Minggu, 22 Februari 2009

Islam dan Kebudayaan

Oleh : Dra. Desmaniar Tongga, M.Pd

Kata agama dan kebudayaan merupakan dua kata yang seringkali bertumpang tindih, sehingga mengaburkan pamahaman kita terhadap keduanya. Banyak pandangan yang menyatakan agama merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi tak sedikit pula yang menyatakan kebudayaan merupakan hasil dari agama. Hal ini seringkali membingungkan ketika kita harus meletakkan agama (Islam) dalam konteks kehidupan kita sehari-hari. Koentjaraningrat mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu.

Koentjaraningrat juga menyatakan bahwa terdapat unsur-unsur universal yang terdapat dalam semua kebudayaan yaitu, sistem religi, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, serta sistem teknologi dan peralatan. Agama merupakan bagian dari kebudayaan. Dengan demikian, agama (menurut pendapat di atas) merupakan gagasan dan karya manusia. Bahkan lebih jauh Koentjaraningrat menyatakan bahwa unsur-unsur kebudayaan tersebut dapat berubah dan agama merupakan unsur yang paling sukar untuk berubah. Ketika Islam diterjemahkan sebagai agama (religi) berdasar pandangan di atas, maka Islam merupakan hasil dari keseluruhan gagasan dan karya manusia. Islam pun dapat pula berubah jika bersentuhan dengan peradaban lain dalam sejarah. Islam lahir dalam sebuah kebudayaan dan berkembang (berubah) dalam sejarah. Islam merupakan produk kebudayaan. Islam tidaklah datang dari langit, ia berproses dalam sejarah. Pandangan tersebut telah melahirkan pemahaman rancu terhadap Islam. Pembongkaran terhadap sejarah Al-Qur’an, justifikasi terhadap ide-ide sekulerisme, dan desakan untuk ‘berdamai’ menjadi Islam inklusif, merupakan produk dari kerancuan pemahaman tersebut.
Agama yang disebut dalam pandangan Kontjaraningrat di atas tentu tidak dapat dinisbatkan kepada Islam. Pemaksaan untuk memasukan Islam dalam teori tersebut akan menghasilkan pemahaman yang rancu. Islam seharusnya diberi kesempatan untuk menafsirkan dirnya sendiri. Islam pun harus berikan keleluasaan untuk mendevinisikan kebudayaan. Buya Hamka menyatakan bahwa kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa itu sedia telah ada dalam jiwa manusia sendiri. Hal itulah yang universal dalam diri manusia, fitrah manusia. Manusia melihat alam yang megah dan berbagai fenomena luar biasa, kemudian mencoba untuk menjelaskannya. Dari fitrah itulah menusia kemudian mencari tahu “siapa yang Maha Kuasa?”. Pencarian manusia tersebut telah melahirkan banyak paham dan pandangan yang kemudian dipercayai sebagai agama. Agama-agama semacam ini bukanlah agama yang diturunkan Allah Swt kepada para nabinya, tetapi agama yang berasal dari akal budi dan gagasan manusia. Agama semacam inilah yang tepat untuk dinisbatkan kepada teori Kuntjaraningrat di atas. Hanya Islam yang sesuai dengan fitrah manusia. Buya Hamka menyatakan : Permulaan perjalanan dinamakan fitrah. Akhir dari perjalanan dinamai Islam. Yang dimaksud dengan kalimat tersebut yaitu, bahwa fitrah manusia untuk mencari Yang Maha Kuasa, akan tetapi manusia akhirnya menyerah karena akal tidak cukup untuk memahaminya. Islam memberikan penjelasan apa yang tidak bisa dijelaskan oleh akal. Itulah kenapa agama ini dinamakan Islam.
Lebih jauh Syed Naquib Al-Attas menyatakan:
“…Maka dengan pengertian faham agama yang bernisbah kepada kebudayaan seperti yang biasa difahamkan dalam pengalaman Kebudayaan Barat itu tiada pula dapat dikenakan kepada agama Islam – berbeza dari yang lain yang sesungguhnya merupakan keagamaan belaka — bukan hasil renungan atau teori, bukan hasil agung dayacipta insan sebagaimana kebudayaan itu hasil usaha dan dayaciptanya dalam tindakan menyesuaikan dirinya menghadapi keadaan alam sekeliling. Islam adalah agama dalam erti kata yang sebenarnya, iaitu agama yang ditanzilkan oleh Allah Yang Mahasuci lagi Mahamurni dengan perantara wahyu menerusi PesuruhNya yang Terpilih, dan dasar-dasar akidahnya dinyatakan dalam Kitab Suci Al-Qur’anu’l-Karim, dan amalan-amalannya dicarakan dalam Sunnah NabiNya yang Agung itu. Dipandang sebagai suatu peristiwa sejarah pun maka Islam itulah yang mengakibatkan timbulnya kebudayaan Islam, dan bukan sebaliknya bukanlah sesuatu kebudayaan itu yang mengakibatkan timbulnya agama Islam”.
Sementara Prof. Dr. Amer Al-Roubai menyatakan bahwa di Barat, agama adalah bagian dari kebudayaan, sedangkan di Islam, budaya didefinisikan oleh agama. Islam bukanlah hasil dari produk budaya. Islam justru membangun sebuah budaya, sebuah peradaban. Peradaban yang berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah Nabi tersebut dinamakan peradaban Islam. Peradaban Islam memiliki pandangan hidup (worldview) yang berbeda dengan peradaban lain. Cara pandang hidup yang berbeda inilah yang menghasilkan konsep-konsep yang berbeda pula. Oleh karena itu, merupakan hak Islam untuk menggunakan pandangan hidupnya (dalam bahasa Al-Attas : ar-Ruyatul al Islam li al-wujud) untuk memahami setiap keberadaan, termasuk kebudayaan.
Dengan pemahaman di atas, kita dapat memulai untuk meletakan Islam dalam kehidupan keseharian kita. Kita pun dapat membangun kebudayaan Islam dengan landasan konsep yang berasal dari Islam pula. Islam adalah agama yang diturunkan kepada manusia sebagai rohmat bagi alam semesta. Ajaran-ajarannya selalu membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia di dunia ini. Allah swt sendiri telah menyatakan hal ini, sebagaimana yang tersebut dalam QS Toha (2) ) : “ Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini kapadamu agar kam menjadi susah“. Artinya bahwa umat manusia yang mau mengikuti petunjuk Al Qur’an ini, akan dijamin oleh Allah bahwa kehidupan mereka akan bahagia dan sejahtera dunia dan akherat. Sebaliknya siapa saja yang membangkang dan mengingkari ajaran Islam ini, niscaya dia akan mengalami kehidupan yang sempit dan penuh penderitaan.
Ajaran-ajaran Islam yang penuh dengan kemaslahatan bagi manusia ini, tentunya mencakup segala aspek kehidupan manusia. Tidak ada satupun bentuk kegiatan yang dilakukan manusia, kecuali Allah telah meletakkan aturan-aturannya dalam ajaran Islam ini. Kebudayaan adalah salah satu dari sisi pentig dari kehidupan manusia, dan Islampun telah mengatur dan memberikan batasan-batasannya.Tulisan di bawah ini berusaha menjelaskan relasi antara Islam dan budaya. Walau singkat mudah-mudahan memberkan sumbangan dalam khazanah pemikian Islam.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa budaya adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang “ kebudayaan” adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin ( akal budi ) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Ahli sosiologi mengartikan kebudayaan dengan keseluruhan kecakapan (adat, akhlak, kesenian , ilmu dll). Sedang ahli sejarah mengartikan kebudaaan sebagai warisan atau tradisi. Bahkan ahli Antropologi melihat kebudayaan sebagai tata hidup, way of life, dan kelakuan. Definisi-definisi tersebut menunjukkan bahwa jangkauan kebudayaan sangatlah luas. Untuk memudahkan pembahasan, Ernst Cassirer membaginya menjadi lima aspek yaitu kehidupan Spritual, bahasa dan kesusasteraan, kesenian, sejarah dan ilmu pengetahuan.
Aspek kehidupan Spritual, mencakup kebudayaan fisik, seperti sarana (candi, patung nenek moyang, arsitektur), peralatan (pakaian, makanan, alat-alat upacara). Juga mencakup sistem sosial, seperti upacara-upacara (kelahiran, pernikahan, kematian). Adapun aspek bahasa dan kesusteraan mencakup bahasa daerah, pantun, syair, novel-novel. Aspek seni dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu visual arts dan performing arts, yang mencakup seni rupa (melukis), seni pertunjukan (tari, musik), seni teater (wayang), seni arsitektur (rumah, bangunan, perahu). Aspek ilmu pengetahuan meliputi scince (ilmu-ilmu eksakta) dan humanities (sastra, filsafat kebudayaan dan sejarah ).
Untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara agama (termasuk Islam) dengan budaya, kita perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini : mengapa manusia cenderung memelihara kebudayaan, dari manakah desakan yang menggerakkan manusia untuk berkarya, berpikir dan bertindak ? Apakah yang mendorong mereka untuk selalu merubah alam dan lingkungan ini menjadi lebih baik ?. Sebagian ahli kebudayaan memandang bahwa kecenderungan untuk berbudaya merupakan dinamik Illahi. Bahkan menurut Hegel, keseluruhan karya sadar insani yang berupa ilmu, tata hukum, tatanegara, kesenian, dan filsafat tak lain daripada proses realisasi diri dari roh ilahi. Sebaliknya sebagian ahli, seperti Pater Jan Bakker, dalam bukunya “Filsafat Kebudayaan” menyatakan bahwa tidak ada hubungannya antara agama dan budaya, karena menurutnya, bahwa agama merupakan keyakinan hidup rohaninya pemeluknya, sebagai jawaban atas panggilan ilahi. Keyakinan ini disebut Iman, dan Iman merupakan pemberian dari Tuhan, sedang kebudayaan merupakan karya manusia. Sehingga keduanya tidak bisa ditemukan. Adapun menurut para ahli Antropologi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Heddy SA. Putra bahwa agama merupakan salah satu unsur kebudayaan. Hal itu, karena para ahli Antropologi mengatakan bahwa manusia mempunyai akal-pikiran dan mempunyai sistem pengetahuan yang digunakan untuk menafsirkan berbagai gejala serta simbol-simbol agama. Pemahaman manusia sangat terbatas dan tidak mampu mencapai hakekat dari ayat-ayat dalam kitab suci masing- masing agama. Mereka hanya dapat menafsirkan ayat-ayat suci tersebut sesuai dengan kemampuan yang ada. Di sinilah bahwa agama telah menjadi hasil kebudayaan manusia. Berbagai tingkah laku keagamaan, masih menurut ahli antropogi,bukanlah diatur oleh ayat- ayat dari kitab suci, melainkan oleh interpretasi mereka terhadap ayat-ayat suci tersebut.
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa para ahli kebudayaan mempunyai pendapat yang berbeda di dalam memandang hubungan antara agama dan kebudayaan. Kelompok pertama menganggap bahwa Agama merupakan sumber kebudayaaan atau dengan kata lain bahwa kebudayaan merupakan bentuk nyata dari agama itu sendiri. Pendapat ini diwakili oleh Hegel. Kelompok kedua, yang di wakili oleh Pater Jan Bakker menganggap bahwa kebudayaan tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama. Dan kelompok ketiga, yeng menganggap bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri.
Untuk melihat manusia dan kebudayaannya, Islam tidaklah memandangnya dari satu sisi saja. Islam memandang bahwa manusia mempunyai dua unsur penting, yaitu unsur tanah dan unsur ruh yang ditiupkan Allah kedalam tubuhnya. Ini sangat terlihat jelas di dalam firman Allah Qs As-Sajdah ayat 7-9 : “ (Allah)-lah Yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menciptakan keturunannya dari saripati air yan hina (air man). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)-nya roh ( ciptaan)-Nya “. Selain menciptakan manusia, Allah swt juga menciptakan makhluk yang bernama Malaikat, yang hanya mampu mengerjakan perbuatan baik saja, karena diciptakan dari unsur cahaya. Dan juga menciptakan Syetan atau Iblis yang hanya bisa berbuat jahat, karena diciptakan dari api. Sedangkan manusia, sebagaimana tersebut di atas, merupakan gabungan dari unsur dua makhluk tersebut.
Dalam suatu hadits disebutkan bahwa manusia ini mempunyai dua pembisik, pembisik dari malaikat, sebagai aplikasi dari unsur ruh yang ditiupkan Allah, dan pembisik dari syetan, sebagai aplikasi dari unsur tanah. Kedua unsur yang terdapat dalam tubuh manusia tersebut, saling bertentangan dan tarik menarik. Ketika manusia melakukan kebajikan dan perbuatan baik, maka unsur malaikatlah yang menang, sebaliknya ketika manusia berbuat asusila, bermaksiat dan membuat kerusakan di muka bumi ini, maka unsur syetanlah yang menang. Oleh karena itu, selain memberikan bekal, kemauan dan kemampuan yang berupa pendengaran, penglihatan dan hati, Allah juga memberikan petunjuk dan pedoman, agar manusia mampu menggunakan kenikmatan tersebut untuk beribadat dan berbuat baik di muka bumi ini.
Allah telah memberikan kepada manusia sebuah kemampuan dan kebebasan untuk berkarya, berpikir dan menciptakan suatu kebudayaan. Di sini, Islam mengakui bahwa budaya merupakan hasil karya manusia. Sedang agama adalah pemberian Allah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Yaitu suatu pemberian Allah kepada manusia untuk mengarahkan dan membimbing karya-karya manusia agar bermanfaat, berkemajuan, mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat manusia. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu beramal dan berkarya, untuk selalu menggunakan pikiran yang diberikan Allah untuk mengolah alam dunia ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan manusia. Dengan demikian, Islam telah berperan sebagai pendorong manusia untuk “berbudaya“. Dan dalam satu waktu Islamlah yang meletakkan kaidah, norma dan pedoman. Sampai disini, mungkin bisa dikatakan bahwa kebudayaan itu sendiri, berasal dari agama. Teori seperti ini, nampaknya lebih dekat dengan apa yang dinyatakan Hegel di atas.
Islam, sebagaimana telah diterangkan di atas, datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.
Prinsip semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi Undang-undang Dasar Negara Indonesia Pasal 32, walaupun secara praktik dan perinciannya terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok. Dalam penjelasan UUD Pasal 32 disebutkan “Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia “.
Dari situ, Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam :
1. Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam.
Dalam kaidah fiqh disebutkan : “al adatu muhakkamatun“ artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam syareat, seperti kadar besar kecilnya mahar dalam pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita biasanya, menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas. Dalam Islam budaya itu syah-syah saja, karena Islam tidak menentukan besar kecilnya mahar yang harus diberikan kepada wanita. Menentukan bentuk bangunan Masjid, dibolehkan memakai arsitektur Persia, ataupun arsitektur Jawa yang berbentuk Joglo. Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan ketentuan dan kreterianya di dalam Islam, maka adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikan standar hukum. Menikah antar agama adalah dibolehkan dalam Islam dengan dalil “al adatu muhakkamatun “ karena nikah antar agama sudah menjadi budaya suatu masyarakat, maka dibolehkan dengan dasar kaidah di atas. Pernyataan seperti itu tidak benar, karena Islam telah menetapkan bahwa seorang wanita muslimah tidak diperkenankan menikah dengan seorang kafir.

2. Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam kemudian di “rekonstruksi” sehingga menjadi Islami.
Contoh yang paling jelas, adalah tradisi Jahiliyah yang melakukan ibadah haji dengan cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam , seperti lafadh “ talbiyah “ yang sarat dengan kesyirikan, thowaf di Ka’bah dengan telanjang. Islam datang untuk meronstruksi budaya tersebut, menjadi bentuk “ Ibadah” yang telah ditetapkan aturan-aturannya. Contoh lain adalah kebudayaan Arab untuk melantukan syair-syair Jahiliyah. Oleh Islam kebudayaan tersebut tetap dipertahankan, tetapi direkonstruksi isinya agar sesuai dengan nilai-nilai Islam.
3. Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam.
Seperti, budaya “ngaben“ yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Yaitu upacara pembakaran mayat yang diselenggarakan dalam suasana yang meriah dan gegap gempita, dan secara besar-besaran. Ini dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan bagi orang yang meninggal supaya kembali kepada penciptanya. Upacara semacam ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Kalimantan Tengah dengan budaya “tiwah“ , sebuah upacara pembakaran mayat. Bedanya, dalam “ tiwah” ini dilakukan pemakaman jenazah yang berbentuk perahu lesung lebih dahulu. Kemudian kalau sudah tiba masanya, jenazah tersebut akan digali lagi untuk dibakar.
Upacara ini berlangsung sampai seminggu atau lebih. Pihak penyelenggara harus menyediakan makanan dan minuman dalam jumlah yang besar , karena disaksikan oleh para penduduk dari desa-desa dalam daerah yang luas. Di daerah Toraja, untuk memakamkan orang yan meninggal, juga memerlukan biaya yang besar. Biaya tersebut digunakan untuk untuk mengadakan hewan kurban yang berupa kerbau. Lain lagi yang dilakukan oleh masyarakat Cilacap, Jawa tengah. Mereka mempunyai budaya “ Tumpeng Rosulan “, yaitu berupa makanan yang dipersembahkan kepada Rosul Allah dan tumpeng lain yang dipersembahkan kepada Nyai Roro Kidul yang menurut masyarakat setempat merupakan penguasa Lautan selatan (Samudra Hindia).

Hal-hal di atas merupakan sebagian contoh kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga umat Islam tidak dibolehkan mengikutinya. Islam melarangnya, karena kebudayaan seperti itu merupakan kebudayaan yang tidak mengarah kepada kemajuan adab, dan persatuan, serta tidak mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia, sebaliknya justru merupakan kebudayaan yang menurunkan derajat kemanusiaan. Karena mengandung ajaran yang menghambur-hamburkan harta untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menghinakan manusia yang sudah meninggal dunia.
Dalam hal ini al Kamal Ibnu al Himam, salah satu ulama besar madzhab Hanafi mengatakan : “Sesungguhnya nash-nash syareat jauh lebih kuat daripada tradisi masyarakat, karena tradisi masyarakat bisa saja berupa kebatilan yang telah disepakati, seperti apa yang dilakukan sebagian masyarakat kita hari ini, yang mempunyai tradisi meletakkan lilin dan lampu-lampu di kuburan khusus pada malam- malam lebaran. Sedang nash syareat, setelah terbukti ke-autentikannya, maka tidak mungkin mengandung sebuah kebatilan. Dan karena tradisi, hanyalah mengikat masyarakat yang menyakininya, sedang nash syare’at mengikat manusia secara keseluruhan., maka nash jauh lebih kuat. Dan juga, karena tradisi dibolehkan melalui perantara nash, sebagaimana yang tersebut dalam hadits : “apa yang dinyatakan oleh kaum muslimin baik, maka sesuatu itu baik “ Dari situ, jelas bahwa apa yang dinyatakan oleh Dr. Abdul Hadi WM, dosen di Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina Jakarta, bahwa Islam tidak boleh memusuhi atau merombak kultur lokal, tapi harus memposisikannya sebagai ayat-ayat Tuhan di dunia ini atau fikih tidak memadai untuk memahami seni, adalah tidak benar.



Selengkapnya...

Agama Bangsa Arab Jahiliyah dalam Syiir

oleh : Syofyan Hadi, M.Ag

Syair sebagaimana yang dikatakan oleh M.Atar Semi, adalah karya seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya. Dengan ungkapan lain, bahwa syair adalah gambaran nyata tentang kehidupan masyarakat zamannya. Syair pada hakikatnya menggambarkan berbagai macam aspek kehidupan; sosial, budaya, ekonomi, politik, gaya berfikir serta agama dan kepercayaan masyarakatnya.

Hal itulah, agaknya yang membuat para sejarawan menjadi “serba salah” memposisikan syair sebagai sumber data dan informasi sejarah. Di satu sisi, syair adalah suatu karya seni yang lebih mementingkan unsur keindahan daripada kebenaran. Sebab, syair disusun oleh beberapa aspek yang menjadikannya indah, di antaranya adalah imajinasi dan emosi. Di sisi lain, seperti yang disebutkan bahwa syair adalah gambaran nyata kehidupan masyarakat zamannya. Namun demikian, ada hal yang menjadi kesepakatan para ahli sejarah, bahwa khusus untuk syair-syair Arab pra Islam boleh dan bahkan mesti dirujuk untuk dijadikan sumber dalam kajian sejarah. Kajian tentang masyarakat Arab pra Islam tidaklah akan utuh dan sempurna jika tidak merujuk kepada syair-syair Arab pra Islam (Jahiliyah) tersebut.

Ada beberapa hal yang menyebabkan mengapa syair Arab jahiliyah mesti menjadi rujukan sejarah. Pertama, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa masyarakat Arab pra Islam tidak meninggalkan bukti-bukti tertulis tentang kehidupan mereka zaman itu, seperti halnya bangsa-bangsa lain di dunia. Sebab, mereka tidak mengenal budaya tulis pada zaman itu dan lebih senang dan bangga dengan budaya “oral” dan hafalan. Oleh karena itu, satu-satunya sumber sejarah yang bisa dilacak adalah syair-syair Arab yang beredar di kalangan para perawi syair. Sebab, tradisi riwayat syair sudah mengakar dalam budaya masyarakat Arab semenjak masa lalu. Hal itu disebabkan oleh kekaguman mereka terhadap seni bahasa yang indah dan menjadi kebanggaan bagi setiap orang bila dia bisa menghafal syair-syair penyair kabilahnya, dari generasi ke generasi. Sehingga, masyarakat Arab pra Islam berlomba-lomba untuk bisa menghafal syair para penyair dan meriwayatkannya kepada generasi berikutnya.

Kedua, para penyair memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam sistem masyarakat bangsa Arab pra Islam. Para penyair dianggap sebagai orang yang memiliki kekuatan supernatural dan mampu mengetahui hal-hal yang gaib. Oleh kerana itulah para penyair mendapat tempat yang terhormat di tengah masyarakat, bahkan dianggap sebagai nabinya suatu kabilah. Sehingga, kata-kata yang diucapkan oleh para penyair, dianggap bukan perkataan yang biasa dan berhak diabaikan saja. Ungkapan para penyair adalah sesuatu yang mesti dihargai dan dijaga. Dengan demikian, khusus untuk syair-syair Arab pra Islam para sejarawan sepakat - sekalipun ada yang tidak setuju seperti Thaha Husein, namun kapasistasnya bukanlah sebagai sejarawan - untuk menjadikannya sebagai sumber sejarah bagi bangsa Arab. Syair Arab pra Islam adalah rekaman dari kehidupan pada zamannya. Berikut, kita akan melihat salah satu aspek kehidupan masyarakat Arab yang digambarkan syair, yaitu aspek agama.

Ada beberapa bentuk keyakinan atau agama yang dianut oleh masyarakat Arab pra Islam. Syair-syair Arab merekam beberapa bentuk keyakinan atau agama masyarakat Arab pra Islam tersebut. Di antaranya,
 Aliran Thamthamiyah (animisme dan Dinamisme)
Keyakinan ini kebanyakan dianut oleh masyarakat Arab yang tinggal di daerah pedalaman. al-Thamtham adalah benda-benda yang sangat dihormati oleh bangsa Arab, yang sebagian besarnya berupa hewan dan tumbuhan. Mereka berkeyakinan, bahwa arwah leluhur dan nenek moyang mereka selalu mengawasi dan menyertai mereka dengan cara berada di dalam jasad binatang atau tumbuhan. Jika mereka meyakini hewan tertentu sebagai tempat bertenggernya arwah nenek moyang mereka, maka hewan tersebut tidak boleh diganggu, disakiti apalagi disembelih. Begitu juga jika tumbuhan, maka tumbuhan itu tidak boleh ditebang dalam kondisi apapun dan dengan alasan apapun. Mereka berkeyakinan, bahwa jika mereka mengganggu, merusak atau membinasakan binatang atau tumbuhan tersebut, maka bencana besar akan datang menimpa mereka.
Sangat terkenal sebuah syair yang mencela bani Hanifah, karena telah memakan buah sebatang korma yang mereka sembah. Hal ini meraka lakukan karena terpaksa, disebabkan masa paceklik dan kelaparan.
أكلت حنيفة ربها زمن التقحم والمجاعة
لم يحذروا من ربهم سوء العواقب والتياعة
Bani Abu Hanifah telah memakan tuhannya pada masa paceklik dan kelaparan
Mereka tidak takut akan mendapat azab dan dan siksa yang pedih dari tuhannya.
Bahkan saking besarnya pengaruh kepercayaan ini di kalangan masyarakat Arab, sehingga nama-nama kabilah (suku) di beri nama dengan nama bintang atau tumbuhan. Seperti, bani Asad (singa), bani Fahd (macan), Bani Dhabighah (kuda pacu), Bani Tsur (sapi jantan), bani Zi’bu (srigala), Bani Nasr (elang), bani Hanzhalah (labu) atau juga nama hewan laut seperi Quraisy (singa laut). Bahkan, nama orang sekalipun diberi nama bintang atau tumbuhan, seperti Kilab dan Hanzhalah.
 Penyembah berhala
Bangsa Arab pada masa pra Islam mengenal dua istilah untuk sebutan berhala; ashnâm dan autsân. Perbedaan keduanya terletak dalam bahan materialnya dan tujuan. Jika patung itu dibuat dari emas, perak, kayu maka disebut dengan shamam atau ashnâm. Dan biasanya dipakai untuk ritual ibadah, penyembahan, tempat berdo’a serta meminta kesembuhan dan keselamtan. Sedangkan, jika patung itu dibuat dari batu, maka disebut dengan watsni atau autsân. Dan biasanya diapakai untuk acara ritul korban dan mempersembahkan sesajen, yang memang ritual seperti itu sudah dikenal oleh masyarakat Arab semenjak lama.
Orang yang pertama membuat patung dari bani Isma’il adalah Huzail bin Mudrikh dan orang pertama meperkenalkan berhala kepada masyarakat Quraiys adalah Umar bin Luhaiy. Sementara, kabilah Arab yang pertama menyembah berhala adalah bani Huzail dari bani Mudar yang menyembah patung Siwa. Seperti yang diungkapkan peyair berikut
تراهم حول قيلهم عكوفا كما عكفت هزيل على واع
Engkau lihat mereka tunduk dan sujud kepada raja mereka, seperti tunduk dan sujudnya bani Huzail kepda Siwa
Kemudian, penyembahan berhala berkembang di kalangan masyarakat Arab waktu itu, setelah Umar bin Luhaiy memperkenalkan kepada mereka patung yang dibawanya dari lembah Qudaid (tempat yang terletak antara Makkah dan Madinah), patung itu kemudian diberi nama Manat, dan diletakan di Ka’bah. Bahkan, ritual penyembahan Manat tidak hanya dilakukan orang Arab Quraisy, namun juga orang-orang Arab Madinah Aus dan Khazraj yang selalu berkunjung dan mengadakan penyembahan dan korban kepada patung Manat. Seperti yang diungkapkan oleh Abdul Uza al-Mazini
إني حلفت يميني صدق برة بمناة عند محل آل الخزرج
Saya benar-benar bersumpah dengan Manat, ditempat kelurga Khazraj bisanya beribadah
 Yahudi dan Nashrani
Sebelum kedatangan Islam, agama Yahudi dan Nashrani sudah tersebar di Jazirah Arab. Agama Yahudi diperkirakan masuk ke Jazirah Arab dari Palestina pada tahun 70 M, ketika mereka mendapat tekanan dari penjajah Romawi raja Titus. Sebagian mereka berpindah ke wilayah Hijaz seperti Madinah (Yatsrib), Khaibar dan Thaif. Sementara agama Nashrani berpinadh ke Jazirah Arab pada masa kekuasaan Dzu Nuwas (510-525 M) yang melakukan tekananan terhadap masyarakat Nashrani Najran di Yaman dan memaksa mereka menjadi Yahudi. Seperti yang diceritakan dalam surat al-Buruj [85] ayat 4-8.
Kedua agama ini bersaing untuk menyebarkan pengaruhnya. Namun, agama Nashrani lebih mengungguli Yahudi, disebabkan karakter kedua agama ini yang berbeda. Nashrani adalah agama misionaris dan bersifat progresif, sedangkan Yahudi adalah agama yang kurang progresif. Sehingga, agama Nashrani dipeluk oleh banyak suku-suku Arab, namun tidak dalam pengertian mereka berpindah agama secar total. Akan tetapi, masyarakat Arab waktu itu memadukan antara ajaran lama mereka dengan ajaran Nashrani. Hal itu, seperti yang telihat dalam ungkapan Adi bin Zaid al-Ibadi berikut
سعى الأعداء لا يألون شرا علي ورب مكة والصليب
Musuh-musuh selalu berusaha berbuat jahat kepadaku, aku bersumpah demi Tuhan Ka’bah dan shlaib
Dalam syair di atas orang arab menyebutkankan Tuhan Ka’bah dan shalib dan ungkpan bersamaan. Selanjutnya, terihat di dalam beberapa syairnya para penyair betapa pola kehidupan serta istilah-istilah dalam agama Nashrani sudah sangat familiar di kalangan orang Arab sendiri. Simak misalnya syair Umrul Qais berikut ini;
يضئ سناه كمصابيح راهب أهان السليط فى الذبال المفتل
Lampunya tetap bersinar seperti lampu pendeta, sekalipun lidah orang yang fasih menghinanya dengan untaian kata yang tajam
 Penganut Agama Hanif
Sebelum kemunculan Islam, di Jazirah Arab muncullah sebuah gerakan keagamaan yang pengikutnya adalah para cendikiawan dan pemikir Arab zamannya. Mereka menjauhkan diri dari penyembahan berhala dan juga tidak iku melakukan ibadah seperti halnya umat Yahudi dan Nashrani. Mereka disebut sebagai kelompok hanif, hunafa’ atau mutahannifin. Penamaan ini dinisbahkan kepada sifat Ibrahim as. seperti yang disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 135
Di antara mereka yang terkenal adalah Qis bin Sa’idah, Zaid bin Umar bin Nufail, Umayyah bin Abi Shalt, Suwaid bin Amir, As’ad Abu Karab al-Himyari, Waraqah bin Naufal al-Quraisy, Zuhair bin Abi Sulma dan lain-lain. Merekalah yang berupaya memurnikan keyakinan sebagian masyarakat Arab dari kemusyrikan. Sehingga, pemikiran-pemikiran mereka inilah yang kemudian berpengaruh besar terhadap perubahan keyakinan masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam.
Bentuk pemikiran kelompk hanif ini seperti telihat dalam syair Zaid bin Umar berikut,
أربا واحدا أم ألف رب أدين أذا تقسمت الأمور
عزلت اللات والعزى جميعا لذلك يفعل الجلد الصبور
فلا عزى أدين ولا ابنتها ولاصنمي بنى عمرو أزور
ولاغنما أدين وكان ربا لنا فى الدهر إذا حلمي يسير
بأن الله قد أفنى رجالا كثيرا كان شأنهم الفجور
وأبقى آخرين يبر قوم فيربل منهم الطفل الصغير
ولكن أعبد الرحمن ربي ليغفر ذنبي الرب الغفور
Apakah satu Tuhan yang saya sembah atau seribu tuhan, jika urusan telah tebagi
Saya meninggalkan Latta dan Uza semuanya, begitulah yang dilakukan oleh orang kuat dan sabar
Saya bukanlah penyembah Uza dan tidak pula kedua anak perempuannya, dan saya tidak juga mengunjungi patung bani Amar
Saya tidak pula menyembah kambing, karena kami memiliki Tuhan sepanjang masa semenjak masih bayi.
Allah telah membinasakan berapa banyak tokoh dan manusia, akibat dosa dan kejahatan yang mereka lakukan
Kemudia Dia meninggalkan kelompok yang berbuat baik, lalu tumbuh lagi genarasi baru dari mereka
Saya pasti menyembah Tuhan Yang Penyayang, agar Tuhan ku yang Maha Pengampun mengampuni dosaku.

Begitulah aspek kehidupan agama masyarakat Arab pra Islam yang digambarkan oleh syai-syair Arab masa itu. Agaknya, hal itu menjadi bukti betapa syair tidak boleh dikesampingkan ketika kita menguraikan sejarah suatu bangsa, khsusnya ketika kita berbicara kehidupan masyarakat Arab pra Islam. Jika kita berbicara sejarah mereka, tentulah syair sesuatu yang mesti dirujuk agar gambaran sejarah tentang masyarakat Arab zaman itu bisa lebih utuh dan menyeluruh.
Selengkapnya...

Hikayat Kalilah wa Dimnah

Oleh : Syofyan Hadi, M.Ag

Dalam kehidupan manusia, kisah-kisah menempati posisi yang unik. Kisah tidak hanya mencerminkan fakta yag terjadi dalam kehidupan manusia tetapi juga mengkomunikasikan tentang sesuatu tentang mereka, pengalaman mereka, persepsi mereka serta pandangan mereka tentang dunia ini. Bahkan, akhir kehidupan mereka adalah kisah yang akan menjadi cerita bagi generasi berikutnya. Kisah, cerita, ataupun sebagian orang menyamakannya dengan dongeng, menjadi peralatan yang cukup ampuh dalam rangka mengajak orang untuk mengikuti nilai tertentu. Dengan kisah orang tidak merasa digurui untuk mengikuti sebuah nilai, terutama sekali nilai-nilai religius. Pentingnya kisah dalam wacana pendidikan sufi melahirkan mutiara-mutiara kisah yang tak terkira jumlahnya.

A. Pendahuluan
Kisah adalah gambaran dan reflekasi kehidupan umat manusia. Inilah yang melatarbelakangi munculnya beragam kisah sepanjang perjalana kehidupan manusia dan peradaban yang mereka bangun. Baydaba –seorang filsuf agung India- telah membuat sebuah karya yang ditujukan kepada Raja Dabysyalim (seorang raja India yang ditaklukan Iskandar Agung pada 226 SM). Karya ini, yang kemudian disadur al-Barzawiy ke dalam bahasa Persia , dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Ibn al-Muqoffa’. Kisah ini menggemakan nilai etis-moral dan religiusitas bagi masyarakat dengan menggunakan model fabel (kehidupan binatang yang dipakai sebagai kiasan untuk mendidik masyarakat) agar tulisannya mudah dicerna oleh dan dipahami oleh siapa saja yang membaca.
Komposisi karyanya dibuat dengan cerita berbingkai yang bersifat didaktis. Diantara empat belas bab yang ditulis ada yang diberi judul Kalilah dan Dimnah yang merupakan kisah fabel yang sengaja guna menjadi tamsil dan perumpamaan kehidupan manusia, agar mudah dipahami khalayak umum dan bisa dicerna semua kalangan serta menjadi kajian yang menarik bagi mereka yang merenungkannya. Nama tokoh dalam kisah ini kemudian dijadikan sebutan untuk menamakan karya monumental ini.
Dalam karya Kalilah dan Dimnah, Baydaba memulai pembahasannya tentang jalinan persahabatan dua kawan karib dan bagaimana keduanya mulai membangun persahabatan. Juga bagaimana persahabatan tersebut bisa menjadi putus akibat ulah pihak ketiga yang hipokrit. Alasan Baydaba menggunakan para hewan sebagai tamsil pembelajaran kepada manusia dikarenakan dia pernah mendengar seorang ahli hikmah yang berkata: “Jika hikmah diungkapkan dengan bahasa yang lugas, akan hilang nilai hikmahnya, sebab sentuhan hikmah adalah sentuhan hati, bukan hanya sekedar sentuhan akal. Dengan menggunakan perilaku binatang, tidak akan ada orang yang tersinggung. Dengan begitu bisa diperoleh dua target sekaligus, orang umum akan bisa mudah memahami dan orang cendikia akan bisa menajamkan pikirannya untuk merenungkan.”
Kisah Kalilah dan Dimnah walaupun berasal dari India dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Persia, akan tetapi kemudian menjadi karya yang mendunia berkat andil Ibn al-Muqaffa’ seorang pujangga Islam yang hidup pada akhir dinasti Umayyah dan awal kekuasaan Abbasiyah. Sehingga, para pengkaji hanya mengenal Ibn al-Muqaffa’ sebagai pengarang buku ini. Kalilah dan Dimnah telah diterjemahkan ke berbagai bahasa semenjak masa silam, tidak terkecuali ke bahasa Melayu. Penterjemahan kitab Kalilah dan Dimnah dalam bahasa melayu dilakukan di Algemeen Secretari sebuah lembaga ilmu pengetahuan Belanda di Batavia pada abad 19. Naskah ini berjudul Hikajat Kaleyla dan Damiena dan disimpan di sana.
Teks Kalilah dan Dimnah yang merupakan terjemahan dari karya Ibn al-Muqaffa’ tersebut secara struktur dan urutan cerita penyajianya seperti kitab aslinya yang berbahasa Arab. Akan tetapi, jika diperhatikan jalan cerita yang telah diterjemahkan, terdapat beberapa perobahan dari teks aslinya. Ada beberapa hal yang dikurangi dan ditambah oleh sang penterjemah, sekalipun ending ceritanya tetap sama. Pengurangan dan penambahan alur cerita tersebut agaknya memiliki keterkaitan dengan situasi politik dan sosial di mana sang penterjemah hidup. Naskah terjemahan hikayat Kalilah dan Dimnah tersebut semakin nampak perbedaannya jika dibandingan dengan terjemahan yang muncul belakangan. Oleh karena itullah, penulis mengajukan proposal penelitian dengan judul; Hikayat Kalilah dan Dimnah (Kajian Filologis dengan analisis tekstual dan kontekstual). Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah Bagaimana bunyi teks kalilah dan Dimnah dan suntingan teksnya, dan Bagaimana keterkaitan situasi poilitik dan sosial terhadap peterjemahan naskah hikayat Kalilah dan Dimnah ? Kemudian, Apa pesan moral yang hendak disampaikan oleh penterjemah hikayat Kalilah dan Dimnah?
Mengingat begitu banyaknya cerita yang di tuangkan dalam hikayat Kalilah dan Dimnah, maka penulis membatasi penelitian pada satu kisah saja, yaitu cerita kera dan kura-kura. Cerita ini dipilih karena cerirta ini merupakan salah satu kisah yang merupakan karya asli ibn al-Muqaffa’. Karena, ibn al- Muqaffa’ sendiri menterjemahkan hikayat ini dari bahasa persia yang sebelumnya juga diterjemahkan dari bahasa India. Namun, Ibn al-Muqaffa’ menambah beberapa kisah di dalamnya yang aslinya hanya lima kisah. Kisah kera dan kua-kura merupakan kreatifitas dan tambahan sang penterjemah. Di samping, cerita ini adalah cerita yang paling dikenal penulis.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yang berlaku dalam filologi dengan tahapan dan metode sebagai berikut: Tahap pertama pengumpulan data berupa inventarisasi naskah. Pengumpulan data tersebut dilakukan dengan studi pustaka. Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan informasi yang berhubungan dengan naskah kalilah dan Dimnah. Tahap kedua pengolahan data dengan menggunakan metode deskriptif. Naskah Kalilah dan Dimnah yang ada, dideskripsikan dengan pola yang sama, seperti judul naskah, nomor naskah, asal naskah, ukuran naskah, ukuran teks, keadaan naskah, tebal naskah, jumlah halaman, jumlah baris tiap halaman, bentuk karangan, umur naskah, bahasa naskah, dan ringkasan isi. Pendeskripsian ini dilakukan untuk memudahkan tahap penelitian selanjutnya berupa pertimbangan (recensio) dan perbandingan naskah. Tahap ketiga perbandingan naskah dengan teks aslinya dalam bahasa Arab. Perbandingan naskah meliputi perbandingan kalimat dan penggunaan kata-kata antara naskah yang merupakan terjemahan dengan teks aslinya dalam bahasa Arab untuk mengetahui beberapa bentuk perubahan yang dilakukan oleh penterjemah. Tahap kelima transliterasi/Trinskripsi yaitu pengalihan huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Dalam hal ini, penulis malakukan transkripsi dari huruf Arab-Melayu ke dalam aksara latin.
B. Sejarah asal-usul dan TerjemahanTeks kalilah dan Dimnah
Kalilah dan Dimnah merupakan kitab karya filosof India yakni Baidaba. Karya tersebut diterjemahkan Ibnu al-Muqoffa’ tanpa mengubah inti arti karya aslinya. Ia menyisipkan cerita-cerita berbingkai di dalam karya tersebut. Menurut Bahnud Ibn Sahwan atau dikenal dengan Ali bin Syah al-Farisi, tujuan Baidaba membuat karya Kalilah dan Dimnah adalah atas permintaan raja Dabsyalim dan untuk dipersembahkan kepada raja Dabsyalim, raja India pada abad ke-3 SM. Setelah karya ini selesai dibuat selama beberapa kurun waktu. Baginda raja Dabsyalim bermaksud memberi penghargaan terhadapnya namun ia menolak untuk menerima imbalan tersebut. Namun permintaannya kepada sang raja adalah agar sang raja bisa menjaga dan menyimpan dengan baik kitab karyanya tersebut agar tidak ada yang mengambilnya.
Pada pertengahan abad VI atau tepatnya 672 M, Persia dipimpin raja yang bernama Anusirwan Ibnu Qudaba. Ia mendengar bahwa di India ada karya Kalilah dan Dimnah yang terkenal atau masyhur. Karena Ia adalah orang termasuk suka terhadap ilmu pengetahuan maka timbul dalam hatinya berambisi untuk memilikinya. Akhirnya Ia memerintahkan Barzawy untuk pergi ke India, mengambil dan membawa kitab itu ke hadapannya. Rencananya itu berhasil. Barzawy dapat membawa manuskrip itu kepada raja dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Persia atau bahasa Pahlewi. Kemudian teks ini hilang, namun untungnya teks ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Syiria, sehingga melalui inilah karya Ibnu al-Muqoffa’ diterjemahkan dalam bahasa Arab sehingga sampai sekarang bisa kita baca. Kitab ini ditulis berdasarkan teks sansekerta berjudul pancatranta. Teks aslinya, pertama kali diterjemahkan ke dalam Bahasa Tibet. Teks asli dalam bahasa Sanskrit hilang dan tidak pernah diketemukan. Dan kemudian teks dalam bahasa Tibet pun juga hilang. Yang dijumpai adalah teks yang terdiri dari lima bagian yang disebut pancatranta, padahal sebelumnya terdiri dari tujuh bagian. Teks yang tidak lengkap inilah yang kemudian banyak diterjemahkan ke dalam bahasa India. Dikatakan dalam sejarahnya bahwa Kalilah dan Dimnah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, ada yang menerjemahkan dalam bahasa Tibet, bahasa Parsi, bahasa Suryani, dan bahasa Arab. Terjemahan-terjemahannya sebagai berikut:
1. Terjemahan ke Bahasa Tibet
2. Hikayat Kalilah dan Dimnah, pada awal sekali diterjemahkan ke dalam bahasa Tibet. Tapi sekarang tak ada lagi buku yang cukup berisi semua cerita itu. Hanya sebagian saja daripada cerita-cerita masih tersua sekarang dalam bahasa itu. Lalu, Banyak orang yang mengira bahwa kareya tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Disebabkan jangka waktu yang lama sehingga karya (kitab) dalam bahasa tersebut hilang tidak diketemukan.
3. Terjemahan ke Bahasa Parsi Tua
4. Ketika abad ke-6 Masehi, ada seorang raja yang memimpin Persi, yang bernama Anusyirwan. Ia adalah seorang yang senang akan ilmu pengetahuan sehingga ia menjadi masyhur karena hal tersebut. Saat Ia mendengar bahwa ada sebuah karya (kitab) yang menarik dan terkenal di negeri India yang kitab itu dijaga baik oleh rajanya, akhirnya Ia mengutus Barzuwih seorang dokter istana sekaligus orang kepercayaannya. Baginda raja untuk mengambil kitab tersebut dan menerjemahkannya ke Bahasa Parsi. Akhirnya rencana itu berhasil. Begitulah kronologis hikayat tersebut ke dalam bahasa Parsi.
5. Terjemahan ke Bahasa Suryani
6. Pada awalnya banyak orang yang menyangka bahwa karya tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Namun kenyataaannya tidak demikian. Salinan itu ternyata diterjemahkan ke dalam bahasa Suryani, kira pada tahun 570 M, oleh seorang pendeta Kristen.Penyalinan itu terbukti, dengan dinamai Qalilaj dan Damnaj. Boleh jadi demikianlah hikayat itu dinamai oleh penerjemah ke bahasa Parsi, dan penyalin ke bahasa Arab yang kemudian mengubahnya jadi Kalilah dan Dimnah. Orang pandai-pandai Barat telah memperoleh naskah salinan bahasa Suryani itu, dan telah diterjemahkan ke bahasa terjemahkan ke bahasa Jerman di Leipzig pada tahun 1876 yang isinya hanya berisi sepuluh bab saja.
7. Terjemahan ke Bahasa Arab
Karya itu juga diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Terjemahan dalam bahasa Arab inilah yang terpenting, karena dapat diterjemahkan ke bahasa Tamil. Sehingga karangan itu dapat diterjemahkan yang terdiri lima cerita ke dalam bahasa Jawa dan Madura. Dikatakan bahwa dalam bahasa Melayu, ada empat versi yang masyhur. Pertama ialah versi abad ke-17 yang oleh Wrendly disebutkan dalam bukunya Tata Bahasa Melayu yang judulnya, “Hikayat Kalilah dan Dimnah” dan salinannya dalam bahasa latin ditulis oleh J.G. Gonggrijip pada tahun 1873. Versi kedua yaitu abad ke-19, kira-kira pada tahun 1835 yang disalin oleh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dari bahasa Tamil yang berjudul Hikayat Pancatanderan. Versi ketiga, yang diterbitkan Balai Pustaka tahun 1942 oleh Ismail Djamil yaitu karya yang langsung diterjemahkan oleh Ibnu al-Muqoffa’.Para Sejarawan mengadakan penelitian terhadap versi abad ke-17 M. setelah penelitian itu disimpulkan bahwa karya yang paling dekat dengan versi Persia adalah yang dikarang oleh Nasrullah tahun 1142, yang diberi judul Dalang atau Sagala Cerita dan Dongeng.
Sebagaimana yang sudah disebutkan, kisah atau cerita yang masih tersisa dalam karya Baidaba adalah berjumlah lima buah cerita pokok, sedangkan yang lainnya merupakan cerita-cerita sisipan Ibnu al-Muqoffah di dalam karya itu. Kelima cerita-cerita utama tersebut adalah sebagai berikut:
Rangka pertama: Diceritakan seekor srigala bernama Dimnah memutuskan tali persahabatan antara Singa dan lembu Syatrabah. Temanya mengenai bahaya fitnah dan hasutan yang berjung pada pembunuhan dengan motif politk.
Rangka kedua: Kebersalahan kelompok dhuafa yang berhasil mengalahkan musuh yang kuat disebabkan mampu menghimpun solidaritas
Rangka ketiga: menceritakan persoalan yang menyangkut seluk-beluk politik dan siasat dalam peperangan
Rangka keempat: Menceritkan bagaimana orang yang bodoh terpedaya oleh perkataan yang halus dan bujuk rayu.
Rangka kelima: Menceritkan bahaya dari orang yang kurang pertimbangan dan suka tergopoh-gopoh dalam melakukan sesuatu.
Pada cerita-cerita pokok tersebut terdapat cerita-cerita sisipan dari tulisa Ibnu al-Muqoffah yang berjumlah dua belas dan cerita sisipan tersebut menyampaikan pesan moral untuk melengkapi cerita pokoknya.
Cerita-cerita sisipan tersbut sebagai berikut: Hikayat Singa dan Lembu, Hikayat Burung Merpati dengan Tikus, Hikayat Burung Hantu dengan Gagak, Hikayat Kera dengan Kura-kura, Hikayat Orang Saleh denga Cerpelai, Hikayat Tikus dengan Kucing, Hikayat Raja denga Burung Kakatua, Hikayat Singa denga Srigala yang Saleh, Hikayat Singa Betina dengan Pemanah, Hikayat Raja Balad dengan Permaisuri Irah, Hikayat Musafir dengan Tukang Emas, dan Hikayat Anak Raja dan Kawan-kawannya
C. Inventarisasi, Deskripsi, dan Isi Ringkas
Kitab Kalilah dan Dimnah telah diterjemah ke dalam bahasa Melayau dengan aksara Arab ini diduga merupakan terjemahan yang pertama ke dalam bahasa Melayu. Dugaan itu di dadasari kepada lembaga yang menjadi sponsor penterjemhan yaitu Alegmeen Secretari yang merupakan lembaga ilmiah Zaman Belanda yang eksis pada abad ke 19. Di samping itu, juga ditemukan naskah terjemahan di Perputakaan nasional RI dalam bahasa Melayu namun dengan aksara laitn. Akan tetapi, naskah ini sudah sangat rusak dan sulit dibaca yang mungkin disebabkan karena tidak terpeliharanya dengan baik. Terjemahan yang lain adalah terjemahan oleh Ismail Djamil yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, dan terjemahan Ismail Djamil ini dianggap terjemahan yang sangat dekat dengan teks aslinya yang berbahasa Arab. Judul Kitab Hikajat Kalejla dan Damiena, Nomor catalog ML.135, Rol 169.01 Koleksi Perpustakaan Nasional. Pemilik naskah disebutkan pada halaman pertama adalah Governemeen Belanda yang berkantor di Algemeen Secrretary di Batavia. Kitab ini merupakan kitab kategori sastra dengan bentuk cerita berbingkai dalam uraian prosa.
Kitab ini pada mulanya berasal dari India kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Persia lalu Ibn al-Muqaffa’ menterjemakannya ke dalam bahasa Arab dengan memberikan banyak penambahan di dalamnya. Dari bahasa Arab inilah kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Melayu. Dalam kitab ini tidak ditemukan tahun penterjemahan. Adapun jenis kertasnya adalah kertas eropa, namun tanpa ada cap kertas. Sampul berupa kertas tebal dengan jilid kain. Jumlah halaman yang ditemukan 109 halaman, dan diduga kuat kitab ini tidak utuh karena dipastikan ada sebagain halaman terakhir yang hilang. Dugaan tersebut didasari tidak sempurnya kisah terakhir, dan ada sebagian kisah yang tidak ditemui seperti terdapat dalam kitab aslinya yang berbasa Arab.
Jumlah baris perhalaman rata-rata 13. Ukuran naskah 28x21 cm, ukuran teks 26x17 dengan jarak baris 0,8 cm. Penomoran halaman plano. Jenis dan warna tinda adalah hitam dan ditemukan tinta warna merah pada beberepa bagian tulisan. Halaman I-VII adalah bagian halaman yang kosong. Jenis tulisan adalah naskhi dan hanya terdapat 1 jilid. Tidak ditemukan adanya kolofon, tanggal koleksi, biografi penulis atau penyalin naskah, nama pengarang atau penyalin, tahun penterjemahan atau penyalianan, serta halaman yang ada iluminasi dan ilustrasi. Kondisi naskah secara keseluruhan bisa dikatakan baik, sekalipun ada sebegain halaman yang sudah rusah, robek dan berlobang karena dimakan serangga. Ada beberapa halaman yang sudah rusak tulisannya akibat kertas yang dimakan tinta.
Kitab Kalilah dan Dimnah adalah cerita berbingkai dengan mengambil tokoh beberapa biantang. Dalam kisah ini disebutkan nama Baidaba yang sedang memberikan nasehat kepada raja Dabsyalim melalui kisah-kisah ini. Raja Dabsyalim berkata kepada Baidaba, sang filosof, “Buatkan contoh alegoris untukku tentang dua orang bersahabat yang saling menjalin cinta kasih, kemudian ada pihak ketiga seorang pendusta pintar dan licik, yang melakukan tipu muslihat dan menyulut api fitnah agar hubungan mereka retak dan timbul permusuhan”Sang filosof Baidaba berkata, “Jika dua orang bersahabat yang saling mencinta diuji dengan seorang pendusta yang licik dan pintar melakukan tipu muslihat, maka tidak lama kemudian hubungan mereka akan putus dan hancur karenanya. Mereka bahkan saling membenci dan memusuhi. Diantara contoh alegorisnya adalah kisah Singa dan Sapi Banteng.”
Srigala yang bernama Dimnah iri melihat eratnya persahabatan antara Raja Hutan Singa dan Lembu Syatrabah. Tekad dan hasratnya begitu kuat untuk mengadu domba dan memutuskan tali persahabatan dan hubungan politik di antara keduanya. Dengan melalui tipu muslihatnya dan fitnah halusnya yang ditebarkan di antara kedua sahabat itu. Semua yang dilakukan Dimnah tidak lain hanya karena Ia haus akan kekuasaan dan rasa hasudnya belaka.
Akhirnya intrik-intrik yang diterapkan Dimnah berhasil berhasil menghancurkan persahabatan dan hubungan politik mereka. Ketika Dimnah berhadapan dengan Singa, mengatakan bahwa Lembu, Syatrabah secara tersembunyi menyimpan taktik dan rencana untuk merampas kekuasaan dari tangan Singa. Sedangkan ketika Dimnah berhadapan dengan Syatrabah, melemparkan fitnah bahwa di balik sikap baik Singa ada ambisi politik yang berbahaya. Dari fitnah yang dilontarkan Dimnah kepada Syatrabah dan Singa, berhasil membuat keduanya jadi terbakar api kemarahan dan benci. Dengan kejeniusan Dimnah, keduanya dapat dipengaruhi oleh kata-katanya. Akhirnya Singa merencanakan intrik-intrik bagaimana membinasakan Syatrabah, yang sebenarnya teman baik baginya. Dikatakan Dimnah kepada Syatrabah bahwa Singa ingin membunuhnya karena di dalam hatinya Singa sebenarnya benci kepada Sytarabah.
Karena Sytrabah pun termakan hasutannya akhirnya Syatrabah pun menyiapkan rencana dan taktik untuk mengadakan perlawanan, sebelum ia dilawan oleh Singa. Namun sayangnya, rencana Sytrabah gagal karena Dimnah telah membocorkan rencanaya kepada Singa. Sehingga akhirnya Syatrabah pun diamankan atau ditangkap dan kemidian dihukum mati oleh polisi penegak hukum. Namun kemudian, ada kabar yang memberitahukan kepada Singa, bahwa Dimnah telah menyebarkan fitnah. Semua kata yang digembar-gemborkan di antara kedua sahabat itu adalah dusta, karena Dimnah mempunyai hati yang busuk, berniat menghancurkan persahabtan mereka. Dan akhirnya kejahatan Dimnah terbuka sehingga Singa menjatuhkan hukuman berat kepadanya. Dimnah ditangkap dan dijebloskan ke penjara dan dihukum mati sehingga menakhiri karir politiknya dan sekaligus hidupnya.
Atas Semua kejadian itu, Singa pun menyesal atas perbuatannya karena terhasut oleh fitnah Dimnah. Singa sedih apalagi ketika mengenang masa-masa indah bersama Syatrabah. Ia menjadi menjadi kesepian karena semenjak Syatrabah meninggal, tak ada kawan yang sebaik Syatrabah menurutnya.Pada cerita di atas dengan tema “memutuskan tali persahabatan politik” dapat dianalisis yang luas tentang politik dan intrik. Misalnya pembicaran berkenaan dengan niat dan ikhtiar pembunuhuan politik tidak langsung sebagaimana yang nampak pada opercakapan antara Dimnah dengan sahabatanya Kalilah. Dikatakan bahwa melakukan pembunuhan politik tidak langsung dikemukakan dalam bagian cerita ini.
Diceritakan bahwa burung gagak ingin membunuh ular. Gagak sebelumnya mencuri rantai emas dari pemiliknya kemudian ia taruh di lubang ular. Ketika pemilik rantai emas tahu rantainya ada di lubang tersebut, ia membunuh ular yang ada di lubang itu. Cerita lain contohnya, Si Lemah menyelamatkan diri dari ancaman musuh yang kuat dengan menghimpun solidaritas dan kerjasama, menyiapkan siasat yang cerdas. Penulis karya ini, berpesan agar kita waspada terhadap tukang fitnah dan kita harus berusaha menjauhkan diri dari orang jahat, tidak tergesa-gesa mengambil keputusan, dan masih banyak lainnya pesan yang disampaikan.
Di samping itu juga diceritakan kisah kera dan kura-kura yang pada mulanya bersahabat, namun akibat ketidaksenangan sang isteri kura-kura persahabatan mereka menjadai hancur. Kisah ini intinya memberikan ajaran agar mansuai tidak dengan mudah melepaskan sesuatu yang sudah diperoleh. Lalu disambung dengan kisah keledai dan ruba. Di mana ruba dengan kepintarannya berhasil mengelabuhi singa dan keledai. Cerita ini berpesan kepada pembaca bahwa ketidaktahuan menjadi penyebab seseorang dengn mudah ditipu.
Di bagian terakhir, dikisahkan cerita merpati, burung bangau dan srigala. Dengan kecerdasannya bangau bisa menyelamatkan merpati dari ketakutan terhadap srigala. Namun, akibat mabuk pujian akhirnya burung bangau menghadapi nasib yang sangat tragis, tewas dan menjadi santapan srigala.


D. Suntingan Teks Kalilah dan Dimnah
Hikayat kera dan kura-kura ……., ada suatu pulau terlalu amat
Banyak kera dalamnya maka dalam antara kera banyak itu ada seekor kera dirajakannya namanya dia nida maka raja itu terlalu adil lagi bijaksana
Dan budiman serta gagah berani lagi hebat, setelah raja itu sudah tuha maka dirajakan seekor kera dari daripada keluarganya juga yang dapat
Memeliharakan negri dan segala rakyatnya sebermula segala rakyatnya pun berkenanlah bahwa ia naik raja itu maka raja tua itupun pergilah duduk
Ketepi laut nantiasa ia duduk pada sepohon kayu Ru di tepi laut itu maka dimakannya buah ru itu pada suatu hari tergugurlah sebuah
Dari tangannya ke dalam air maka bunyinya itupun terlalu amat merdu pada telinganya maka sebagai digugurkannya buah ru itu ke dalam air itu
Maka di bawah ru itu ada seekor kura-kura maka barang yang gugur itu dimakannya oleh kura-kura itu maka pada hati kura-kura bahwa dimakannya ini
Akan daku juga digugurkannya oleh raja kera itu jika demikian baik daku berbuat kebaikan kepadanya siang malam aku berkasih-kasihan dengan
Dia lagi demikian kebaikannya pada aku maka berseru-seru lah kura-kura kepada raja kera itu olehnya hendak berkasih-kasih dengan dia maka kata raja
Kera siapa gerang menyeru aku itu maka sahdan kura-kura, hambamu kura-kura oleh hamba hendak berkasih-kasihan dengan tuan hamba hatta (hingga) maka
Berkasih -kasihanlah raja kera itu dengan kura-kura itu seperti suatu nyawa dua badan lakunya daripada segangat ia berkasih-kasihan itu
Sebarmula akan raja kerapun lupalah ia akan segala kera keluarganya dan kura-kurapun lupalah ia akan rumah tangganya maka isteri
Kura-kurapun terlalu amat tercintakan suaminya maka datang segala kura-kura mengunjungi dia maka kata keluarganya itu mengapakah maka engkau
Berusuk [h] dirimu ini karena aurat suamimu telah bersahabatlah ia dengan raja kera maka lupalah ia akan dikau jika engkau
Hendak dapat, aku pergi kepada suamimu itu kukatakan engkau sakit sangat maka sahut isteri kura-kura hai saudaraku jika
Ada kasih tuan hamba kiranya akan hamba pergilah tuan hamba kepadanya katakan hamba sakit maka kata keluarganya itu hendaklah engkau
Berbuat sakit supaya jangan kedapatan dusta aku kepadanya maka sahut isteri kura-kura itu baiklah hatta (arab, akhirnya) maka pergilah ia
Kepada kura-kura bersahabat dengan raja kera itu setelah ia datang maka katanya bahwa aku datang ini disuruh oleh isterimu kepadamu
Bahwa ia sakit sangat apakan kerjamu duduk di sini lupakan untuk isterimu setelah didengar oleh kura-kura itu maka iapun
Bermohonlah kepada raja itu hendak pulang kenegerinya hatta [Arab:akhirnya] maka kembalinya kura-kura itu setelah ia sampai ke rumahnya maka didapatinya
Isterinyapun dalam sakit maka ditanyainya akan sakitmu itu katakan padaku supaya kucarikan obatnya maka sahut handai
Isterinya itu yang yang sakit isterimu itu tiadalah dapat diobati lagi setelah didengar oleh kura-kura itu kata yang demikian itu
Maka hatinyapun amat dikecutlah dengan percintaannya yang tiada dapat dicahari dalam negeri ini orang mengobati isteriku
Jikalau diobatinya pada negeri yang lain sekalipun niscaya akulah pergi mencahari dia jikalau kiranya nyawaku itupun kata
Tabib akan obatnya isteriku itu akan ku tukarkan juga maka kata handai isterinya bahwa penyakit isterimu
Itu penyakit perempuan melainkan sesama perempuan juga yang dapat mengobati ditetapi akan obat isterimu itu
Hati kera juga maka sembuh penyakitnya itu sahut kura-kura itu, mana kita peroleh hati kera itu karena amat sukar kita
Peroleh karena ia diatas kayu kita ini dalam air dengan sebagaimana […………] kita peroleh dia maka sahut handai isterinya
Itu sebenarnyalah katamu itu oleh itulah maka kami memanggil engkau kalau ada bicaramu dikarenakan penyakit isterimu ini kata orang
Mengobati dia tiadalah akan sembuh lagi melainkan jikalau ada diperoleh hati kera itulah obatnya yang diketahui oleh dukun
Itu akan segera sembuh tetapi jangan engkau menyesal pada kemudian harinya setelah saya kata kepadamu dalam itu mana katamu
Apa kepada kami lebih engkau dengan isterimu setelah didengar oleh kura-kura kata yang demikian itu maka iapun amat becintalah ia
Akan isterinya bahwa akan isterinya pun sangat dikasihinya dan akan sahabatnya pun dikasihinya tetapi lebih juga kasihnya
Akan isterinya maka fikir dalam hatinya jika tidak ku turuti kata handaiku ini niscaya matilah isteriku dan bercerailah aku
Dengan isteriku jika demikian baiklah aku bicarakan syair yang terlebih berbuat fitnah pada segala manusia orang yang bengis juga
Karena bengis kasih akan suatu seperti buta tuli oleh ia hendak membunuh suami kura-kura itu kata fitnah […………] akannya supaya
Mati suaminya hatta maka kura-kura pun pergilah kepada raja kera setelah sampai maka katakan apa hal isterimu sakit itu maka sahut
Kura-kura itu olehku bercerai dengan dikau terlalu amat rindu rusuh hatiku akan dikau sabarmula akan isteri hamba
Pun telah sembuhlah ia daripada sakitnya jika ada kasih tuanhamba akan hamba baik juga tuan hamba pergi ke rumah hamba berlihat
Dengan anak isteri hamba dan segalakan keluarga hamba sekalian supaya sempurnalah kasih tuan hamba kepada hamba dan kelihatanlah
Kebajikan tuan hamba berkasih kasihan dengan tuan hamba hendaklah tuan hamba turut kata hamba ini supaya segala anak isteri hamba
Mengunjungi […………] maka sahut raja kera janganlah engkau memberi bicara akan daku bahwa aku duduk di sinipun serasa di rumahmu
Juga karena menyeberangi laut itu amat sukar padaku maka sahut kura-kura itu apa sukarnya tuan hamba menyeberangi lamun mau juga
Tuan hamba pergi itu naiklah ke atas belakang hamba supaya hamba bawa menyeberang dari pulau ini maka Kabul (arab: menerima) oleh raja kera itu menuruti
Kata kura-kura itu, lalu naiklah ke atas belakang kura-kura itu setelah datang pada sama tengah laut itu maka kura-kurapun berhenti
Setelah diliaht oleh raja kera akan kura-kura berhenti itu maka fikir dalam hatinya apa juga maksud ia berhenti hendak dibinasakankah
Aku ini maka kata raja kepada kura-kura apa […….] maka engkau berhenti penatkah tuan hamba berenangkan hamba maka sahut kura-kura tiada hamba penat
Sekedar merenungkan tuan hamba sekian ini karena tiada berapa jauhnya sediakannya kenang hamba akan isteri hamba sakit ditinggalkan
Dirumah hamba siapa tahu dalam sakitnya itu bahaya mati datang kepadanya niscaya suatu pekerjaan yang hamba kerjakan inipun tiadalah
Sempurna, inilah fikir hamba maka iapun berenang pulak maka kata raja kera pada bicaraku tiada kemuliaan bahwa sahabat itu diperdayakan maka
Kura-kurapun berenang juga seketika lagi maka berhenti pula ia maka dalam hatinya kera ada juga angannya dijahati akan daku maka berkata
Pulak [pula] raja kera apa mulanya berhenti pulak [pula] barang yang ada dalam hatimu hendaklah engkau katakan padaku supaya aku membicarakan pekerjaanmu
Itu maka sahut kura-kura tiada ada fikir hamba melainkan terkenang hamba akan isteri hamba sakit tiada berobat maka obatnya itu
Amat sukar hamba peroleh maka kata raja kera katakan juga olehmu kepadaku mudah-mudahan obat isterimu itu aku mencahari
Dia, jangan kau bunyikan juga maka sahut kura-kura bahwa yang obat isteri hamba itu kata orang yang mengobati dia hati
Kera, maka yaitu amat sukar hamba peroleh setelah didengar raja kera kata kura-kura demikia itu ,maka berdebar rusuh hatinya serta berfikir ia wah
Dikaram aku daripadanya melainkan [……........] maka sekian risau maka dengan upaya yang mana aku akan
Melepas diriku daripadanya melainkan kata dustaku kepada dia kan [……..] pulak [pula] mak lepas aku daripada bahayanya jika aku bercerai daripadanya
Niscaya lamunlah aku dalam laut ini hatta maka kata raja kera hai handaiku mengapatah kiranya maka tuan hamba tiadakatakan kepadaku
Darimulanya akan obat isterimu itulah tanda tiada harap dan tulus […………………………] jikalau obat itu
Dalam laut api sekalipun daripada kasih hamba akan tuan hamba niscaya hamba upayakan jikalu hilang dengan nyawa hamba
Sekalipun karena mencari obat itu tiada akan hamba sayangkan-sayangkan sekarang ini apatah dayaku karena hatiku tiada ku bawa marilah
Bersamalah dengan daku karena adat pada kami kera barangkali dipanggil oleh jamuan atau handai taulannya kami tinggalkan hati kami
Dirumah supaya kami di rumah handai kami jika kami bawa hati kami niscaya tiadalah tetap segala pekerjaan kami maka sekarang
Jikalu kau kehendaki hatiku hantarkanlah aku ke rumah ku niscaya kuberilah hatiku akan obat isterimu itu atau hati kera yang lain
Pulak [pula] kau hendaki niscaya kuberi juga akan dikau tetapi [………………]
Kasih rupanya engkau akan daku diri karena tiada ditanyakan padaku dari mulanya setelah didengar oleh kura-kura kata raja kera demikian itu dalam
Hatinya benarlah kata raja kera ini daripada kasihnya [……….] akan daku maka demikian katanya maka lalu dibawanya kembali raja itu kepada
Tempatnya setelah sampai raja kera itu ke tempatnya maka ia melompat ke atas pohon kayu maka dikatakan oleh kura-kura seraya berseru-seru
Katanya, manatah janjimu hendak memberi obat isteriku karena aku hendak pulang lekas apakah hal isteriku peninggal ku ini
Maka sahut raja kera hai kekasihku di luar sahaja rupanya bahawa yang dalam hatimu itu bencana juga rupanya ada iyakah janjimu
Berkasihan-kasihan dengan aku demikian ada jahat pekertimu ada iyakah hatiku akan obat isterimu jika kiranya sudah keluar hatiku dimana
Aku akan hidup lagi………





Terjemahan Kalilah dan Dimnah versi Ismail Djamil
Konon, ada seekor kera yang bernama Mahir. Ia adalah seekor raja kera yang telah tua renta. Pada suatu waktu, muncullah seekor kera muda dari keluarga kerajaan kera tersebut yang memberontak dan mulai menjatuhkan kedudukannya. Si kera muda ini mampu mengalahkan si Mahir sampai akhirnya si Mahir melarikan diri ke pantai. Di pantai itu, ia mendapati sebuah pohon Tin, kemudian ia memanjat pohon itu dan menjadikannya sebagai tempat tinggal.
Pada suatu hari, ketika ia sedang makan buah Tin, tiba-tiba jatuhlah buah tersebut dari tangannya ke dalam air dan ia menyukai bunyi berirama yang timbul akibat jatuhnya buah Tin itu. Maka ia pun mulai menjatuhkan buah yang dimakannya itu terus-menerus.
Di dalam air itu ternyata ada seekor kera. Setiap kali buah Tin jatuh ke dalam air, ia memakannya. Ketika hal tersebut terus berlangsung, si kura-kura mengira bahwa si kera melakukan hal itu karena ingin bersahabat dengannya. Akhirnya, mereka pun mulai berteman akrab.
Kepergian si kura-kura ke pantai sudah terlalu lama berlangsung dan membuat istrinya gelisah. Ia mengadukan hal ini kepada tetangganya.
“Aku takut terjadi hal buruk yang dapat mencelakakan suamiku,” kata istri kura-kura.
“Suamimu baik-baik saja,” jawab tetangganya. “Ia ada di pantai bersama temannya, si kera, yang selalu memberinya makanan dan minuman. Hal itulah yang membuat ketidakhadirannya selama ini dan itu akan terus berlangsung sebelum kamu dapat menyingkirkan si kera.”
Istri kura-kura pun bertanya kepada tetangganya, “Bagaimana caranya?”
Si tetangga menjawab, “Kalau suamimu pulang, kamu harus pura-pura sakit. Jika ia bertanya tentang keadaanmu, jawablah bahwa para tabib mengatakan hanya jantung keralah obatnya.”
Tidak beberapa lama kemudian, si kura-kura pulang ke rumahnya. Ia mendapati istrinya terbaling lemah dan pucat. Ia bertanya, “Kenapa kamu?”
“Sungguh malang istrimu!” jawab si tetangga. “Ia sakit parah dan kata para tabib hanya jantung keralah obatnya.”
“Ini sulit sekali, dari mana aku bisa mendapatkan jantung kera, sedangkan kita hidup di air? Tapi aku akan coba menipu temanku si kera,” kata kura-kura. Maka pergilah si kura-kura ke tempat temannya itu.
“Apa yang kau rahasiakan dariku, teman?” tanya si kera.
“Aku tidak merahasiakan apa pun darimu,” jawab kura kura. “Aku hanya malu karena tidak tahu bagaimana membalas segala kebaikanmu. Oleh karena itu, aku ingin mengundangmu untuk berkunjung ke rumahku. Semoga kamu berkenan, karena aku tinggal di sebuah pulau yang dipenuhi beraneka ragam buah.”
Akhirnya, si kera pun mau memenuhi undangan temannya. Ia pun naik ke punggung si kura-kura dan mulai menyebrangi lautan. Tetapi, sesampainya di tengah lautan, muncullah niat jahat si kura-kura untuk menipu daya temannya itu.
“Apa yang membuatmu bimbang, teman?” tanya si kera.
“Aku bimbang karena teringat bahwa istriku sedang sakit keras,” jawab kura-kura. “Itulah yang sangat menghalangiku untuk membalas segala kebaikanmu.”
Si kera berkata, “Aku rasa usahamu memanggulku di pundakmu adalah sebuah hal yang mulia dan itu sudah cukup bagiku.”
“Baiklah kalau begitu,” jawab kura-kura.
Mereka pun melanjutkan perjalanan. Namun, setelah berjalan beberapa saat, si kura-kura berhenti sekali lagi. Si kera pun mulai berfirasat buruk terhadapnya dan ia pun mulai bertanya-tanya dalam hati. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan si kura-kura sehingga ia memperlambat jalannya. Aku merasa sudah tidak aman lagi, mungkin niatannya telah berubah dan ia ingin menghianati persahabatan kami, bahkan, mungkin ia ingin berbuat jahat terhadapku. Bukankah niat itu adalah hal yang paling cepat berubah?
Ada pepatah yang mengatakan, “Si cerdik tidaklah lalai mengamati istri, anak, saudara, dan temannya pada setiap saat, setiap perkataan, dan setiap perbuatannya, karena semuanya itu dapat menunjukkan apa yang ada di hati mereka. Orang-orang bijak juga mengatakan bahwa jika sebuah keraguan telah merasuki hati seorang teman, maka berhati-hatilah terhadapnya! Kemudian, selidiki kebenarannya! Jika persangkaanmu benar, engkau akan selamat. Sebaliknya, jika persangkaanmu salah, engakau tidak akan rugi.
“Apa lagi yang kamu rahasiakan?” tanya kera. “Aku lihat kamu kembali khawatir dan seakan-akan kamu berbicara dengan dirimu sendiri.”
“Aku khawatir jika kamu sampai di rumahku nanti, kamu tidak akan mendapati seperti apa yang aku inginkan, karena istriku sedang sakit,” jawab si kura-kura.
“Jangan khawatir! Karena kekhawatiranmu tidaklah berarti apa pun,” kata kera. “Lebih baik kamu cari obat-obatan dan makanan untuk menyembuhkan istrimu. Aku siap membantu, karena ada yang mengatakan bahwa hendaknya orang yang berharta mendermakan hartanya pada tiga hal; sedekah, pada saat dibutuhkan, dan untuk para wanita.”
“Aku telah melakukannya,” kata kura-kura. “Namun, para tabib mengatakan bahwa hanya jantung keralah obatnya.”
Di dalam hatinya, si kera mengeluh. Betapa sial dirinya! Meskipun ia telah berhati-hati dalam segala tindakannya sampai usianya sekarang, ia tetap bisa jatuh dalam kesulitan yang rumit ini. Benarlah perkataan orang yang menyatakan bahwa orang yang rela dan menerima dengan lapang dada apa yang diperolehnya, akan hidup tenang dan tentram. Sebaliknya, orang yang ambisius dan rakus akan hidup dalam kepenatan dan kesulitan. Meskipun demikian, si kera segera berusaha memikirkan jalan keluar dari permasalahan ini.
“Kenapa kamu tidak mengatakan hal itu ketika masih di rumah?” tanya si kera. “Kalau kamu katakan sejak tadi, aku pasti membawa jantungku. Sudah menjadi kebiasaan kami, para kera, selalu menginggalkan jantung kami jika mengunjungi teman. Jadi, saat ini aku tidak membawa jantungku.”
“Kalau begitu, di mana jantungmu?” tanya kura-kura.
“Aku sembunyikan di pohon. Jika kamu mau, kita kembali ke sana agar aku dapat memberikannya padamu,” jawab kera.
Akhirnya, dengan perasaan senang karena temannya tidak menolak permintaannya, si kura-kura kembali mengantar kera ke pantai.
Ketika mereka telah mendekati pantai, si kera melompat dari punggung kura-kura lalu memanjat pohon Tin. Setelah lama menunggu, si kura-kura memanggil temannya.
“Hai, temanku! Bawalah jantungmu dan cepatlah turun, karena kau telah berjanji padaku,” kata kura-kura.
“Jangan konyol, kamu kira aku seperti keledai yang dikatakan serigala tidak punya jantung dan telinga?” kata si kera.




D. Analisis
Seperti yang diketahui, bahwa sebuah karya yang muncul pada suatu masa tentu tidak bisa dilepaskan dari pengaruh zamannya, baik politik, sosial budaya dan sebagainya. Begitulah yang terjadi terhadap buku Kalilah dan Dimnah. Semenjak awal ditulis dengan bahasa India, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Persia, lalu Ibn Muqaffa’ menterjemhkan ke dalam bahasa Arab, hingga terjemahan ke dalam bahasa melayu seperti yang ditemukan dalam naskah yang penulis bahas. selalu memiliki keterkaitan dengan kepentingan penguasa zamannya. Pengarangan kitab Kalilah dan Dimnah dalam bahasa India didasrkan oleh perintah raja Dabsyalim kepada pujangga Baidaba. Terjemahan ke dalam bahasa Persia juga atas perintah Kisra Anusirwan kepada pujangga Bazrawi. Terjemahan ke dalam Bahasa Arab oleh Ibn al-Muqaffa’ juga atas perintah Penguasa Abbasiyah. Dan terjemahan ke dalam bahasa Melayu juga atas inisiatif penguasa yang dalam hal ini Penajajah Belanda.
Terhadap terjemahan kitab Kalilah dan Dimnah, bahwa kepentingan penguasa yang dalam hal ini penjajah Belanda tentu tidak bisa dipungkiri. Berikut kita akan lihat beberapa perubahan yang terjadi dalam terjemahan kitab Kalilah dan Dimnah dari bahasa aslinya dalam hal ini bahasa Arab yang menggambarkan kepentingan penajajah.
Pertama, Tidak disebutkan kudeta yang dilakukan kera muda terhadap raja kera yang dianggap sudah tua dan tidak mampu lagi menjaga negeri kera. Nasib buruk yang menimpa raja kera tua yaitu kalah, terusir hingga melarikan diri dari kerajaannya seperti pada kitab aslinya juga dihilangkan. Penghilangan terjemahan seperti ini tentu saja memiliki maksud tertentu. Penguasa waktu itu penjajah Belanda tentu tidak ingin rakyat Indonesia melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh rakyat kera. Jika pesan kudeta terhadap penguasa sampai ke telinga rakyat, maka hal ini tentu akan membahayakan kondisi penjajah.
Dua, Ditambahkannya dalam terjemahan bahwa raja kera tua yang dikudeta dan kedudukannya digantikan kera muda adalah raja adil, bijaksana, hebat, dst. Padahal ungkapan seperti itu tidak ditemukan pada teks aslinya yang berbahasa Arab. Seakan penguasa , penjajah Belanda punya kepentingan dengan pesan ini bahwa penguasa yang sedang berkuasa adalah penguasa yang adil, bijaksana dan tidak perlu digantikan.
Tiga, Tidak disebutkannya ketamakan kera terhadap buah-buahan yang banyak serta makanan yang melimpah. Sebagaimana dalam kisah aslinya diceritakan bahwa raja kera hampir celaka dan hampir saja dibunuh kura-kura adalah akibat ketamakan dan kerakusan. Kura-kura menawarkan kepada kera agar ikut bersamanya berkunjung menemui keluarganya karena ia hidup di sebuah pulau yang banyak buah-buahannya. Inilah yang membuat raja kera menyahuti ajakan kura-kura.
Tidak disebutkannya terjemahan ini karena penguasa ingin menyembunyikan sikap mereka yang sebenarnya mirip dengan sikap raja kera. Mereka khawatir kalau rakyat jajahan mengetahui akan ketamakan mereka.
Empat, dalam kisah itu disebutkan bahwa kera menipu kura-kura akibat ketidaktahuannya bahwa hati adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tubuh. Kebodohan inilah yang kemudian dilestarikan oleh para penjajah terhadap rakyat pribumi. Belanda tentu belajar dari kisah ini bahwa orang bodoh akan dengan mudahi ditipu. Mungkin inilah sebabnya kenapa masyarakat jajahan Belanda selalu menjadi masyarakat jajahannya yang terbelakang.
Lima, untuk memisahkan kera dan kura-kura, kura-kura lain menghasut isterinya untuk pura-pura sakit dan mengatakan obatnya adalah hati kera. Hal ini dilakukan agar persahabatan kera dan kura-kura hancur dan kura-kura akan membunuh kera sahabatnya sendiri. Inilah kemudian yang menjadi poilitik colonial Belanda “adu domba”. Politik ini menjadi modal utama Belanda menaklukan raja-raja Nusantara, dengan cara mendekati sebagian keluarga raja lalu mengajaknya bekerja sama dan kemudian melakukan pemberontakan. Setelah kerajaan itu lemah akibat perang saudara, barulah Belanda datang menawarkan bantuan kepada yang lemah dengan kompensasi penguasaan sebagian aset. Inilah yang menjadikan Belanda dengan mudah menguasai negeri jajajahnya.
Dalam kisah tersebut ada pesan inti yang ingin di sampaikan bahwa jangan dengan mudah melepaskan sesuatu yang sudah diperoleh dengan susah payah,seperti halnya kura-kura yang dengan mudah melepaskan kera yang sudah di dapatkannya. Inilah pelajaran yang diambil oleh penjajah Belanda untuk tidak mudah melepaskan negeri jajahanya. Makanya Belanda mampu menjajah Indonesia dalam waktu yang cukup lama. Berbeda dengan penjajah lain yang pernah menjajah Indonesia yang waktunya relativ singkat.
Akan tetapi, pesan yang terakhir ini adalah pesan inti dari kisah kera dan kura-kura ini. Oleh karena itu, pesannya berlaku untuk semua orang. Namun demikian, seseorang yang dengan mudah melepaskan sesuatu yang sudah diperolehnya adalah akibat kebodohan dan ketidaktahuannya. Oleh karena itulah, kisah ini dilanjutkan dengan cerita kera kepada kura-kura tentang seekor ruba dan keledai, di mana ruba menipu singa dengan mengatakan kepadanya bahwa keledai adalah binatang yang memiliki telinga dan hati yang sebelumnya telah ia makan di saat singa pergi mandi.















D. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulka bahwa kitab Kalilah dan Dimnah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu tidak bisa dilepaskan dari kepentingan penjajah Belanda waktu itu. Hal itu terlihat dari beberapa perubahan yang terjadi dalam teks terjemahan yang berbeda dengan teks aslinya dalam berbahasa Arab karangan Ibn al-Muqaffa’.
Kalilah dan Dimnah bentuk fabel yang menggunakan dunia hewan untuk menjadi aktor utama, setting, dan sarana yang merefleksikan dan mencerminkan dunia manusia. Walaupun di dalamnya mengandung perumpamaan binatang tapi itu menggambarkan relitas yang terjadi pada kehidupan manusia. Karya ini menggemakan nilai etis-moral dan religiusitas bagi masyarakat. Di dalamnya tersurat tontonan akan tetapi tersirat tuntunan.
Hikayat Kalilah dan Dimnah memberikan pelajaran tentang politik kepada penguasa dan rakyatnya. Karena pesan moral yang diambil dari karya ini adalah pembelajaran etika dan estetika untuk seorang raja atau pemimpin, dan rakyatnya menjadi baik. Tulisan ini tentu terdapat banyak sekali kelemahan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan sekali saran dan kritikan dari para pembaca untuk perbaikan dan penyempurnaan tulisan ini. Penulis sangat terbuka menerima segala saran dan kritikan tentu yang bersifat konstruktif dan memperkaya pembahasan ini.

DAFTAR BACAAN
Burn, George W, 101 Kisah Yang Memberdayakan, Jakarta: Mizan, 2004
Djamil, Isma’il, Hikayat Kalilah dan Dimnah, Jakarta: Balai Pustaka, 1998
Ibn al-Muqaffa’, Abdullah, Kalilah wa Dimnah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1989
Lubis, Nabilah, Naskah, Teks, Dan Metode Penelitian Filologi, Jakarta: Yayasan Alo Indonesia, 2007
http://faizperjuangan.wordpress.com/2008/01/24
http://ianaja.multiply.com/journal/item/16/kera dan kura-kura




Selengkapnya...

Selasa, 17 Februari 2009

Koleksi dan Konservasi Naskah Pada Museum Daerah Sumatera Barat Adityawarman

Oleh : DR. Danil M. Chaniago, M.Hum

Naskah tulisan tangan merupakan warisan budaya nasional yang mengandung teks tertulis mengenai berbagai pemikiran, pengetahuan, adat istiadat serta prilaku masyarakat pendukungnya pada masa silam. Benda yang menjadi cagar budaya ini masih bertebaran di tengah masyarakat. Dibanding dengan warisan budaya lainnya seperti candi, masjid, prasasti, dan peninggalan budaya material non tulisan lainnya di Indonesia jumlah peninggalan budaya dalam bentuk naskah jauh lebih banyak.

A. Pendahuluan
Naskah-naskah kuno yang menjadi salah satu sumber yang dapat memberikan informasi kepada kita tentang perkembangan teknologi, dan sejarah masa lalu itu sejauh ini masih "terbengkalai" keberadaannya. Hanya segelintir orang saja yang memberikan perhatian khususnya para filolog dan pustakawan. Padahal pada setiap naskah terkandung makna dan dimensi yang sangat luas karena merupakan produk dari sebuah tradisi panjang yang melibatkan berbagai sikap budaya masyarakat dalam periode tertentu.
Sampai saat ini penelitian naskah di Indonesia lebih mementingkan telaah teks, Persoalan yang berkaitan dengan pengkoleksian dan pemeliharaan naskah diabaikan. Padahal, menurut Robson sumber naskah hanya dapat diacu apabila sumber itu telah dilestarikan. Dengan kata lain penelitian tentang naskah-naskah baru dapat dilakukan apabila kondisi naskah baik fisik maupun tulisan tidak mengalami kerusakan. Naskah-naskah yang masih tersebar di kalangan masyarakat perlu diselamatkan dengan cara mengumpulkannya pada suatu tempat atau lembaga resmi negara. Bagaimanapun juga naskah-naskah kuno merupakan kekayaan budaya bangsa yang sangat penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, serta kebudayaan sehingga perlu dilestarikan untuk pemupukan jati diri bangsa.
Oleh karena, itu, pengumpulan dan pengoleksian naskah-naskah yang masih tersebar sebagaimana yang dilakukan museum Negeri Propinsi Sumatera Barat "Adytiawarman" sangat tepat. Pengoleksian menunjukkan bahwa Museum Adytiawarman telah menjalankan fungsi dan tugasnya untuk mengumpulkan dan merawat benda-benda yang bernilai budaya untuk selanjutnya menyajikan dan mempublikasikan koleksi itu kepada khalayak ramai dalam bentuk pameran dan penerbitan. Kecuali itu, naskah-naskah tersebut juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembuktian sejarah dan budaya serta sebagai media edukatif cultural.
Atas dasar pemikiran di atas, penelitian ini menjadikan koleksi dan konservasi naskah¬-naskah pada Museum Adilyawarman sebagai topik kajiannya. Pada museum ini banyak tersimpan naskah-naskah kuno baik yang berasal dari Sumatera Barat mau pun daerah lainnya. Setidaknya ada 63 naskah yang menjadi koleksi lembaga non profit ini. Untuk itu ada 3 (tiga) persoalan yang dapat dijadikan sebagai pokok kajian yakni : tema-tema apa saja naskah yang menjadi koleksi Adityawarman: bagaimana kondisi pisik dan cara mendapatkan naskah-naskah tersebut bagaimana system perawatannya (koservasi ). Selain itu untuk mengantar pada pokok persoalan penelitian ini juga akan memberikan gambaran sekilas tentang keberadaan museum Adityawarman.
Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan terutama untuk memberikan informasi tentang keberadaan naskah-naskah kuno yang ada di Sumatera Barat agar dapat dijadikan sebagai acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Selain itu juga untuk mengetahui bagaimana cara Museum Adityawarman mendapatkan naskah-naskah yang tersebar di masyarakat dan cara-cara yang dilakukan untuk merawat naskah-naskah.
Pada mulanya dalam penelitian ini, peneliti juga akan melakukan penelitian kodikologi untuk melihat segala segi material naskah seperti hal-hal yang menyangkut huruf, alas atau bahan yang digunakan. ilmuniasi, ilustrasi, penyalinan, penyalin, tempat penyimpanan, dan sebagainya. Akan tetapi karena laporan penelitian ini dibatasi maksimal hanya 25 halaman maka hal itu tidak dapat dilakukan. Selain itu saat penelitian ini dilakukan. M. Yusuf dan kawan-kawan sedang melakukan penelitian dan mendigitalisasikan naskah-naskah koleksi Museum Adytiawarman. Penelitian M. Yusuf dkk tidak menyangkut tentang konservasi dan cara mendapatkan naskah-naskah tersebut. Di sinilah letak perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan M. Yusuf dan kawan-kawan.
Ide penelitian ini muncul setelah peneliti membaca buku yang ditulis oleh Mu'jizah dan Maria Indra Rumi yang membahas tentang penelusuran dan penyalinan naskah-naskah Riau abad 19. Meskipun kedua penulis hanya memakai naskah-naskah Riau yang berada di Indonesia namun penulis telah dapat mengeksplanasikan banyaknya seriptoria dan penyalin-penyalin naskah di kepulauan Riau. Selain itu, penelitian kodikologi yang dilakukan kedua penulis juga banyak memberikan gambaran tentang keberadaan naskah baik fisik maupun isinya.
Buku karya kedua Filolog tersebut telah membuka wawasan peneliti bahwa kajian filologi tidak melulu terfokus pada persoalan fisik dan isi naskah. Tempat koleksi dan konservasi naskah pun perlu mendapat perhatian. Sebab, bagaimana pun juga tempat-tempat koleksi naskah merupakan sarana yang tepat untuk melakukan kajian-kajian naskah mengingat di tempat-tempat tersebut menyimpan naskah-naskah dan tentu saja berikut perawatannya. Hanya naskah-naskah yang terawat dengan baik saja yang dapat dijadikan sebagai acuan bagi penelitian filologi.
Buku lain yang juga menjadi rujukan awal penelitian ini The Antiquities and Work of Art: Treatmen, Repair, and Restoration. Buku ini ditulis oleh H.J. Plenderleith, Kepala Laboratorium Penelitian British Museum London. Buku ini telah diterjemahkan oleh I Wayan Suanda, tenaga Tehnis Konservasi dan Preparasi Museum Negeri Propinsi Bali dengan judul Konservasi Benda-Benda Antik dan Karya Seni: Perawatan, Reparasi, dan Restorasi. Buku yang tidak diterbitkan ini ditujukan bagi para kolektor, arkeolog, kurator museum dan tenaga¬-tenaga teknis permuseuman yang langsung berhubungan dengan konservasi koleksi. Uraian pokok dalam buku ini meliputi berbagai masalah benda sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh bagian riset laboratorium di British Museum, terutama terhadap benda-benda cetak, gambar, buku, tekstil, naskah, uang logam, seni rupa, dan benda-benda etnografi yang secara umum memiliki kerusakan. Buku ini dilengkapi dengan usaha-usaha penanggulangan berupa perawatan yang efektif dan mudah pelaksanaannya. Ada juga pembahasan tentang restorasi suatu benda purbakala agar dapat kembali nampak seperti semula. Pada bagian ketiga buku ini (hal 10-108) menguraikan tentang perawatan terhadap naskah-naskah kuno. Oleh karena itu sangat berguna pula bagi filolog dan atau pemilik-pemilik naskah.
Buku yang ditulis oleh Vera Imelda dan kawan-kawan yang berjudul Beberapa Naskah Kuno Sumatera Bara, juga menjadi rujukan. Dalam buku ini memuat 50 naskah kuno koleksi Museum Adytiawarman, 9 buah koleksi pusat dokumentasi dan informasi kebudayaan. Minangkabau (PDlKM) di Padang panjang dan 3 buah koleksi Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (BKSNT) Padang .
Dalam penelitian ini peneliti tidak berangkat dari teori-teori, akan tetapi didasarkan pada kerangka pemikiran tentang museum dan keberadaan naskah di Sumatera Barat, Menurut The International Council of Museum (ICOM) sebagai payung organisasi museum internasional museum adalah suatu lembaga yang bersifat tetap yang tidak mengambil keuntungan dan diusahakan untuk kepentingan masyarakat dengan tujuan memelihara, meneliti, memamerkan, kepada masyarakat bukti-bukti nyata manusia dan lingkungannya pada masa silam sehingga masyarakat dapat mengenal kembali sejarah alam, sejarah ilmu pengetahuan, dan sejarah kebudayaan masa lalu. Dalam pp N0. 19 tahun 1995 disebutkan bahwa museum merupakan lembaga tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan dan pemanfaatan benda-¬benda materil hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannnya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya menyebutkan bahwa benda cagar budaya adalah benda buatan manusia, bergerak, atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah. ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Serta benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Termasuk dalam hal ini adalah naskah-naskah kuno yang ditulis dengan tangan ( manuskrip).
Benda-benda tersebut merupakan hasil dan tradisi yang pernah berlansung di daerah tersebut, sejak dahulu hingga Minangkabau terbiasa mentransformasikan budayanya dari generasi ke generasi. Hal inilah yang selalu menjadi kendala pada setiap peneliti sejarah Minangkabau dalam menyusun sejarah Minangkabau. Sebab, masyarakat ini tidak meninggalkan bukti-bukti tertulis sebelum kedatangan bangsa Barat dan sebelum mereka mengenal tulisan Arab dan Latin.
Tradisi lisan yang sejak lama menjadi budaya masyarakat Minangkabau telah memperkenalkan masyarakat daerah ini pada beberapa karya sastra seperti kaba, dendang, sejarah alam, adat istiadat dan norma-norma dalam masyarakat, silsilah keturunan, dan lain-¬lain. Semua kesenian ini dihafal oleh para pendahulu yang kemudian disampaikan secara lisan kepada generasi-generasi berikutnya. Akibatnya transformasi budaya ini berdampak pada bertambah atau berkurangnya materi dari sebuah peristiwa, seperti kaba Malin Dewan. Tidak kurang dari 23 naskah kaba Malin Dewan tersimpan di berbagai perpustakaan dunia. Pada setiap naskah itu terdapat variasi-variasi dalam penyampaian atau penyalinan kaba. Begitu juga dengan tambo, walaupun isinya hampir sama namun dalam teks terdapat perbedaan antara satu dengan yang lainnya.
Masuknya pengaruh asing ke Minangkabau khususnya Islam pada permulaan abad ke-13 dan lebih dahsyat lagi pada pertengahan abad ke-16 telah membawa masyarakat Minangkabau untuk meninggalkan budaya lisan dan orang-orang Minangkabau berbondong¬-bondong menyalin naskah-naskah tradisi lisan ke dalam bentuk tulisan dengan menggunakan aksara Arab-Melayu. Pada gilirannya persentuhan dengan bangsa Barat juga melahirkan budaya menulis dengan menggunakan aksara Latin.
Akan tetapi kegiatan tulis-menulis dengan aksara Arab-Melayu sangat lambat perkembangannya jika tidak ingin dikatakan tidak pernah berkembang di masyarakat Minangkabau. Menurut Anwar sebagaimana dikutip Suryadi penggunaan aksara Arab-Melayu baru berkembang sejak munculnya golongan intelektual Islam yang tidak begitu besar jumlahnya pada awal abad ke 20 yang menggunakan aksara tersebut dalam mengkodifikasikan pemikiran-pemikirannya. Adalah golongan ulama dan atau kalangan "orang surau " yang mempelopori penggunaan aksara Arab-Melayu di Minangkabau. Pada masa itu muncul sejumlah karya sastra Minangkabau dan ini semakin meningkat sejak bangsa Eropa memperkenalkan aksara Latin, banyak sastra lisan Minangkabau yang dijadikan sebagai naskah.
Jadi, naskah yang muncul dan tersebar luas di alam Minangkabau pada umumnya merupakan penyalinan dan kelanjutan dari tradisi lisan. Hal ini tcrillustrasi dari banyaknya naskah-naskah yang pada dasarnya adalah produk tukang kaba atau produk-produk lisan. Kondisi ini menurut Yusuf dalam banyak versi tulisan. gaya lisan atau sifat keasliannya tetap kelihatan, misalnya kesatuan mengucapkan, keserasian irama akhir, dan ungkapan-ungkapan yang formulaic, sehingga sulit dikatakan bahwa kaba-kaba itu hasil tradisi lisan. Fenomena ini terus berlanjut sampai pada penulisan dalam aksara latin pada masa berikutnya. Hal yang sama juga terjadi pada setiap naskah yang beraroma keagamaan, seperti fiqhi, nahu, sharaf dan lain-lain. Naskah-naskah yang disebut terakhir ini hanya merupakan penyusunan kembali dari ajaran-ajaran yang telah diajarkan secara lisan, sedangkan tambo yang telah ditulis sebagai pegangan pokok masyarakat Minangkabau yang memuat tentang kejadian alam, raja, adat istiadat serta silsilah raja atau kaum dan pembagian daerah-daerah kesemuanya itu merupakan hasil tradisi lisan yang ditransfer ke bentuk tulisan. Akibatnya hingga saat ini di kalangan masyarakat Minangkabau ada anggapan bahwa tambo yang asli itu adalah tambo yang ditulis tangan, dengan aksara Arab-Melayu, wulaurun sekarang sudah banyak yang dicetak memakai huruf latin. Hal yang sama juga terdarat pada naskah mengenai petatah-petitih pada umumnya ditulis dengan aksara Arab-Melayu kemudian dialihkan ke aksara latin.
Sebenarnya, secara kuantitas karya sastra Minangkabau yang tertulis relatif sedikit. Naskah-naskah Minangkabau yang ditulis dalam aksara Arab-Melayu belum terdokumentasi dengan baik. Walaupun demikian naskah-naskah Minangkabau banyak yang disimpan dan diselamatkan oleh bangsa-bangsa asing, khususnya Belanda.
Sampai saat ini masyarakat Minangkabau pada umumnya kurang memperhatikan keselamatan naskah-naskah kuno yang banyak menyimpan informasi kebudayaan. Hal ini disebabkan tidak mentradisinya kebudayaan tulis dalam kehidupan mereka. Dengan kata lain, orang Minangkabau sejak dahulu hingga sekarang lebih menyukai untuk mendengar suatu kisah atau cerita ynng disampaikan secara langsung oleh tukang kaba (penyaji) atau oleh seorang penyampai berita. Kesenangan ini didasarkan pada cara penyampaian yang unik sehingga menjadi suatu yang memuaskan bagi si pendengar.
Penelitian mengenai koleksi dan konservasi naskah-naskah koleksi museum Adityawarman dapat digolongkan sebagai penelitian yang bersifat menjelajah dengan tujuan untuk memberikan gambaran atau infonnasi secara umum tentang naskah-naskah yang berada di Museum Adityawarman agar dapat dijadikan sebagai acuan untuk melakukan penelitian lebih mendalam.
Teknik pengumpulan data dan informasi mengenai naskah-naskah dilakukan dengan mendatangi objek. Selain itu dilakukan juga studi kepustakaan yang bertujuan memberi pemahaman yang lebih mendalam tentang objek penelitian. Untuk melengkapi data-data dilakukan juga wawancara kepada beberapa informan yang dianggap kredibel. Wawancara dilakukan kepada kepala seksi pemeliharaan, pemantauan, dan penyajian, Reza Muthia penanggung jawab konservasi dan preparasi benda-benda koleksi dan penanggung jawab penyimpanan naskah-naskah koleksi museum Adityawarman.
Penelitian ini sendiri sudah dimulai sejak pertengahan Oktober tahun 2004. Namun sempat terputus sehubungan dengan adanya tugas peneliti selaku tenaga pengajar pada IAIN Imam Bonjol Padang. Penelitian ini dilanjutkan pada awal bulan November tahun lalu dan baru selesai akhir tahun 2004.

1. Gambaran Umum Tentang Museum Adityawarman
Museum Propinsi Sumatera Barat yang diberi nama Adityawarman terletak di jalan Diponegoro Padang, jaraknya sekitar 150 meter dari pantai Muaro Padang. Bangunan gedung museum ini berada di tanah berkas lapangan Dipo yang diperuntukkan sebagai lokasi kebudayaan oleh pemerintah kota Padang. Bangunan ini berada di atas tanah kota yang diserahkan wali kota Padang, Hasan Basri Durin pada tahun 1974.

Museum Adityawarman mulai di bangun pada tahun anggaran 1974/1975 dan diresmikan pada tanggal 16 Maret 1977 oleh menteri pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia pada waktu itu, Sjrif Thyib. Realisasi pelaksanaan fungsionalisasi museum ini berpayung pada definisi oleh ICOM secara internasional dan pp no. 19 tahun 1995 secara nasional. Kegiatan-kegiatannya dalam mewujudkan tugas dan fungsinya selalu berorientasi pada koleksi dan publik.
Berdirinya museum Adityawarman bermula dari adanya kesepakatan antar Gubernur Sumatra Barat Harun Zein dengan kepala perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sumatera Barat Amir Ali pada tahun 1973 untuk mendirikan balai kebudayaan Minangkabau. Hal ini disampaikan kepada direktorat permuseuman Ditjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan kebudayaan R.I. di Jakarta. Pemerintah pusat menyepakati usulan tersebut sebab bertepatan dengan rencana pemerintah membangun museum di setiap propinsi. Segera setelah itu, pemerintah pusat dalam hal ini direktorat permuseuman menurunkan tim ke Sumatera Barat mengadakan serangkaian pertemuan dan konsultasi. Hasilnya disepakati untuk membangun sebuah museum yang berlokasi di ibu kota propinsi Sumatera Barat. Pemerintah daerah kota madya Padang menyediakan tanah yang terletak di lapangan Tugu Taman Melati. Pada sisi lain perlunya mendirikan museum adalah atas kenyataan banyaknya benda warisan budaya Sumatera Barat yang perlu diselamatkan karena merupakan asset budaya bangsa.
Gedung utama museum Adityawarman berbentuk rumah Gadang Minangkabau bangunan berkolong dengan teknologi mutakhir. Lantai pertama gedung ini dipakai untuk pameran tetap yang di bagi dua oleh dinding serambi. Bagian kiri ruang ini sebagai pajangan pameran upacara daur hidup ( cycle life) menurut adat Minangkabau dilengkapi dengan peralatan dan hidangan (duplikat) pesta. Pada anjungan dipajangkan pelaminan perkawinan. Bagian kiri rumah Gadang ini dipajangkan peralatan rumah tangga, kerajinan, dan alat musik tradisional Minangkabau.
Lantai bawah (kolong), sebelah kanan sebagai Ruang khusus Mentawai, sebagai bagian dari kabupaten dalam Provinsi Sumatra Barat, adalah ruang pameran. Sebelah kiri merupakan ruang Etnografi, dipajangkan pakaian tradisional berbagai daerah di Sumatera Barat dan Nusantara
Setelah keluar dari ruangan Nusantara, masuk ke ruang terbuka. Pada ruang ini berdiri duplikat area perwujudan Adityawarman. Tingginya 4.17 m. Area aslinya didapat di Padang area di Rambahan, kabupaten Darmasraya pada tahun 1935. Area Budha bernilai seni tinggi sekarang terletak di ruang depan Gedung Museum Nasional Jakarta. Di samping itu di ruang ini terletak pula prasasti peresmian museum ini yang ditandatangani oleh Prof Dr. Sjarif Thaib, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.1. Batu peresmian ini ialah batu andesit yang beratnya 200 kg diambil dari Batang Kuranji. Di ruang itu terpajang pula koleksi menhir Lima Puluh.
Di sisi ruang terbuka, di lantai dasar, dipergunakan sebagai Ruang Pameran temporer, yang ditempati perkembangan peradaban manusia zaman prasejarah sampai kini. Termasuk di ruangan ini dipajangkan batu-batuan. Ruang ini juga dipakai untuk ruang khusus sebagai ruang pameran yang direncanakan yang berhubungan dengan kehidupan masa kini. Di samping ruangan ini, terdapat Ruang Konservasi dan Reparasi Koleksi yang diperuntukkan petugas untuk mengawetkan koleksi dan dokumentasi perekaman koleksi dalam bentuk foto dan slide.
Ruang atas gedung pameran dimanfaatkan sebagai Kantor Kepala dan Administrasi yang Museum dilengkapi dengan ruang diskusi petugas museum, ruang kurator museum dan gudang koleksi, Perpustakaan, dan Kantor Bimbingan Edukasi Museum.
Pada saat ini Museum Adityawarman mempunyai tidak kurang 6442 buah benda koleksi. Benda-benda ini diklasifikasikan menurut jenisnya masing-masing yakni geologika 29 buah, etnografika 5401 buah, arkeologika 44 buah, historika 64 buah, numasmatika dan heraldika 120 buah, filologika 64 buah, keramologika 671 buah, seni rupa 27 buah, dan teknologika 9 buah. Selain itu ada juga perpustakaan yang di lengkapi dengan penerbitan museum. Lebih kurang penerbitan museum 52 buah mengenai pakaian adat (Padang Magek, Payakumbuh, Sungayang), transportasi (bendi), kerajinan (songket, tenun balapak), teknologi tradisional (ukiran rumah gadang, kincir air, kilang tebu, gambir). musik (rabab pesisir, puput batang padi, dabus), permainan (layang-layang), ibadah, dan sejarah (Padang tempo dulu Yang Dipertuan Parik Batu, Adityawarman).
Koleksi museum dilengkapi dengan buku inventaris, yang berisi catatan lengkap identitas koleksi fisik, maupun daya guna dalam kehidupan masyarakat Minangkabau yang matrilini. Secara berkala dilakukan penelitian koleksi melengkapi museum sebagai lembaga ilmiah dan pendidikan dan diterbitkan untuk mengantarkan museum ini sebagai lembaga ilmu, rekreasi dan kesenangan. Koleksi museum yang lain disimpan di gudang (stroge) koleksi.
Museum Adityawarman juga memiliki ruang Auditorium, yang lotengnya bergaya payung panji perangkat adat Minangkabau. Auditorium sebagai ruang bimbingan untuk siswa dan rombongan pengunjung, maupun diskusi, seminar pameran temporer.
Saat ini Museum Adytiawarman memiliki 60 orang pegawai dan dipimpin oleh Dra. Usria Dhavida, sarjana Bahasa Inggris. Semua benda-benda koleksi museum berada di bawah kontrol Kepala Seksi Pemeliharaan, Pemantauan, dan Penyajian Dra. Reza Muthia (41 thn), Sarjana Sejarah Universitas Andalas. Ironisnya pegawai museum kebanggaan masyarakat Minangkabau ini tidak seorangpun yang sarjana Filologi, padahal cukup banyak memiliki koleksi naskah-naskah kuno, mayoritas pegawainya adalah tamatan SLTA.

2. Naskah-naskah Koleksi Museum Adityawarman dan Cara Memperoleh Naskah
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Museum Adityawarman mengkoleksi 63 buah naskah yang terdiri dari berbagai jenis. Selain naskah-naskah yang berasal dari Sumatera Barat koleksi museum kebanggaan masyarakat Minang ini juga ada yang berasal dari Nusa Tenggara Timur yang materinya dari lontar. Jumlah koleksi naskah tersebut sebenarnya belum seberapa mengingat masih banyaknya naskah-naskah yang masih tersebar di kalangan masyarakat di Sumatera Barat.
Di antara berbagai kategori naskah koleksi Museum Adityawarman naskah keagamaan / (baca: Islam) merupakan jenis kategori naskah yang paling banyak jumlahnya. Dominannya naskah-naskah keagamaan itu lebih dimungkinkan oleh adanya tradisi penulisan naskah-naskah local yang masih terus berlangsung hingga saat ini, seiring dengan masih terus berlanjutnya proses transmisi berbagai pengetahuan ke-Islaman di wilayah ini. Menurut Oman di Sumatera Barat banyak dijumpai naskah-naskah keagamaan yang ditulis pada awal hingga akhir abad ke¬20 oleh para ulamanya.
Kondisi naskah koleksi Museum Adityawarman pada umumnya sangat mengkhawatirkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa naskah yang dapat dikatakan dalam kondisi baik hanya 30 buah selebihnya, 33 buah, sudah rusak. Pengertian "dalam kondisi baik" di sini juga dibedakan pada : l) baik secara keseluruhan yakni fisiknya masih utuh dan tulisannya bisa terbaca dengan jelas, 2) fisiknya utuh tetapi tulisannya sudah mulai suram meski masih dapat dibaca, 3). fisiknya masih utuh tetapi sampul dan sebahagian lembarannya sudah lepas. 4). Ada sobekan-sobekan pada beberapa lembaran meskipun tidak mengganggu tulisan, 5) kertasnya sudah mulai menguning meski tidak menggangu tulisan. Kriteria rusak juga dapat dibedakan pada: 1) rusak secara keseluruhan baik isi maupun tulisannya, 2) sebagian lembarannya ada yang hilang. 3) tinta tulisan sudah mulai luntur sehingga sulit dibaca, 4) naskah tidak bersampul lagi, 5) kondisi kertas sudah robek-robek dimakan rayap.
Selain dari Nusa Tenggara Timur (4 naskah), naskah-naskah koleksi museum Adytiawarman berasal dari berbagai pelosok daerah Sumatera Barat dan yang terbanyak dari lima puluh kota (26), Payakumbuh 20, Pariaman dan Padang masing-masing 2 dari Solok dan Tanah Datar masing-masing 3 buah. Naskah-naskah yang berasal dari daerah 50 kota pada umumnya naskah-naskah keagamaan seperti Kitab Fiqhi, Naskah Khutba, Kitab Barjanzi dan al-Qur’an. Sedangkan dari Payakumbuh. Selain al-Qur'an dan kitab-kitab Agama juga naskah tentang cerita-cerita rakyat.
Kecuali naskah-naskah yang terbuat dari bahan lontar yang menggunakan aksara Jawa Kuno dan naskah-naskah al-Qur'an, semua naskah koleksi Museum Adityawarman menggunakan aksara Arab melayu (Jawa) dan ditulis dengan tangan. Naskah ini dapat digolongkan kepada : 1. al-Qur'an, baik cetak maupun tulisan tangan 15 buah: ilmu Fiqhi 10 buah, Cerita-cerita rakyat 5 buah: tambo Minangkabau 3 buah; ilmu Tauhid, Syari'ah, Undang-¬undang Minangkabau, dan jimat masing-masing 2 buah, faraid (ilmu hukum waris), khotbah, tajwid, obat-obatan, nahwu sharaf, kumpulan do 'a, fiqhi anak, hikayat melayu, bajanzi, adat, adab, dan ta'wil gempa bumi masing-masing 1 buah. Sisanya, 5 naskah lagi, campuran.
Naskah-naskah koleksi ini berada dibawah pengawasan bagian Pemeliharaan, Pemantauan, dan Penyajian di bawah pimpinan Reza Muthia (41), Sarjana Sejarah Universitas Andalas. Menurut Reza, dari 63 buah naskah koleksi Museum Adityawarman 10 di antaranya adalah barang cetakan dan 4 buah lagi berasal dari Nusa Tenggara Timur yang di dapat dengan memberikan ganti rugi. Keempat naskah tersebut dari bahan lontar dan menggunakan aksara Jawa Kuno. Naskah Lontar ini didapat pada acara Pameran di Bali pada tahun 1977. Diperkirakan itulah naskah pertama yang menjadi koleksi Museum Adityawarman.
Naskah-naskah koleksi Museum Adityawarman hampir semuanya diperoleh dengan ganti rugi. Hanya satu buah naskah saja yang berasal dari sumbangan masyarakat yakni naskah yang bertitel Takwil Gempa Bumi. Naskah ini berasal dari daerah Koto Nan Gadang Payakumbuh yang ditulis tangan dan menggunakan aksara Arab Melayu. Bahannya terbuat dari kertas dan jumlah halamannya 387; masing-masing halaman terdiri dari 15 baris. Tulisannya terdiri dari dua warna, merah dan hitam.
Dalam keterangannya kepada penulis, Reza mengakui sulitnya mendapatkan naskah dari masyarakat meskipun ada "ganti ruginya". Padahal naskah-naskah kuno perlu diselamatkan dan sudah menjadi tugas museum untuk mengumpulkan dan merawat benda-benda bernilai sejarah. Oleh karena itu, Museum Adityawarman menyediakan anggaran khusus untuk pengadaan koleksi naskah yang dimulai sejak tahun 1994.
Sejak tahun 1990-an, Museum Adityawarman sangat gencar "memburu" naskah-naskah yang masih tersebar di masyarakat. Payakumbuh, Lima Puluh Kota, dan Bukittinggi adalah tempat "para pemburu" naskah itu mendapatkan buruannya. Selain itu, tidak jarang juga "calo-calo" naskah yang menawarkan dagangannya. Para "pemburu Naskah" juga sering mendapatkan buruannya dari toko barang antik di Bukittinggi, seperti "Minang Sari". "Makmur", dan "Ganesha". Naskah-naskah didapat dengan system ganti rugi dan besarnya disesuaikan dengan kualitas naskah. Semakin tua usia dan semakin baik kondisi naskah maka, harga semakin tinggi. Bahkan ada naskah yang didapat setelah memberi ganti rugi sebesar Rp. 3.000.000.

3. Konservasi Naskah-Naskah
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa naskah-naskah kuno tulisan tangan merupakan salah satu benda cagar budaya yang mesti dijaga keleslariannya. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1993 Bab IV Pasal 23 tentang pelaksanaan Undang-undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1992 menyebutkan bahwa upaya perlindungan dan pelestarian benda cagar budaya dilakukan dengan cara penyelamatan, pengamanan, perawatan, dan pemugaran.
Pada struktur organisasi Museum Adityawarman ada satu bagian yang bertugas melakukan perawatan terhadap semua benda-benda koleksi, yakni bagian Konservasi dan Preparasi. Bagian ini berada di bawah kontrol Kepala Seksi Pemeliharaan, Pemantauan, dan Penyajian, Penanggungjawab bagian Bagian Konservasi dan Preparasi itu adalah Abasrul (51) alumnis Fakultas IImu Sosial IImu Politik Universitas Terbuka tahun 2000.
Meskipun Abasrul telah sering mengikuti pelatihan-pelatihan konservasi benda-benda purbakala, namun belum pernah sekalipun mendapat pendidikan tentang konservasi naskah-¬naskah kuno. Bahkan yang bersangkutan mengakui bahwa ia tidak memiliki pengetahuan mengenai konservasi naskah-naskah kuno meskipun sudah bergelut di bidang konservasi benda-¬benda purbakala selama 20 tahun.
Konservasi naskah-naskah koleksi Museum Adityawarman lakukan dengan cara yang sangat sederhana (tradisional). Semua naskah disimpan dalam sebuah lemari kayu yang bagian atas dan bawah lemari ini ditaburi bubuk-bubuk kapur barus. Hal ini dilakukan untuk menghindari gangguan serangga pemakan kayu dan kertas. Selain itu setiap minggu lemari penyimpan naskah juga suntik dengan memamai cairan yang berisi campuran minyak tanah dengan bubuk kapur barus.
Perawatan sampul-sampul naskah yang pada umumnya terbuat dari kulit binatang dilakukan dengan cara memberi larutan desolfit. Larutan ini diberikan untuk membersihkan noda-noda. Caranya adalah dengan mengoleskan larutan tersebut dengan kuas kemudian dikeringkan dalam ruangan dan dihindari dari terkena sinar mata hari secara langsung. Kadang-¬kadang pengeringan juga dilakukan dengan memakai kipas angin. Pengeringan diberlangsung selama lebih kurang 1 (satu) jam.
Menurut Abasrul permasalahan utama berkenaan dengan upaya pelestarian naskah sebagai salah satu benda cagar budaya yang dialami oleh Museum Adityawarman adalah minimnya peralatan moderen disamping kondisi pisik naskah yang sudah banyak mengalami kerusakan karena proses alam atau perbuatan manusia baik sengaja maupun tidak. Selain itu tidak tersedianya tenaga professional yang dapat melakukan konservasi naskah-naskah. Dari sekitar 60 orang pegawai tidak satupun yang pernah mendapat pendidikan tentang konservasi naskah akibatnya perawatan naskah dilakukan secara tradisional.
Keadaan tersebut di atas diperparah lagi dengan keberadaan lokasi museum yang sangat dekat dengan laut, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Menurut Plenderleith sangat sulit menjaga keselamatan koleksi pada museum yang lokasinya berada dekat laut. Udara laut, basah dan mengandung garam berembus ke darat menjadi lembab dan zat garamnya mengkristal dalam bentuk partikel-partikel yang sangat halus. Kristal-kristal garam ini bersifat hygroscopic yang dapat menimbulkan kelembaban local yang kemudian menyebabkan tumbuhan jamur walaupun disekelilingnya kering. Hal ini sangat membahaya koleksi terutama koleksi buku dan koleksi¬koleksi lainnya yang terbuat dari kertas dan kayu.

4. Kesimpulan
Dalam upaya melestarikan dan memperkenalkan warisan budaya berbentuk manuskrip (naskah) kepada masyarakat Museum Propinsi Sumatera Barat telah melakukan langkah-langkah yang sangat berarti yakni mengumpulkan atau mengkoleksi puluhan naskah-naskah kuno tidak hanya yang berasal dari Sumatera Sarat tetapi juga dari daerah lainnya. Pengkoleksian ini tidak hanya sekedar menjalankan tugas dan fungsinya dalam melestarikan dan memanfaatkan warisan budaya nasional untuk kepentingan bangsa dan negara, tetapi juga menunjukkan bahwa lembaga ini telah berperan aktif dalam mengembangkan ilmu Filologi setidaknya di Sumatera Barat. Hal terakhir yang diungkapkan ini didasarkan banyaknya tema-tema yang terkandung dalam naskah-¬naskah yang dikoleksi itu.
Akan tetapi sangat disayangkan kurangnya perhatian terhadap keselamatan koleksi naskah-naskah yang berjumlah 63 buah itu. Lebih dari separoh benda-benda cagar budaya itu mengalami kerusakan. Kerusakan terjadi selain oleh factor alam atau lingkungan juga dimungkinkan oleh ketiadaan tenaga yang mengerti tentang konservasi naskah. Semua pegawai museum itu belum pernah ada yang diberi pelatihan atau didikan khusus mengenai konservasi naskah. Akibatnya konservasi naskah masih memakai cara-cara tradisional.
Adanya praktek ganti rugi yang dilakukan oleh Museum Adityawarman untuk mendapatkan naskah-naskah dari masyarakat menunjukkan adanya perdagangan benda-benda cagar budaya khususnya naskah-naskah kuno di Sumatera Barat. Hal ini juga menunjukkan bahwa masih banyaknya masyarakat di Sumatera Barat yang belum memahami arti penting naskah-naskah kuno bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kelestarian warisan nenek moyang. Padahal, meminjam pendapat Robson, kita mendapat tugas moral untuk merawat apa yang telah ditinggalkan nenek moyang kepada kita.
Sebagai kata akhir dari laporan penelitian ini, peneliti ingin menyampaikan beberapa rekomendasi :
1. Penelitian ini merupakan penelitian awal sehingga masih banyak sisi yang belum terungkap, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan agar dapat memberikan gambaran mengenai keberadaan naskah-naskah koleksi Museum Adityawarman secara lebih komprehensif. Sehingga dapat dimunculkan solusi-solusi cerdas untuk mengatasi segala persoalan yang menyangkut kondisi naskah-naskah tersebut terutama sekali unluk mengatasi kerusakan pada naskah-naskah tersebut.
2. Perlu diberikan pendidikan atau pelatihan khusus mengenai konservasi naskah pada penanggungjawab koleksi naskah-naskah Museum Aditywarman. Dan sudah saatnya Museum Adityawarman memiliki pegawai yang memiliki latar belakang pendidikan Filologi (baca: sarjana Filologi) mengingat koleksi-koleksi naskah pada lembaga itu cukup banyak.
3. Museum Aditywarman perlu melakukan penyuluhan-penyuluhan kepada anggota masyarakat yang memiliki naskah-naskah kuno tentang arti penting menjaga keselamatan benda purbakala itu dengan tujuan agar masyarakat tersebut mau mewakafkan naskah-naskah miliknya kepada Museum atau lembaga resmi lainnya yang dipandang mampu. Hal ini juga untuk memberantas praktek terselubung jual beli benda-benda purbakala.





Selengkapnya...