Rabu, 27 Mei 2009

Kreatifitas Ayu Utami dalam Novel

Oleh : Dra. Hetti W. Triana, M.Pd (Dosen Jur. BSA)

Sastra merupakan pengungkapan baku dari apa yang telah disaksikan orang dalam kehidupan, apa yang telah dialami orang tentang kehidupan, apa yang telah dikontemplasikan, dan apa yang telah dirasakan orang mengenai kehidupan. Pada hakekatnya, sastra adalah pengungkapan kehidupan lewat bahasa. Pengungkapan itu akan terlihat melalui daya kreasi dan daya imajinasi pengarang, tetapi daya-daya ini jualah yang dapat menjadikan sebuah karya sastra yang satu berbeda dengan karya sastra lainnya.

A. Pendahuluan

Tulisan ini mencoba memobilisasi pikiran dalam melihat teks sastra yang diasumsikan sebagai pembaharu. Karenanya, penulis memilih novel Saman karya Ayu Utami sebagai teks yang layak untuk dikaji secara rinci.
Alasan pemilihan teks itu didukung oleh gagasan dan pandangan para pakar sastra dan sejumlah sastrawan terkenal yang termanifestasikan melalui penganugerahan pemenang Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998 yang lalu. Penganugerahan itu layak, menurut hemat penulis, karena novel Saman mampu menggiring pembaca kepada dunia yang seolah-olah merupakan realitas yang sesungguhnya.
Untuk mengkaji novel sebagai sebuah karya sastra yang bersifat fiktif, dibutuhkan pisau-pisau analisis dari berbagai dimensi. Pisau-pisau analisis itu itu tidak hanya berupa teori-teori, gagasan-gagasan, dan argumen-argumen para pakar sastra, tetapi dapat juga berupa pengalaman dan pengetahuan sastra penganalisis itu sendiri.
Apapun pisau yang digunakan, penganalisan atau pengkajian teks selalu berkaitan dengan unsur-unsur yang membangun terciptanya sebuah karya sastra. Unsur-unsur itu meliputi unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik ialah unsur-unsur yang terdapat dalm karya sastra itu sendiri. Maksudnya, unsur-unsur itu secara eksplisit terdapat dalam sebuah karya sastra, seperti tema, alur, latar, penokohan, dsb. Unsur-unsur ekstrinsik merupakan unsur-unsur yang terdapat di luar karya sastra tetapi sangat berpengaruh dan berpotensi dalam menentukan warna dan isi sebuah karya sastra. Unsur ini sangat berkaitan dengan latar belakang kehidupan pengarang serta latar waktu dan sosiokultural penciptaan sebuah karya sastra ( Sukada, 1993: 48).
Kedua unsur itu, unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik, akan menjadikan karya sastra bermakna. Secara umum, ada tiga makna karya sastra, yaitu makna objektif, makna ekspresif, dan makna dokumenter/historis ( Taher, 1999).
Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba memahami dan menganalisis novel Saman dengan mencari ketiga makna tersebut untuk melihat tingkat kreativitas Ayu Utami dalam Saman. Agar ketiga makna itu dapat diperoleh, maka Saman tidak hanya dilihat sebagai sistem linguistik tetapi juga dilihat sebagai sistem sastra (Fokkema, 1998: 54).
Untuk keterarahan dan ketajaman analisis, penulis menggunakan beberapa teori yang dikemukakan oleh para pakar sastra dan budaya sebagai pisau analisis, seperti: A. Teew, Mursal Esten, Kuntowijoyo, Harris Efendi Taher, dan sejumlah pakar sastra lainnya untuk melihat tingkat kreativitas Ayu Utami dalam mengemas realitas ke dalam dunia fiksi. Dengan demikian, tulisan ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk memahami dan menghayati amanat dan makna yang tersimpan di balik Saman itu.

B. Sinopsis Novel Saman

Central Park, 28 Mei 1996
Di taman itu saya (Laila) sedang menunggu Sihar untuk menunjukkan beberapa sketsa kerinduan yang dibuatnya. Laila ingat akan pertemuan pertamanya pada tanggal 22 April tahun lalu dengan laki-laki yang dicintainya itu. Laila menikmati kenangannya itu dengan perandaian-perandaian yang membangun kebahagiaan semu.
Laut Cina Selatan, Februari 1993
Laila sampai di tubir pangkalan dan bertemu dengan Rasano ( Cano), tuan rumah perusahaan Texcoil ( perusahaan minyak) di kepulauan Anambas yang bersifat angkuh. Laila datang bersama Toni. Laila adalah seorang fotografer, sedangkan Toni merupakan seorang penulis. Keduanya merupakan tamu.
Rasano memperkenalkan orang-orang servis kepada kedua tamunya. Yang pertama, Sihar Situmorang, insinyur analisis kandungan minyak, orang yang membuat Laila tertarik karena ketidakacuhannya dan posturnya yang liat. Yang kedua, Hasyim Ali, operator mesin, laki-laki yang bermata nakal dan bersikap kurang terpelajar.
Tiba-tiba terdengar dentuman. Anjungan bergoncang hebat. Sebuah kecelakaan terjadi akibat kecerobohan Cano. Tiga orang pekerja tewas. Satu diantara pekerja yang tewas itu ialah Hasyim Ali (teman akrab Sihar) yang berasal dari Sumatera Selatan.Sihar sangat marah kepada Cano.
Laila dan Sihar berangkat menuju Palembang untuk menemui orang tua Hasyim. Atas nasehat Laila, orang tua Hasyim menyetujui penuntutan Rasano dan perusahaan minyak ke pengadilan. Sidang itu akhirnya dimenangkan oleh mereka dengan bantuan Yasmin, seorang pengacara, dan Saman, seorang aktivis LSM. Keduanya merupakan teman lama Laila.
1983. Dia Belum Memakai Nama itu. Saman
Sehabis misa, Athanasius Wisanggeni dipanggil Pater Wissanggeni atau Romo Wis. Ia adalah salah seorang pastor dari tiga pastor baru lainnya. Romo Wis mengungkapkan harapannya kepada pastor pertapa, Romo Daru, untuk dapat ditempatkan di Prabumulih.
Prabumulih 1962
Wisanggeni adalah anak satu-satunya yang berhasil lahir dari rahim ibunya dan hidup. Ibunya yang masih raden ayu adalah sosok yang tak selalu bisa dijelaskan oleh akal. Bapaknya, Sudoyo, tak punya darah ningrat. Ia menjadi pegawai Bank Rakyat Indonesia di Yogyakarta sejak masih kuliah di UGM. Di sinilah Wisanggeni dilahirkan.
Saat Wisanggeni berusia empat tahun, bapaknya dipindahkan ke Prabumulih, sebuah kota minyak di tengah Sumatera Selatan. Bapaknya menjadi kepala cabang. Mereka menempati lantai atas rumah kayu yang cukup besar di ujung jalan Kerinci.
Banyak peristiwa aneh yang terjadi pada ibunya selama tinggal di sana. Ibunya memiliki kehidupan ganda, kadang-kadang seolah-olah hidup di dunia gaib dan kadang-kadang hidup dalam dunia nyata. Peristiwa-peristiwa aneh itu itu muncul ketika ibu Wis hamil.
Suatu hari, tatkala ibu Wis pulang, entah dari mana, wanita itu tidak lagi mengandung. Pak Sudoyo memeriksakan istrinya ke klinik pertamina, dan diperoleh keterangan tidak ada bayi dalam rahim dan tidak ada pendarahan. Hal itu juga terjadi lagi ketika, empat bulan berikutnya, ibu hamil lagi. Namun, tengah malam Wis terbangun karena mendengar orok menangis, lalu ibunya menyapa bayinya yang lapar. Bed besi berderit ketika ibu beranjak untuk menyusui. Ibu meninabobokkan dengan suara lembut: lela lela ledhung….
Tiga tahun kemudian, ibu berhasil melahirkan seorang bayi perempuan secara normal. Namun tiga setelah itu, misteri itu terjadi lagi. Bayi itu meninggal, tetapi Wis sering mendengarkan tangisnya.
Ketika Wis remaja, bapaknya dipindahkan ke Jakarta. Wis belajar Filsafat di Driyarkara dan melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor. Kemudian, Wis masuk seminari dan dididik untuk menjadi seorang pastor.
1984. Wisanggeni sudah berusia 26 tahun. Uskup menugaskannya sebagai pastor paroki Parid, yang melayani kota kecil Prabumulih dan Karang Endah, wilayah keuskupan Palembang. Di kota inilah, Wis bertemu dengan Upi, seorang gadis yang gila dan bisu. Wis banyak terlibat dalam menolong Upi, keluarganya, dan orang-orang kampung transmigran Sei Kumbang Lubuk Rantau, yang rata-rata hidupnya di bawah kemiskinan. Mereka hidup dengan menyadap pohon karet.
1990. Sesuatu terjadi pada Upi.
Hampir enam tahun sudah Romo Wis bergaul dengan penduduk di sana, namun ia tidak pernah mengatakan bahwa dia adalah pastor. Romo Wis sudah terlalu jauh terlibat dengan kehidupan mereka. Suatu ketika terjadilah sebuah peristiwa yang mengerikan di desa itu. Orang-orang membakar perkampungan tersebut, dan memperkosa wanita-wanitanya karena tidak mau mengubah kebun karet mereka menjadi perkebunan kelapa sawit. Banyak penduduk yang ditangkap dan disiksa. Romo Wis juga ditangkap, diinterogasi, disiksa, dan dituduh sebagai provokator.
Akhirnya, Romo Wis diselamatkan oleh kakak Upi, Anson, dan dirawat di suatu tempat yang sangat dirahasiakan keberadaannya, baik oleh kalangan suster dan dokter maupun Bapa Uskup, Peter Westernberg . Beberapa hari kemudian, Wis dibawa ke suatu tempat yang hanya diketahui lima orang suster dan dokter. Romo Wis dirawat di sana lebih kurang tiga bulan.Setelah sembuh dari sakitnya itulah, Romo Wis mengganti kartu identitasnya, sampai peristiwa itu selesai di pengadilan dua tahun kemudian. Ia memilih nama Saman.
New York, 28 Mei 1996
Shakuntala, teman lama Laila yang tinggal di New York. Ayah dan kakak perempuannya menyebutnya sundal karena ia telah tidur dengan banyak laki-laki dan perempuan walau tidak memungut bayaran.
Shakuntala melihat Laila dalam keadaan kecewa, sedih, dan emosional karena Sihar, kekasih yang amat dicintainya, tidak juga muncul di taman itu.
1975. Shakuntala masih remaja kecil dan disekolahkan ayahnya di sebuah sekolah yang dirasa asing oleh Shakuntala. Di sinilah ia bertemu Laila.
Shakuntala menceritakan bahwa ketika umurnya sembilan tahun , ia tidak perawan lagi. Orang-orang tidak tahu karena buah dadanya belum tumbuh. Ada sesuatu yang ia rahasiakan kepada orangtuanya. Ia selalu sembunyi-sembunyi untuk menemui raksasa di dalam hutan.
Shakuntala adalah seorang penari. Ia memperoleh besiswa dari Asian Cultural Centre untuk belajar tari selama dua tahun di New York. Ia tinggal di sebuah apartemen di kawasan Chelsea, di sebuah gang yang penuh grafiti. Ia merasa amat betah tinggal di New York. Orang-orang di sini bersikap formal menyapa Shakuntala dengan Miss Tala, dan yang akrab menyapanya dengan Shakun.
Berbeda dengan Shakuntala, Laila tidak bahagia di New York. Laila sangat kecewa karena laki-laki yang ditunggunya di Central Park tidak juga memberi isyarat. Padahal Laila sudah melepas proyek-proyeknya di Jakarta dan menguras sebagian tabungannya.
Episode berikutnya, Shakuntala menceritakan keakrabannya sejak kelas enam SD. Mereka satu komplotan empat sekawan (Shakuntala, Laila, Yasmin, dan Cok). Mereka menghabiskan masa remajanya bersama-sama sampai mereka dewasa dan punya profesi yang berbeda-beda, Laila seorang fotografer, Shakuntala penari, Yasmin pengacara, dan Cok pengusaha hotel. Sekarang usia mereka sudah tiga puluh tahun.
Pada episode terakhir, novel ini lebih banyak berisikan komunikasi antara Saman dengan Yasmin. Saman telah keluar dari Indonesia dengan bantuan Yasmin dan Cok yang kemudian menetap di New York dan bekerja untuk sebuah LSM "Human Rights watch". Komunikasi antara Yasmin yang tinggal di Jakarta dengan Saman yang tinggal di New York terjadi melalui Elektronik Mail (e-mail).

C. Analisis Novel Saman
Teew (1991:12-26) mengatakan bahwa membaca dan menilai sebuah karya sastra bukanlah hal yang mudah. Membaca merupakan aktivitas pemberian makna pada sebuah teks sastra tertentu. Oleh karena itu, proses membaca merupakan proses yang memerlukan pengetahuan sistem kode yang cukup rumit, kompleks, dan bervariasi. Ada beberapa sistem kode yang harus dikuasai oleh seorang pembaca yang mau memberikan makna sebuah karya sastra. Kode-kode itu ialah kode bahasa, kode sastra, dan kode budaya.
Pernyatan Teew di atas sejalan dengan pendapat Fokkema dan Kunne (1998:54-56) yang menyatakan bahwa pembaca teks sastra harus mengetahui kode sastra, di samping mengetahui kode bahasa yang digunakan untuk menulis teks tersebut. Lebih jauh lagi , dijelaskan bahwa membaca teks sastra identik dengan menginterpretasi teks sastra untuk mencari makna , yakni menerjemahkan informasi dari kode yang satu ke kode yang lainnya dan menghubungkannya dengan kode budaya.
Makna sebuah teks sastra dapat dianalisis dan dipandang dari berbagai sisi. Akan tetapi, secara umum sebuah teks sastra memiliki tiga tingkatan makna, yaitu: makna objektif, makna ekspresif, dan makna dokumenter. Makna objektif yaitu hubungan suatu karya dengan dirinya sendiri. Makna Ekspresif berupa hubungan karya itu dengan latar belakang pengarangnya, sedangkan makna dokumenter berupa hubungan antara karya itu dengan konteks sosial penciptaan ( Mannheim dalam Kleden , 1997: 125-126).

1. Makna Objektif
Seperti yang dijelaskan pada uraian sebelumnya, makna objektif berupa hubungan suatu karya dengan dirinya sendiri. Maksudnya, makna ini dibangun oleh unsur-unsur yang ada di dalam sebuah karya sastra sehingga dapat diketahui bahwa karya itu berhasil atau gagal menyampaikan pesan yang hendak disampaikannya.
Sebuah karya satra yang utuh akan memiliki beberapa unsur, yaitu tema atau amanat, latar, alur, tokoh, dan gaya bahasa. Kelima unsur itu saling berkaitan dan akan memberikan makna karya sastra secara komprehensif dan holistik. Maksudnya, peran sebuah unsur dalam sebuah karya sastra akan didukung oleh peran unsur lainnya. Oleh karena itu, kita tidak dapat memberikan sistematika yang bersifat vertikal terhadap kelima unsur tersebut. Akan tetapi, unsur-unsur itu akan terstruktur secara horizontal dalam menciptakan makna yang utuh.
Setelah membaca novel Saman, penulis berfikir dan berpendapat bahwa kreativitas Ayu Utami lebih terlihat pada unsur latar novel Saman. Maksudnya, Latar yang dihadirkan Ayu mampu mengangkat ide cerita dan mengemas tema novel Saman menjadi utuh. Latar juga yang mampu mewujudkan konflik-konflik itu sistematis dan hidup dalam kondisi yang seolah-olah alami. Latarlah yang menjadikan Saman berbeda dari novel lainnya. Latar yang membuat Saman seolah-olah menjadikan dunia fiktif menjadi dunia ilmiah dan dunia yang sesungguhnya.
Banyak definisi latar yang dikemukakan oleh pakar atau ahli sastra. Walaupun dirumuskan secara berbeda, hakekatnya sama. Seperti yang dijelaskan oleh Esten( 1989: 88 ), latar adalah tempat penceritaan secara umum dan waktu di mana peristiwa itu terjadi.
Menurut Sudjiman (1992: 44 - 46), latar adalah keseluruhan keterangan, petunjuk, dan penjelasan tentang tempat, waktu, dan suasana dari setting sebuah peristiwa sastra dihadirkan. Lebih lanjut, Sudjiman membagi latar itu menjadi latar fisik dan latar sosial. Latar fisik mengacu kepada latar daerah/ tempat, latar bangunan, dan latar waktu peristiwa itu dilukiskan. Latar sosial merujuk kepada penggambaran keadaan kelompok sosial, sikap, adat, kebiasaan, cara hidup dan pola pikir masyarakat dari realitas sastra yang diceritakan. Baik latar fisik maupun latar sosial, keduanya berfungsi sebagai pemberi informasi tentang situasi; sebagai proyeksi keadaan bathin para tokoh, dan menjadi metafor dari kondisi emosional dan spritual tokoh.
Berangkat dari batasan latar di atas, maka dapat diidentifikasi latar novel Saman yang dilukiskan oleh Ayu Utami itu sebagai berikut.
• Latar daerah yang menjadi setting peristiwa-peristiwa dalam novel Saman itu ialah: New York, Prabumulih, Jakarta, Laut Cina Selatan, Texas, Lubukrantau, Sei Kumbang, Muntilan, Odessa, Palembang, Yogyakarta, Gunung Sitoli, Pulau Samosir, Sibolga, Mentok, Biliton, Pulau Matak, Kepulauan Anambas, dll. Semua latar daerah itu benar-benar ada di dalam peta geografis.
• Latar tempat/bangunan yang ditampilkan Ayu Utami dalam novel Saman ialah: taman/Central Park, gereja, perkebunan, hutan, rumah tempat tinggal, rumah-rumah trasmigrans, kantor BRI, hotel, apartemen, klinik, pengadilan, bandara pulau, rumah produk si kecil, rig penggalian minyak, dll.
• Latar waktu dieksplisitkan dengan menggunakan penanggalan (menampilkan tahun-tahun), pagi, siang, sore, malam, tengah malam, dsb.
• Latar sosial mengemukakan peristiwa kehidupan yang sangat primitif sampai kepada kehidupan yang kosmopolit, kesunyian desa perkebunan sampai kepada hiruk-pikuknya suasana kota metropolitan, dll.
Meskipun novel ini ditampilkan pada berbagai latar, peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita lebih bayak memilih setting di tiga kota, yakni New York, Prabumulih, dan Jakarta. Ketiga kota itu memberikan simbol-simbol yang signifikan dengan konflik yang dialami tokoh, di samping memiliki simbol-simbol yang memperlihatkan bentuk kehidupan sosial masyarakatnya.
a. Latar New York
Ayu Utami memilih kota New York sebagai latar utama penceritaan peristiwa dalam novel Saman. New York merupakan kota terbesar di Amerika yang dihuni oleh multietnis. Pemilihan kota New York, sebagai latar utama tersebut, sangat mendukung tema pokok cerita, yaitu seks, politik, dan agama. Hal ini disebabkan oleh kota New York tidak hanya memberikan gambaran kota yang sangat besar, tetapi lebih melambangkan suatu kebebasan, baik kebebasan berpendapat, kebebasan berbuat, maupun kebebasan seksual. Di samping itu, kota New York merupakan simbol dari kehidupan yang kosmopolit, yang dihuni oleh berbagai etnis dan yang menunjukkan masyarakat yang dinamis.
Kebebasan-kebebasan ditampilkan Ayu Utami melalui dialog-dialog naratif seperti pada fragmen-fragmen berikut.



Central Park 28 Mei 1996

Kami berada di sebuah kamar hotel…
Lalu kami berbaring di ranjang, yang tudungnya pun belum disibakkan,sebab kami memang tak hendak tidur siang… (h.4).


Dia akan terheran dan bertanya, dari mana kini saya mendapatkan keberanian itu. Juga dari teman-teman? Saya akan katakan, kita ini seperti burung yang bermigrasi ke musim kawin. Sihar umurku sudah tiga puluh. Dan kita di New York. Beribu-ribu mil dari Jakarta. Tak ada orang tua, tak ada istri.Tak ada dosa. Kecuali pada Tuhan barangkali. Tapi kita bisa kawin sebentar, lalu bercerai. Tidak ada yang perlu ditangisi… (h. 30).


New york, 28 Mei 1996
Namaku Shakuntala. Ayah dan kakak perempuanku menyebutku sundal.
Sebab aku telah tidur dengan beberapa lelaki dan beberapa perempuan. Meski tidak menarik bayaran… (h. 115).


Akhirnya sepucuk surat datang dari Cok. Begini kutipannya: Tala yang baik … Mama dan Papa menemukan kondom dalam tasku… (h. 151).


b. Latar Prabumulih
Prabumulih merupakan sebuah kota minyak di Sumatera Selatan. Di kota inilah selama enam tahun tokoh utama, Saman, menghabiskan waktunya, tepatnya di sebuah desa, Sei Rambai Lubuk Rantau. Sebuah desa transmigran yang warganya hidup sebagai petani karet. Desa yang sangat sunyi dan alami; dihuni oleh kaum marginal yang miskin dan yang terjajah. Di desa ini sering terjadi kekerasan dan pemerkosaan. Gambaran seperti ini dilukiskan Ayu Utami pada fragmen-fragmen berikut.
Prabumulih masih kota minyak di tengah Sumatera Selatan yang sunyi masa itu. Cuma ada satu bioskop, sehingga orang-orang biasa membawa anak-anak bertamasya ke rig di luar kota, melihat mesin penimba minyak mengangguk-ngangguk seperti dinosaurus. Hiburan menegangkan lain adalah lutung atau siamang yang mendadak turun dari pohon…(h. 45).

… Ia menatap perempuan muda dalam kandang itu, namun segera membuang muka…Dusun itu rumpang. Sekitar seratus rumah petak, tiga kali enam meter berserakan di daerah itu. Namun, lebih dari sepertiganya telah ditinggalkan. Ilalang dan perdu tumbuh di ruangnya, ujung-ujungnya menyembul dari jendela dan pintu yang tak lagi berdaun-kayunya sudah lapuk dimakan ngengat dan pengabaian… Orang-orang tak bisa lagi menggantungkan diri dari hasil tanam karet… Tak ada uang untuk mengobati Upi… (h. 72-73).

… Dua laki-laki menjebol rantai pintu rumah Upi dan memperkosa gadis yang kini sudah dua puluh satu tahun. Mereka meninggalkan pagutan-pagutan merah di dadanya (h. 87).

… Semenit kemudian, Wis melihat api muncul dari rumah asap, lalu rumah petak keluarga Argani… Tapi dua orang berseragam hitam-hitam itu menangkap dan mengunci lengannya… (h. 101).

Kreativitas Ayu Utami semakin terlihat ketika ia menggunakan latar Prabumulih sebagai tempat yang paling bersejarah bagi tokoh utama, yaitu Saman. Tempat yang penuh dengan misteri dan sangat menarik perhatian tokoh utama. Peristiwa-peristiwa yang digambarkan di tempat ini seolah-olah merupakan fakta karna konflik yang dilukiskan dilatari perkebunan dan lokasi penambangan minyak.
Daerah ini sangat kontradiksi dengan New York yang merupakan tempat tinggal tokoh utama setelah meninggalkan desa ini, seperti yang diceritakan pada bagian akhir cerita. Kekontradiksian itu mempertajam karakteristik latar yang akan membentuk watak dari tokoh-tokoh cerita, dan pada akhirnya membentuk suatu paradigma baru bagi pembaca.
Meskipun Prabumulih merupakan desa yang penuh dengan aturan-aturan dan nilai-nilai, Ayu Utami juga melukiskan seorang tokoh yang memiliki kebebasan seks di desa itu. Akan tetapi, tokoh yang dapat bertingkah laku yang menyimpang dari nilai-nilai masyarakat itu tidak sama dengan tokoh-tokoh yang hidup di kota New York. Hanya tokoh Upi, gadis cacat dan gila desa transmigran, yang bisa menikmati kebebasan seks di desa Prabumulih, seperti pada kutipan fragmen berikut ini.
… Dia akan menoleh seperti seekor anjing yang kesepian… Gadis itu dikenal di kota ini karena satu hal. Dia bisa berkeliaran di jalan-jalan dan menggosok-gosokkan selangkangannya pada benda-benda… Konon perempuan itu menikmatinya juga… , mencari laki-laki atau tiang listrik. Dan ia selalu mendapatkan keduanya: tiang listrik yang pasif dan laki-laki yang agresif. "Tapi, kata orang dia gila !"…(h. 64).

c. Latar Jakarta
Secara geografis, Jakarta merupakan kota yang terbesar di Indonesia, yang didiami oleh warga yang terdiri dari berbagai suku bangsa, bahkan berbagai latar bangsa yang berbeda. Kota nomor satu ramainya di Indonesia. Jika dibanding dengan kota-kota besar lainnya, seperti Surabaya, Medan, dsb, kota Jakarta lebih kompleks dan bising. Semua tentu saja tidak terlepas dari kedudukannya sebagai Ibu kota Indonesia. Secara simbolis, kota Jakarta memperlihatkan latar yang disarati oleh berbagai konflik, seperti: besarnya jurang antara warga yang kaya dengan yang miskin (banyak konklomerat di samping banyak pula geng yang paling melarat) , tempat tumbuhnya bank-bank bermasalah, tempat orang-orang berbisnis, dll. Orang-orang yang tinggal di sini memperlihatkan gejala kehidupan yang sangat modern dan dinamis, mereka biasa dengan gaya hidup bebas, individualis, erotis, dsb. Bertolak belakang dengan Prabumulih yang gelap jika matahari mulai terbenam, yang sunyi dan tidak ada tempat hiburan. Kebebasan dimiliki oleh warga kota ini, termasuk kebebasan seks, walaupun kadang-kadang mendapat tantangan dari norma-norma dan masyarakat umum. Namun semua itu seperti sudah lazim saja.
"Tapi, percaya deh, cowok itu akan punya pacar baru di Jakarta. Untuk apa dia mengingat Cok setelah dia mendapatkan semuanya"…
… Dan ia kencan dengan beberapa pria sekaligus dalam kurun waktu yang sama… Apakah kamu tidur dengan mereka semua? Tidak, jawabnya. Sebagian… Bagaimana dengan orang tuamu yang dulu membuangmu ke pelosok Republik Indonesia supaya jadi bermoral?Mereka tak bisa marah lagi, katanya. Malah mereka kadang terpaksa melindungi aku dari pacar-pacar yang ngamuk karena kuhianati (h. 152 - 153).

… Namun kini, Yasmin yang dulu alim mulai pacaran. Orang tuanya yang kaya memmelikan rumah di Depok agar dekat kampus… Senin sampai Jumat ia dan pacarnya saling mengeksplorasi tubuh… Kemudian, dengan malu-malu, Yasmin mengaku kepada kami bahwa ia sudah tidur dengan Lukas ( h. 153).

Di daerah inilah empat tokoh wanita menghabiskan masa remajanya. Empat tokoh wanita itu ialah : saya (Laila), aku (Shakuntala), Yasmin, dan Cok. Sejak kelas VI SD mereka selalu bersama-sama memecahkan problematika yang mereka hadapi, walau sebenarnya mereka memiliki watak yang berbeda, seperti yang diuraikan Ayu Utami pada fragmen berikut.
Kami berteman sejak kelas VI SD. Waktu itu akulah yang paling jangkung di antara mereka. Laila yang paling kecil. Yasmin yang paling bagus nilai rapornya. Cok yang paling genit.
Kami berempat mulai sekongkol pada masa akilbalik. Dan seperti layaknya sebuah komplotan, kami saling tolong… (h. 147).

Dari uaraian di atas, dapat diketahui bahwa kreativitas Ayu Utami terlihat dari upaya pengemasan latar tidak hanya untuk mendukung tema , tetapi juga memperlihatkan konflik cerita yang terjadi antartokoh melalui peristiwa dan antarlatar yang kontradiksi. Konflik-konflik itu terungkap lewat gambaran kehidupan dari latar di tiga kota itu. Kehidupan di kota New York sangat bertentangan dengan kota Prabumulih, sementara Jakarta berada di antara kehidupan kedua itu. Jakarata seolah-olah sebagai penengah, baik dari segi aspek geografis maupun dari aspek sosiokultural.
Kepiawaian Ayu Utami dalam melukiskan latar lebih terlihat lagi dari kreativitasnya mengolah fakta menjadi peristiwa-peristiwa yang lebih bermakna. Ayu Utami berangkat dari latar yang betul-betul ada, namun ia mendiasain dunia nyata itu menjadi dunia fiktif yang alami atau yang disebut Kuntowijoyo sebagai dunia mungkin (Kompas, 28 November 1999).

2. Makna Ekspresif
Taher (1999) menjelaskan bahwa makna ekspresif diperoleh melalui analisis yang melihat keterkaitan antara seorang pengarang dengan hasil karyanya. Maksudnya, kita berhadapan dengan bagaimana seorang pengarang mengekspresikan emosional dan daya imajinatifnya dalam karya yang ditulisnya.
Sebagai pengungkapan baku dari apa yang dirasakan, disaksikan, direnungkan, dan dinikmati orang, proses penciptaan karya sastra terkait dengan pengalaman pengarangnya. Meskipun demikian, bukan berarti karya sastra itu merupakan rekaman kesan-kesan belaka atau luapan emosional (expression of emotion ), seperti yang diuraikan Kuntowijoyo( 28 November 1999) dalam artikelnya " Strukturalisasi Pengalaman, Imajinasi, dan Nilai " . Menurut Kuntowijoyo, sebuah karya sastra itu dibangun oleh tiga struktur, yakni pengalaman, imajinasi, dan nilai-nilai sehingga dunia karya sastra merupakan dunia mungkin yang berbeda dengan dunia fakta, dunia jurnalistik, dunia ilmiah, dan dunia lainnya.
Jika diamati episode-episode cerita dalam novel Saman, ditemukan adanya upaya Ayu utami untuk mengekspresikan keberadaan seorang perempuan dalam konteks hegemoni patriaki secara radikal. Radikalisasi itu sangat menarik karena berhasil membongkar bagian-bagian teks di luar pemaknaan verbal. Selama ini, novel-novel Indonesia cenderung menempatkan perempuan sebagai objek eksploitasi seksual dan pada tingkat tertentu , perempuan dipahami secara organik. Berbeda halnya dengan Saman, yang memunculkan perempuan secara liar, sensitif, imajinatif, dan yang banyak mengundang kontroversi-kontroversi, seperti penokohan Shakuntala dan Yasmin yang tertuang pada fragmen-fragmen berikut.
… , akulah yang mengunjunginya di bawah pohon-pohon kapuh… (h. 120) - aku adalah Shakuntala.
Dalam bayang-bayang perempuan yang tertawan itu mencoba menggapai sulur-sulur yang menjulur. Buah pohon itu menggelantung, merah dan bening, meneteskan manis yang tak habis-habis, yang ketika jatuh ke tanah, menumbuhkan lumut dan harum dan batu-batu krisopras. Lalu perempuan itu menjilat-jilat. Ia berusaha menggigit,…( h. 192) - dalam surat Yasmin untuk Saman.

Novel Saman mengetengahkan sosok perempuan dalam fenomena tubuh yang ideologis. Tubuh perempuan menyerupai sebuah lorong yang panjang dan digambarkan Ayu Utami sebagai sesuatu yang sangat eksis seperti pada fragmen berikut.
… Aku menari karena aku sedang merayakan tubuhku… si Penari haruslah sintal dan lentur supaya geraknya menjadi indah bagi hadirin, tidak boleh terlalu bertenaga agar feminin,…Maka, di pentas ramai itu ia pun menjadi seorang ledek: melenggok untuk memuaskan penonton… (h. 126).
Pada bahagian lain, Ayu Utami memperlihatkan dunia lain. Dunia yang tidak pernah disentuh oleh perempuan. Dunia laki-laki dipersoalkan dan imajinasi tentang tubuh laki-laki dibangunnya dengan serba seksis. Gaya pengekspresian Ayu Utami seperti itu memperlihatkan bagaimana cara pandangan perempuan kosmopolit terhadap dunia kesadaran laki-laki.
Melalui dialog-dialog naratif, Ayu Utami berusaha untuk membongkar makna hakiki dari peristiwa yang ditampilkan. Dengan demikian, sebuah teks akan mampu melampaui gaya ungkap secara personal, berupa dunia kesadaran atau sebaliknya. Inilah yang dilakukan Ayu dalam Saman dengan menggunakan kalimat-kalimat yang agak vulgar. Gaya pengungkapannya yang bersifat personal yang sebangun dengan strukturalisasi imajinasinya mencerminkan ambiguitas tokohnya.
Pengungkapan yang penuh simbol dan diksi-diksi yang bersifat metaforis mencerminkan upaya Ayu Utami untuk meliarkan imajinasi pada tingkatan yang radikal. Pada fragmen-fragmen tertentu, terjadi dialog intensif mengenai petualangan seksualitas yang dilukiskan secara sadar dan tidak sadar. Seksualitas dan perempuan dikemas menjadi narasi-narasi yang utuh. Inilah yang membuktikan Ayu Utami memiliki kreativitas yang tinggi dalam mengemas pengalamannya.
Ayu Utami terasah oleh komunitas utan Kayu. Dalam komunitas ini , ia membentuk dan mematangkan ketajaman visi; ia bergulat menemukan ekspresi bahasa; menemukan gaya pengungkapan yang berbeda dari gaya yang lain.
c. Makna Dokumenter
Makna Dokumenter yaitu makna yang berupa hubungan antara karya sastra dengan konteks penciptaannya, meliputi pengaruh-pengaruh sosial politik atau kecenderungan budaya yang tercermin dalam suatu karya sastra. Artinya, sebuah karya sastra adalh suatu dokumen sosial atau dokumen human tentang keadaan masyarakat dan alam pikiran di mana suatu karya diciptakan dan dilahirkan (Mennheim, 1964:91-102).
Sejalan dengan pengertian di atas, maka makna dokumenter mengacu kepada keterkaitan penciptaan novel Saman dengan kondisi sosial politik Indonesia; kondisi kehidupan sosial politik Indonesia yang lagi sembraut.
Novel Saman lahir di tengah tuntutan gaung reformasi yang berapi-api. Pemahaman sastrawan akan akar reformasi kebudayaan, membiaskan gaya kegairahan daya imajinatif yang menyala. Kekuatan batin untuk melakukan pendobrakan publik sastra pun subur di kalangan sastrawan setelah beberapa dekade idealisme mereka terjajah oleh kesombongan kekuasaan. Akan tetapi, keterjajahan itu tidak mematikan kreativitas para sastarawan.
Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat Esten (1999: 37) yang menyatakan bahwa:
Masalah pelarangan buku dan pelarangan berekspresi (pementasan teater, pembacaan puisi, pagelaran lagu-lagu, dan lain lain ) jela akan mengganggu berlangsunganya proses kreatif. Akan tetapi, kelahiran karya-karya agung dan bermutu, sebetulnya tidak banyak ditentukan oleh masalah-masalah seperti itu. Tradisi sastra justru hanya bisa dibentuk oleh jiwa dan batin yang merdeka. Kreativitas hanya bisa berkembang oleh ketajaman kepekaan, kemampuan intelektualitas, dan kekuatan imajinasi.

Krisis kebudayaan, yang menghimpit ruang gerak penciptaan sastra selama ini, membangkitkan kreativitas sastrawan untuk membentuk komunitas sastra beserta aktivitas-aktivitasnya. Rasa ketidakpuasan, protes, dan kritik terhadap kehidupan sosial politik di masa rezim orde baru dikemas dalam berbagai bentuk karya sastra; ada yang dalam bentuk tertulis dan ada yang dalam bentuk lisan, seperti cerpen-cerpen yang ditulis Seno Aji darma dan pembacaan- pembacaan puisi oleh W.S. Rendra.
Arus reformasi melahirkan daya dobrak pembaharuan sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Semua itu mampu menggerakkan obsesi sastrawan untuk mengekspresikannya, dan membentuk komunitas sastra kontemporer, termasuk Ayu Utami.
Saman mampu mengungkap carut-marut zamannya. Suatu zaman yang hiruk pikuk dengan peristiwa informasi kultural sehingga sulit untuk terpahami secara hitam putih. Saman, yang tercipta di tengah masa krisis kebudayaan, menjadi karya yang djagokan atau karya puncak zamannya. Ada akar kebudayaan yang membusuk dan melapuk diangkat dan disempurnakan dengan pembaharuan, tidak hanya sekedar rekaan dan percobaan.
Saman mendapat dukungan dan sanjungan dari sastrawan sebelumnya dan para pakar sastra, seperti yang banyak dimuat dalam berbagai esei dan pertemuan-pertemuan sastra. Sanjungan itu bermunculan dari para pakar yang memiliki latar belakang yang berbeda, baik dari kalangan akademis maupun para praktisi. Sanjungan yang dilontarkan oleh para pakar sastrawan terkenal itu antara lain seperti berikut ini.
• Sapardi Djoko Damono mengatakan bahwa Saman adalah novel yang dahsyat… memamerkan teknik komposisi yang belum pernah dicoba pengarang lain di Indonesia, bahkan mungkin di negeri lain.
• Ignas Kleden mengemukakan bahwa pada beberapa tempat yang merupakan puncak pencapaiannya, kata-kata bagaikan bercahaya seperti kristal.
• Y.B. Mangunwijaya menegaskan bahwa novel Saman dapat dinikmati dan berguna sejati bagi pembaca yang dewasa. Bahkan amat dewasa dan jujur, khususnya mengenai dimensi-dimensi politik, antropologi sosial, dan teristimewa lagi agama dan iman.
Tanpa berpretensi untuk membenarkan dan menolak pandangan para pakar sastra di atas, maka, menurut penulis, Ayu Utami melalui novelnya yang berjudul Saman ( 1998 ) layak diasumsikan sebagai tokoh pembaharu, khususnya dalam karya sastra roman, dewasa ini. Ayu Utami mencoba melakukan gebrakan-gebrakan baru untuk menemukan generasinya sendiri melalui Saman. Ia berusaha menampilkan aspek-aspek fiksionalitas dan faktualitas mengalir dalam alur cerita, penuh kejutan, dan menyerap empati pembaca melalui sebuah kreasi personal . Dalam konteks inilah, sebagai pembaharu, Saman menjadi penting dalam kesusasteraan Indonesia dewasa ini.
Menurut Binarto (1998) ada lima alasan yang menyebabkan pembaruan dirasakan signifikan dalam perkembangan sastra Indonesia mutakhir. Lima alasan itu ialah:
1) pembaharuan diasumsikan sebagai sesuatu yang koherensif;
2) pembaruan diandaikan sebagai piranti meningkatkan kualitas sastra Indonesia kontemporer;
3) pembaruan dipandang sebagai kekuatan sentral untuk dijadikan ukuran keberhasilan dan kegagalan;
4) pembaruan ditempatkan secara kausalistik antara karya dan tingkat perkembangan pemikiran masyarakatnya.
D. Kesimpulan
Dari Uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Saman merupakan sebuah roman atau teks sastra yang diciptakan oleh pengarang, Ayu Utami, yang memiliki kreativitas yang tinggi. Kreativitas yang dimiliki Ayu Utami menempatkan Saman menjadi karya puncak di zamannya. Kreativitas Ayu Utami terlihat pada kemampuan Ayu Utami dalam:
1) menawarkan rangkaian dialog narasi yang berkaitan dengan argumen-argumen feminimismenya;
2) mengemukakan dekonstruksi atas mite-mite yang berhubungan
dengan kehidupan perempuan;
3) menggambarkan pertumbuhan moral dan konflik- konflik secara radikal; dan
4) mengangkat ragam pemaknaan terhadap wacana masyarakat kosmopolit.
Daftar Kepustakaan

Esten, Mursal. 1984. Kritik Sastra Indonesia. Padang: Angkasa Raya.

_____. 1999. Kajian Transformasi Budaya. Bandung: Angkasa.

_____. 1999. Desentralisasi Kebudayaan. Bandung: Angkasa.

Fokkema, D.W. & Ibsch, Elrud Kunne. 1998. Teori Sastra Abad Kedua Puluh. Terjemahan dari Theories of Literature in the Twentieth Century oleh J. Praptadiharja dan Kepler Silaban. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Mannheim, Karl. 1964. Essay on The Sociology of Culture. London: Routledge & Kegan Paul Ltd.

Sujiman, Panuti. 1991. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sukada, Made. 1993. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa.

Teeuw, A. 1991. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Thahar, Harris Effendi. 1999. Kiat Menulis Cerita Pendek. Bandung: Angkasa.

Utami, Ayu. 1999. Saman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Padang, 8 Desember 1999
Selengkapnya...

Kamis, 14 Mei 2009

Islam di Maroko : Pra & Pasca Kemerdekaan

Oleh : Erasiah, MA (Dosen Jur. SKI)

Maroko merupakan sebuah wilayah yang pengaruhnya sampai ke Spanyol pada masa klasik khususnya masa dinasti Murabitun dan Muwahidun. Akan tetapi, pada era kehancuran Islam di Spanyol sekitar abad ke 13M, telah membawa dampak buruk terhadap kondisi Islam di Maroko. Bangsa Barat yang tidur selama ini telah bangkit untuk mengejar ketertinggalan mereka dari bangsa Muslim. Mereka (oang-orang Barat) datang ke wilayah Islam dan bahkan menjadi penguasa di wilayah Islam yang dibuktikan dengan terutama Maroko resmi menjadi protektorat Perancis pada tahun 1912M.

A. Pendahuluan

Afrika Utara yang terdiri dari berbagai negara, mayoritas penduduknya adalah beragama Islam. Di antara negara-negara tersebut adalah Mesir, Tunisia, Al-Jazair, Libya dan Maroko. Dari negara-negara tersebut yang akan dibincangkan dalam tulisan ini adalah tentang negara Maroko yang terfokus pada masa sebelum dan sesudah kemerdekaan.
Akibatnya masyarakat Maroko menjadi tertindas ditambah dengan melemahnya kondisi perekonomian Maroko karena perekonomian dikuasai oleh pedagang-pedagang Barat. Penguasa Barat/Eropa memperlakukan masyarakat Maroko secara tidak baik, disamping tanah mereka juga dirampas yang berakibat hilangnya mata pencaharian masyarakat. Kemudian bangsa Eropa juga menukar sistem tanaman yang sebelumnya dengan bibit-bibit baru, sehingga petani Maroko tetap menjadi petani yang selalu merugi ketika waktu panen. Efek yang lain atas kehadiran Eropa di Maroko adalah hilangnya kekuasaan para sufi di wilayah-wilayah kecil, sehingga melahirkan kesadaran nasional masyarakat Maroko.

Kesadaran nasional tersebut mengantarkan lahirnya gerakan-gerakan perlawanan dari masyarakat Maroko dan para pemimpin sufi untuk menentang Perancis. Disamping itu, kebijakan pemerintah Perancis mendirikan industri-industri di perkotaan telah menarik simpatik masyarakat pedesaan untuk datang ke perkotaan yang semakin hari dapat mengubah pola fikir mereka. Hasilnya secara perlahan kesadaran masyarakat akan penjajah semakin meningkat yang berujung dengan perlawan masyarakat Maroko terhadap para penjajah. Dengan hasil terciptanya kemerdekaan Maroko pada tahun 1956M.





B. Islam di Maroko Sebelum Protektorat Perancis

Pada zaman pertengahan Islam yang berkisar sekitar tahun 1250M-1800M, berjaya tiga kerajaan besar Islam (Turki Usmani di Turki, Safawi di Persia dan Mughal di India). Dari tiga kerajaan besar ini, Turki Usmani merupakan sebuah kerajaan yang berjaya sampai kezaman modern (sekitar tahun 1923) karena tepat pada tanggal 23 Oktober 1923 Turki resmi menjadi Republik Turki dan sistem khilafah dihapuskan. Adapun kekuasaan Turki meliputi daerah bagian Timur dan sampai ke Afrika Utara. Namun Maroko sebagai salah satu negara yang berada di wilayah Afrika Utara merupakan sebuah negara yang merdeka dari kekuasaan Turki berbeda dengan Al-Jazair, Mesir, dan negara yang lainnya.

Akan tetapi di tengah kebebasan dari Turki, Maroko menghadapi bangsa yang sedang garang atau bangsa yang baru bangkit dari tidurnya yaitu Portugis dan Spanyol. Memang semenjak renainsance, bangsa Barat selalu melakukan “perbaikan diri” dan bahkan menjajah bangsa lain untuk memperkuat ekonomi mereka dari krisis yang terjadi di Eropa, terutama krisis bahan pangan. Seperti yang terjadi di Maroko dan beberapa negara Islam lainnya. Walaupun demikian ganasnya bangsa Eropa (Portugis dan Spanyol) di Maroko, berkat keuletan dan ketangguhan masyarakat Maroko akhirnya mereka berhasil membebaskan diri dari ancaman bangsa Eropa pada tahun 1578M. Pada waktu itu Maroko diperintah oleh dinasti Syarif dengan dua generasi. Generasi pertama adalah Bani Sa’id (Sa’di) yang berkuasa dari tahun 1554M-1659M dan generasi kedua adalah Bani Alawiyah yang berkuasa semenjak tahun 1660M.

Dalam perjalanan sejarah Maroko, Bani Sa’id telah tercatat sebagai pelopor dalam kebangkitan nasional rakyat Maroko yang dibantu oleh kelompok-kelompok tarekat beraliran Sunni. Waktu itu Maroko menikmati masa perdagangan yang maju pesat berkat posisi kehidupan politik, beragama menjadi lebih mapan dengan pengakuan keluarga Nabi (Syarif) sebagai pemimpin politik keagamaan dan penerimaan mazhab Maliki sebagai cara pengamalan Islam. Namun kekuasaan ini mulai goyah ketika Spanyol menduduki negeri Laras dan perlawanan dari sebagian pemimpin tarekat dan orang-orang Barbar di Fez.

Pemberontakan yang dilakukan oleh sebagian pemimpin tarekat disamping pemberontakan beberapa daerah membawa hancurnya Bani Sa’id dan digantikan oleh Bani Alawiyah tahun 1660M. Kehadiran Bani Alawiyah ini yang dinisbatkan kepada Hasan Ibn Ali (cucu Rasulullah SAW), telah menghalang terjadinya perpecahan pada masyarakat Maroko pada waktu yang sedang dirundung perpecahandan pertikaian politik. Namun dalam menjalankan roda pemerintahan mereka tetap berhati-hati terhadap kelompok tarekat yang mereka wujudkan dengan pengepungan kelompok tarekat di Fez. Angkatan bersenjata dibentuk dan termasuk di dalamnya pasukan budak hitam pada masa pemerintahan Sultan Maulai Ismail sekitar tahun 1700M.

Dengan adanya angkatan bersenjata tersebut, pada abad ke-18M bani ini berhasil mengusir orang Portugis dari Maroko. Kemudian diadakanlah perjanjian perdagangan dengan negara-negara Eropa Utara yang berakibat pada abad ke-19M tidak ada lagi kekuatan asing yang berani mengusik Maroko. Namun perubahan regional dan global di awal abad ke-19M telah banyak merugikan Maroko. Hal ini karena semakin kuatnya kepentingan politik serta ekonomi Barat terutama Ingris dan Perancis di Laut Tengah yang membuat Maroko terdesak. Di tambah dengan dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869M, sehingga orang-orang Eropa semakin terbuka matanya untuk menjelajahi dunia Timur yang kaya dengan rempah-rempah. Apalagi dengan penggunaan kapal api dan kereta api.Semua ini membantu orang Eropa untuk pengiriman barang-barang dari Amerika, Asia Tenggara dan Rusia ke Eropa yang mampu menyaingi barang ekspor Maroko.

Dengan melemahnya perekonomian Maroko dan negara terancam oleh kekuatan asing yang semakin hari membuat Maroko terpuruk, maka lahirlah Protektorat Perancis atas Maroko pada tahun 1912M. Semenjak itu Maroko berada di bawah rongrongan bangsa Eropa dan diperlakukan sesuka hati orang Eropa.


C. Maroko Masa Protektorat Perancis

Ketidakberdayaan Maroko menghadapi kemajuan Eropa, apalagi semenjak ekspansi Perancis ke Afrika Barat yang memasukkan produk Sudan dan Sahara ke beberapa pelabuhan Atlantik pada akhir abad ke-19M, membuat Maroko semakin kehilangan pasar di Eropa. Melihat semakin merosotnya kekuatan ekonomi dan kekuasaan negara akibat banyaknya daerah yang jatuh ketangan Eropa , di samping beberapa daerah mendirikan kekuasaan sendiri membuat Sultan Hasan (1873M – 1895M) memperbaharui angkatan bersenjata. Namun usaha tersebut mendapat tantangan dari sebagian besar elit agama dan elit politik, karena pembaharuan terhadap angkatan bersenjata melalui beberapa instruktur dan perlengkapan persenjataan di datangkan dari Eropa. Di samping itu Sultan juga memprakarsai peningkatan infrastruktur ekonomi negara dengan membangun jembatan, lintasan kereta api serta membuka lahan perkebunan tebu dan kapas. Akan tetapi semua usaha ini hanya membawa hasil yang minim dan semua pembaharuan ini dianggap sebagai pelanggaran terhadap tradisi dan hukum Maroko.

Di sisi lain Eropa semakin gencar melakukan penjarahan terhadap Maroko di samping para ulama juga menentang “kolaborasi” Sultan dengan Perancis yang telah berkuasa semenjak tahun 1899M. Akibat pertentangan dan kegagalan pembaharuan mengantarkan Maroko kehilangan independensi yang dibuktikan dengan lahirnya Protektorat Perancis pada tahun 1912M.

1. Situasi Sosial Politik Maroko Masa Protektorat Perancis

Munculnya protektorat Perncis atas Maroko adalah berdasarkan perjanjian Fez yang ditandatangani oleh pemerintah Perancis dan Sultan Maroko (Maulay Abdul Hafiz) pada tahun 19212M. Isi perjanjian tersebut adalah tentang pengizinan pemerintah Perancis bertindak atas nama Maroko oleh Sultan, dengan artian apa pun yang dilakukan oleh Perancis adalah perbuatan Sultan. Akibatnya suku-suku berada di bawah kekuasan Perancis dan mereka diintimidasi secara militer, lahan pertanian dicaplok serta diancam akan dibuat kelaparan di samping dipaksa untuk membayar pajak.

Setelah itu pemerintah Perancis membangun pos-pos militer dan mengangkat seorang petugas untuk mengumpulkan pajak serta mengorganisir pasar. Selanjutnya mereka membangun sejumlah jalan , rumah sakit dan sekolah-sekolah. Untuk mewujudkan semua itu para petugas tidak terlibat langsung, tetapi mereka mengerahkan para qa’id yang bertugas untuk mengawasi lalu lintas memberi izin bersenjata, menyelesaikan persengketaan dan menertibkan harga.

Kekuasaan Perancis atas Maroko tidak hanya terbatas terhadap para elit negara tetapi mereka juga menguasai para elit agama (Muslim). Menyikapi kebijakan Perancis ini banyak pemimpin gerakan sufi yang menerima otoritas Perancis dan juga membantu mereka dalam menundukkan wilayah-wilayah kesukuan di samping menjaga perdamaian antara penduduk desa. Akibatnya prestise politik sufi hilang karena fungsi politik mereka menurun dan posisi mereka digantikan oleh para birokrat Pemerintah.

Sementara terhadap orang Barbar, Perancis memandang mereka adalah kelompok non-Arab yang dapatb dipisahkan dari penduduk Maroko secara umum dan bersekutu dengan Perancis. Mereka dijauhkan dari pengaruh Arab dan Islam yang berakibat terbentuknya dua kelompok masyarakat yang menempati wilayah berbeda. Orang-orang Arab tinggal di perkotaan dan orang Barbar tinggal di pegunungan.

Dari usaha yang dilakukan oleh pemerintah Perancis tersebut memisahkan orang Arab dengan orang Barbar, dapat dibayangkan bahwa perpecahan dalam masyarakat akan tumbuh dengan subur, sehingga untuk melawan penjajah yang sedang merajalela di tanah air susah untuk diwujudkan. Hal ini sama dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah Belanda selama berkuasa di Indonesia khususnya di Minangkabau. Mereka mendekati kaum adat yang waktu itu sedang sengit bertentangan dengan kaum agama (Islam). Akibatnya dengan mudah Belanda memasukkan firus Baratnya kepada kaum adat dan menusuk Islam. Namun semua itu dapat terelakkan akan kemunculan kesadaran kaum adat terhadap politik Belanda yang sedang memecah belah masyarakat Minangkabau.

Hal penting yang sangat perlu dipetik dari kenyataan sejarah di Maroko dan Indonesia adalah bahwa penjajahan Barat yang seolah-olah menolong masyarakat (Islam) yang sedang dilanda krisis dan keterpurukan ekonomi jangan mudah dipercaya. Apalagi sampai memberikan wewenang/bertindak atas nama bangsa (umat Islam), karena mereka adalah benar-benar bangsa yang cerdas untuk memasukkan misi mereka kepada umat Islam.

2. Kondisi Sosial Pendidikan Maroko

Pendidikan masyarakat Maroko masa jajahan Perancis tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan Perancis yang memang betul-betul ingin memisahkan antara masyarakat Arab dengan Barbar sebagai warga asli Maroko. Penguasa Perancis berusaha menciptakan elite Barbar yang terdidik secara Perancis dan membatasi pengaruh Arab serta Islam. Namun usaha mereka tetap gagal untuk memecah belah masyarakat Maroko, karena para pelajar elita Barbar yang hanya sekitar 6% setelah memperoleh ilmu pengetahuan mereka menjadi oposisi/penentang terhadap kekuasaan Perancis. Sementara pendidikan untuk masyarakat Muslim tetap terbuka, karena di Rabat dan Fez didirikan Perguruan Muslim, sejumlah sekolah Dasar, dan sekolah Teknik.

3. Kondisi Sosial Ekonomi Maroko

Kekuasaan Perancis atas nama Sultan di Maroko telah menyebabkan kesengsaraan bagi masyarakat, karena kebijakan ekonomi Perancis sangat memihak kepada kepentingan Perancis. Apalagi dengan dikuasainya jalan, sungai, pantai serta hutan ecara kuat yang berakibat diperjual belikannya property tersebut. Pada tahun 1914M pertanahan Makhzan harus dijual kepada koloni Eropa dan sejumlah tanah yang diberikan kepada suku-suku sebagai imbalan atas pengabdian militer mereka dirampas. Semakin hari tanah yang dikuasai Eropa meningkat tajam, tercatat pada tahun 1913M terdapat sekitar 73.000 hektar tanah yang dikelola oleh pertanian Eropa dan pada tahun 1953M meningkat menjadi 1.000.000 hektar.

Tanah-tanah yang dikuasai oleh Eropa tersebut dikelola secara terstruktur, sehingga membawa keuntungan yang besar terhadap para petani Eropa. Tanaman mereka seperti jeruk,sayur-mayur dan anggur yang memang susah didapat di Eropa. Sementara para petani Maroko hanya dibolehkan mengolah pertanian yang kurang prospektif dan sedikit keuntungan. Kondisi ini dapat dibayangkan betapa menderitanya masyarakat petani Maroko yang semata-mata pencaharian mereka dari pertanian. Tentu para petani Maroko mengalami krisis dan bisa saja anak-anak mereka tidak sekolah karena ekonomi tidak mendukung. Sekalipun demikian dengan penderitaan yang begitu dalam, secara tidak langsung pihak Perancis telah memberikan sumbangan kepada Maroko dengan menghadirkan kemakmuran ke wilayah pedesaan. Hal ini terwujud melalui pembangunan jalan-jalan dan pembukaan pasar-pasar baru. Mereka juga telah memperkenalkan bibit dan pertanian yang diikuti dengan pola pemeliharaan model baru.

Selanjutnya di bidang industri, Perancis mengutamakan penambangan Posfat dan usaha penggilingan tepung, penyulingan gula, pabrik semen dan peningkatan produksi tekstil. Hal ini membuat para pekerja Maroko membanjir keperkotaan untuk mencari pekerjaan dengan gaji yang sangat rendah. Semua ini dilakukan tentu tidak terlepas dari kebutuhan untuk hidup apalagi lahan-lahan pertanian mereka banyak yang diambil alih oleh pemerintah Perancis secara paksa.


Dari kenyataan yang dihadapi oleh masyarakat Maroko atas kebijakan yang diberlakukan oleh pihak Perancis, telah membuat masyarakat Maroko kesulitan. Namun secara tidak langsung Pemerintah Perancis telah menyokong hancurnya struktur tradisional masyarakat Maroko.Kekuasaan kepala suku dan pimpinan agama semakin kecil, rekruitmen masyarakat Maroko ke dalam kesatuan militer Perancis dan sejumlah perusahaan baru di perkotaan telah menjaring banyaknya warga perkampungan berpindah kebeberapa kota. Semua kebijakan itu telah melahirkan kebangkitan identitas politik bangsa Maroko dan perlawanan terhadap Pemerintah Perancis. Sejumlah pekerja Maroko di Perancis telah mengembangkan pola hidup dan kesadaran politik Barat terhadap mereka.

4. Perlawanan Maroko terhadap Protektorat Perancis

Kondisi sosial politik Maroko di bawah protektorat Perancis telah memberikan dampak yang kurang baik terhadap Negara Maroko, terutama terhadap struktur sosial politik masyarakat Maroko. Kekuasaan kepala suku dan gerakan keagamaan karena adanya birokrat berkurang dan bahkan hilang, tanah-tanah pribumi sudah berpindah tangan kepada para penguasa. Ditambah lagi dengan aturan-aturan pengusaha Perancis yang tidak memihak sama sekali terhadap kepentingan pribami. Kondisi seperti ini telah menyokong lahirnya gerakan oposisi yang melakukan perlawanan dan perjuangan suatu negara yang merdeka terhadap pihak Perancis oleh masyarakat Maroko.

Perlawanan masyarakat Maroko yang paling kuat itu berasal dari kalangan reformis keagamaan, yang dimulai dari bidang pendidikan. Para reformis mendirikan sekolah-sekolah untuk mengajar tata bahasa Arab, etika, logika, sejarah Islam dan aritmatika. Penekanan gerakan ini adalah purifikasi Islam dan menentang penetrasi budaya Barat yang memasukkan pengaruh-pengaruhnya ke Maroko.

Gerakan salafiyah memfokuskan gerakan mereka kepada pemurnian Islam dan menentang pemujaan terhadap orang suci (wali) di samping juga ikut menahan penyebaran budaya Barat. Kelompok reformisme ini menegaskan bahwa apapun perubahan yang ditimbulkan oleh Pemerintah Perancis adalah merugikan kemapanan kelompok borjuis dan menyadarkan kesadaran nasional.

Kemudian sekitar tahun 1925M-1926M, kelompok-kelompok politis mulai terbentuk dikalangan pendidik dan pelajar. Pada tahun 1927M terbentuk Association of Muslim North Africa Students (Perkumpulan Pelajar Muslim Afrika Utara). Perkumpulan tersebut telah melahirkan dekrit (dahir) Barbar tahun 1930M, untuk menyatakan sentimen Maroko di kalangan para reformer. Kemudian di lain pihak sekelompok anak muda terdidik yang sebagian besar berasal dari kalangan borjuis Fez mengajukan rencana reformasi pada tahun 1934M dan mulai menuntut perubahan dalam Protektorat Perancis.

Akan tetapi tuntutan rencana reformasi terhadap perubahan dalam Protektorat Perancis tidak mendapat sambutan dari pihak Perancis, sehingga pada tahun 1936M dan 1937M beberapa kalangan nasionalis bergerak menuju tahap baru, yaitu mengadakan perlawanan terhadap Perancis dengan mengorganisir demonstrasi umum melawan Pemerintah Perancis. Sekali lagi ternyata usaha tersebut belum juga bisa mengubah nasib Maroko, tetapi para reformis tetap berusaha dan selalu melakukan penentangan untuk menuntut kemerdekaan di samping melihat sisi kelemahan dari masyarakat Maroko yang selalu menemui sebuah kegagalan dalam perlawanannya.

Setelah di perhatikan, ternyata sisi kelemahan dari masyarakat Maroko adalah karena keterpisahan mereka dalam melawan penjajah. Akhirnya dengan satu tekad gerakan salafiyah bergabung dengan kelompok nasionalisme Maroko. Ini terwujud dengan terbentuknya partai Istiqlal (kemerdekaan) pada tahun 1943M yang dibentuk oleh al-Faz pemimpin kelompok nasionalis dan al-Wazzami, di samping selalu berusaha menggalang dukungan massa. Semenjak itu gerakan perlawanan diorganisir melalui partai ini di samping secara diam-diam mereka bersekutu dengan Sultan.

Kegiatan utama partai ini adalah mengorganisir demonstrasi untuk menjunjung kedudukan Sultan Muhammad yang terus berjuang demi kemerdekaan bangsa Maroko. Sultan Muhammad menggalang simpatisan Istiqlal dan mengabaikan beberapa kewajiban kepada Perancis. Pada tahun 1949M Sultan menolak menandatangani rencana legislatif dan langkah-langkah administratif Perancis. Setelah Perang Dunia II kepemimpinan oposisi Maroko berpindah dari tangan gerakan reformiske partai Istiqlal yang mendukung usaha Sultan Muhammad karena komitmennya untuk Maroko yang otonom. Setelah bernegosiasi dengan penguasa Perancis, akhirnya penguasa Perancis dan Sultan menerima untuk menandatangani kemerdekaan Maroko di bawah kepemimpinan Piere Mandes pada tahun 1956M.



D. Maroko Setelah Kemerdekaan

Gerakan kemerdekaan Maroko sangat berbeda dengan gerakan kemerdekaan Tunisia dan Aljazair, jika di Aljazair perlawanan merupakan perjuangan kalangan elite, maka di Maroko Sultan adalah tokoh histories negara ini. Sultan menjadi pimpinan utama gerakan oposisi dan menjadi bentuk penumbuhan bagi identitas nasional Maroko. Kemerdekaan yang diperoleh mengantarkan Sultan kembali menjadi figur politik yang dominan, kemudian Sultan memperkokoh otoritas ulama dalam mengecam beberapa perbuatan para sufi yang berkolaborasi dengan pihak Perancis. Namun ketika Hasan putra Muhammad V menjadi Sultan tahun 1961M, persoalan yang dihadapi Maroko adalah tuntutan liberalisasi politik yang dilancarkan oleh rakyat Maroko.

Secara formal kekuatan politik yang ada di Maroko ketika itu ada tiga, yaitu Front Pembela Institusi-Institusi Konstitusional (FEIC) yang merupakan partai pemerintah, partai Istiqlal dan Persatuan Kekuatan Rakyat Nasional (Union Nationale des Forces Populaires) yang berfungsi sebagai kekuatan oposisi nagara. Akan tetapi suatu yang disayangkan ternyata Sultan Hasan memandang kekuatan oposisi bukan sebagai kekuatan politik yang diperlukan dalam mekanisme control politik yang sehat, tetapi adalah sebagai kekuatan yang mengancam kekuasaan raja dan kemutlakan kekuasaannya. Untuk menghalangi lajunya politik yang terlalu liberal, Sultan Hasan menggunakan teror pada tahap tertentu terhadap para pemimpin politik karena Hasan mengakui politik di Maroko adalah “one-man show” (satu pemimpin kekuatan).

Kebijakan Hasan yang tidak memperhatikan kepentingan Negara membawa lahirnya beberapa gerakan fundamentalis yang membuat situasi di Maroko tidak nyaman. Sepanjang tahun 1970-an banyak muncul gerakan fundamentalis yang melakukan penentangan terhadap Sultan. Gerakan yang paling adalah gerakan yang diusung oleh Abdul al-Salam Yasin yang berkelanjutan sampai tahun 1992M.

Gerakan ini bermula dari sebuah tarekat sufi Butsyisyiyah, tetapi pada tahun 1971M Yasin meninggalkan tarekat ini karena ia ingin merubah menjadi sebuah gerakan politik. Rencana yang dilancarkan tersebut tidak berhasil, tetapi dikarenakan Yasin seorang yang suka membaca, diwaktu dia membaca beberapa tulisan/karya orang lain memberikan gambaran kepadanya bahwa gerakan yang dia lakukan adalah suatu hal yang benar dan patut untuk diperjuangkan. Pada tahun 1974M Yasin mengubah gerakannya dengan cara menulis surat kepada Sultan Hasan II, dengann judul “Al-Islam au al-Thufan : Risalah Maftuhah ila Malik al-Maghrib” (Islam, atau banjir : Surat terbuka kepada raja Maroko).

Isi pokok surat tersebut adalah bahwa persoalan yang dihadapi oleh Muslim adalah karena mereka sudah menyimpang dari Islam. Namun jika mereka kembali kepada Hukum Allah dan berhenti meniru Barat, penindasan orang miskin oleh orang kaya akan terhapus. Khalifah akan menjadi orang yang dicintai oleh masyarakat dan bukan seorang raja yang hidup bermalas-malasan di istananya, semua yang buruk akan berganti dengan yang baik. Memang kalau dibaca sejarah Maroko klasik bahwa pergerakan sufi selalu berujung dengan gerakan politik dan melahirkan sebuah dinasti, seperti dinasti Murabitun dan Muwahidun yang berawal dari gerakan keagamaan.

Kehadiran surat tersebut membuat raja Hasan tersinggung, akibatnya setelah dikompromikannya dengan Abdullah Gannun (Ketua Persatuan Ulama Maroko) diputuskan supaya Yasin di masukkan ke rumah sakit jiwa, alasannya karena tidak orang yang berani menulis surat seperti itu kecuali orang yang sakit jiwa. Akhirnya Yasin menghabiskan waktunya di rumah sakit tersebut selama tiga setengah tahun (1974M-1977M). Setelah bebas Yasin melanjutkan perjuangannya dengan jalan baru yaitu dengan menerbitkan surat kabar ke-Islaman yang berjudul al-Jamaaah pada tahun 1979M. Namun setelah majalah tersebut diterbitkan untuk kesekian kalinya, pada tahun 1983M edisi ke sebelas dilarang terbit di samping Yasin juga dilarang berkhutbah di masjid-masjid yang diikuti dengan tahanan rumah.

Adapun sekarang gerakan yang dipelopori oleh Yasin ini dikenal dengan al-Adl- wa al-Ihsan (keadilan dan kebajikan) yang kembali mengingatkan rakyat Maroko kepada tarekat-tarekat sufi sebelumnya. Enam bulan setelah Yasin dikenai tahanan rumah, enam orang dari pemimpin keadilan dan kebijakan ditangkap dan hal itu telah menyebabkan terjadinya demonstrasi pada bulan Mei 1990M. Demonstrasi yang diikuti sekitar 2000 orang membuat kota Rabbat lumpuh kurang lebih selama tiga jam setelah dievakuasi ternyata peserta demonstrasi tersebut sebagian besar adalah mahasiswa.

Pada sisi lain semenjak memperoleh kemerdekaan, kesulitan melanda Maroko lantaran modal mereka turut terlepas karena pada masa Protektorat Perancis Sultan menjalin kerjasama dengan pihak Eropa. Kemudian program pembangunan tahun 1960-an gagal total yang disebabkan oleh tidak adanya usaha reformasi dalam kepemilikan tanah.



E. Maroko Kontemporer

Berbicara tentang masyarakat Maroko dewasa ini penduduknya pada tahun 1984M berjumlah sekitar 23.565.000 jiwa da 90% warga Muslim penganut mazhab Maliki. Namun beberapa decade terakhir jumlah Muslim di Marokomeningkat menjadi 99% dari 30.122.350 jiwa pada bulan Juli tahun 2000. Negara Maroko sekarang terletak di kawasan benua Afrika berbatasan dengan Samudera Atlantik dan laut Mediterania serta Aljazair dan Western Sahara di Timur dan Selatan. Luas daerahnya sekitar 446.550 Km. dengan kawasan pantai dan sebagiannya di pegunungan dengan dataran dan berlembah. Pemimpinnya sekarang adalah Raja Muhammad VI yang berkuasa semenjak bulan Juli 1999, sedangkan kepala pemerintahan ditunjuk oleh raja yang saat ini dipimpin oleh Perdana Menteri Abdurrahman Yousoufi.

Kondisi spiritual umat Islam di Maroko sekarang tengah menggeliat dan membangkitkan kembali keshalehan spiritual dikalangan masyarakat. Hal ini trelihat ketika para pekerja yang setiap hari pulang pergi dari Casablanca menuju Rabbat, sekitar 10 menit setelah kereta bergerak beberapa orang seperti serempak meraba tasnya bukan untuk melihat apakah ada jejak copet beraksi melainkan adalah untuk meraih sebuah al-Qur’an kecil dan dibaca dengan volume yang rendah. Itulah fenomena sehari-hari yang lazim dijumpai di kota-kota di Maroko.

Kondisi ini dikomentari oleh Del Spiegel harian terkemuka di Jerman bahwa “agama memang tengah kembali di Maroko” dan saat ini semakin banyak generasi muda terdidik yang kembali membaca al-Qur’an d samping menekuni ilmu-ilmu agama. Aktivitas relegius tidak hanya terbatas di mesjid-mesjid tetapi juga ditemukan di ruang-ruang public, di samping semakin banyaknya kaum wanita yang menutup rambutnya di tengah-tengah kehidupan model ala Barat.

Adapun sang Raja sekarang bertekad memodernkan Maroko dengan tetap berlandaskan pada agama Islam dalam upaya mempertahankan tradisi keagamaan di tengah arus globalisasi. Kepada para wanita diberikan kebebasan untuk mengaktualisasikan dirinya yang dijamin melalui undang-undang keluarga. Hal ini sudah tentu mendapat sambutan yang hangat dari masyarakat Maroko, Soumia Benkhal Down sangat antusias dengan langkah yang diambil oleh raja ini. Rencana raja yang begitu memperhatikan aspirasi rakyat tersebut disambut baik oleh rakyat Maroko dan Muhammad Saghir Janjar, penerbit dan juga anggota Foundation For Islamic Studies and Human Science di Casablanca mengaku senang. Ia mengatakan jika rencana untuk memodernkan Maroko berhasil, maka Maroko akan menjadi Negara pertama yang menganut model pemerintah demokrasi ala Islam.



F. Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kondisi Maroko baik sebelum dan sesudah kemerdekaan sampai masa kontemporer tetap menjadi sebuah Negara kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja. Sejarah Islam di Marokotidak terlepas dari gerakan-gerakan sufi yang melakukan penentangan terhadap kebijakan pemerintah. Gerakan penentang ini mencuat ketika pemerintah menjalin kerjasama dengan pihak Eropa yang dianggap oleh sebagian besar umat Islam sebagai pembawa paham sekuler ke dunia Islam.

Di lain pihak di tengah keributan yang muncul dan perlawanan terhadap raja yang sah gerakan-gerakan fundamentalis tidak pernah berhasil menggulingkan kekuasaan raja karena kefanatikan masyarakat Maroko akan kesucian raja. Umat Islam Maroko adalah penganut mazhab Maliki yang kental yang juga sering bergabung dengan tarekat-tarekat sufi baik sebelum maupun pasca kemerdekaan. Namun di tengah kefanatikan masyarakat Maroko, ternyata kekuasaan Perancis yang hanya berjalan selama 44 tahun telah meninggalkan pengaruh yang besar di Maroko, sehingga hokum civil di Maroko didasarkan pada kitab hukum Perancis.







































DAFTAR KEPUSTAKAAN



Abdullah, Taufik, dkk (ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th.
Boswort, C.E, Dinasti-Dinasti Islam, Bandung : Mizan, 1993.
Esposito, John. L, Ensiklopedi Oxford : Dunia Islam Modern-III, Bandung : Mizan, 2001.
Glasse, Cyril, Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Hourani, Albeert, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, Bandung : Mizan, 2004.
http : www. Odci.gov/cia Publications Factbook/geos/mo.html.
http : www. Google.co.id.
http : www. Republika.co.id.
Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Umat Islam I-II, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
Maryam, Siti, dkk (ed), Sejarah Peradaban Islam : Dari Masa Klasik Hingga Modern, Yogyakarta : Jurusan SPI Fak. Adab IAIN Sunan Kalijaga Bekerjasama dengan LESFI, 2003.
Rais, Amien, “Hand out” : Situasi Umum Negara-Negara Arab Mata Kuliah Timur Tengah , Yogyakarta : Program Pascasarjana UGM, t.th.




Selengkapnya...

Senin, 11 Mei 2009

Refleksi Historis Arsitektur Masjid Minangkabau

Oleh : Sudarman, MA (Dosen Jur. SKI)

Mesjid di Minangkabau memiliki ciri khas tersendiri, tentunya karena dipengaruhi oleh arsitektur pra Islam, ciri khasnya itu dapat dilihat dari arsitektur, ornament dan komponen yang mencakup mesjid tersebut. Bentuk bangunannya dapat dilihat dari atap yang bertingkat 2, 3, 5, denahnya persegi empat atau bujur sangkar dengan didesain serambi di depan atau di samping (Wiyoso Yudoseputra, 1993 : 38-53).

A. Pendahuluan

Mesjid yang pertama kali dibangun oleh Rasulullah SAW. adalah Mesjid Nabawi, arsitekturnya sangat sederhana nyaris tidak memiliki seni bangun dan ornament-ornamen religious, karena saat itu dilihat bahwa pembangunan mesjid tersebut sesuai dengan kondisi social masyarakat Madinah. Bahkan Rasulullah SAW tidak membenarkan pembangunan mesjid yang bermegah-megahan. Ketika Islam mulai melebarkan pengaruhnya ke wilayah lain, maka setiap di mana ummat Islam berkomunitas akan dibangun mesjid. Rasulullahpun memerintahkan untuk mendirikan mesjid di kaampung-kampung dan membangunnnya dengan baik dan penuh sentuhan religious.
Sejarah perkembangan mesjid erat kaitannya dengan perluasan wilayah Islam dan pembangunan kota-kota baru. Sejarah mencatat bahwa masa permulaan perkembangan Islam ke perbagai negeri, selalu ditandai dengan pembangunan mesjid sebagai salah satu sarana untuk kepentingan umum. Mesjid merupakan salah satu karya budaya ummat Islam di bidang teknologi konstruksi yang telah dirintis sejak permulaan Islam. Mesjid bagi ummat Islam dipandang sebagai salah satu budaya Islam, perwujudan bangunan mesjid juga merupakan lambing dan cermin ummat Islam terhadap Tuhannya dan menjadi bukti tinhgkat perkembangan kebudayaan Islam.
Di Indonesia corak dan bentuk komponen mesjid dipengaruhi oleh seni bangunan pra Islam. Pengaruh pra Islam sangat tanpak pada bentuk konstruksi mesjid-mesjid tua di Jawa seperti mesjid Manara Kudus, Mesjid Agung Demak dan mesjid Agung Banten. Bangunan mesjid-mesjid tua di Indonesia memiliki bujur sangkar atau persegi panjang menyerupai bangunan joglo. Bangunan luar tanpak tertutup dengan atap bentuk limas tunggal atau bersusun yang biasanya berjumlah ganjil. Pada bangunan mesjid seperti ini terdapat barisan tiang yang mengelilingi empat tiang induk tenhag yang disebut soko guru yang menopang atap limas yang disebut brunjung. Sedangkan barisan yang dikelilingi soko gurumenopang atap tumpang yang menutup ruangan selasar (serambi). Mesjid di Minangkabau tidak jauh berbeda dengan mesjid yang ada di Jawa, namun ada cirri khas yang membedakan mesjid di Minangkabau dengan mesjid di Minangkabau dengan mesjid di Jawa, baik arsitektur, ornament maupun komponen lain dari mesjid itu sendiri.
Dengan demikian besar kemungkinan arsitektur mesjid di Minangkabau dipengaruhi oleh seni bangunan sebelum Islam dating. Ada beberapa kemungkinan mengapa mesjid sebagai tempat yang sacral bagi ummat Islam dipengaruhi oleh seni bangunan pra Islam, karena bisa jadi pembuatnya mempunyai maksut-maksut yang lebih dalam yaitu untuk menarik perhatian masyarakat yang belum masuk Islam atau baru saja masuk Islam sehingga mereka mengunjungi mesjid yang arsitekturnya masih mengingat unsur bangunan candi (Uka Tjandrasasmita, 2001: 162).
Pengaruh seni Islam tidak hanya terjadi ketika budaya Islam langsung bersentuhan dengan budaya pra Islam tetapi sampai sekarang arsitektur bangunan mesjid modern masih dipengaruhi oleh unsur pra Islam dan seberapa jauh pengaruhnya itulah yang akan diperdalam oleh penulis nantinya. Kalau diteliti perkembangan mesjid di Minangkabau dapat dibagi kepada beberapa babakan/periode :


1. Periode klasik, Periode klasik pada mesjid di Minangkabau di mulai pada abad ke-19 M, dari segi bentuk mesjid klasik menurut Yulianto Sumalyo bersifat vernukler. Klasik sendiri diadopsi dar pengklafikasian sejarah perkembangan Islam dimana dimulai dari zaman klasik, pertengahan, dan modern (Harun Nasution, 1993 : 91). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, klasik diartikan :

a. Mempunyai nilai atau mutu yang diakui dan menjadi tolok ukur kesempurnaan yang abadi.
b. Karya sastra yang bernilai tinggi serta langgeng dan sering dijadikan tolok ukur atau karya sastra zaman kuno yang bernilai kekal.
c. Termashur karena bersejarah.
d. Tradisional dan indah.

Penggunaan klasik dalam pembabakan mesjid di Minangkabau karena arsitekturnya yang artistik. Ismail Yacup dalam bukunya, Sejarah Islam Indonesia membagi periode mesjid di Indonesia menjadi empat periode, yaitu :

a. Zaman permulaan

b. Zaman kejayaan

c. Zaman kemunduran

d. Zaman kemerdekaan.

Pada saat ini Islam baru datang dan membentuk sebuah komunitas yang terdiri dari orang-orang pribumi yang masuk Islam dan orang-orang yang sengaja menyebarkan Islam yang datang dari luar Minangkabau. Pada tahapan pertama ini akan terjadi akulturasi budaya antara pendatang dengan penduduk asli setempat, termasuk nantinya dalam pembangunan mesjid. Arsitektur yang lahir pada masa ini adalah perpaduan antara senibangunan Hindu atau tradisi setempat dengan seni bangunan dari luar seperti Gujarat atau bahkan Timur Tengah, perpaduan ini dapat dilihat pada unsur-unsur Mesjid Bengkudu di kecamatan Angkat, seperti mimbar, mihrab, tiang macu, ornament serta arsitektur bangunannya.

2. Perkembangan mesjid pada masa peralihan. Pada masa ini arsitektur mesjid di Minangkabau dipengaruhi oleh Hindu, Minangkabau, Timur Tengah dan Eropa. Pencampuran ini disebabkan unsur-unsur seni arsitektur Eropa mempengaruhi pembangunan mesjid di Minangkabau, dengan adanya unsur Eropa bukan berarti pengaruh Hindu akan hilang, justru dengan semakin banyaknya seni bangun yang mempengaruhi arsitektur mesjid Minangkabau akan semakin memperkaya mozaiknya, representasi mesjid yang dibangun pada masa colonial adalah, mesjid Rao-Rao di Tanah Datar.

3. Perkembangan arsitektur mesjid pada masa Modern. Pada masa ini arsitektur mesjid di Minangkabau sudah mengalami perekembangan, karena disebabkan setiap mesjid yang dibangun tidaklah menutup diri untuk mencari arsitektur mesjid yang dianggap lebih baik. Namun bukan berarti arsitektur tradisional (Minangkabau, Hindu, Timur Tengah) akan ditinggalkan atau tidak dipakai lagi dalam arsitektur modern, ternyata pengaruh arsitektur tradisional tadi semakin kuat bahkan nilai-nilai religius akan hilang ketika arsitektur tradisional akan ditinggalkan. Representatif dari mesjid yang berarsitektur modern adalah : masjid Taqwa Muhammadiyah Padang.

Dikalangan sejarahwan maupun arkeolog terjadi perdebatan tentang kebudayaan mana yang mempengaruhi arsitektur mesjid di Minangkabau. W.F. Sutterheim berpendapat bahwa mesjid di Minangkabau cikal bakalnya berasal dari bangunan Wantilan tempat menyabung ayam, denahnya persegi empat, mempunyai atap dan sisi-sisinya tidak berdinding (W.F. Sutterheim, 1955 : 765). Pendapat W.F. Sutterheim dibantah oleh H.J.Graff, Wantilan sebagai cikal bakal mesjid kurang tepat, karena bangunan Wantilan tidak berundak-undak serta tidak mempunyai serambi. Graff mengajukan pendapat baru, arsitektur mesjid di Minangkabau bukanlah bangunan asli local, tetapi berasal dari Gujarat, Kasmir, dan Malabar. Pendapat ini diperkuat dari hasil kunjungan Huygens van Linschoten arkeolog Belanda yang mengunjungi mesjid yang ada di Malabar dan mesjid Taluk di Sumatera Barat. Dimana ada persamaan antara mesjid yang ada di Malabar dengan mesjid yang ada di Minangkabau (De Graff, 1989 : 54).
Berbeda dengan H.J. Graff, Sutjipto lebih cenderung mengatakan bahwa arsitektur mesjid di Minangkabau berasal dari bangunan tradisonal Jawa yang bernama pendopo. Bangunan pendopo berasala dari bangunan mandapa yang mengacu pada bangunan Ibadah Hindu di India. Di Indonesia, arsitektur mandapa dimodifikasi menjadi sebuah ruangan besar dan terbuka yang sering digunakan untuk menerima tamu kemudian dinamakan pendopo (Sutjipto Wirjosuparto, 1961 : 91).
Sementara sejarahwan dari Prancis Dennys Lombard justru menduga ada pengaruh Cina dalam sistem bangunan mesjid kuno. Informasi Lombard ini sejalan dengan penuturan penghulu Pandeglang, seorang Tubagus yang masih keturunan Sultan Banten. Menurutnya, seperti yang diukutip Pijper bentuk atap bertingkat ini merupakan pengaruh Cina (G.F. Pijper, 1987 : 91).
Sejarahwan ternama Belanda sepanjang hayatnya didedikasikan untuk menulis sejarah Jawa, Graaf dan Pigeud, dalam Chinese Muslims in Java juga menyatakan, atap bertingkat yang menjadi style mesjid-mesjid di Nusantara menyerupai pagoda di Cina yang digunakan untuk tujuan keagamaan semua agama. Terlepas dari perdebatan sejarawan dan arkeolog di atas, dilihat dari historis, mesjid di Minangkabau mengalami perkembangan dalam bentuk arsitektur maupun ornament dan struktur bangunannya. Namun perkembangan itu bukan berarti meninggalkan bentuk sebelumnya, bahkan arsitektur pra Islampun masih dipergunakan dalam arsitektur mesjid modern. Ini artinya ada keberlanjutan budaya yang sedang berlangsung yang terefleksi dalam arsitektur mesjid di Minangkabau.


B. Kerangka Analisis

Kebudayaan berasal dari bahasa Sangsakerta Budhayyah, yaitu bentuk jama’ dari buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya menusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Istilah lain dari kebudayaan adalah culture yang merupakan kata asing yang sama artinya dengan kebudayaan. Culture berasal dari kata latin colere yang berarti mengolah dan mengerjakan. Menurut kontjaraningrat bentuk kebudayaan itu dapat di klafikasikan menjadi tiga, yaitu :

1. Cultural System, yaitu bentuk-bentuk gagasan, pemikiran, konsep nilai-nilai budaya,norma-norma, pandangan-pandangan yang berbentuk abstrak serta berada di kepala para pemangku kebudayaan yang bersangkutan
2. Social System, wujud aktifitas, tingkahlaku berpola, berprilaku, upacara-upacara serta ritus-ritus yang berwujud lebih kongkrit dan dapat diamati
3. Material Culture, wujud benda yang biasanya merupakan hasil tingkah laku dan karya para pemangku kebudayaan yang bersangkutan, yang disebut para ahli sebagai kebudayaan fisik dan kebudayaan material

Dari bentuk kebudayaan di atas maka kebudayaan Islam di Indonesia bisa dilihat dalam dua prespektif. Petama, prespektif sejarah yang lebih cenderung menganalisis peristiwa-peristiwa yang terjadi berkaitan erat dengan ummat Islam. Pada perspektif inilah Marschal G.S. Hodgson, Guru Besar Sejarah di University of Chicago mengklafikasikan sejarah dengan Islamic, Islamicate dan Islamidom. Kategori Islam menurut Marschal G.S. Hodgson terdiri dari tiga : Islamic yaitu doktrin normatif sebagaimana terdapat pada teks-teks al-Qur’an dan Hadits dan teks-teks baku lainnya. Islamicate yaitu Islam yang mengejawantah secara historis-empiris, yang mempengaruhi dan terwujud dalam berbagai bidang kehidupan sosial budaya muslim. Sedangkan Islamidom yaitu Islam yang terwujud sebagai kekuatan politik dan kekuasaan.
Sejarawan memandang mesjid sebagai peninggalan merupakan hasil akumulasi peristiwa dengan peristiwa yang lainnya. Oleh sebab itu arsitektur mesjid sangat dipengaruhi oleh peristiwa yang di sekitar pembangunan mesjid, salah satu alas an mengapa mesjid Indonesia mayoritas berkonstruksi kayukarena ummat Islam disbukkan dengan ekspansi wilayah sehingga melupakan arsitektur yang berbentuk megah. Kedua Prespektif arkeologi, pendekatan arkeologi terhadap Islam di Indonesia telah dimulai pada tahun 1884. W.F. Sutterheim mengadakan penelitian mesjid-mesjid kuno di Jawa, H.J. de Graaf, Dr. Van Ronkel, Dr. Th. W. Juynboll dan J.P. Moquette meneliti arsitektur mesjid kuno dan mengaitkan adanya hubungan arsitektur mesjid Jawa dengan arsitektur Klenteng Cina. Mesjid sebagai peninggalan benda budaya juga bisa dilihat dalam perespektif arkeologi, dalam hal ini ada dua teori yang dipergunakan :


a. Teori Akulturasi

Akulturasi budaya (cultural contact) kontak budaya antara dua kebudayaan yang berbeda. Akultyurasi dapat dikelompokkan atas dua jenis. Pertama extreme acculturation adalah akulturasi yang menyebabkan punahnya unsure-unsur budaya yang menerima, sehingga budaya yang dating diterima begitu saja oleh pendukung budaya asli. Kedua, a less extreme acculturation adalah akulturasi yang memberikan peluang terhadap budaya asli untuk berkembang dan memadukan diri dengan budaya yang dating. Di dalam akulturasi jenis ini ada unsure-unsur budaya asli yang masih muncul dan eksis setelah terjadinya kontak budaya tersebut.


b. Local genius

Teori ini mengatakan bahwa budaya lokal mampu menyerap budaya asing tanpa kehilanagn identitas. Arsitektur mesjid di Minangkabau merupakan hasil dari local genius, arsitektur lokal mampu menyerap arsitektur Hindu dan Budha yang dating kemudian tanpa menghilangkan arsitektur lokal yang sebelumnya telah ada.
Setiap kebudayaan terdiri dari unsure material yang berorientasi pada pembangunan dan komponen immaterial yang merawat. Sebagai ekspresiaktif unsure kebudayaan material, arsitektur selalu mengasimilasi unsure-unsur baru serta mengadakan perubahan dalam bentukl arsitektonis dan bahan bangunan dan hubungan antar bangsa. Heinz Frick menganalisa bahwa arsitektur di Indonesia bisa dilihat dari sisi ruang dan waktu.
Ruang meliputi kebudayaan yang mempengaruhi bangunan tersebut, sedangkan waktu lebih focus kepada kronologis pembangunan mesjid. Disamping analisa ruang dan waktu, arsitektur mejid merupakan material kultur yang mengandung fofilized of Idea and behavior (mengendapkan budaya idea dan prilaku). Jadi ketika membahas mesjid maka sebenarnya membahas the man behind the material culture(manusia di belakang budaya material).


C. Pembahasan

Secara umum mesjid-mesjid di Minangkabau tidak jauh berbeda dengan mesjid-mesjid kuno di Indonesia, yang membedakan dengan mesjid luar Minangkabau adalah makna-makna dibalik symbol-simbol budaya yang diapresiasikan dalam bentuk arsitektur mesjid. Keberlanjutan budaya pra Islam sangat kental dilihat terhadap mesjid-mesjid kuno di Minangkabau. Material kultur pra Islam telah menjadi living monument (monument yang masih difungsikan) dalam kehidupan masyarakat Minangkabau karena budaya pra Islam tidak ditinggalkan tetapi diramu sedemikian rupa sehingga menghasilkan arsitektur yang mengagumkan.


1. Orientasi
Pengertian orientasi dalam hubungannya dengan masalah teknik bangunan mesjid, adalah arah hubungan manusia dengan khaliknya tergolonmg kedalam spiritual dengan sumbu religi diarah ke kiblat. Di mesjid Minangkabu seluruhnya m,enggambarkan hubungan antara manusia dengan tuhan, misalnya simbol tiang macu yang merupakan tiang penopang utama dan tiang-tiang kecil sebagai penguat dari tinag macu diatas. Konstruksi semacam ini menggambarkan bagaimana ketergantungan makhluk kepada khalik. Bangunan ibadah yang mengambarkan antara hubungan sang penciptra dengan manusia tidak hanya terdapat pada bangunan Islam, tetapi hal ini menyambung budaya yang ada sebelumnya. A.A. Navis mengatakan, bahwa konstruksi bangunan Rumah Gadang tidak terlepas dari symbol hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Bahkan konsep mandala dalam pembangunan rumah ibadah agama Hindu membuktikan bahwa oreintasi pembagunan mesjid di Minangkabau merupakan keberlanjutan budaya sebelumnya.

2. Zooning
Area mesjid di Minangkabau dengan aktifitasnya yang tergolong dalam lokasi utama, dengan demikian zooning mesjid–mesjid di Minangkabau terletak di tempat yang sangat strategis. Mesjid-mesjid kuno di Minangkabau zooningnya selalu di lembah karena secara geografis mesjid sangat membutuhkan air maka zooningnya harus berdekatan dengan air.

3. Prosesi
Yang dimaksud dengan prosesi teknik bangunan mesjid-mesjid di Minangkabau adalah proses pencapaian menuju ke lokasi yang dimaksud. Memang dalam hal ini, proses teknik bangunan mesjid di Minangkabu tidak mengikuti tata cara pencapaian dari luar kompleks ke dalam kompleks secara filosofis, seperti halnya pada komplek bangunan pura dan bangunan Hindu lainnya yang mempunyai tata aturan untuk prosesi. Jadi dapat disimpulkan bahwa prosesi mesjid di Minangkabau tidak mengenal aturan secara khusus. Dengan kata lain, orang dapat mencapai lokasi secara bebas dengan melalui tempat-tempat yang tersedia.


4. Dimensi

Dalam kehidupan dunia, manusia berusaha menyelaraskan benda-benda bumi dengan alam, sehingga perwujudan-perwujudan buatan manusia adalah skala diri dan lingkiungan masyarakat Hindu dalam membangun candi tidak terlepas dari symbol tiga alam dewa-dewi, Alam menengah, alam barzah dan alam neraka. Hal ini berlanjut dalam kehidupan teknik bangunan ibadah umat Islam, dimana tiang macu selalu dikelilingi oleh beberapa tiang pendukung, itu artinya bahwa tiang macu merupakan alam akherat, sedangkan tiang-tinag yang mengelilinginya sebagai symbol alam dunia. Dengan demikian tekniki bangunan mesjid kuno di Minangkabau, dimensinya adalah proporsi manusia dari bagian-bagian dirinya untuk menentukan jarak (seperti langkah kaki, rentangan tangan). Suatu keistimewaan dalam dimensi arsitektur mesjid di Minangkabau, adalah nilai filosofis pada setiap ukuran. Ukuran yang tidak mungkin diterjemahkan kedalam dimensi atap tumpang bertingkat dua, bentuk emacam ini juga terdapat pada dimensi tradisional bangunan meru di Bali. Dimensi arsitektural suatu bangunan sangat dipengaruhi tata hias ornament. Pangaruh ornament pada dimensi ini juga tanpak pada bangunan mesjid kuno di Minangkabau . namun saat ini, perkembangan zaman, masyarakat merangsang menata ornament baru pada bagian tertentu bangunan mesjid. Akibatnya sifat kekunoan menghilang. Memang dari keindahan proporsi dan tuntunan ekonomis praktis hal ini dapat diterima, namun nilai-nilai spiritual telah ditinggalkan. Tentunya nilai keaslian semakin dilupakan, sehingga nilai religious abstrak terdesak oleh materialis konkrit.


Mesjid-mesjid kuno di Minangkabau memiliki arsitektur yang unik, setidak-tidaknya pengaruh arsitektur tradisional memiliki peran yang sangat signifikan dalam menentukan arak arsitektur mesjid. Ada dua tipe mesjid di Minangkabau :


a. Mesjid yang arsitekturnya dipengaruhi oleh adat Bodi Chaniago yang lebih demokratis dari pada Koto Piliang, statement adat Bodi Caniago ”membasuik dari bumi” dalam musyawarah kaum, kata akhir berada di kemanakan, suara rakyat yang paling menentukan.

b. Tipe Koto Piliang, arsitektur mesjidnya mengkombinasikan dengan arsitektur bagonjong sebagai khas arsitektur Rumah Gadang di Minangkabau. Dari segi bentuk pemerintahan, Koto Piliang bersifat aristokrasi yang disebut “ titiek dari ateh”, untuk mengambil suatu kesimpulan, kata putus atau kata akhir berada di tangan kepala suku atau penghulu

Seluruh mesjid kuno selalu bertumpang 3 sampai 5, semakin keatas semakin kecil sedangkan tingkatan yang paling atas berbentuk limas, jumlah atap tumpang selalu ganjil merupakan pengaruh Hindu, karena sebelum islam atap tumpang dipakai untuk kuil, bangunan suci agama Hindu. Atap tunpang sampai sekarang masih lazim dipakai di Bali, namanya meru, dan digunakan khusus mengatapi bangunan-bangunan suci di dalam pura. Pada relief-relief candi Jawa Timur juga terdapat atap tumpang, mungkin sekali untuk candi atau bangunan suci lainnya.
Meskipun atap tumpang untuk candi tidak ada sisa-sisanya yang menjadi bukti (atap candi terbuat dari batu), namun dugaan kuat dapat diperoleh dari beberapa vandi, contohnya adalah candi Bayalagu (dekat Tulung Agung) bekas-bekas dari tubuh candi serta atapnya tidak ditemukan, tetapi lantainya dikelilingi arca induk terdapat sejumlah umpuk (batu pengalas tiang), maka tentunya candi in terbuat dari bahan-bahan kayu atau bamboo. Pada candi induk dari kelompok penataran tidak beratap batu melainkan beratap tumpang. Hanya tubuh candinya dibuat dari batu, sehingga atapnya berdiri diatas dinding-dinding bagian candi tersebut.
Cikal bakal mesjid lima kaum berupa surau batu, tidak beratap dulunya dipergunakan tempat ibadah agama Hindu, kemudian di pindahkan ketempat bekas kuil di daerah Lima Kaum. Itu artinya pengaruh Hindu terhadap arsitektur mesjid memiliki peran signifikan. Karena memang arsitektur mesjid diambil dari arsitektur bangunan suci agama Hindu dan Budha.
Pengaruh Hindu juga tercermin pada tiang macu dan tiang yang mengelilinginya, konsep mandala yang dipergunakan oleh agama hindu dalam membangun rumah ibadah, dunia atas dan dunia bawah merupakan symbol yang terdapat pada tiang macu dan tiang-tiang yang mengelilinginya.
Secara kasar kebudayaan Indonesia bisa dibagi kepada tiga bagian, Pertama Kebudayaan Jawa agraris yang kehinduan. Kedua, kebudayaan Melayu ladang kelautan yang keislaman, ketiga kebudayaan Indonesia Timur ladang-kelautan yang kekristenan. Minangkabau termasuk dalam kebudayaan Melayu ladang-kelautan yang ke Islaman, itu artinya Islam telah menjadi warna tersendiri dalam kehidupan Minangkabau. Pergumulan Islam dengan kepercayaan dan adat istiadat setempat pada mulanya tidak mengalami pertentangan karena Islam masuk ke sel-sel inti kebudayaan Minangkabau
Pengaruh adat Minangkabau terhadap mesjid Kuno terlihat juga pada ornamen mesjid Raya Bingkudu yang beragam hias flora (tumbuh-tumbuhan). Mayoritas ragam hias Minangkabau mengambil bentuk-bentuk flora dan fauna. Ini mengisyaratkan bahwa kehidupan masyarakat Minangkabau sangat tergantung kepada alam yang berupa binatang dan tumbuh-tumbuhan. Bahkan dalam pepatah Minangkabau tercantum, ”Alam Takambang Jadi Guru”.
Setiap ragam hias mengandung makna yang dalam dan melambangkan corak perilaku manusia. Lambang adalah pernyataan lahir dalam alam pikiran yang religious-magis. Semua lambang tak lepas dari masalah religi. Oleh karena itu, permulaan perkembangan lambang ada sangkut pautnya dengan bentuk-bentuk kepercayaan. Kemudian perubahan terjadi dan tingkat pemikiran bertambah maju. Lambang yang hanya menjadi wujud penyembahan berubah menjadi benda-benda kesenangan dan dikembangkan menjadi hasil karya seni.
Salah satu contoh ragam hias yang ada di mesjid Raya Bingkudu adalah motif Lumuik Anyuik . Lumut jenis tumbuhan yang hidup di air dan biasa bergantung pada benda lain seperti batu atau batang kayu. Apabila lumut ini lepas dari tempat ia bergantung maka ia akan hanyut dibawa arus air yang mengalir, sebagaimana kata adat :


“ Nambak lumiuk anyuik
Tampek bagantung indak ado
Orang mamaciak indak amuah”


Motif ukiran lumuik anyuik ini menggambarkan kehidupan seseorang yang tidak disukai oleh masyarakat lingkungannya yang biasanya dikiaskan pada orang yang durhaka, melanggar norma hukum, berbuat salah sehingga dikucilkan oleh masyarakat. Tidak ada yang mau menolongnya. Motif ini merupakan peringatan kepada masyarakat untuk tidak berbuat yang bertentangan dengan norma yang berlaku. Pengertian lain dari motif ini adalah orang yang mudah menyesuaikan diri di mana mereka berada. Tetapi pengertian ini memberikan kesan negative yaitu orang yang tidak punya pendirian. Orang yang mudah menyesuaikan diri dengan tidak punya pendirian akan mudah dipengaruhi oleh orang lain dan menjadi permainan orang lain.
Pengaruh Cina terhadap mesjid di Minangkabau juga terlihat pada atapnya yang bertingkat, menurut Graaf dan Piogeud atap bertingkat yang menjadi style mesjid-mesjid kuno di Minangkabau menyerupai Pagoda di Cina. Warna mihrab dan mimbar serta atribut yang ada di mesjid rao-rao dipengaruhi oleh warna kuning keemasan. Warna seperti ini adalah warna yang sangat sakral dalam kebudayaan Cina dan biasanya di Klaten di dominasi dengan warna emas. Bentuk lain pengaruh Cina terhadap mesjid kuno di Minangkabau adalah pada atap mesjid Raya Ganting yang mengadopsi style rumah ibadah orang-orang Cina, hal bisa kita lihat tumpang atap yang kedua dari tiga tumpang atap mesjid raya Ganting.




DAFTAR KEPUSTAKAAN


Wiyoso Yudoseputra, Pengantar Wawasana Seni Budaya, Jakarta; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993

Abdul Rachim, Sejarah Arsitektur Islam Sebuah Tinjauan, Bandung; Angkasa, 1993

Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan perkembangan kota-kota Muslim di Indonesia dari Abad XIII-XVIII, Kudus: Menara Kudus, 2001

Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1975

Abdul Baqir Zein, Mesjid-Mesjid Bersejarah di Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press,1999

M. Israr, Sejarah Kesenian Islam, Jakarta: PT. Pembangunan, 1975

Sutterheim, W.F. , Indonesian Sociaty in Transition, Bandung: W.van Hoeve, 1955

De Garff, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, , Jakarta:Grafiti Press, 1989

Sutjipto Wirjosuparto, Bunga Rampai Sejarah Budaya Indonesia, Jakarta: Jambatan Jakarta, 1961

Pijper, G.F., Fragmenta Islamika; Beberapa studi Mengenai Sejarah Islam di Indonesia Awal abad XX, Jakarta: 1987

Graaf & Pigeud, Chinese Muslims in Java in the 15 th and 16 th Centure The Malay Annals of Semarang and Cerbon, Monash Paper on Southeast Asian, 1984

Hodson, Marschal G.S. , The Venture of Islam, Chicago: 1974



Selengkapnya...

Jumat, 08 Mei 2009

Tasauf Akhlaqi Abd al-Samad al-Palimbani

Oleh : Afnidanengsih, S.Ag., MA (Dosen LB Jur. SKI & BSA)

Hubungan antara umat Islam di kawasan Melayu-Indonesia dan Timur Tengan, telah terjalin sejak awal Islam, para pedagang muslim yang beasal dari Persia, Arab dan India mendatangi kepulauan Indonesia, tidak hanya untuk berdagang tetapi juga menyampaikan dan menyebarkan Islam. Setelah adanya penetrasi Islam di masa belakangan, ini dilakukan oleh para guru pengembara sufi yang dilakukan pada akhir abad ke XXII, datang dalam jumlah yang banyak dikepulauan nusantara ini adalah Aceh.

A. Pendahuluan
Daerah Aceh yang terletak dipenghujung pulau Sumatera telah memainkan peranan penting dan cukup berpengaruh di kepulauan nusantara dala Malaka di abad XVI dan XVII. Pengaruh dan kekuasan yang sangat kuat ketika berada di bawah kekuasaan pemerintah Sultan Iskandar Muda (w.1636 M). Kemajuan dan kemakmuran kerajaan Islam di Aceh sehingga mendapat kunjungan berbagai lapisan masyarakat, pedagang dari Barat dan Timur, kalangan sarjana dan ilmuan yang umumnya berasal dari Timur Tengah (Daudi, 1992: 21).
Pesentuhan kebudayaan Aceh dengan kebudayaan pendatang mengakibatkan adanya perkembangan keagamaan dan sosial budaya. Khususnya perkembangan tasauf dan tarekat tidak kalah pentingnya, sehingga Aceh menjadi pusat studi Islam dan dakwah ketika itu. Kedudukan Aceh sebagai pusat studi Islam dan dakwah apada abad XVI dan XVII di nusantara yang mayoritas peneliti mengakuinya. Karena daerah Aceh dilihat secara geografis letaknya sangat strategis lalu lintas niaga di Asia Tenggara yang dilalui oleh kapal-kapal besar dan kecil dan kuat pengaruh Islam.
Kemasyhuran Aceh dikenal dengan kota “Serambi Mekkah”. Sebutan Ace sebagai kota Serambi Mekkah merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak. Karena munculnya beberapa tokoh yang terkenal keilmuannya, kealimannya dan ketaqwaannya seperti Hamzah Fansuri (w.1016H/1607M), Syam al-Din al-Sumatrani (w.1040H/1630M), Abd al-Rauf al-Sinkili (w.1105H/1693M) dan Nur al-Din al-Raniri (w.1068H/1658M). Empat tkoh tersebut memainkan peranan penting di Aceh ketika jayanya dan memiliki dua kubu pemikiran yang saling bertentangan. (Duski Samad, 2000 :3).
Dua ulama pertama (Hamzah Fansuri dan Syam al-Din al-Sumatrani) dikenal sebagai ulama yang berpengaruh tulisan dan pengajiannya dalam mengembangkan tasauf berpaham wahdatul wujud, dengan corak pemahaman khusus yang dikenal dengan martabat tujuh. Sedangkan dua ulama lagi (al-Raniri dan al-Singkili) merupakan ulama yang menentang keras paham wahdatul wujud dan martabat tujuh. Pelarangan paham wahdatul wujud mendatangkan goncangan terhadap kehidupan sosial keagamaan masyarakat ketika itu. Keadaan inilah yang dinetralisir oleh al-Singkili dengan piawai bisa mengakomodasikan kedua paham yang berlawanan tersebut. Ketokohan al-Singkili terletak pada kemampuannya untuk memberikan kebebasan pada masyarakat yang menganut keagamaan masing-masing. Dan juga keberhasilannya dalam mem-posisi-kan tasauf abad XVI dan XVII di Aceh ditandai dengan paham wujudiyah dan paham pembaharuan.
Sehubungan dengan pembahasan di atas, penulis akan mengupayakan mengkaji tentang wacana tasauf akhlaqi Abd al-Samad al-Palimbani .
B. Pembahasan
Membicarakan kajian tasauf akhlaqi dalam perspektif al-Palimbani adalah kajian cenderung menggunakan paham tasauf al-Gazali. Jika doktrin paham wujudiah banyak berakar pada karya Ibn :Araby dan al-Jilli, maka mazhab al-Palimbani yang lahir abad XVIII berakar pada ajaran sufi yang berasal dari Bagdad yaitu al-Junaid dan karya al-Gazali.
Al-Palimbani sebagai sosok ulama yang berpendidikan di Haramayn (Mekkah dan Medinah) ketika itu telah terjadi usaha pembaharuan rasauf dari corak wujudiah kepada corak akhlaqiyah melalui karya al-Gazali. Tasaufnya lebih banyak berorientasi pada penyucian pikiran dan moral daripada pencarian mistisisme spekulatif dan filosofis, sehingga tasaufnya lebih kelihatan tasauf akhlaqi-nya ketimbanga tasauf falsafi (Azra, 1996 : 273).
Pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasauf, seseorang murid diharuskan melakukan amalan-amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat yang bertujuan untuk menguasai hawa nafsunya. Hal ini biasa dilakukan dengan menggunakan beberapa kategori dalam sistem pembinaan akhlak para sufi yaitu :
1. Takhalli
Takhalli adalah uasaha mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap kelezatan hidup duniawi. Hal ini akan dapat dicapai dengan cara menjauhkan diri dari perbuatan maksiat dan segala bentuknya serta berusaha untuk melenyapkan hawa nafsu tersebut yang menjadi penyebab utama dari segala sifat yang tidak aik. Pendapat ini kelihatan agak berbeda dengan pendapat sekelompok sufi moderat. Ia menyatakan bahwa kebencian terhadap dunia cukuplah agar jangan lupa dengan tujuan hidupnya sehingga hawa nafsu dapat dikuasai serta selalu berhati-hati dalam kehidupan. Maksudnya, mendapatkan sesuatu sesuai dengan proporsinya sehingga tidak terlalu mencintai serta membenci dunia dengan menggunakan pola hidup yang seimbang dan serasi (Team Penyusun, 1983 : 99).
2. Tahalli
Tahalli yaitu menghiasi diri dengan cara membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik. Agar setiap perilaku sesuai dengan ketentuan agama, baik amalan lahir dan batin. Amalan lahir yang berhubungan dengan kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti; sholat, puasa, zakat dan hajji. Sedangkan amalan batin yaitu: iman, ketaatan, kecintaan kepada Allah, redha dan lain sebagainya. Hal itu akan bisa dilalui dengan latihan-latihan yang menjadi kebiasaan sehingga membentuk kepribadian. Sikap mental dan perbuatan yang baik ini akan diisi dengan ke dalam qalbu rohani yang dibiasakan dalam perbuatan, antara lain ;
a. at-Taubah, yaitu taubat yang sebenar-benarnya dan tidak membawa kepada dosa lagi. Dalam hal ini para sufi berbeda pendapat, tetapi secara garis besar taubat dibagi dalam 3 kategori yaitu :1). Taubat dalam arti, meninggalkan segala perbuatan maksiat dan melakukan perbuatan yang baik secara kontinu; 2). Taubat dalam arti kembali dari kejahatan kepada ketaatan karena akut akan kemurkaan Allah; 3). Terus-menerus bertaubat walaupu tidak pernah berbuat dosa lagi.
Zunnun al-Misri menyatakan bahwa taubat itu ada 2 macam yaitu; taubat orang awam yang merupakan taubat dari segala dosa dan taubat orang khawas merupakan taubat dari kelalaian (Ibrahim Basyuni, 1969 : 119). Fungsi taubat bukanlah hanya sebagai penghapus dosa tetapi juga sebagai syarat mutlak agar dekat dengan Allah. Karena Rasulullah sendiri sudah bersih dari dosa/ terpelihara juga masih memohon ampunan dan bertaubat, apalagi manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan dosa. Orang yang bertaubat kata al-Huwairi adalah orang yang cinta kepada Allah yang senantiasa menggunakan kontemplasi dengan Allah.
b. az-Zuhud, yaitu melepaskan diri dari sifat ketergantungan terhadap kehidupan duniawi, terutama al-Gazali menyatakan bahwa zuhud merupakan sikap yang mampu mengurangi keterikatan kepada keduniawian untuk menjauhi dengan penuh kesadaran. Juga al-Qusyairi mengemukakan bahwa zzuhud adalah suatu sikap menerima dan memadakan rezeki yang ia terima (al-Qusyairi, 1966 : 66). Jadi manusia tidak menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan akhir.
c. as-Sabru, merupakan suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekwen dalam berpendirian, serta menganggap bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan iradah dari Tuhan yang mengandung ujian. Berani mengahadapi kesulitan dan tabah menerima cobaan, hal ini erat hubungannya dengan pengendalian diri, sikap dan emosi. Kata al-Gazali dalam Ihya Ulumuddin, sabar merupakan kondisi jiwa yang muncul karena dorongan keimanan,. Oleh sebab itu karakter sabar adalah respon dari adanya keyakinan kebenaran prinsip, sementara keyakinan merupakan landasannya sabar (Qamar Kailani, 1969 : 34).
d. al-Wara’,adalah mampu meninggalkan segala yang berkaitan dengan syubhat (keragu-raguan) tentang halalnya sesuatu. Menurut Qamar Kailani, orang sufi membedakan wara’ itu ada 2 macam; 1) wara’ lahiriyah, yaitu mempergunakan anggota tubuhnya untuk hal-hal yang tidak diredhai Allah; 2) wara’ bathin, adalah tidak mengisi hati dengan yang lainnya kecuali Allah. Orang sufi tidak mau menerima sesuatu yang tidak jelas ( syubhat ).
e. al-Faqru, tidak menuntut lebih dari apa yang telah ia miliki, tetapi ada pula yang mengartikan, tidak punya apa-apa serta tidak dikuasai oleh apa-apa (al-Kalabazi , 1969: 114). Sikap ini merupakan rangkaian dari pertalian dari sikap zuhud karena juga dijadikan benteng pertahanan yang kuat dalam menghadapi kehidupan material.
f. at-Tawakkal, kepasrahan terhadap Allah setelah melakukan aktivitas atau usaha. Manusia hanya berusaha dan berencana, tetapi yang meberikan kepututsan akhirnya adalah Tuhan. Menerima dengan ikhlas serta bersyukur terhadap pemeberian nikmat-Nya serta bersabar terhadap cobaan-Nya sesuai dengan ketentuan Tuhan.
g. al-Redha, merupakan perpaduan antara sabar dan tawakkal sehingga melahirkan sikap mental yang merasa tenang menerima segala situasi dan kondisi. Munculnya perasaan senang ketika ditimpa musibah sebagaimana senangnya menerima nikmat, juga tidak meminta balasan surga atas perbuatan baik yang dilakukannya. Kata Zunnun al-Misri tentang tanda-tanda orang yang sudah redha ada 3 yaitu; 1) meninggalkan usaha setelah terjadi ketentuan, 2) lenyap rasa gelisah sesuadh terjadi ketentuan, 3) cinta kepada Allah selalu ada sekalipun mendapat malapetaka (Ibrahim Basyuni, 1969 : 139). Redha juga merupakan sikap mental yang paripurna dan bagikan mutiara akhlak yang tinggi nilainya dan paling diutamakan oleh seorang sufi.

3. Tajalli
Untuk pemantapan terhadap sikap mental para sufi dilengkapi oleh tajalli yaitu, terungkapnya nur ghaib bagi hati para sufi. Apabila jiwa diisi dengan butir-butir mutiara akhlak serta organ tubuh telah terbiasa melakukan perbuatan baik, maka iai akan memperoleh penghayatan rasa ketuhanan. Dan untuk memperdalam rasa ketuhanan itu perlu dibekali dengan beberapa hal :
a. Munajat, melaporkan diri kehadirat Allah atas segala aktivitas yang telah dilakukan, serta menyampaikan semua keluhan dan memuji keagungan Allah dengan cara berkontemplasi seakan-akan berhadapan langsung dengan Allah (Suhrawardi, 1939 : 250). Adanya rasa berhadapan dengan Allah, ia melihat Allah melalui “mata hatinya” (vision of the heart). Doa dan air mata adalah munajat sebgai manifestasi dari rasa rindu kepada Allah. Latihan ibadah seperti ini, perenungan, kontemplasi adalah untuk memperdalam rasa penghayatan nilai-nilai Ilahiyah dalam jiwa para sufi.
b. Zikir, ingat terus menerus kepada Allah dalam hati serta menyebut namanya dengan lisan (al-Kalabazi, 1969 : 124), yang berfungsi sebagai alat kontrol dalam hati sehingga perbuatannya tidak menyimpang dari garis yang telah ditentukan Allah. Adanya ketenangan jiwa dan kebahagiaan sehingga batinnya dekat pada Allah, ini diperkuat dengan firman Allah dalam surat ar-Ra’du ayat 28. al-Palimbani mengemukakan tingkatan-tingkatan zikir sebagai berikut : 1) tingkatan mubtadi, yaitu orang-orang yang masih nyata sifat basyariat-nya dan was-wasnya dalam waktu berzikir, artinya belum dapat menghilangkan atau melupakannya maka ia baca kalimat zikirnya itu “la ma’bud illallah”. 2) tingkatan mutawassit, yaitu orang yang telah bersih sifat basyariat dan was-was padanya, hanya ia mengarah kepada Tuhan dengan zauq dan kalimat zikir yang dibaca “la mathlub illallah”. 3) tingkatan muntahi, yaitu dimana segala kekhawatiran dan was-was apa saja dalam hatinya telah hapus dan lenyap sama sekali dalam zikir, ingatannya hanya semata, karena saat itu ia memandang dan merasakan bahwa Allah, dan zikir yang diucapkan “la maujud illallah” (DA.Ringkes, 1909 : 48).
Seorang sufi juga eksis dalam lapisan sosial serta beradaptasi dalam dunia pranata sosial kemasyarakatan tetapi sangat selektif. Mereka mengukuti jejak Rasulullah dalam kehidupan dan mempunyai peranan penting terhadap perkembangan kepribadian. Hal ini sesuai dengan tujuan akhir sufi, mereka berusaha agar kesempurnaan akhlaknya mampu diwarnai dengan sifat-sifat kesempurnaan dan kemuliaan, akan tetapi mereka juga bergaul dengan para ulama dan ilmuan yang telah menjadi kebiasaan bagi sufi (Suhrawardi, 1939 : 166).
Pengendalian diri merupakan salah satu kode etik yang fundamental dalam kehidupan para sufi sebagai anggota komunitas sosial. Dalam pergaulannya selalu memperlihatkan sikap “wajar” adalah identitas gaya hidupnya. Yang dimaksud dengan “wajar” disini adalah tidak merasa lebih atau unggul dari orang lain, tetapi menempatkan diri setaraf serta sejajar dengan orang lain.
Juga adanya sikap mengasingkan diri untuk berkontemplasi di kenal dengan sebutan “uzlah” yaitu, menjauhkan diri dari keramaian dan pengaruh negatif sehingga dapat merusak nilai-nilai moral dan ketaqwaannya. Jadi mereka tetap bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat (Abu Bakar Aceh, 1997 : 110).
Jadi, konsep tasauf akhlaqi yang ditampilkan oleh al-Palimbani ini lebih cenderung mengambil rujukan dari al-Gazali. Pengaruh pemikiran al-Palimbani ini bukan berarti dia tidak punya pemikiran tersendiri, tetapi al-Palimbani mencoba memadukan tasauf akhlaqi yang disusun oleh al-Gazali dengan bentuk pemahaman tasauf filofis yang dikembangkan oleh Ibnu ‘Araby dan al-Jilli.


DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung : Mizan
Ahmad Daudi, Majalah Sinar Darussalam, Banda Aceh, No. 89, 1978
Al-Qusyairi, Ar-Risalah al-Qusyairi, Kairo, 1966
Al-Kalabazi, al-Ta’arif li Mazhabi ahl al-Tasawuf, Kairo, Maktabah Kulliyatul al- Azhariyah, 1969
Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah & Tasawuf, Solo, Ramadhani, 1994
Duski Samad, Sufi Nusantara dan Pemikirannya, The Minang Kabau Foundation, 2000
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta , Bulan Bintang 1985
Ibrahim Basyumi, Naskah al-Tasawuf al-Islam, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1934
M. Chotib Quzwain, Mengenal Allah, Jakarta, Bulan Bintang, 1985
Suhrawardi, Awarif al-Ma’arif, Kairo, al-Maktabah al-Alawiyah, 1934
Qamar Kailani, Fi at-Tasawuf al-Islam, Kairo, Dar al-Ma’arif, 1969
Team Penyusun IAIN Sumut, Pengantar Ilmu Tasawuf, Jakarta, Proyek PPTA, 1982





Selengkapnya...