Selasa, 31 Maret 2009

Filosofi Dasar Pemikiran KH. Ahmad Dahlan

Oleh : Drs. H. Syamsir Roust, M.Ag

Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 19 November 1912 merupakan alternatif dan jawaban dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia khususnya umat Islam. Masalah utama yang dihadapi pada awal kelahirannya, antara lain, meringkuk di bawah cengkraman penjajahan kolonial Belanda, kemudian hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan serta kebodohan.

A. Pendahuluan

Selanjutnya, pada umat Islam terlihat ketidakmurnian amalan Islam, meluasnya pengaruh kristenisasi, sementara lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam yang akan mencerdaskan kehidupan bangsa sangat terbatas dan belum mampu menyiapkan generasi yang siap mengemban misi selaku khalifah Allah di muka bumi. Pada waktu itu, menurut Abuddin Nata sistem pendidikan ditandai dengan adanya sistem pendidikan yang dikotomis antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Di satu segi terdapat pendidikan agama tanpa mengajarkan pengetahuan umum, dan di satu sisi terdapat pendidikan umum yang tidak mengajarkan agama.
Berdasarkan pengamatan terhadap kondisi sosial tersebut, dan telaah terhadap ajaran Islam serta pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh pembaharuan Islam Timur Tengah seperti Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Ibn Taiymiyah, Syekh Muhammad Abduh Rasyid Ridho dan lain-lain, serta didorong oleh teman-teman dari Budi Utomo, maka K.H. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah. Melalui lembaga inilah beliau melaksanakan ide pembaharuan di segala bidang terutama bidang pendidikan. Sebab menurut K.H. Ahmad Dahlan agama Islam tidak akan bisa tegak tanpa diperjuangkan melalui organisasi yang rapi. Demikian pula untuk membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda, harus dengan meningkatkan ilmu pengetahuan dan kecerdasan melalui lembaga pendidikan. Itulah sebabnya gerakan Muhammadiyah pada awal kelahirannya memprioritaskan kegiatannya pada bidang pendidikan. Bahkan sampai sekarang amal usaha Muhammadiyah bidang pendidikan lebih banyak dari pada bidang sosial lainnya yaitu memiliki 5755 lembaga pendidikan mulai dari tingkat SD sampat ke Perguruan Tinggi dan belum termasuk Taman Kanak-Kanak. Sedangkan amal usaha bidang sosial dan ekonomi berupa, rumah sakit, balai kesehatan, poliklinik, panti asuhan dan santunan keluarga, bank perkreditan rakyat, baitut tamwil Muhammadiyah (BMT) koperasi warga Muhammadiyah, BUMM berupa PT berjumlah 1579 buah.
Begitu banyaknya amal usaha Muhammadiyah terutama bidang pendidikan seorang antropolog Amerika James Peacock menyatakan bahwa apa yang dikerjakan Muhammadiyah merupakan sesuatu yang pernah dikerjakan oleh para misionaris, para pendidik dan ahli strategi dinegaranya. Muhammadiyah benar-benar menunjukkan sebagai sebuah organisasi moderen yang ada di Indonesia. Bahkan, pada saat ini ide Muhammadiyah juga diterima dan dikembangkan oleh umat Islam di beberapa negara tetangga dan belahan dunia. Muhammadiyah berdiri di Singapura, Malaysia, Mesir, Belanda dan Australia.
Oleh karena seluruh amal usaha Muhammadiyah terutama bidang pendidikan merupakan kontribusi Muhammadiyah terhadap agama bangsa dan negara, maka pemerintah menetapkan K.H. Ahmad Dahlan sebagai pahlawan nasional, dan beliau juga dipandang sebagai tokoh pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia.
Berdasarkan hal yang demikian, maka mengkaji pemikiran K.H. Ahmad Dahlan sebagai tokoh pembaharuan pendidikan Islam merupakan kajian menarik dan penting apalagi dalam pengembangan pendidikan Islam dewasa ini.

B. Riwayat Hidup K.H. Ahmad Dahlan

Ahmad Dahlan lahir di Kauman Yogyakarta pada tahun 1868 dan meninggal pada tanggal 1923. Sewaktu kecil ia diberi nama Muhammad Darwis. Ia berasal dari keluarga didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama K.H. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar Kraton Yogyakiarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.
Sejak kecil Ahmad Dahlan dididik oleh ayahnya K.H. Abu Bakar seorang imam dan khatib masjid besar Kraton Yogyakarta. Menurut Ramayulis dan Samsul Nizar pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca dan menulis, mengaji Al-Qur an dan kitab-kitab agama. Kemudian, beliau juga belajar dengan K.H. Muhammad Saleh (ilmu Fiqh), K.H. Muhsin (ilmu Nahwu), KH. R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfuz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri (qiraat al-Qur an) serta beberapa guru lainnya.
Selanjutnya Ramayulis dan Samsul Nizar mengungkapkan, setelah beberapa tahun belajar dengan gurunya beliau berangkat ke tanah suci pada tahun 1890 dan bermukim di sana selama setahun. Merasa tidak puas dengan kunjungannya itu, pada tahun 1903 ia berangkat kembali dan menetap di sana selama dua tahun. Selama berada di Mekkah ini ia banyak bertemu dan bermuzakarah dengan sejumlah ulama Indonesia yang bermukim disana, di antaranya Syekh Muhammad Khatib Al-Minangakabawi, Kiyai Nawawi al-Banteni, Kiyai Mas Abdullah dan Kiyai Fakih Kembang. Pada saat itu pula ia mulai berkenalan dengan ide-ide pembaharuan yang dilakukan melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh refomer Islam seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan lain sebagainya. Melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh ulama reformer tersebut telah membuka wawasan Dahlan tentang universalitas Islam. Ide-ide reinterpretasi Islam dengan gagasan kembali kepada Al-Qur an dan Sunnah.
Ide pembaharuan yang berhembus di Timur Tengah sangat menggelitik hatinya, apalagi bila melihat kondisi umat Islam di Indonesia yang sngat stagnan. Untuk itu, atas saran beberapa orang murid dan anggota Budi Utomo, maka Dahlan merasa perlu merealisasikan ide-ide pembaharuannya. Untuk itu, pada tanggal 18 November 1912 beliau mendirikan organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta. Di samping Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan juga mendirikan organisasi wanita yaitu ’Aisyiyah pada tahun 1917. Organisasi ini merupakan wadah untuk kegiatan perempuan dalam memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam secara murni dan konsekwen. Berdirinya organisasi ini diawali dengan sejumlah pengajaran yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan mengenai perintah agama. Kursus tersebut diadakan dalam perkumpulan ”Sopo Tresno” pada tahun 1914. Perkumpulan inilah nanti yang berganti nama dengan ’Aisyiyah.
Secara garis besar ada dua faktor yang mempengaruhi kelahiran Muhammadiyah, faktor subjektif yaitu ingin melaksanakan hasil pemahaman K.H.Ahmad Dahlan terhadap frrman Allah surat An-Nisa’ ayat 82 dan surat Muhammad ayat 24 serta surat Ali Imran ayat 104. Faktor objektif yang bersifat internal dan eksternal. Faktor objektif internal yaitu kondisi kehidupan masyarakat Indonesia antara lain; ketidakmurnian pengamalan Islam akibat tidak dijadikan Al-Qur an dan as-Sunnah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagian besar umat Islam Indonesia. Kemudian, lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam belum mampu menyiapkan generasi yang siap mengemban misi selaku Khalifah Allah di atas bumi. . Karena itu, Muhammadiyah menitik beratkan gerakannya kepada sosial keagamaan dan pendidikan.
Adapun faktor objektif yang bersifat eksternal antara lain, semakin meningkatnya Gerakan Kristenisasi di tengah-tengah masyarakat Indonesia, dan penetrasi bangsa-bangsa Eropah, terutama bangsa Belanda ke Indonesia.
Di samping itu, politik kolonialis Belanda mempunyai kepentingan terhadap penyebaran agama Kristen di Indonesia. Dengan program ini akan didapat nilai ganda yaitu di samping bernilai keagamaan dalam arti telah dapat menyelamatkan domba-domba yang hilang, juga bernilai politis, karena betapa eratnya hubungan agama (Kristen) dengan pemerintahan (Hindia Belanda) setelah penduduk bumi putra masuk Kristen akan menjadi warga-warga yang loyal lahir dan batin bagi pemerintah.
K.H. Sahlan Rosidi secara rinci menyebutkan faktor-faktor yang mendorong K.H.Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah, ialah: taklid yang begitu membudaya dalam masyarakat Islam, khurafat dan syirik telah bercampur dengan akidah, sehingga kemurnian akidah sudah tidak tampak lagi, bid’ah yang terdapat pada pengamalan ibadah, kejumudan berfikir dan kebodohan umat, sistem pendidikan yang sudah tidak relevan, timbulnya kelas elit intelek yang bersikap sinis terhadap Islam dan orang Islam, rasa rendah diri di kalangan umat Islam, tidak ada program perjuangan umat Islam yang teratur dan terencana khususnya dalam pelaksanaan dakwah Islam, tidak ada persatuan umat Islam, kemiskinan umat bila dibiarkan akan membahayakan karena mudah dirongrong oleh golongan kafir yang kuat ekonominya, politik kolonialisme Belanda yang menekan dan menghambat hidup dan kehidupan umat Islam di Indonesia, politik kolonialisme Belanda menunjang kristenisasi di Indonesia. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, dan dorongan orang-orang Budi Utomo dan Syekh Ahmad Syurkati K.H.Ahmad Dahlan dengan dibantu oleh murid-muridnya, mendirikan organisasi yang diberi nama Muhammadiyah. Menurut catatan Alfian, ada sembilan orang tokoh pendiri Muhammadiyah yaitu; K.H. Ahmad Dahlan, H. Abdullah Siradj, Raden Ketib Cendana Haji Ahmad, Haji Abdurrahman, R. H. Sarkawi, H. Muhammad, R. H. Djaelani, H. Anis, dan H. Muhammad Fakih.
Organisasi Muhammadiyah sampai tahun 1917 belum membuat pembagian kerja yang jelas. Hal ini disebabkan wilayah kerjanya hanya Yogyakarta saja. Dalam kurun ini K.H. Ahmad Dahlan sendiri aktif berdakwah, mengajar di sekolah Muhammadiyah dan memberikan bimbingan kepada masyarakat seperti shalat dan bantuan kepada fakir miskin
Kemudian, pada tahun-tahun berikut, Muhammadiyah mengembangkan sayap operasi, bahkan pada tahun 1921 telah meliputi seluruh Indonesia, Cabang utama dan pertama yang berdiri di luar pulau Jawa adalah Minangkabau sekitar tahun 1923, Bengkulu, Banjarmasin dan Amuntai sekitar tahun 1927 dan Aceh bersamaan dengan Makasar sekitar tahun 1929.
Dalam melaksanakan roda organisasi K.H. Ahmad Dahlan tidak bekerja sendirian, ia dibantu oleh kawan-kawannya dari Kauman, seperti H. Sijak, H. Fakhruddin, H. Tamim, H. Syarkawi, dan H. Abdul Gani. Sedangkan anggota Budi Utomo yang keras mendukung segera mendirikan sekolah agama yang bersifat moderen adalah Mas Rasyidi dan R. Sosrosugondo. Kemudian, setelah organisasi Muhammadiyah didirikan dan melaksanakan amal usahanya di bidang pendidikan, dan sosial sampai tahun meninggalnya K.H. Ahmad Dahlan yaitu tanggal 23 Februari 1923.

C. Pemikirannya Tentang Pendidikan
Menurut Ramayulis dan Samsul Nizar, hampir seluruh pemikiran Dahlan berangkat dari keprihatinannya terhadap situasi dan kondisi global umat Islam waktu itu yang tenggelam dalam kejumudan(stagnasi), kebodohan, serta keterbelakangan. Kondisi ini sangat merugikan bangsa Indonesia. Latar belakang situasi dan kondisi tersebut telah mengilhami munculnya ide pembaharuan Dahlan. Ide ini sesungguhnya telah muncul sejak kunjungannya pertama ke Mekkah. Kemudian ide itu lebih dimantapkan setelah kunjungannya yang kedua. Hal ini berarti, bahwa kedua kunjungannya merupakan proses awal terjadinya kontak intelektualnya baik secara langsung maupun tak langsung dengan ide-ide pembaharuan yang terjadi di Timur Tengah pada awal abad XX.
Secara umum, ide-ide pembaharuan Ahmad Dahlan menurut Ramayulis dan Samsul Nizar dapat diklasifikasikan kepada dua dimensi, yaitu; Pertama, berupaya memurnikan (purifikasi) ajaran Islam dari khurafat, tahayul, dan bid’ah yang selama ini telah bercampur dalam akidah dan ibadah umat Islam. Kedua, mengajak umat Islam untuk keluar dari jaring pemikiran tradisional melalui reinterpretasi terhadap doktrin Islam dalam rumusan dan penjelasan yang dapat diterima oleh rasio.
Ide-ide pembaharuan tersebut hanya dapat dilaksanakan melalui pendidikan. Menurut Ahmad Dahlan pendidikan juga merupakan upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat. Mereka hendaknya didik agar cerdas, kritis, dan memiliki daya analisis yang tajam dalam memetakan dinamika kehidupan pada masa depan. Adapun kunci untuk meningkatkan kemajukan umat Islam adalah kembali kepada al-Qur`an dan hadis, mengarahkan umat pada pemahaman ajaran Islam secara komprehensif, dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Upaya ini secara strategis dapat dilakukan melalui pendidikan.
Tetapi pendidikan yang dimaksud oleh K.H. Ahmad Dahlan adalah pendidikan yang berorientasi pada pendidikan moderen, yaitu dengan menggunakan sistem klasikal. Apa yang dilakukannya merupakan sesuatu yang masih cukup langka dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam pada waktu itu. Di sini, ia menggabungkan sistem pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan tradisonal secara integral.
Menurut Abuddin Nata, untuk mewujudkan cita-citanya itu, pada tahun 1911 Ahmad Dahlan membuat proyek unggulan yaitu mendirikan sebuah madrasah yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan kaum muslimin. Di sekolah inilah pendidikan agama diberikan oleh Ahmad Dahlan disamping pengetahuan umum diajarkan oleh salah seorang anggota Budi Utomo yang juga menjadi guru di sekolah pemerintah. . Kemudian, setelah Muhammadiyah berdiri tahun 1912 madrasah tersebut resmi menjadi amal usaha Muhammadiyah.
Dari paparan di atas dapat dipahami, bahwa K.H. Ahmad Dahlan dalam menyusun ide-ide pembaharuannya bertolak dari kondisi sosial umat Islam pada waktu itu atau dalam ungkapan lain disebut berdasarkan kepada kajian lapangan. Kemudian, ditambah dengan rihlah ilmiahnya ke Timur Tengah Jadi, pada awal abad ke-20 Ahmad Dahlan telah berfikir secara sistematis, terencana dan manajerial sesuai dengan konsep pengembangan pendidikan moderen. Selanjutnya, untuk menyelamatkan umat dari penjajahan fisik kolonial Belanda dan penajajahan syirik, takhyul bid’ah dan khurafat dan kemiskinan dan kebodohan adalah melalui sarana pendidikan.
Jadi berarti pola pemikiran Ahmad Dahlan hampir sama dengan pola pemikiran Syekh Mohammad Abduh. Menurut Abduh bahwa revolusi dalam bidang politik tidak akan ada artinya, sebelum ada perubahan mental secara besar-besaran dan dilalui secara berangsur-angsur atau secara evolusi. Tegasnya bagi Muhammad Abduh dalam rangka memperjuangakn terwujudnya ’izzul Isalam wal muslimin di samping umat Islam harus berani merebut kekuasaan politik kenegaraan, maka terlebih dahulu yang perlu dibenahi adalah memperberbaharui sember-sumber para mujaddin dan ulama. Lewat sumber-sumber inilah akan lahir kader-kader pembaharu yang akan menyebar ke seluruh dunia.
Mengenai pelaksanaan pendidikan ---menurut Dahlan-- hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh yaitu Al-Qur an dan Sunnah. Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi memrumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal (khaliq) maupun horizontal (makhluk). Dalam pandangan Islam, paling tidak ada dua sisi tugas penciptaan manusia, yaitusebagai `abd Allah dan khalifah fi al-ardh. Dalam proses kejadiannya, manusia diberikan Allah al-ruh dan al-`aql. Untuk itu, media yang dapat mengembangkan potensi al-ruh untuk menalar penunjuk pelaksanaan ketundukan dan kepatuhan manusia epada Khaliqnya. Di sini eksistensi akal merupakan potensi dasar bagi peserta didik yang perlu dipelihara dan dikembangkan guna menyusun kerangka teoretis dan metodologis bagaimana menata hubungan yana harmonis secara vertikal maupun horizontal dalam konteks tujuan penciptannya.
Islam menekankan kepada umatnya untuk mendayagunakan semua kemampuan yang ada pada dirinya dalam rangka memahami fenomena alam semesata, baik alam makro maupun mikro. Meskipun dalam banyak tempat al-Qur`an senantiasa menekankan pentingnya menggunakan akal, akan tetapi al-Qur`an juga juga mengakui akan keterbatasan kemampuan akal. Ada fenomena yang tak dapat dijangkau oleh indera dan akal manusia (Q.S 13:2; 31:10; 63:3). Hala in disebabkan, karena wujud yang ada di alam ini memiliki dua dimensi, yaitu pisika dan metapisika. Manusia merupakan integrasi dari kedua dimensi tersebut, yaitu dimensi ruh dan jasad.
Batasan di atas memberikan arti, bahwa dalam epistemologi pendidikan Islam, ilmu pengetahuan dapat diperoleh apabila peserta didik (manusia) mendayagunakan berbagai media, baik yang diperoleh melalui persepsi inderawi, akal, kalbu, wahyu maupun ilham. Oleh karena itu, aktivitas pendidikan dalam Islam hendaknya memberikan kemungkinan yang sebesar-besarnya bagi pengembangan ke semua dimensi tersebut. Menurut Dahlan, pengemabangan tersebut merupakan proses integrasi ruh dan jasad. Konsep ini diketengahkannya dengan menggariskan perlunya pengkajian ilmu pengtahuan secara langsung, sesuai prinsip-prinsip al-Qur`an dan sunnah, bukan semata-mata dari kitab tertentu.
Dari sumber-sumber di atas, dapat dipahami bahwa landasan pendidikan Islam menurut Ahmad Dahlan adalah Al-Qur an dan hadis, maka dalam menetapkan tujuan pendidikan Islam juga sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Al-Qur an yaitu sesuai dengan tujuan penciptaan manusia yaitu sebagai hamba Allah dan khalifah Allah di muka bumi, dalam ungkapan lain disebut dengan rehumanisasi yaitu mengembalikan kedudukan manusia kepada kedudukan yang sebenarnya yaitu sebagai hamba Allah dan Khalifah Allah di muka bumi. Untuk tercapainya tujuan pendidikan Islam tersebut, manusia harus mengembangkan potenmsi dirinya melalui pendidikan. Potensi diri itu sebagaimana yang dianugerahkan oleh Allah antara lain; fitrah beragama, potensi akal, roh, qalbu dan nafs.
Untuk tercapainya tujuan pendidikan Islam, maka materi pendidikan menurut Dahlan, adalah pengajaran al-Qur`an dan Hadis, membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi dan menggambar. Materi al-Qur`an dan Hadis meliputi; ibadah, persamaan derajat, fungsi perbuatan manusia dalam menentukan nasibnya, musyawarah, pembuktian kebenaran al-Qur`an dan Hadis menurut akal, kerjasama antara agama-kebudayaan-kemajuan peradaban, hukum kausalitas perubahan, nafsu dan kehendak, demokratisasi dan liberalisasi, kemerdekaan berpikir, dinamika kehidupan dan peranan manusia di dalamnya, dan akhlak (budi pekerti).
Di samping itu, menurut Abuddin Nata, bahwa pendidikan harus membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mencapai kemajuan materiil. Oleh karena itu, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat di mana siswa itu hidup. Dengan pendapatnya itu, sesungguhnya Ahmad Dahlan mengkritik kaum tradisionalis yang menjalankan model pendidikan yang diwarisi secara turun temurun tanpa melihat relevansinya dengan perkembangan zaman.
Pemikiran Ahmad Dahlan yang demikian itu, merupakan respon pragmatis terhadap kondisi ekonomi umat Islam yang tidak menguntungkan di Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa dibawah kolonial Belanda, umat Islam tertinggal secara ekonomi karena tidak memiliki akses kepada sektor-sektor pemerintahan dan perusahan-perusahan swasta. Kondisi yang demikian itu menjadi perhatian oleh K.H. Ahmad Dahlan yang berusaha memperbaiki sistem pendidikan Islam.
Berangkat dari gagasan di atas, maka menurut Dahlan pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, ’alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Hal ini berarti bahwa pendidikan Islam merupakan upaya pembinaan pribadi muslim sejati yang bertaqwa, baik sebagai ’abd maupun khalifah fi al-ardh. Untuk mencapai tujuan ini, proses pendidikan Islam hendaknya mengakomodasi berbagai ilmu pengetahuan, baik umum maupun agama, untuk mempertajam daya intelektualitas dan memperkokoh spritualitas peserta didik. Menurur Dahlan, upaya ini akan terealisasi manakala proses pendidikan bersifat integral. Proses pendidikan yang demikan pada gilirannya akan mampu menghasilkan alumni ”intelektual ulama” yang berkualitas. Untuk menciptakan sosok peserta didik yang demikian, maka epistemologi Islam hendaknya dijadikan landasan metodologis dalam kurikulum dan bentuk pendidikan yang dilaksanakan.
Adapun intelek ulama yang berkualitas yang akan diwujudkan itu harus memiliki kepribadian Al-Qur an dan Sunnah. Dalam hal ini, Ahmad Dahlan memiliki pandangan yang sama dengan Ahmad Khan mengenai pentingnya pembentukan kepribadian sebagai target penting dari tujuan-tujuan pendidikan. Dia berpendapat bahwa tidak seorangpun dapat mencapai kebesaran di dunia ini dan di akhirat kecuali mereka yang memiliki kepribadian yang baik. Seorang yang berkepribadian yang baik adalah orang yang mengamalkan ajaran-ajaran Al-Qur an dan Hadis. Karena Nabi merupakan contoh pengamalan Al-Qur an dan Hadis, maka dalam proses pembentukan kepribadian siswa harus diperkenalkan pada kehidupan dan ajaran-ajaran Nabi.
Berangkat dari pandangan di atas, sesungguhnya Ahmad Dahlan menginginkan pengelolaan pendidikan Islam secara modern dan profesional, sehingga pendidikan yang dilakasanakan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik menghadapi dinamika zamannya. Untuk itu, pendidikan Islam perlu membuka diri, inovatif, dan progresif.
Dari uraian di atas, nyatalah bahwa Ahmad Dahlan benar-benar seorang pemikir dan pembaharu dalam dunia pendidikan. Pemikiran-pemikirannya tentang pendidikan telah menjangkau pola pemikiran moderen sekarang ini. Misalnya dalam pelaksanaan pendidikan yang terkait dengan penyempurnaan kurikulum, Ahmad Dahlan telah memasukkan materi pendidikan agama dan umum secara integratif kepada lembaga pendidikan sekolah yang dipimpinnya, kemudian memperkokoh kepribadian intelek ulama. Hal ini sesuai dengan pole pengembangan pendidikan mutaakhir yang meletakkan tiga validitas. Pertama validitas luar, yaitu sejaumana produk yang dihasilkan memenuhi kebutuhan pangsa pasar, kedua, validitas dalam yang menyangkut dengan proses pembelajaran yang berkaitan dengan penyempurnaan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, ketiga, pembentukan kepribadian yang kokoh yang sesuai dengan tuntutan dan tuntunan ajaran Islam.
Dengan pola pembaharuan pendidikan di atas, maka sekolah-sekolah yang didirikan oleh Muhammadiyah ini mendapat sambutan baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Dari kalangan masyarakat, seperti yang digambarkan oleh Nakamura lewat penelitiannya di Kota Gede, Yogyakarta, banyak orang dari kalangan luas yang memiliki orientasi keagamaan serta status sosial yang berbedar yang memasukkan anak-anaknya ke sekolah Muhammadiyah, termasuk diantaranya keluarga priyayi. Dari pihak pemerintah, sekolah Muhammadiyah bahkan mendapat bantuan karena dianggap memenuhi syarat
Pembaharuan di bidang ide dan penyelenggaraan dirumuskan oleh Ahmad Dahlan dengan menyempurnakan kurikulum pendidikan Islam, dengan memasukkan pendidikan agama ke sekolah umum dan pengetahuan umum ke sekolah agama. Sedangkan di bidang teknik penyelenggaraan, pembaharuan yang dilakukan meliputi metode, alat dan sarana pengajaran, organisasi sekolah serta sistem evaluasi. Bentuk pembaharuan teknis ini diambil dari sestem pendidikan moderen. Dari perpaduan ini, menurut Nakamura, maka pendidikan Muhammadiyah.memperoleh hasil yang berlipat ganda. Pertama, menambah kesadaran nasional bangsa Indonesia melalui ajaran Islam; Kedua, melalui sekolah Muhammadiyah, ide pembaharuan bisa disebarkan secara luas; ketiga, mempromosikan ilmu pengetahuan praktis dari pengetahuan moderen.
Sekolah-sekolah yang didirikan oleh Muhammadiyah ini mendapat sambutan baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Dari kalangan masyarakat, seperti yang digambarkan oleh Nakamura lewat penelitiannya di Kota Gede, Yogyakarta, banyak orang dari kalangan luas yang memiliki orientasi keagamaan serta status sosial yang berbedar yang memasukkan anak-anaknya ke sekolah Muhammadiyah, termasuk diantaranya keluarga priyayi. Dari pihak pemerintah, sekolah Muhammadiyah bahkan mendapat bantuan karena dianggap memenuhi syarat
Islam merupakan agama taghyyir yang menghendaki modernisasi (tajdid). Prinsip ini ditegaskan Allah dalam al-Qur`an, bahwa tidak akan terjadi modernisasi pada suatu kaum, kecuali mereka sendiri yang berupaya ke arah tersebut (Q.S 13:11). Di sini, Islam mencela sifat jumud dan taqlid yang membabi buta. Karenanya, Islam mendorong manusia meningkatkan kreatifitas berpikirnya dan melakukan prakarsa. Untuk itu diperlukan kerangka metodologis yang bebas, sistematis, dan mengacu pada nilai universal ajaran Islam. Proses perumusan kerangka ideal yang demikian --menurut Dahlan-- disebut dengan proses ijtihad, yaitu mengerahkan otoritas intelektual untuk sampai pada suatu konklusi tentang berbagai persoalan. Proses tersebut dilakukan manakala otoritas-otoritas yang lebih tinggi tidak bisa menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Dalam konteks ini, pendidikan merupakan salah satu bentuk artikulsi tajdid yang strategis dalam memahami ajaran Islam (al-Qur`an dan Hadis) secara proporsional.
Dalam hal ini, sepertinya Dahlan menyadari bahwa umat Islam telah demikian lama terpasung oleh faham dan amal agama yang menyimpang dari universalitas ajaran Islam.
Paparan di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya Dahlan mecoba menggugat praktek pendidikan Islam pada masanya. Pada waktu itu, pelaksanaan pendidikan hanya dipahami sebagai proses peawarisan adat dan sosialisasi prilaku individu maupun sosialisasi model baku dalam masyarakat. Pendidikan tidak memberikan kebebasan peserta didik untuk berkreasi dan mengambil prakarsa. Kondisi yang demikian menyebabkan pelaksanaan pendidikan berjalan searah dan tidak bersifat diologis. Padahal, menurut Dahlan, pengemangan daya kritis, sikap diologis, menghargai potensi akal dan hati yang suci, merupakan cara strategis bagi peserta didik mencapai pengtahuan tertinggi. Dari batasan ini terlihat bahwa Dahlan ingin meletakkan visi dasar bagi reformasi pendidikan Islam melalui penggabungan sistem pendidikan modern dan tradisional secara harmonis dan integral.
Berangkat dari gagasan di atas, maka menurut Dahlan pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, ’alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Hal ini berarti bahwa pendidikan Islam merupakan upaya pembinaan pribadi muslim sejati yang bertaqwa, baik sebagai ’abd maupun khalifah fi al-ardh. Untuk mencapai tujuan ini, proses pendidikan Islam hendaknya mengakomodasi berbagai ilmu pengetahuan, baik umum maupun agama, untuk mempertajam daya intelektualitas dan memperkokoh spritualitas peserta didik. Menurur Dahlan, upaya ini akan terealisasi manakala proses pendidikan bersifat integral. Proses pendidikan yang demikan pada gilirannya akan mampu menghasilkan alumni ”intelektual ulama” yang berkualitas. Untuk menciptakan sosok peserta didik yang demikian, maka epistemologi Islam hendaknya dijadikan landasan metodologis dalam kurikulum dan bentuk pendidikan yang dilaksanakan.
Menurut Dahlan, materi pendidikan adalah pengajaran al-Qur`an dan Hadis, membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi dan menggambar. Materi al-Qur`an dan Hadis meliputi; ibadah, persamaan derajat, fungsi perbuatan manusia dalam menentukan nasibnya, musyawarah , pembuktian kebenaran al-Qur`an dan Hadis menurut akal, kerjasama antara agama-kebudayaan-kemajuan peradaban, hukum kausalitas perubahan, nafsu dan kehendak, demokratisasi dan liberalisasi, kemerdekaan berpikir, dinamika kehidupan dan peranan manusia di dalamnya, dan akhlak (budi pekerti).
Berpijak pada pandangan di atas, sesungguhnya Dahlan menginginkan pengelolaan pendidikan Islam secara modern dan profesional, sehingga pendidikan yang dilakasanakan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik menghadapi dinamika zamannya. Untuk itu, pendidikan Islam perlu membuka diri, inovatif, dan progresif.
Untuk mewujudkan ide pembaharuannya di bidang pendidikan, maka Dahlan merasa perlu mendirikan lembaga pendidikan yang berorientasi pada pendidikan modern, yaitu dengan menggunakan sistem klasikal. Apa yang dilakukannya merupakan sesuatu yang masih cukup langka dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam pada waktu itu. Di sini, ia menggabungkan sistem pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan tradisonal secara integral.
Komimen Dahlan terhadap pendidikan agama demikian kuat. Oleh karena itu, ai antara faktor utama yang mendorongnya masuk organisasi Boedi Oetomo pada tahun 1909 adalah untuk mendapatkan peluang memberikan pengajaran agama kepada para anggotanya. Strategi yang ditempuhnya dimaksudkan untuk membuka kesempatan memberikan pelajaran agama di sekolah-sekolah pemerintah. Pendekatan ini dilakukan karena para anggota organisasi Boedi Oetomo pada umumnya bekerja di sekolah dan kantor pemerintahan waktu itu. Komitmenmya terhadap pedidikan agama selanjutnya menjadi salah satu ciri khas oraganisasi yang didirikan pada tahun 1912, yaitu oraganisasi Muhammadiyah.
Tanpa mengurangi pemikiran para intelektual muslim lainnya, paling tidak pemikiran Dahlan tentang pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai awal kebangkitan pendidikan Islam di Indonesia. Gagasana pembaharuannyasempat mendapat tantangan masyarakat waktu itu, terutama dari lingukungan pendidikan tradisional. Kendati demikian, bagi Dahlan, tantangan tersebut bukan merupakan hambatan, melainkan tantangan yang perlu dihadapi secara arif dan bijaksana.
Arus dinamika pembaharuan terus mengalir dan bergerak menuju kepadan berbagai pesoalana kehidupan yangn semakin kompleks. Dengan demikian, peranan pendidikan Islam menjadi semakin penting dan strategis untuk senantiasa mendapat perhatian yang serius. Hal ini disebabkan, karena pendidikan merupakan media yang strategis untuk mencerdaskan umat. Melalui media ini, umat akan semakin kritis dna memiliki daya analisa yang tajam dalam membaca peta kehidupan masa depannya yang dinamis. Dalam konteks ini, setidaknya pemikiran pendidikan Dahlan dapat diletakkan sebagai upaya sekaligus wacana untuk memberikan inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan yang lebih proporsional.

Meskipun demikian, tidak semua pihak yang menyambut kehadiran Muhammadiyah itu positif. Pemerintah kolonial Belanda misalnya, meskipun mereka mengizinkan Muhammadiyah berdiri, karena mereka ingin mendapat simpati dan mengurangi sikap reaksi kaum muslimin terhadap pemerintahan kolonial, di samping pula organisasi Muhammadiyah bukan organisasi politik. Menurut Deliar Noer, meskipun pemerintah kolonial mengizinkan Muhammadiyah, Muhammadiyah tidak bisa berbuat leluasa, pernah pemerintah kolonial melarang tabligh Muhammadiyah, dan guru-guru Muhammadiyah pernah dilarang untuk mengajar.
Di samping pemerintah kolonial Belanda, orang-orang nasionalis juga menuduh Muhammadiyah mempunyai hubungan dengan Belanda dan bekerja sama dengan Belanda. Mereka bersikap negatif terhadap Muhammadiyah karena Muhammadiyah mendasari gerakannya dengan politik. Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan yang akan membersihkan Islam dari pengaruh tradsional. Di sinilah pertentangan semakin tajam karena menyangkut dengan keyakinan kebenaran masing-masing. Oleh karena itu kaum tradisionalis menolak setiap perubahan, karena dianggap sebagai rongrongan terhadap ajaran agamanya. Di sisi lain , Muhammdiyah memandang perlu adanya perubahan selama kebiasaan-kebiasaan tersebut dinilai sebagai penyimpangan dari ajaran yang benar.
Ide pembaharuan pendidikan Islam yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan sebenarnya didasarkan kepada realitas sosial, di mana sejak awal abad ke-20, dunia pendidikan Islam masih ditandai dengan masih adanya sistem pendidikan yang dikotomis antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Di satu segi terdapat pendidikan umum yang tidak mengajarkan agama. Pendidikan Islam juga tidak memiliki visi, misi dan tujuan yang jelas, terutama jika dihubungkan dengan perkembangan masyarakat. Umat Islam berada dalam kemunduran yang diakibatkan oleh pendidikannya yang tradisional.



F. Kesimpulan
Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta pada tahun 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan sebenarnya merupakan hasil telaah dan pemahaman beliau terhadap ajaran Islam setelah belajar agama Islam di Mekkah, dan mendapat pencerahan dan inspirasi dari kitab-kitab ulama modernis seperti Ibnu Qoyyim, Ibnu Taimiyah, Rasyid Ridho, Syekh Jamaluddin Al-Afghani.. Disamping itu, juga sebagai reaksi terhadap kondisi kehidupan sosial bangsa dan sosial keagamaan kaum muslimin di Indonesia yang pada waktu itu meringkuk di bawah penjajahan kolonial Belanda dan penjaajahan pemikiran yang ditandai dengan meraja lelanya perbuatan syirik, takhyul, bid’ah dan khurafat dan dhidup dalam kemiskinan, kemelaratan dan kebodohan.
Untuk membebaskan dan menyelamatkan bangsa Indonesia dan umat Islam dari berbagai belenggu penjajajahan tersebut, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah dan memusatkan kegiatannya pada bidang pendidikan di samping bidang-bidang sosial lainnya. Langkah ini di ambil, karena menurut Ahmad Dahlan bangsa Indonesia tidak akan bisa dibebaskan dari berbagai belenggu penjajajahan tanpa ditingkatkan ilmu pengetahuan dan kecerdasan, di samping meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara.
Guna meningkatkan ilmu pengetahuan, kesadaran berbangsa dan bernegara dan beragama Ahmad Dahlan mendirikan madrasah Ibtidaiyah yang dikelolanya secara moderen yaitu dengan mengintegrasikan pendidikan agama dan umum yang pada waktu itu, dunia pendidikan ditandai dengan sistem dikotomis, yaitu memisahkan pendidikan agama dengan pendidikan umum. Demikian pula pengelolaannya yang dilaksanakan secara profesional dan moderen dengan mencontoh sistem pengelolaan sekolah Belanda.
Menurut Ahmad Dahlan, landasan pendidikan Islam adalah Al-Qur an dan Sunnah dan tujuannya harus sesuai menurut penciptaan manusia yang tertera dalam Al-Qur an dan sunnah yaitu membentuk manusia sebagai hamba Allah dan Khalifah Allah di muka bumi. Untuk itu, segala potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia harus dikembangkan melalui sarana pendidikan.
Meskipun ide-ide pembaharuan yang dilakukan Muhammadiyah adalah ingin merubah kondisi tersebut dengan meningkatkan ilmu pengetahuan kaum muslimin dan kesadaran beragama dan bernegara serta membersihkan umat Islam dari pengaruh yang salah Namun, dalam perjalanan sejarahnya gerakan Muhammadiyah tidak berjalan dengan mulus. Muhammadiyah mendapat banyak tantangan baik dari pemerintah kolonial Belanda, dan komunitas masyarakat tradisional
Tetapi sebagaimana dibuktikan kemudian, apa yang dilakukan oleh Muhammdiyah dengan ribuan amal usahanya adalah sangat bermanfaat dan merupakan kontribusi Muhammadiyah terhadap bangsa dan agama. Bahkan kaum tradisionalis, yang pada awalnya menentang ide pembaharuan Muhammadiyah, secara pelan-pelan terbiasa dengan ide pembaharuan.



DAFTAR KEPUSTAKAAN

Din Syamsuddin (Ed), Muhammadiyah, Kini & Esok, (Jakarta : Panjimas, 1990

Mushtafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gera- kan Islam, Dalam Perspektif Historis dan Idilogis, Yogyakarta, 2000.

M. Yunan Yusuf, dkk. Ensiklopedi Muhammadiyah, Jakarta : PP. Muhammadiyah & Grafindo Persada, 2005

Mulkham, Abdul Munir, Pemikiran, K.H. Ahmad Dahlan, dan Muhammadiyah Da- lam Perspektif Perubahan Sosial, Jakarta : Bumi Aksara, 1990.
---------Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan, dan dan Amal Muhammadiyah, Yogyakarta, Percetakan Persatuan 1990

Noer, Deliar,Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942,Jakarta : LP3ES, 1985.

Nata, Abuddin, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Grafindo Persada, 2003

Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, Jakarta: Quantum Teaching, 2005

Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, Potret Timur Tengah Era Awal dan Indonesia, Jakarta : Quantum Teaching, 2005

Sahlan Rosidi, Kemuhammadiyaan Untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah, Jilid I, Solo : Mutiara, 1982

Sirajuddin Zar, dkk Muhammmadiyah di Indonesia 1959-1966, Perkembangan Pemikiran Keagamaan Serta Perannya Dalam Gerakan Sosial dan Politik (Laporan Penelitian) Padang: IAIN IB, 1998

Syukriyanto AR & Abdul Munir Mulkham (Ed), Pergumulan Pemikiran Dalam Muhammadiyah, Yogyakarta, SIPRES, 1990

Yunahar Ilyas, dkk (Ed), Muhammadiyah dan NU: Reorientasi Wawasan Keislaman, Yogyakarta:LPPI UMYLKPSM NU dan PP-Al-Muhsin Yogyakarta, 1994

Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara Bekerjasama dengan Depag RI, 1997.
PP. Muhammadiyah, Profil Muhammadiyah 2005, Yogyakarta, 2005
Mushtafa Kamal Pasha, Bed dan Ahmad Adabi Darban, SU, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam, Dalam Perspektif Historis dan Ideologis, Yogyakarta : LPPI, 2000

Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2005

Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, Jakarta: Quantum Teaching, 2005

Profil Muhammadiyah 2005, Yogyakarta, PP. Muhammadiyah 2005

Suara Muhammadiyah, No. 05 TH Ke-92/1-15 Maret 2007, Sajian Utama, Istiqamah Bermuhammadiyah, Yogyakarta : PP Muhammadiyah, 2007.

Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, Potret Timur Tengah Era Awal dan Indonesia, (Jakarta : Quantum Teaching, 2005.

K.H. Sahlan Rosidi, Kemuhammadiyaan Untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah, Jilid I Solo : Mutiara, 1982

Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 Jakarta : LP3ES, 1982

Fakhry Ali, dan Bakhtiar Efendi, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran Indonesia, Masa Orde Baru, Bandung : Mizan, 1986.








Selengkapnya...

Senin, 30 Maret 2009

Kerajaan Mughal : "Mercusuar Peradaban Islam"

Oleh : Muhammad Nasir, SS

Kerajaan Mughal merupakan salah satu warisan peradaban Islam di India. Keberadaan kerajaan ini telah menjadi motivasi kebangkitan baru bagi peradaban tua di anak benua India yang nyaris tenggelam. Sebagaimana diketahui, India adalah suatu wilayah tempat tumbuh dan berkembangnya peradaban Hindu. Dengan hadirnya Kerajaan Mughal, maka kejayaan India dengan peradaban Hindunya yang nyaris tenggelam, kembali muncul.

A.PENDAHULUAN

Di kalangan masyarakat Arab, India dikenali sebagai Sind atau Hind. Sebelum kedatangan Islam, India telah mempunyai hubungan perdagangan dengan masyarakat Arab. Pada saat Islam hadir, hubungan perdagangan antara India dan Arab masih diteruskan. Akhirnya India pun perlahan-lahan bersentuhan dengan agama Islam. India yang sebelumnya berperadaban Hindu, sekarang semakin kaya dengan peradaban yang dipengaruhi Islam. Oleh sebab itu menjadi penting untuk menulis secara ringkas eksistensi Kerajaan Mughal di India yang identik dengan Hindu.

Makalah ini selain menggambarkan secara ringkas bagian-bagian penting (highlights) tentang asal-usul, tumbuh, berkembang serta mundurnya peradaban yang dibina Kerajaan Mughal, juga mengulas faktor-faktor yang mendorong timbul hingga tenggelamnya kerajaan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mengambil pelajaran, bagaimana membalikkan (reverse) gelombang peradaban di anak benua India tersebut. Mengenai hal ini Ibnu Khaldun berkata, "reversi tersebut tidak akan dapat tergambarkan tanpa menggambarkan pelajaran-pelajaran dari sejarah terlebih dahulu untuk menentukan faktor-faktor yang membawa sebuah peradaban besar melemah dan menurun drastis.

Selanjutnya, sebagai tugas mata kuliah Sejarah dan Peradaban Islam pada Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang, penulisan makalah ini diharapkan memudahkan penulis untuk memahami seluk-beluk Kerajaan Mughal. Oleh sebab itu dalam penulisan makalah ini, penulis akan membatasi pada pembahasan asal usul, kemajuan, kemunduran dan keruntuhannya.

B. ASAL - USUL KERAJAAN MUGHAL

Asal-usul

Kerajaan Mughal merupakan kelanjutan dari kesultanan Delhi, sebab ia menandai puncak perjuangan panjang untuk membentuk sebuah imperium India muslim yang didasarkan pada sebuah sintesa antara warisan bangsa Persia dan bangsa India.

Sejak Islam masuk ke India pada masa Umayyah, yakni pada masa Khalifah al-Walid I (705-715) melalui ekspedisi yang dipimpin oleh panglima Muhammad Ibn Qasim tahun 711/712, peradaban Islam mulai tumbuh dan menyebar di anak benua India.

Kemudian pasukan Ghaznawiyah dibawah pimpinan Sultan Mah¬mud mengembangkan kedudukan Islam di wilayah ini dan berhasil menaklukkan seluruh kekuasaan Hindu dan serta meng¬islamkan sebagian masyarakat India pada tahun 1020 M. Setelah Gaznawi hancur muncullah beberapa dinasti kecil yang menguasai negeri India ini, seperti Dinasti Khalji (1296¬1316 M.), Dinasti Tuglag (1320-1412), Dinasti Sayyid (1414-1451), dan Dinasti Lodi (1451-1526).

Hal ini menunjukkan bahwa Kerajaan Mughal bukanlah kerajaan Islam pertama di India. Jika pada dinasti-dinasti sebelumnya Islam belum menemukan kejayaannya, maka kerajaan ini justru bersinar dan berjaya. Keberadaan kerajaan ini dalam periodisasi sejarah Islam dikenal sebagai masa kejayaan kedua setelah sebelumnya mengalami kecemerlangan pada dinasti Abbasiyah.

Kerajaan ini didirikan oleh Zahiruddin Babur, seorang keturunan Timur Lenk. Ayahnya bernama Umar Mirza adalah penguasa Farghana, sedang ibunya keturunan Jenghis Khan. Ayahnya bernama Umar Mirza, penguasa Ferghana. Menurut Abu Su'ud, Timur Lenk pernah ke India pada tahun 1399, namun karena iklim yang tidak cocok ia akhirnya meninggalkan India.

Babur bukanlah orang India. Syed Mahmudunnasir menulis, "Dia bukan orang Mughal. Di dalam memoarnya dia menyebut dirinya orang Turki. Akan tetapi, cukup aneh, dinasti yang didirikannya dikenal sebagai dinasti Mughal. Sebenarnya Mughal menjadi sebutan umum bagi para petualang yang suka perang dari Persia di Asia tengah, dan meskipun Timur (Timur Lenk-penulis) dan semua pengikutnya menyumpahi nama itu sebagai nama musuhnya yang paling sengit, nasib merekalah untuk dicap dengan nama itu, dan sekarang tampaknya terlambat untuk memperbaiki kesalahan itu."

Ensiklopedia Islam bahakn menyebutkan “Mogul (Mughal-pen) didirikan oleh seorang penjajah dari Asia Tengah, Muhammad Zahiruddin Babur dari etnis Mongol.”

Dari pendapat di atas, sesuatu yang dapat disepakati bahwa Kerajaan Mughal merupakan warisan kebesaran Timur Lenk, dan bukan warisan keturunan India yang asli. Meskipun demikian, Dinasti Mughal telah memberi warna tersendiri bagi peradaban orang-orang India yang sebelumnya identik dengan agama Hindu.

Babur mewarisi daerah Ferghana dari orang tuanya ketika ia masih berusia 11 tahun. Ia berambisi dan bertekad akan menaklukkan Samarkand yang menjadi kota penting di Asia masa itu. Pada mulanya ia mengalami kekalahan tetapi karena mendapat bantuan dari Raja Safawi Ismail I, akhir¬nya ia berhasil menaklukkan Samarkand tahun 1494 M. Pada tahun 1504 M ia menduduki Kabul, ibu kota Afghanistan.

Zahiruddin Babur mengambil alih kekuasaan dari Dinasti Lodi pimpinan Ibrahim Lodi yang tengah berkuasa di India. India pada saat itu tengah dilanda krisis sehingga stabilitas pemerintahan menjadi kacau. Alam Khan, paman dari Ibrahim Lodi, bersama-sama Daulat Khan, Gubernur Lahore, mengirim utusan ke Kabul, meminta bantuan Babur untuk menjatuhkan pemerintahan Ibrahim di Delhi.

Babur berhasil menaklukkan Punjab pada tahun 1525. Kemudian pada tahun 1526, dalam pertempuran di Panipat, Babur memperoleh kemenangan dari tangan Ibrahim Lodi. Ibrahim sendiri terbunuh pada pertempuran itu. Babur bersama pasukannya memasuki kota Delhi untuk menegakkan pemerintahan di kota ini. Dengan ditegakkannya pemerintahan Babur di kota Delhi, maka berdirilah Kerajaan Mughal di India pada tahun 1526 M.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor berdirinya Kerajaan Mughal adalah:

1.Ambisi dan karakter Babur sebagai pewaris keperkasaan ras Mongolia
2.Sebagai jawaban atas krisis yang tengah melanda India.

Raja-raja Mughal

Selama masa pemerintahannya Kerajaan Mughal dipimpin oleh beberapa orang raja. Raja-raja yang sempat memerintah adalah Zahiruddin Babur (1526-1530), Humayun (1530-1556), Akbar (1556-1605), Jahangir (1605-1627), Shah Jahan (1627-1658), Aurangzeb (1658-1707), Bahadur Syah (1707-1712), Jehandar (1712-1713), Fahrukhsiyar (1713-1719), Muhammad Syah (1719-1748), Ahmad Syah (1748-1754), Alamghir II (1754-1760), Syah Alam (1760¬-1806), Akbar II (1806-1837 M), dan Bahadur Syah (1837-1858).

Zahiruddin Babur (1526-1530) adalah raja pertama sekaligus pendiri Kerajaan Mughal. Masa kepemimpinannnya digunakan untuk membangun fondasi pemerintahan. Awal kepemimpinannya, Babur masih menghadapi ancaman pihak-pihak musuh, utamanya dari ka¬langan Hindu yang tidak menyukai berdirinya Kerajaan Mughal. Orang-orang Hindu ini segera menyusun kekuatan gabungan, namun Babur berhasil mengalahkan mereka dalam suatu pertempuran. Sementara itu dinasti Lodi berusaha bangkit kembali menentang pemerintahan Babur dengan pim¬pinan Muhammad Lodi. Pada pertempuran di dekat Gogra, Babur dapat menumpas kekuatan Lodi pada tahun 1529. Setahun kemudian yakni pada tahun 1530 Babur meninggal dunia.

Sepeninggal Babur, tahta Kerajaan Mughal diteruskan oleh anaknya yang bemama Hu¬mayun. Humayun memerintah selama lebih dari seperempat abad (1530-1556 M). Pemerintahan Humayun dapat dikatakan sebagai masa konsolidasi kekuatan periode I. Sekalipun Babur berhasil mengamankan Mughal dari serangan musuh, Humayun masih saja menghadapi banyak tantangan. Ia berhasil mengalahkan pemberontakan Baha¬dur Syah, penguasa Gujarat yang bermaksud melepaskan diri dari Delhi. Pada tahun 1450 Humayun mengalami kekalahan dalam pepe¬rangan yang dilancarkan oleh Sher Khan dari Afganistan. Ia melarikan diri ke Persia.

Di pe¬ngasingan ia kembali menyusun kekuatan. Pada saat itu Persia dipimpin oleh penguasa Safa¬wiyah yang bernama Tahmasp. Setelah lima belas tahun menyusun kekuatannya dalam pengasingan di Persia, Humayun berhasil menegakkan kembali kekuasaan Mughal di Delhi pada tahun 1555 M. Ia mengalahkan ke¬kuatan Khan Syah. Setahun kemudian, yakni pada tahun 1556 Humayun meninggal. Ia digantikan oleh putranya Akbar.

Akbar (1556-1605) pengganti Humayun adalah raja Mughal paling kontroversial. Masa pemerintahannya dikenal sebagai masa kebangkitan dan kejayaan Mughal sebagai sebuah dinasti Islam yang besar di India.

Ketika menerima tahta kera¬jaan ini Akbar baru berusia 14 tahun, sehingga seluruh urusan pemerintahan dipercayakan kepada Bairam Khan, seorang penganut Syi'ah. Di awal masa pemerintahannya, Akbar menghadapi pemberontakan sisa-sisa keturunan Sher Khan Shah yang masih ber¬kuasa di Punjab. Pemberontakan yang paling mengancam kekuasaan Akbar adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Himu yang menguasai Gwalior dan Agra. Pasukan pemberontak berusaha memasuki kota Delhi. Bairam Khan menyambut kedatangan pasukan tersebut sehingga terjadilah peperangan dahsyat yang disebut Panipat II pada tahun 1556 M. Himu dapat dikalah¬kan dan ditangkap, kemudian dieksekusi. Dengan demikian, Agra dan Gwalior dapat dikuasai penuh.

Setelah Akbar dewasa ia berusaha menyingkirkan Bairam Khan yang sudah mempunyai pengaruh sangat kuat dan terlampau memaksakan kepentingan aliran Syi'ah. Bairam Khan memberon¬tak, tetapi dapat dikalahkan oleh Akbar di Jullandur tahun 1561 M. Setelah persoalan-persoalan dalam negeri dapat diatasi, Akbar mulai menyusun program ekspansi. Ia berhasil menguasai Chundar, Ghond, Chitor, Ranthabar, Kalinjar, Gujarat, Surat, Bihar, Bengal, Kashmir, Orissa, Deccan, Gawilgarh, Narhala, Ahmadnagar, dan Asirgah. Wilayah yang sangat luas itu diperintah dalam suatu pemerintahan militeristik.

Keberhasilan ekspansi militer Akbar menan¬dai berdirinya Mughal sebagai sebuah kerajaan besar. Dua gerbang India yakni kota Kabul se¬bagai gerbang ke arah Turkistan, dan kota Kan¬dahar sebagai gerbang ke arah Persia, dikuasai oleh pemerintahan Mughal. Menurut Abu Su'ud, dengan keberhasilan ini Akbar bermaksud ingin mendirikan Negara bangsa (nasional). Maka kebijakan yang dijalankannya tidak begitu menonjolkan spirit Islam, tetapi bagaimana mempersatukan berbagai etnis yang membangun dinastinya. Keberhasilan Akbar mengawali masa kemajuan Mughal di India.

Kepemimpinan Akbar dilanjutkan oleh Jihangir (1605-1627) yang didukung oleh kekuatan militer yang besar. Semua kekuatan musuh dan gerakan pemberontakan berhasil dipadamkan, sehingga seluruh rakyat hidup dengan aman dan damai. Pada masa kepemimpinannya, Jehangir berhasil menundukkan Bengala (1612 M), Mewar (1614 M) Kangra. Usaha-usaha pengamanan wilayah serta penaklukan yang ia lakukan mempertegas kenegarawanan yang diwarisi dari ayahnya yaitu Akbar.

Syah Jihan (1628¬-1658) tampil meggantikan Jihangir. Bibit-bibit disintegrasi mulai tumbih pada pemerintahannya. Hal ini sekaligus menjadi ujian terhadap politik toleransi Mughal. Dalam masa pemerintahannya terjadi dua kali pemberontakan. Tahun pertama masa pemerintahannya, Raja Jujhar Singh Bundela berupaya memberontak dan mengacau keamanan, namun berhasil dipadamkan. Raja Jujhar Singh Bundela kemudian diusir. Pemberontakan yang paling hebat datang dari Afghan Pir Lodi atau Khan Jahan, seorang gubernur dari provinsi bagian Selatan. Pemberontakan ini cukup menyulitkan. Namun pada tahun 1631 pemberontakan inipun dipatahkan dan Khan Jahan dihukum mati.

Pada masa ini para pemukim Portugis di Hughli Bengala mulai berulah. Di samping mengganggu keamanan dan toleransi hidup beragama, mereka menculik anak-anak untuk dibaptis masuk agama Kristen. Tahun 1632 Shah Jahan berhasil mengusir para pemukim Portugis dan mencabut hak-hak istimewa mereka. Shah Jehan meninggal dunia pada 1657, setelah menderita sakit keras. Setelah kematiannya terjadi perang saudara. Perang saudara tersebut pada akhirnya menghantar Aurangzeb sebagai pemegang Dinasti Mughal berikutnya.

Aurangzeb (1658-1707) menghadapi tugas yang berat. Kedaulatan Mughal sebagai entitas Muslim India nyaris hancur akibat perang saudara. Maka pada masa pemerintahannya dikenal sebagai masa pengembalian kedaulatan umat Islam. Penulis menilai periode ini merupakan masa konsolidasi II Kerajaan Mughal sebagai sebuah kerajaan dan sebagai negeri Islam. Aurangzeb berusaha mengembalikan supremasi agama Islam yang mulai kabur akibat kebijakan politik keagamaan Akbar.

Raja-raja pengganti Aurangzeb merupakan penguasa yang lemah sehingga tidak mampu mengatasi kemerosotan politik dalam negeri. Raja-raja sesudah Aurangzeb mengawali ke¬munduran dan kehancuran Kerajaan Mughal.

Bahadur Syah menggantikan kedudukan Aurangzeb. Lima tahun kemudian terjadi perebutan antara putra-putra Bahadur Syah. Jehandar dimenangkan dalam persaingan tersebut dan sekaligus dinobatkan sebagai raja Mughal oleh Jenderal Zulfiqar Khan meskipun Jehandar adalah yang paling lemah di antara putra Bahadur. Penobatan ini ditentang oleh Muhammad Fahrukhsiyar, keponakannya sen¬diri. Dalam pertempuran yang terjadi pada tahun 1713, Fahrukhsiyar keluar sebagai pe¬menang. Ia menduduki tahta kerajaan sampai pada tahun 1719 M. Sang raja meninggal ter¬bunuh oleh komplotan Sayyid Husein Ali dan Sayyid Hasan Ali. Keduanya kemudian meng¬angkat Muhammad Syah (1719-1748). Ia kemudian dipecat dan diusir oleh suku Asyfar di bawah pimpinan Nadzir Syah. Tampilnya sejumlah penguasa lemah bersamaan dengan terjadinya perebutan kekuasaan ini selain mem¬perlemah kerajaan juga membuat pemerintahan pusat tidak terurus secara baik. akibatnya pemerintahan daerah berupaya untuk melepaskan loyalitas dan integritasnya terhadap pemerintahan pusat.

Pada masa pemerintahan Syah Alam (1760¬-1806) Kerajaan Mughal diserang oleh pasukan Afghanistan yang dipimpin oleh Ahmad Khan Durrani. Kekalahan Mughal dari serangan ini, berakibat jatuhnya Mughal ke dalam kekuasa¬an Afghan. Syah Alam tetap diizinkan berkuasa di Delhi dengan jabatan sebagai sultan.
Akbar II (1806-1837 M) pengganti Syah Alam, membe¬rikan konsesi kepada EIC untuk mengembang¬kan perdagangan di India sebagaimana yang diinginkan oleh pihak Inggris, dengan syarat bahwa pihak perusahaan Inggris harus menja¬min penghidupan raja dan keluarga istana. Kehadiran EIC menjadi awal masuknya pengaruh Inggris di India.

Bahadur Syah (1837-1858) pengganti Akbar II menentang isi perjanjian yang telah disepa¬kati oleh ayahnya. Hal ini menimbulkan konflik antara Bahadur Syah dengan pihak Inggris. Bahadur Syah, raja terakhir Kerajaan Mughal diusir dari istana pada tahun (1885 M). Dengan demikian ber¬akhirlah kekuasaan kerajaan Islam Mughal di India.

C. Kemajuan yang dicapai Kerajaan Mughal

1. Bidang Politik dan Administrasi Pemerintahan

a.Perluasan wilayah dan konsolidasi kekuatan. Usaha ini berlangsung hingga masa pemerintahan Aurangzeb.
b.Pemerintahan daerah dipegang oleh seorang Sipah Salar (kepala komandan), sedang sub-distrik dipegang oleh Faujdar (komandan). Jabatan-jabatan sipil juga diberi jenjang kepangkatan yang bereorak kemiliteran. Pejabat-pejabat itu memang diharuskan mengikuti latihan kemiliteran
c.Akbar menerapkan politik toleransi universal (sulakhul). Dengan politik ini, semua rakyat India dipandang sama. Mereka tidak dibedakan karena perbedaan etnis dan agama. Politik ini dinilai sebagai model toleransi yang pernah dipraktekkan oleh penguasa Islam.
d.Pada Masa Akbar terbentuk landasan institusional dan geografis bagi kekuatan imperiumnya yang dijalankan oleh elit militer dan politik yang pada umumnya terdiri dari pembesar-pembesar Afghan, Iran, Turki, dan Muslim Asli India. Peran penguasa di samping sebagai seorang panglima tentara juga sebagai pemimpin jihad.
e.Para pejabat dipindahkan ¬dari sebuah jagir kepada jagir lainnya untuk menghindarkan mereka mencapai interes yang besar dalam sebuah wilayah tertentu. Jagir adalah sebidang tanah yang diperuntukkan bagi pejabat yang sedang berkuasa. Dengan demikian tanah yang diperuntukkan tersebut jarang sekali menjadi hak milik pejabat, kecuali hanya hak pakai.
f.Wilayah imperium juga dibagi menjadi sejumlah propinsi dan distrik yang dikelola oleh seorang yang dipimpin oleh pejabat pemerintahan pusat untuk mengamankan pengumpulan pajak dan untuk mencegah penyalahgunaan oleh kaum petani.

2. Bidang Ekonomi

a.Terbentuknya sistem pemberian pinjaman bagi usaha pertanian.
b.Adanya sistem pemerintahan lokal yang digunakan untuk mengumpulkan hasil pertanian dan melindungi petani. Setiap perkampungan petani dikepalai oleh seorang pejabat lokal, yang dinamakan muqaddam atau patel, yang mana kedudukan yang dimilikinya dapat diwariskan, bertanggungjawab kepada atasannya untuk menyetorkan penghasilan dan menghindarkan tindak kejahatan. Kaum petani dilindungi hak pemilikan atas tanah dan hak mewariskannya, tetapi mereka juga terikat terhadapnya..
c.Sistem pengumpulan pajak yang diberlakukan pada beberapa propinsi utama pada imperium ini. Perpajakan dikelola sesuai dengan system zabt. Sejumlah pembayaran tertentu dibebankan pada tiap unit tanah dan harus dibayar secara tunai. Besarnya beban tersebut didasarkan pada nilai rata-rata hasil pertanian dalam sepuluh tahun terakhir. Hasil pajak yang terkumpul dipercayakan kepada jagirdar, tetapi para pejabat lokal yang mewakili pemerintahan pusat mempunyai peran penting dalam pengumpulan pajak. Di tingkat subdistrik administrasi lokal dipercayakan kepada seorang qanungo, yang menjaga jumlah pajak lokal dan yang melakukan pengawasan terhadap agen-agen jagirdar, dan seorang chaudhuri, yang mengumpulkan dana (uang pajak) dari zamindar.
d.Perdagangan dan pengolahan industri pertanian mulai berkembang. Pada asa Akbar konsesi perdagangan diberikan kepada The British East India Company (EIC) -Perusahaan Inggris-India Timur- untuk menjalankan usaha perdagangan di India sejak tahun 1600. Mereka mengekspor katun dan busa sutera India, bahan baku sutera, sendawa, nila dan rempah dan mengimpor perak dan jenis logam lainnya dalam jumlah yang besar.

3. Bidang Agama

a.Pada masa Akbar, perkembangan agama Islam di Kerajaan Mughal mencapai suatu fase yang menarik, di mana pada masa itu Akbar memproklamasikan sebuah cara baru dalam beragama, yaitu konsep Din-i-Ilahi. Karena aliran ini Akbar mendapat kritik dari berbagai lapisan umat Islam. Bahkan Akbar dituduh membuat agama baru. Pada prakteknya, Din-i-Ilahi bukan sebuah ajaran tentang agama Islam. Namun konsepsi itu merupakan upaya mempersatukan umat-umat beragama di India. Sayangnya, konsepsi tersebut mengesankan kegilaan Akbar terhadap kekuasaan dengan symbol-symbol agama yang di kedepankan. Umar Asasuddin Sokah, seorang peneliti dan Guru Besar di Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyamakan konsepsi Din-i-Ilahi dengan Pancasila di Indonesia. Penelitiannya menyimpulkan, "Din-i-llahi itu meru¬pakan Pancasilanya bangsa Indonesia.
b.Perbedaan kasta di India membawa keuntungan terhadap pengembangan Islam, seperti pada daerah Benggal, Islam langsung disambut dengan tangan terbuka oleh penduduk terutama dari kasta rendah yang merasa disiasiakan dan dikutuk oleh golongan Arya Hindu yang angkuh. Pengaruh Parsi sangat kuat, hal itu terlihat dengan digunakanya bahasa Persia menjadi bahasa resmi Mughal dan bahasa dakwah, oleh sebab itu percampuran budaya Persia dengan budaya India dan Islam melahirkan budaya Islam India yang dikembangkan oleh Dinasti Mughal.

c.Berkembangnya aliran keagamaan Islam di India. Sebelum dinasti Mughal, muslim India adalah penganut Sunni fanatik. Tetapi penguasa Mughal memberi tempat bagi Syi'ah untuk mengembangkan pengaruhnya.
d.Pada masa ini juga dibentuk sejumlah badan keagamaan berdasarkan persekutuan terhadap mazhab hukum, thariqat Sufi, persekutuan terhadap ajaran Syaikh, ulama, dan wali individual. Mereka terdiri dari warga Sunni dan Syi'i.
e.Pada masa Aurangzeb berhasil disusun sebuah risalah hukum Islam atau upaya kodifikasi hukum Islam yang dinamakan fattawa alamgiri. Kodifikasi ini menurut hemat penulis ditujukan untuk meluruskan dan menjaga syari'at Islam yang nyaris kacau akibat politik Sulakhul dan Din-i- Ilahi.

4. Bidang Seni dan Budaya

a.Munculnya beberapa karya sastra tinggi seperti Padmavat yang mengandung pesan kebajikan manusia gubahan Muhammad Jayazi, seorang penyair istana. Abu Fadhl menulis Akhbar Nameh dan Aini Akbari yang berisi sejarah Mughal dan pemimpinnya.
b.Kerajaan Mughal termasuk sukses dalam bidang arsitektur. Taj mahal di Agra merupakan puncak karya arsitektur pada masanya, diikuti oleh Istana Fatpur Sikri peninggalan Akbar dan Mesjid Raya Delhi di Lahore. Di kota Delhi Lama (Old Delhi), lokasi bekas pusat Kerajaan Mughal, terdapat menara Qutub Minar (1199), Masjid Jami Quwwatul Islam (1197), makam Iltutmish (1235), benteng Alai Darwaza (1305), Masjid Khirki (1375), makam Nashirudin Humayun, raja Mughal ke-2 (1530-1555). Di kota Hyderabad, terdapat empat menara benteng Char Minar (1591). Di kota Jaunpur, berdiri tegak Masjid Jami Atala (1405).
c.Taman-taman kreasi Moghul menonjolkan gaya campuran yang harmonis antara Asia Tengah, Persia, Timur Tengah, dan lokal.

Sebab-sebab Kemajuan

Kerajaan Mughal tidak mencapai kejayaannya secara mudah. Bagaimanapun, umat Islam di masa ini termasuk golongan minoritas di tengah mayoritas Hindu. Namun Kerajaan Mughal tetap berhasil memperoleh kecemerlangan disebabkan factor-faktor sebagai berikut;

a.Kerajaan Mughal memiliki pemerintahan dan raja yang kuat. Politik toleransi dinilai dapat menetralisir perbedaan agama dan suku bangsa, baik antara Islam-Hindu, Ataupun India-non India (Persia-Turki).
b.Hingga Pemerintahan Aurangzeb, rakyat cukup puas dan sejahtera dengan pola kepemimpinan raja dan program kesejahteraannya.
c.Prajurit Mughal dikenal sebagai prajurit yang tangguh dan memiliki patriotisme yang tinggi. Hal ini diwarisi dari Timur Lenk yang merupakan para petualang yang suka perang dari Persia di Asia Tengah dan cukup dominan dalam ketentaraan.
d.Sultan yang memerintah sangat mencintai ilmu dan pengetahuan. Para "Bangsawan Mughal mengemban tanggung jawab membangun masjid, jembatan, dan atas berkembangnya kegiataan ilmiah dan sastra".

D. KEMUNDURAN DAN KERUNTUHAN KERAJAAN MUGHAL

Kerajaan Mughal mencapai puncak kejayaannya pada masa kepemimpinan Akbar (1556-1605). Generasi sesudah Akbar yaitu Jahangir (1605-1627), Shah Jahan (1627-1658), Aurangzeb (1658-1707) masih dapat mempertahankan kemajuan tersebut. Namun Raja-raja pengganti Aurangzeb merupakan penguasa yang lemah sehingga tidak mampu mengatasi kemerosotan politik dalam negeri.

Tanda-tanda kemunduran sudah terlihat dengan indikator sebagaimana berikut ;

a)Internal; Tampilnya sejumlah penguasa lemah, terjadinya perebutan kekuasaan, dan lemahnya kontrol pemerintahan pusat.
b)Eksternal; Terjadinya pemberontakan di mana-mana, seperti pemberontakan kaum Sikh di Utara, gerakan separatis Hindu di India tengah, kaum muslimin sendiri di Timur, dan yang terberat adalah invasi Inggris melalui EIC.

Dominasi Inggris diduga sebagai faktor pendorong kehancuran Mughal. Pada waktu itu EIC mengalami kerugian. Untuk menutupi kerugian dan sekaligus memenuhi kebutuhan istana, EIC mengadakan pungutan yang tinggi terhadap rakyat secara ketat dan cenderung kasar. Karena rakyat merasa ditekan, maka mereka, baik yang beragama Hindu maupun Islam bangkit mengadakan pemberontakan.

Mereka meminta kepada Bahadur Syah untuk menjadi lambang perlawanan itu dalam rangka me¬ngembalikan kekuasaan kerajaan. Dengan demikian, terjadilah perlawanan rakyat India terhadap kekuatan Inggris pada bulan Mei 1857 M. Perlawanan mereka dapat dipatahkan dengan mudah. Inggris kemudian menjatuhkan hukuman yang kejam terhadap para pemberontak. Mereka diusir dari kota Delhi, rumah-¬rumah ibadah banyak yang dihancurkan, dan Bahadur Syah, raja Mughal terakhir, diusir dari istana (1858 M). Dengan demikian berakhirlah sejarah kekuasaan dinasti Mughal di daratan India.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan kekuasaan dinasti Mughal mundur dan membawa kepada kehancurannya pada tahun 1858 M yaitu:

1.Terjadi stagnasi dalam pembinaan kekuatan militer sehingga operasi militer Inggris di wilayah-wilayah pantai tidak dapat segera dipantau oleh kekuatan maritim Mughal.
2.Kemerosotan moral dan hidup mewah di kalangan elite politik, yang mengakibatkan pemborosan dalam penggunaan uang negara.
3.Pendekatan Aurangzeb yang terlampau "kasar" dalam melak¬sanakan ide-ide puritan dan kecenderungan asketisnya, sehingga konflik antaragama sangat sukar diatasi oleh sultan¬-sultan sesudahnya.
4.Semua pewaris tahta kerajaan pada paro terakhir adalah orang-orang lemah dalam bidang kepemimpinan.

D. PENUTUP

Toynbee menyatakan setiap kebudayaan yang dewasa memiliki empat tahap hidup: lahir, tumbuh, runtuh, dan silam. Kerajaan Mughal telah melewati konsepsi itu. Namun Kerajaan Mughal tidak mungkin lepas dari sejarah Islam sekaligus sejarah India, karena kerajaan ini merupakan warisan dua peradaban besar tersebut. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa :

1.Islam telah mewariskan dan memberi pengayaan terhadap khazanah kebudayaan India. Sepertinya tepat yang ditulis oleh Roger Garaudy bahwa "Islam telah membawakan kepada manusia suatu dimensi transenden (ketuhanan) dan dimensi masyarakat (umat) .
2. Dengan hadirnya Kerajaan Mughal, maka kejayaan India dengan peradaban Hindunya yang nyaris tenggelam, kembali muncul.
3.Kemajuan yang dicapai Kerajaan Mughal telah memberi inspirasi bagi perkembangan peradaban dunia baik politik, ekonomi, budaya dan sebagainya. Misalnya, politik toleransi (sulakhul), system pengelolaan pajak, seni arsitektur dan sebagainya.
4.Kerajaan Mughal telah berhasil membentuk sebuah kosmopolitan Islam-India daripada membentuk sebuah kultur Muslim secara eksklusif.
5.Kemunduran suatu peradaban tidak lepas dari lemahnya kontrol dari elit penguasa, dukungan rakyat dan kuatnya sistem keamanan. Karena itu masuknya kekuatan asing dengan bentuk apapun perlu diwaspadai.


Selengkapnya...

Al-Qur'an - Hadits dan Supervisi Psikologis

Oleh : Drs. H. Syamsir Roust, M.Ag

Al-Quran dan hadis di samping merupakan sumber dan dalil hukum, juga merupakan sumber nilai-nilai normatif dan konsep-konsep kehidupan. Al-Quran adalah kalam Allah Swt. yang mutlak benar dan dan mengandung pokok-pokok ajaran Islam dan berfungsi sebagai petunjuk dan pedoman bagi umat manusia dalam mecapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat nanti. Sementara hadis adalah perkataan, perbuatan dan ketetapan Rasulullah SAW. dan berfungsi sebagai penjelasan dan penjabaran dari kandungan Al-Quran.

A. Pendahuluan

Di antara petunjuk Al-Quran terhadap manusia adalah menginformasikan bahwa kedudukan manusia di muka bumi di samping sebagai hamba Allah yang senantiasa beribadah kepada-Nya juga sebagai khalifah Allah yang diberi tugas mendidik dan memelihara alam semesta untuk kesejahteraan dan kebahagiaan hidup manusia.
Untuk terlaksananya tugas-tugas manusia sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi, Allah telah memberikan seperangkat potensi yaitu potensi jasmani dan potensi rohani (kejiwaan). Potensi rohani mencakup fitrah yang suci, nafs, roh dan akal.
Meskipun manusia telah diberi seperangkat potensi, namun dalam realitas sosialnya, akibat pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengarah kepada yang negatif (ingat pengaruh positifnya cukup banyak sekali) maka manusia dihinggapi oleh penyakit jiwa yang disebut oleh Rasulullah dengan penyakit wahn yaitu penyakit terlalu cinta terhadap kehidupan dunia dan takut menghadapi kematian. Penyakit cinta dunia ini telah dijabarkan oleh para ahli dengan munculnya kecendrungan terhadap pola hidup materialistik (rakus dan tamak), individualistik (mementingkan diri sendiri dan hilang kepekaan sosial), ego-sentris (keangkuhan dan kesombongan), hedonistik-erotik (cinta hiburan yang membangkitkan nafsu syahwat dan maksiat) dan trasentalisasi agama (lari dari nilai-nilai agama). Akibat dari penyakit jiwa ini, manusia tidak lagi berperan sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya di muka bumi yaitu mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan dan kebahagian, tetapi telah menjadi petualang-petualang yang berbuat kebinasaan dan pertumpahan darah, merusak alam dan ekosistem, menimbulkan kegelisahan dan keresahan dan kesengsaraan bagi manusia lain, bahkan terpuruk ke dalam rawa-rawa kemiskinan, kebodohan dan kejumudan.
Untuk terlaksananya fungsi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah, maka seluruh perangkat potensi perlu diaktifkan dan dikembangkan sesuai dengan tuntunan Al-Qur an dan hadis dengan suatu sistem yang disebut dengan sistem pendidikan kejiwaan. Berikut ini akan dikemukakan konsep pendidikan kejiwaan dalam perspektif hadis dengan kisi-kisi, pengertian konsep pendidikan kejiwaan, tujuan pendidikan kejiwaan, materi pendidikan kejiwaan, dan metoda pelaksanaannya.

B. Pengertian Konsep Pendidikan Kejiwaan

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan WJS. Poerwadarminta (1976:520) kata konsep berarti rancangan rancangan atau buram. Konsepsi berarti pengertian, pendapat (cita-cita) yang telah ada di pikiran. Dalam kaitan penulisan ini dipergunakan pengertian rancangan dan pengertian.
Pendidikan berasal dari kata didik, artinya perbuatan, cara dan hal mendidik Berkaitan dengan penulisan ini dipergunakan pengertian perbuatan dan hal mendidik.
Menurut Ramayulis (2006: 18) pendidikan adalah segala usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, sekolah, masayarakat dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan pengajaran dan latihan yang diselenggarakan di lembaga pendidikan formal (sekolah) dan non formal (masyarakat) dan in-formal (keluarga) dan dilaksanakan sepanjang hayat, dalam rangka mempersiapkan peserta didik agar berperan dalam berbagai kehidupan .

Kejiwaan, menurut Poerwardaminta, (1976:421) berasal dari kata jiwa. Kata jiwa berarti seluruh kehidupan batin manusia, jadi keseluruhan yang terjadi di perasaan batin, pikiran, angan-angan, dsb). Sedangkan kejiwaan, berarti kebatinan dan kerohanian.
Jiwa (rohani) Abdul Rahman Shaleh-Muhbib Abdul Wahab, (2004 : 54 s.d.60) memiliki unsure-unsur yang mencakup fitrah yang suci, nafs, roh dan akal. Fitrah yaitu kejadian manusia sejak semula atau pembawaan sejak lahir yakni potensi beragama yang lurus, sementara nafs adalah sisi dalam diri manusia yang berpotensi baik dan buruk, qalb adalah wadah dari pengajaran, kasih sayang, takut dan keimanan. Ruh, hanya ada pada ilmu Allah, tetapi dia memberikan kekuatan dan semangat, sedangkan akal adalah dorongan untuk memahami, dan menggambarkan sesuatu, dan daya mengambil pelajaran dan hikmah.
Dari uraian di atas pengertian konsep pendidikan kejiwaan adalah, segala rancangan dan pengertian pendidikan yang berkaitan dengan kerohanian dalam pandangan hadis.

C. Tujuan Pendidikan Kejiwaan

Tujuan pendidikan kejiwaan (rohani) dalam Islam menurut Abdurrahman Saleh Abdullah (2005:143) yang mengutip pendapat Muhammad Qututhb dan Sayid Hawwa, adalah memadukan dan meningkatkan pearanan fitrah dan ruh. Eksistensi ruh bagi manusia mampu mengangkat derajataini secara implisit. Dalam surat al-Baqarah ayat 10 menyebutkan orang-orang yang bermuka dua (munafik) yang mempunyai penyakit dalam hatinya. Pemurnian dan penyucian diri manusia secara individual dari sikap negatif merupakan prioritas utama. Dalam surat Al-Baqarah ayat 126 disebutkan kata tazkiyah yang ditafsirkan dengan makna purifikasi sikap disebutkan dalam ajaran hikmah sebagai fungsi utama bagi Nabi.

Di dalam Al-Qur an surat Allah berfirman:

Artinya; “Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensucikan dirinya, dan yang berzikir menyebut nama Tuhannya (Allah) kemudian dia shalat. Tetapi kamu terpengaruh dengan kehidupan dunia, sedangkan kehidupan akhirat jauh lebih baik dan abadi”

D. Materi Pendidikan Kejiwaan

Untuk mencapai tujuan pendidikan kejiwaan, maka sesuai dengan uraian pada pendahuluan yang berisikan permasalahan kejiwaan di era globalisasi yaitu berjangkitnya penyakit al-Wahn (terlalu cinta terhadap kehidupan dunia dan takut menghadapi kematian. Kemudian, dari penyakit kejiwaan ini berjangkit pula penyakit tamak (rakus), berbuat kezaliman (al-Zhulmu) dan lain-lain yang merusak, maka materi pendidikan kejiwaan harus diarahkan kepada macam-macam penyakit jiwa dan cara-cara mengobatinya. Berikut ini dikemukakan hadis Rasulullah yang berkenaan dengan penyakit kejiwaan ini.

1. al-Wahn (Cinta dunia dan takut mati)
Kata Rasulullah dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud.
Artinya : “Dikhawatirkan nanti umat Islam akan diperebutkan oleh musuh-musuh sebagaimana mereka menjarah makanan yang terhidang di atas meja. Sahabat bertanya kepada Rasulullah, apakah pada waktu itu, umat Islam sedikit sekali wahai Rasulullah?. Rasulullah menjawab, bukan, bahkan pada waktu itu jumlah kamu banyak sekali (mayoritas secara kuantitas), namun secara kualias tidak ubahnya seperti buih yang terapung-apung dipermukaan air yang mudah sekali dihanyutkan. Sehingga dalam kondisi seperti ini Allah mulai mencabut rasa gentar dari hati musuh-musuh kamu. Sebaliknya, Allah mulai mendatangkan penyakit kejiwaan yaitu al-Wahn ke dalam diri kamu. Sahabat kembali bertanya; “Apa pula yang dimaksud dengan penyakit al-Wahn Ya Rasulullah? Rasulullah menjawab, yaitu suatu macam penyakit jiwa yang ditandai dengan cinta yang berlebihan terhadap kehidupan dunia, dan benci atau takut terhadap kematian”. H.R. Abu Daud
Dalam hadis yang lain Rasulullah berkata :

Artinya : “Abu Said Al-Khudhari berkata : Bersabda Rasulullah SAW ; sesungguhnya dunia indah dan manis, dan Allah akan menyerahkan kepada kamu, maka bagaimana kamu berbuat padanya. Maka berhati-hatilah kamu terhadap godaan dunia dan godaan perempuan” (H.R. Muslim)
Untuk menghindari penyakit cinta dunia adalah melatih diri dengan sikap qana’ah atau rela menerima apa yang dianugerahkan oleh Allah sesuai dengan sabda Rasulullah :

Artinya : “Milikilah sifat qana’ah, karena qana’ah itu harta yang tidak pernah habis-habisnya” (H.R. Bukhari)
Di samping melatih diri dengan sifat qana’ah, membina kesadaran diri bahwa kekayaan harta bukanlah kekayaan yang sebenarnya, sebagaimana kata Rasulullah :
Artinya : “Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati (jiwa)” (H.R. Bukahri dan Muslim)
Selanjutnya dibiasakan melihat orang yang rendah dari segi kekayaan sebagaimana sabda Rasulullah SAW.

Artinya : “Lihatlah orang yang di bawahmu dan janganlah melihat orang yang di atasmu, karena itu lebih tepat, supaya kamu tidak meremehkan nikmat yang dikaruniakan Allah kepada kamu” (H.R. Muslim)

2. Tamak dan rakus
Penyakit cinta dunia muncul dalam berbagai pola kehidupan di antaranya tamak (rakus). Tamak yaitu, sifat untuk memiliki sesuatu secara berlebih-lebihan tanpa aa puas-puasnya. Rasulullah melarang untuk berlaku tamak Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah:
Artinya : “Dari Ibnu Abbas dan Anas dari Nabi SAW. Seandainya cucu Adam memperoleh dua lembah yang berisi emas, niscaya mereka akan meminta tiga lembah. Tidak akan pernah penuh mulut cucu Adam kecuali ditutup dengan tanah (meninggal dunia). Dan Allah akan menerima tobat bagi yang bertobat”. H.R.Abu Daud.

Bahaya tamak diantaranya, jatuhnya martabat manusia selaku hamba Allah, dapat melalaikan kewajiban kepada Allah, dapat merusak kerukunan dan kedamaian, dan membawa kepada kemiskinan.
Cara mengobati penyakit tamak di antaranya, mengambil pelajaran dari peristiwa yang berlalu seperti kisah Qarun dan Tsa’labah dan membiasakan hidup qana’ah (sederhana).
3. al-Dzulmu (Berbuat zhalim)
Di samping tamak dan rakus, muncul pula penyakit jiwa yang dinamakan Zhalim(suka menganiaya) yaitu perbuatan yang merugikan orang lain, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Furqan ayat 19.

Artinya : “Barang siapa diantara kamu berbuat aniaya Kami akan merasakan azab yang amat besar”
Rasulullah mengatakan orang yang menganiaya dan yang teraniaya harus diberi bantuan, yang menganiaya diberi petunjuk dan bimbingan, dan yang teraniaya diberi nasehat sabar.

Artinya : “Bantulah saudara engkau yang menganiaya dan yang teraniaya”. (Muttafaqun ‘alaihi). (H.R. Bukhari dan Muslim)
Cara mengobati penyakit zhalim diantaranya, memberi hukuman terhadap orang yang berbuat zhalim, menunjukkan akibat buruk orang dizalimi dan menjauhkan diri bersahabat dengan orang zhalim, dan membantu orang-orang yang teraniaya.

4. Itba’ul Hawa (memperturutkan hawa nafsu)
Memperturutkan hawa nafsu artinya memperturutkan keinginan dengan melanggar ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman dalam surat Al-Furqan ayat 43.
Artinya : “Tidakkah engkau perhatikan orang yag menjadikan haw nafsunya sebagai Tuhan, apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya”
Dalam surat Al-Jasyiyah ayat 23 Allah berfirman :.
“Maka pernah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmunya, dan Allah telah mengunci mati pendengarannya dan hatinya dan telah menutup penglihatannya. Dan siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat. Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran”

Macam-macam hawa nafsu, nafsu ammarah (mengajak manusia berbuat mesum), nafsu lawwamah (nafsu yang tidak pernah merasa puas dalam setiap perbuatan, nafsu muthmainnah (nafsu yang tenang yang dipanggil oleh Allah dengan penuh keredhaan).
Rasulullah pernah berkata : “Ada dua perkara yang sangat aku cemaskan padamu, yaitu mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Adapun mengikuti hawa nafsu akibatnya menyimpangkan kamu dari kebenaran, dan panjang angan-angan kamu akan dipukau oleh dunia”. (H.R. Abu Daud)
5. Ifsad (Berbuat kebinasaan)
Berbuat kebinasaan yaitu menganiaya orang lain, berbuat kerusakan dalam masyarakat, senang mengadu domba, menghasut dan melancarkan fitnah serta menimbulkan kerusakan dalam masyarakat.

Ifsad termasuk penyakit hati yang tercela dan dilarang oleh agama sebagaimana firman Allah dalam surat Al-‘Araf ayat 52.

Artinya : “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi sesdudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang yang berbuat baik.
Selanjutnya Rasulullah pernah berkata : Abu Mas’ud Al-Badri r.a. bverkata :
“Saya sedang memukul budakku dengan cemeti, mendadak terdengar dari belakang, Ketahuilah Abu Mas’ud. Karena sedang marah saya tidak mengerti suara itu. Dan ketika telah dekat kepada ku tiba-tiba Rasulullah berkata; Ketahuilah Abu Mas’ud bahwa Allah kuasa kau lebih dari kekuasaanmu atas budak sahaya ini, maka saya berkata sesungguhnya saya tidak akan memukul hamba sahaya lagi sesudah ini. Dalam lain riwayat, maka jatuhlah cemeti itu dari tanganku, dari hebatnya Rasulullah Saw,. Dalam riwayat lain saya berkata dia merdeka karena Allah Ya Rasulullah, bersabda Nabi Saw. Ingatlah itu, niscaya akan menyentuh kau dari api neraka” (H.R.Muslim).
Cara mengobati penyakit ifsad adalah dengan mengambil iktibar dari akibat-akibatnya.

Untuk mengobati penyakit kejiwaan yang membawa kehancuran di atas, antara lain :

1. Memantapkan rasa mahabbah (kecintaan kepada Allah)
Mahabbah yaitu kecintaan kepada Allah dengan sepenuh hati, dan diwujudkan dengan ketaatan yang tulus terhadal agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.
Allah SWT. telah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 31.
Artinya : “Katakanlah, jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku, Allah akan mencintai kamu”.
Rasulullah telah menganjurkan agar meningkatkan kemantapan iman sehingga terasa manisnya iman. Kata Rasulullah :
Artinya : “Ada tiga macam resep jika ada ketiganya dia akan merasakan manisnya iman. 1) Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi dari kecintaan terhadap segalanya, 2) Dia mencintai manusia hanya karena Allah semata, 3) Merasa jijik kembali kepada kafir sebagaimana jijiknya dilemparkan kepada api”. (H.R. Bukhari)

2. Memantapkan ketakwaan kepada Allah

Di samping memantapkan rasa kecintaan kepada Allah juga meningkatkan rasa ketakwaan kepada-Nya.
Takwa yaitu, melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya baik secara sembunyi maupun secara terang-terangan. Unsur-unsur takwa menurut Afif Fatah Attabarah, yaitu, menjauhkan diri dari perbuatan yang dimurkai oleh Allah, kemudian perbuatan yang merugikan diri sendiri dan merugikan orang lain.
Rasulullah pernah berkata :
Artinya : “Taqwalah kamu kepada Allah dimana saja kamu berada. (H.R. Tabrani)
Selanjutnya Rasulullah pernah pula memberi nasehat kepada seorang laki-laki yang meminta nasehat kepadanya :

Artinya : “Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW. seraya berkata : Yaa Nabi Allah, berilah aku nasehat (usiat), Rasulullah menjawab; bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya takwa itu adalah kumpulan dari segala kebaikan”.
3. Taubat
Yaitu perbuatan yang dilakukan seseorang dalam menyesali segala perbuatan dosa yang pernah ia perbuat. Biasanya perbuatan ini diakhiri dengan penyesalan, akan tetapi diikuti oleh perbuatan yang baik. Allah menganjurkan kepada manusia untuk selalu bertobat sebagaimana firman-Nya dalam surat Hud ayat 3 dan An-Nur ayat 31
Syarat-syarat tobat, menghentikan dengan segera maksiat yang dilakukan, menyesali perbuatan dosa yang telah terlanjur dilakukan, berniat dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa itu kembali. Hal-hal yang perlu dilakukan setelah tobat. Bilamana melakukan aniaya, dosa dan sebagainya hendaklah diikutkan setelah itu dengan perbuatan yang baik. Tobat harus dilakukan dengan segera setelah melakukan maksiat dan tobat itu hendaklah dengan tobat nashuha. Meyakini bahwa Allah senantiasa akan menerima tobat hambanya serta meyakini Allah maha pengampun dan Allah akan menerima tobat orang yang bersungguh-sungguh dalm bertobat Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 74.
Rasulullah juga bersabda : “Setiap anak Adam bersalah, dan sebaik-baik kesalahan adalah bertobat”. (H.R. Tarmizi, Ibnu Majah)

4. Qana’ah

Qana’ah yaitu mencukup dengan apa yang telah menjadi bagiannya, setelah berikhtiar. Jadi, qana’ah hati bukan qana’ah ikhtiar.
Qana’ah berfungsi sebagai basis menghadapi hidup, menerbitkan keseungguhan hidup dan menimbulkan energi kerja untuk mencari rezki. Jadi, giat bekerja, tekun bekerja, rajin berikhtiar, tetapi juga percaya kepada takdir yang diperoleh sebagai hasil usaha.
Dalil-dalil tentang qana’ah, firman Allah dalam surat Hud ayat 6.

Artinya : “Tidak satupun binatang yang melata di muka bumi melainkan Allah lah yang memberi rezkinya”.
Demikian pula firman Allah dalam surat Az-Zariyat 56-57.
Artinya : “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya menyembah kepadaku. Aku tidak menghendaki rezki sedikit dari mereka dan tidak menghendaki supaya mereka memberiku makan”

Rasulullah pernah berkata : “Bukannya kekayaan itu karena banyaknya harta benda tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa” (yang dimaksud dengan ghinan nafsi ialah merasa cukup dengan rezki yang diperolehnya, dan terlalu memperkaya diri dengan tidak memperhatikan dari mana datangnya rezki, seperti perbuatan orang-orang kafir.) H.R. Bukahri dan Muslim)
5. Tawadhu’
Tawadhu’ mempunyai banyak pengertian, antara lain, bersikap tenang, rendah hati, sederhana, bersungguh-sungguh dan menjauhi sikap takabur, sombong dan membangkang. Tawadhu’ juga berarti tunduk dan taat melaksanakan yang hak dan bersedia menerima kebenaran dari manapun datangnya. Lawan tawahu’ adalah takabur, sombong, congkak dan tinggi hati.
Fungsi dan hikmah tawadhu’ merupakan sarana atau jalan yang mengantar manusia ke surga sebagaimana firman Allah dalam surat al-‘Araf ayat 40.
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombonghkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak pula masuk surga sehingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang zhalim”
Rasulullah pernah bersabda ;

Artinya : “Apakah kalian ingin aku beritahukan, orang-orang yang diharamkan dikenai api neraka, atau api neraka yang diharamkan baginya? (yaitu) api neraka itu haram bagi orang yang dekat (kepada Tuhannya), merendahkan diri (tawadu’ kepadanya) yang lemah lembut dan taat. (Hadis Qudsi). Selanjutnya Rasulullah berkata : “Tawadhu’ adalah salah satu jalan untuk memperoleh derajat yang tinggi di hdapan Allah (H.R.Abu Naim
Artinya : “Barang siapa yang tawadhu’ kepada Allah, maka Allah akan mengangkat derajat di sisi Allah”. H.R. Abu Naim)
Rasulullah pernah berssabda :

Artinya : “Tawadhu’ itu tidak akan menambah seorang hamba, melainkan ketinggian, maka tadhu’lah kamu nanti Allah akan meninggikan” (H.R. Ibnu ‘Abid dunya).

6. Tawakal
Tawakal adalah perasaan dari seorang mukmin dalam memandang alam, apa yang terdapat di dalamnya tidak akan luput dari tangan Allah. Sehingga seseorang tidak perlu khawatir dalam menghadapi segala persoalan yang berada di luar kehendak dan kemampuan kita. Artinya tawakal bisa diartikan sebagai bentuk penyerahan sepenuh hati dari seseorang kepada Allah setelah melalui proses usaha yang maksimal.
Nabi bersabda :
Artinya : “Bahwasanya Nabi Saw. Ketika beliau keluar dari rumahnya, nabi berkata dengan menyebut nama Allah, Aku serahkan kepada Allah, Yaa Allah sesungguhnya kami berlindung kepada mu dari segala yang diturunkan yang mengalahkan, yang menzhalimi, yang membodohi, dan yang dibodohi kepada kami”. (H.R. Tarmizi)

Dengan bertawakal, seseorang tidak lagi menjadi takut, khawatir terhadap segala sesuatu yang ada dalam diri maupun yang ditinggalkannya. Karena semuanya telah diatur oleh Allah dan memberi rezki kepada seluruh makhluk di dunia, hatinya tidak beralasan kalau pada akhirnya seseorang harus dengan kehilangan sesuatunya.
Umar Bin Khatab berkata : “Dari Rasulullah SAW, bahwasanya andaikan kalian semua tawakal, niscaya Allah akan memberikan rezki sebagaimana Allah memberi rezki kepada burung keluar dengan perut kosong dan keluar dengan perut kenyang” (H.R. Tarmizi).
7. Sabar
Sabar menurut Imam Al-Ghazali adalah, menerima segala penderitaan dan tabah menghadapi hawa nafsu. Menurut DR. Ahmad Muhammad Al-Huffi, sabar dapat diartikan, taat mengerjakan ibadah, memelihara agama, membela tanah air, bekerja dengan tekun dalam mencari rezki, menegakkan kebenaran dan memberantas kejahatan, menerima dengan rela atas takdir yang datang dari Allah SWT.
Kedudukan sabar dalam iman setingkat dengan kedudukan ruh dengan tubuh, melaksanakan ibadah kepada Allah dengan penuh pengabdian dan taat mengerjakan, merupakan sabar dalam melakukan ibadah. Firman Allah dalam surat Al-Ahqaf ayat 35.
Artinya : “Maka sabarlah kamu sepertti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul yang bersabar dan janganjlah kamu meminta disegerakan azab bagi mereka. Pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal di dunia melainkan sesaat di siang hari, (inilah suatu pelajaran yang cukup, maka tidaklah dibinasakan orang-orang yang fasik”.
Tidak ada seorang mukmin yang ditimpa musibah, lalu ia berkata sebagaimana yang diperintahkan Allah “Inna lillahi wa inna ilaihi rajiuun”, wahai Tuhan berilah aku pahala dalam musibah ini dan sudahilah dengan yang lebih baik kecuali Allah akan mengabulkannya” (Hadis).
E. Metode Pendidikan
Metode pengajaran pendidikan kejiwaan mengikuti metode pendidikan secara umum. Menurut Abuddin Nata (2005: 353-354) yang dirumuskan dari perbuatan Rasulullah Saw. adalah metode tabyiin yaitu :
1. Bayan al Qaul, penjelasan dengan kata-kata (ceramah)
2. Bayan bi al-fi’ili, penjelasan dengan perbuatan (demonstrasi).
3. Bayan bi al-kitabah, penjelasan dengan tulisan.
4. Bayan bi al isyarah, penjelasan dengan isyarat.
5. Bayan bi al tarki, penjelasan dengan tidak melakukan sesuatu.
6. Bayan bi al sukut ba’da al sual, penjelasan dengan diam sesudah ada pertanyaan.
7. Bayan bi al takhsish, penjelasan dengan memberikan pengkhusussan dan sebaginya.
F. Penutup
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia dijadikan oleh Allah Swt. berkedudukan sebagai hamba dan Khalifah Allah di muka bumi, dan berperan melaksanakan ibadah, mendidik, memelihara dan memakmurkan alam semesta untuk kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia. Kemudian, untuk terlaksananya peran manusia secara maksimal, Allah telah memberikan seperangkat potensi yaitu jasmani dan rohani. Potensi rohani terdiri dari unsur-unsur fitrah, nafs, roh dan akal.
Meskipun manusia telah diberi seperangkat potensi, namun karena potensi rohani tidak dikembangkan secara edukatif, maka manusia terpengaruh oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta arus globalisasi yang menyebabkan manusia dihinggapi oleh suatu macam penyakit jiwa yang disebut oleh Rasulullah SAW. dengan penyakit Wahn yaitu terlalu cinta kepada dunia dan takut mati. Akhirnya manusia tidak berperan sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi. Bahkan manusia telah bertindak sebagai petualang-petualang yang berbuat kebinasaan di darat dan dilaut, melakukan pertumpahan darah, merusak alam dan ekosistem sehingga manusia terpuruk ke dalam rawa-rawa kemiskinan, kebodohan dan kejumudan.
Untuk terlaksananya fungsi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi, manusia perlu mengembangkan potensi rohaninya dengan system pendidikan kejiwaan dengan materi memperkenalkan bermacam-macam penyakit jiwa seperti al-Wahnu (cinta dunia dan takut mati), tamak dan rakus, al-zhulmu (berbuat kezaliman) dan lain-lain. Kemudian, mengobatinya dengan memantapkan keimanan dan ketakwaan, tobat, qana’ah, tawakal, tawadhu’, sabar dan lain sebagainya yang mengaktifkan unsur-unsur kerohanian dengan mengembangkan metode tabyin yang terdiri dari ceramah, demonstrasi, tulisan, isyarat, keteladanan, dan memberikan penekanan pada hal-hal tertentu (pengkhususan.




DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Qur an al-Karim

Abdul Rahman Shaleh-Muhbib Abdul Wahab, Psikologi, Suatu Pengantar, Dalam Perspektif Islam, Jakarta : Prenada Media,2005
Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur an, Jakarta : Rineka Cipta, 2005.
Abuddin Nata dan Fauzan, Pendidikan Dalam Perspektif Hadis, Jakarta : UIN, 2005
Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adabi Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam, Jakarta : LPPI, 2005
Radhin Rahman, Intisri Pengajian Islam, Jakarta : PP. Muhammadiyah, 1994
.Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 2006
Materi Dakwah Terurai, Jakarta : Pemda DKI, 1987











































Selengkapnya...

Muhammadiyah : Organisasi Sosial Keagamaan

Oleh : Drs.H. Syamsir Roust, M.Ag

Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi mungkar berakidah Islam dan bersumber kepada Al-Qur an dan Sunnah. Persyarikatan ini berazazkan Islam dan bertujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Secara historis, organisasi ini termasuk yang tertua sesudah Syarikat Islam (1908), didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 M di Yogyakarta.


A. Pendahuluan

Sejak berdirinya Muhammadiyah dan melaksanakan fungsinya sebagai organisasi sosial keagamaan dan pendidikan, maka dalam rentang waktu yang cukup panjang dengan segala tantangan yang dihadapinya mulai dari zaman penjajahan kolonial Belanda, Jepang dan zaman kemerdekaan (orde lama, orde baru dan zaman reformasi) maka berkat rahmat Allah dan kesungguhan para pemimpinnya, Muhammadiyah masih tetap hidup, bertahan dan berkembang dengan pesat di bumi nusantara ini dengan segala amal usahanya.
Begitu banyaknya amal usaha Muhammadiyah dalam bidang kemasyarakatan, pendidikan, penyantunan anak yatim dan bidang kesehatan seorang antropolog Amerika James Peacock menyatakan bahwa apa yang dikerjakan Muhammadiyah merupakan sesuatu yang pernah dikerjakan oleh para misionaris, para pendidik dan ahli strategi dinegaranya. Muhammadiyah benar-benar menunjukkan sebagai sebuah organisasi moderen yang ada di Indonesia. Bahkan, ide Muhammadiyah juga diterima dan dikembangkan oleh umat Islam di beberapa negara tetangga dan belahan dunia. Muhammadiyah berdiri di Singapura, Malaysia, Mesir, Belanda dan Australia.
Karena itu, tidaklah mengherankan, Muhammadiyah senantiasa menjadi bahan kajian menarik dan penelitian para ahli, tidak saja oleh sarjana dalam negeri tetapi juga luar negeri, misalnya, DR. Howard M. Federspiel ilmuan dari Amerika menulis tentang Muhammadiyah dengan judul tulisannya, ”Muhammadiyah sebagai gerakan Islam Ortodoks”, Prof. DR. Mitsuo Nakamura ilmuan dari Jepang dengan judul Disertasinya, ”Matahari Terbit Dibalik Pohon Beringin”, dan Muhammadiyah Sebagai Gejala Perkotaan; Observasi Tentang Perkotaan-Pedesaan Dalam Gerakan Sosial Islam”, dan Prof. DR. Donald K. Emeson lahir di Tokyo 1940, dengan judul tulisannya ”Kritik dan Politik; Muhammadiyah Dalam Sorotan”.
Di antara kajian yang menarik dalam perjalanan sejarah Muhammadiyah yaitu bagaimana peranan dan kiprah Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan dan pendidikan di Indonesia. Bertolak dari permasalahan ini , timbul keinginan untuk melihat potret perkembangan Muhammadiyah dengan kisi-kisi sebagai berikut; sejarah ringkas berdirinya Muhammadiyah, Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan dan pendidikan, dan kesimpulan.

B. Sejarah Ringkas Muhammadiyah
Pada pendahuluan sudah dikemukakan, Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 M di Yogyakarta. Gerakan ini diberi nama Muhammadiyah oleh pendirinya dengan maksud untuk bertafa’ul (berpengharapan baik) dapat mencontoh dan meneladani jejak perjuangan SAW dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam semata-mata demi terwujudnya ’Izzul Islam wal Muslimin, kejayaan Islam sebagai idealita dan kemuliaan hidup umat Islam sebagai realita.
Berdirinya organisasi Muhammadiyah ini, menurut Ramayulis dan Samsul Nizar sebenarnya tidak terlepas dari latar belakang pendidikan kegamaan Ahmad Dahlan yang sejak kecil dididik oleh ayahnya K.H. Abu Bakar seorang imam dan khatib masjid besar Kraton Yogyakarta. Menurut Ramayulis dan Samsul Nizar pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca dan menulis, mengaji Al-Qur an dan kitab-kitab agama. Kemudian, beliau juga belajar dengan K.H. Muhammad Saleh (ilmu Fiqh), K.H. Muhsin (ilmu Nahwu), KH. R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfuz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri (qiraat al-Qur an) serta beberapa guru lainnya.
Selanjutnya Ramayulis dan Samsul Nizar mengungkapkan, setelah beberapa tahun belajar dengan gurunya beliau berangkat ke tanah suci pada tahun 1890 dan bermukim di sana selama setahun. Merasa tidak puas dengan kunjungannya itu, pada tahun 1903 ia berangkat kembali dan menetap di sana selama dua tahun. Selama berada di Mekkah ini ia banyak bertemu dan bermuzakarah dengan sejumlah ulama Indonesia yang bermukim disana, di antaranya Syekh Muhammad Khatib Al-Minangakabawi, Kiyai Nawawi al-Banteni, Kiyai Mas Abdullah dan Kiyai Fakih Kembang. Pada saat itu pula ia mulai berkenalan dengan ide-ide pembaharuan yang dilakukan melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh refomer Islam seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan lain sebagainya. Melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh ulama reformer tersebut telah membuka wawasan Dahlan tentang universalitas Islam. Ide-ide reinterpretasi Islam dengan gagasan kembali kepada Al-Qur an dan Sunnah.
Dari sumber-sumber di atas dapat dipahami, bahwa K.H. Dahlan berasal dari lingkungan terpelajar. Pendidikan agama diterimanya dari orang tuanya dan dengan guru-guru setempat. Hal ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan jiwa dan pemikiran dan pandangan ke depannya. Apalagi setelah pendidikannya dilanjuitkan kepada pendidikan yang lebih tinggi yaitu rihlah ilmiah ke Mekkah. Di sini dia menelaah pemikiran tokoh-tokoh pembaharu Timur Tengah, sehingga wawasannya semakin luas. Dengan luasnya padangan keagamaan yang dimilikinya bertambah pula kesadarannya bahwa kemunduran umat Islam disebabkan oleh pola berfikir statis, dan bercampurnya amalan Islam dengan syirik takhyul, bid’ah dan khurafat. Hal-hal seperti inilah yang mendorong Ahmad Dahlan melakukan pembaharuan di Indonesia.
Berdasarkan paparan di atas, benarlah apa yang dikemukakan oleh Ramayulis dan Samsul Nizar bahwa ide pembaharuan yang berhembus di Timur Tengah sangat menggelitik hatinya, apalagi bila melihat kondisi umat Islam di Indonesia yang sngat stagnan. Untuk itu, atas saran beberapa orang murid dan anggota Budi Utomo, maka Dahlan merasa perlu merealisasikan ide-ide pembaharuannya. Untuk itu, pada tanggal 18 November 1912 beliau mendirikan organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta.
Di samping organisasi Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan juga mendirikan organisasi wanita yaitu ’Aisyiyah pada tahun 1917. Organisasi ini merupakan wadah untuk kegiatan perempuan dalam memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam secara murni dan konsekwen. Berdirinya organisasi ini diawali dengan sejumlah pengajaran yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan mengenai perintah agama. Kursus tersebut diadakan dalam perkumpulan ”Sopo Tresno” pada tahun 1914. Perkumpulan inilah nanti yang berganti nama dengan ’Aisyiyah.
Dari sumber sejarah ini, semakin tampak wawasan pemikiran Ahmad Dahlan bahwa sejak awal abad ke-20, masih dei bawah penjajahan kolonial Belanda, dan ditengah-tengah masyarakat yang masih berpikir tradsional, belum ada kemajuan, dan emansipasi wanita, tetapi Ahmad Dahlan telah berfikir tentang kemajuan perempuan, bagaimana perempuan dapat hidup setara dengan laki-laki.
Secara garis besar ada dua faktor yang mempengaruhi kelahiran Muhammadiyah, faktor subjektif yaitu ingin melaksanakan hasil pemahaman K.H.Ahmad Dahlan terhadap frrman Allah surat An-Nisa’ ayat 82 dan surat Muhammad ayat 24 serta surat Ali Imran ayat 104. Faktor objektif yang bersifat internal dan eksternal. Faktor objektif internal yaitu kondisi kehidupan masyarakat Indonesia antara lain; ketidakmurnian pengamalan Islam akibat tidak dijadikan Al-Qur an dan as-Sunnah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagian besar umat Islam Indonesia. Kemudian, lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam belum mampu menyiapkan generasi yang siap mengemban misi selaku Khalifah Allah di atas bumi. . Karena itu, Muhammadiyah menitik beratkan gerakannya kepada sosial keagamaan dan pendidikan.
Adapun faktor objektif yang bersifat eksternal antara lain, semakin meningkatnya Gerakan Kristenisasi di tengah-tengah masyarakat Indonesia, dan penetrasi bangsa-bangsa Eropah, terutama bangsa Belanda ke Indonesia. Di samping itu, politik kolonialis Belanda mempunyai kepentingan terhadap penyebaran agama Kristen di Indonesia. Dengan program ini akan didapat nilai ganda yaitu di samping bernilai keagamaan dalam arti telah dapat menyelamatkan domba-domba yang hilang, juga bernilai politis, karena betapa eratnya hubungan agama (Kristen) dengan pemerintahan (Hindia Belanda) setelah penduduk bumi putra masuk Kristen akan menjadi warga-warga yang loyal lahir dan batin bagi pemerintah.
K.H. Sahlan Rosidi secara rinci menyebutkan faktor-faktor yang mendorong K.H.Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah, ialah: taklid yang begitu membudaya dalam masyarakat Islam, khurafat dan syirik telah bercampur dengan akidah, sehingga kemurnian akidah sudah tidak tampak lagi, bid’ah yang terdapat pada pengamalan ibadah, kejumudan berfikir dan kebodohan umat, sistem pendidikan yang sudah tidak relevan, timbulnya kelas elit intelek yang bersikap sinis terhadap Islam dan orang Islam, rasa rendah diri di kalangan umat Islam, tidak ada program perjuangan umat Islam yang teratur dan terencana khususnya dalam pelaksanaan dakwah Islam, tidak ada persatuan umat Islam, kemiskinan umat bila dibiarkan akan membahayakan karena mudah dirongrong oleh golongan kafir yang kuat ekonominya, politik kolonialisme Belanda yang menekan dan menghambat hidup dan kehidupan umat Islam di Indonesia, politik kolonialisme Belanda menunjang kristenisasi di Indonesia. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, dan dorongan orang-orang Budi Utomo dan Syekh Ahmad Syurkati K.H.Ahmad Dahlan dengan dibantu oleh murid-muridnya, mendirikan organisasi yang diberi nama Muhammadiyah. Menurut catatan Alfian, ada sembilan orang tokoh pendiri Muhammadiyah yaitu; K.H. Ahmad Dahlan, H. Abdullah Siradj, Raden Ketib Cendana Haji Ahmad, Haji Abdurrahman, R. H. Sarkawi, H. Muhammad, R. H. Djaelani, H. Anis, dan H. Muhammad Fakih.
Dari data sejarah di atas, dapat dipahami bahwa setting sosial yang mengitari Ahmad Dahlan telah memberikan inspirasi cemerlang untuk mendirikan Muhammadiyah. Dalam hal ini benarlah apa yang dikatakan oleh Ramayulis bahwa berdirinya Muhammaiyah di samping merupakan hasil dan telaah terhadap ajaran Al-Qur an juga tidak terlepas dari kondisi sosial masyarakat pada waktu itu.
Dilihat dari segi gerakannya, organisasi Muhammadiyah sampai tahun 1917 belum membuat pembagian kerja yang jelas. Hal ini disebabkan wilayah kerjanya hanya Yogyakarta saja. Dalam kurun ini K.H. Ahmad Dahlan sendiri aktif berdakwah, mengajar di sekolah Muhammadiyah dan memberikan bimbingan kepada masyarakat seperti shalat dan bantuan kepada fakir miskin
Kemudian, pada tahun-tahun berikut, Muhammadiyah mengembangkan sayap operasinya bahkan pada tahun 1921 telah meliputi seluruh Indonesia, Cabang utama dan pertama yang berdiri di luar pulau Jawa adalah Minangkabau sekitar tahun 1923, Bengkulu, Banjarmasin dan Amuntai sekitar tahun 1927 dan Aceh bersamaan dengan Makasar sekitar tahun 1929.
Berdasarkan paparan di atas, ternyata gerakan Muhammadiyah di awal berdirinya masih lamban. Namun, berkat hidayah Allah dan ketekunan para pemimpinnya, Muhammadiyah telah mulai meluaskan missinya keluar pulau Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa ide pembaharuan Muhammadiyah sudah mulai diterima oleh masyarakat luas dan melintasi wilayah Nusantara ini. Bahkan pada pada saat ini ide Muhammadiyah diterima oleh umat Islam di negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia. Lebih dari itu Muhammadiyah juga berdiri di Mesir, Belanda dan Australia.
Adapun tokoh-tokoh yang pernah menduduki jabatan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah sampai masa Reformasi sebagai berikut :
1. K.H. Ahmad Dahlan (1912-1923)
2. K.H. Ibrahim (1923-1932)
3. K. H. Hisyam (1932-1936)
4. K.H. Mas Mansoer (1936-1942)
5. Kibagus Hadikoesoemo (1942-1953)
6. A.R. Sutan Mansyur (1953-1959)
7. H.M. Yunus Anis (1959-1962)
8. H.A. Badawi (1962-1968)
9. Fakih Usman (1968-1971)
10. K.H. H.AR. Fakhruddin (1971-1974)
11. K.H. H.AR. Fakhruddin (1974-1978)
12. K.H. H.AR. Fakhruddin (1978-1985)
13. K.H. H.AR. Fakhruddin (1985-1990)
14. K.H. Ahmad Azhar Basyir, MA (1990-1995)
15. Prof. DR. H. Amien Rais (1995-2000)
16. Prof. DR. H. Ahmad Syafii Ma’arif(2000-2005)
17. Prof. Dr. H. M. Din Syamauddin (2005-2010)

Berdasarkan data di atas sepanjang sejarah Muhammadiyah sudah tujuh belas kali alih kepemimpinan. Hal ini menunjukkan Muhammadiyah adalah organisasi yang cukup tua dan hidup tiga zaman, zaman kolonial Belanda, zaman Jepang dan zaman kemerdekaan. Sudah barang tentu organisasi ini sudah banyak pengalaman dan piawai menghadapi segala tantangan. zaman.

C. Muhammadiyah Sebagai Organisasi Sosial Keagamaan

1. Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam, Dakwah Amar Makruf Nahi Mungkar dan Tajdid

Prof. Dr. H. A. Mukti Ali ketika mengantarkan buku Dr. Mitsuo Nakamura ”Matahari Terbit di Balik Pohon Beringin” menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan serba wajah (dzuwujuh), sebutan ini dimaksudkan untuk menunjukkan keragaman aktifitas Muhammadiyah. Seperti dimaklumi, Muhammadiyah menyelenggarakan aktifitas dalam bidang tabligh, pendidikan, ekonomi, dan juga politik. Dengan demikian, Muhammadiyah di kalangan luar dipandang sebagai organisasi keagamaan, organisasi sosial, organisasi pendidikan. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan, Muhammadiyah tercatat di Departemen Agama, Departemen Pendidikan, Departemen Sosial. Bahkan pada tahun 1966 lewat surat Wakil Perdana Menteri Bidang Sospol dan Menddagri, Muhammadiyah dinyatakan sebagai ”orsospol” , yakni organisasi massa yang mempunyai fungsi politik riil dalam masyarakat Indonesia.
Begitu luasnya bidang garapan persyarikatan Muhammadiyah yaitu seluruh aspek kehidupan manusia yang berlandaskan ajaran Islam, maka dalam Muktamar Muhamadiyah ke-41 di Solo yang berlangsung dari tanggal 7-11 ditetapkanlah identitas Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, dakwah amar makmur nahi mungkar berakidah Islam dan bersumber kepada Al-Qur an dan sunnah.
Gerakan Islam yaitu gerakan yang kelahirannya diilhami dan disemangati oleh ajaran Al-Qur an dan seluruh geraknya tidak ada motif lain kecuali semata-mata untuk merealisasikan prisnip-prinsip ajaran Islam. Jadi, segala apa yang dilakukan tidak lepas dari ajaran Islam. Berdasarkan pengertian ini, pantaslah Muhammadiyah disebut dengan gerakan Islam, karena kelahirannya merupakan hasil konkret dari telaah KHA. Dahlan terhadap al-Qur an al-Karim dan pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh pembaharu Timur Tengah seperti Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Ibn Taiymiyah, Syekh Muhammad Abduh Rasyid Ridho dan lain-lain, serta didorong oleh teman-teman dari Budi Utomo, maka K.H. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah. Disamping itu, kelahiran Muhammadiyah juga sebagai reaksi terhadap kondisi kehidupan sosial bangsa dan sosial keagamaan kaum muslimin di Indonesia yang pada waktu itu meringkuk di bawah penjajahan kolonial Belanda dan penjajahan pemikiran yang ditandai dengan meraja lelanya perbuatan syirik, takhyul, bid’ah dan khurafat dan dhidup dalam kemiskinan, kemelaratan dan kebodohan.
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah, artinya Muhammadiyah mengajak dan menyeru umat manusia kepada ajaran Islam dan melaksanakannya dalam kehidupan nyata. Dakwah menurut K.H. Ahmad Dahlan adalah kewajiban setiap individu, karena dakwah merupakan tuntutan ajaran Islam. dalam pengertian rekonstruksi sosial meliputi seluruh aspek kehidupan, ekonomi, politik, sosial dan budaya. Di samping itu dakwah juga dalam pengertian pembebasan, yaitu membebaskan umat manusia dari berbagai belenggu penjajahan, penjajahan dari kekafiran, syirik, kebodohan dan kejumudan. Dakwah dalam pengertian ini juga merupakan hasil dari telaah dan pendalaman KHA. Dahlan terhadap firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 104. Bahkan ayat ini merupakan khittah dan langkah strategis dasar perjuangannya, yaitu mengajak, menyeru kepada Islam dan mengajak kepada yang makruf dan mencegah perbuatan yang mungkar.
Oleh karena dakwah Muhammadiyah tidak saja dalam bentuk lisan, tulisan tetapi juga dalam bentuk dakwah bil hal (perbuatan), maka Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah, mulai dari taman-kanak sampai ke Perguruan Tinggi, mulai dari klinik dan rumah bersalin sampai mendirikan rumah sakit, mulai dari santunan fakir miskin dan anak yatim sampai mendirikan panti-panti asuhan. Semuanya itu adalah wujud dan manifestasi dari dakwah Islam dan juga berfungsi sebagai dakwah.
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid atau gerakan reformasi, hal ini dibenarkan oleh Bernard Vlekke dan Wertheim misalnya, yang mengkategorikan Muhammadiyah sebagai gerakan puritan yang menjadikan fokus utamanya ”Pemurnian atau pembersihan ajaran-ajaran Islam dari sinkritisme dan belenggu formalisme. Membersihkan pengamalan umat dari syirik dan penyakit TBC (takhyul, bid’ah dan churafat). Di samping itu, Muhammadiyah juga melakukan pembaharuan, yaitu pembaharuan dalam pemahaman dan pengamalan Al-Qur an dan As-Sunnah. Pembaharuan yang dimaksud di sini bukan bukan memperbaharui substansi, tetapi memperbaharui metode pemahaman dan pengamalan, seperti penyantunan terhadap fakir miskin, anak yatim, cara pengelolaan zakat, pengelolaan pendidikan dan rumah sakit, dan lain sebagainya. Untuk membedakan antara keduanya, tajidid dalam pengertian pemurnian dapat disebut dengan purifikasi, dan tajdid dalam pengertian pembaharuan disebut dengan reformasi.
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa tidaklah mengherankan apa yang dikemukakan oleh A. Mukti Ali bahwa Muhammadiyah adalah organisasi dzuwujuh (multi dimensi), karena kegiatan-kegiatan Muhammadiyah hampir meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Di samping itu, Muhammadiyah Muhammadiyah sampai saat sekarang masih tetap eksis dan tetap berkembang.
Di antara faktor penyebab Muhammadiyah masih tetap berkembang adalah karena ciri dan sifat Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi mungkar dan tajdid. Tambahan lagi karena pemikiran keagamaan dalam Muhammadiyah hanya berdasarkan dan berpegang teguh kepada Al-Qur an dan Sunnah sebagai sumber pokok. Muhammadiyah juga gigih mempertahankan bahwa pintu ijtihad masih tetap terbuka dan menolak ide tentang taklid, tetapi bukan pula berarti Muhammadiyah menolak mazhab. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Deliar Noer, Muhammadiyah tidak membabi buta menolak pendapat para imam mazhab, tetapi menganggap bahwa fatwa dan pendapat imam mazhab dan begitu juga ide-ide yang lain merupakan subjek untuk penelitian selanjutnya. Bagi Muhammdiyah kebenaran dari fatwa, ide dan amalan pada prinsipnya didasarkan pada Al-Qur an dan Sunnah.

2. Perkembangan Amal Usaha Muhammadiyah Bidang Sosial Keagamaan

Dilihat dari segi perkembangan, memang Muhammadiyah telah berkembang dengan pesat sampai tahun 1967, walaupun semula hanya bergerak di sekitar Yogyakarta. Perkembangan Muhammadiyah sejak tahun 1912 sampai masa kemerdekaan (Orde Lama/1967) sesuai dengan semangat dan cita-cita pembaharuan Muhammadiyah telah mengembangkan sayapnya ke seluruh Nusantara dengan amal-amal usahanya di bidang sosial kemasyarakatan dan pendidikan.
Perkembangan Muhammadiyah tersebut tidak terlepas dari pengaruh tokoh-tokoh seperti Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897), Muhammad Abduh pembaharuan Islam pada sebelum abad ke-20. Perkembangan tersebut didukung semakin membaiknya sarana komunikasi dan tranportasi pada masa itu. Hal ini sesuai dengan pendapat Azyumardi Azra, bahwa sangat sulit membayangkan pertumbuhan Syarikat Islam-sebagai suatu bentuk gerakan pembaharuan Islam di bidang politik-atau Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan keagamaan yang begitu cepat dalam dasawarsa-dasawarsa awal abad ini, tanpa ditunjang dengan semakin membaiknya sarana teknologi komunikasi dan transportasi sejak perempatan terakhir abad ke-19. Sebaliknya, adalah sangat sulit bagi pembaharu semacam Abd –al-Rauf atau gerakan pembaharuan yang lebih massal seperti gerakan padri untuk menyebarkan ide-ide pembaharuan, apalagi lengkap sofistifikasi organisasi dan birokrasi moderen sebagaimana ditampilkan oleh Muhammadiyah.
Secara garis besar dan berurutan perkembangan Muhammadiyah sejak awal berdiri sampai akhir masa Orde Lama (1966) adalah sebagai berikut :
Dari tahun 1912 sampai tahun 1917 gerak Muhammadiyah hanya terbatas pada daerah kauman Yogyakarta saja. Kegiatan Ahmad Dahlan hanya sebatas bertabligh, mengajar di sekolah Muhammadiyah, aktif dalam memberikan bimbingan kepada masyarakat untuk melakukan kegiatan seperti shalat, dan memberikan bantuan kepada fakir miskin dengan megumpulkan dana dan pakaian untuk mereka serta kebersihan lingkungan..Kemudian, pembaharuan yang mula-mula dilakukan yaitu membetulkan arah kiblat. Meskipun pekerjaan ini mendapat tantangan yang cukup besar di kalangan masyarakat, namun Ahmad Dahlan tetap melaksanakannya di samping juga memberikan pengertian-pengertian kepada masyarakat.
Selanjutnya, menurut Zuhairini dkk, sampai tahun 1925 Muhammadiyah telah mempunyai 29 Cabang dengan 4.000 orang anggota. Amal usaha bidang sosial yaitu membangun dua buah klinik dengan 12.000 pasien. Pada Kongres tahun 1929 tercatat 19.000 oanggota Muhammadiyah. Pada Kongres 1930 yang bertempat di Bukittinggi tercatat 112 Cabang dengan jumlah anggota 24.000 orang. Pada tahun 1935 meningkat menjadi 43.000 dengan 710 Cabang, dan pada tahun 1938 jumlah Cabang menjadi 852 dengan 250.000 anggota. Jumlah mesjid dan langgar 834, perpustakaan Jumlah muballigh atau propagandis 5.516 laki-laki dan 2.114 wanita.
Dari data di atas dapat dipahami bahwa, meskipun Muhammadiyah dan bangsa Indonesia berada pada masa penjajahan dengan segala tekanan-tekanan pihak penjajah dan kaum tradisional , namun karena missi Muhammadiyah merupakan kebutuhan masyarakat dan ditambah lagi dengan kegesitan para pemimpin dan anggotanya mengembangkan Muhammadiyah, Muhammadiyah tetap juga eksis dan berperan pada masa ini.
Selanjutnya, sampai tahun 1967 yaitu akhir masa Orde Lama amal usaha Muhammadiyah bidang sosial kemasyarakatan, melalui Majelis Pembina Kesejahteraan Umat (PKU) telah mendirikan rumah sakit, poliklinik, Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak, Rumah Sakit 9 buah, BKIA dan Poliklinik 50 buah, Panti Asuhan dan rumah miskin 200 buah, jumlah 259 buah.
Dari data di atas, dapat disimpulkan, walaupun Muhammadiyah dan bangsa Indonesia berada dalam penjajahan Belanda, Jepang dan awal kemerdekaan dengan segala tantangannya, namun Muhamadiyah tetap berperan dan berkiprah membangun bangsa dan umat Islam. Pada masa penjajahan kolonial Belanda, gerakan Muhammadiyah tidak senantiasa berjalan mulus, Muhammadiyah dicurigai, muballigh-muballigh Muhammadiyah ada yang dilarang memberikan pengajian. Di zaman Jepang, pimpinan Muhammadiyah dan warganya bergumul dengan kebijakan Jepang yang mengerahkan bangsa Indonesia untuk membela kepentingan Jepang dan turut bersama Jepang melawan sekutu. Pada awal masa kemerdekaan sampai tahun 1955, Muhammadiyah beserta bangsa Indonesia terkosentrasi dengan perbaikan sosial dan ekonomi yang sudah morat marit. Demikian pula pada masa demokrasi terpimpin dengan segala tekanan pemerintah orde lama agaknya amat sulit menggambarkan kenapa Muhamadiyah masih tetap hidup dan berjuang menyampaikan misi Islam, dan masih tetapj bertambah jumlah amal usahanya.
Pada masa Orde Baru dan Reformasi, Muhammadiyah menjalani kehidupan yang amat sulit, karena Muhammadiyah terombang ambing oleh suasana politik yang direkayasa oleh pemerintah seperti kebebasan berpolitik dibatasi, penyatuan Parmusi yang didirikan oleh Muhammadiyah menjadi Partai Persatuan Pembangunan (P3), kemudeian harus menerima Pancasila sebagai satu-satunya azas, maka pimpinan Muhammadiyah pada seluruh jajaran Muhammadiyah terfokus pemikirannya kepada masalah politik. Namun, pada tingkat Nasional, Wilayah, Daerah, Cabang dan Ranting Muhammadiyah tetap bergerak, berperan dan berkiprah melaksanakan misinya yaitu membangun kehidupan beragama berbangsa dan bernegara dengan mengembangkan amal usaha di bidang sosial kemasyarakatan dan pendidikan. Perkembangan Muhammadiyah pada masa ini terlihat sebagai berikut :
1. Jaringan Kepemimpinan/Struktural Muhammadiyah.
Jaringan kepemimpinan/Struktural Muhammadiyah pada era Orde Baru dapat dilihat data laporan Muktamar tahun 2000, Pimpinan Wilayah 26 Propinsi, Pimpinan Daerah 295, Pimpinan Cabang 2461, dan Pimpinan Ranting 6098. Dan pada tahun 2005 Pimpinan Wilayah, 30 propinsi , Pimpinan Daerah 375 kabupaten dan Kota, Pimpinan Cabang 2648 dan Pimpinan Ranting 6721.
Struktur Kepemimpinan Muhammadiyah untuk Pusat pada era Orde Baru terdiri, Ketua, dan beberapa Wakil Ketua, Sekretaris dan beberapa Wakil Sekretaris, Bendahara dan Wakil Bendahara. Pada Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang jabatan Ketua berganti nama dengan Ketua Umum. Struktur Pimpinan ini dilengkapi dengan Badan Pembantu Pimpinan yang disebut dengan Majelis, Badan dan Lembaga yaitu; Majelis Tarjih, Majelis Tabligh, Mejelis Pendidikan dan Kebudayaan, Majelis Pembina Kesejahteraan Umat (PKU) sekarang Majelis Pembina Kesejahteraan sosial (MPKS), Majelis Ekonomi, Majelis Wakaf dan Kehartabendaan, Majelis Pustaka, Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembang (Diktilitbang).
Dalam perkembangan selanjutnya, pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 di Yogyakarta 1993, Majelis-Majelis tersebut dikembangkan menjadi, Majelis Pemdidikan dan Kebudayaan dibagi menjadi dua; Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Majelis Kebudayaan. Majelis Pembina Kesejahteraan Umat (PKU) dibagi menjadi dua, Majelis Pembina kesejahteraan Sosial dan Majelis Pembina Kesehatan, Majelis Diktilitbang dibagi menjadi Majelis Pendidikan Tinggi dan Lembaga Pengkajian dan Pengembangan (LPP).
Lembaga yang bersifat penyempurnaan, baik dengan nama Lembaga ataupun dengan nama Badan antara lain; Badan Pembina Kader (BPK), Badan Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri, Badan Perencanaan dan Evaluasi (BPE), Lembaga Dakwah Khusus (LDK), Lembaga Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (LIPTEK), Lembaga Pengembangan Masyarakat dan Sumber Daya Manusia (LPMSM) dan Lembaga Hikmah dan Studi Kemasyarakatan. Tugas Majelis, Badan dan Lembaga adalah sebagai pembantu Pimpinan dalam mengatur dan mengkoordinasikan kegiatan sesuai dengan bidang kewenangannya. Adapun struktur organisasi pada tingkat Wilayah, Daerah, Cabang dan Ranting, mengikuti pola struktur Pimpinan Pusat tetapi disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan wilayah dan daerah setempat.
Di samping Majelis, Badan dan Lembaga, terdapat organisasi Otonom, yaitu organisasi yang bernaung di bawah organisasi induk yang diberi kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Organisasi Otonom tersebut adalah, ’Aisyiyah, Nasyiatul ’Aisyiah, Pemuda Muhammadiyah, Ikatan Remaja Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan Tapat Suci Putra Muhammadiyah. Keempat organisasi otonom Muhammadiyah yaitu NA, Pemuda Muhammadiyah, IRM dan IMM termasuk kelompok Angkatan Muda Muhammdiyah (AMM).
Amal usaha Muhammadiyah bidang sosial dan ekonomi terlihat melalui data berikut :
1. Rumah Sakit, Balai Kesehatan, Poliklinik 312 buah
2. Panti Asuhan dan Santunan 240 buah
3. Bank Perkreditan Rakyat 19 buah
4. Baitut Tamwil Muhammadiyah (BMT) 190 buah
5. Koperasi Warga Muhammadiyah 808.buah
BUMM berupa PT 19 buah
- Jumlah 1579 buah

Dari data di atas agak sulit juga membayangkan, begitu hebatnya tantangan yang dihadapi oleh Muhammadiyah, namun dia masih tetap melaksanakan missinya. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh data kuantitatif, berupa amal usaha Muhammadiyah seperti mendirikan panti asuhan, rumah sakit, balai kesehatan dan poliklinik, bank perkreditan rakyat, Baituttamwil Muhammadiyah, koperasi dan dan perusahan-perusahan terbatas (PT) yang bernaung di bawah Badan Usaha Milik Muhammadiyah (BUMM).

D. Muhammadiyah Sebagai Organisasi Sosial Pendidikan
1. Pembaharuan Pendidikan Islam
a. Dasar Pembaharuan
Bila diperhatikan secara umum, menurut Ramayulis dan Samsul Nizar, hampir seluruh pemikiran Dahlan tentang pendidikan berangkat dari keprihatinannya terhadap situasi dan kondisi global umat Islam waktu itu yang tenggelam dalam kejumudan (stagnasi), kebodohan, serta keterbelakangan. Kondisi ini sangat merugikan bangsa Indonesia. Latar belakang situasi dan kondisi tersebut telah mengilhami munculnya ide pembaharuan Dahlan. Ide ini sesungguhnya telah muncul sejak kunjungannya pertama ke Mekkah. Kemudian ide itu lebih dimantapkan setelah kunjungannya yang kedua. Hal ini berarti, bahwa kedua kunjungannya merupakan proses awal terjadinya kontak intelektualnya baik secara langsung maupun tak langsung dengan ide-ide pembaharuan yang terjadi di Timur Tengah pada awal abad XX.
Secara global, ide-ide pembaharuan Ahmad Dahlan menurut Ramayulis dan Samsul Nizar dapat diklasifikasikan kepada dua dimensi, yaitu; Pertama, berupaya memurnikan (purifikasi) ajaran Islam dari khurafat, tahayul, dan bid’ah yang selama ini telah bercampur dalam akidah dan ibadah umat Islam. Kedua, mengajak umat Islam untuk keluar dari jaring pemikiran tradisional melalui reinterpretasi terhadap doktrin Islam dalam rumusan dan penjelasan yang dapat diterima oleh rasio.
Dari sumber sejarah di atas, dapat dipahami bahwa dasar pembaharuan bidang pendidikan tidak terlepas dari kondisi sosial bangsa Indoneia yang tenggelam dalam kebodohan, kejumudan, dan khusus bagi umat Islam hidup bergelimangan dengan syirik, takhyul, bida’ah dan khurafat. Untuk memajukan umat Islam, langkah yang diambil oleh Ahmad Dahlan merupakan langkah yang amat strategis yaitu melakukan permurnian (purfpikasi) terhadap ajaran Islam dan mengajak umat Islam untuk keluar dari rawa-rawa pemikiran tradisional dengan jalan meningkatkan ilmu pengetahuan melalui sarana pendidikan.

b. Pendidikan Upaya Strategis
Ide-ide pembaharuan tersebut hanya dapat dilaksanakan melalui pendidikan. Menurut Ahmad Dahlan pendidikan juga merupakan upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat. Mereka hendaknya didik agar cerdas, kritis, dan memiliki daya analisis yang tajam dalam memetakan dinamika kehidupan pada masa depan. Adapun kunci untuk meningkatkan kemajukan umat Islam adalah kembali kepada al-Qur`an dan hadis, mengarahkan umat pada pemahaman ajaran Islam secara komprehensif, dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Upaya ini secara strategis dapat dilakukan melalui pendidikan.
Tetapi pendidikan yang dimaksud oleh K.H. Ahmad Dahlan adalah pendidikan yang berorientasi pada pendidikan moderen, yaitu dengan menggunakan sistem klasikal. Apa yang dilakukannya merupakan sesuatu yang masih cukup langka dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam pada waktu itu. Di sini, ia menggabungkan sistem pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan tradisonal secara integral.
Menurut Abuddin Nata, untuk mewujudkan cita-citanya itu, pada tahun 1911 Ahmad Dahlan membuat proyek unggulan yaitu mendirikan sebuah madrasah yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan kaum muslimin. Di sekolah inilah pendidikan agama diberikan oleh Ahmad Dahlan disamping pengetahuan umum diajarkan oleh salah seorang anggota Budi Utomo yang juga menjadi guru di sekolah pemerintah. . Kemudian, setelah Muhammadiyah berdiri tahun 1912 madrasah tersebut resmi menjadi amal usaha Muhammadiyah.
Dari paparan di atas dapat dipahami, bahwa K.H. Ahmad Dahlan dalam menyusun ide-ide pembaharuannya bertolak dari kondisi sosial umat Islam pada waktu itu atau dalam ungkapan lain disebut berdasarkan kepada kajian lapangan. Kemudian, ditambah dengan rihlah ilmiahnya ke Timur Tengah Jadi, pada awal abad ke-20 Ahmad Dahlan telah berfikir secara sistematis, terencana dan manajerial sesuai dengan konsep pengembangan pendidikan moderen. Selanjutnya, untuk menyelamatkan umat dari penjajahan fisik kolonial Belanda dan penajajahan syirik, takhyul bid’ah dan khurafat dan kemiskinan dan kebodohan adalah melalui sarana pendidikan. Di sini terlihat Ahmad Dahlan menabuh genderang perang pemikiran terhadap pola pemikiran tradisional yang dianut oleh mayoritas umat Islam pada waktu itu.
Jadi, berarti pola pemikiran Ahmad Dahlan hampir sama dengan pola pemikiran Syekh Mohammad Abduh. Menurut Abduh bahwa revolusi dalam bidang politik tidak akan ada artinya, sebelum ada perubahan mental secara besar-besaran dan dilalui secara berangsur-angsur atau secara evolusi. Tegasnya bagi Muhammad Abduh dalam rangka memperjuangakan terwujudnya ’izzul Isalam wal muslimin di samping umat Islam harus berani merebut kekuasaan politik kenegaraan, maka terlebih dahulu yang perlu dibenahi adalah memperberbaharui sember-sumber para mujaddin dan ulama. Lewat sumber-sumber inilah akan lahir kader-kader pembaharu yang akan menyebar ke seluruh dunia.
c. Landasan Pendidikan Islam
Landasan pendidikan menurut Ahmad Dahlan adalah Al-Qur an dan sunnah, karena keduanya merupakan sumber dan dalil hukum dalam Islam. Islam menekankan kepada umatnya untuk mendayagunakan semua kemampuan yang ada pada dirinya dalam rangka memahami fenomena alam semesata, baik alam makro maupun mikro. Meskipun dalam banyak tempat al-Qur`an senantiasa menekankan pentingnya menggunakan akal, akan tetapi al-Qur`an juga juga mengakui akan keterbatasan kemampuan akal. Ada fenomena yang tak dapat dijangkau oleh indera dan akal manusia (Q.S 13:2; 31:10; 63:3). Hal ini disebabkan, karena wujud yang ada di alam ini memiliki dua dimensi, yaitu pisika dan metapisika. Manusia merupakan integrasi dari kedua dimensi tersebut, yaitu dimensi ruh dan jasad.
Batasan di atas memberikan arti, bahwa dalam epistemologi pendidikan Islam, ilmu pengetahuan dapat diperoleh apabila peserta didik (manusia) mendayagunakan berbagai media, baik yang diperoleh melalui persepsi inderawi, akal, kalbu, wahyu maupun ilham. Oleh karena itu, aktivitas pendidikan dalam Islam hendaknya memberikan kemungkinan yang sebesar-besarnya bagi pengembangan ke semua dimensi tersebut. Menurut Dahlan, pengembangan tersebut merupakan proses integrasi ruh dan jasad. Konsep ini diketengahkannya dengan menggariskan perlunya pengkajian ilmu pengtahuan secara langsung, sesuai prinsip-prinsip al-Qur`an dan sunnah, bukan semata-mata dari kitab tertentu.
Dari sumber-sumber di atas, dapat dipahami bahwa landasan pendidikan Islam menurut Ahmad Dahlan adalah Al-Qur an dan hadis, maka dalam menetapkan tujuan pendidikan Islam juga sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Al-Qur an yaitu sesuai dengan tujuan penciptaan manusia yaitu sebagai hamba Allah dan khalifah Allah di muka bumi, dalam ungkapan lain disebut dengan rehumanisasi yaitu mengembalikan kedudukan manusia kepada kedudukan yang sebenarnya yaitu sebagai hamba Allah dan Khalifah Allah di muka bumi. Untuk tercapainya tujuan pendidikan Islam tersebut, manusia harus mengembangkan potenmsi dirinya melalui pendidikan. Potensi diri itu sebagaimana yang dianugerahkan oleh Allah antara lain; fitrah beragama, potensi akal, roh, qalbu dan nafs.

d. Tujuan Pendidikan
Mengenai tujuan pendidikan menurut Ahmad Dahlan hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh yaitu Al-Qur an dan Sunnah. Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi merumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal (khaliq) maupun horizontal (makhluk). Dalam pandangan Islam, paling tidak ada dua sisi tugas penciptaan manusia, yaitusebagai `abd Allah dan khalifah fi al-ardh. Dalam proses kejadiannya, manusia diberikan Allah al-ruh dan al-`aql. Untuk itu, media yang dapat mengembangkan potensi al-ruh untuk menalar penunjuk pelaksanaan ketundukan dan kepatuhan manusia epada Khaliqnya. Di sini eksistensi akal merupakan potensi dasar bagi peserta didik yang perlu dipelihara dan dikembangkan guna menyusun kerangka teoretis dan metodologis bagaimana menata hubungan yana harmonis secara vertikal maupun horizontal dalam konteks tujuan penciptannya.
Melalui paparan di atas, terlihat kerangka berfikir Ahmad Dahlan bahwa pendidikan Islam berdasarkan kepada Al-Qur an dan sunnah, sebagai pedoman bagi umat manusia. Maka seluruh aktifitas kehidupan harus didasarkan kepada kedua sumber hukum ini.

e. Materi Pendidikan
Untuk tercapainya tujuan pendidikan Islam, maka materi pendidikan menurut Dahlan, adalah pengajaran al-Qur`an dan Hadis, membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi dan menggambar. Materi al-Qur`an dan Hadis meliputi; ibadah, persamaan derajat, fungsi perbuatan manusia dalam menentukan nasibnya, musyawarah, pembuktian kebenaran al-Qur`an dan Hadis menurut akal, kerjasama antara agama-kebudayaan-kemajuan peradaban, hukum kausalitas perubahan, nafsu dan kehendak, demokratisasi dan liberalisasi, kemerdekaan berpikir, dinamika kehidupan dan peranan manusia di dalamnya, dan akhlak (budi pekerti).
Di samping itu, menurut Abuddin Nata, bahwa pendidikan harus membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mencapai kemajuan materiil. Oleh karena itu, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat di mana siswa itu hidup. Dengan pendapatnya itu, sesungguhnya Ahmad Dahlan mengkritik kaum tradisionalis yang menjalankan model pendidikan yang diwarisi secara turun temurun tanpa melihat relevansinya dengan perkembangan zaman.
Berangkat dari gagasan di atas, maka menurut Dahlan pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, ’alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Hal ini berarti bahwa pendidikan Islam merupakan upaya pembinaan pribadi muslim sejati yang bertaqwa, baik sebagai ’abd maupun khalifah fi al-ardh. Untuk mencapai tujuan ini, proses pendidikan Islam hendaknya mengakomodasi berbagai ilmu pengetahuan, baik umum maupun agama, untuk mempertajam daya intelektualitas dan memperkokoh spritualitas peserta didik. Menurur Dahlan, upaya ini akan terealisasi manakala proses pendidikan bersifat integral. Proses pendidikan yang demikan pada gilirannya akan mampu menghasilkan alumni ”intelektual ulama” yang berkualitas.
Adapun intelek ulama yang berkualitas yang akan diwujudkan itu harus memiliki kepribadian Al-Qur an dan Sunnah. Dalam hal ini, Ahmad Dahlan memiliki pandangan yang sama dengan Ahmad Khan mengenai pentingnya pembentukan kepribadian sebagai target penting dari tujuan-tujuan pendidikan. Dia berpendapat bahwa tidak seorangpun dapat mencapai kebesaran di dunia ini dan di akhirat kecuali mereka yang memiliki kepribadian yang baik. Seorang yang berkepribadian yang baik adalah orang yang mengamalkan ajaran-ajaran Al-Qur an dan Hadis. Karena Nabi merupakan contoh pengamalan Al-Qur an dan Hadis, maka dalam proses pembentukan kepribadian siswa harus diperkenalkan pada kehidupan dan ajaran-ajaran Nabi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dimaklumi bahwa Ahmad Dahlan dalam menetapkan materi pendidikan mengacu kepada tujuan pendidikan yaitu menjadi hamba dan Khalifah Allah di muka bumi. Untuk itu, diperlukan materi pendidikan agama dan pendidikan umum sekaligus. Karena menurut Ahmad Dahlan tugas sebagai kahalifah Allah yaitu memakmurkan alam semesta diperlukan pengetahuan umum.
Ada beberapa hal yang menarik, Ahmad dahlan telah menetapkan materi pendidikan berdasarkan kondisi sosial dan kebutuhan masyarakat. Dalam istilah yang populer berdasar kepada kajian lapangan, dan tampaknya konsep inilah yang sekarang disebut dengan analisa SWOT (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman).

f. Metode Pengelolaan
Mengenai teknik pengelolaan Ahmad Dahlan menginginkan pengelolaan pendidikan Islam secara modern dan profesional, sehingga pendidikan yang dilaksanakan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik menghadapi dinamika zamannya. Untuk itu, pendidikan Islam perlu membuka diri, inovatif, dan progresif.
Adapun pembaharuan pendidikan bidang teknik penyelenggaraan, yang dilakukan meliputi metode, alat dan sarana pengajaran, organisasi sekolah serta sistem evaluasi. Bentuk pembaharuan teknis ini diambil dari sestem pendidikan moderen yaitu mengelola pendidikan dengan berdasarkan ukuran-ukuran ilmiah dan rasional serta menjauhkan diri dari pengaruh tradisi yang tidak menguntungkan seperti memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum.. Dari perpaduan ini, menurut Nakamura, maka pendidikan Muhammadiyah.memperoleh hasil yang berlipat ganda. Pertama, menambah kesadaran nasional bangsa Indonesia melalui ajaran Islam; Kedua, melalui sekolah Muhammadiyah, ide pembaharuan bisa disebarkan secara luas; ketiga, mempromosikan ilmu pengetahuan praktis dari pengetahuan moderen.
Dari sumber-sumber di atas, nyatalah bahwa Ahmad Dahlan benar-benar seorang pemikir dan pembaharu dalam dunia pendidikan. Pemikiran-pemikirannya tentang pendidikan telah menjangkau pola pemikiran moderen sekarang ini. Misalnya dalam pelaksanaan pendidikan yang terkait dengan penyempurnaan kurikulum, Ahmad Dahlan telah memasukkan materi pendidikan agama dan umum secara integratif kepada lembaga pendidikan sekolah yang dipimpinnya, kemudian memperkokoh kepribadian intelek ulama. Hal ini sesuai dengan pola pengembangan pendidikan mutaakhir yang meletakkan tiga validitas. Menurut Ahmad Watik Pratiknya, pertama validitas luar, yaitu sejaumana produk yang dihasilkan memenuhi kebutuhan pangsa pasar, kedua, validitas dalam yang menyangkut dengan proses pembelajaran yang berkaitan dengan penyempurnaan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, ketiga, pembentukan kepribadian yang kokoh yang sesuai dengan tuntutan dan tuntunan ajaran Islam.

2. Perkembangan Amal Usaha Muhammadiyah Bidang Pendidikan

Sejalan dengan dinamika sosial yang penuh dengan tantangan zaman, mulai sejak zaman kolonial Belanda, zaman Jepang dan zaman kemerdekaan sampai sekarang Muhammadiyah dengan segala kepiawaian para pemimpin pada setiap eselon dalam jajarannya telah melaksanakan misinya dengan bergelut dan bergulan dengan segala tantangan. Akhirnya, Muhammadiyah masih tetap eksis, bertahan dan berkembang dengan segala amal usahanya.
Secara garis besar dan berurutan perkembangan amal usaha Muhammadiyah bidang pendidikan sejak awal berdiri sampai sekarang.
Pada tahun 1911 Ahmad Dahlan membuat proyek unggulan yaitu mendirikan sebuah madrasah yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan kaum muslimin. Di sekolah inilah pendidikan agama diberikan oleh Ahmad Dahlan disamping pengetahuan umum diajarkan oleh salah seorang anggota Budi Utomo yang juga menjadi guru di sekolah pemerintah. . Kemudian, setelah Muhammadiyah berdiri tahun 1912 madrasah tersebut resmi menjadi amal usaha Muhammadiyah. Kemudian, untuk meluaskan kegiatan pendidikan Muhammadiyah mendirikan sekolah di Karangkajen, tahun 1915 di Lempuyangan, dan Pasar Gede tahun 1916. Sampai wafatnya K.H. Ahmad Dahlan
Sampai tahun 1923 Muhammadiyah telah memiliki 14 Cabang dan delapan jenis sekolah dengan murid 1.019 orang dengan 73 orang guru. Sekolah-sekolah tersebut adalah, Opleiding School di Magelang, Kweek School di Magelang dan Purworeja, Norma Shool di Blitar, NBS. Di Bandung, Algemeene Midalbare School di Surabaya, TS. Di Yogyakarta, Sekolah Guru di Kota Gede, Hoogere Kweek School di Poerworejo. Sekolah lain dan pondok telah berdiri sebelum Muhammadiyah berdiri dan diresmikan sebagai amal usaha Muhammadiyah setelah Muhammadiyah berdiri. Untuk mendirikan sekolah-sekolah tersebut konon kabarnya K.H. Ahmad Dahlan sampai ada yang menjual alat perabotnya.
Kemudian, menurut Zuhairini dkk, sampai tahun 1925 Muhammadiyah telah mempunyai 29 Cabang dengan 4.000 orang anggota dengan amal usaha sebanyak 32 sekolah dasar lima tahun dengan 4.000 murid, dan 119 orang guru. Dalam bidang kesehatan telah membangun dua buah klinik dengan 12.000 pasien. Pada Kongres tahun 1929 tercatat 19.000 oanggota Muhammadiyah. Pada Kongres 1930 yang bertempat di Bukittinggi tercatat 112 Cabang dengan jumlah anggota 24.000 orang. Pada tahun 1935 meningkat menjadi 43.000 dengan 710 Cabang, dan pada tahun 1938 jumlah Cabang menjadi 852 dengan 250.000 anggota. Jumlah mesjid dan langgar 834, perpustakaan umum 31 buah sekolah 1.774. Jumlah muballigh atau propagandis 5.516 laki-laki dan 2.114 wanita.
Berdasarkan data di atas, dapat dimaklumi dalam masa penjajahan Belanda dan Jepang dengan berbagai tekanan dan rintangan dari pihak penjajah, namun Muhammadiyah masih bisa melaksanakan misinya terutama bidang pendidikan. Walaupun pada masa penjajahan Belanda, guru-guru Muhammadiyah ada yang dilarang mengajar, karena sekolah-sekolah Muhammadiyah ada yang dicurigai disebabkan sekolah-sekolah tersebut terkesan mengajarkan nilai-nilai kebangsaan. Demikian pula pada zaman penjajahan Jepang, di mana seluruh masyarakat dikerahkan untuk mempertahankan Jepang dari ancaman sekutu. Jadi, tidak terbayangkan dalam suasana yeng begitu sulit Muhammadiyah masih tetap berperan dan berkiprah melaksnakan misinya.
Selanjutnya, kata Zuhairini, sampai tahun 1957 Muhammadiyah telah memiliki Madrasah Ibtidaiyah 412 buah, Madrasah Tsanawiyah 40 buah, Madrasah Diniyah Awaliyah 82 buah, Madrasah Mu’alimin 73 buah, Madrasah Pendidikan Guru Agama 75 buah, sekolah rakyat 445 buah, SMP 230 buah, SMA 30 buah, Taman Kanak-Kanak 66 buah, SGB 69 buah, SGA 16 buah, Sekolah Kepandaian Putri 9 buah, SMEP, 3 buah, SGTK 2 buah, SMEA, SGKP, Sekolah Guru Pendidikan Jasmani, Sekolah Pendidikan Kemasyarakatan, Sekolah Putri ’Aisyiyah, Fakultas Hukum dan Filsafat dan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru masing-masing 1 buah.
Selanjutnya, sampai tahun 1967 yaitu akhir masa Orde Lama amal usaha Muhammadiyah bidang pendidikan melalui Majelis Pendidikan dan Kebudayaan Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah dan madrasah. Amal usaha Muhammadiyah tersebut tercatat pendidikan, Sekolah dan Madrasah Rendah 3846 buah, Sekolah dan Madrasah Lanjutan 521 buah, Sekolah dan Madrasah Kejuruan 251 buah, Perguruan Tinggi 14 buah.
Pada masa orde baru, amal usaha Muhammadiyah bidang sosial dan ekonomi adalah sebagai berikut:
1. Rumah Sakit, Balai Kesehatan, Poliklinik 312 buah
2. Panti Asuhan dan Santunan 240 buah
3. Bank Perkreditan Rakyat 19 buah
4. Baitut Tamwil Muhammadiyah (BMT) 190 buah
5. Koperasi Warga Muhammadiyah 808.buah
BUMM berupa PT 19 buah
- Jumlah 1579 buah



Pada masa Orde Baru sampai sekarang, Amal Usaha bidang pendidikan belum termasuk pendidikan Taman-Kanak adalah sebagai berikut :.

1. Sekolah Dasar (SD) 1132 buah
2. Madrasah Ibtidaiyah/Diniyah 1769 buah
3. Sekolah Menengah Pertama (SM 1184 buah
4. Madrasah Tsanawiyah 534 buah
5. Sekolah Menengah Atas (SMA) 511 buah
6. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 263 buah
7. Madrasah Aliyah (MA) 172 buah
8. Pondok Pesantren 67 buah
9. Akademi 55 buah
10. Politeknik 4 buah
11. Sekolah Tinggi 70 buah
12. Universitas 36.buah
-- Jumlah 5757 buah

Jumlah keseluruhan amal usaha Muhammadiyah bidang pendidikan dan sosial ekonomi adalah 5757 ditambah 1579 hasilmya 7336 buah


Dari data di atas terlihat secara kuantitatif Muhammadiyah memiliki ribuan amal usaha dalam berbagai aspek kehidupan, sosial, pendidikan dan ekonomi, dan dinilai sebagai organisasi yang terbanyak amal usahanya. Dan dapat pula diketahui bahwa gerakan Muhammadiyah di masa kemerdekaan sudah barang tidak luput pula dari segala tantangan rintangan masih dapat juga melaksanakan misinya sesuai dengan dan cita-cita pendirinya.
Begitu banyaknya amal usaha Muhamadiyah, namun, bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang pada saat ini lebih dari 210 juta, maka amal usaha Muhammadiyah mungkin belum menyentuh kebutuhan mayoritas penduduk Indonesia apalagi yang berada di akar rumput dan yang berada di bawah garis kemiskinan. Dalam hal ini benarlah apa yang dikemukakan oleh Marwah Daud dalam suatu tulisannya yang berjudul ”Muhammadiyah: Perjalanan Masih Panjang Pekerjaan Masih Banyak”. Yang jelas, Muhammadiyah telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam membangun agama, bangsa dan negara.

F. Kesimpulan
Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta pada tahun 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan sebenarnya merupakan hasil telaah dan pemahaman beliau terhadap ajaran Islam setelah belajar agama Islam di Mekkah, dan mendapat pencerahan dan inspirasi dari kitab-kitab ulama modernis seperti Ibnu Qoyyim, Ibnu Taimiyah, Rasyid Ridho, Syekh Jamaluddin Al-Afghani.. Disamping itu, juga sebagai reaksi terhadap kondisi kehidupan sosial bangsa dan sosial keagamaan kaum muslimin di Indonesia yang pada waktu itu meringkuk di bawah penjajahan kolonial Belanda dan penjajahan pemikiran yang ditandai dengan meraja lelanya perbuatan syirik, takhyul, bid’ah dan khurafat dan dhidup dalam kemiskinan, kemelaratan dan kebodohan.
Berdasarkan kondsisi sosial tersebut, Ahmad Dahlan melihat faktor penyebab kemunduran bangsa Indonesia, khususnya umat Islam adalah kebodohan dan keterbelakangan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi moderen dan pemahaman ajaran Islam yang sempit yang hanya memperhatikan urusan ibadah saja dan kadangkala tidak sejalan pula dengan ajaran Al-Qur an dan Sunnah.
Untuk membebaskan dan menyelamatkan bangsa Indonesia dan umat Islam dari berbagai belenggu penjajajahan tersebut, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah dan memusatkan kegiatannya pada bidang sosial dan pendidikan. Langkah ini di ambil, karena menurut Ahmad Dahlan bangsa Indonesia tidak akan bisa dibebaskan dari berbagai belenggu penjajajahan tanpa ditingkatkan ilmu pengetahuan dan kecerdasan, baik bidang agama maupun pendidikan di samping meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara.
Perkembangan amal usaha Muhammadiyah bidang sosial antara lain, mendirikan panti asuhan dan asuhan keluarga, mendirikan poliklinik, balai kesehatan dan rumah sakit. Bidang ekonomi, Muhammadiyah mendirikan Baituttamwil, koperasi, perusahan-perusahan terbatas (PT) dan di bidang ibadah, Muhammdiyah mendirikan mesjid dan mushalla.
Guna meningkatkan ilmu pengetahuan, kesadaran berbangsa dan bernegara dan beragama Ahmad Dahlan mendirikan madrasah Ibtidaiyah yang dikelolanya secara moderen yaitu dengan mengintegrasikan pendidikan agama dan umum yang pada waktu itu, dunia pendidikan ditandai dengan sistem dikotomis, yaitu memisahkan pendidikan agama dengan pendidikan umum. Demikian pula pengelolaannya yang dilaksanakan secara profesional dan moderen dengan mencontoh sistem pengelolaan sekolah Belanda.
Menurut Ahmad Dahlan, landasan pendidikan Islam adalah Al-Qur an dan Sunnah dan tujuannya harus sesuai menurut penciptaan manusia yang tertera dalam Al-Qur an dan sunnah yaitu membentuk manusia sebagai hamba Allah dan Khalifah Allah di muka bumi. Untuk itu, segala potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia harus dikembangkan melalui sarana pendidikan.
Untuk tercapainya tujuan tersebut, maka materi pendidikan harus mengacu kepada tujuan pendidikan yaitu menjadi hamba dan Khalifah Allah di muka bumi. Untuk itu, diperlukan materi pendidikan agama dan pendidikan umum sekaligus. Kemudian, materi yang berkaitan dengan kepribadian seperti keimanan dan pembentukan akhlak yang mulia. Karena menurut Ahmad Dahlan tugas sebagai kahalifah Allah yaitu memakmurkan alam semesta diperlukan pengetahuan umum dan agama, juga dengan kepribadian yang tinggi yaitu berakhlak mulia.
Mengenai pengelolaan pendidikan, Ahmad Dahlan menginginkan pengelolaan pendidikan Islam secara modern dan profesional, sehingga pendidikan yang dilaksanakan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik menghadapi dinamika zamannya. Untuk itu, pendidikan Islam perlu membuka diri, inovatif, dan progresif.
Adapun pembaharuan bidang teknik penyelenggaraan, yang dilakukan meliputi metode, alat dan sarana pengajaran, organisasi sekolah serta sistem evaluasi. Bentuk pembaharuan teknis ini diambil dari sestem pendidikan moderen yaitu mengelola pendidikan dengan berdasarkan ukuran-ukuran ilmiah dan rasional serta menjauhkan diri dari pengaruh tradisi yang tidak menguntungkan. Pembaharuan tersebut seperti memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum..
Amal usaha Muhammadiyah bidang pendidikan antara lain, mendirikan sekolah Taman Kanak-Kanak, Sekolah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, Pondok Pesantren, SMP, SMA, politeknik Perguruan Tinggi. Dan amal usaha Muhammadiyah sosial, dan ekonomi, Muhammadiyah mendirikan

Meskipun ide-ide pembaharuan yang dilakukan Muhammadiyah adalah ingin merubah kondisi tersebut dengan meningkatkan ilmu pengetahuan kaum muslimin dan kesadaran beragama dan bernegara serta membersihkan umat Islam dari pengaruh yang salah Namun, dalam perjalanan sejarahnya gerakan Muhammadiyah tidak berjalan dengan mulus. Muhammadiyah mendapat banyak tantangan baik dari pemerintah kolonial Belanda, dan komunitas masyarakat tradisional
Tetapi sebagaimana dibuktikan kemudian, apa yang dilakukan oleh Muhammdiyah dengan ribuan amal usahanya adalah sangat bermanfaat dan merupakan kontribusi Muhammadiyah terhadap bangsa dan agama. Bahkan kaum tradisionalis, yang pada awalnya menentang ide pembaharuan Muhammadiyah, secara pelan-pelan terbiasa dengan ide pembaharuan.






DAFTAR KEPUSTAKAAN

AR, Syukrianto Abdul Munir Mulkham, Pergumulan Pemikiran Dalam Muhammadiyah, Yogyakarta, SIPPRES, 1990

Din Syamsuddin (Ed), Muhammadiyah, Kini & Esok, (Jakarta : Panjimas, 1990

Edi Riyanto, dkk (Ed) Partai Politik Era Reformasi, Jakarta : Abadi, 1998

Mushtafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gera- kan Islam, Dalam Perspektif Historis dan Idilogis, Yogyakarta, 2000.

M. Yunan Yusuf, dkk. Ensiklopedi Muhammadiyah, Jakarta : PP. Muhammadiyah & Grafindo Persada, 2005

Mulkham, Abdul Munir, Pemikiran, K.H. Ahmad Dahlan, dan Muhammadiyah Da- lam Perspektif Perubahan Sosial, Jakarta : Bumi Aksara, 1990.
---------Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan, dan dan Amal Muhammadiyah, Yogyakarta, Percetakan Persatuan 1990

Noer, Deliar,Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942,Jakarta : LP3ES, 1985.

Nata, Abuddin, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Grafindo Persada, 2003

Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, Jakarta: Quantum Teaching, 2005

Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, Potret Timur Tengah Era Awal dan Indonesia, Jakarta : Quantum Teaching, 2005

Sahlan Rosidi, Kemuhammadiyaan Untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah, Jilid I, Solo : Mutiara, 1982

Sirajuddin Zar, dkk Muhammmadiyah di Indonesia 1959-1966, Perkembangan Pemikiran Keagamaan Serta Perannya Dalam Gerakan Sosial dan Politik (Laporan Penelitian) Padang: IAIN IB, 1998

Syukriyanto AR & Abdul Munir Mulkham (Ed), Pergumulan Pemikiran Dalam Muhammadiyah, Yogyakarta, SIPRES, 1990

Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Muhammadiyah Sejarah Pemikiran dan Amal Usaha, Malang, UMM, 1990

Yunahar Ilyas, dkk (Ed), Muhammadiyah dan NU: Reorientasi Wawasan Keislaman, Yogyakarta:LPPI UMYLKPSM NU dan PP-Al-Muhsin Yogyakarta, 1994

Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara Bekerjasama dengan Depag RI, 1997.

PP. Muhammadiyah, Profil Muhammadiyah 2005, Yogyakarta, 2005

PP. Muhammadiyah, Laporan Majelis-Majelis Pada Muktamar 2005

PP. Muhammadiyah, Laporan Organisasi Otonom Pada Muktamar 2005

PP. Muhammadiyah, Anggaran Dasar Muhammadiyah Yogyakarta, 2005
PP. Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, No. 5 TH. Ke-92/1-15 Maret 2007.
PP. Muhammadiyah, Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-45, Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, 1995






















DAFTAR KEPUSTAKAAN

Din Syamsuddin (Ed), Muhammadiyah, Kini & Esok, (Jakarta : Panjimas, 1990

Edi Riyanto, dkk (Ed) Partai Politik Era Reformasi, Jakarta : Abadi, 1998

Mushtafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gera- kan Islam, Dalam Perspektif Historis dan Idilogis, Yogyakarta, 2000.

M. Yunan Yusuf, dkk. Ensiklopedi Muhammadiyah, Jakarta : PP. Muhammadiyah & Grafindo Persada, 2005

Mulkham, Abdul Munir, Pemikiran, K.H. Ahmad Dahlan, dan Muhammadiyah Da- lam Perspektif Perubahan Sosial, Jakarta : Bumi Aksara, 1990.
---------Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan, dan dan Amal Muhammadiyah, Yogyakarta, Percetakan Persatuan 1990

Noer, Deliar,Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942,Jakarta : LP3ES, 1985.

Nata, Abuddin, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Grafindo Persada, 2003

Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, Jakarta: Quantum Teaching, 2005

Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, Potret Timur Tengah Era Awal dan Indonesia, Jakarta : Quantum Teaching, 2005

Sahlan Rosidi, Kemuhammadiyaan Untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah, Jilid I, Solo : Mutiara, 1982

Sirajuddin Zar, dkk Muhammmadiyah di Indonesia 1959-1966, Perkembangan Pemikiran Keagamaan Serta Perannya Dalam Gerakan Sosial dan Politik (Laporan Penelitian) Padang: IAIN IB, 1998

Syukriyanto AR & Abdul Munir Mulkham (Ed), Pergumulan Pemikiran Dalam Muhammadiyah, Yogyakarta, SIPRES, 1990

Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Malang, UMM, 1990

Yunahar Ilyas, dkk (Ed), Muhammadiyah dan NU: Reorientasi Wawasan Keislaman, Yogyakarta:LPPI UMYLKPSM NU dan PP-Al-Muhsin Yogyakarta, 1994

Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara Bekerjasama dengan Depag RI, 1997.

PP. Muhammadiyah, Profil Muhammadiyah 2005, Yogyakarta, 2005

PP. Muhammadiyah, Laporan Majelis-Majelis Pada Muktamar 2005

PP. Muhammadiyah, Anggaran Dasar Muhammadiyah Yogyakarta, 2005

PP. Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, No. 5 TH. Ke-92/1-15 Maret 2007.










Sebenarnya Muhammadiyah sejak awal berdirinya telah memposisikan dirinya sebagai organisasi sosial keagamaan, bukan partai politik. Tetapi karena dinamika perkembangan sosial dan tuntutan perkembangan zaman, Muhammadiyah tidak bisa melepaskan diri dari politik. Pada tahun 1945 tokoh-tokoh Muhammadiyah ikut merumuskan dasar negara Pancasila seperti Kibagus Hadikusumo, Kahar Muzakir,



























DAFTAR KEPUSTAKAAN

Din Syamsuddin (Ed), Muhammadiyah, Kini & Esok, (Jakarta : Panjimas, 1990

Mushtafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gera- kan Islam, Dalam Perspektif Historis dan Idilogis, Yogyakarta, 2000.

M. Yunan Yusuf, dkk. Ensiklopedi Muhammadiyah, Jakarta : PP. Muhammadiyah & Grafindo Persada, 2005

Mulkham, Abdul Munir, Pemikiran, K.H. Ahmad Dahlan, dan Muhammadiyah Da- lam Perspektif Perubahan Sosial, Jakarta : Bumi Aksara, 1990.
---------Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan, dan dan Amal Muhammadiyah, Yogyakarta, Percetakan Persatuan 1990

Noer, Deliar,Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942,Jakarta : LP3ES, 1985.

Nata, Abuddin, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Grafindo Persada, 2003

Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, Jakarta: Quantum Teaching, 2005

Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, Potret Timur Tengah Era Awal dan Indonesia, Jakarta : Quantum Teaching, 2005

Sahlan Rosidi, Kemuhammadiyaan Untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah, Jilid I, Solo : Mutiara, 1982

Sirajuddin Zar, dkk Muhammmadiyah di Indonesia 1959-1966, Perkembangan Pemikiran Keagamaan Serta Perannya Dalam Gerakan Sosial dan Politik (Laporan Penelitian) Padang: IAIN IB, 1998

Syukriyanto AR & Abdul Munir Mulkham (Ed), Pergumulan Pemikiran Dalam Muhammadiyah, Yogyakarta, SIPRES, 1990

Yunahar Ilyas, dkk (Ed), Muhammadiyah dan NU: Reorientasi Wawasan Keislaman, Yogyakarta:LPPI UMYLKPSM NU dan PP-Al-Muhsin Yogyakarta, 1994

Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara Bekerjasama dengan Depag RI, 1997.
PP. Muhammadiyah, Profil Muhammadiyah 2005, Yogyakarta, 2005
Mushtafa Kamal Pasha, Bed dan Ahmad Adabi Darban, SU, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam, Dalam Perspektif Historis dan Ideologis, Yogyakarta : LPPI, 2000

Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2005

Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, Jakarta: Quantum Teaching, 2005

Profil Muhammadiyah 2005, Yogyakarta, PP. Muhammadiyah 2005

Suara Muhammadiyah, No. 05 TH Ke-92/1-15 Maret 2007, Sajian Utama, Istiqamah Bermuhammadiyah, Yogyakarta : PP Muhammadiyah, 2007.

Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, Potret Timur Tengah Era Awal dan Indonesia, (Jakarta : Quantum Teaching, 2005.

K.H. Sahlan Rosidi, Kemuhammadiyaan Untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah, Jilid I Solo : Mutiara, 1982

Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 Jakarta : LP3ES, 1982

Fakhry Ali, dan Bakhtiar Efendi, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran Indonesia, Masa Orde Baru, Bandung : Mizan, 1986.

























































































ORGANISASI SOSIAL KEAGAMAAN DAN PENDIDIKAN
KASUS MUHAMMADIYAH DI ERA ORDE BARU
Oleh : Syamsir Roust

D. Pendahuluan

Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi mungkar berakidah Islam dan bersumber kepada Al-Qur an dan Sunnah. Persyarikatan ini berazazkan Islam dan bertujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Secara historis, organisasi ini termasuk yang tertua sesudah Syarikat Islam (1908), didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 M di Yogyakarta.
Sejak berdirinya Muhammadiyah dan melaksanakan fungsinya sebagai organisasi sosial keagamaan dan pendidikan, maka dalam rentang waktu yang cukup panjang dengan segala tantangan yang dihadapinya mulai dari zaman penjajahan kolonial Belanda, Jepang dan zaman kemerdekaan (orde lama, orde baru dan zaman reformasi) maka berkat rahmat Allah dan kesungguhan para pemimpinnya, Muhammadiyah masih tetap hidup, bertahan dan berkembang dengan pesat di bumi nusantara ini dengan segala amal usahanya.
Begitu banyaknya amal usaha Muhammadiyah dalam bidang kemasyarakatan, pendidikan, penyantunan anak yatim dan bidang kesehatan seorang antropolog Amerika James Peacock menyatakan bahwa apa yang dikerjakan Muhammadiyah merupakan sesuatu yang pernah dikerjakan oleh para misionaris, para pendidik dan ahli strategi dinegaranya. Muhammadiyah benar-benar menunjukkan sebagai sebuah organisasi moderen yang ada di Indonesia. Bahkan, ide Muhammadiyah juga diterima dan dikembangkan oleh umat Islam di beberapa negara tetangga dan belahan dunia. Muhammadiyah berdiri di Singapura, Malaysia, Mesir, Belanda dan Australia.
Karena itu, tidaklah mengherankan, Muhammadiyah senantiasa menjadi bahan kajian menarik dan penelitian para ahli, tidak saja oleh sarjana dalam negeri tetapi juga luar negeri, misalnya, DR. Howard M. Federspiel ilmuan dari Amerika menulis tentang Muhammadiyah dengan judul tulisannya, ”Muhammadiyah sebagai gerakan Islam Ortodoks”, Prof. DR. Mitsuo Nakamura ilmuan dari Jepang dengan judul Disertasinya, ”Matahari Terbit Dibalik Pohon Beringin”, dan Muhammadiyah Sebagai Gejala Perkotaan; Observasi Tentang Perkotaan-Pedesaan Dalam Gerakan Sosial Islam”, dan Prof. DR. Donald K. Emeson lahir di Tokyo 1940, dengan judul tulisannya ”Kritik dan Politik; Muhammadiyah Dalam Sorotan”.
Di antara kajian yang menarik dalam perjalanan sejarah Muhammadiyah yaitu Muhammadiyah memasuki era Orde Baru (1966-1998), karena pada masa ini dinilai sebagai masa teramat sulit dan pahit dalam perkembangan Muhammadiyah dan umat Islam pada umumnya. Masa ini disebut dengan masa demokrasi Pancasila yang prakteknya kurang lebih sama dengan demokrasi terpimpin.
Memang, pada masa ini partai-partai politik dan organisasi sosial termasuk sosial keagamaan seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama dan lain-lain serta pribadi-pribadi terpaksa harus menyesuaikan diri dengan kemauan politik pemerintah. Bila tidak, maka ia tidak akan diizinkan hidup di bawah naungan demokrasi Pancasila, bahkan dituduh subversi dan anti Pancasila. Misalnya, seluruh organisasi partai politik dan sosial kemasyarakatan harus menerima Pancasila sebagai satu-satunya azas dalam kehidupan berorganisasi dan kehidupan berbangsa. Kemudian, pembunuhan partai politik dengan istilah penyederhanaan, sehingga kekuatan sosial politik yang berjumlah sepuluh disederhanakan menjadi tiga yaitu Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Selanjutnya, seluruh komponen bangsa digiring untuk memasuki dan memilih Golkar yang katanya tidak berpolitik, tapi dalam prakteknya memainkan peran politik praktis yang dominan bersama ABRI dan berkuasa selama 32 tahun.
Berdasarkan situasi dan kondisi politik di atas, maka masa Orde Baru merupakan masa terpenting untuk melihat peranan dan kiprah Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan dan pendidikan, apakah dalam kurun waktu ini ia masih dapat mengembangkan misinya atau tidak? atau tidak berjalan sama sekali karena terombang ambing oleh situasi politik atau bersikap akomodatif terhadap perkembangan politik yang ada?
Bertolak dari permasalahan di atas, timbul keinginan untuk melihat bagaimana perkembangan Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan dan pendidikan di masa Orde Baru dengan kisi-kisi sebagai berikut; sejarah ringkas berdirinya Muhammadiyah, Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan dan pendidikan, perkembangan Muhammadiyah sampai akhir masa Orde Lama, peranan dan kiprah Muhammadiyah di masa Orde Baru, dan kesimpulan.

E. Sejarah Ringkas Muhammadiyah
Pada pendahuluan sudah dikemukakan, Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 M di Yogyakarta. Gerakan ini diberi nama Muhammadiyah oleh pendirinya dengan maksud untuk bertafa’ul (berpengharapan baik) dapat mencontoh dan meneladani jejak perjuangan SAW dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam semata-mata demi terwujudnya ’Izzul Islam wal Muslimin, kejayaan Islam sebagai idealita dan kemuliaan hidup umat Islam sebagai realita.
Berdirinya organisasi ini sebenarnya tidak terlepas dari latar belakang pendidikan kegamaan Ahmad Dahlan yang sejak kecil dididik oleh ayahnya K.H. Abu Bakar seorang imam dan khatib masjid besar Kraton Yogyakarta. Menurut Ramayulis dan Samsul Nizar pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca dan menulis, mengaji Al-Qur an dan kitab-kitab agama. Kemudian, beliau juga belajar dengan K.H. Muhammad Saleh (ilmu Fiqh), K.H. Muhsin (ilmu Nahwu), KH. R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfuz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri (qiraat al-Qur an) serta beberapa guru lainnya.
Selanjutnya Ramayulis dan Samsul Nizar mengungkapkan, setelah beberapa tahun belajar dengan gurunya beliau berangkat ke tanah suci pada tahun 1890 dan bermukim di sana selama setahun. Merasa tidak puas dengan kunjungannya itu, pada tahun 1903 ia berangkat kembali dan menetap di sana selama dua tahun. Selama berada di Mekkah ini ia banyak bertemu dan bermuzakarah dengan sejumlah ulama Indonesia yang bermukim disana, di antaranya Syekh Muhammad Khatib Al-Minangakabawi, Kiyai Nawawi al-Banteni, Kiyai Mas Abdullah dan Kiyai Fakih Kembang. Pada saat itu pula ia mulai berkenalan dengan ide-ide pembaharuan yang dilakukan melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh refomer Islam seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan lain sebagainya. Melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh ulama reformer tersebut telah membuka wawasan Dahlan tentang universalitas Islam. Ide-ide reinterpretasi Islam dengan gagasan kembali kepada Al-Qur an dan Sunnah.
Ide pembaharuan yang berhembus di Timur Tengah sangat menggelitik hatinya, apalagi bila melihat kondisi umat Islam di Indonesia yang sngat stagnan. Untuk itu, atas saran beberapa orang murid dan anggota Budi Utomo, maka Dahlan merasa perlu merealisasikan ide-ide pembaharuannya. Untuk itu, pada tanggal 18 November 1912 beliau mendirikan organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta.
Di samping organisasi Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan juga mendirikan organisasi wanita yaitu ’Aisyiyah pada tahun 1917. Organisasi ini merupakan wadah untuk kegiatan perempuan dalam memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam secara murni dan konsekwen. Berdirinya organisasi ini diawali dengan sejumlah pengajaran yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan mengenai perintah agama. Kursus tersebut diadakan dalam perkumpulan ”Sopo Tresno” pada tahun 1914. Perkumpulan inilah nanti yang berganti nama dengan ’Aisyiyah.
Secara garis besar ada dua faktor yang mempengaruhi kelahiran Muhammadiyah, faktor subjektif yaitu ingin melaksanakan hasil pemahaman K.H.Ahmad Dahlan terhadap frrman Allah surat An-Nisa’ ayat 82 dan surat Muhammad ayat 24 serta surat Ali Imran ayat 104. Faktor objektif yang bersifat internal dan eksternal. Faktor objektif internal yaitu kondisi kehidupan masyarakat Indonesia antara lain; ketidakmurnian pengamalan Islam akibat tidak dijadikan Al-Qur an dan as-Sunnah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagian besar umat Islam Indonesia. Kemudian, lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam belum mampu menyiapkan generasi yang siap mengemban misi selaku Khalifah Allah di atas bumi. . Karena itu, Muhammadiyah menitik beratkan gerakannya kepada sosial keagamaan dan pendidikan.
Adapun faktor objektif yang bersifat eksternal antara lain, semakin meningkatnya Gerakan Kristenisasi di tengah-tengah masyarakat Indonesia, dan penetrasi bangsa-bangsa Eropah, terutama bangsa Belanda ke Indonesia. Di samping itu, politik kolonialis Belanda mempunyai kepentingan terhadap penyebaran agama Kristen di Indonesia. Dengan program ini akan didapat nilai ganda yaitu di samping bernilai keagamaan dalam arti telah dapat menyelamatkan domba-domba yang hilang, juga bernilai politis, karena betapa eratnya hubungan agama (Kristen) dengan pemerintahan (Hindia Belanda) setelah penduduk bumi putra masuk Kristen akan menjadi warga-warga yang loyal lahir dan batin bagi pemerintah.
K.H. Sahlan Rosidi secara rinci menyebutkan faktor-faktor yang mendorong K.H.Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah, ialah: taklid yang begitu membudaya dalam masyarakat Islam, khurafat dan syirik telah bercampur dengan akidah, sehingga kemurnian akidah sudah tidak tampak lagi, bid’ah yang terdapat pada pengamalan ibadah, kejumudan berfikir dan kebodohan umat, sistem pendidikan yang sudah tidak relevan, timbulnya kelas elit intelek yang bersikap sinis terhadap Islam dan orang Islam, rasa rendah diri di kalangan umat Islam, tidak ada program perjuangan umat Islam yang teratur dan terencana khususnya dalam pelaksanaan dakwah Islam, tidak ada persatuan umat Islam, kemiskinan umat bila dibiarkan akan membahayakan karena mudah dirongrong oleh golongan kafir yang kuat ekonominya, politik kolonialisme Belanda yang menekan dan menghambat hidup dan kehidupan umat Islam di Indonesia, politik kolonialisme Belanda menunjang kristenisasi di Indonesia. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, dan dorongan orang-orang Budi Utomo dan Syekh Ahmad Syurkati K.H.Ahmad Dahlan dengan dibantu oleh murid-muridnya, mendirikan organisasi yang diberi nama Muhammadiyah. Menurut catatan Alfian, ada sembilan orang tokoh pendiri Muhammadiyah yaitu; K.H. Ahmad Dahlan, H. Abdullah Siradj, Raden Ketib Cendana Haji Ahmad, Haji Abdurrahman, R. H. Sarkawi, H. Muhammad, R. H. Djaelani, H. Anis, dan H. Muhammad Fakih.
Organisasi Muhammadiyah sampai tahun 1917 belum membuat pembagian kerja yang jelas. Hal ini disebabkan wilayah kerjanya hanya Yogyakarta saja. Dalam kurun ini K.H. Ahmad Dahlan sendiri aktif berdakwah, mengajar di sekolah Muhammadiyah dan memberikan bimbingan kepada masyarakat seperti shalat dan bantuan kepada fakir miskin
Kemudian, pada tahun-tahun berikut, Muhammadiyah mengembangkan sayap operasi, bahkan pada tahun 1921 telah meliputi seluruh Indonesia, Cabang utama dan pertama yang berdiri di luar pulau Jawa adalah Minangkabau sekitar tahun 1923, Bengkulu, Banjarmasin dan Amuntai sekitar tahun 1927 dan Aceh bersamaan dengan Makasar sekitar tahun 1929.

Sejalan dengan perluasan daerah kerja disertai dengan banyaknya jenis pekerjaan yang akan dikerjakan, maka Muhammadiyah membentuk berbagai perangkat organisasi yang terdiri dari majelis-majelis dan orgnasasi otonom. Dengan demikian, pada tahun 1918 dibentuklah majelis PKU (Penolong Kesengsaraan Umat), Aisyiyah pada tahun 1918 dan Majelis Tarjih pada tahun 1927 . Kemudian, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan tuntutan perkembangan zaman, maka hampir setiap periode kepemimpinan terjadi penambahan dan perubahan perangkat organisasi dan organisasi otonomnya. Pada periode sekarang (2005-2010 perangkap organissi Muhammadiyah sebagaimana terlihat pada uraian selanjutnya.
Karena luasnya bidang kehidupan dan wilayah operasional, Muhammadiyah menyusun peringkat organisasi secara vertikal yang terdiri; Pimpinan Ranting untuk tingkat Desa, Pimpinan Cabang untuk tingkat Kecamatan, Pimpinan Daerah untuk tingkat Kabupaten dan Kota, Pimpinan Wilayah untuk tingkat propinsi, dan Pimpinan Pusat untuk tingkat negara Indonesia.
Adapun tokoh-tokoh yang pernah menduduki jabatan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah sampai masa Reformasi sebagai berikut :
18. K.H. Ahmad Dahlan (1912-1923)
19. K.H. Ibrahim (1923-1932)
20. K. H. Hisyam (1932-1936)
21. K.H. Mas Mansoer (1936-1942)
22. Kibagus Hadikoesoemo (1942-1953)
23. A.R. Sutan Mansyur (1953-1959)
24. H.M. Yunus Anis (1959-1962)
25. H.A. Badawi (1962-1968)
26. Fakih Usman (1968-1971)
27. K.H. H.AR. Fakhruddin (1971-1974)
28. K.H. H.AR. Fakhruddin (1974-1978)
29. K.H. H.AR. Fakhruddin (1978-1985)
30. K.H. H.AR. Fakhruddin (1985-1990)
31. K.H. Ahmad Azhar Basyir, MA (1990-1995)
32. Prof. DR. H. Amien Rais (1995-2000)
33. Prof. DR. H. Ahmad Syafii Ma’arif (2000-2005)
34. Prof. Dr. H. M. Din Syamauddin (2005-2010)

Dengan demikian, sejak berdirinya Muhammadiyah telah mengalami tujuh belas periode kepemimpinan. Dan khusus masa Orde Baru, Muhammadiyah mengalami sembilan periode kepemimpinan yakni periode H.M. Badawi dan dan periode Prof. DR. H. M. Amien Rais, dan masa Reformasi dua periode kepemimpinan yaitu periode Prof. DR. H. Ahmad Syafii Ma’arif dan periode Prof. DR. H. M. Din Syamsuddin sampai sekarang.

F. Muhammadiyah Sebagai Organisasi Sosial Keagamaan dan Pendidikan
1. Muhammadiyah Sebagai Organisasi Sosial Keagamaan.
Prof. Dr. H. A. Mukti Ali ketika mengantarkan buku Dr. Mitsuo Nakamura ”Matahari Terbit di Balik Pohon Beringin” menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan serba wajah (dzuwujuh), sebutan ini dimaksudkan untuk menunjukkan keragaman aktifitas Muhammadiyah. Seperti dimaklumi, Muhammadiyah menyelenggarakan aktifitas dalam bidang tabligh, pendidikan, ekonomi, dan juga politik. Dengan demikian, Muhammadiyah di kalangan luar dipandang sebagai organisasi keagamaan, organisasi sosial, organisasi pendidikan. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan, Muhammadiyah tercatat di Departemen Agama, Departemen Pendidikan, Departemen Sosial. Bahkan pada tahun 1966 lewat surat Wakil Perdana Menteri Bidang Sospol dan Menddagri, Muhammadiyah dinyatakan sebagai ”orsospol” , yakni organisasi massa yang mempunyai fungsi politik riil dalam masyarakat Indonesia.
Oleh karena luasnya bidang garapan persyarikatan Muhammadiyah yaitu seluruh aspek kehidupan manusia yang berlandaskan ajaran Islam, maka Muhamadiyah disebut juga gerakan Islam karena kedudukannya sebagai gerakan Islam, dakwah dan tajdid. Sebagai gerakan Islam, Muhammadiyah didirikan sebagai hasil konkret dari telaah KHA. Dahlan terhadap al-Qur an al-Karim. Jadi, kelahiran Muhammadiyah tidak lain karena diilhami, dimotivasi dan disemangati oleh ajaran Al-Qur an. Dan karena itu pula seluruh geraknya tidak ada motif lain kecuali semata-mata untuk merealisasikan prinsip-prinsip ajaran Islam. Segala yang dilakukan oleh Muhammadiyah, baik dalam bidang kemasyarakatan, pendidikan, rumah tangga, perekonomian, politik dan sebagainya tidak dapat dilepaskan dari ajaran Islam. tegasnya, gerakan Muhammadiyah berusaha untuk menampilkan wajah Islam dalam wujud yang riil, konkrit dan nyata yang dapat dihayati, dirasakan, dan dinikmati oleh umat sebagai ”rahmatan lil ’alamiin”.
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah, artinya Muhammadiyah mengajak dan menyeru umat manusia kepada ajaran Islam dan melaksanakannya dalam kehidupan nyata. Dakwah dalam pengertian rekonstruksi sosial meliputi seluruh aspek kehidupan, ekonomi, politik, sosial dan budaya. Di samping itu dakwah juga dalam pengertian pembebasan, yaitu membebaskan umat manusia dari berbagai belenggu penjajahan, penjajahan dari kekafiran, syirik, kebodohan dan kejumudan. Dakwah dalam pengertian ini juga merupakan hasil dari telaah dan pendalaman KHA. Dahlan terhadap firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 104. Bahkan ayat ini merupakan khittah dan langkah strategis dasar perjuangannya, yaitu mengajak, menyeru kepada Islam dan mengajak kepada yang makruf dan mencegah perbuatan yang mungkar.
Oleh karena dakwah Muhammadiyah tidak saja dalam bentuk lisan, tulisan tetapi juga dalam bentuk dakwah bil hal (perbuatan), maka Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah, mulai dari taman-kanak sampai ke Perguruan Tinggi, mulai dari klinik dan rumah bersalin sampai mendirikan rumah sakit, mulai dari santunan fakir miskin dan anak yatim sampai mendirikan panti-panti asuhan. Semuanya itu adalah wujud dan manifestasi dari dakwah Islam dan juga berfungsi sebagai dakwah.
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid atau gerakan reformasi, hal ini dibenarkan oleh Bernard Vlekke dan Wertheim misalnya, yang mengkategorikan Muhammadiyah sebagai gerakan puritan yang menjadikan fokus utamanya ”Pemurnian atau pembersihan ajaran-ajaran Islam dari sinkritisme dan belenggu formalisme. Membersihkan pengamalan umat dari syirik dan penyakit TBC (takhyul, bid’ah dan churafat). Di samping itu, Muhammadiyah juga melakukan pembaharuan, yaitu pembaharuan dalam pemahaman dan pengamalan Al-Qur an dan As-Sunnah. Pembaharuan yang dimaksud di sini bukan bukan memperbaharui substansi, tetapi memperbaharui metode pemahaman dan pengamalan, seperti penyantunan terhadap fakir miskin, anak yatim, cara pengelolaan zakat, pengelolaan pendidikan dan rumah sakit, dan lain sebagainya. Untuk membedakan antara keduanya, tajidid dalam pengertian pemurnian dapat disebut dengan purifikasi, dan tajdid dalam pengertian pembaharuan disebut dengan reformasi.
Di dalam pemikiran keagamaan, Muhammadiyah hanya berpegang teguh kepada Al-Qur an dan As-Sunnah sebagai sumber pokok. Muhammadiyah juga gigih mempertahankan bahwa pintu ijtihad masih terbuka dan menola ide tentang taklid. Menurut Deliar Noer, hal ini bukan berarti Muhammadiyah secara membabi buta menolak pendapat para imam mazhab, tetapi menganggap bahwa fatwa dan pendapat imam mazhab begitu juga ide-ide yang lain merupakan subjek untuk penelitian selanjutnya. Bagi Muhammadiyah kebenaran dari fatwa, ide dan amalan pada prinsipnya harus didasarkan pada Qur an dan Sunnah.

2. Muhammadiyah sebagai Organisasi Pendidikan
Sebenarnya sejak awal berdirinya Muhammadiyah telah menempatkan dirinya sebagai organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan, karena Muhammadiyah berkeinginan untuk mencetak elit muslim terdidik yang memiliki identitas Islam yang kuat, mampu memberikan bimbingan dan keteladanan terhadap masyarakat, sekaligus juga mampu mengimbangi tantangan elit sekuler berpendidikan Barat yang dihasilkan oleh sistem pendidikan Belanda. Keinginan itu dirumuskan dalam program pembaharuan pendidikan yang meliputi dua aspek pokok yaitu cita-cita dan teknik penyelenggaraan pendidikan. Konsekwensi untuk mencapai tujuan tersebut, Muhammadiyah menyempurnakan kurikulum pendidikan Islam, dengan memasukkan pendidikan agama ke sekolah umum dan pengetahuan umum ke sekolah agama. Sedangkan di bidang teknikpenyelenggaraan, pembaharuan yang dilakukan meliputi metode, alat dan sarana pengajaran, organisasi sekolah serta sistem evaluasi. Bentuk pembaharuan teknis ini diambil dari sestem pendidikan moderen. Dari perpaduan ini, menurut Nakamura, maka pendidikan Muhammadiyah.memperoleh hasil yang berlipat ganda. Pertama, menambah kesdaran nasional bangsa Indonesia melalui ajaran Islam; Kedua, melalui sekolah Muhammadiyah, ide pembaharuan bisa disebarkan secara luas; ketiga, mempromosikan ilmu pengetahuan praktis dari pengetahuan moderen.
Sekolah-sekolah yang didirikan oleh Muhammadiyah ini mendapat sambutan baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Dari kalangan masyarakat, seperti yang digambarkan oleh Nakamura lewat penelitiannya di Kota Gede, Yogyakarta, banyak orang dari kalangan luas yang memiliki orientasi keagamaan serta status sosial yang berbedar yang memasukkan anak-anaknya ke sekolah Muhammadiyah, termasuk diantaranya keluarga priyayi. Dari pihak pemerintah, sekolah Muhammadiyah bahkan mendapat bantuan karena dianggap memenuhi syarat
Meskipun demikian, tidak semua pihak yang menyambut kehadiran Muhammadiyah itu positif. Pemerintah kolonial Belanda misalnya, meskipun mereka mengizinkan Muhammadiyah berdiri, karena mereka ingin mendapat simpati dan mengurangi sikap reaksi kaum muslimin terhdap pemerintahan kolonial, di samping pula organisasi Muhammadiyah bukan organisasi politik. Menurut Deliar Noer, meskipun pemerintah kolonial mengizinkan Muhammadiyah, Muhammadiyah tidak bisa berbuat leluasa, pernah pemerintah kolonial melarang tabligh Muhammadiyah, dan guru-guru Muhammadiyah pernah dilarang untuk mengajar.
Di samping pemerintah kolonial Belanda, orang-orang nasionalis juga menuduh Muhammadiyah mempunyai hubungan dengan Belanda dan bekerja sama dengan Belanda. Mereka bersikap negatif terhadap Muhammadiyah karena Muhammadiyah mendasari gerakannya dengan politik. Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan yang akan membersihkan Islam dari pengaruh tradsional. Di sinilah pertentangan semakin tajam karena menyangkut dengan keyakinan kebenaran masing-masing. Oleh karena itu kaum tradisionalis menolak setiap perubahan, karena dianggap sebagai rongrongan terhadap ajaran agamanya. Di sisi lain , Muhammdiyah memandang adanya erubahan selama kebiasaan-kebiasaan tersebut dinilai sebagai penyimpangan dari ajaran yang benar.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan dan pendidikan atau multi wajah dengan aktifitasnya yang meliputi berbagai aspek kehidupan senantiasa melakukan pembaharuan dalam pemahaman dan pengamalan ajaran Islam. Identitas Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, dakwah dan tajdid telah memberikan pencerahan dan konstribusi besar terhadap kehidupan beragama dan berbangsa.

D. Perkembangan Muhammadiyah Sampai Akhir Orde Lama (1966)
Dilihat dari segi perkembangan, memang Muhammadiyah telah berkembang dengan pesat, walaupun semula hanya bergerak di sekitar Yogyakarta. Perkembangan Muhammadiyah sejak tahun 1912 sampai masa kemerdekaan (Orde Lama/1967) sesuai dengan semangat dan cita-cita pembaharuan Muhammadiyah telah mengembangkan sayapnya ke seluruh Nusantara dengan amal-amal usahanya di bidang sosial kemasyarakatan dan pendidikan.

Perkembangan Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan tidak terlepas dari pengaruh tokoh-tokoh seperti Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897), Muhammad Abduh pembaharuan Islam pada sebelum abad ke-20. Perkembangan tersebut didukung semakin membaiknya sarana komunikasi dan tranportasi pada masa itu.
Menurut Azyumardi Azra, adalah sulit membayangkan pertumbuhan Sarikat Islam-sebagai suatu bentuk gerakan pembaharuan Islam di bidang politik-atau Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan keagamaan yang begitu cepat dalam dasawarsa-dasawarsa awal abad ini, tanpa ditunjang dengan semakin membaiknya sarana teknologi komunikasi dan transportasi sejak perempatan terakhir abad ke-19. Sebaliknya, aalah sangat sulit bagi pembaharu semacam Abd –al-Rauf atau gerakan pembaharuan yang lebih massal seperti gerakan padri untuk menyebarkan ide-ide pembaharuan, apalagi lengkap sofistifikasi organisasi dan birokrasi moderen sebagaimana ditampilkan oleh Muhammadiyah.
Secara garis besar dan berurutan perkembangan Muhammadiyah sejak awal berdiri sampai akhir masa Orde Lama (1966) adalah sebagai berikut :
Dari tahun 1912 sampai tahun 1917 gerak Muhammadiyah hanya terbatas pada daerah kauman Yogyakarta saja. Kegiatan Ahmad Dahlan hanya sebatas bertabligh, mengajar di sekolah Muhammadiyah, aktif dalam memberikan bimbingan kepada masyarakat untuk melakukan kegiatan seperti shalat, dan memberikan bantuan kepada fakir miskin dengan megumpulkan dana dan pakaian untuk mereka. Sifat sosial dan pendidikan dari Muhammadiyah telah diletakkan pada masa-masa itu.
Pembaharuan yang mula-mula dilakukan yaitu membetulkan arah kiblat dan kebersihan lingkungan.

Kemudian, dilanjutkan dengan pembaharuan bidang pendidikan, yaitu memperbaharui kurikulum pendidikan yakni memasukkan pengetahuan umum kepada sekolah-sekolah/madrasah agama dan memasukkan pengetahuan agama ke sekolah-sekolah umum. Menurut Abuddin Nata, Ahmad Dahlan juga berpandangan, bahwa pendidikan harus membekali siswa dengan pengatahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mencapai kemajuan materiil. Oleh karena itu pendidikan yang baik adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat di mana siswa itu hidup.
Selanjutnya menurut Abuddin Nata, untuk mewujudkan visi, misi dan tujuan Muhammadiyah tersebut tahun 1911 Ahmad Dahlan membuat proyek unggulan yaitu mendirikan sebuah madrasah yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan kaum muslimin. Di sekolah inilah pendidikan agama diberikan oleh Ahmad Dahlan disamping pengetahuan umum diajarkan oleh salah seorang anggota Budi Utomo yang juga menjadi guru di sekolah pemerintah. . Kemudian, setelah Muhammadiyah berdiri tahun 1912 madrasah tersebut resmi menjadi amal usaha Muhammadiyah.
Kemudian, untuk meluaskan kegiatan pendidikan Muhammadiyah mendirikan sekolah di Karangkajen, tahun 1915 di Lempuyangan, dan Pasar Gede tahun 1916. Sampai wafatnya K.H. Ahmad Dahlan
Sampai tahun 1923 Muhammadiyah telah memiliki 14 Cabang dan delapan jenis sekolah dengan murid 1.019 orang dengan 73 orang guru. Sekolah-sekolah tersebut adalah, Opleiding School di Magelang, Kweek School di Magelang dan Purworeja, Norma Shool di Blitar, NBS. Di Bandung, Algemeene Midalbare School di Surabaya, TS. Di Yogyakarta, Sekolah Guru di Kota Gede, Hoogere Kweek School di Poerworejo. Sekolah lain dan pondok telah berdiri sebelum Muhammadiyah berdiri dan diresmikan sebagai amal usaha Muhammadiyah setelah Muhammadiyah berdiri. Untuk mendirikan sekolah-sekolah tersebut konon kabarnya K.H. Ahmad Dahlan sampai ada yang menjual alat perabotnya.
Kemudian, menurut Zuhairini dkk, sampai tahun 1925 Muhammadiyah telah mempunyai 29 Cabang dengan 4.000 orang anggota dengan amal usaha sebanyak 32 sekolah dasar lima tahun dengan 4.000 murid, dan 119 orang guru. Dalam bidang kesehatan telah membangun dua buah klinik dengan 12.000 pasien. Pada Kongres tahun 1929 tercatat 19.000 oanggota Muhammadiyah. Pada Kongres 1930 yang bertempat di Bukittinggi tercatat 112 Cabang dengan jumlah anggota 24.000 orang. Pada tahun 1935 meningkat menjadi 43.000 dengan 710 Cabang, dan pada tahun 1938 jumlah Cabang menjadi 852 dengan 250.000 anggota. Jumlah mesjid dan langgar 834, perpustakaan umum 31 buah sekolah 1.774. Jumlah muballigh atau propagandis 5.516 laki-laki dan 2.114 wanita.
Selanjutnya, kata Zuhairini, sampai tahun 1957 Muhammadiyah telah memiliki Madrasah Ibtidaiyah 412 buah, Madrasah Tsanawiyah 40 buah, Madrasah Diniyah Awaliyah 82 buah, Madrasah Mu’alimin 73 buah, Madrasah Pendidikan Guru Agama 75 buah, sekolah rakyat 445 buah, SMP 230 buah, SMA 30 buah, Taman Kanak-Kanak 66 buah, SGB 69 buah, SGA 16 buah, Sekolah Kepandaian Putri 9 buah, SMEP, 3 buah, SGTK 2 buah, SMEA, SGKP, Sekolah Guru Pendidikan Jasmani, Sekolah Pendidikan Kemasyarakatan, Sekolah Putri ’Aisyiyah, Fakultas Hukum dan Filsafat dan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru masing-masing 1 buah.
Selanjutnya, sampai tahun 1967 yaitu akhir masa Orde Lama amal usaha Muhammadiyah bidang sosial kemasyarakatan, melalui Majelis Pembina Kesejahteraan Umat (PKU) telah mendirikan rumah sakit, poliklinik, Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak (BKIA). Dan melalui Majelis Pendidikan dan Kebudayaan Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah dan madrasah. Amal usaha Muhammadiyah tersebut tercatat, Rumah Sakit 9 buah, BKIA dan Poliklinik 50 buah, Panti Asuhan dan rumah miskin 200 buah, jumlah 259 buah. Bidang pendidikan, Sekolah dan Madrasah Rendah 3846 buah, Sekolah dan Madrasah Lanjutan 521 buah, Sekolah dan Madrasah Kejuruan 251 buah, Perguruan Tinggi 14 buah, jumlah keseluruhan 4632 buah


E. Peranan dan Kiprah Muhammadiyah di Era Orde Baru
1. Muhammadiyah Dalam Konstelasi Politik
Era Orde Baru berlangsung selama 32 tahun yaitu dari tahun 1966 sampai tahun 1998. Era ini dimulai sejak keluarnya surat perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto yang isinya penyerahan kekuasaan. Selama 32 tahun ini sudah berlangsung 7 kali pergantian pimpinan Muhammadiyah yaitu pada Muktamar Muhammadiyah ke-37 tahun 1968 di Yogyakarta menetapkan K.H. Fakih Usman sebagai Ketua PP. Muhammadiyah, dan pada Muktamar Muhammadiyah ke-38 di Ujung Pandang tahun 1971 menetapkan K.H. AR Fakhruddin sebagai Ketua PP. Muhammadiyah. Selanjutnya, pada Muktamar Muhammadiyah ke-39 di Padang tahun 1974 K.H. HAR Fakhruddin terpilih kembali sebagai ketua PP Muhammadiyah. Demikian pula pada Muktamar Muhammadiyah ke-40 di Surabaya tahun 1978 beliau terpilih lagi sebagai Ketua PP Muhammadiyah, selanjutnya pada Muktamar Muhammadiyah ke 41 tahun 1985 di Surakarta beliau terpilih kembali sebagai Ketua PP. Muhammadiyah sampai tahun 1990. Kemudian, pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 di Surakarta K.H. Ahmad Azhar Basyir, MA terpilih sebagai Ketua PP. Muhammadiyah.Pada Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Aceh Prof. Dr. Amien Rais terpilih sebagai Ketua PP Muhammadiyah untuk Periode 1995-2000.
Selanjutnya pada era reformasi Muktamar Muhammadiyah ke-44 di Yogyakarta Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif terpilih sebagai Ketua PP. Muhammadiyah Periode 2000-2005, dan pada Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang Prof. Dr. Dien Syamsuddin terpilih sebagai Ketua Umum PP. Muhammadiyah untuk periode 2005-2010.
Selama era Orde Baru kehidupan organisasi sosial kemasyarakatan (Ormas) termasuk Muhammadiyah dan organisasi sosial politik praktis berada dalam atmosfir politik yang pengap dan represif. Iklim politik ini terasa tidak demokratis dan sistem pemerintahan cendrung kepada absolut,diktator dan otoriter. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai aksi yang menuntut agar ditegakkan demokrasi, supremasi hukum, pelanggaran HAM ditindak, birokrasi pemerintah dibersihkan dari unsur-unsur nepotisme, korupsi dan korupsi serta kembalikan hak-hak rakyat . Bahkan aksi-aksi ini berhasil mengakhiri rezim Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun.
Suasana politik dan kehidupan umat pada masa pemerintahan Soeharto juga dikemukakan oleh Amien Rais dalam makalahnya yang berjudul Partai Politik Era Reformasi yang disampaikan pada seminar Nasional Partai Politik Era Reformasi yang diselenggarakan oleh Dewan Dakwah Islam Indonesia 12-14 Juni 1998.
Kata Amien Rais, pada pagi ini saya akan mengemukakan pandangan-pandangan saya, bagaimana kita melaksanakan kewajiban keagamaan dan kewarganegaraan kita untuk melangkah ke depan setelah kita memasuki era pasca Soeharto. Sekalipun sudah sangat terlambat, akhirnya kita bisa melepaskan diri dari kungkungan kekuasaan Soeharto yang sedikit banyak mengandung elemen Fir’auniyah.
Selanjutnya Amien Rais mengatakan, Fir’aun Jawa ini seperti Fi’aun Mesir yaitu sombong, congkak, merasa paling benar, merasa paling hebat. Dia tidak mau diganti oleh siapapun. Kemudian waja’alaa ahlahaa syia’an dan menjadikan pegawai negeri berpecah belah. Muhammadiyah juga pernah mau dipecah. Saya merasakan itu setelah saya turun dari Dewan Pakar ICMI. Ada fenomena Abu Hasan melawan Gusdur, ada fenomena Suryadi melawan Megawati, ada fenomena Buya Ismail melawan siapa atau dilawankan dengan siapa. Ini sebenarnya taktik yang klasik.
Pada awal Orde Baru, ada persepsi dan image buruk terhadap partai politik yang terbentuk pada zaman Orde Lama sebagai penyebab instabilitas semakin kental di zaman Orde Baru dan dijadikan senjata propaganda yang sistematis untuk meminggirkan peran partai dalam percaturan politik nasional. Sebagai gantinya penguasa menjadikan militer dan Golkar sebagai mesin politik baru, yang sepanjang sejarah Orde Baru Golkar tidak mau menyebut dirinya partai. Padahal dia memainkan peranan politik praktis. Hal ini terbukti dengan setelah Soeharto lengser, era Orde Baru berakhir dan berganti dengan era Reformasi, maka pengurus Pusat Golkar cepat-cepat merubah nama dengan Partai Politik Golongan Karya. Kalau tidak, tidak akan diakui dalam Undang-Undang Kepartaian, apalagi tuntutan masyarakat begitu kuat agar partai ini dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang karena telah 32 tahun membohongi masyarakat dan menyengsarakan rakyat.
Upaya peminggiran partai ini diawali ketika pemerintah mengajukan 3 rancangan Undang-undang politik, yaitu RUU tentang partai politik, RUU sistem Pemilu dan RUU politik dalam legislatif. Menyadari besarnya ancaman ketiga RUU tersebut terhadap eksistensi partai, anggota DPR waktu itu berusaha menggagalkan usaha pemerintah ini. Namun, tanpa sepengetahuan mereka, pada bulan Juli 1967, Soeharta melakukan negosiasi politik dengan para pemimpin partai yang hasilnya dikemudian hari dikenal dengan ”konsensus nasional”. Pertama, pemilihan akan dilaksanakan dengan sistem list (daftar) sebagaimana yang dikehendaki oleh pimpinan partai. Keanggotaan partai diperbesar dari 347 orang menjadi 460 orang, ketiga, pemerintah berhak berhak mengangkat 100 orang anggota DPR (75 mewakili kepentingan militer dan 25 mewakili kepentingan sipil non partai). Dan mengangkat sepertiga anggoa MPR. Keempat anggota ABRI melepaskan hak pilih mereka dalam pemelihan umum.
Masih dalam rangka melumpuhkan partai. Keluarlah Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 tahun 1969 dan Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 1970 yang intinya melarang pegawai negeri menjadi anggota partai politik dan menetapkan mereka harus memiliki monoloyalitas (kesetiaan tunggal kepada pemerintah) dalam hal ini harus memilih Golkar. Mereka yang bersikeras menjadi anggota partai politik, apalagi menjadi pengurusnya, harus rela keluar sebagai pegawai negeri
Puncak rekayasa ini adalah, digoalkannya satu paket undang-undang politik yang terdiri atas Undang-undang No. 1 tahun 1985 tentang Pemilu, Undang-undang No. 2 tahun 1985 tentang kedudukan MPR/DPR/DPRD dan Undang-undang No. 8 tahun 1985 tentang organisasi sosial kemasyarakatan
K.H. Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gusdur mendeskripsikan iklim politik pada masa Orde Baru, bahwa tugas Orde Baru adalah melakukan ”dealiranisasi’ kehidupan politik . Politik dalam hal ini dibuat pragmatik ; Berpancasila titik!. Tidak boleh ada embel-embel Pancasila yang mana?, sehingga tidak boleh ada partai Islam, partai sosialis, partai nasional, apalagi partai golongan minoritas seperti Kristen. Semua dikikis habis, sehingga tinggal satu partai politik yang sudah disterilkan dari idiologi selain Pancasila. Dan semua idiologi yang dulunya hidup yang disterilkan dari idiologi selain Pancasila dihapus secara perlahan-lahan. Selanjuntya menurut Gusdur pada saat yang sama Orde Baru juga membutuhkan legitimasi bagi program pembangunannya. Karena itu diperlukan pemberian legitimasi dari semua kekuatan yang ada. Dengan kata lain, pemimpin-pemimpin Islam, organisasi-organisasi Islam juga diminta untuk memberikan legitimasi, seperti menghalalkan KB. Pemantapan ketahanan nasional, wawasan nusantara, dan lain-lain. . Jadi, fungsi partai politik dan organisasi sosial kemasyarakatan termasuk Muhammadiyah hanya sebagai lembaga pemberi legitimasi terhadap program-program pemerintah.
2. Muhammadiyah mendirikan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi)

Setelah Rezim Soekarno jatuh pada tahun 1966, pemerintah Suharto ingin mengembalikan hak-hak politik orang-orang Masyumi termasuk orang-orang Muhammadiyah yang berkiprah dalam Masyumi dengan diperbolehkan mendirikan sebuah partai, tetapi tidak boleh memakai nama Masyumi, maka orang-orang Muhammadiyah kembali dipangung politik praktis. Pada tahun 1967 Muhammadiyah tampil kembali sebagai tulang punggung utama berdirinya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Sambil menunggu Muktamar Parmusi Djarnawi Hadikusumo yang waktu itu menjadi Ketua Majelis Hikmah dan anggota PP. Muhammadiyah dipercaya sebagai pejabat Ketua bersama Anwar Haryono.
Kemudian setelah Muktamar Parmusi yang berlangsung pada tanggal 4-7 November 1969 menetapkan Mr. Muh. Roem sebagai Ketua, pemerintah tetap menolak bekas pimpinan Masyumi memimpin Parmusi. Akibatnya ketetapan Muktamar tersebut gagal dilaksanakan. Kegagalan Muktamar Parmusi di atas menempatkan kembali Djarnawi Hadikusumo sebagai Ketua Partai dan Lukman Harun sebagai Sekretaris Jenderal dengan SK Presiden No. 70/68 tanggal 20 Februari 1968.
Sikap dan pandangan politik Muhammadiyah tentang masalah politik serta kedudukan dan posisi politik Muhammadiyah secara formal tertuang dalam Keputusan Sidang Tanwir Muhammadiyah di Ponorogo tahun 1969 yang berbunyi bahwa partai politik (Parmusi) merupakan salah satu proyek Muhammadiyah dan merupakan tindak lanjut keputusan Muktamar ke-37 tahun 1968 di Yogyakarta.
Menurut pandangan Muhammadiyah partai politik merupakan salah satu alat perjuangan dan kegiatan dakwah melalui saluran politik. Oleh karena itu pembentukan partai baru bagi Muhammadiyah merupakan kebutuhan gerakan dakwah Islam di bidang politik.
Tetapi sikap politik Muhammadiyah tersebut terpaksa berubah karena kepemimpinan Djarnawi Lukman Harun dibajak oleh Naroka (J. Naro dan Kadir Jaelani). Kemudian sejak tahun 1975 ketika lahirnya PPP sebagai tindak lanjut UU. No. 3/1975 tentang fusi kepartaian Parmusi menyatu ke dalam PPP, maka padangan politik Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada anggota untuk masuk atau tidak kepada partai dan golongan politik yang lain.
Perubahan sikap politikMuhammadiyah ini berkaitan dengan sikap pemerintah yang mengeluarkan Muhammadiyah dan Ortomnya dari Sekber Golkar, walaupun ditantang oleh Muhammadiyah dalam sidang Tanwir tahun 1968. Kemudian, sebagai tindak lanjut, pemerintah menerbitkan Permen No.6/70 yang mempersulit kedudukan anggota Muhammadiyah yang ada di berbagai lembaga legislatif. Hal ini merupakan akibat dari sikap pemerintah tentang fungsi politik praktis bagi Muhammadiyah dan lahirnya Parmusi.
Sesuai dengan perubahan sikap politiknya, anggota Muhammadiyah diberi kebebasan untuk memasuki atau tidak partai dan golongan politik yang ada dan berkampanye setelah mendapat izin dari pimpinan persyarikatan setempat. Sampai sekarang Muhammadiyah tidak lagi melaksanakan fungsi politik praktis, dan bagi Pimpinan Harian Muhammadiyah pada setiap peringkat organisasi tidak dibenarkan merangkap pimpinan dengan pimpinan partai politik, dan mempergunakan asset Muhammadiyah untuk kepentingan politik praktis.

3. Muhammadiyah dan Azas Tunggal
Mengenai azaz tunggal Pancasila dalam kehidupan berpolitik dan bermasyarakat disampaikan oleh Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1982 di depan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR. Kemudian disetujui dan bahkan melalui TAP MPR tentang GBHN disahkan oleh sidang umum MPR tahun 1983, kemudian diberlakukan untuk organisasi sosial kemasyarakatan (Ormas), termasuk Ormas Islam seperti Muhammadiyah.
Keputusan ini mendapat reaksi keras dari masyarakat luas, alasannya pertama, Asas Tunggal akan menafikan kemajemukan keyakinan dan agama masyarakat, kedua, Asas Tunggal akan menghalangi orang-orang yang sama keyakinannya untuk mengelompokkan sesamanya berdasarkan keyakinan termasuk agama yang dianutnya. Ketiga, Asas Tunggal menafikan hubungan agama dengan politik yang bagi agama tertentu terutama Islam bertentangan dengan ajarannya, keempat, Asas Tunggal mengandung kecendrungan ke arah sistem partai tunggal, kelima, Asas Tunggal menghalangi kemungkinan pengembangan paham-paham yang bersumber dari agama yang justru akan memperkuat Pancasila.
Untuk menghadapi hal tersebut, Pimpinan Pusat Muhammadiyah membentuk sebuah Tim terdiri dri dr. H. Kusnadi , H. Djaranawi Hadikiusumo, Drs. H. Lukman Harun, H.S. Projokusumo dengan tugas menguhubungi pejabat dan menteri yang diperlukan dalam rangka memberikan sumbangan pikiran dan memperoleh informasi yang diperlukan. Tim ini disempurnakan dengan menambahkan Prof. Dr. Ismail Sunny, SH, M.CI sebagai anggota.
Setelah melalui proses yang panjang dengan lobi-lobi tingkat tinggi, akhirnya Muhammadiyah terpaksa menerima Pancasila sebagai azas Muhammadiyah, dan ditetapkan pada Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Solo yang berlangsung dari tanggal 7-11 Desember 1985. Meskipun Muhammadiyah telah menerima Asas Tunggal sebagai dasar organisasi, namun, identitas keislaman masih tetap ada bahkan ditempat pada bab I pasal yang berbunyi, Persyarikatan ini bernama Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan dakwah amar makruf nahi mungkar berakidah Islam dan bersumber kepada Al-Qur an dan Sunnnah. Kemudian, Persyarikatan ini berasaskan Pancasila. Namun, 15 tahun kemudian, setelah rezim Orde Baru jatuh dan diganti oleh era Reformasi azas tersebut kembali diganti dengan Islam.
Ada hal yang menarik pada masa Orde Baru ini, meskipun Muhammadiyah terombang ambing oleh gelombang politik Orde Baru, para pemimpin dan anggotanya ada yang terpaksa mengikuti gelombang pada masa ini, dan ada yang tidak, karena Muhammadiyah memang memberikan kebebasan kepada anggotanya untuk berpolitik praktis, ada yang aktif dalam Golkar dan ada yang aktif di P3. Namun hal ini juga berpengaruh terhadap kelangsungan hidup Muhammadiyah. Bagi yang aktif di Golkar mereka mendapat kesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam pemerintahan dan legislatif. Bagi yang tidak, ada yang dikucilkan dan disingkirkan dari jabatan dan kedudukannya terutama dalam pemerintahan.

3. Perkembangan Muhammadiyah
Meskipun banyak tantangan dan halangan yang dihadapi, namun dengan iman dan amal shaleh sabar dan tawakal Muhammadiyah terus maju dan berkembang sejak dari Sabang sampai ke Merauke. Secara garis besar perkembangan Muhammadiyah dapat dilihat dari segi vertikal dan teritorial gerakan Muhammadiyah telah meliputi seluruh Propinsi, Kabupaten/Kotamadya, Kecamatan dan Desa. Perkembangan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Jaringan Kepemimpinan/Struktural Muhammadiyah.
Jaringan kepemimpinan/Struktural Muhammadiyah pada era Orde Baru dapat dilihat data laporan Muktamar tahun 2000, Pimpinan Wilayah 26 Propinsi, Pimpinan Daerah 295, Pimpinan Cabang 2461, dan Pimpinan Ranting 6098. Dan pada tahun 2005 Pimpinan Wilayah, 30 propinsi , Pimpinan Daerah 375 kabupaten dan Kota, Pimpinan Cabang 2648 dan Pimpinan Ranting 6721.
Struktur Kepemimpinan Muhammadiyah untuk Pusat pada era Orde Baru terdiri, Ketua, dan beberapa Wakil Ketua, Sekretaris dan beberapa Wakil Sekretaris, Bendahara dan Wakil Bendahara. Pada Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang jabatan Ketua berganti nama dengan Ketua Umum.
Struktur Pimpinan ini dilengkapi dengan Badan Pembantu Pimpinan yang disebut dengan Majelis, Badan dan Lembaga yaitu; Majelis Tarjih, Majelis Tabligh, Mejelis Pendidikan dan Kebudayaan, Majelis Pembina Kesejahteraan Umat (PKU) sekarang Majelis Pembina Kesejahteraan sosial (MPKS), Majelis Ekonomi, Majelis Wakaf dan Kehartabendaan, Majelis Pustaka, Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembang (Diktilitbang).
Dalam perkembangan selanjutnya, pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 di Yogyakarta 1993, Majelis-Majelis tersebut dikembangkan menjadi, Majelis Pemdidikan dan Kebudayaan dibagi menjadi dua; Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Majelis Kebudayaan. Majelis Pembina Kesejahteraan Umat (PKU) dibagi menjadi dua, Majelis Pembina kesejahteraan Sosial dan Majelis Pembina Kesehatan, Majelis Diktilitbang dibagi menjadi Majelis Pendidikan Tinggi dan Lembaga Pengkajian dan Pengembangan (LPP).
Lembaga yang bersifat penyempurnaan, baik dengan nama Lembaga ataupun dengan nama Badan antara lain; Badan Pembina Kader (BPK), Badan Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri, Badan Perencanaan dan Evaluasi (BPE), Lembaga Dakwah Khusus (LDK), Lembaga Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (LIPTEK), Lembaga Pengembangan Masyarakat dan Sumber Daya Manusia (LPMSM) dan Lembaga Hikmah dan Studi Kemasyarakatan. Tugas Majelis, Badan dan Lembaga adalah sebagai pembantu Pimpinan dalam mengatur dan mengkoordinasikan kegiatan sesuai dengan bidang kewenangannya.
Adapun struktur organisasi pada tingkat Wilayah, Daerah, Cabang dan Ranting, mengikuti pola struktur Pimpinan Pusat tetapi disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan wilayah dan daerah setempat.
Di samping Majelis, Badan dan Lembaga, terdapat organisasi Otonom, yaitu organisasi yang bernaung di bawah organisasi induk yang diberi kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Organisasi Otonom tersebut adalah, ’Aisyiyah, Nasyiatul ’Aisyiah, Pemuda Muhammadiyah, Ikatan Remaja Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan Tapat Suci Putra Muhammadiyah. Keempat organisasi otonom Muhammadiyah yaitu NA, Pemuda Muhammadiyah, IRM dan IMM termasuk kelompok Angkatan Muda Muhammdiyah (AMM).

2. Amal Usaha Muhammadiyah
Meskipun pada masa Orde Baru, Muhammadiyah menjalani kehidupan yang amat sulit, karena Muhammadiyah terombang ambing oleh suasana politik yang direkayasa oleh pemerintah. Namun, pada tingkat Cabang dan Ranting Muhammadiyah tetap bergerak berperan dan berkiprah melaksanakan misinya yaitu membangun kehidupan beragama berbangsa dan bernegara dengan mengembangkan amal usaha di bidang sosial kemasyarakatan dan pendidikan. Pada era Orde lama amal usaha Muhammadiyah sebagaimana dikemukakan terdahulu tercatat sebanyak 4632 buah maka pada masa Orde Baru potensi amal usaha Muhammadiyah meningkat secara kuantitatif. Hal ini dapat dilihat pada data tahun 2000 yaitu,
Amal usaha bidang sosial dan ekonomi
1. Rumah Sakit, Balai Kesehatan, Poliklinik 312 buah
2. Panti Asuhan dan Santunan 240 buah
3. Bank Perkreditan Rakyat 19 buah
4. Baitut Tamwil Muhammadiyah (BMT) 190 buah
5. Koperasi Warga Muhammadiyah 808.buah
BUMM berupa PT 19 buah
- Jumlah 1579 buah
Amal Usaha bidang pendidikan
1. Sekolah Dasar (SD) 1128 buah
2. Madrasah Ibtidaiyah/Diniyah 1768 buah
3. Sekolah Menengah Pertama (SM 1179 buah
4. Madrasah Tsanawiyah 534 buah
5. Sekolah Menengah Atas (SMA) 509 buah
6. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 249 buah
7. Madrasah Aliyah (MA) 171 buah
8. Pondok Pesantren 55 buah
9. Akademi 55 buah
10. Politeknik 3 buah
11. Sekolah Tinggi 52 buah
12. Universitas 52.buah
-- Jumlah 5755 buah

Dari data di atas terlihat secara kuantitatif Muhammadiyah memiliki ribuan amal usaha dalam berbagai aspek kehidupan, sosial, pendidikan dan ekonomi, dan dinilai sebagai organisasi yang terbanyak amal usahanya Namun, bila dibandingkan dengan amal usaha di masa Orde Lama yaitu 4632 maka kenaikannya hanya 1123 selama 32 tahun. Hal ini tentu juga akibat dari pengaruh iklim politik yang kondusif.
Di samping itu, meskipun amal usaha Muhammadiyah sudah ribuan jumlahnya tetapi jumlah penduduk Indonesia yang pada saat ini lebih dari 210 juta, maka amal usaha Muhammadiyah mungkin belum menyentuh kebutuhan mayoritas penduduk Indonesia apalagi yang berada di akar rumput dan yang berada di bawah garis kemiskinan. Dalam hal ini benarlah apa yang dikemukakan oleh Marwah Daud dalam suatu tulisannya yang berjudul ”Muhammadiyah: Perjalanan Masih Panjang Pekerjaan Masih Banyak”. Yang jelas, Muhammadiyah telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam membangun bangsa dan negara.


F. Kesimpulan
Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta pada tahun 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan sebenarnya merupakan hasil telaah dan pemahaman beliau terhadap ajaran Islam setelah belajar agama Islam di Mekkah, dan mendapat pencerahan dan inspirasi dari kitab-kitab ulama modernis seperti Ibnu Qoyyim, Ibnu Taimiyah, Rasyid Ridho, Syekh Jamaluddin Al-Afghani..
Disamping itu, juga sebagai reaksi terhadap kondisi kehidupan keagamaan kaum muslimin di Indonesia yang pada waktu itu ditandai dengan dijajah oleh syirik, takhyul, bid’ah dan khurafat. Oleh karena itu, ide-ide pembaharuan yang dilakukan Muhammadiyah adalah ingin merubah kondisi tersebut dengan meningkatkan pengetahuan kaum muslimin dan membersihkan Islam dari pengaruh yang salah
Namun demikian, dalam perjalanan sejarahnya gerakan Muhammadiyah tidak berjalan dengan mulus. Muhammadiyah mendapat banyak tantangan baik dari pemerintah kolonial Belanda, pemerintah Indonesia terutama masa Orde Lama dan Orde Baru, dan beberapa kelompok masyarakat.
Khusus pada masa Orde Baru, Muhammadiyah berhadapan dengan iklim politik yang pengap dan menyesakkan nafas. Kebijakan-kebijakan politik pemerintah terasa sangat otoriter. Kebebasan berpolitik dibatasi, pelanggaran HAM terjadi di mana-mana. Muhammadiyah dan Ormas lain terpaksa menerima azaz tunggal Pancasila.
Dalam suasana politik yang tidak demokratis pada masa Orde Baru ini, Muhammadiyah terombang ambing oleh kemauan politik pemerintah. Namun, berkat adanya kebijakan Muhammadiyah membebaskan dirinya dari partai politik dan memberikan kebebasan kepada anggotanya untuk mempergunakan hak politiknya sesuai dengan aspirasinya, maka Muhammadiyah tetap berkiprah dan berperan melaksanakan misinya sebagai organisasi sosial keagamaan dan pendidikan.
Hal tersebut sebagaimana dibuktikan kemudian, apa yang dilakukan oleh Muhammdiyah dengan ribuan amal usahanya adalah sangat bermanfaat dan merupakan kontribusi Muhammadiyah terhadap bangsa dan agama. Bahkan kaum tradisionalis, yang pada awalnya menentang ide pembaharuan Muhammadiyah, secara pelan-pelan terbiasa dengan ide pembaharuan.














DAFTAR KEPUSTAKAAN

Din Syamsuddin (Ed), Muhammadiyah, Kini & Esok, (Jakarta : Panjimas, 1990

Edi Riyanto, dkk (Ed) Partai Politik Era Reformasi, Jakarta : Abadi, 1998

Mushtafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gera- kan Islam, Dalam Perspektif Historis dan Idilogis, Yogyakarta, 2000.

M. Yunan Yusuf, dkk. Ensiklopedi Muhammadiyah, Jakarta : PP. Muhammadiyah & Grafindo Persada, 2005

Mulkham, Abdul Munir, Pemikiran, K.H. Ahmad Dahlan, dan Muhammadiyah Da- lam Perspektif Perubahan Sosial, Jakarta : Bumi Aksara, 1990.
---------Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan, dan dan Amal Muhammadiyah, Yogyakarta, Percetakan Persatuan 1990

Noer, Deliar,Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942,Jakarta : LP3ES, 1985.

Nata, Abuddin, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Grafindo Persada, 2003

Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, Jakarta: Quantum Teaching, 2005

Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, Potret Timur Tengah Era Awal dan Indonesia, Jakarta : Quantum Teaching, 2005

Sahlan Rosidi, Kemuhammadiyaan Untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah, Jilid I, Solo : Mutiara, 1982

Sirajuddin Zar, dkk Muhammmadiyah di Indonesia 1959-1966, Perkembangan Pemikiran Keagamaan Serta Perannya Dalam Gerakan Sosial dan Politik (Laporan Penelitian) Padang: IAIN IB, 1998

Syukriyanto AR & Abdul Munir Mulkham (Ed), Pergumulan Pemikiran Dalam Muhammadiyah, Yogyakarta, SIPRES, 1990

Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Malang, UMM, 1990

Yunahar Ilyas, dkk (Ed), Muhammadiyah dan NU: Reorientasi Wawasan Keislaman, Yogyakarta:LPPI UMYLKPSM NU dan PP-Al-Muhsin Yogyakarta, 1994

Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara Bekerjasama dengan Depag RI, 1997.

PP. Muhammadiyah, Profil Muhammadiyah 2005, Yogyakarta, 2005

PP. Muhammadiyah, Laporan Majelis-Majelis Pada Muktamar 2005

PP. Muhammadiyah, Anggaran Dasar Muhammadiyah Yogyakarta, 2005

PP. Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, No. 5 TH. Ke-92/1-15 Maret 2007.













































ANALISIS FILOSOFIS PEMIKIRAN TOKOH PENDIDIKAN
K.H. AHMAD DAHLAN
Oleh : Syamsir Roust

A. Pendahuluan

Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 19 November 1912 merupakan alternatif dan jawaban dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia khususnya umat Islam. Masalah utama yang dihadapi pada awal kelahirannya, antara lain, meringkuk di bawah cengkraman penjajahan kolonial Belanda, kemudian hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan serta kebodohan. Selanjutnya, pada umat Islam terlihat ketidakmurnian amalan Islam, meluasnya pengaruh kristenisasi, sementara lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam yang akan mencerdaskan kehidupan bangsa sangat terbatas dan belum mampu menyiapkan generasi yang siap mengemban misi selaku khalifah Allah di muka bumi. Pada waktu itu, menurut Abuddin Nata sistem pendidikan ditandai dengan adanya sistem pendidikan yang dikotomis antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Di satu segi terdapat pendidikan agama tanpa mengajarkan pengetahuan umum, dan di satu sisi terdapat pendidikan umum yang tidak mengajarkan agama.
Berdasarkan pengamatan terhadap kondisi sosial tersebut, dan telaah terhadap ajaran Islam serta pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh pembaharuan Islam Timur Tengah seperti Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Ibn Taiymiyah, Syekh Muhammad Abduh Rasyid Ridho dan lain-lain, serta didorong oleh teman-teman dari Budi Utomo, maka K.H. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah. Melalui lembaga inilah beliau melaksanakan ide pembaharuan di segala bidang terutama bidang pendidikan. Sebab menurut K.H. Ahmad Dahlan agama Islam tidak akan bisa tegak tanpa diperjuangkan melalui organisasi yang rapi. Demikian pula untuk membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda, harus dengan meningkatkan ilmu pengetahuan dan kecerdasan melalui lembaga pendidikan. Itulah sebabnya gerakan Muhammadiyah pada awal kelahirannya memprioritaskan kegiatannya pada bidang pendidikan. Bahkan sampai sekarang amal usaha Muhammadiyah bidang pendidikan lebih banyak dari pada bidang sosial lainnya yaitu memiliki 5755 lembaga pendidikan mulai dari tingkat SD sampat ke Perguruan Tinggi dan belum termasuk Taman Kanak-Kanak. Sedangkan amal usaha bidang sosial dan ekonomi berupa, rumah sakit, balai kesehatan, poliklinik, panti asuhan dan santunan keluarga, bank perkreditan rakyat, baitut tamwil Muhammadiyah (BMT) koperasi warga Muhammadiyah, BUMM berupa PT berjumlah 1579 buah.
Begitu banyaknya amal usaha Muhammadiyah terutama bidang pendidikan seorang antropolog Amerika James Peacock menyatakan bahwa apa yang dikerjakan Muhammadiyah merupakan sesuatu yang pernah dikerjakan oleh para misionaris, para pendidik dan ahli strategi dinegaranya. Muhammadiyah benar-benar menunjukkan sebagai sebuah organisasi moderen yang ada di Indonesia. Bahkan, pada saat ini ide Muhammadiyah juga diterima dan dikembangkan oleh umat Islam di beberapa negara tetangga dan belahan dunia. Muhammadiyah berdiri di Singapura, Malaysia, Mesir, Belanda dan Australia.
Oleh karena seluruh amal usaha Muhammadiyah terutama bidang pendidikan merupakan kontribusi Muhammadiyah terhadap agama bangsa dan negara, maka pemerintah menetapkan K.H. Ahmad Dahlan sebagai pahlawan nasional, dan beliau juga dipandang sebagai tokoh pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia.
Berdasarkan hal yang demikian, maka mengkaji pemikiran K.H. Ahmad Dahlan sebagai tokoh pembaharuan pendidikan Islam merupakan kajian menarik dan penting apalagi dalam pengembangan pendidikan Islam dewasa ini.

B. Riwayat Hidup K.H. Ahmad Dahlan

Ahmad Dahlan lahir di Kauman Yogyakarta pada tahun 1868 dan meninggal pada tanggal 1923. Sewaktu kecil ia diberi nama Muhammad Darwis. Ia berasal dari keluarga didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama K.H. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar Kraton Yogyakiarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.
Sejak kecil Ahmad Dahlan dididik oleh ayahnya K.H. Abu Bakar seorang imam dan khatib masjid besar Kraton Yogyakarta. Menurut Ramayulis dan Samsul Nizar pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca dan menulis, mengaji Al-Qur an dan kitab-kitab agama. Kemudian, beliau juga belajar dengan K.H. Muhammad Saleh (ilmu Fiqh), K.H. Muhsin (ilmu Nahwu), KH. R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfuz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri (qiraat al-Qur an) serta beberapa guru lainnya.
Selanjutnya Ramayulis dan Samsul Nizar mengungkapkan, setelah beberapa tahun belajar dengan gurunya beliau berangkat ke tanah suci pada tahun 1890 dan bermukim di sana selama setahun. Merasa tidak puas dengan kunjungannya itu, pada tahun 1903 ia berangkat kembali dan menetap di sana selama dua tahun. Selama berada di Mekkah ini ia banyak bertemu dan bermuzakarah dengan sejumlah ulama Indonesia yang bermukim disana, di antaranya Syekh Muhammad Khatib Al-Minangakabawi, Kiyai Nawawi al-Banteni, Kiyai Mas Abdullah dan Kiyai Fakih Kembang. Pada saat itu pula ia mulai berkenalan dengan ide-ide pembaharuan yang dilakukan melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh refomer Islam seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan lain sebagainya. Melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh ulama reformer tersebut telah membuka wawasan Dahlan tentang universalitas Islam. Ide-ide reinterpretasi Islam dengan gagasan kembali kepada Al-Qur an dan Sunnah.
Ide pembaharuan yang berhembus di Timur Tengah sangat menggelitik hatinya, apalagi bila melihat kondisi umat Islam di Indonesia yang sngat stagnan. Untuk itu, atas saran beberapa orang murid dan anggota Budi Utomo, maka Dahlan merasa perlu merealisasikan ide-ide pembaharuannya. Untuk itu, pada tanggal 18 November 1912 beliau mendirikan organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta. Di samping Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan juga mendirikan organisasi wanita yaitu ’Aisyiyah pada tahun 1917. Organisasi ini merupakan wadah untuk kegiatan perempuan dalam memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam secara murni dan konsekwen. Berdirinya organisasi ini diawali dengan sejumlah pengajaran yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan mengenai perintah agama. Kursus tersebut diadakan dalam perkumpulan ”Sopo Tresno” pada tahun 1914. Perkumpulan inilah nanti yang berganti nama dengan ’Aisyiyah.
Secara garis besar ada dua faktor yang mempengaruhi kelahiran Muhammadiyah, faktor subjektif yaitu ingin melaksanakan hasil pemahaman K.H.Ahmad Dahlan terhadap frrman Allah surat An-Nisa’ ayat 82 dan surat Muhammad ayat 24 serta surat Ali Imran ayat 104. Faktor objektif yang bersifat internal dan eksternal. Faktor objektif internal yaitu kondisi kehidupan masyarakat Indonesia antara lain; ketidakmurnian pengamalan Islam akibat tidak dijadikan Al-Qur an dan as-Sunnah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagian besar umat Islam Indonesia. Kemudian, lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam belum mampu menyiapkan generasi yang siap mengemban misi selaku Khalifah Allah di atas bumi. . Karena itu, Muhammadiyah menitik beratkan gerakannya kepada sosial keagamaan dan pendidikan.
Adapun faktor objektif yang bersifat eksternal antara lain, semakin meningkatnya Gerakan Kristenisasi di tengah-tengah masyarakat Indonesia, dan penetrasi bangsa-bangsa Eropah, terutama bangsa Belanda ke Indonesia.
Di samping itu, politik kolonialis Belanda mempunyai kepentingan terhadap penyebaran agama Kristen di Indonesia. Dengan program ini akan didapat nilai ganda yaitu di samping bernilai keagamaan dalam arti telah dapat menyelamatkan domba-domba yang hilang, juga bernilai politis, karena betapa eratnya hubungan agama (Kristen) dengan pemerintahan (Hindia Belanda) setelah penduduk bumi putra masuk Kristen akan menjadi warga-warga yang loyal lahir dan batin bagi pemerintah.
K.H. Sahlan Rosidi secara rinci menyebutkan faktor-faktor yang mendorong K.H.Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah, ialah: taklid yang begitu membudaya dalam masyarakat Islam, khurafat dan syirik telah bercampur dengan akidah, sehingga kemurnian akidah sudah tidak tampak lagi, bid’ah yang terdapat pada pengamalan ibadah, kejumudan berfikir dan kebodohan umat, sistem pendidikan yang sudah tidak relevan, timbulnya kelas elit intelek yang bersikap sinis terhadap Islam dan orang Islam, rasa rendah diri di kalangan umat Islam, tidak ada program perjuangan umat Islam yang teratur dan terencana khususnya dalam pelaksanaan dakwah Islam, tidak ada persatuan umat Islam, kemiskinan umat bila dibiarkan akan membahayakan karena mudah dirongrong oleh golongan kafir yang kuat ekonominya, politik kolonialisme Belanda yang menekan dan menghambat hidup dan kehidupan umat Islam di Indonesia, politik kolonialisme Belanda menunjang kristenisasi di Indonesia. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, dan dorongan orang-orang Budi Utomo dan Syekh Ahmad Syurkati K.H.Ahmad Dahlan dengan dibantu oleh murid-muridnya, mendirikan organisasi yang diberi nama Muhammadiyah. Menurut catatan Alfian, ada sembilan orang tokoh pendiri Muhammadiyah yaitu; K.H. Ahmad Dahlan, H. Abdullah Siradj, Raden Ketib Cendana Haji Ahmad, Haji Abdurrahman, R. H. Sarkawi, H. Muhammad, R. H. Djaelani, H. Anis, dan H. Muhammad Fakih.
Organisasi Muhammadiyah sampai tahun 1917 belum membuat pembagian kerja yang jelas. Hal ini disebabkan wilayah kerjanya hanya Yogyakarta saja. Dalam kurun ini K.H. Ahmad Dahlan sendiri aktif berdakwah, mengajar di sekolah Muhammadiyah dan memberikan bimbingan kepada masyarakat seperti shalat dan bantuan kepada fakir miskin
Kemudian, pada tahun-tahun berikut, Muhammadiyah mengembangkan sayap operasi, bahkan pada tahun 1921 telah meliputi seluruh Indonesia, Cabang utama dan pertama yang berdiri di luar pulau Jawa adalah Minangkabau sekitar tahun 1923, Bengkulu, Banjarmasin dan Amuntai sekitar tahun 1927 dan Aceh bersamaan dengan Makasar sekitar tahun 1929.
Dalam melaksanakan roda organisasi K.H. Ahmad Dahlan tidak bekerja sendirian, ia dibantu oleh kawan-kawannya dari Kauman, seperti H. Sijak, H. Fakhruddin, H. Tamim, H. Syarkawi, dan H. Abdul Gani. Sedangkan anggota Budi Utomo yang keras mendukung segera mendirikan sekolah agama yang bersifat moderen adalah Mas Rasyidi dan R. Sosrosugondo. Kemudian, setelah organisasi Muhammadiyah didirikan dan melaksanakan amal usahanya di bidang pendidikan, dan sosial sampai tahun meninggalnya K.H. Ahmad Dahlan yaitu tanggal 23 Februari 1923.

C. Pemikirannya Tentang Pendidikan
Menurut Ramayulis dan Samsul Nizar, hampir seluruh pemikiran Dahlan berangkat dari keprihatinannya terhadap situasi dan kondisi global umat Islam waktu itu yang tenggelam dalam kejumudan(stagnasi), kebodohan, serta keterbelakangan. Kondisi ini sangat merugikan bangsa Indonesia. Latar belakang situasi dan kondisi tersebut telah mengilhami munculnya ide pembaharuan Dahlan. Ide ini sesungguhnya telah muncul sejak kunjungannya pertama ke Mekkah. Kemudian ide itu lebih dimantapkan setelah kunjungannya yang kedua. Hal ini berarti, bahwa kedua kunjungannya merupakan proses awal terjadinya kontak intelektualnya baik secara langsung maupun tak langsung dengan ide-ide pembaharuan yang terjadi di Timur Tengah pada awal abad XX.
Secara umum, ide-ide pembaharuan Ahmad Dahlan menurut Ramayulis dan Samsul Nizar dapat diklasifikasikan kepada dua dimensi, yaitu; Pertama, berupaya memurnikan (purifikasi) ajaran Islam dari khurafat, tahayul, dan bid’ah yang selama ini telah bercampur dalam akidah dan ibadah umat Islam. Kedua, mengajak umat Islam untuk keluar dari jaring pemikiran tradisional melalui reinterpretasi terhadap doktrin Islam dalam rumusan dan penjelasan yang dapat diterima oleh rasio.
Ide-ide pembaharuan tersebut hanya dapat dilaksanakan melalui pendidikan. Menurut Ahmad Dahlan pendidikan juga merupakan upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat. Mereka hendaknya didik agar cerdas, kritis, dan memiliki daya analisis yang tajam dalam memetakan dinamika kehidupan pada masa depan. Adapun kunci untuk meningkatkan kemajukan umat Islam adalah kembali kepada al-Qur`an dan hadis, mengarahkan umat pada pemahaman ajaran Islam secara komprehensif, dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Upaya ini secara strategis dapat dilakukan melalui pendidikan.
Tetapi pendidikan yang dimaksud oleh K.H. Ahmad Dahlan adalah pendidikan yang berorientasi pada pendidikan moderen, yaitu dengan menggunakan sistem klasikal. Apa yang dilakukannya merupakan sesuatu yang masih cukup langka dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam pada waktu itu. Di sini, ia menggabungkan sistem pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan tradisonal secara integral.
Menurut Abuddin Nata, untuk mewujudkan cita-citanya itu, pada tahun 1911 Ahmad Dahlan membuat proyek unggulan yaitu mendirikan sebuah madrasah yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan kaum muslimin. Di sekolah inilah pendidikan agama diberikan oleh Ahmad Dahlan disamping pengetahuan umum diajarkan oleh salah seorang anggota Budi Utomo yang juga menjadi guru di sekolah pemerintah. . Kemudian, setelah Muhammadiyah berdiri tahun 1912 madrasah tersebut resmi menjadi amal usaha Muhammadiyah.
Dari paparan di atas dapat dipahami, bahwa K.H. Ahmad Dahlan dalam menyusun ide-ide pembaharuannya bertolak dari kondisi sosial umat Islam pada waktu itu atau dalam ungkapan lain disebut berdasarkan kepada kajian lapangan. Kemudian, ditambah dengan rihlah ilmiahnya ke Timur Tengah Jadi, pada awal abad ke-20 Ahmad Dahlan telah berfikir secara sistematis, terencana dan manajerial sesuai dengan konsep pengembangan pendidikan moderen. Selanjutnya, untuk menyelamatkan umat dari penjajahan fisik kolonial Belanda dan penajajahan syirik, takhyul bid’ah dan khurafat dan kemiskinan dan kebodohan adalah melalui sarana pendidikan.
Jadi berarti pola pemikiran Ahmad Dahlan hampir sama dengan pola pemikiran Syekh Mohammad Abduh. Menurut Abduh bahwa revolusi dalam bidang politik tidak akan ada artinya, sebelum ada perubahan mental secara besar-besaran dan dilalui secara berangsur-angsur atau secara evolusi. Tegasnya bagi Muhammad Abduh dalam rangka memperjuangakn terwujudnya ’izzul Isalam wal muslimin di samping umat Islam harus berani merebut kekuasaan politik kenegaraan, maka terlebih dahulu yang perlu dibenahi adalah memperberbaharui sember-sumber para mujaddin dan ulama. Lewat sumber-sumber inilah akan lahir kader-kader pembaharu yang akan menyebar ke seluruh dunia.
Mengenai pelaksanaan pendidikan ---menurut Dahlan-- hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh yaitu Al-Qur an dan Sunnah. Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi memrumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal (khaliq) maupun horizontal (makhluk). Dalam pandangan Islam, paling tidak ada dua sisi tugas penciptaan manusia, yaitusebagai `abd Allah dan khalifah fi al-ardh. Dalam proses kejadiannya, manusia diberikan Allah al-ruh dan al-`aql. Untuk itu, media yang dapat mengembangkan potensi al-ruh untuk menalar penunjuk pelaksanaan ketundukan dan kepatuhan manusia epada Khaliqnya. Di sini eksistensi akal merupakan potensi dasar bagi peserta didik yang perlu dipelihara dan dikembangkan guna menyusun kerangka teoretis dan metodologis bagaimana menata hubungan yana harmonis secara vertikal maupun horizontal dalam konteks tujuan penciptannya.
Islam menekankan kepada umatnya untuk mendayagunakan semua kemampuan yang ada pada dirinya dalam rangka memahami fenomena alam semesata, baik alam makro maupun mikro. Meskipun dalam banyak tempat al-Qur`an senantiasa menekankan pentingnya menggunakan akal, akan tetapi al-Qur`an juga juga mengakui akan keterbatasan kemampuan akal. Ada fenomena yang tak dapat dijangkau oleh indera dan akal manusia (Q.S 13:2; 31:10; 63:3). Hala in disebabkan, karena wujud yang ada di alam ini memiliki dua dimensi, yaitu pisika dan metapisika. Manusia merupakan integrasi dari kedua dimensi tersebut, yaitu dimensi ruh dan jasad.
Batasan di atas memberikan arti, bahwa dalam epistemologi pendidikan Islam, ilmu pengetahuan dapat diperoleh apabila peserta didik (manusia) mendayagunakan berbagai media, baik yang diperoleh melalui persepsi inderawi, akal, kalbu, wahyu maupun ilham. Oleh karena itu, aktivitas pendidikan dalam Islam hendaknya memberikan kemungkinan yang sebesar-besarnya bagi pengembangan ke semua dimensi tersebut. Menurut Dahlan, pengemabangan tersebut merupakan proses integrasi ruh dan jasad. Konsep ini diketengahkannya dengan menggariskan perlunya pengkajian ilmu pengtahuan secara langsung, sesuai prinsip-prinsip al-Qur`an dan sunnah, bukan semata-mata dari kitab tertentu.
Dari sumber-sumber di atas, dapat dipahami bahwa landasan pendidikan Islam menurut Ahmad Dahlan adalah Al-Qur an dan hadis, maka dalam menetapkan tujuan pendidikan Islam juga sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Al-Qur an yaitu sesuai dengan tujuan penciptaan manusia yaitu sebagai hamba Allah dan khalifah Allah di muka bumi, dalam ungkapan lain disebut dengan rehumanisasi yaitu mengembalikan kedudukan manusia kepada kedudukan yang sebenarnya yaitu sebagai hamba Allah dan Khalifah Allah di muka bumi. Untuk tercapainya tujuan pendidikan Islam tersebut, manusia harus mengembangkan potenmsi dirinya melalui pendidikan. Potensi diri itu sebagaimana yang dianugerahkan oleh Allah antara lain; fitrah beragama, potensi akal, roh, qalbu dan nafs.
Untuk tercapainya tujuan pendidikan Islam, maka materi pendidikan menurut Dahlan, adalah pengajaran al-Qur`an dan Hadis, membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi dan menggambar. Materi al-Qur`an dan Hadis meliputi; ibadah, persamaan derajat, fungsi perbuatan manusia dalam menentukan nasibnya, musyawarah, pembuktian kebenaran al-Qur`an dan Hadis menurut akal, kerjasama antara agama-kebudayaan-kemajuan peradaban, hukum kausalitas perubahan, nafsu dan kehendak, demokratisasi dan liberalisasi, kemerdekaan berpikir, dinamika kehidupan dan peranan manusia di dalamnya, dan akhlak (budi pekerti).
Di samping itu, menurut Abuddin Nata, bahwa pendidikan harus membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mencapai kemajuan materiil. Oleh karena itu, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat di mana siswa itu hidup. Dengan pendapatnya itu, sesungguhnya Ahmad Dahlan mengkritik kaum tradisionalis yang menjalankan model pendidikan yang diwarisi secara turun temurun tanpa melihat relevansinya dengan perkembangan zaman.
Pemikiran Ahmad Dahlan yang demikian itu, merupakan respon pragmatis terhadap kondisi ekonomi umat Islam yang tidak menguntungkan di Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa dibawah kolonial Belanda, umat Islam tertinggal secara ekonomi karena tidak memiliki akses kepada sektor-sektor pemerintahan dan perusahan-perusahan swasta. Kondisi yang demikian itu menjadi perhatian oleh K.H. Ahmad Dahlan yang berusaha memperbaiki sistem pendidikan Islam.
Berangkat dari gagasan di atas, maka menurut Dahlan pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, ’alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Hal ini berarti bahwa pendidikan Islam merupakan upaya pembinaan pribadi muslim sejati yang bertaqwa, baik sebagai ’abd maupun khalifah fi al-ardh. Untuk mencapai tujuan ini, proses pendidikan Islam hendaknya mengakomodasi berbagai ilmu pengetahuan, baik umum maupun agama, untuk mempertajam daya intelektualitas dan memperkokoh spritualitas peserta didik. Menurur Dahlan, upaya ini akan terealisasi manakala proses pendidikan bersifat integral. Proses pendidikan yang demikan pada gilirannya akan mampu menghasilkan alumni ”intelektual ulama” yang berkualitas. Untuk menciptakan sosok peserta didik yang demikian, maka epistemologi Islam hendaknya dijadikan landasan metodologis dalam kurikulum dan bentuk pendidikan yang dilaksanakan.
Adapun intelek ulama yang berkualitas yang akan diwujudkan itu harus memiliki kepribadian Al-Qur an dan Sunnah. Dalam hal ini, Ahmad Dahlan memiliki pandangan yang sama dengan Ahmad Khan mengenai pentingnya pembentukan kepribadian sebagai target penting dari tujuan-tujuan pendidikan. Dia berpendapat bahwa tidak seorangpun dapat mencapai kebesaran di dunia ini dan di akhirat kecuali mereka yang memiliki kepribadian yang baik. Seorang yang berkepribadian yang baik adalah orang yang mengamalkan ajaran-ajaran Al-Qur an dan Hadis. Karena Nabi merupakan contoh pengamalan Al-Qur an dan Hadis, maka dalam proses pembentukan kepribadian siswa harus diperkenalkan pada kehidupan dan ajaran-ajaran Nabi.
Berangkat dari pandangan di atas, sesungguhnya Ahmad Dahlan menginginkan pengelolaan pendidikan Islam secara modern dan profesional, sehingga pendidikan yang dilakasanakan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik menghadapi dinamika zamannya. Untuk itu, pendidikan Islam perlu membuka diri, inovatif, dan progresif.
Dari uraian di atas, nyatalah bahwa Ahmad Dahlan benar-benar seorang pemikir dan pembaharu dalam dunia pendidikan. Pemikiran-pemikirannya tentang pendidikan telah menjangkau pola pemikiran moderen sekarang ini. Misalnya dalam pelaksanaan pendidikan yang terkait dengan penyempurnaan kurikulum, Ahmad Dahlan telah memasukkan materi pendidikan agama dan umum secara integratif kepada lembaga pendidikan sekolah yang dipimpinnya, kemudian memperkokoh kepribadian intelek ulama. Hal ini sesuai dengan pole pengembangan pendidikan mutaakhir yang meletakkan tiga validitas. Pertama validitas luar, yaitu sejaumana produk yang dihasilkan memenuhi kebutuhan pangsa pasar, kedua, validitas dalam yang menyangkut dengan proses pembelajaran yang berkaitan dengan penyempurnaan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, ketiga, pembentukan kepribadian yang kokoh yang sesuai dengan tuntutan dan tuntunan ajaran Islam.
Dengan pola pembaharuan pendidikan di atas, maka sekolah-sekolah yang didirikan oleh Muhammadiyah ini mendapat sambutan baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Dari kalangan masyarakat, seperti yang digambarkan oleh Nakamura lewat penelitiannya di Kota Gede, Yogyakarta, banyak orang dari kalangan luas yang memiliki orientasi keagamaan serta status sosial yang berbedar yang memasukkan anak-anaknya ke sekolah Muhammadiyah, termasuk diantaranya keluarga priyayi. Dari pihak pemerintah, sekolah Muhammadiyah bahkan mendapat bantuan karena dianggap memenuhi syarat
Pembaharuan di bidang ide dan penyelenggaraan dirumuskan oleh Ahmad Dahlan dengan menyempurnakan kurikulum pendidikan Islam, dengan memasukkan pendidikan agama ke sekolah umum dan pengetahuan umum ke sekolah agama. Sedangkan di bidang teknik penyelenggaraan, pembaharuan yang dilakukan meliputi metode, alat dan sarana pengajaran, organisasi sekolah serta sistem evaluasi. Bentuk pembaharuan teknis ini diambil dari sestem pendidikan moderen. Dari perpaduan ini, menurut Nakamura, maka pendidikan Muhammadiyah.memperoleh hasil yang berlipat ganda. Pertama, menambah kesadaran nasional bangsa Indonesia melalui ajaran Islam; Kedua, melalui sekolah Muhammadiyah, ide pembaharuan bisa disebarkan secara luas; ketiga, mempromosikan ilmu pengetahuan praktis dari pengetahuan moderen.
Sekolah-sekolah yang didirikan oleh Muhammadiyah ini mendapat sambutan baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Dari kalangan masyarakat, seperti yang digambarkan oleh Nakamura lewat penelitiannya di Kota Gede, Yogyakarta, banyak orang dari kalangan luas yang memiliki orientasi keagamaan serta status sosial yang berbedar yang memasukkan anak-anaknya ke sekolah Muhammadiyah, termasuk diantaranya keluarga priyayi. Dari pihak pemerintah, sekolah Muhammadiyah bahkan mendapat bantuan karena dianggap memenuhi syarat
Islam merupakan agama taghyyir yang menghendaki modernisasi (tajdid). Prinsip ini ditegaskan Allah dalam al-Qur`an, bahwa tidak akan terjadi modernisasi pada suatu kaum, kecuali mereka sendiri yang berupaya ke arah tersebut (Q.S 13:11). Di sini, Islam mencela sifat jumud dan taqlid yang membabi buta. Karenanya, Islam mendorong manusia meningkatkan kreatifitas berpikirnya dan melakukan prakarsa. Untuk itu diperlukan kerangka metodologis yang bebas, sistematis, dan mengacu pada nilai universal ajaran Islam. Proses perumusan kerangka ideal yang demikian --menurut Dahlan-- disebut dengan proses ijtihad, yaitu mengerahkan otoritas intelektual untuk sampai pada suatu konklusi tentang berbagai persoalan. Proses tersebut dilakukan manakala otoritas-otoritas yang lebih tinggi tidak bisa menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Dalam konteks ini, pendidikan merupakan salah satu bentuk artikulsi tajdid yang strategis dalam memahami ajaran Islam (al-Qur`an dan Hadis) secara proporsional.
Dalam hal ini, sepertinya Dahlan menyadari bahwa umat Islam telah demikian lama terpasung oleh faham dan amal agama yang menyimpang dari universalitas ajaran Islam.
Paparan di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya Dahlan mecoba menggugat praktek pendidikan Islam pada masanya. Pada waktu itu, pelaksanaan pendidikan hanya dipahami sebagai proses peawarisan adat dan sosialisasi prilaku individu maupun sosialisasi model baku dalam masyarakat. Pendidikan tidak memberikan kebebasan peserta didik untuk berkreasi dan mengambil prakarsa. Kondisi yang demikian menyebabkan pelaksanaan pendidikan berjalan searah dan tidak bersifat diologis. Padahal, menurut Dahlan, pengemangan daya kritis, sikap diologis, menghargai potensi akal dan hati yang suci, merupakan cara strategis bagi peserta didik mencapai pengtahuan tertinggi. Dari batasan ini terlihat bahwa Dahlan ingin meletakkan visi dasar bagi reformasi pendidikan Islam melalui penggabungan sistem pendidikan modern dan tradisional secara harmonis dan integral.
Berangkat dari gagasan di atas, maka menurut Dahlan pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, ’alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Hal ini berarti bahwa pendidikan Islam merupakan upaya pembinaan pribadi muslim sejati yang bertaqwa, baik sebagai ’abd maupun khalifah fi al-ardh. Untuk mencapai tujuan ini, proses pendidikan Islam hendaknya mengakomodasi berbagai ilmu pengetahuan, baik umum maupun agama, untuk mempertajam daya intelektualitas dan memperkokoh spritualitas peserta didik. Menurur Dahlan, upaya ini akan terealisasi manakala proses pendidikan bersifat integral. Proses pendidikan yang demikan pada gilirannya akan mampu menghasilkan alumni ”intelektual ulama” yang berkualitas. Untuk menciptakan sosok peserta didik yang demikian, maka epistemologi Islam hendaknya dijadikan landasan metodologis dalam kurikulum dan bentuk pendidikan yang dilaksanakan.
Menurut Dahlan, materi pendidikan adalah pengajaran al-Qur`an dan Hadis, membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi dan menggambar. Materi al-Qur`an dan Hadis meliputi; ibadah, persamaan derajat, fungsi perbuatan manusia dalam menentukan nasibnya, musyawarah , pembuktian kebenaran al-Qur`an dan Hadis menurut akal, kerjasama antara agama-kebudayaan-kemajuan peradaban, hukum kausalitas perubahan, nafsu dan kehendak, demokratisasi dan liberalisasi, kemerdekaan berpikir, dinamika kehidupan dan peranan manusia di dalamnya, dan akhlak (budi pekerti).
Berpijak pada pandangan di atas, sesungguhnya Dahlan menginginkan pengelolaan pendidikan Islam secara modern dan profesional, sehingga pendidikan yang dilakasanakan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik menghadapi dinamika zamannya. Untuk itu, pendidikan Islam perlu membuka diri, inovatif, dan progresif.
Untuk mewujudkan ide pembaharuannya di bidang pendidikan, maka Dahlan merasa perlu mendirikan lembaga pendidikan yang berorientasi pada pendidikan modern, yaitu dengan menggunakan sistem klasikal. Apa yang dilakukannya merupakan sesuatu yang masih cukup langka dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam pada waktu itu. Di sini, ia menggabungkan sistem pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan tradisonal secara integral.
Komimen Dahlan terhadap pendidikan agama demikian kuat. Oleh karena itu, ai antara faktor utama yang mendorongnya masuk organisasi Boedi Oetomo pada tahun 1909 adalah untuk mendapatkan peluang memberikan pengajaran agama kepada para anggotanya. Strategi yang ditempuhnya dimaksudkan untuk membuka kesempatan memberikan pelajaran agama di sekolah-sekolah pemerintah. Pendekatan ini dilakukan karena para anggota organisasi Boedi Oetomo pada umumnya bekerja di sekolah dan kantor pemerintahan waktu itu. Komitmenmya terhadap pedidikan agama selanjutnya menjadi salah satu ciri khas oraganisasi yang didirikan pada tahun 1912, yaitu oraganisasi Muhammadiyah.
Tanpa mengurangi pemikiran para intelektual muslim lainnya, paling tidak pemikiran Dahlan tentang pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai awal kebangkitan pendidikan Islam di Indonesia. Gagasana pembaharuannyasempat mendapat tantangan masyarakat waktu itu, terutama dari lingukungan pendidikan tradisional. Kendati demikian, bagi Dahlan, tantangan tersebut bukan merupakan hambatan, melainkan tantangan yang perlu dihadapi secara arif dan bijaksana.
Arus dinamika pembaharuan terus mengalir dan bergerak menuju kepadan berbagai pesoalana kehidupan yangn semakin kompleks. Dengan demikian, peranan pendidikan Islam menjadi semakin penting dan strategis untuk senantiasa mendapat perhatian yang serius. Hal ini disebabkan, karena pendidikan merupakan media yang strategis untuk mencerdaskan umat. Melalui media ini, umat akan semakin kritis dna memiliki daya analisa yang tajam dalam membaca peta kehidupan masa depannya yang dinamis. Dalam konteks ini, setidaknya pemikiran pendidikan Dahlan dapat diletakkan sebagai upaya sekaligus wacana untuk memberikan inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan yang lebih proporsional.

Meskipun demikian, tidak semua pihak yang menyambut kehadiran Muhammadiyah itu positif. Pemerintah kolonial Belanda misalnya, meskipun mereka mengizinkan Muhammadiyah berdiri, karena mereka ingin mendapat simpati dan mengurangi sikap reaksi kaum muslimin terhadap pemerintahan kolonial, di samping pula organisasi Muhammadiyah bukan organisasi politik. Menurut Deliar Noer, meskipun pemerintah kolonial mengizinkan Muhammadiyah, Muhammadiyah tidak bisa berbuat leluasa, pernah pemerintah kolonial melarang tabligh Muhammadiyah, dan guru-guru Muhammadiyah pernah dilarang untuk mengajar.
Di samping pemerintah kolonial Belanda, orang-orang nasionalis juga menuduh Muhammadiyah mempunyai hubungan dengan Belanda dan bekerja sama dengan Belanda. Mereka bersikap negatif terhadap Muhammadiyah karena Muhammadiyah mendasari gerakannya dengan politik. Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan yang akan membersihkan Islam dari pengaruh tradsional. Di sinilah pertentangan semakin tajam karena menyangkut dengan keyakinan kebenaran masing-masing. Oleh karena itu kaum tradisionalis menolak setiap perubahan, karena dianggap sebagai rongrongan terhadap ajaran agamanya. Di sisi lain , Muhammdiyah memandang perlu adanya perubahan selama kebiasaan-kebiasaan tersebut dinilai sebagai penyimpangan dari ajaran yang benar.
Ide pembaharuan pendidikan Islam yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan sebenarnya didasarkan kepada realitas sosial, di mana sejak awal abad ke-20, dunia pendidikan Islam masih ditandai dengan masih adanya sistem pendidikan yang dikotomis antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Di satu segi terdapat pendidikan umum yang tidak mengajarkan agama. Pendidikan Islam juga tidak memiliki visi, misi dan tujuan yang jelas, terutama jika dihubungkan dengan perkembangan masyarakat. Umat Islam berada dalam kemunduran yang diakibatkan oleh pendidikannya yang tradisional.



F. Kesimpulan
Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta pada tahun 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan sebenarnya merupakan hasil telaah dan pemahaman beliau terhadap ajaran Islam setelah belajar agama Islam di Mekkah, dan mendapat pencerahan dan inspirasi dari kitab-kitab ulama modernis seperti Ibnu Qoyyim, Ibnu Taimiyah, Rasyid Ridho, Syekh Jamaluddin Al-Afghani.. Disamping itu, juga sebagai reaksi terhadap kondisi kehidupan sosial bangsa dan sosial keagamaan kaum muslimin di Indonesia yang pada waktu itu meringkuk di bawah penjajahan kolonial Belanda dan penjaajahan pemikiran yang ditandai dengan meraja lelanya perbuatan syirik, takhyul, bid’ah dan khurafat dan dhidup dalam kemiskinan, kemelaratan dan kebodohan.
Untuk membebaskan dan menyelamatkan bangsa Indonesia dan umat Islam dari berbagai belenggu penjajajahan tersebut, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah dan memusatkan kegiatannya pada bidang pendidikan di samping bidang-bidang sosial lainnya. Langkah ini di ambil, karena menurut Ahmad Dahlan bangsa Indonesia tidak akan bisa dibebaskan dari berbagai belenggu penjajajahan tanpa ditingkatkan ilmu pengetahuan dan kecerdasan, di samping meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara.
Guna meningkatkan ilmu pengetahuan, kesadaran berbangsa dan bernegara dan beragama Ahmad Dahlan mendirikan madrasah Ibtidaiyah yang dikelolanya secara moderen yaitu dengan mengintegrasikan pendidikan agama dan umum yang pada waktu itu, dunia pendidikan ditandai dengan sistem dikotomis, yaitu memisahkan pendidikan agama dengan pendidikan umum. Demikian pula pengelolaannya yang dilaksanakan secara profesional dan moderen dengan mencontoh sistem pengelolaan sekolah Belanda.
Menurut Ahmad Dahlan, landasan pendidikan Islam adalah Al-Qur an dan Sunnah dan tujuannya harus sesuai menurut penciptaan manusia yang tertera dalam Al-Qur an dan sunnah yaitu membentuk manusia sebagai hamba Allah dan Khalifah Allah di muka bumi. Untuk itu, segala potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia harus dikembangkan melalui sarana pendidikan.
Meskipun ide-ide pembaharuan yang dilakukan Muhammadiyah adalah ingin merubah kondisi tersebut dengan meningkatkan ilmu pengetahuan kaum muslimin dan kesadaran beragama dan bernegara serta membersihkan umat Islam dari pengaruh yang salah Namun, dalam perjalanan sejarahnya gerakan Muhammadiyah tidak berjalan dengan mulus. Muhammadiyah mendapat banyak tantangan baik dari pemerintah kolonial Belanda, dan komunitas masyarakat tradisional
Tetapi sebagaimana dibuktikan kemudian, apa yang dilakukan oleh Muhammdiyah dengan ribuan amal usahanya adalah sangat bermanfaat dan merupakan kontribusi Muhammadiyah terhadap bangsa dan agama. Bahkan kaum tradisionalis, yang pada awalnya menentang ide pembaharuan Muhammadiyah, secara pelan-pelan terbiasa dengan ide pembaharuan.














DAFTAR KEPUSTAKAAN

Din Syamsuddin (Ed), Muhammadiyah, Kini & Esok, (Jakarta : Panjimas, 1990

Mushtafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gera- kan Islam, Dalam Perspektif Historis dan Idilogis, Yogyakarta, 2000.

M. Yunan Yusuf, dkk. Ensiklopedi Muhammadiyah, Jakarta : PP. Muhammadiyah & Grafindo Persada, 2005

Mulkham, Abdul Munir, Pemikiran, K.H. Ahmad Dahlan, dan Muhammadiyah Da- lam Perspektif Perubahan Sosial, Jakarta : Bumi Aksara, 1990.
---------Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan, dan dan Amal Muhammadiyah, Yogyakarta, Percetakan Persatuan 1990

Noer, Deliar,Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942,Jakarta : LP3ES, 1985.

Nata, Abuddin, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Grafindo Persada, 2003

Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, Jakarta: Quantum Teaching, 2005

Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, Potret Timur Tengah Era Awal dan Indonesia, Jakarta : Quantum Teaching, 2005

Sahlan Rosidi, Kemuhammadiyaan Untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah, Jilid I, Solo : Mutiara, 1982

Sirajuddin Zar, dkk Muhammmadiyah di Indonesia 1959-1966, Perkembangan Pemikiran Keagamaan Serta Perannya Dalam Gerakan Sosial dan Politik (Laporan Penelitian) Padang: IAIN IB, 1998

Syukriyanto AR & Abdul Munir Mulkham (Ed), Pergumulan Pemikiran Dalam Muhammadiyah, Yogyakarta, SIPRES, 1990

Yunahar Ilyas, dkk (Ed), Muhammadiyah dan NU: Reorientasi Wawasan Keislaman, Yogyakarta:LPPI UMYLKPSM NU dan PP-Al-Muhsin Yogyakarta, 1994

Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara Bekerjasama dengan Depag RI, 1997.
PP. Muhammadiyah, Profil Muhammadiyah 2005, Yogyakarta, 2005
Mushtafa Kamal Pasha, Bed dan Ahmad Adabi Darban, SU, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam, Dalam Perspektif Historis dan Ideologis, Yogyakarta : LPPI, 2000

Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2005

Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, Jakarta: Quantum Teaching, 2005

Profil Muhammadiyah 2005, Yogyakarta, PP. Muhammadiyah 2005

Suara Muhammadiyah, No. 05 TH Ke-92/1-15 Maret 2007, Sajian Utama, Istiqamah Bermuhammadiyah, Yogyakarta : PP Muhammadiyah, 2007.

Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, Potret Timur Tengah Era Awal dan Indonesia, (Jakarta : Quantum Teaching, 2005.

K.H. Sahlan Rosidi, Kemuhammadiyaan Untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah, Jilid I Solo : Mutiara, 1982

Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 Jakarta : LP3ES, 1982

Fakhry Ali, dan Bakhtiar Efendi, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran Indonesia, Masa Orde Baru, Bandung : Mizan, 1986.






Selengkapnya...