakta social historis ada disebut-sebut kerajaan Islam di Sabak (kerajaan Islam di Timur Minangkabau) ketika itu diperintah Sri Maharaja Lokita Warman, telah didatang ekspedisi Daulat Umaiyah dengan 28 kapal. Di Sabak ini ekspedisi Umaiyah mulai membebaskan rakyat dari buta huruf, bersama raja yang berhasil di-Islam-kan, ialah dengan mencanangkan wajib pandai baca tulis huruf Arab, yang kemu¬dian dikenal dengan "Arab Melayu".
Salah satu bukti sastra telah berkembang bersama masuknya Islam adalah terdapat indikasi, bahwa Islam itu mudah dan merasuk ke kalbu masyarakat. Para pembawa Islam ketanah air mengajarkan Islam tidak dengan kekerasan, tidak dengan pidato berapi-api mengambinghitamkan para pihak yang belum menunjukkan keislamannya dengan benar, tetapi melalui sentuhan bathin, komunikasi sambung rasa dan perasaan estetik membawa penganut lebih jauh masuk kesubstansi Islam. Artinya dakwah dilakukan tidak dengan kekerasan tetapi dengan komunikasi sambung rasa, yakni komunikasi estetika seni. Banyak para muballigh dalam menyiarkan Islam mengunakan bahasa sastra (Drs. Amron Parkamin dkk, 1973, 2:68). Tidak sedikit cerita yang bernafaskan Hindu disalin dan disisipi nilai-nilai Islam, yang berakar dari akidah dan syari'ah yang benar. Cerita disuguhkan sebagai sarana penyiar¬an Islam, mudah dicerna dan tanpa dipaksakan, dengan sendirinya akidah tertancap dalam di dada masyarakat, nilai syari'at terpatri di kalbu dan lahir dalam perilaku dan amal perbuatan masyarakat, sehing¬ga tanpa disadari pula penikmat seni yang diberi nafas Islam itu beru¬bah dari pemeluk non muslim menjadi Muslim yang kuat tauhid dan baik syari'atnya. Secara kongkrit, penyair Islam memakai alas komunikasi bahasa sastra dalam wujud kesusas¬traan, seperti syair (puisi), hikayat (conte), riwayat (novel) dan seba¬gainya.
Sastra dipergunakan sebaik-baiknya sebagai bagian media dakwah. Banyak karya sastra lama yang non muslim yang di¬sipi nilai-nilai Islam yakni nilai aqidah dan syari'at Islamiyah, seperti cerita roh yang pulang ke rumah setiap petang kamis malam jum’at. Dengan cara itu masyarakat (sekaligus penikmat seni) mudah menerima aqidah dan syari'at Islamiyah lalu memeluk Islam sebagai agamanya, yakni menukar agamanya dari non Islam ke Islam meskipun belum kaffah.
Di antara fakta sosial, sastra Islam telah mulai dibina abad ke-7 itu cerderung bentuk sastra kitab. Satu di antaranya tercatat Kitab Badr Al-Hikam. Kitab ini ditulis dengan bahasa Arab Melayu oleh Sayid Badaruddin (seorang ulama yang datang dari Hadramaut tahun 1050) setelah mendirikan pesantren di Kuntu. Kemudian abad ke-14 tahun 1380, terdapat pula teks syair yang bernafaskan Islam, yakni ditulis pada batu nisan tua di Minye Tujoh, Aceh. Sya'ir itu ditulis dalam bahasa Sumatera Kuno, dengan mempergunakan motif huruf (Arab Melayu. DR.W.F. Stuterheim dan DR.C. Hooykaas (1951) memcatat sya'ir yang bernafaskan Islam itu (Raihoel Amar Datoek Besar dalam Yulizal, 1999). Syair ini mengisahkan kematian seorang penguasa yang memimpin Kedah dan Pasai, tahun 1380 M (781 H).
Sya'ir yang tertua setelah teks yang terdapat pada batu nisan tua di Minye Tujoh Aceh itu, adalah sya'ir-sya'ir yang ditulis oleh Hamzah Fansuri. la merupakan seorang penyair sufi tertua, hidup pada masa Sutan Iskandar Muda (1606-1636). Jalan hidup dan karyanya banyak dipengaruhi ulama sufi, seperti yang banyak disebutnya a.1 : Al-Junaid, Al-Halaj, Jalaluddin Rumi, Syamsu Tabriz, d1l. Pengaruh ini terlihat di dalam karya sastranya, terutama sya'irnya yang bercorak ruba'i (رباعي) dan masnawi (مثنوي).
Karya sastra dalam bentuk puisi lama yang berakar dari kebudayaan Indonesia purba seperti dongeng dari mulut ke mulut, sastra pengaruh agama non Islam, diberi nilai serta disarati nafas Islam. Juga besar pengaruh Persia, Arab, karya sastra yang bersifat sejarah, cerita-cerita panji, kitab-kitab yang, bersifat undang-undang dan hukum, disalin untuk memperkuat sastra bertendens dapat digunakan sebagai sarana dakwah. Tidak sedikit karya sastra yang bernafaskan Islam dan melahirkan sederet nama sastrawannya, antara lain Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatran, Syeikh Nurud¬din Al-Raniri, Abdul Rauf Al-Singkel, Amir Hamzah, Muhammad Ibnu Ahmad Kemas (1719-1763), Abdus Samad Al-Palembani, Kemas Fachruddin, Daud Ibnu Abdillah Ibnu Idris Pattani dll. Karya sastra yang terkenal diantaranya Kitab Seribu Masalah, Riwayat (story) Nabi-nabi, sebelum Muhammah saw. Hikayat tentang Nabi Muhammad, Hikayat tentang Para Sahabat dan Pahlawan Islam, hikayat tokoh seperti syair hikayat Amir Hamzah dsb. Termasuk karya ulama-ulama seperti "Gurindam 12" oleh raja Ali Haji (1844-1857) dan syair-syair ulama Minangkabau seperti Darul Mawa'izah dan Talabu Al-Shalah puitisasi Muhammad Dalil (Syeikh Bayang), syair syeikh Muhammad Taher Jalaluddin Al-Falaki, syair Yusuf dan Salehan oleh Syeikh Sulaiman Al-Rasuli, syair Muhallil karya Dr. Haka (ayah Hamka), syair Burhan al-Haq karya Syeikh Chatib Muhammad Ali Al-Padani, syair Nahu, syair "Nabi Bercukur" dan "Nazam Kanak Kanak" karya Labai Sidi Rajo Sungai Puar; "Kota Pariaman" yang mengisahkan riwayat ulama Syeikh Muhammad Jamil, pembawa Naqsyabandi ke Pariaman, Hikayat Hasan Hosen yang melatari kisah "Tabut Pariaman" dll.
Melihat kekayaan sastra lama dan baru, semestinya mahasiswa terajak untuk mempelajari sastra Islam di samping sastra Arab dan Inggiris dll., tidak boleh membiarkan lewat begitu saja, termasuk puisi karya Taufiq Ismail. Semestinya menjadikannya bahan utama dalam kajian sastra Islam di Indonesia. Karena dalam pandangan saya puisi lama dan baru serta modern seperti karya Taufiq ini ditempatkan pada posisi penting dalam perkembangan kesusasteraan Islam di Indonesia di era post-modernism ini. Perhatian seperti ini berpotensi menemukan substansi nilai Islami dalam sastra lama, sastra baru dan sastra modern dan merekat mata rantai sejarah sastra yang hilang. Ia menyebut sastra Islam sebagai sastra zikir. Taufik dalam perjalanan sastra Islam di Indoensia dapat digambarkan sbb.:



















Dinilai Taufiq Ismail, dkk berpotensi menyambung mata rantai yang hilang itu. Karena penyair besar nasional kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935 ini, juga pendiri majalah sastra Horison (1966) dan Dewan Kesenian Jakarta (1968), berobsesi mengantarkan sastra ke sekolah-sekolah menengah dan perguruan tinggi itu, sudah melahirkan puisi agung cukup banyak dan menempati posisi penting kaya esensi kebangkitan dan perubahan dalam perkembangan sastra Islam di Indonesia. Di dalamnya kaya nafas Islamnya, kekuatannya bukan pada simbol-simbol Islam tetapi pada bahasa naratif mensosialisasikan nilai-nilai Islam dalam diskripsinya yang detail tentang fenomena tiga zaman (menyambung tradisi bersastra ulama pengarang) yakni orde lama, orde baru dan era reformasi. Secara kategoris melihat gaya yang sangat diskriptif dan detail, terkesan mengurangi kedalam makna bahasa, tetapi kalau mencermati cara Taufiq mengekspresikan perasaan, pengalaman, imajinasinya terasa kaya dan menawan penikmat seni lebih jauh membawa masuk kedalam dirinya dan suasana peristiwa politik yang dinarasikan dan didispsikannya itu.
Mungkin Taufiq tak seseru Chairil yang menerjang-nerjang menyuarakan anti kolonialism, atau tak sekental ulama membahasakan Islam mulai dari symbol, ajaran sampai kepada thema tetapi Taufiq punya cara sendiri mengikis segala bentuk penjajahan dalam puisinya meskipun dengan elegi/ ratapan yang terasa melankolis. Ada perubahan dari tradisi bersastra dibanding ulama dalam menyuarakan Islam dan dengan asas tauhidnya lahir sastra zikir nama lain dari profetik atau sastra Islam, ia kuat melawan mulhid (ملحد/atheis) yang dihembuskan marxisme dan cucunya Lekra/ PKI dkk. Ideologi atheis itu merasuki budaya bangsa, menimbulkan iklim prahara budaya bangsa (baca DS.Moeljanto dan Taufiq Ismail, 1994).
Pandangan berbeda dan kritik dimunculkan Aguk Irawan MN (2004), ”Ketika Indonesia Dihormati Dunia” disebutnya, Taufik menunjukkan ratapan yang dahsyat dan merindui masa lalu yang sudah tenggelam. Taufiq disebut pula memerankan tokoh dalam kehidupan tanpa opsi dan solusi. Sastra yang seharusnya sebagai ruang pertemuan antara batin dan kenyataan, kandas di jalan mengacu Rene Wellek, Aguk menyebut Taufik gagal memakai medium bahasa untuk institusi sosial. Juga mengacu Teeuw sastra jenis ini telah kehilangan peran dalam meredamkan ketegangan antara konvensi (tradisi) dan inovasi (pembaruan). Sebab peran sastra sepanjang masa hendak memperjuangkan peralihan-peralihan formasi baru yang dapat dianggap menjalani transformasi dan sintesis, tanpa adanya kerinduan yang berlebihan terhadap kebangkitan kembali nilai-nilai masa lalu”. Justru menurut saya dengan memunculkan peristiwa masa lalu di puisi Taufiq satu di antara setting sejarah jenis waktu referensial, akan memuncul nilai instruktif sejarah: “kalau masa lalau jelek lihat benar dan janga ditiru dan terulang lagi, jika baik lihat betul, tirulah dan maju ke garda terdepan”. Ini bagian dari solusi. Artinya masa lalu yang digoreskan itu ada nilai peringatan dan dijadikan peringatan. Islam pun mengingatkan “memperingati itu ada manfaatnya”.
Dari tahun ke tahun sebenarnya terjadi perubahan pandangan Taufik mensosialisasikan nilai Islam dalam syair naratif diskripti memotret fenomena masa lalu dan yang sedang terjadi masa hidupnya yang dominant tema politik. Sehingga suatu kali sebagai penyair yang ia juga penganut Islam yang kuat dan taat, diidentifikasi karya sastranya sebagai sastra zikir dan ada dalam mapping nama sastra Islam. Tito Yulianto (2007) memetakan (mapping) perkembangan nama lain dari sastra Islam, yakni sastra sufistik (Abdul Hadi WM), sastra profetik (Kuntowijoyo), sastra pencerahan (Danarto), sastra zikir (Taufiq Ismail), sastra dunia dalam (M. Fudoli Zaini), sastra transendental (Sutardji Calzoum Bachri) dan sebagainya yang pada dasarnya hendak mengatakan bahwa ada karya sastra yang kental dengan nuansa Islam, baik dari – secara sederhana – unsur estetikanya atau ekstra estetiknya (bentuk dan isinya).
Puisi Taufiq sisi bentuk tetap mempunyai ciri sendiri meskipun dalam pemberian topic puisi ada kemiripan dengan Amir Hamzah, misalnya “Malu (Aku)…” pada puisi Taufiq, pada topik Amir Hamzah terdapat kemiripan gaya misalnya “Berdiri Aku”, “Hanyut Aku” (lihat STA,1977). Namun sisi isi Taufiq menunjukkan intensitas yang cukup tinggi dinamikanya menyikat esensi zaman dan peristiwa yang telah/ sedang dialaminya dan disadari atau tidak sarat dengan sosialisasi nilai Islami. Perkembangan dan perubahan karya Taufiq dapat disiasati dalam tiga era periodesasi sejarah bangsa Indonesia sbb.:
1. Era orba: kalau sudah 55 tahun Taufiq dalam Sastra Indonesia, berarti sejak tahun 1953 (usia 18 tahun Taufiq) ketika menjadi siswa dan setelah jadi mahasiswa kuliah di Bogor tahun 1957 telah melirik penghayatan keindahan dan memasuki dunia sastra. Namun karyanya zaman itu belum saya temukan. Ini dimungkinkan, karena dalam pengakuan Taufiq sendiri dalam banyak sumber, tidak semua karyanya dipublikasi. Namun tema-tema yang dapat disimak menyangkut esensi kehidupannya sebagai orang muda gelisah mengahadapi situasi negeri, situasi ekonomi termasuk ekonomi keluarganya di Pandai Sikek (Sumbar) yang sering gagal tanaman kentang kakeknya, inflasi dan politik yang berselimut agama (Nasakom) dan erosi kepercayaan sampai dekrit Pressiden 1959 kembali ke UUD 45 serta ancaman perang saudara seperti terbaca dalam “elegi buat sebuah perang saudara”nya Taufiq (1960) yang mengisyaratkan apa yang sebenarnya dicegah Islam: “hentikan dendam, justru dendam membunuh”. Islam justru menyuruh “jadilah bersaudara dengan nikmat Allah”.
. Tahun 1963 Taufik menerbitkan buku Manifestasi bersama Goenawan Mohamad, Hartojo Andangjaya, et.al. dan tahun itu pula ia meraih sarjana dari Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Universitas Indonesia di Bogor. Tahun ini puncaknya pergolakan kebudayaan Indonesia disusupi ideologi komunis dengan ofensif Lekra/ PKI dkk. Pengarang ulama diserang satu di antaranya Hamka dan keluarganya diancam bahkan ulama ini dipenjara dipenjarakan. Muncul prahara budaya, dihadapkan pada pilihan hidup atau mati dalam sejarah pencarian strategi kebudayaan bagi Indonesia modern. Obat alternatifnya, lahir Manikebu (Manifes Kebudayaan) 24 Agustus 1963. Intinya pertama, menyatakan kebudayaan hanya perjuangan menyempurnakan kondisi hidup, kedua melaksanakan kebudayaan nasional dengan jujur dan mempertahankan martabat bangsa Indonesia, ketiga ditegaskan filsafat kebudayaan adalah Pancasila. Suasana bangsa, ketidakmenentuan politik dan iklim budaya yang tidak kondusif ini menjadi bagian tema puisi Manifestasi. Di antaranya puisi “Almamater” (1963) di samping kenangan semasa kuliah dan jasa kampus, juga terisi dengan kata “…kau telah dilantik jadi warga republik yang befikir bebas… kami bersyukur pada Tuhan…. pada ibu Bapak”. Ada sentuhan nilai Islami, yang mengajarkan bersyukur atas nikmat dan berbuat baik kepada orang tua, meski dalam berada gemuruh zaman yang memusingkan.
Ada juga kesadaan kembali ke Tuhan, terdeteksi pada puisi “kota, pelabuhan, lading, angin dan langit (1964). Kalau jalan dunia sudah buntu, Taufiq memberi isyarat jalan kelangit tetap terbuka lebar dalam puisinya (1965) “Dengan Puisi, Aku (…berdoa)”, bagian dari nilai Allahu l-shamad (الله الصمد/ Allah itu tempat meminta), dan do’a itu mukh al-ibadah (الدعاء مخ العبادة/ doa inti ibadat). Terasa betul dalam suasana ini sastra itu ibadat dan bagian ibadat penyairnya.
3. Era Orba: Tahun 1966 Taufiq menerbit buku Benteng, juga Tirani, juga mendirikan majalah sastra Horison. Kemudian dua buku ini digabung diterbitkan tahun 1993. Terasa sekali puisi ini meliput berbagai peristiwa dalam kehidupan bermasyarakat, bangsa dan Negara. Puisi tahun 1966 ini merekam puncaknya peralihan zaman orla kepada orba. Bagaikan konsesus nasional juga. Ini juga bagian dari hasil tuntutan Taufiq bersama rekannya. Ada rasa syukur kembali dipatri dengan doa. Tidak saja doa bersyukur, tetapi juga doa mensiasati diri, kesadaran baru, dimungkinkan para pejuang melahirkan orba dan mungkin kesalahan para pihak orla. Karena mungkin tak semua kata dan langkah yang benar direspon baik, dan terasa ada salah (disengaja atau tidak) pada gilirannya mengadu kepada Tuhan, diyakini doa inti ibadat. Lihatlah puisi Taufiq “Dao” (1966):
“Tuhan kami
Telah nista kami dalam dosa bersama
Bertahun-tahun membangun kultus ini
Dalam pikiran yang ganda
Dan menutupi hati nurani

Ampunilah kami
Ampunilah
Amin
…”
Dalam era orba ini Taufiq menerbitkan buku puisi, tetap memotret peristiwa politik yang disarati berbagai aspek kebudayaan seperti sistim sosial, ekonomi, pendidikan, agama dsb. Tahun 1971 terbit puisi Sepi; Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit. Tahun 1972 terbit Buku Tamu Museum Perjuangan. Tahun 1973 terbit Sajak Ladang Jagung. Tahun 1990 terbit lagi Puisi Langit dengan naratif diskriptif fenomena yang amat menarik yang dapat dicirikan sebagai syi’r munasibat (شعرالمناسبة/ occasional poetry/ sajak peristiwa).
3. Era Reformasi, tahun 1999 Taufiq menerbit buku puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Taufiq merekam peristiwa reformasi bergulir di Indonesia tahun 1998. Taufiq sebagai penyair memotret situasi dan kondisi politik yang terdiskripsi dalam puisinya di antaranya terlihat dalam puisinya “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”. Malu dengan fenomena iklim budaya yang dilakoni para pihak yang menjatuhkan martabat bangsa seperti penjilat yang bisa membidani lahirnya KKN. Sikap menjilat (jilatisme) bisa jadi sogok dalam bentuk lain. Ajaran Islam: “yang menyogok dan disogok dilaknat”. Sogok itu tidak saja duit puluhan juta, ratusan juta, milyaran, trillyunan tetapi sekerling mata, seulas senyum pun yang sengaja menyenang-nyenangkan hati para pihak yang berkuasa lalu berpihak dan menghimpit kepentingan orang banyak, juga bermakna sogok. Taufiq dalam puisinya yang menaruh nilai Islami ini dan menyadarkan bangsa dalam gerakan sederhana menawarkan pemahaman ke-Indonesiaan yang bermartabat, malu berbuat salah dan malu berbudaya jilatisme, malu berbuat nepotism dengan komersialisasi jabatan, yang dalam perspektif Islam dilaknat dan dari perspektif kehidupan berbangsa membahayakan identitas, integritas dan keberlangsungan bangsa. Renungkan baris-barisnya dalam “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” (1998) berikut:

Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,

Dalam perspektif intrinsik puisi ini seperti mewartakan peristiwa budaya atau kode prilaku sok kuasa. Peristiwa dalam teks puisi meminjam ungkapan Maman (2007) dapat ditelusuri dengan mencermati sekuen-sekuen yang menggelinding jadi peristiwa dan motif-motif di belakangnya. Dimungkinkan terjadi dalam struktur kekuasaan dan sementara para pihak yang berkuasa. Fenomena itu jelas memalukan. Dalam ajaran Islam, budaya malu itu bagian dari iman. Malu membudayakan kode prilaku mazdmumah (مذمومة/ budi pekerti tercela). Taufiq seperti berpesan tanamlah dan biasakan budaya malu, malu bagian dari iman. Malu tidak berbudi bagi bangsa yang berbudaya. Hidup tak berbudi, menghancurkan budaya, hancur budaya maka hancurlah bangsa. Betapa jauh Taufiq dalam perspektif kebangsaan memandang, budaya malu melindungi bangsa bagi keberlanjutan Indonesia yang sudah susah payah diperjuang menjadi Negara yang medeka. Taufiq malu jadi orang Indonesia, bukan hendak membuang bangsanya justeru mengingatkan anak bangsa ini bahwa budaya malu berbuat salah adalah manifestasi yang mahal dari kecintaan terhadap bangsa. Taufiq seperti hendak mensosialisasikan semangat Islam, hubbub l-wathan min al-iman (mencintai tanah air itu bagian dari iman). Caranya ia sebut yang salah itu salah, tentu mengingatkan: “ayo bersama membangun kekuatan untuk menghindarinya, menyebut yang benar itu benar meski pahit, dan membangun kekuatan bersama untuk melakukannya dengan baik”. Dari teknik penyiaran nilai Islam di samping pewartaan kebangsaan dalam puisi, karya sastra puisi Taufiq penting dalam era sastra Islam di Indonesia. Posisi Taufiq itu dapat digambarkan sbb.:






















Pesan lain Islam tentang dijerat hutang istilah Islam ghalabat al-dain (غلبة الدين) juga disiarkan Taufiq. Nasib yang dijerat hutang dalam perspektif ketuhanan tercegat mendapatkan rahmat Allah. Dalam perspektif humanistik, melahirkan bangsa pengemis. Taufiq sangat lugas dalam “Kalian Cetak Kami Jadi Bangsa Pengemis, Lalu Kalian Paksa Kami Masuk Masa Penjajahan Beru, Kata Si Toni” (1998) memperkatakan fenomena hutang disebabkan gengsi disebut miskin, lalu berhutang dan akibatnya buruk, merusak martabat bangsa, bangsa yang tak lepas dihutang.Lihat baitnya berikut:

Kalian paksa-tekankan budaya berhutang ini
Sehingga apa bedanya dengan mengemis lagi
Karena rendah diri pada bangsa-bangsa dunia
Kita gadaikan sikap bersahaja kita
Karena malu dianggap bangsa miskin tak berharta

Taufiq dalam bait yang sangat Islami meningatkan, budaya berhutang membuat malu. Budaya ini akan melahirkan fiqh al-bathin (kode prilaku baru) yakni budaya pengemis. Islam tak suka. Sukanya Islam, berusaha keras dengan menggali seluruh potensi yang ada. Tak ada henti. Sehingga dapat memberi. Diajarkan Islam yad ‘ulya (يدعليا/ tangan di atas) lebih mulia dari yad sulfa يدسفلى)/ tangan di bawah). Sekaitan dengan nilai religiositas sastra Taufiq ini mengingatkan saya kepada sabda Nabi saw: Inna min al-syi’r hikmah (إن من الشعر لحكمة / benar-benar, sebagian besar puisi itu hikmah).

Penutup
Akhirnya diketahui dalam syair-syair naratif diskriptif Taufiq Ismail sarat nilai religius menempat karyanya pada posisi penting dalam khazanah kesusasteraan sebagai bagian dari al-fann al-islami (الفن الأسلامي/ seni Islam). Religositas sastranya memamsuki dimensi profetik yang sufistik, mengandung “majmu’atun min al-mau’izhah wa l-hikmah wa l-irsyad” (sekumpulan nilai pengajaran yang indah, hikmah dan panduan arah lurus ke jalan yang benar). Keagungungan sastra Taufik terletak pada pengisian bahasa naratif dengan pengalaman religius yang cukup kaya melampaui derjat diskriptifnya terhadap fenomena. Tegasnya, nilai Islami pada puisinya tidak terletak pada kata-kata simbol Islam, tetapi keagungannya terletak pada makna ajaran dan keindahan narasi. Juga ada banyak hikmah dan isyarat-isyarat ke-Indonesiaan dan ke-Islaman yang benar. Dari perspektif kedalaman Taufik menyelami peristiwa akmbn (aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara) dan diskripsinya dalam narasi serta diisi makna religiositas sastra yang dalam menempatkan Taufiq pada posisi penyair Islam terbesar di awal abad ke-21 ini.
Karya besar Taufiq ini pantas dicerna pelajar dan mahasiswa sastra dan dijadikan buku refrensi sastra ditempatkan dibagian refrensi perpustakaan sekolah mulai dari pendidikan dasar dan perguruan tinggi, seperti juga bagian harapannya. Sekali lagi perpustakaan di lembaga pendidikan dasar, menengah dan perguruan tinggi, perpustakaan daerah serta perpustakaan negara di samping arsip Negara tidak boleh lengah dengan karya dan produk bangsa sendiri.
Ada kekhawatiran, berangkat dari pengalaman sejarah naskah lama ulama pengarang, karya sastra mereka tidak banyak menjadi perhatian kritikus sastra, di samping mereka memang tidak popular sebagai penyair dibanding keulamaannya dan intelektualnya juga sebagian besar karya mereka itu tak tersimpan dan lenyap, masih mending terkubur dalam debu tumpukan buku-buku agama dan sastra atau tersuruk dalam rimba seni budaya modern, sehingga generasi hari ini baik sastrawan, kritikus dan penikmat sastra di negeri ini nyaris tak mengenalnya lagi.
Fenomena nasib naskah lama tadi berakibat perkembangan sastra modern sebagai mata rantai penyambung "masa silam" dengan "masa kini" ke “masa datang”, seperti terputus, disebabkan perpustakaan tidak cukup lengkap dan tidak rapi dalam memelihara naskah lama atau mungkin --perubahan sosial terjadi-- maka karya lama dipandang tidak punya nilai lagi dianggap buku sampah di perpustakaan, atau karena masyarakat cenderung "mem¬barat". Adalah ironis, mereka lebih akrab dengan nilai karya bangsa asing dibanding nilai yang ada pada karya sastra lama milik sendiri. Termasuk memprihatinkan perkembangan sastra daerah untuk kasus Minangkabau, boleh dikatakan ada fenomena langka cipta karya sastra modern yang ditulis dalam bahasa daerah (Minang) sejak Muhammad Yamin (1903-1962) dkk. memperkenalkan sastra modern dan mengikrarkan "berba¬hasa satu, bahasa Indonesia" pada Sumpah Pemuda tahun 1928.

Rujukan
Aguk, Irawan Mn,
2004 Sajak Melankolisme Taufiq Ismail. Jakarta: Sinar Harapan on line.
Ahmad, Mulyadi, terj.
2005 Adonis, Perubahan-Perubahan Sang Pencipta. Jakarta:Grasindo.
A.Kohar Ibrahim,
2007 Pram, Kohar & GM – Soal Berpura-pura dalam Puisi Manikebu. On line http://www.bekasinews.com

Maman, S.Mahayana,
2007 Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Moeljanto, DS; Taufiq, Ismail, ed.
1994 Prahara Budaya, Kilas Balik Ofensif Lekra/ PKI dkk. Jakata: Mizan.
Sutan Takdir Alisjahbana,
1977 Amir Hamzah Penyair Besar Antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyi Sunyi. Jakarta: Dian Rakyat.
Taufiq, Ismail,
1993 Tirani dan Benteng, Dua Kumpulan Puisi Taufiq Ismail. Jakarta: Yayasan Ananda.
http://id.wikipedia.org/wiki/Taufiq_Ismail

Thaha, Mahmud Thaha,
1966 Qishshah fi l-Adab Al-Injliziyah (القصة في الأدب الإنجليزى/ Cerkan dalam Sastra Inggiris). Al-Qahirah: Al-Dar Al-Qaumiy.
Tito, Yulianto,
2007 Sastra Bukan Islam. On line.
Yulizal, Yunus,
1999 Sastra Islam di Indonesia, Kajian Syair Apologetik Pembelaan Tareqat Naqsyabandi Syeikh Bayang. Padang: IAIN-IB Press.
____________,
1999 Perkembangan Terakhir Sastra di 15 Negara Arab. Padang: IAIN-IB Press.
____________,
2001 Puisi Mahasiswa Genre Occasional Poetry. Padang: IAIN-IB Press





CURRICULUM VITAE

Yulizal Yunus, Dt. Rajo Bagindo Lektor Kepala dalam mata kuliah Sastra Arab di Fakultas Ilmu Budaya – Adab IAIN Imam Bonjol, Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Balaiselasa, tim ahli bidang budaya Pemda Kabupaten Pesisir Selatan.
Berdomisili di Padang, Jl.Sitawa 15 Rt.45/Rw.03 Parupuk Tabing, Koto Tangah,Padang, 25171 dan atau di Jl. Tui Raya F/ 14 Belimbing Padang. Telp. Rumah (0751) 444938, HP. 081363851007.
Pendidikan, SDN, Tj.Kandis (1969), PGA 4 Tahun Anakan (1972), PGAN 6 Tahun Salido (1974), Sarjana Muda (gelar BA) FT-IAIN Imam Bonjol Padang (1977), Sarjana (Drs.) FT-IAIN Imam Bonjol Padang (1983) dan sedang Pasca Sarjana Unand Padang. Pendidikan tambahan: Pelatihan penulisan ilmiah populer LIPI (1981), Pelatihan Penelitian Agama (PPA), Depag RI – LIPI Jakarta (1994), Lemhannas (1997), Pelatihan Penelitian Profesional, Jarlit se Sumatera (2001) dll.
Kegiatan lain, peneliti AP3TI (Asosiasi Peneliti dan Pengembangan Pendidikan Tinggi Indonesia) Jakarta ( sejak 1997), peneliti Pusat Penelitian IAIN Imam Bonjol (1996), Pemimpin Majalah Ilmiah “Al-Turas” (1996),Redaksi Eksekutif Majalah Ilmiah Imam Bonjol, (1996), Ketua STAI (Sekolah Tinggi Agama Islam) Balaiselasa (sejak 1996), HISKI (Himpunan Sarjana Kesusasteraan) Komda Sumbar, Sekretaris (1997), ICSB (Islamis Centre Sumatera Barat), Padang, Biro Penerbitan (1997), IAIN-IB Press (Penerbit), Direktur (1989), Pembantu Dekan III Fakultas Adab (Sastra) IAIN Imam Bonjol (1999), MPI (Majelis Pemuda Indonesia) Sumatera Barat, Sekretaris (2001), Dekan Fakultas Ilmu Budaya- Adab IAIN Imam Bonjol (2003 – 2007), Penanggung jawab Jurnal Internasional FIBA – UKM “Fikr wa Adab” (sejak 2004), Director Executive Centre for Police and Culture (2007), Forum Islamic Centre Sumatera Barat (2008) dll.
Karya Tulis (Buku/ Hasil Penelitian/ Makalah/ Artikel), Artikel publikasi koran dan majalah telah dimulai sejak sebelum bekerja di Skh. Semangat di Padang tahun 1976 571 topik. Menulis buku sudah dimulai sejak tahun 1981, sudah dicetakjuga hasil penelitian di antaranya:
1. Kumpulan Puisi Padi Menguning Ditinggalkan (1977)
2. Islam di Gerbang Selatan Sumbar (buku) cet.I/1998.
3. Sosialisasi di Perkampungan Wisata Padang (buku Penelitian) 1998.
4. Wanita dan Sastra (Analisa Novel Wanita di Titik Nol), makalah, Semianr Fakultas Adab, 1998.
5. Sejarah STAI Balaiselasa, 25 Tahun (buku) Cet.I/1998.
6. Sosialisasi Islam di Pasaman, Desa Binaan IAIN (Buku Penelitian) 1998.
7. Bahasa Jurnalistik (Naskah buku) belum terbit/ 1998.
8. Kumpulan Puisi Jum’at Sore 14 Mei (1998)
9. Paham Keagamaan Keliru di Sumbar dan Analisa Nazam Kanak Kanak dan Nabi Bercukur (Buku Penelitian), 1999.
10. Motivasi Keagama dalam Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat di Bungus (Buku Penelitian) 1999.
11. Sentra Tarekat di Sumatera Barat (Buku Penelitian) 1999
12. Sastra dan Sejarah (Makalah Seminar Sastra) Fakultas Adab/ 1999.
13. Teknik Menggubah Puisi Cara Arab (Makalah Seminar Sastra) Studio Sastra/ 1999.
14. Teknik Menyunting (Naskah Buku) belum terbit/1999.
15. Teknik Wawancara (Naskah buku) belum terbit/ 1999.
16. Pulau Cingkuk Saksi Perjuangan Anak Pesisir (buku/ 1991) cet. III/ 1999.
17. Sastra Islam, Analisa Syair Apologetik Syeikh Muhammad Dalil (buku pen.)Cet.I/ 1999.
18. Perkembangan Terakhir Sastra di 15 Negara Arab (Buku) Cet.I/1999.
19. Objek Wisata Kawasan Mandeh Mandeh (Buku) Cet.I/1998, cet.II/1999, cet.III/ 2000
20. Geo Pengajaran Sastra Arab di Indonesia (buku) Cet.I/1999, Cet.II/2000.
21. Angkatan '98, Antologi Puisi (buku) cet.I/1999, cet.II/2000.
22. Objek Wisata Kawasan Mandeh (buku) Cet.I/2000.
23. Kumpulan puisi Anak Pesisir (2000)
24. Sejarah Pss. Selatan dari Sandiwara Bt. kapas hingga Perang Bayang (buku)Cet.I/ 2000.
25. Mencari Hari Jadi Pesisir Selatan (Makalah Seminar Hari Jadi Pss. Selatan, 12 Jan 2000.
26. Irak-Kuwait dalam Syi'r (Buku Kumpulan Syair), 2000.
27. Master/ Action Plan Pesisir Selatan 2001-2010 (Buku), 2001
28. Pesisir Selatan, Kinerja 1995 – 2000 (Buku), 2001
29. Protes Sastra terhadap Paham Keagamaan (Buku), 2001
30. Puisi Mahasiswa Genre Occasional Poetry (Buku), 2001
31. Paket Budaya Perkawinan Pesisir Selatan (Pemda Pessel, 2002)
32. Al-Qashash al-Islamiyah fi Tatsqif Syakhshiyat al-Athfal ( buku IAIN-IB Press, 2002).
33. Kesultanan Indrapura dan Mandeh Rubiyah di Lunang, Spirit Sejarah dari kerajaan Bahari sampai Semangat Malayu Dunia (buku Pemkab Pesisir Selatan – IAIN IB Press, 2002).
34. Detail Plan Pembangunan Budaya Pesisir Selatan (buku IAIN-IB Press, 2004)
35. Pesisir Selatan dalam dasawarsa 1995-2005 di bawah kepemimpinan Bupati Darizal Basir (buku IAIN-IB Press, 2005)
36. Budaya Pesisir Selatan 3 jilid (buku IAIN-IB 2006)
37. Budaya Padang 9 Jilid (buku 2007)
38. Budaya Padang Panjang 9 Jilid (buku IAIN IB Press, 2002)
39. Budi Pekerti 9 jilid (buku IAIN IB Press, 2006)
40. Bahasa Arab untuk Pendidikan Dasar dan Menengah Padang Panjang 9 jilid (buku IAIN IB Press, 2002)
41. Bahasa Arab untuk Pendidikan Dasar dan Menengah Padang 12 jilid (buku IAIN-IB Press 2006)
42. Prototype Polisi Masa Depan Kinerja Kapolda Sumbar (buku IAIN-IB Press, 2007)
43. Kumpulan Syair Arab Kontemporer 20001-2006 (buku IAIN IB Press, 2007) dll.


Selengkapnya...

Jumat, 12 Juni 2009

Simalakama Politik Tokoh Minangkabau

Oleh : Muhammad Ilham (Dosen Jur. SKI)

Secara genetis, sejarah telah mencatat bahwa Yusuf Kalla adalah sumandonya orang Minang, karena isteri beliau berasal dari Tanah Datar (Sumatera Barat). Sedangkan Megawati Soekarno Putri yang memiliki suami Taufik Kiemas dimana orang tua perempuannya berasal dari daerah Batipuh, Tanah Datar (Sumatera Barat). Sedangkan SBY-Budiono pernah diberi “gala” atau gelar oleh orang Minang serta mendapat dukungan dari Gubernur Sumatera Barat, Gamawan Fauzi, S.H.

Di jalan Sudirman Kota Padang, tepatnya di dekat Perkantoran Bank Indonesia, Posko pemenangan JK-WIN berada. Gedung tua bekas kantor Mahkamah Militer berwarna hijau lusuh (karena sudah tua), disulap menjadi warna kuning (warna Partai Golkar) berbalur kuning tua-pinang khas Partai Hanura. Di depannya, ada baliho besar ……. JK-WIN dengan “Tiga Icon keramatnya …… Lebih Cepat, Lebih Baik, Lebih Tegas” serta kata-kata dalam bahasa Minangkabau yang ingin memperjelas posisi kultural JK … “Urang Sumando Bakuku Ameh” (Suami Orang Minangkabau yang Berkuku Emas). Mufidah Kalla, sang istri JK, adalah Bundo Kanduang asal Minangkabau. Berkuku Emas, jelas memposisikan mantagi JK dalam ranah politik Indonesia saat sekarang ini. Pesan yang ingin disampaikan : “JK adalah orang Minangkabau dan ia hebat, untuk itu, sudah selayaknyalah orang Minangkabau memilih JK (dan tentunya WIN akan terbawa, dengan segala bentuk justifikasi). Lalu bagaimana dengan SBY-Boediono ?. Nampaknya, icon JK lebih cepat, terlihat disini. SBY-Boediono, setidaknya tim sukses pasangan dengan koalisi partai-partai rapuh ini, belum segesit tim sukses JK-WIN (khususnya di Sumatera Barat). Akan tetapi kehadiran Gamawan Fauzi (Gubernur Sumatera Barat) di Sabuga sebagai “wali nikah” SBY-Boediono yang kontroversial itu, telah memperlihatkan SBY-Boediono lebih dulu dibandingkan JK-WIN. Harus diakui bahwa ketiga pasangan Capres/Cawapres ini disadari atau tidak disadari ternyata telah menarik masyarakat Minang yang ada dikampung halaman dan daerah perantauan untuk terlibat ke dalam ranah politik tersebut.
Secara genetis, sejarah telah mencatat bahwa Yusuf Kalla adalah sumandonya orang Minang, karena isteri beliau berasal dari Tanah Datar (Sumatera Barat). Sedangkan Megawati Soekarno Putri yang memiliki suami Taufik Kiemas dimana orang tua perempuannya berasal dari daerah Batipuh, Tanah Datar (Sumatera Barat). Sedangkan SBY-Budiono pernah diberi “gala” atau gelar oleh orang Minang serta mendapat dukungan dari Gubernur Sumatera Barat, Gamawan Fauzi, S.H. Ketiga keterkaitan genetis dan politis yang menjadi pengikat pemilih Minang menghadappi pilres mendatang tentu membuat peta konflik di kalangan urang awak semakin terbuka untuk masa-masa mendatang. Disamping itu, keterikatan genetis dan politis tersebut ternyata memperlihatkan kepada Publik bahwa masyarakat Minang, baik di kampung halaman maupun di perantauan tidak solid menghadapi pilpres mendatang. Jika urang awak nan “boneh” di rantau dan kampung halaman tidak kompak dan hanya menyelamatkan kapal masing-masing untuk berlayar sampai di “seberang politik” saya yakin dan percaya bahwa mereka tidak akan mampu “mambangkik batang tarandam”.
Kondisi ini menggambarkan bahwa urang awak hanya dijadikan elite-elite politik tertentu sebagai “kudo parajang bukik” untuk mendapatkan tahta RI-1 dimasa-masa mendatang. Kalau RI-1 sudah didapat, maka “kacang kembali akan lupa dengan kulitnya”. Secara historis masyarakat Minang memang sangat mandiri dalam konsep berfikir dan menentukan sikap politiknya. Kemadirian “nagari” sebagai sebuah “republik kecil” seperti “city state” di Yunani dulunya dan sistem kelarasan ternyata telah membentuk karakter tersendiri bagi masyarakat Minangkabau. Sejak dulunya sikap politik masyarakat Minangkabau memang tidak pernah mampu diintervensi oleh kekuatan materi dan kekuasaan apapun, termasuk lingkungan keluarga mereka sendiri. Jika “urang awak” sudah tersinggung, maka mereka akan menampilkan identitas dan jati dirinya dengan ungkapan “walaupun kamu pintar, kami tidak bertanya. Walaupun kamu kaya, kami tidak pernah meminta dan walaupun kamu jagoan kami tidak akan berantam”.
Sebagai seorang Gubernur, seharusnya Gamawan Fauzi menginventarisir segala potensi dan keinginan sekaligus aspirasi politik masyarakat Sumatera Barat secara keseluruhan. Selanjutnya semua aspirasi dan dinamika politik yang terjadi “dikunya-kunya”, sehingga menjadi sebuah konsep yang jelas, cerdas dan aspiratif. Strategi seperti ini tentu akan membuat bargaining politik “urang awak” akan lebih diperhitungkan oleh berbagai elite politik dan elite pemerintahan ini ke depan. Jika seorang pemimpin seperti Gubernur sudah jalan sendiri-sendiri, bagaimana masyarakat Sumatera Barat nantinya. Padahal Sejak dulu kala masyarakat etnis lainnya sangat segan dengan paguyuban perantau. Minangkabau di perantauan yang senantiasa solid dan memiliki link yang baik dengan kampung halaman. Jangan hanya karena ambisi pribadi untuk menjadi menteri, maka seorang pemimpin daerah mengorbankan harga diri dan jati diri masyarakat yang dipimpinnya. Secara sosiologis memang masyarakat Minangkabau merupakan etnis yang dinamis dan mandiri, sehingga walaupun karakteristik warganya tergolong homogen dari latar belakang suku dan agamanya, dari sisi politik selalu berubah (Kompas, 23/5). Namun yang dipersoalkan bukan karena dinamika politik masyarakatnya, melainkan karena Gamawan Fauzi adalah seorang pemimpin masyarakat Sumatrera Barat.



Selengkapnya...

Ulama dan Politik di Aceh : Respon terhadap Kolonial Belanda

Oleh : Drs. Zulkarnaini, M.Ag (Dosen Prodi PAD)

Dalam tulisan ini penulis akan mencoba mengambil scope yang lebih kecil yaitu bagaimana perjuangan bangsa Indonesia dalam usaha mencapai kemerdekaannya khususnya tentang Ulama dan Politik di Aceh, Responnya terhadap kolonialisme Belanda. Dengan scope yang lebih kecil ini akan dapat mengetahui isi dari topik tersebut lebih rinci dan mendalam, sehingga dengan demikian akan dapat menggugah kembali semangat juang dan petriotisme, akan mengembalikan semangat kebersamaan senasib sepenanggungan bagi masyarakat Indonesia.

A. Pendahuluan

Mencermati kehidupan bernegara masyarakat Indonesia saat ini sangat membuat kita marasa prihatin, yaitu dengan menururunnya semangat patriotisme, rasa persatuan dan kesatuan yang makin menipis, telah berkurangnya rasa senasib dan sepananggungan. Kehidupan masyarakat sudah cendrung kearah kehidupan individual yang kadangkala telah terlupakan bahwa ia hidup di dalam suatu masyarakat. Yaitu suatu masyarakat yang diikat dalam suatu negara yaitu negara Republik Indonesia dengan tujuan hidup bernegara sebagaimana yang tercantum dalam konstitusi ketika Indonsia telah mencapai kemerdekaan yaitu untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
Untuk mengembalikan kehidupan masyarakat dalam bernegara sesuai dengan tujuan luhur bangsa tersebut, agaknya kita perlu bercermin kembali kepada perjuangan bangsa dalam mencapai kemerdekaannya, yaitu suatu perjuangan yang dilandasi dengan semanagat patriotisme yang tinggi, semangat kebersamaan, senasib sepenanggungan dalam menghadapi kolonial, terutama kolonial Belanda.
Julukan Aceh sebagai bumi Serambi Mekkah, tidak terlepas dari eksistensi proses Islamisasi di Aceh. Proses Islamisasi di daerah ini merupakan proses Islamisasi yang paling awal bila dibandingkan dengan wilayah lain diseluruh Nusantara. Para ahli sejarah juga berbeda pendapat tentang waktu pertama kali masuknya agama Islam ke Aceh. Di antaranya ada yang mengatakan bahwa Islam mulai masuk ke daerah Aceh pada pertengahan abad ke 2 H, dan ada pula yang mengatakan pada abad ke 3 H. Ada lagi yang mengatakan pada abad ke 13 M atau abad ke 7 H, masing-masing ahli sejarah mengemukakan pendapatnya dengan argumennya masing-masing.
Beberapa abad kemudian, yakni pada akhir abad ke 16 sampai pertengahan abad ke 17 muncullah ulama-ulama besar yang memiliki kelas internasional dari negeri Aceh itu, seperti Syekh Hamzah Fansuri, Syams al Din Pase al Sumatrani, Syeikh Nur al Din al Ramiry dan Syeikh Abd al Rauf al Singkily adalah nama-nama yang tidak asing lagi sampai kini, membuat nama Aceh Serambi Mekkah bertambah harum.
Pada tulisan ini penulis ingin menyingkap seberapa jauh kiprah ulama dalam perpolitikan di Aceh, dan seberapa jauh pula respon ulama dan masyarakat Aceh terhadap kolonialisme Belanda di daerah ini. Kolonial Belanda melakukan exspansinya ke Aceh tahun 1873 sampai pendudukan Jepang di Nusantara tahun 1942.
B. Ulama dan Politik Di Aceh
Kata “ulama” berarti seorang yang ahli tentang ilmu Islam ( Zainal Bahri, 1996: 334 ), sedangkan kata “politik” diartikan sebagai ketatanegaraaan dan cara bagaimana melaksanakan kebijkasanaan-kebijaksanaan pemerintah hingga dapat mencapai apa-apa yang diinginkan untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. ( Zainal Bahri, 1996: 254 ). Apabila kita membicarakan masalah ulama dan politik di Aceh berarti kita membicarakan sejauh mana peran ahli agama Islam dalam ketatanegaraan/kerajaan/kesultanan dalam melaksanaan suatu kebijkasanaan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Aceh.
Awal masuknya Islam ke daerah Aceh sudah beberapa kali diseminarkan, namun demikian masih belum dicapai kata sepakat. Dalam seminar-seminar tersebut diatas, Prof. A. Hasymi berpendapat bahwa pada tahun 173 H sebuah kapal layar telah berlabuh di Bandar Peureulak, membawa angkatan dakwah dibawah pimpinan Nahkoda Khalifah yang datang dari Teluk Kambay Gujarat. Pada tanggal 1 Muharram 225 H Kerajaan Peureulak di proklamirkan menjadi sebuah Kerajaan Islam dan Sayid Abd al Aziz dilantik menjadi rajanya, dengan gelar Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abd al Aziz Syah, ( A. Hasymi, 1981: 145 ) dan selanjutnya Prof. A. Hasymi menjelaskan bahwa silsilah keturunan Meurah Silu (Al Malik al Shaleh) yang memerintah Samudera Pasai tahun 650-688 H/ 1261-1289 M menunjukkan bahwa beliau keturunan raja Islam yaitu Makhdam Sultan Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat (365-402 H/ 976-1012 M), bukannya seorang yang beragama Hindu, kemudian di Islamkan oleh Syeikh Ismail seperti cerita dongeng. Syeikh Ismail adalah seorang Syarif dari Mekkah ( A. Hasymi, 1981 : 425 ) dan sultan Makhdam Abdul Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat adalah Raja Peureulak yang ke tujuh.
Dari uraian itu sudah dapat ditangkap tanda-tanda atau sinyal-sinyal peran ulama dalam bidang politik di Aceh (sekarang Nagro Aceh Darussalam) terutama dengan penggunaan bahasa Arab yang identik dengan bahasa Islam dalam Pemerintahan.
Para ulama Aceh memberikan andil dan peran yang sangat besar dalam bidang politik di Aceh. Hal ini kita jumpai banyak bukti dalam gambaran perjalanan sejarah Aceh. Aceh sebagai salah satu wilayah Asia Tenggara termasuk kedalam apa yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra, bahwa sebagian besar kosa kata Arab yang diadopsi bahasa Melayu Indonesia, berkaitan dengan konsep atau soal-soal keagamaan: ibadah, hukum Islam, pendidikan dan tradisi sosial atau adat. Sebagian lagi diantara kosakata itu menyangkut politik. Untuk menyebut contoh dalam hal terakhir ini misalnya “daulat” Sultan, Malik (raja), Khalifah (penguasa), Bai’at tabdir (administrasi), “harb” (perang) jihad, aman, amar (keputusan), wathan (tanah air), majlis, musyawarah, umat, siasat, hizb (partai atau kelompok) dan syarikat. Istilah keagamaan yang sering digunakan dalam konteks politik, seperti adil, dzalim, amanah, hukum, qanun (Azyumardi Azra, 2000: 77 ).
Pengadopsian bahasa Arab kedalam bahasa politik di Aceh lebih kental dari daerah lain seperti undang-undang dasar Kerajaan Darussalam yang disebut dalam “qanun maukuta alam” adalah berdasarkan hukum Islam yang bersumber pada Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas (A. Hasymi, 1976 : 11 ) , sehingga jelas sekali terlihat bahwa nama kitab undang-undang kerajaan dinamakan “qanun” berasal dari bahasa Arab yang berarti undang-undang, dan yang sangat prinsip adalah dijadikannya sumber ajaran Islam sebagai dasar hukum Negara.
Selanjutnya peran Ulama dalam politik Aceh mencapai kecemerlangannya sejak berdirinya kerajaan Aceh Dar al Salam yang diproklamirkan tanggal 12 Zulqaidah tahun 916 H ( Ismail Sunny, 1986 : 58 ) dan kerajaan Aceh Dar al Salam merupakan gabungan dari hasil peleburan kerajaan Islam di Aceh, yaitu kerajaan Islam Peureulak, kerajaan Islam Pasei, kerajaan Islam Benua, kerajaan Islam Pidie, kerajaan Islam Jaya yang meliputi wilayah Aru (pulau Kampai) sampai ke Pancu di pantai utara dan barus di pantai barat serta Pagaruyung, Rengat, Jambi, Palembang sampai ke selat Malaka ( A. Hasymi, 1977 : 9) dan hampir seluruh Sumatera berada dalam wilayah kekuasaan kerajaan Aceh Dar al Salam pada awal berdirinya.
Dalam periode ini ulama telah mempunyai kedudukan yang tinggi sebagai penentu dalam kebijaksanaan negara. Hal ini telah dikemukakan, bahwa telah tercantum dalam kitab undang-undang kerajaan “qanun” bahwa kerajaan berdasarkan atas hukum Islam, dan untuk merumuskan hukum, mensosialisasikan, serta pelaksanaan dan pengawasannya sudah dapat dipastikan akan banyak melibatkan para ulama.
Dalam bidang pendidikan A. Hasymi mengemukakan bahwa Dayyah Teungku Chik, barang kali lebih tepat kita namakan “akademi” menurut istilah sekarang, dan yang betul-betul telah merupakan sebuah perguruan tinggi dalam arti sungguh-sungguh (universitas), yaitu Jami’ah “Baitul Rahman” di Banda Aceh (Universitas Bait al Rahman ). Pada masa Iskandar Muda disempurnakan pembangunan Mesjid Bait al Rahman sekaligus dijadikan sebagai pusat kegiatan Ilmu ( A. Hasymi, 1983 : 194 ) dan zaman ini merupakan zaman keemasan dalam sejarah Aceh.
Akibat pengaruh dan respek dari dinamisasi pendidikan Islam yang dilakukan oleh para ulama dan mubalig membuat Islam semakin menembus masuk ke dalam jantung kebudayaan Aceh. Dalam pemerintahan yang diperundangkan, hak-hak agama tetap terpelihara sebagai mana ketentuan yang telah digariskan secara bersama. Ulama tetap jadi penentu, gambaran ini tercermin dalam pernyataan A. Hasymi yang dinyatakannya. 1. Segala cabang dalam kehiduan negara dan rakyat haruslah berjiwa dan bersendi Islam. 2. Wajah politik dan wajah agama Islam pada batang tubuh masyarakat Aceh telah menjadi satu. 3. Sifat gotong royong telah menjadi khas Islam menjadi landasan berpijak bagi masyarakat dan keajaan Aceh yang dalam bahasa Aceh di sebut “ meusuraya ”berdasarkan Hadih Maja tersebut yang telah menjadi filsafat hidup rakyat dan Kerajaan Aceh Dar al Salam dan telah menjadi ketentuan pasti sebagai jalan hidup (way of live) rakyat Aceh, termasuk seni budaya, seni sastra bahkan menjadi sumber cita dan cinta sehingga karenanya Aceh bergelar Serambi Mekah ( A. Hasymi, 1977 : 194 ), sehingga konsekuensi Aceh terhadap Islam secara utuh dan mendalam terdapat diadalam kehidupan rakyat Aceh dan tercermin dalam falsafah hidupnya “ hukum ngoen adat hanjeut crei lage dat ngoen sipeut “ artinya, Hukum agama tidak bisa dipisahkan dari adat, seperti tidak dapat dipisahkannya zat Tuhan dengan sifat-Nya. Sebelum perang Aceh melawan Belanda, para ulama selain menguasai Ilmu pengetahuan dibidang agama, juga bnayak diantara mereka yang menguasai pula bidang-bidang lain seperti teknokrat, politikus, negarawan, dan sebagainya ( Ibrahim Afian, 1987: 19 ), sehingga dapat diprediksi bahwa ulama memegang peranan yang dominan ditengah-tengah kehidupan masyarakat Aceh. Hal ini tidak mengherankan kita bahwa banyak diantara Sultan dan Kepala pemerintahan lainnya di Aceh berasal dari ulama, seperti Sultan Iskandar Muda sendiri adalah murid dari Syeikh Hamzah Fanshuri yang seorang ulama.
C. Respon Masyarakat Aceh Terhadap Kolonial Belanda
Sejak berdirinya Kerajaan Aceh Dar al Salam, dalam perjalanan sejarahnya, pernah mengalami zaman-zaman naik menanjak ke mercu kebesaran, dan ada kalanya mengalami masa-masa menurun menuju lembah kemunduran. Masa-masa semenjak Sultan Alaiddin Ali Mughayat Syah (916 H) sampai pada masa Ratu Tajul Alam Safiuddin adalah zaman gemilang yang menanjak. Sementara zaman-zaman setelah itu, semenjak pemerintahan Ratu Nur l Alam Naqiyatuddin sampai kepada Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah adalah masa suram yang terus menurun. Sultan Alaiddin Ali Mughayat Syah Al Qahhar Iskandar Muda dan Ratu Tajul Alam Safiuddin adalah mutiara utama dalam mata rantai silsilah raja-raja Aceh. Kerajaan Aceh Dar al Salam yang mengambil Islam menjadi dasar negaranya, telah sanggup membangun tamaddun dan kebudayaan yang tinggi di kawasan kepulauan nusantara, terutama di Sumatera dan Malaya ( A. Hasymi, 1983 : 61 ) dan kemudian ketenangan itu terusik sewaktu mulai terjadinya konflik dengan pemerintahan kolonial Belanda.
Pada pergantian abad ke 18 secara resmi pemerintahan Indonesia pindah dari tangan VOC ketangan Hindia Belanda. Setelah pada tahun 1795 izin kontrolnya ditiadakan. Pada tahun 1798 Voc dibubarkan dengan saldo kerugian sebesar 134,7 juta gulden ( Marwati Junet, Puspo Negoro, Nugroho Noto Susanto 1993 : 1 ) dan kemudian kaum liberal dikalangan pemerintah Belanda, antara lain yang mempunyai pembicaraannya Dirk Van Hogendrop melancarkan gagasan baru dalam menjalankan politik kolonial yaitu didasarkan atas kebebasan dan kesejahteraan umum dari pendudukan. Mereka mengusulkan pemerintahan langsung serta system pajak (Marwati Junet Puspo Negoro, 1993 : 2 ) yang bersifat tekanan kepada penduduk pribumi yang mayoritas beragama Islam.
Pemerintahan Hindia Belanda dan umat Islam Indonesia masing-masing mempunyai kepentingan yang berbeda. Disatu pihak pemerintahan Hindia Belanda dengan segala daya berusaha memperkuat dan mempertahankan kekuasaannya, sementara di lain pihak umat Islam Indonesia berdaya upaya pula untuk melepaskan diri untuk melepaskan diri dari cengkraman kekuasaan tersebut yang pada suatu ketika dapat menimbulkan konflik. Sebagai respon atas rasa tidak senang terhadap pemerintahan Hindia Belanda. Suatu kenyataan yang meemrlukan sikap serius bagi Belanda untuk menghadapinya, adalah karena agama ini akan selalu menyadarkan pemeluknya bahwa mereka dibawah cengkraman pemerintahan kafir dan bahwa cinta tanah air adalah termasuk sebagian dari Imannya ( Aqib Suminto, 1985 : 1) dan mempertahankan jiwa, agama dan tanah air adalah wajib hukumnya, dan hal ini tentulah erat hubungannya dengan kebijaksaaan yang ditempuh oleh para ulama. Sejak masuknya Islam di Nusantara, dan mengikat kita dalam hubungannya dengan prinsip-prinsip ajaran Islam yang menyuburkan nasionalisme dan patriotisme (Muhammmad Syamsu AS, 1999 :154 ) yang dapat mengorbankan semanagt jihad mereka. Semangat jihad seperti ini sudah dapat dipastikan akan lebih hebat di wilayah Aceh, dibandingkan dengan wilayah lain di Nusantara, karena Aceh merupakan kerajaan Islam terbesar di nusantara waktu itu.
Respon ulama dan masyarakat Aceh terhadap kebijakan kolonial Belanda di Aceh, penulis bagi menjadi dua bagian yakni: Respon pada masa sebelum Snouck Hurgronje di Aceh (1863-1891), dan responnya ketika setelah Snouck Hurgronje di Aceh sampai pendudukan Jepang tahun 1942.

RESPON ULAMA DAN MASYARAKAT ACEH PARA SNOUCK HURGRONJE DI ACEH (1873-1891)
Saat kerajaan Aceh masih merupakan negara merdeka dan diakui oleh Kerajaan Inggris maupun Belanda. Hal ini dapat dilihat dalam perjanjian antara kedua negara kolonial tersebut. Isi perjanjian tersebut antara lain:
1. Inggris boleh berkuasa di Malaysia dan Singapura
2. Belanda boleh berkuasa di Bangka dan Belitung dan sebagian besar di Sumatera, tetapi harus menghormati kedaulatan Aceh.
Sekitar tahun 1870 M Aceh mulai tegang dengan penguasa Belanda, sebab sudah tampak oleh Sultan Aceh bahwa Belanda ingin mengendalikan perdagangan Aceh dengan negara luar. Sebagai negara merdeka Aceh merasa memiliki kebebasan untuk melakukan perdagangan dengan negara mana saja. Sedangkan Belanda khawatir jika Inggris akan mendahuluinya untuk munguasai Aceh sehingga sebelum Inggris bertindak, Belanda bertindak lebih dahulu dengan dalih Kerajaan Aceh tidak mematuhi perjanjian persahabatan ( Muhammmad Syamsu AS, 1999 : 176 ) yang menurutnya akan dapat mengancam keamanan pemerintahan Hindia Belanda sebagai alasan yang dibuat-buat.
Kerajaan Aceh barangkali telah mendengar bahwa di daerah lain di Nusantara sudah terjadi peperangan anatara pribumi dengan pemerintah Belanda, seperti di Palembang sudah dimulai perang tahun 1819 M, di Makasar mulai tahun 1653 M, Diponegoro tahun 1825 M, perang Paderi tahun 1821 M, perang Jambi mulai tahun 1858 dan perang Aceh baru dimulai tahun 1873.
Pada akhir bulan Maret 1873, sepucuk surat Gubernur Hindia Belanda sampai ke tangan Machmud Syah penguasa kesultanan Aceh Darussalam. Dalam surat itu disebutkan bahwa Belanda menginginkan agar Acek takluk kepadanya, tetapi Machmud Syah menolak dan berbarengan dengan itu ia pun segera mengkonsolidasi kekuatan rakyat ( M. Dawan Raharjo, 1985 : 174 ). Dalam kaitan itu sultan Aceh melalui wazir Ramasetia/ wakil angkatan perang Said Abdullah Tengku Dimenlauk atas nama kerajaan mengumumkan kepada seluruh lapisan masyarakat Aceh yakni “ Bismillahirrahmnairrahiim, wahai Tuan-tuan sekalian, kita semua marilah bersiap-siap dengan senjata yang ada pada kita masing-masing, karena kita semua akan menghadapi bahaya maut dua perkara yaitu, pertama menang, kedua mati syahid, ketiga tidak ada sekali-kali menyerah kalah pada Holanda” ( A. Hasymi, 1977 : 23 ).
Konsolidasi yang dilakukan oleh Sultan Aceh memberikan hasil yang sangat gemilang dan cukup mengagumkan. Agresi Belanda pertama dipimpin oleh Mayor Jenderal Kohler pada tanggal 5 April 1873, dan mendapat perlawanan cukup sengit dari seluruh lapisan masyarakat. Pertempuran yang berlangsung selama 18 hari itu hanya menghasilkan tewasnya Kohler dan terpukul mundurnya serdadu Belanda ke pantai ( M. Dawan Raharjo, 1985 : 174 ) sehingga cukup banyak negara penjajah Barat terkejut karena di abad XIX yang cemerlang buat bangsa Barat rupanya masih bisa dikalahkan oleh bangsa berwarna dari Timur yang sedang luntur dan merupakan peristiwa pahit bagi Belanda.
Setelah agresi Belanda pertama gagal total, maka pemerintah Hindia Belanda di Batavia secara diam-diam mengirimkan sejumlah mata-mata yang akan menyelidiki situasi dan kondisi Aceh, kemudai disusul dengan pengangkatan Letnan, Jenderal J. Van Swieten sebagai Komandan Ekspedisi kedua untuk menaklukkan Aceh dengan kekerasan. Agresi kedua ini berlangsung pada tanggal 23 November 1873 dan tiba di Aceh bulan Desember 1873 dengan personil dan senjata lebih lengkap. Pendaratan tersebut dibawah dipimpinan wakil Panglima Perang Mayjend Verspick. Sementara dipihak Aceh hanya memiliki personil perang terbatas dan sederhana, namun berkat semangat jihad yang dikobarkan oleh para ulama, rakyat Aceh rela mengorbankan segala yang dimilikinya, harta dan jiwa sekalipun ( Taufik Abdullah (Ed), 1983 : 40 ).
Kenyataan yang dihadapi Belanda dalam menghadapi rakyat Aceh memang dinyatakan cukup rumit, selama 11 tahun sejak dimulainya agresi ke Aceh, Hindia Belanda telah mengerahkan kekuatan militernya secara optimal dan besar-besaran namun sampai saat ini Aceh belum mampu ditaklukkan, dan belum ada tanda-tanda Aceh akan menyerah pada kekuasaan Belanda. Malah sebaliknya pada tahun 1883 tekanan-tekanan pasukan Aceh di Kutaraja semakin aktif dan opensif. Gerakan maju pasukan kaum muslimin Aceh bertambah efektif dan terkoordinasi dibawah komando Sultan yang masih muda Mahmud Daud Syah (putra almarhum Mahmud Syah) dibantu oleh para ulama dan Uleebalangnya. Disamping itu istana Sultan yang telah diduduki Belanda sebelumnya terus menerus mendapat tekanan dari pasukan muslim Aceh dan membuat kerugian tidak sedikit bagi pihak Belanda dan sejak berkobarnya perang Aceh sejak tahun 1874 Indonesia (Hindia Belanda) debebani hutang sebesar 400 juta gulden ( Marwati Junet, Nugroho Noto Susanto, 1993 : 13) , selanjutnya Ibrahim Alfian menyebutkan sidang-sidang Staten General (16-17 Juni 1884) memutuskan untuk kembali kepada pasteline atau garis-garis pas yang mengelilingi pusat-pusat pendudukan Belanda dan melakukan blacckade terhadap negeri-negeri ditepi pantai. Kolonial Verslag 1885 mengaku bahwa perlawanan terhadap Belanda bertambah, dan keadaan perbendaharaan Belanda semakin parah ( Ibrahim Alfian, 1987 : 78 ). Keberhasilan muslim Aceh mematahkan serangan-serangan Belanda tidak lepas dari peran seorang tokoh sebagaimana menurut beberapa penulis sejarah bahwa didalam negeri Aceh sendiri ada perselisihan sesama pemimpin saat itu. Dalam situasi demikian Habib Abd Al rahman Al Zakir tiba di Aceh. Habib Abd Al Rahman adalah seorang ulama Arab yang mempunyai peranan penting dalam perang Aceh. Tanggal kedatangannya ke Aceh tidak diketahui secara pasti tetapi pada tahun1864 beliau diangkat menjadi penasehat kesultanan Aceh sedangkan sebelum tahun 1862 pernag bekerja pada Sultan Johor Malaysia ( Muhammad Syamsu AS, 1999 : 177 ) dan Habib Abd Al Rahman ditugaskan untuk meghubungi Turki dan negara-negara Eropa agar dapat membantu Aceh dalam menghadapi Belanda ( Muhammad Syamsu AS, 1999, 179). Di Penang Malaysia bantuan luar negeri buat Aceh diatur dan disini pula Habib Al Rahman tinggal sementara sebab belum bisa memasuki Aceh, karena pantai Timur Aceh di blokade oleh Belanda. Terbentuk pula dewan nan delapan suatu pusat bantuan buat Aceh, yang terdiri dari empat orang Aceh, dua orang Arab dan dua orang muslim India ( Muhammad Syamsu AS, 1999 : 184 ).
Sebab keberhasilan Aceh yang utama adalah faktor antropologi suku bangsa Aceh yang memiliki semacam sifat dan watak asli yang dikatakannya dengan tabiat gemar berperang dan sejak dulu lebih mencurahkan perhatiannya kepada perang dibandingkan dengan suku bangsa manapun di pulau-pualu sekitarnya ( Snouck Hurgronje, 1985 : 25 ). Watak dan sifat liar tersebut bertemu dengan Islam dimana konsep jihad diperkenalkan kepada masyarakat Aceh yang menurutnya ada kesepadanan, sehingga dalam perkembangannnya memperlihatkan keterpaduan dalam suatu wadah yaitu “Sabil Allah” tanpa memberikan perubahan dari watak asli masyarakat Aceh.
Selain faktor antropologis yang terpenting lainnnya yaitu faktor sosiologis. Masyarakat Aceh pada dasarnya memiliki dua kutub kekuatan, yakni golongan Uleebalang (Teuku) dan golongan ulama (Teungku). Golongan adat dan agama sebelum agresi Belanda merupakan dua kubu yang saling bersaing memperebutkan pengaruh, tapi bersifat persaingan seahat, karena masing-masing dapat berpegang kapada falsafah hidup mereka yakni, “ Hukom ngon adat hanjeut crei, lagei dat ngon sipeut “. Tetapi selama perang Aceh berlangsung, ulama atau teungku semakin berpengaruh dan terkemuka sebagai orang-orang yang berkuasa dinegeri itu. Artinya, faktor agama semakin berperan dan semakin besar pengaruhnya dalam masyarkat Aceh.
Sejak berlangsung perang Aceh dari tahun 1873 rakyat Aceh telah melakukan perlawanan dengan semangat jihad. Islam telah menjiwai semangat perlawanan rakyat Aceh menghadapi orang kape Belanda. Dengan semangat ini tidak menjadi soal apakah pemimpin tertangkap atau tewas, namun perlawanan terhadap kape berajalan terus dengan dipimpin para ulama seperti Teungku Cik Di Tiro dan lain-lain ( Muhammad Syam AS, 1999 : 189 ), dan semangat perlawanan seperti ini terus berlanjut sampai datangnya Snouck Hurgronje ke Aceh.
RESPON ULAMA DAN MASYARAKAT ACEH SEJAK SNOUCK HURGRONJE DI ACEH SAMPAI TAHUN 1942.
Kesulitan pemerintah Hindia Belanda dalam proses penanggulangan masalah Aceh adalah karena kurangnya pengetahuan tentang politik dan sosial masyarakat Aceh sehingga mengalami kesulitan dalam merumuskan politik Aceh dengan tepat. Untuk menghadapi kesulitan ini Snouck Hurgronje mengemukakan bahwa dalam bulan Juli 1891, “saya berkunjung ke Aceh memenuhi instruksi pemerintah Hindia Belanda untuk mempelajari khusus mengenai unsur keagamaan dalam kondisi politik di negeri itu. Ketika berada di Arab (1884-1885) dan terutama di Mekah saya berkesempatan untuk memperoleh pengetahuan yang mendalam megenai pengaruh fanatisme Islam atas sikap orang Aceh yang tengah gigih melawan kekuasaan Belanda, saya perlu berhubungan langsung dengan orang Aceh dinegeri mereka sendiri selama beberapa waktu, guna membulatkan pengetahuan yang sudah saya peroleh dari kepustakaan dan dari pengalaman saya dikota suci Arab” ( Snouck Hurgronje, 1985 : 17 ) dan secara ringkas penulis ingin mengemukakan tentang Snouck Hurgronje.
Snouck Hurgronje yang mempunyai nama lengkap DR. Cristhian Snouck Hurgronje, dilahirkan pada tanggal 8 Februari 1857 di Oosterhout Belanda, dalam usia 18 tahun masuk Universitas Leiden (1875). Mula-mula sebagai mahasiswa fakultas Theologi, kemudian pindah ke fakultas Sastra Jurusan Arab. Sekitar tahun 1884 Snouck pergi ke Mekkah untuk mempreroleh pengetahuan praktis bahasa Arab selama satu tahun dan pada tahun 1885 kembali mengajar di Leiden ( Aqib Suminto, 1985 : 115-116 ) dan di negeri Arab ia telah memeluk agama Islam, mengenai cara masuk Islamnya Snouck untuk sementara, orang dapat berbeda pendapat. Atas dasar keterangan dari buku harian kecil Snouck di Jeddah telah dikonstruksikan jalannya peristiwa itu yang paling mungkin, bahwa masuk Islamnya berlangsung secara resmi melalui pengucapan syahadat dihadapan Qadhi Jeddah dengan dihadiri dua orang saksi pada tanggal 16 Januari 1885 ( P.S.J Van Konings Veld, 1989 : 125 ) dan bagaimana Snouck Hurgronje bisa memasuki kota suci yang pada hakikatnya tetutup bagi non muslim ini, jawabannya sederhana, Snouck pergi atas nama muslim dengan nama Abdul Gaffar ( Aqib Suminto , 1985 : 120 ), dan diperkirakan Snouck Hurgronje antara tahun 1891-1892 dan 1898-1903 telah melakukan pengalaman tujuh kali ke Aceh. Secara keseluruhan sekurang-kurangnya ia tinggal empat puluh bulan dalam wilayah Aceh ( P.S.J Van Konings Veld, 1989 : 251 ).
Kedatangan snouck Hurgronje di aceh sejak Juli 1891 sampai Februari 1892 cukup membawa pengaruh terhadap perkembangan politik Hindia Belanda di daerah ini. Politik dengan pola konsentrasi yang sedang diterapkan mendapat kritik cukup tajam darinya dengan mengatakan bahwa orang Aceh setiap saat leluasa dan dengan cara yang paling cocok dengan mereka, serta tanpa biaya atau kerugian dapat mengganggu garis benteng serta pos-pos didaerah pesisir kapan saja mereka inginkan. Pasukan-pasukan yang ditempatkan didaerah garis-garis perbentengan itu tidak dapat berbuat banyak untuk mencegah ataupun menghukum mereka setelah terjadinya serangan ( Snouck Hurgronje, 1985 : 24 ) dan perubahan total politik Hindia Belanda terhadap Aceh, baru dimulai setelah Snouck mengadakan studi riset didaerah ini. Melalui hasil riset tersebut, pemerintah Hindia Belanda baru dapat memahami dan menyadari dimana Aceh memadukan kekuatan melalui dua jenis struktur pimpinan kemasyarakatan yang telah terikat kuat oleh naluri Islam dan keAcehan atau pemimpin agama dan pemimpin adat.
Dua struktur kepemimpinan Aceh tersebut dikemukakan oleh Ibrahim Affan. Pertama, pemimpin-pemimpin adat terdiri dari Sultan dan kerabat-kerabat pembantunya, para Uleebalang atau raja-raja kecil serta kerabat-kerabat yang membantu mereka. Kedalam golongan adat dapat pula dimasukkan Geucik-geucik atau petua-petua yang menjadi kepala kampung sebagai penghubung rakyat dan raja-raja kecil atau para Uleebalang itu. Kedua, para pemimpin agama adalah para ulama, yaitu guru-guru agama yang mendapat penghargaan atas keahlian yang berbeda-beda dan para pejabat agama yang mengurus hal-hal yang berkaitan dengan kelembagaan agama ( Ibrahim Alfian, 1987 : 34), dan jalinan kedua jenis struktur tersebut cukup jelas dan tegas dinyatakan dalam “Qanun” yakni adat bak poteu meureuhom, hukom bak syi’ah kuala, keduanya diikat dengan kalimat sakral lagei dat ngon sipeut hanjeut crei sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dan selanjutnya Snouck Hurgronje menjelaskan tentang perang Aceh, ada tiga kekuatan di Aceh yaitu: 1. Pihak Sultan. 2. Pihak kaum Feodal dan Adat. 3. Pihak agama / golongan agama sebagai golongan yang tidak kenal kompromi, karena itu harus dipukul paling keras ( Muhammad Syamsu AS, 1999 : 191 ).
Penelitian Snouck Hurgronje di Aceh dianggap cukup berhasil. Disinilah keluar karya besarnya yang cemerlang De Atjechers yang terdiri dari dua jilid. Kemudaian dari hasil penelitiannya itu berhasil dirumuskan suatu sistem politik yang cukup tepat dan ampuh untuk menaklukkan Aceh.
Dalam meghadapi perang Aceh Snouck Hurgronje cukup lihai memanfaatkan Islam sebagai senjata yang paling ampuh. Dia cukup memahami betapa pentingnya Islam dalam pandangan Aceh sebagai agama yang telah berabad-abad dianut oleh masyarakat dan telah menjadikan agama sebagai Way of Live sehingga Islam tidak bisa dianggap remeh, baik sebagai agama maupun sebagai kekuatan politik. Oleh karena itu ada beberapa faktor penting berupa advis politiknya pada pemerintahan Hindia Belanda dengan mengedepankan sifat kehati-hatiannya dalam menghadapi problem Aceh.
Pertama, Islam telah menciptakan persatuan yang cukup kokoh dikalangan masayarakat Aceh, dan persekutuan antara raja (sultan), Uleebalnag dengan tokoh Agama (ulama) sehingga sulit untuk ditundukkan. Salah satu strategi untuk menghancurkan Aceh harus dilakukan pemisahan (memecah) golongan raja-raja dengan para ulama. Golongan raja-raja dan bangsawan diberi tempat dan kedudukan, pangkat dan gaji besar serta anak-anak dan familinya disekolahkan disekolah-sekolah Belanda, sementara itu alim ulama harus ditindas, dikejar dan ditangkap ( M. Hasan Gayo, 1983 : 109 ) dan gagasan tersebut memang menjadi kenyataan, dalam tahun 1904 kebanyakan Uleebalang sudah tidak lagi terlibat dalam gerakan perlawanan dan dijadikan adaministator Hindia Belanda.
Kedua, Snouck menyadari akan posisi kunci perjuangan Aceh terletak ditangan para ulama. Kemudian ia menyatakan bahwa para teungku atau pemimpin agama selama perang berlangsung semakin kedepan sebagai orang-orang yang berkuasa dinegeri itu yang menteror kepala adat serta penduduk yang memperlihatkan kecenderungan untuk berdamai ( Ibrahim Alfian, 1987 : 26 ) yang intinya melakukan politik adu domba diantara pimpinan masyarakat, disamping usaha memojokkan para ulama agar dibenci oleh masyarakat. Kemudian ia menganjurkan bagi agama yang moderat agar dirangkul dan yang radikal harus ditumpas habis.
Gagasan ini didukung oleh Gubernur Aceh pada masa Van Heutzs. Pada masa itu operasi militer menumpas gerakan-gerakan perlawanan Mujahidin Aceh dianggap cukup sukses. Kerja sama Snouck dengan Van Heutzs sangat erat sekali, sehingga politik, taktik dan strategi militer dapat diatur secara sistematis dan seefektif mungkin ( M Hasan Gayo, 1983 : 113 ) dan Snouck sering kali mengunjungi tempat-tempat peribadatan umat Islam, seperti mesjid-mesjid, meunasah-meunasah dan temapt ibadah lainnya untuk mengadakan propaganda-propaganda membendung orang-orang yang pergi berjuang, dengan membesar-besarkan kekuatan Belanda dan meyakinkan rakyat untuk tidak bisa melawan kekuatan Belanda yang lebih besar dan lengkap persenjataanya ( M. Hasan Gayo, 1983 : 252 ) dan tentunya dengan argumen-argumen yang didasarkannya kepada ajaran Islam.
Ketiga, apabila Aceh berhasil dikalahkan dalam arti militer, maka untuk menundukkan atau menaklukkan dalam arti sesungguhnya, pemerintah Hindia Belanda perlu membangkitkan rasa toleransi dikalangan orang-orang Aceh terhadap pemerintahan Hindia Belanda dengan Asosiasi politik melalui politik etis, yaitu kebijaksanaan politik trehadap Indonesia berdasarkan hutang budi. Politik etis tersebut merupakan politik dimana agar pemerintah Hindia Belanda menyelenggarakan pendidikan untuk anak-anak pribumi agar dengan mudah masuk sekolah negeri. Maksud Snouck adalah dengan demikian anak-anak negeri dapat dilepaskan dari agama mereka ( Umar Hasyim, 1979 : 52 ).
Keempat, untuk menghilangkan rasa konfrontatif yang dibangkitkan oleh kekuatan rasa beragama, pemeritah Hindia Belanda harus mentolelir umat Islam dengan sifat netral. Snouck menganjurkan pemerintah kolonial Belanda harus mengembangkan sikap netral terhadap Islam, dan sikap keras, tegas terhadap Islam sebagai gerakan politik, dan pemerintah kolonial sekaligus harus mengakui golongan-golongan dalam masyarakat Indonesia yang agak tipis keIslamannya, yaitu kaum elite tradisional dan pemimpin-pemimpin kaum adat diluar Jawa ( Nurkholis Madjid, 1989 : 195 ) termasuk Aceh.
Setelah kehidupan Snouck Hurgronje di Aceh, usaha-usaha penaklukkan Aceh dalam waktu belakangan mengalami kemajuan dan perubahan–perubahan yang sangat pesat dan mengagumkan. Pada akhir tahun 1910-1913 denga gugurnya ulama-ulama Tiro dapatlah dianggap perang Belanda di Aceh telah berakhir sebagai simbol patahnya perlawanan fisik pihak Aceh dalam peperangan yang telah makan waktu sekitar 40 tahun ( Ibrahim Alfian, 1987 : 24 ). Namun demikian menurut Vant Veer walaupun perang gerilnya telah lampau, Aceh harus berada dalam keadan gawat dengan terjadinya banyak serangan terhadap orang-orang Eropa, pembunuhan-pembunuhan oleh orang Aceh berakhir tahun 1942 ( Paul Van Veer, 1985 : 248 ), yang terkenal denga Aceh Moor.
Melihat kondisi masyarakat Aceh yan semakin tertarik terhadap pendidikan Belanda yang telah berdiri sejak tahun 1910-1913, dan ketiadaan pendidikan agama didalamnya membuat kaum ulama merasa khawatir, akan kelangsungan keagamaan putra-putri Aceh masa mendatang . Untuk tahap awal para ulama Aceh membangun tempat-tempat belajar (Dayyah) seperti munculnya perguruan Islam dibawah pimpinan Teungku Abd al Wahab di Seuleumum (mencapai bentuknya tahun 1926), Madrasah Ahl al Sunnah wa al Jama’ah di Aceh timur tahun 1928 oleh Said Hasan, Al Islam di Peusangan Bireun tahun 1930 oleh Teungku Abd al Rahman, Jam’atu al Diniah tahun 1931 oleh Teungku Syaikh Ibrahim di Montaseik. Dan kemudian yang agak lebih modern Jami’at al Diniah didirikan oleh Teungku Daud Beureu’eh pada tahun 1930 di Gorout Aceh Sigli ( Anthony Reid, 1987 : 56 ).
Selama perang Aceh berlangsung Aceh telah banyak kehilangan ulama-ulamanya, rasa tidak mungkin lagi menentang kekuatan Belanda secara fisik yang semakin kuat, serta adanya perpecahan paham agama yang semakin kuat serta adanya perpecahan paham agama yang semakin tegang, Aceh menginginkan merubah wujudnya dengan sistim dan pola baru. Dalam masa yang lama sejak kalah perang tercetuslah suatu ide untuk mmepersatukan suatu ulama yang dinamakan PUSA (Persatuan Ulama di Seluruh Aceh) lahir pada tanggal 12 Rabiul Awal 1358 H, bertepatan denga tanggal 5 Mei 1939 ( Taufik Abdullah, 1983 : 58 ) sebagai wadah penampung aspirasi para ulama Aceh dalam melanjutkan perjuangan yang bertujuan; Pertama berusaha untuk menyiarkan, menegakkan dan mempertahankan agama Islam. Kedua berusaha untuk mempersatukan paham para ulama Aceh tentang hukum-hukum Islam. Ketiga memperbaiki dan mempersatukan Leer Plan sekolah-sekolah agama diseluruh Aceh ( Taufik Abdullah, 1983 : 60 ) dan gejala-gejala sosial masyarakat Aceh sejak Aceh ditaklukkan sampai tahun 1940 dianggap tidak berbahaya lagi oleh pemerintah Hindia Belanda, dari sisi lain pemerintah Hindia Belanda mengalami benturan dalam menagani pendidikan di Aceh disebabkan kurangnya fasilitas, tenaga guru dan kekurangan biaya. Kondisi ini dimanfaatkan oleh PUSA untuk mengembangkan sayapnya, dan PUSA menerobos untuk menentukan masa depannya sebagai wakil Aceh. Pada kurun waktu terakhir menjadi kenyataan bahwa PUSA telah muncul sebagai kekuatan penggerak revolusi menetang kolonial Belanda menjelang Jepang mendarat di Nusantara.
D. Kesimpulan
Ulama Aceh telah memberikan warna yang kental terhadap corak perpolitikan Aceh. Sinyal-sinyal dari peran tersebut terindikasi dari pemakaian kosa kata Arab dalam bahasa politik wilayah itu. Bahkan yang paling fundamental adalah dasar hukum kerajaan Dar Al Salam yang menjadikan Al qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas sebagai dasar negara. Disamping nama undang-undangnya juga dari bahasa Arab yaitu, “Qanun“ yang berarti undang-undang.
Respon ulama dan masyarakat Aceh terhadap kolonial Belanda dilakukan melalui reaksi keras tanpa kenal kompromi. Walaupun masyarakat Aceh terdiri dari beberapa struktur sosial yaitu; Sultan dengan Uleebalang dan pembantunya, golongan adat dan ulama, namun mereka telah diikat dalam suatu falsafah hidup hukom ngeon adat hanjeut crei, lagei sipeut, ngoen dat, yang artinya hukum dan adat tidak bisa dipisahkan seperti tidak dapat dipisahkannya sifat Tuhan dengan zat Nya. Kebiasaan Aceh yang suka berperang, kemudian dipadukan dengan semangat jihad yang ada dalam agama Islam, telah membuat ulama dan masyarakat Aceh tidak kenal menyerah menghadapi kolonial Belanda yang mereka anggap kaum kafir.
Kedatangan Snouck Hurgronje ke Aceh dengan membawa Islam sebagai senjatanya, mampu meredam perjuangan masyarakat Aceh yang selama ini telah membuat pihak Belanda kocar kacir. Bahkan selama perang Aceh pemerintah Hindia Belanda telah mengalami kerugian yang besar. Keberhasilan Snouck terlihat jelas pada tahun 1913 setelah ulama Tiro dan lain-lain gugur. Namun setelah itu ulama yang radikal tetap melanjutkan gerilnya sampai tahun 1942.
Sebagai saingan terhadap pendidikan pemerintah, ulama juga mendirikan sekolah-sekolah agama swasta yang disebut Dayyah. Bahkan sekolah ini bisa mengungguli sekolah pemerintah. Hal ini untuk menepis kekhawatiran ulama terhadap keyakinan putra-putri Aceh dikemudian hari.
Disamping itu tahun1939 ulama Aceh juga mendirikan wadah perkumpulan ulama dengan nama PUSA ( Persatuan Ulama Seluruh Aceh) untuk menyiarkan, mempertahankan, dan menegakkan agama Islam serta untuk mengurus semua kepentingan agama. Kemudian PUSA muncul sebagai gerakan Nasionalis untuk menuju suatu Negara Merdeka.














DAFTAR PUSTAKA

A.Hasyim, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. PT Al Ma’arif. Bandung.1981

Peranan Islam dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Bulan Bintang. Jakarta. 1976

59 Tahun Aceh Merdeka Di Bawah Pemerintah Ratu. Bulan Bintang. Jakarta. 1977

Kebudayaan Aceh dalam Sejarah. Benua. Jakarta.1983

Anthony Reid, Perjuangan Rakyat Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera. Sinar Harapan. Jakarta.1987

Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda. LP3S. Jakarta. 1985

A.S. Harahap, Sejarah Perjanjian Islam di Asia Tenggara cetakan II. T.B Islamiyah. Medan. 1951

Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara cetakan II. PN. PT Remaja Rosda Karya. Bandung.2000

Ibrahim Alfian, Perang Salib di Jalan Allah. PN. Sinar Harapan. Jakarta 1987

Ismail Sunny, Bunga Rampai Tentang Aceh. Bharata Karya Aksara. Jakarta.1986

Marwati Junet, Puspo Negoro, Nugroho Noto Susanto, Sejarah Nasional Indonesia V. Balai Pustaka. Jakarta. 1993

M. Dawan Raharjo (Ed), Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah. PP Pesantren. Jakarta.1985

M. Hasan Gayo, Perang Gayo Alas Melawan Kolonial Belanda. Balai Pustaka. Jakarta. 1983

Muhammad Syamsu AS, Ulama Pembawa Islam di Indonesia. PN. Lentera. Jakarta.1999

Nurkholis Madjid, Islam Kemodernan dan KeIndonesiaan. Mizan. Bandung. 1989

Paul Van Veer, Perang Aceh. Grafiti Press. Jakarta.1985

P.S.J. Konings Veld, Snouck Hurgronje dan Islam, Giri Mukti Pusaka, Jakarta. 1989

Snouck Hurgronje, The Achehnese. Terjemahan Yayasan Soho Guru. Jakarta. 1985

Taufik Abdullah, Agama dan Perubahan Sosial. PN.Rajawali. Jakarta.1983

Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Agama Dalam Islam. PT. Bina Ilmu. Surabaya. 1979

Zainul Bahri, Kamus Umum Khusus Bidang Hukum dan Politik. PN.Angkasa. Bandung.1996
Selengkapnya...