Jumat, 30 Januari 2009

Periodesasi Perkembangan Ilmu Nahu

Oleh : DR. Yasmadi, M.Ag

Ada empat tahapan terjadi dalam pertumbuhan dan perkembangan ilmu nahu. Keempat tahapan tersebut oleh Muhammad At-Thanthawi (1991:19) dinamakan dengan: fase peletak dasar dan pembentukan (طور الوضع والتكوين), fase pertumbuhan dan perkembangan (طور النشوء والنمو), fase kematangan dan kesempurnaan (طور النضوج والكمال), dan fase tarjih dan penyebarluasan (طور الترجيح والبسط في التصنيف). Tahapan-tahapan tersebut juga sebagai potret perkembangan ilmu nahu dari awal perumusannya sampai berkembang menjadi suatu disiplin keilmuan. Pada tahapan tersebut hingga abad 4 H.

Secara umum dapat dilihat kontribusi tokoh-tokoh Basrah, Kufah, dan Bagdad dalam merumuskan dan mengembangkan kaidah-kaidah nahu, sehingga mengantarkan ilmu nahu sebagai suatu disiplin keilmuan yang penting untuk dipelajari.

Fase peletak dasar dan pembentukan (طور الوضع والتكوين)
Fase ini berlangsung sejak prakarsa awal Abu al-Aswad ad-Du'ali sampai masa Al-Khalil (w. 175 H) dan berakhir pada masa Bani Umayah. Pada fase ini kontribusi dan peran ulama-ulama Basrah terasa lebih besar dan dominan dibanding Kufah (Mustafâ Abd al-`Azîz al-Sinjarjîy, 1986:19-22). Dapat dikatakan bahwa secara kualitas dan kuantitas kalangan Basrah dianggap paling besar peranannya dalam perumusan dan memformulasikan nahu, yang kemudian diikuti oleh peran ulama-ulama Kufah. Hanya saja Secara umum yang berperan pada fase ini adalah ulama-ulama yang bermukim di Basrah, sedangkan mayoritas ulama Kufah pada saat yang bersamaan masih disibukkan dengan upaya periwayatan syair-syair dan qiraat Qur’an.

Paling tidak ada tiga faktor pendukung, seperti diungkapkan Mustafâ Abd al-`Azîz al-Sinjarjîy (1986:19-22), yang menyebabkan ulama Basrah lebih itensif dalam perumusan dan pembentukan nahu, yaitu: Pertama letak kota Basrah yang strategis. Orang-orang Basrah relatif mudah mengakses al-ashalib al-fashihah dan bahasa yang masih asli yang terbebas dari lahn dan asimilasi, sebab kota Basrah berdekatan dengan daerah pedalaman sehingga memudahkan terjadinya komunikasi antar mereka. Mereka sering berkunjung ke daerah pedalaman, sebaliknya orang pedalaman juga sering mendatangi kota Basrah untuk beberapa keperluan. Kedua, sawq al-mirbad sebuah pasar sastra yang cukup terkenal terletak di perlintasan Basrah yang selalu dikunjungi oleh berbagai utusan di semenanjung Basrah guna memperlihatkan kemampuan masing-masing, baik sebagai ahli syair, sastra, maupun bahasa. Ketiga, masjid Basrah sebagai sarana berhimpunnya halaqah-halaqah ilmiyah dalam berbagai bidang kajian, seperti qira'ah, lugah, kalam, tafsir, dan hadis, yang dikuti oleh orang-orang Basrah dan Persia (Iran sekarang).

Secara umum usaha untuk mengangkat nahu ke permukaan pada fase ini dapat dikatakan berlangsung dalam dua bentuk. Pertama usaha-usaha penemuan nahu dan menginvestasikan kaidah-kaidahnya dalam bahasa pergaulan masyarakat, ekonomi perdagangan, dan sosial politik. Maka ketika itu, dalam tardisi lisan, gramatika Arab secara bertahap mulai diperkenalkan dan disosialisasikan pada masyarakat. Bentuk kedua, karena bahasan dan kaidah nahu semakin banyak dan terus menerus bertambah, serta itensitas discourse nahu semakin meningkat pula maka mulailah tradisi lisan berkembang menjadi tradisi tulisan (kodifikasi) secara gradual, sehingga bermuculan karya-karya ulama tentang ilmun nahu. Fenomena ini paling tidak terlihat dari karangan `Isa Ibn `Amar ats-Tsaqafi (w. 149 H) yang menulis al-Jâmi` wa al-Ikmâl dan beberapa buah tulisan Abu `Amar al-`Alâ (w. 154 H) salah seorang Imam “qira’at as-sab’ah” di masjid Jami’ Basrah.

Fase pertumbuhan dan perkembangan (طور النشوء والنمو)
Fase ini ditandai dengan mulai bersinerginya ulama-ulama Basrah dan Kufah dalam mempromosikan nahu, tetapi di sisi lain mulai terlihat rivalitas mereka dalam mempertahankan argumentasi masing-masing. Periode ini berawal pada masa Al-Khalîl ibn Ahmad (w. 187 H) di Basrah dan Ar-Ru’âsî (w. 187 H) di Kufah. Fase ini berlangsung hampir seabad dan berakhir pada masa Al-Mâzinî (w. 249 H) tokoh Basrah dan Ya`kûb ibn as-Sikît salah seorang tokoh Kufah. Perdebatan yang berujung pada perbedaan titik pandang persoalan gramatika Arab mulai terlihat pada fase ini. Perbedaan pandangan ulama Basrah dan Kufah terkait dengan kaidah-kaidan atau materi ilmu nahu untuk selanjutnya secara rinci dapat dilihat dalam karya Al-Anbari, al-Inshâf fi Masâil al-Khilâf bain an-Nahwiyîn: al-Basriyîn wa al-Kûfiyîn.
Pemuka-pemuka Basrah di bawah pimpinan Al-Khalîl dan tokoh-tokoh Kufah di bawah komando Ar-Ruâsî sudah mulai lebih mengembangkan wacana perdebatan. Jika pada fase pertama wacana yang berkembang lebih kepada persoalan akhir kalimat yang tentu saja menyangkut masalah gramatika bahasa Arab, pada fase ini persoalan morfologi Arab (saraf) mulai mendapatkan perhatian serius, hanya saja pembahasan saraf ditempatkan sebagai furu` atau bagian dari kajian nahu. Tetapi nampaknya justru pada periode ini ulama Kufah menunjukkan perhatian yang serius pada kajian ilmu saraf. Maka lahirlah karya ilmiyah tentang ilmu saraf, seperti Kitâb at-Tashgîr karya Ar-Ruâsî (w. 187 H), Kitâb al-Mashâdir, serta Kitâb Fi ‘il wa af’âl karya Al-Farrâ` (w. 207 H) dapat dijadikan sebagai indikator maraknya kajian saraf di kalangan ulama Kufah ketika itu.

Fase kematangan dan kesempurnaan (طور النضوج والكمال)
Fase ini dimulai pada masa Al-Mâzinî (w. 249 H) tokoh Basrah dan Ya`qûb ibn as-Sikît tokoh Kufah dan berakhir pada masa Al-Mubarrad (w. 285 H) di Basrah serta Tsa`lab (w. 291 H) di Kufah. Perkembangan yang cukup signifikan yang ditunjukkan dalam fase ini, antara lain: adalah keseriusan dan kesungguhan dalam menyempurnakan persoalan-persoalan yang terlupakan oleh ulama-ulama sebelumnya, memberikan komentar singkat (syarh), membuat ringkasan, mengembangkan kajian-kajian yang penting, meluruskan dan menyempurnakan peristilahan, merumuskan karakteristik kajian nahu, saraf, dan lainnya. Periode yang berlangsung sampai akhir abad ke-3 H. ini menurut sebagian ulama menandai telah berakhirnya “ijtihad” dalam nahu pada dua aliran besar; Basrah dan Kufah, yaitu pada masa al-Mubarrad aliran Basrah dan Tsa`lab aliran Kufah.
Fase tarjih dan penyebarluasan (طور الترجيح والبسط في التصنيف)
Jika tiga gelombang pertama yang berperan adalah ulama nahu Basrah dan Kufah, maka pada fase ini terlihatlah kontribusi besar tokoh-tokoh dari Bagdad. Banyak juga tokoh nahu kenamaan lahir pada periode ini, antara lain: Az-Zajjâj (w. 337 H), Abu `Alâ al-Fârisî (w. 377 H), Ar-Rumânî (w. 384 H), Ibn Jinnî (w. 392) belakangan muncul pula Zamakhsyarî (w. 538 H), Al-Anbârî (w. 577 H), dan lain-lain.
Pemeran utama dalam tahapan keempat ini adalah ulama nahu yang tergabung dalam aliran Bagdad. Mayoritas ulama nahu Bagdad adalah adalah murid dari ulama-ulama nahu Basrah dan Kufah, karena itu pemikiran nahu yang dikembangkan oleh mereka pada periode ini sebagai “jalan tengah” yang mencoba memilih dan menyeleksi pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh sebelumnya, baik dari ulama-ulama Basrah maupun dari ulama-ulama Kufah. Secara umum dapat dikatakan periode ini sebagai tahapan dalam upaya pemilihan dan penyeleksian kaidah-kaidah yang sebelumnya telah dilahirkan oleh ulama Basrah dan ulama Kufah. Meskipun demikian menurut `Abd al-Karîm Muhammad al-As`ad (1992:116) ulama Bagdad juga mengemukakan gagasan-gagasan baru terkait dengan materi kaidah-kaidah nahu yang sebelumnya tidak pernah diungkapkan oleh ulama Basrah dan Kufah.



Selengkapnya...

Rabu, 28 Januari 2009

Fakultas Adab Mencari Format Orientasi Keilmuan Budaya Perspektif Islam

Oleh : Drs. Irhash A. Shamad, M.Hum

Akhir-akhir ini terlihat kecendrungan Fakultas Adab di beberapa IAIN mengubah nama Fkultas Adab menjadi Fakultas Ilmu Budaya (Humaniora). Perubahan ini disebabkan oleh karena, selain nama Adab, yang selama ini digunakan, dirasakan kurang komunikatif bagi calon mahasiswa dan kalangan umum, juga oleh adanya keinginan untuk meluruskan pembidangan keilmuan sesuai dengan perluasan disiplin ilmu yang dikembangkan, serta upaya untuk menempatkannya dalam kerangka epistemologi yang semestinya.

1. Pendahuluan

Nama Adab yang digunakan sebagai nama fakultas oleh kala-ngan pendiri fakultas ini pada awalnya tentu didasari oleh per-timbangan keilmuan yang akan dibidangi. Mungkin karena pada waktu itu fakultas ini baru memiliki Jurusan Sastra Arab, maka pilihan nama jatuh pada kata adab (sastra Arab). Kemudian dalam perjalanannya, fakultas ini mengembangkan diri dengan membuka Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi, serta jurusan-juru-san lainnya. Pengembangan ini selain berimplikasi pada penguku-han bidang keilmuan fakultas dan kurikulum mata kuliah dasar khusus yang ditetapkan sebagai penciri lulusan fakultas, sudah tentu, juga mengharuskan perluasan konsep nama fakultas yang mencerminkan bidang keilmuan yang akan memayungi disiplin-disiplin ilmu yang akan dibawahinya.

Pada awal tahun 2000an diberlakukan penggantian gelar akademik untuk lulusan Fakultas Adab, yaitu dari Sarjana Agama (S. Ag.) menjadi Sarjana Sastra (SS) untuk jurusan Bahasa dan Sastra Arab/Inggris, dan Sarjana Humaniora (S. Hum.) untuk Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam. Pergantian gelar ini, se-sungguhnya juga mempunyai konsekuensi pada kapasitas keilmu-an yang harus dimiliki oleh lulusan fakultas, paling tidak, kon-sekuensi gelar yang disandang itu harus mencerminkan kemam-puan (kompetensi) yang setara dengan lulusan fakultas-fakultas sastra pada perguruan-perguruan tinggi umum (yang sekarang sebagian Fakultas Sastra pada perguruan tinggi itu sudah meng-ganti nama menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya/Fakultas Ilmu Budaya).

Agaknya apa yang dikemukakan itu merupakan alasan logis untuk mengganti nama Fakultas Adab menjadi Fakultas Ilmu Budaya, Fakultas Sastra dan Budaya, atau menyandingkan kata Adab dengan Humaniora. Namun, betapapun alasan ini cukup logis dan akademis, tetap saja menimbulkan kontroversi antara yang ingin mempertahankan nama historis fakultas dengan kala-ngan yang ingin lebih membuka diri terhadap perubahan. Ada sebagian kesadaran yang terasa diusik dengan penggantian nama ini, karena merasa sebagai pemilik tunggal bidang keilmuan fakultas, dan dengan alasan kehilangan ciri spesifik (term Arab) nya berusaha meyakinkan untuk tidak perlu memperdebatkan lagi persoalan nama fakultas yang dianggap sudah cukup mapan itu, meski untuk beberapa alasan kurang komunikatif sebagaimana dikemukakan terdahulu. Yang lebih ironi lagi ialah ada keengga-nan sementara kalangan untuk menempatkan disiplin bahasa dan sastra di bawah bidang keilmuan budaya. Ini lebih terlihat ketika beberapa bobot sks harus ditambahkan ke dalam kurikulum mata kuliah dasar fakultas dengan mata-mata kuliah yang diperlukan untuk penyesuaian dengan bidang keilmuan budaya itu.

Apa yang dikemukakan ini adalah pengalaman Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang pada saat munculnya wacana penggantian nama fakultas ini beberapa tahun yang lalu. Bahkan hingga waktu ini persoalan nama fakultas masih tetap menjadi persoalan rumit untuk dikukuhkan, meski lembaga normatif fakul-tas telah menyetujui penggunaan nama Fakultas Ilmu Budaya-Adab, namun nama ini barulah sebatas penggunaan yang bertu-juan sosialisasi dan promosi saja.

Untuk pembahasan tentang peta obyektif Fakultas Adab se-bagai yang diminta oleh panitia penyelenggara Forum Dekan ini, maka akan dikemukakan beberapa hal yang terkait dengan pega-laman Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang. Pemaparan ini mungkin tidak bersifat ilmiah, karena hanya didasari oleh penga-matan langsung dari pengalaman lebih kurang empat tahun mengelola bidang akademik di fakultas ini, namun diharapkan akan menjadi bahan untuk sharing pengalaman dalam mencari upaya peningkatan Fakultas Adab ke depan pada forum yang berbahagia ini.
Setidaknya ada empat faktor yang diasumsikan sebagai masalah esensial yang memerlukan pemikiran serius untuk pengembangan Fakultas Adab ke depan, yaitu : masalah kompe-tensi lulusan, masalah kurikulum, masalah integrasi keilmuan, dan masalah tenaga pengajar

2. Kompetensi Lulusan : Masalah Orientasi Pasar, Kerja, atau Kontribusi Keilmuan
Pergantian gelar akademik ataupun perubahan nama fakul-tas menjadi Fakultas Ilmu Budaya atau Humaniora seperti yang dikemukakan terdahulu, tentu memengaruhi struktur kurikulum pembelajaran, yang karena itu tujuan pembelajarannyapun seyo-gianya dirumuskan dengan beberapa penyesuaian. Apa yang dikemukakan sebagai pengalaman Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang itu adalah gambaran dari ketidaksiapan sebagian kita untuk menerima perubahan dan untuk beradaptasi dengan perkembangan keilmuan yang ada. Dalam hal tujuan pembelajaran bidang bahasa dan sastra misalnya, selama ini kita lebih berpuas diri dengan hasil lulusan yang hanya mampu berbahasa aktif dan pasif, dan syukur-syukur kalau di antara mereka mampu mengha-silkan karya-karya sastra. Kita tidak pernah tertarik untuk menja-dikan pembelajaran bahasa dan sastra untuk memahami fenomena kemanusiaan dan kebudayaan secara kritis. Pada hal, kalau hanya untuk menghasilkan output yang mampu berbahasa aktif dan pasif saja, sebenarnya lembaga-lembaga kursus atau pelatihan bahasa mungkin lebih dapat diandalkan dan, bahkan, dapat dicapai dalam waktu yang relatif lebih singkat. Begitu juga pada bidang sastra, ternyata tidak sedikit pula sastrawan-sastrawan yang terlahir secara otodidak dari masyarakat, bukan dari lembaga-lembaga pendidikan tinggi. Hal yang sama juga dapat dilihat pada disiplin sejarah dan Kebudayaan Islam, ternyata selama ini, kita lebih mempunyai kecendrungan untuk menjadikan mahasiswa sebagai penghafal-penghafal sejarah, ketimbang mampu untuk memahami sejarah, kita lebih banyak menjejali mahasiswa dengan sejarah naratif dan sangat kurang dalam memberikan kerangka analisis pada setiap pemaparan sejarah. Sehingga korelasi antara pembela-jaran sejarah sebagai obyek kajian dengan metodologi sejarah hampir-hampir tidak diperoleh oleh mahasiswa.

Pada saat kurikulum berbasis kompetensi menjadi pemeca-han masalah pendidikan tinggi di Indonesia, seyogianya persoalan kontekstualisasi pendidikan pada ilmu-ilmu yang membidangi kajian tentang manusia dan masyarakat lebih diarahkan pada kajian kritis yang relevan dengan perubahan sosial. Namun amat disayangkan bahwa, pada waktu ramai-ramai membicarakan ten-tang kurikulum berbasis kompetensi, persepsi umum -secara keliru- telah menempatkan orientasi tujuan pendidikan pada arus kapitalisasi global, sehingga tujuan pembelajaran, desain kuriku-lum, dan proses pembelajaran dibuat untuk memenuhi tuntutan pasar dan lowongan kerja semata, karena konsep pendidikan berbasis kompetensi seperti yang dimuat dalam Kepmendiknas 045/U/2002, dipahami hanya sebagai kompetensi kerja. Ini meng-akibatkan orientasi lembaga pendidikan tinggi hanya untuk meng-hasilkan lulusan yang menguasai bidang dan profesi yang pada gilirannya akan menjadi perpanjangan tangan proses industria-lisasi. Adalah sangat disadari, bahwa arus kapitalisasi telah men-dorong pandangan hedonis pragmatis, yang kalau mempengaruhi pendidikan tinggi, tentu proses pembelajarannya hanya akan menjadi sarana untuk mencapai kemapanan hidup secara finansial individual semata. Hal ini tentu bertolak belakang dengan fungsi pendidikan sebagai yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas, yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta pera-daban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (Bab II pasal 3). Penekanan tujuan pembelajaran pada aspek kompetensi kerja seperti dikemukakan, tentu, tidak selalu tepat bila dihadapkan pada perguruan tinggi agama, karena tidak semua bidang dan disiplin ilmu pada perguruan tinggi ini yang dapat diorientasikan pada pasar kerja dalam pengertian kapitalistik itu, terutama bidang dan disiplin ilmu murni, seperti ilmu budaya sendiri.

Bidang keilmuan budaya semestinya tidak berorientasi menghasilkan praktisi budaya, tetapi justru lulusan dengan kapasitas keilmuan yang mampu mengamati, menganalisis dan menemukan solusi atas masalah-masalah kebudayaan dalam masyarakat sesuai disiplin ilmu masing-masing. Oleh karena itu lulusan jurusan bahasa dan sastra tidak hanya diarahkan menjadi orang yang mampu menggunakan bahasa dalam praktek sehari-hari, ataupun menghasilkan karya-karya sastra, akan tetapi lebih jauh mampu mengamati dan menganalisis fenomena kebahasaan dan kesusasteraan dalam kerangka budaya masyarakat. Jurusan sejarah dan kebudayaan Islam tidak pula hanya diorientasikan untuk menghasilkan orang-orang yang menguasai perkembangan sejarah kebudayaan Islam dari yang klasik hingga modern, akan tetapi, juga mampu mengamati dan memahami fenomena-feno-mena kehidupan dan kebudayaan secara historis analitis.

3. Kurikulum : Masalah Operasionalisasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
Kurikulum Berbasis Kompetensi pada fakultas Adab Padang sudah berjalan semenjak tahun akademi 2003/2004 dan pada tahun 2007 ini sudah mulai menghasilkan lulusan. Penyempurnaan terhadap KBK inipun sekarang sedang dilakukan oleh masing-masing jurusan. Dalam seminar dan lokakarya evaluasi yang dilak-sanakan baru-baru ini, telah mengemuka sejumlah masalah yang terdapat pada operasionalisasi KBK yang disusun pada tahun 2002, dan hal itu tentu akan dijadikan pertimbangan bagi penyem-purnaan kurikulum yang sedang dilaksanakan. Di antara masalah yang dianggap mendasar adalah :

a. Sosialisasi KBK di PTAI yang terkesan kurang maksimal telah memunculkan beragam penafsiran terhadap Kepmendiknas tentang KBK itu, sehingga memunculkan perbedaan-perbeda-an pada saat diimplementasikan. Ini dapat dilihat, misalnya, dalam menetapkan mata-mata kuliah yang dikelompokkan sesuai kelompok komponen yang ditetapkan Kepmendiknas itu. Ketidakjelasan tentang konsep Mata Kuliah Keilmuan dan Keterampilan (MKK), misalnya, sebagian memahami bahwa semua mata kuliah teoritis keilmuan termasuk ke dalamnya, sedangkan yang lainnya memasukkan mata kuliah obyek kajian pada kelompok ini, dan yang lain pula menempatkan mata kuliah metode penelitian. Sementara itu, mata kuliah yang disebutkan terakhir ini, untuk sebagian penafsiran, termasuk ke kelompok Mata Kuliah Prilaku Berkarya (MPB).

b. Ketidaksiapan sebagian besar tenaga pengajar dengan peruba-han paradigma kurikulum 1974 menjadi KBK telah menyebab-kan pengembangan sistem instruksional KBK, seperti syllabi, GBPP, SAP yang dibuat oleh dosen belum mencerminkan perubahan paradigma yang dimaksud. Masih ada pengampu mata kuliah yang hanya sekedar memberi label KBK pada materi-materi bahasan yang sebenarnya adalah syllabi Kuriku-lum 1974, dan tidak sedikit pula, yang secara ekstrim, hanya menambahkan materi praktikum pada mata kuliah yang sebenarnya tidak tepat untuk dipraktikumkan, namun tetap memuat praktikum untuk hanya alasan kompetensi.

c. Perimbangan mata kuliah yang berorientasi teori dan metodo-logi menjadi kurang diperhatikan, karena penekanan pada kompetensi utama lebih memfokus pada kemampuan praktis dan aplikatif semata dan menjadikannya sebagai sasaran kompetensi. Pengurangan bobot teori dan metodologi keilmu-an pada beberapa jurusan, ditujukan untuk memaksimalkan capaian kompetensi. Apa yang dikemukakan, terutama terlihat pada jurusan bahasa dan sastra sebagaimana telah dikemu-kakan pada bagian terdahulu.

d. Perubahan kepada KBK tidak diiringi dengan ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai untuk pencapaian kom-petensi, seperti laboratorium, studio, serta ketersediaan keleng-kapan dan dana bagi kegiatan-kegiatan praktis lain yang diperlukan untuk itu.

e. Prioritas pada kompetensi utama jurusan, telah melemahkan kompetensi yang diharapkan dari lulusan PTAI, sehingga diasumsikan lulusan yang dihasilkan kurang dapat berperan sebagai intelektual Islam yang mampu mengayomi masyarakat dalam bidang keagamaan. Penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang menjadikan keahlian professi sebagai kompe-tensi utama, telah sedikit meminggirkan (paling tidak mengu-rangi bobot) mata kuliah dasar umum. Sehingga kompetensi keagamaan yang diharapkan dari lulusan PTAI, menjadi berkurang dibanding sebelum KBK. Fakta ini terlihat dari laporan Badan Pelaksana KKN IAIN Imam Bonjol yang dilaksanakan dua tahun terakhir yang mengeluhkan banyaknya kelemahan yang dimiliki oleh mahasiswa (KBK) yang diterjunkan ke masyarakat.

4. Masalah Integrasi Keilmuan
Seiring dengan perubahan gelar akademik yang diberlaku-kan untuk Fakultas Adab beberapa tahun yang lalu, Fakultas Adab Padang telah merumuskan visi fakultas sebagai berikut : ”Menjadi Fakultas yang Memiliki Otoritas dalam Bidang Keilmuan Budaya dalam Perspektif Islam”. Rumusan ini diharapkan akan menjadi spesifikasi Fakultas Adab yang akan membedakannya dengan lulusan Fakultas Ilmu Budaya lainnya. Penguasaan bidang budaya dengan disiplin-disiplin keilmuan yang dibawahinya dengan menggunakan perspektif Islam, tentu memerlukan penyesuaian berbagai aspek akademik yang tidak mudah, terutama menyangkut rumu-san tentang bagaimana model integrasi keilmuan yang harus diakomodasi dalam kurikulum sebagaimana tuntutan visi fakultas yang telah dirancangkan itu.

Dilihat dari struktur kurikulum dan pengembangan sistem instruksionalnya pada Fakultas Adab Padang, sebagian besar masih menggunakan pola lama dalam mengintegrasikan keilmuan dan keislaman itu, yaitu penempatan mata kuliah umum dan mata kuliah agama secara terpisah. Beberapa mata kuliah sudah mulai memadukannya pada pokok bahasan, namun hanya sebatas mem-berikan nuansa keislaman pada mata kuliah umum dan membe-rikan komparasi keilmuan umum pada mata kuliah keislaman, meskipun ada sejumlah kecil mata kuliah yang sudah memadukan keduanya pada materi bahasan, akan tetapi masih dalam tahap eksploratif, karena kurang tersedianya referensi yang khusus mengintegrasikan keilmuan dan keislaman dalam paket keilmuan budaya itu sendiri.

Tuntutan integrasi keilmuan untuk mempersempit dikhoto-mi ilmu agama dan ilmu umum agaknya sudah menjadi suatu kemestian bagi perguruan tinggi agama. Kepmenag No 353 Tahun 2004 menegaskan bahwa : pendidikan tinggi agama Islam bertu-juan mewujudkan lulusan yang akan menjadi anggota masyarakat dan warga negara yang beriman, bertaqwa, berakhlaq mulia, memiliki pemahaman yang terpadu antara ilmu dan agama, berkeperibadian Indonesia…, dan seterusnya (Bab II pasal 2).
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sema-kin pesat dewasa ini, seyogianya tidak semakin menjadikan kita risih dan lalu semakin membuat jarak dengan perkembangan itu, sebaliknya kita harus merangkulnya. Banyaknya muncul fenome-na kemasyarakatan dan kebudayaan akibat proses globalisasi dan kemajuan teknologi informasi memerlukan alternatif pemecahan budaya yang tidak cukup hanya dengan pendekatan keagamaan yang bersifat normatif an sich, namun lebih memerlukan pende-katan analitik keilmuan yang dilandaskan pada keislaman, atau paling tidak, pendekatan normatif yang dikomunikasikan dengan ”bahasa” keilmuan. Untuk tujuan itu, maka desain kurikulum yang mengintegrasikan keilmuan, baik secara ontologis, epistemo-logis, maupun aksiologis dengan keilmuan Islam, semakin diperlu-kan untuk menjadikan fakultas ini berkontribusi dalam memberikan solusi atas masalah-masalah kemasyarakatan dan kebudayaan yang muncul akibat perkembangan itu.

5. Tenaga Pengajar : Masalah Rekruitmen dan Peningkatan Kualitas
Salah satu faktor yang sangat menentukan dalam proses pembelajaran adalah tenaga pengajar (dosen), karena selain merupakan tulang punggung kegiatan PBM, tenaga pengajar sangat menentukan tercapai atau tidaknya tujuan pembelajaran. Menyangkut masalah tenaga pengajar di Fakultas Adab, ada dua hal yang perlu dikemukakan di sini, yaitu : masalah rekruitmen dan peningkatan kualitas. Selama ini masalah ketersediaan tenaga dosen untuk bidang-bidang studi yang ada belum menjadi pertim-bangan dalam proses rekruitmen yang dilaksanakan oleh Departemen Agama, setidaknya untuk beberapa tahun belakangan ini. Pengangkatan dosen dalam tahun-tahun awal 2000an untuk Fakultas Adab Padang misalnya, didominasi oleh dosen-dosen MKDU dan sekitar empat tahun belakangan lebih banyak untuk mata-mata kuliah umum. Sehingga ketersediaan dosen untuk bidang studi yang ada menjadi terabaikan. Ini dikemukakan hanya seba-gai gambaran bagaimana kurang baiknya mekanisme rekruitmen yang telah dijalankan. Meski setiap tahun semua jurusan mengisi daftar kebutuhan tenaga dosen yang diperlukan, namun ternyata peluang yang dibuka untuk pengangkatan selalu saja tidak seperti yang diharapkan.

Masalah tenaga pengajar untuk saat ini sangat dirasakan pada jurusan Bahasa dan Sastra Arab, karena dosen-dosen yang berkeahlian bahasa dan sastra Arab beberapa tahun terakhir terlihat ”hampir-hampir” mengalami krisis penyusutan. Penyusu-tan ini diasumsikan akan menjadi masalah utama pada jurusan ini, karena dosen-dosen yang berkualifikasi S1 Bahasa dan Sastra Arab, banyak yang melakukan ”hijrah keilmuan” pada saat harus melanjutkan studi S2 dan S3 dengan mengambil bidang-bidang studi di luar Bahasa dan Sastra Arab. Kenyataan ini disebabkan oleh antara lain tidak adanya aturan tentang mekanisme yang memberi kewenangan pada fakultas untuk perizinan itu, semen-tara pihak institut sepertinya memberi kelonggaran dalam pemilihan bidang studi lanjutan dosen. Di samping itu, tuntutan standar kualifikasi dosen yang mengharuskan S2, telah ”memaksa” sebagian besar dosen untuk memilih ”jalur mudah” dengan memasuki bidang studi lain di pascasarjana yang tersedia di daerah atau di pusat sendiri tanpa mempertimbangkan konsistensi bidang keilmuan yang telah dimiliki. Hal ini tentunya juga sangat terkait dengan pendidikan lanjutan S2 dan S3 untuk bidang Bahasa dan Sastra Arab yang hingga saat ini belum tersedia di dalam negeri.

6. Epilog
Dari empat permasalahan Fakultas Adab yang dianggap mendasar untuk mendapatkan perhatian itu, secara umum lebih menyangkut persoalan orientasi akademik yang menjadi arah bagi tujuan pembelajaran di level fakultas. Perbedaan persepsi seperti dikemukakan agaknya muncul dari kondisi ketidak pastian soal apa yang menjadi rumpun/bidang keilmuan yang sesungguhnya dimiliki oleh fakultas ini. Dari sinilah munculnya berbagai dilema menyangkut tujuan dan substansi pembelajaran dan sekaligus juga masalah perbedaan persepsi tentang nama fakultas sendiri sebagaimana yang dikemukakan terdahulu. Hemat penulis, hal utama yang perlu mendapatkan kepastian adalah persoalan bidang keilmuan fakultas sebagai rumpun dari disiplin-disiplin yang dikembangkan pada jurusan-jurusan. Bila kita telah sepakat, misalnya, untuk memilih untuk memadankan kata adab dengan humaniora atau ilmu budaya, artinya fakultas ini membidangi ilmu-ilmu yang mengkaji tentang fenomena kemanusiaan, terutama pada aspek ideasional atau dengan kata lain kajian budaya sebagai sistem gagasan. Bidang ini tentunya dapat mencakupi beberapa disiplin ilmu yang menggunakan kerangka epistemologi yang sama. Dengan demikian penetapan mata kuliah dasar khusus (MKDK) fakultas serta pengembangan jurusan-jurusan tentu akan mendapatkan arah yang jelas. Di samping itu lembaga keilmuan budaya dengan beberapa disiplin ilmu yang dibawahinya seyo-gianya sudah mulai memberi pertimbangan aspek integrasi keil-muan untuk menjembatani dikhotomi keilmuan agama dan umum. Model integrasi yang perlu dikembangkan bukan hanya memberi keseimbangan takaran sks antara mata kuliah umum dan mata kuliah keislaman, namun suatu pola pembelajaran yang mengintegrasikan keduanya. Hal ini tentulah tidak mudah dan perlu perumusan-perumusan formula yang dapat memadankan perspektif keilmuan Islam dan perspektif keilmuan barat yang selama ini dikenal.

Terakhir, paradigma pendidikan berbasis kompetensi tidak hanya meliputi perubahan kurikulum, akan tetapi juga mengan-daikan perubahan orientasi pada aspek-aspek yang terkait dengan proses pembelajaran, seperti pengalaman belajar dan evaluasi yang harus dijabarkan dalam dokumen tertulis (kurikulum, GBPP, SAP, Modul, dsb.), tentunya juga terkait dengan peningkatan kemampuan tenaga pengajar sendiri. Dalam kaitan ini, peningkatan kompetensi tenaga pengajar dalam pengembangan sistem instruk-sional (dokumen tertulis) itu menjadi penting, namun lebih pen-ting lagi tentunya, peningkatan terus menerus penguasaan subs-tansi keilmuan pada subbidang keahlian masing-masing lebih diperlukan daripada meluaskannya kepada subbidang keilmuan lainnya.
Demikian saja, mudah-mudahan “gumaman” introspeksi ini ada manfaatnya. Terima kasih.

Wallahu a’lamu bi ash-shawab.
Makalah, disampaikan oleh Dekan fakultas Ilmu Budaya-Adab IAIN Imam Bonjol Padang pada forum Dekan fakultas Adab UIN, IAIN, dan STAIN di Syahida Inn UIN Jakarta 11-12 Desember 2007





Selengkapnya...

Peraturan Perundang-undangan Zakat di Malaysia

Oleh : DR.H. Saifullah SA., MA

Menurut Profesor Ahmad Ibrahim, undang-undang dan peraturan zakat dan fitrah sudah diperkenalkan sejak dari zaman penjajah. Terengganu adalah negeri pertama yang mengawal kutipan zakat dan fitrah melalui Majelis Agama Islam yang terletak di bawah kawalan Menteri Besar Terengganu, namun tidak terdapat data tentang bentuk-bentuk kawalan yang diberlakukan dan bila tarikh pelaksanaanya. Namun yang pasti, Kelantan merupakan negeri pertama yang mengadakan peraturan zakat dan fitrah melalui Notis Zakat Kelantan bertarikh 1907. Peraturan sejenis kemudian diikuti oleh negeri-negeri lain mengikuti arahan yang dikeluarkan baik oleh Sultan atau Menteri Besar masing-masing, sebagaimana berlaku di Perlis pada tahun 1930 dan Kedah 1936.

A. Sejarah pertubuhan dan perkembangan Peraturan Perundangan tentang Zakat di Malaysia
1. Peraturan Perundangan masa dahulu
Aspek yang diberi tekanan oleh penulis-penulis sejarah perundang-undangan dan penguatkuasaan zakat di Malaysia biasanya berisi sejarah pengenalan undang-undang itu, penjelasan peruntukannya, kelemahan-kelemahan yang memberi kesan kepada kegagalan pengutipan dan pengagihan zakat dan mengenai penguatkuasaan undang-undang tersebut.
Seperti sudah disebutkan, ketentuan khusus mengenai zakat dan fitrah yang pertama ditubuhkan di Malaysia adalah Notis tentang Zakat dan Fitrah Kelantan tahun 1907. Peraturan tersebut disusun oleh Majelis Musyawarat Negeri dibawah nasehat Inggeris. Peraturan tersebut ditambah dan diperbaiki berturut-turut dengan Notis Zakat (nomor 3) tahun 1916, Notis Kutipan Zakat (nomor 11) 1917, kemudian Notis Zakat (nomor 2) tahun 1924, dan terakhir menjadi Enakmen Kutipan Zakat Kelantan (nomor 4) tahun 1927. Dengan pengenalan Enakmen Kutipan Majelis Ugama Islam dan Adat Istiadat Melayu Kelantan (nomor 23) tahun 1938, maka disusun dua buah peraturan baru yakni Peraturan Kutipan Fitrah (nomor 73) tahun 1938 dan Peraturan Kutipan Zakat (nomor 74) tahun 1938. Undang-undang ini dimansuhkan oleh Enakmen Majelis Agama Islam dan Adat Melayu dan Mahkamah Kadi 1953.
Di Perlis undang-undang kecil mengenai zakat mula diperkenalkan pada tahun 1923 apabila Raja Perlis menitah supaya Majelis Negeri membuat undang-undang bagi memungut zakat. Undang-undang tersebut selesai disusun pada tahun 1930 melalui Peraturan–peraturan Mengutip Zakat dan Fitrah 1930. Peraturan ini dimansuhkan dengan Peraturan Zakat dan Fitrah Perlis tahun 1949. Sedang Peraturan Zakat dan Fitrah tahun 1949 ini kembali dimansuhkan dengan adanya Enakmen Petandbiran Agama Islam (nomor 6) 1966.
Selangor mula memperkenalkan undang-undang kecil zakat pada tahun 1953 melalui Atoran Pentadbiran Ugama Islam tentang Fitrah dan Zakat (nomor 1033) tahun 1953, yang disusun oleh Jawatan Kuasa Petadbiran Ugama Islam (nomor 3) tahun 1952. Peraturan (nomor 1033) tahun 1953 tersebut dipinda pada tahun 1969 melalui (SI P.U 53), dan kemudian sekali lagi hasil pindaan 1969 dimansuhkan dengan Peraturan Kutipan dan Pembahagian Zakat, Fitrah Selangor pindaan 1973. Namun karena peraturan 1973 tersebut masih belum dikuatkuasakan, maka dari segi undang-undang Peraturan 1969 masih terus berjalan, sungguhpun dari segi praktiknya Majelis Agama Islam mungkin telah menggunakan Peraturan tahun 1973.
Melaka memperkenalkan undang-undang kecil zakat melalui Peraturan Menjalakan Kerja-kerja Zakat dan Fitrah Melaka 1960 dibawah kuasa Enakmen Petadbiran Agama Islam Melaka (nomor 1) tahun 1959. Tidak dapat dipastikan apakah peraturan ini terus berlaku selepas pengenalan Peraturan-peraturan Zakat dan Fitrah urusan Wakaf dan Baitulmal Negeri Melaka (MPU 5) tahun 1982.
Johor memperkenalkan undang-undang kecil zakatnya pada tahun 1962 melalui Peraturan-peraturan Zakat dan Fitrah Johor 1962, dibawah kuasa Undang-undang Zakat dan Fitrah Johor 1957. Juga tidak jelas apakah undang-undang kecil ini masih tetap berlaku atau tidak.
Sarawak pula memperkenalkan undang-undang kecil zakat dan fitrah pada tahun 1966 melalui Undang-undang Zakat dan Fitrah Sarawak (Swk LN 94) tahun 1966, dibawah kuasa Undang-undang Melayu Sarawak (Cap 51) 1966. Undang-undang kecil tahun 1966 ini akhirnya diserap dibawah Majlis Islam (incorporataion) Ordinance (Cap 105) tahun 1972.
Kedah mula memperkenalkan undang-undang kecil zakatnya melalui Peraturan Zakat Kedah (KPU 11) tahun 1982. Pahang melalui Kaedah Zakat dan Fitrah Pahang (Phg PU 18) tahun 1970. Perak melalui Peraturan-peraturan Zakat dan Fitrah (nomor 1222) tahun 1952 dibawah Enakmen Baitulmal Zakat dan Fitrah Perak 1951. Peraturan tahun 1952 ini dimansuhkan oleh Peraturan Zakat dan Fitrah Perak (Pk PU 1) tahun 1975 yang ditubuhkan dibawah kuasa Enakmen Pentadbiran Ugama Islam Perak tahun 1965.
Pulau Pinang melalui Peraturan Fitrah Negeri Pulau Pinang (nomor 370) tahun 1962, yang ditubuhkan dibawah kuasa Enakmen Pentadbiran Ugama Islam Pulau Pinang (nomor 3) tahun 1959. Peraturan tahun 1962 ini dimansuhkan oleh Peraturan Pungutan Zakat dan Fitrah Negeri Pulau Pinang (Pg PU 29) tahun 1979.

2. Peraturan Perundangan yang berkuat kuasa
Sebahagian kecil daripada undang-undang dan peraturan zakat yang disebutkan diatas masih terus berkuatkuasa seperti misalnya Enakmen Zakat Kedah 1955, juga Peraturan Zakat di negeri Melaka, Pahang, Perak, Pulau Pinang dan Selangor, sedang yang lainnya telah dimansuhkan dan tidak berkuatkuasa. Namun banyak negeri yang membuat peraturan baru di era modern sekarang ini, seperti Sabah, Kelantan, Woilayah Persekutuan, dan Negeri Sembilan.
Sabah memperkenalkan undang-undang zakat bertajuk Enakmen Zakat dan Fitrah Sabah (nomor 6) tahun 1993. Enakmen ini berasaskan kepada draft undang-undang zakat yang digubal oleh jawatankuasa Teknikal Hukum Syara’ dan Sivil, Bahagian Hal Ehwal Islam, Jabatan Perdana Menteri, yang sekarang menjadi Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM).
Kelantan memperkenalkan peraturan zakatnya yang terbaru melalui Peraturan Tadbiran Zakat Padi pada 1978 berkuatkuasa pada 10 Januari 1978 melalui titah DYMM Sultan Kelantan dalam (MA 108/76).
Wilayah Persekutuan melalui Kaedah Baitulmal Wilayah Persekutuan Perbelanjaan dan Penggunaan (PU (A) 154) tahun 1980, yang dipinda dengan (PU (A) 436) tahun 19888 dan dengan (PU (A) 58) tahun 1996. Yang terakhir memperkenalkan peraturan zakat terbaru adalah Negeri Sembilan yang melahirkan Kaedah Zakat Negeri Sembilan 1998.
Adapun isi kandungan berbagai peraturan tersebut diatas umumnya menyentuh kuasa kutipan zakat fitrah oleh Majelis Agama Islam Negeri, kewajiban penduduk Islam negeri membayar zakat fitrah, cara-cara agihan zakat dan fitrah, keperluan menyediakan akaun zakat dan fitrah berasingan daripada akun Baitulmal dan hukuman dan denda kepada mana-nama pihak yang melanggar peruntukan mengenai zakat dan fitrah


2. Penguatkuasaan Undang-undang dan Peraturan zakat
Penguatkuasaan maksudnya melaksanakan seluruh peraturan zakat dan menjatuhkan hukuman dan denda serta mengeksekusikan hukuman tersebut secara nyata ditengah masyarakat. Setiap peraturan dapat dilaksanakan kalau peraturannya telah dikuatkuasakan (diundangkan) terlebih dulu. Misalnya, Negeri Sembilan, Selangor dan Sabah tidak menguatkuasakan atau belum mewartakan peraturan zakat mereka.
Menurut penelitian Abdullah Alwi Hassan, pihak Mahkamah Syariah Kelantan mengambil peranan yang aktif dalam memantau pelaksanaan kutipan zakat, dan karenanya mahkamah bertindak mengenakan hukuman dan denda bagi mereka yang gagal membayar fitrah. Sebagai contoh dalam kasus ”Majelis vs Musa dan kawan-kawan”, mahkamah telah mengenbakan bayaran denda kepada 16 orang karena gagal membayar zakat fitrah pada tahun 1947. Setiap mereka didenda sebanyak RM 15 atau dipenjara selama sebulan mengikut seksyen 8 Peraturan Kutipan Fitrah 1938.
Menurut Laporan tahunan Jabatan Zakat dan Fitrah Perlis tahun 1953 melaporkan seramai sepuluh orang petani yang enggan membayar zakat telah didakwa dan dihukum penjara. Manakala di Perak pula dilaporkan bahwa pada tahun 1953 seramai 52 orang telah didakwa karena gagal membayar fitrah. Pada tahunb 1956 pejabat Agama Islam Perak bercadang untuk menyaman seramai 49 orang di daerah Selamat dan 38 orang di daerah Setiawan, karena gagal membayar fitrah. Jumlah yang tidak membayar fitrah dicatat seramai 69,000 orang pada tahun 1953 dan 84,000 pada 1954.
Kajian Mohd. Ali Baharom mencatat sebanyak 36 kasus kegagalan pembayaran zakat padi di Kedah antara tahun 1965 sampai 1966. Menurut Mohd. Ali Baharom, pendakwaan masalah zakat pada tahun-tahun tersebut diatas, dapat dibahagi menjadi : (a). keengganan memberi maklumat keluasan tanah yang ditanami padi kepada ’amil, (b). Keengganan membayar zakat setelah panen, (c). Kesalahan membayarkan zakat pada ’amil yang tidak bertauliah, (d). Kesalahan akaun oleh amil. Mengikut pengamatan beliau, negeri yang paling aktif membuat pendakwaan di Mahkamah berhubung kutipan zakat dan fitrah adalah Pahang dengan 28 kasus pada tahun 1985, 13 kasus pada 1986 dan 126 kasus pada 1987.
Dalam beberapa kajian mendapati kelemahan penguatkuasaan bayaran zakat, atau keeangganan amil-amil untuk mengambil tindakan terhadap penanam padi yang enggan membayar zakat atau yang membuat ikrar hasil tauan padi yang tidak betul, banyak disebabkan ”faktor politik” dan ”faktor sosial”. Faktor sosial misalnya, amil-amil yang ditugaskan memungut zakat tidak mahu dilihat sebagai orang yang tidak bertolak ansur, dan dia juga tergantung kepada petani-petani tersebut dalam penghidupannya karena merupakan salah satu unit dalam masyarakat bersangkutan, takut kepada tindak balas pembayar zakat.
Begitu juga dengan faktor politik, misalnya ketegasan amil boleh menyebabkan kehilangan sokongan masyarakat terhadap fahaman parti politiknya. Faktor lainnya adalah perubahan dasar yang sering terrjadi oleh pihak pentadbiran, kekurangan kakitangan bahagian pendakwaan yang berpengatahuan. Ditemui dilapangan, bahwa sesetengah petadbir zakat enggan menguatkuasakan kutipan zakat, karena beranggapan bahwa keengganan membayar zakat kepada Majelis Agama Islam bukan suatu kesalahan yang serius.
Terdapat beberapa kesukaran dalam menafsirkan undang-undang dan peraturan tentang zakat, terutama apabila kasus-kasus tersebut didakwa di mahkamah sivil. Dengan merujuk kepada dua kasus banding daripada mahkamah majistret ke mahkamah tinggi, muncul isu perundangan sebagai akibat pelaksanaan undang-undang dan petraturan tentang zakat. Pertamanya persoalan kriteria membayar zakat, keduanya kewajiban membayar fitrah hanya melalui hukum Syarak dan bukan oleh undang-undang kerajaan. Dalam kasus banding ”Haron bin Laksamana vs Pendakwa Raya”, ternyata Mahkamah Tinggi memihak pembanding (Haron), dengan pertimbangan bahwa pembanding tidak termasuk kritertia kewajiban membayar zakat. Dalam kasus ”Mohamed Wallie vs Pendakwa Raya” yang naik banding dari keputusan Mahkamah Majistret yang memenjara pembanding karena tidak membayar fitrah. Hujah pembanding adalah kewajiban membayar zakat terletak di bawah hukum Syarak dan tidak dibawah mana-nama undang-undang yang digubal oleh kerajaan. Dan jika pun seseorang itu dikehendaki membayar fitrah oleh undang-undang , maka dia mempunyai pilihan untuk menyerahkan kepada sesiapa yang ia sukai.
Hal tersebut semakin rumit ketika telah dimasuki oleh pertimbangan ekonomi dan kesamarataan pendapatan, dimana petani miskin yang harus membayar sewa tanah tapi harus membayar zakat, sedang tuan tanah terbebas dari zakat, karena undang-undang dan peraturan zakat mewajibkan ”penanam” dan bukan ”tuan tanah” yang harus membayar zakat. Karenanya undang-undang dan peraturan zakat yang hanya menitik beratkan zakat pada petani sawah, sedang sirkulasi keuangan saaat ini tidak lagi berada ditangan petani, tapi beralih pada industri dan kegiatan keuangan lainnya, memerlukan kaji ulang.
Kesimpulannya, karena kebanyakan peraturan tentang zakat berisi keharusan membayarkan zakat melalui amil yang dibentuk Majelis Agama Islam Negeri, antara karena perbelanjaan asnaf sangat tergantung kepada kutipan zakat, maka kutipan zakat sangat digalakkan dan kegagalan berbuat demikian dapat membawa seseorang dihukum oleh undang-undang berkenaan. Namun setelah pertubuhan negara Malaysia yang maju, dan telah berhasil sedikit sebanyak membasmi kemiskinan dan banyak peruntukan untuk asnaf-asnaf tertentu telah mendapat jaminan kerajaan, maka kutipan zakat menjadi tidak penting dari aspek ekonomi. Akibatnya penguatkuasaan kutipan zakat melalui keputusan hukuman atau denda mahkamah menjadi tidak populer.


B. Zakat pendapat Gaji

1. Undang-undang dan Penguat kuasaan zakat Pendapatan gaji
Fatwa mengenai zakat ke atas pendapatan gaji telah cukup lama ditetapkan sebagai wajib oleh pihak berkuasa di kebanyakan negeri di Malaysia. Fatwa ini bagi sesetengah negeri telah dimaktubkan dan diwartakan sebagai undang-undang sejak sepuluh tahun yang lalu. Negeri Kedah misalnya telah mewartakan fatwa tersebut pada tanggal 19 April 1986 dengan menggunakan Warta Kerajaan (nomor 146) 1986. Walaupun secara keseluruhan kutipan zakat meningkat dari tahun ke tahun, namun laporan menunjukkan bahwa kutipan zakat daripada pendapatan gaji berada di aras yang rendah. Ini menandakan bahwa banyak pekerja Islam yang layak zakat, tidak menunaikan tanggung jawabnya.
Perbandingan antara pembayar zakat pendapatan (ZP) dan pembayar cukai pendapatan (CP) di beberapa negeri di tanah semenanjung, adalah sebagai berikut : Kedah 5.673 : 11.692 (49%), Perlis 769 : 7.885 (10%), Kelantan 6.092 : 8.572 (71%), Wilayah Persekutuan 28.178 : 45.000 (63%).
Angka-angka diatas setidaknya menggambarkan bahwa pembayaran Zakat Pendapatan selalu lebih rendah kesadarannya dan eksekusinya berbanding cukai Pendapatan.

2. Analisa tentang rendahnya gelagat kepatuhan
Kajian menunjukkan bahwa persepsi terhadap undang-undang dan penguatkuasaan mempengaruhi gelagat kepatuhan. Akibatnya, mereka yang engkar membayar cukai dapat dikenal pasti dan penalti yang dikenakan cukup berat, maka aras kepatuhannya akan semakin baik. Demikian juga kondisi auditing, jika dilakukan secara bereterusan, maka akan semakin banyak orang yang patuh.
Undang-undang dan peraturan kebiasannya diwujudkan sebagai instrumen untuk mengawal dan memantau aktifiti dalam sebuah masyarakat, karenanya undang-undang itu hendaklah komprehensip dan muktamad supaya anggota masyarakat dapat mematuhinya.
Secara sosiologis, perspektif instrumental mengandaikan bahwa kepatuhan disebabkan antara lain oleh adanya kepentingan diri dan segera menunjukkan reaksi penerimaan terhadap suatu yang zahir, insentif yang segera atau penalti yang jelas akan merugikan. Dalam bidang percukaian teori ini disebut ”teori cegahan”. Individu juga akan mematuhi suatu undang-undang selagi ia menganggap undang-undang itu sesuai dan relefan dengan nilai-nilai norma internal yang dianutnya. Undang-undang yang relefan itu harus mempunyai ciri-ciri : adil, seksama dan komprehensip, dalam percukaian hal ini disebut ”teori ekuiti”. .
Selanjutnya muncul pertanyaan :
a. Apakah kedudukan persepsi anggota masyarakat pekerja Islam mengenai undang-undang dan penguatkuasaan zakat pendapatan gaji ?.
b. Bagaimanakah persepsi diatas dapat mempengaruhi gelagat kepatuhan zakat ?.
Dengan memanfaatkan penyelidikan yang dilakukan oleh Kamil MD Idris, yang bertajuk Kesan Persepsi Undang-undang dan Penguatkuasaan Zakat Terhadap Gelagat Kepatuhan Zakat Pendapoatan Gaji, yang memfokuskan penelitian pada jabatan kerajaan pusat yang berkhidmat di Negeri Kedah dan tertakluk kepada Potongan Cukai Berjadwal (PCB). Pekerja yang tertakluk kepada cukai berjadual secara otomatik layak mengeluarkan zakat, karena gaji mereka telah melebihi nisab yakni sekitar RM3.000. Potongan cukai berjadual juga dibuat apabila seseorang itu memperoleh pendapatan gaji tahunan melebihi RM15.000. Mereka yang layak dikenakan cukai juga layak dikenakan zakat.
Terdapat 11.400 pekerja Islam yang disenaraikan dalam PCB bagi kakitangan Kerajaan Persekutuan di Kedah pada 30 Juni 2000. Suatu sampel sebanyak 700 responden terpilih dikirimi questionaire (soal selidik). Sebanyak 383 responden mengembalikan soal selidik, termasuk yang tidak diisi secara sempurna dan sesuai kaedah. Diantaranya terdapat 353 boleh digunakan sebagai bahan kajian karena diisi secara benar. Dari jawaban soal selidik yang diterima (353) ternyata 123 orang yang membayar zakat pendapatan (35%), selebihnya atau 230 (65%) gagal membayar zakat kepada pihak berkuasa zakat.
Jika seseorang individu mempunyai moral yang positif, maka persepsinya terhadap undang-undang juga akan menjadi positif. Bagaimanapun, bilangan pekerja Muslim yang berpandangan positif dalam kajian tersebut, adalah tidak ramai. Mayoriti pekerja Islam dalam sektor Kerajaan Persekutuan sendiri tidak yakin dengan undang-undang zakat yang sedia ada. Antara perkara yang masih dipandang negatif, termasuk : Undang-undang zakat kurang jelas, undang-undang yang sedia ada tidak mencukupi, undang-undang zakat tidak meliputi seluruh obyek zakat, hukuman dan denda dalam undang-undang zakat tidak meliputi kesemua obyek zakat, atau hukuman dan denda dalam UU zakat dianggap terlalu ringan.
Banyak responden menyatakan bahwa beberapa aktifiti penguatkuasaan tidak dilaksanaan sebagaimana mestinya, termasuk pemeriksaan, pengesanan, pendakwaan dan denda. Padahal sudah dipahami bahwa penguatkuasaan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan gelagat kepatuhan. Artinya, seseorang akan cepat memberikan reaksi dan tindak balas apabila kepentingan dirinya terancam. Oleh itu, jika seorang pekerja Islam meyakini bahwa hukuman atau denda akan dikenakan serta memberi kesan yang menjejaskan, maka aras kepatuhan akan meningkat.
Suatu hal yang patut meringankan beban Pekerja Islam yang membayar zakat adalah Akta Cukai Pendapatan 1967, yang telah memberi peruntukan rebet cukai kepada individu-induvidu yang mengeluarkan zakat.


C. Zakat perniagaan dan Syarikat

1. Zakat Perniagaan
Jumhur Ulama sependapat bahwa diwajibkan zakat atas harta perniagaan. Kewajiban itu didasarkan kepada prinsip umum zakat, prinsip keadilan, jaminan sosial dan prinsip berkembangnya harta.
Dalil-dalil yang digunakan untuk mewajibkan zakat keatas harta perniagaan, Al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 267, yang artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebahagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebahagian dari apa-apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu”. Imam At-Tabari menafsirkan ”ma kasabtum” dengan ”menjalankan perniagaan atau pembuatan emas perak”.
Juga Hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, dengan sanad Samurah bin Jundud, beliau berkata : ”Adalah Rasulullah SAW sering menyuruh kami mengeluarkan sadaqah (zakat) dari harta yang kami sediakan untuk dijual”.
Kadar nisab zakat perniagaan adalah senilai dengan 85 (delapan puluh lima) gram emas, dan menurut Imam Syafi’i dan Imam Malik, haulnya adalah pada akhir tahun setelah harta perniagaan itu berada di tangan seseorang. Jadi, bila pada akhir tahun harta perniagaannya telah mencapai atau senilai 85 gram emas, maka dia wajib berzakat, walaupun di awal dan tengah tahun belum lagi cukup senisab.
Mekanisme yang harus dilakukan adalah :
a. Mengumpulkan semua hartanya, yaitu modal dicampur dengan untung (kalau ada), barang-barang dalam stok yang belum dijual dan hutang-hutang yang ada harapan akan dibayar.
b. Kemudian dinilai (disamakan nilainya) dan dicampur dengan uang kontan yang ada ditangan. Sekiranya cukup nisab wajiblah dikeluarkan zakat sebanyak 2,5 % (dua setengah persen).
c. Adapun hutang yang tiada harapan dibayar menurut Al-Qaradawi yang rajihnya pendapat Malik, tidak perlu membayar zakat.
d. Sekiranya peniaga berhutang, maka kadar hutang itu hendaklah dikeluarkan terlebih dulu dari total obyek zakat, kemudian barulah dia mengeluarkan zakat dari sisa harta yang ada.
Zakat perniagaan diwajibkan ke atas mereka yang menjalankan aktiviti perniagaan, baik perseorangan atau perkongsian atau syarikat baik ”sendirian berhad” atau ”awam berhad”. Pemilik firma perniagaan persendirian harus mengeluarkan zakat atas nama individu daripada aktiviti perniagaan dan harta-hartanya yang lain. Adapun perniagaan yang dijalankan secara perkongsian, zakat akan dikenakan ke atas hak setiap anggota syarikat, sesuai dengan modal yang disumbangkan dan keuntungan yang diperoleh.
Sementara perniagaan syarikat diwajibkan zakat ke atas harta syarikat (modal pusingan dan keuntungan) dan menjadi kewajiban pengarah untuk mengeluarkan zakat, sebelum diagihkan keuntungan kepada para pemegang saham.
Harta mudarabah (harta yang diberikan seseorang pemilik modal (rabbulmal) kepada orang lain (pekerja) untuk diperdagangkan (mudarib), apabila cukup nisab dan haul, maka yang wajib membayar zakat adalah rabbulmal, dan bukan pekerja (mudarib).

2. Zakat oleh syarikat
Kesedaran membayar zakat juga meningkat bagi pemilik entiti perniagaan dalam syarikat perkongsian. Banyak ahli korporat dalam entiti perniagaan dan syarikat perkongsian mula membayar zakat syarikat disamping cukai pendapatan. Dalam kasus zakat syarikat muncul masalah apakah zakat syarikat perkonfsian dikenakan dan dibayar atas nama individu mengikut pemilik ekuiti masing-masing secara berasingan atau zakat dikenakan atas nama syarikat secara bersama-sama. Saat ini, kedua-dua kaedah tersebut ada dilaksanakan dan diterima pakai. Lembaga Tabung haji (LTH) misalnya membayar zakat perniagaan atas nama syarikat. Ini bermakna bahwa zakat dibayar secara bersama atas nama entiti syarikat. Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) menyerahkan urusan pembayaran zakat kepada setiap individu penyimpan masing-masing. Ini bermakna setiap individu penyimpan membayar zakat secara berasingan.
Ada pandangan mengatakan bahwa zakat adalah tanggung jawab individu dan bukannya syarikat, karena syarikat bukanlah ”individu” yang boleh diminta pertanggungan jawab memikul dosa dan pahala. Syarikat juga dikatakan bukan ”individu” yang boleh diiktiraf untuk memiliki harta secara milik sempurna.
Namun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa pihak yang bertanggung jawab bagi syarikat adalah pemilik syarikat. Oleh itu, syarikat tetap mempunyai tanggung jawab, sekalipun diwakilin oleh Pemilik syarikat. Karenanya, yang menjadi persioalan bukanlah Syarikat harus membayar zakat atau tidak, tapi penaksiran dilakukan secara bersama sebagai satu entiti atau secara berasingan mengikut tanggungan pemilikian individu masing-masing.
Dua pandangan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
(a). Penaksiran secara berasingan mengikut milik individu. Ulama mazhab Hanafi berpandangan bahwa harta syarikat perkongsian perlu ditaksir berasingan. Ini bermakna bahwa setiap individu dalam syarikat wajib membayar zakat bagi hartanya sendiri. Milik setiap individu tidak boleh mencukupkan nisab milik individu lainnya melalui pencampuran, sebaliknya pencampuran tidak mengurangi kewajiban individu untuk berzakat bila telah cukup senisab.
(b). Penaksiran bersama sebagai satu harta. Jumhur Ulama berpandangan bahwa zakat bagi harta syarikat perkongsian perlu dikira secara bersama sebagai satu nisab. Menurut Jumhur ulama Maliki, Syafi’i dan Hanafi percampuran milik bersama memberi akibat wajib zakat kepada harta percampuran itu.
Kaedah umum yang digunakan untuk memnentukan sama ada sesuatu harta perkongsian itu dicampur atau dipisahkan ialah : ”Jangan dipisahkan apa yang telah berhimpun dan jangan menghimpun apa yang berpisah, karena hendak mngelakkan zakat”. Kaedah ini didasarkan pada hadits Nabi : ”Dan tidak boleh dicampur ternak yang telah terpisah bagitupun dipisah yang telah bercampur disebabkan takut mengeluarkan zakat. Mengenai dua orang yang bercampur termnaknya hendaklah kedua-dua mereka berdamai dengan menanggung beban yang sama banyak (Riwayat Bukhari).
Oleh itu, pemilik harta tidak boleh mencampurkan atau memisahkan harta syarikat dengan tujuan untuk mengelakkan membayar zakat. Sebarang harta yang memenuhi syarat bercampur akan ditaksir sebagai harta bercampur dan begitu sebaliknya.
Dalam perkongsian masa kini, dapat dibagi menjadi :
(1). Syarikat Persendirian : Syarikat milik pribadi, karenanya harta syarikat akan dikenakan zakat (seperti) ke atas harta pribadi. Hartanya yang lain mestilah dicampurkan supaya nisabnya menjadi satu.
(2). Syarikat Perkongsian : Syarikat yang dimiliki oleh beberapa orang, baik syarikat berhad, syarikat sendirian berhad mahupun syarikat ekuiti. Zakat yang dikenakan dalam syarikat jenis ini adalah atas nama individu mengikut ekuiti pemilik, artinya setiap rakan kongsi mestilah mengeluarkan zakat mengikut pemilikan ekuiti masing-masing. Adapun penaksiran dan pembayaran zakat dengan syarat-syarat sebagai berikut : (a). Zakat harta syarikat ditaksir dan dibayar berdasarkan ekuiti setiap individu Islam secara berasingan, (b). Ekuiti setiap individu mestilah memenuhi syarat nisab dan (c). Ekuiti setiap individu mestilah memenuhi syarat haul. Individu yang tidak memenuhi syarat nisab tidak akan dibebankan membayar zakat.
(3). Syarikat Berasaskan saham : syarikat dimana setiap orang ahli akan menyumbangkan harta masing-masing sebagai saham atau bahagian dalam syarikat. Boleh dibedakan menjadi : Syarikat mufawadah (sumbangan modal sama banyak), syarikat Inan (sumbangan modal tidak sama banyak) dan syarikat mudarabah (perkongsian pemodal dan pengusaha). Zakat yang dikenakan ke atas syarikat mengikut modal kerja syarikat secara keseluruhan, artinya harta ditaksir secara bersama (percampuran) dan bayaran zakat juga ditanggung bersama.
Kesimpulannya, Zakat syarikat mesti dibayar, baik atas nama syarikat atau atas nama individu. Dalam pelaksanaan pembayaran zakat syarikat perkongsian maka catatan berikut perlu mendapat perhatian :
• Sekiranya syarikat tidak membayar zakat atas nama syarikat, maka para pemegang saham wajib mengeluarkan zakat mengikut pemilikan ekuiti masing-masing.
• Bagi syarikat mudarabah zakat dikenakan ke atas entiti syarikat, sebelum pembahagian keuntungan dilakukan antara pemodal dan pengusaha, karena zakat dikenakan ke atas modal dan pulangan yang wajib ditanggung oleh pemodal.
• Pengiraan zakat adalah ke atas pemegang saham Muslim saja.
• Zakat tidak dikenakan ke atas syarikat milik pemerintah /negara.


3. Institusi Pengurusan/Pentadbiran Zakat Malaysia
Pada tingkat pusat (Kerajaan Persekutuan), pentadbiran zakat dilaksanakan oleh lembaga yang disebut Pusat Pungutan Zakat Majelis Agama Islam Wilayah Persekutuan / PPZ-MAIWP), merupakan lembaga semi pemerintah, karena bertanggung jawab pada Menteri di Jabatan Perdana Menteri (yang merangkap Pengerusi Majelis Agama Islam Wilayah Persekutuan), dan Jabatan Wakaf, Zakat dan Haji pada Jabatan Perdana Menteri. Wilayah kerja PPZ-MAIWP adalah di wilayah persekutuan (di luar kerajaan Negeri) dan pegawai/pekerja/kakitangan Institusi/lembaga peringkat persekutuan.
PPZ-MAIWP yang mempunyai visi : ”Untuk menjadi sebuah organisasi zakat yang unggul dikalangan negara-negara Islam serta menjadi salah satu teras mengimbangi taraf sisio ekonomi masyarakat Islam”, dan misi : ”Menyedarkan setiap Muslim yang layak berzakat menunaikan kewajipan berzakat”, didirikan pada tanggal 17 Nopember 1989, dan mulai beroperasi pada tanggal 27 Desember 1990, merupakan anak perusahaan dari Majelis Agama Islam Wilayah Persekutuan (MAIWP). Tujuan PPZ-MAIWP adalah : (a). Meningkatkan pungutan zakat, (b). Menambah bilangan pembayar zakat, (c). Menyediakan penerangan tentang kewajiban berzakat, (d). Memperkenalkan sistem pungutan zakat berkomputer, dan (e). Memperkenalkan pengurusan korporat dalam urusan kutipan zakat, tampil dengan motto : ”PPZ-MAIWP memudahkan anda menunaikan kewajipan berzakat”.
Struktur kepengurusan PPZ-MAIWP terdiri dari : Lembaga Pengarah, Jawatankuasa Penyelidikan dan Pembangunan Korporat, Jawatankuasa Disiplin dan Keselamatan, Jawatankuasa Percetakan dan penerbitan, Jawatankuasa Keselamatan dan Kesihatan Kerja, Jawatankuasa sebutharga/tender dan jawatankuasa Audit dalaman, Pengurus Besar, Bahagian Operasi dan Bahagian Pentadbiran dan Keuangan, Penolong Pengurus Operasi, Akuntan, Unit Dakwah, Unit Potong Gaji dan Operasi Dalaman, Unit Zakat Perniagaan, Unit Khidmat Pelanggan, Unit Penerbitan dan Pembangunan Korporat, Unit komunikasi korporat, Unit tindakan khas, Unit Agen Kutipan, Unit Syari’ah dan Penerangan Khas, Unit Pentadbiran, Unit Keuangan, Unit ICT, Unit Kualiti/latihan, Unit Kemasyarakatan dan Hal ehwal antarabangsa, Unit Pelaburan dan Unit Kesetiusahaan Syarikat. Saat ini keseluruhan kakitangan PPZ-MAIWP seramai 67 orang
Dengan kerjasama PPZ-MAIWP, Dompet Dhu’afa Republika, Indonesia, Institut Kajian Zakat Malaysia, serta Jabatan Wakaf, Zakat dan Haji di Jabatan Perdana Menteri dan beberapa lembaga zakat di Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, terbentuklah lembaga zakat serantau yang diberi nama Dewan Zakat Asia Tenggara (DZAT) pada Persidangan Zakat Asia Tenggara 13-15 Maret 2006 di Kuala Lumpur. Bahkan OKI telah mencadangkan untuk menubuhkan Organisasi Zakat Internasional (International Zakat Organization).
Beberapa hal terkini yang telah dirumukan oleh PPZ-MAIWP antara lain bahwa pencarum Kumpulan Wang Simpanan Pekerja (KWSP) digalakkan mengeluarkan zakat sejurus menerima atau mengeluarkan uang KWSP jika cukup nisab tanpa menunggu haul setahun. PPZ-MAIWP juga telah merumuskan bahwa diperbolehkan membayar zakat melalui SMS, atau HP pada bila-bila masa dan tidak kira dimana jua pembayar berada.
PPZ-MAIWP disamping kegiatan mengutip dan membagikan zakat, juga melakukan pendalaman pemahaman zakat, melalui seminar-seminar, majelis muzakarah, kerjasama dengan media, mengadakan lawatan dan studi banding ke luar negara atau menerima lawatan dari luar negara, penyelidikan atau membantu penyelidikan, mengadakan kursus / latihan/bengkel baik dalaman atau luaran, bekerjasama dengan lembaga zakat lainnya baik dalam atau luar negara, pemanfaatan ICT, pembinaan lembaga zakat di kerajaan Negeri di seluruh Malaysia.
Dari laporan tahunan (2006) PPZ-MAIWP terdapat peningkatan jumlah kutipan zakat harta melalui PPZ-MAIWP menjadi RM 143.3 juta (2006) berbanding RM 126.7 juta (2005) kenaikan sebanyak RM 16.5 juta atau 13 %. Manakala jumlah pembayar seramai 52.424 orang (2006) berbanding 47.599 orang (2005), kenaikan seramai 4.825 orang atau 10%.
Dari jumlah tersebut diatas, urut-urutan jenis zakat adalah sebagai berikut : Zakat Pendapatan RM 89.123.574.90, zakat Perniagaan RM 22.790.507.33, zakat Simpanan RP 11.987.893.12, Zakat harta RM 18.758.590.82, Qadha zakat RM 279.414.86 dan lain-lain RM 364.422,05. (Jumlah RM 143.304.403.08).
Saluran pembayaran zakat dilakukan melalui : Potongan gaji RM 74.689.998.93, Kaunter PPZ-MAIWP RM 62.716.904.12, Kiriman Pos RM 3.710.877.26, Kaunter Bank RM 1.832.255.91, Kaunter Pejabat Pos RM 305.264.86, Kad Kredit RM 17.993.00 dan Mesin Deposit Cek RM 31.109.00. (Jumlah RM 143.304.403.08)
Jumlah kutipan zakat seluruh negara atau melalui lembaga pengutip zakat yang ditubuhkan oleh Majelis Agama Islam Kerajaan-kerajaan Negeri, berjumlah RM 670.1 juta (2006) berbanding RM 573.1 juta (2005), kenaikan RM 97.6 juta atau 17%. Dari keseluruhan kutipan diseluruh negara Malaysia baik melalui Kerajaan Persekutuan dan Kerajaan Negeri, maka yang paling besar kutipan zakatnya adalah Selangor RM 149.943.584.69, selanjutnya Wilayah Persekutuan RM 143.304.403.08. Dan yang terkecil adalah Sabah RM 12.073.068.71 dan Perlis RM 11.052.393.66.
Pertanyaannya adalah bagaimana dengan petadbiran zakat dan hasil kutipan zakat di Indonesia, yang kononya mempunyai penduduk Muslim terbesar di dunia ?,

D. Kesimpulan dan Penutup
Sebenarnya zakat kalau diurus dan ditadbir secara benar (menurut kaedah-kaedah agama) dan manajemen modern, akan dapat menyumbang secara sangat signifikan untuk mempercepat kemajuan dan kesejahteraan suatu masyarakat, melalui pengurangan angka kemiskinan, dan meratakan aset dan sumber ekonomi pada seluruh masyarakat.
Dan yang lebih penting adalah diperlukan paradigma baru, mulai dari perluasan obyek zakat – seperti saham, sekuritas dagang, asuransi, dan gaji/salari/ pendapatn tetap lainnya – sampai pengelolaan zakat – penggunaan media dan sarana modern ICT, HP, internet dan penggunaan pendekatan korporat dan tenaga propesional dalam mengelola zakat.
Demikian makalah ini semoga ada manfaatnya.


Selengkapnya...

Write Corner Drs. H. Raichul Amar, M.Pd

Re-Edit dan re-Write by Muhammad Ilham

SINGGALANG : Tanggal 5 Juni, masyarakat internasional memperingati Hari Lingkungan Hidup Dunia. Raichul Amar pun mencari momen untuk bersuara menyelamatkan lingkungan lewat foto. Karyanya sekarang berjumlah lebih kurang 1000. Environmentalis kampus pernah mencetak sejarah dalam penghargaan menyelamatkan lingkungan. Penghargaan tersebut diberikan setiap 5 Juni di Istana Presiden. Drs H Raichul Amar MPd Dosen Fakultas Adab Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang sosok Enviromentalis kampus yang mampu meraih Kalpataru pada tahun 2000 lalu.

Raichul pun mencari momen untuk bersuara menyelamatkan lingkungan lewat foto. Karyanya sekarang berjumlah lebih kurang 1000. Baik dalam ukuran 3R sampai 10R. Hasil foto tersebut ia potret dari beberapa daerah Indonesia yang pernah disinggahi. Seperti Banda Aceh, Medan, Makassar, Bali dan lainnya.
Tapi dari sekian daerah yang ia datangi, Lumpur Panas Sidoarjo menjadi momen terbaik yang ia kenang dalam hidupnya. Tempat bencana yang terjadi 27 Mei 2006 tersebut dikunjungi November 2006 lalu. Berkat dana proposal dari Pemerintah Provinsi Sumbar, Raichul berhasil berangkat ke Porong. Dengan modal kamera manual, ia berhasil mendapat momen di sumur semburan.
Perjalananan ke Sidoarjo menjadi hal penting dalam perjalanan hidupnya sebagai fotografer lingkungan. Momen terbaik lainnya yang tidak akan dilupakannya yakni saat menunaikan ibadah haji ke Mekah. Ia berhasil mengambil foto dalam Masjidil Haram.
Padahal ada larangan untuk membawa foto ke dalam. Sejarah hidup Raichul akhirnya terjadi, memasuki hari ketujuh, ia berhasil masuk ke Masjidil Haram sambil membawa kamera. “Ini momen terpenting yang pernah saya jumpai,” katanya. Kecintaan Bapak asli Bukittinggi ini pada dunia fotografi, bermula pada tahun 1984. Waktu Shalat Idul Fitri di Kantor Gubernur Sumatera Barat, ia menjumpai sampah koran bertebaran di pojok tempat shalat. Lalu dipotretlah hal tersebut. Sampai saat ini sudah 74 kali ia mengikuti pameran baik tingkat daerah maupun nasional. Pameran itu kadang diajak langsung oleh pemerintah.
Dalam berpergian Bapak berperawakan supel ini selalu membawa tas khusus untuk pakaian dan foto. Pada tanggal 15 Juni nanti ia juga akan tampil di pameran Peringatan Hari Lingkungan Dunia tingkat Sumatera Barat, yang akan dibuka langsung Menteri Negara Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar.
Dalam sehari ia mampu menghabiskan dua rol atau lebih film. Penting baginya adalah momen menarik bisa difoto. Pada suatu ketika ia pernah ketinggalan kamera, akhirnya ia sewa tukang foto untuk memfoto. Menariknya lagi, biaya cetak foto dikeluarkan dari uang saku. Entah berapa banyak uang yang telah dikeluarkannya untuk biaya cetak foto.
Selain hobi foto, Raichul juga suka menulis, terutama dengan tema lingkungan. Menulis sudah dilakoninya sejak tahun 1987. Puisi baginya adalah tempat curhat. Karya puisinya lahir dengan kata-kata alam. Kata-kata alam bagi Raichul adalah jimat dalam mendekatkan diri dengan lingkungan. Salah satu kata itu adalah alam takambang jadi guru. (eko kurniawan)
Kalpataru Hadiah Ulang Tahun
Hidup ini adalah perbuatan, kata yang datang dari sebuah syair Chairil Anwar. Tahun 2000, musim panas sengat di Kota Padang. Rumahnya di Airtawar didatangi tim penilai Kalpataru. Kedatangan mereka atas rekomendasi orang dari kantor Gubernur.
Pada bulan Juni, akhirnya ia terpanggil untuk menerima Penghargaan Kalapataru. Waktu itu ia meraihnya dengan kategori foto-foto yang membawa kesadaran lingkungan. Koleksi tersebut dilihatkan kepada penilai dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Tiba di Istana Merdeka 5 Juni tahun 2000, Raichul dengan berpakaian adat Minangkabau menerima Kalpataru dari Presiden Abdurrahman Wahid bersama Wakil Presiden Megawati.
Kalpataru penghargaan tertinggi tingkat nasional telah ia capai.Tahun 2000 ia jadi satu-satunya wakil Sumbar untuk menerima Kalpataru. Prestasi lahir dengan kerja keras dengan niat yang ikhlas. Bagi Raichul, Kalpataru bukanlah segala-galanya. Raichul menilai penghargaan Kalpataru tanggung jawabnya besar. Pulang dari Jakarta, ia merintis pustaka buku lingkungan. Ini jadi sebuah agenda tanggung jawabnya sebagai penerima Kalpataru.


Selengkapnya...

Pengajian Islam di Minangkabau Pasca Paderi

Oleh : Drs. Irhash A. Shamad, M.Hum

Setelah berakhirnya Perang Paderi 1837, perdebatan internal seputar paham tarikat ini ternyata tidak makin mereda, meski perhatian pada perbedaan pendapat itu teralihkan pada saat menghadapi Belanda. Polemik keagamaan ini kembali meruncing dan bahkan berimplikasi terhadap tumbuhnya motivasi sebagian masyarakat untuk belajar langsung ke pusat agama Islam (Makkah). Mereka menetap di sana dan mendalami berbagai bidang ilmu pengetahuan agama.

Ini merupakan fase kedua kontak intelektual antara ulama Minangkabau dengan Timur Tengah yang telah membawa pemikiran-pemikiran keagamaan yang sangat berpengaruh bagi perubahan-perubahan sosial di Minangkabau pada waktu-waktu berikutnya. Perkembangan pemikiran keislaman di Minangkabau pada peralihan abad ke-19 dan ke-20 selalu dikaitkan dengan peran seorang tokoh Minangkabau yang dikenal dengan Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy. Ia berangkat ke Mekkah pada parohan abad ke-19 dan menetap di sana hingga akhir hayatnya. Ia mendalami ilmu-ilmu pengetahuan keislaman di Mekkah dan berkat ketekunannya, akhirnya ia mampu berdiri sejajar dengan ulama-ulama Timur Tengah lainnya, bahkan, ia mendapat legitimasi untuk membuka majlis pengajian Islam dalam mazhab Syafi’i di Mekkah. Banyak ulama Indonesia yang belajar di majlis pengajian Syekh Ahmad Khatib ini. Kepulangan murid-murid Ahmad Khatib ke Indonesia inilah, --menurut banyak kalangan--, telah memberikan kontribusi bagi pembaharuan keagamaan di Minangkabau, bahkan di Nusantara. Kemunculan mereka telah membawa implikasi pada peningkatan wacana keislaman di Minangkabau, sekaligus menjadi penyeimbang aksi politik etis Belanda yang telah memperluas jalur pendidikan barat bagi masyarakat pribumi. Surau-surau yang menjadi sentra pendidikan anak nagari di Minangkabau memperoleh nafas baru untuk bangkit bersaing dengan sistem pendidikan barat.

Dinamika Pengajian Islam di Minangkabau abad ke-19
Meredanya perang Paderi yang ditandai dengan jatuhnya Bonjol ke tangan Belanda tidaklah berarti bahwa telah selesainya berbagai konflik yang terjadi di Minangkabau. Ketidak puasan kalangan agama terhadap golongan aristokrasi adat dengan berbagai norma adat yang tidak sesuai dengan ajaran agama kembali mengemuka. Demikian juga konflik pemikiran antara penganut Syatariyah dan Naqsyabandiah masih saja menyisakan potensi-potensi pertikaian pendapat di kalangan ulama Minangkabau pada waktu ini.

Dalam kondisi ketegangan pemikiran seperti ini beberapa orang Minangkabau melakukan perjalanan intelektual ke Tanah Arab ; --ke Makkah, Madinah dan lainnya—untuk lebih mendalami ilmu pengetahuan dalam berbagai disiplin keilmuan agama Islam seperti Fiqh, ilmu alat, tashauf, ilmu Hisab/Falaq dan lain-lain. Salah seorang diantara pelajar Minangkabau itu adalah Ahmad Khatib seorang putra Ampek Angkek yang kemudian dikenal sebagai tokoh yang berperan dalam perkembangan pemikiran Islam di Minangkabau pada priode selanjutnya. Dinamika perjalanan intelektual paruh kedua abad ke 19 ini ternyata kemudian memunculkan konflik baru di kalangan ulama Minangkabau yaitu antara penganut tarikat Naqsyabandi dengan kalangan pembaharu yang berawal dari pemikiran Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy sendiri. Sementara itu “pertarungan” antara tarikat Syatariyah dan Naqsyabandiyah terlihat melemah setelah munculnya konflik baru ini.

Keberangkatan Ahmad Khatib pada dasarnya lebih dimotivasi oleh ekspresi ketidak puasan terhadap realitas sosial dan keagamaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Ia melakukan “aksi penentangan” terhadap realitas sosial itu dengan jalan meninggalkan kampung halamannya sebagai “protes” terhadap sistem adat yang tidak sesuai dengan Islam. Ia berangkat ke Mekkah untuk memperdalam ilmu pengetahuan keagamaan. Inilah titik berangkat dari sebuah perjalanan intelektual kedua setelah “Trio Haji” tokoh gerakan Paderi awal abad ke-19. Perjalanan ini kemudian membawa perubahan-perubahan yang signifikan terhadap gejolak pemikiran keagamaan di wilayah ini pada waktu-waktu selanjutnya.

Ahmad Khatib, (yang kemudian dikenal dengan : Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy), masih ada hubungan keluarga dengan tokoh-tokoh pembaharu awal abad ke 19 di wilayah ini. Ia dilahirkan pada tahun 1860. Menurut Hamka (Ayahku, h. 34-35), ia adalah putera Abdullah Chatib Nagari dengan Limbak Urai. Limbak Urai adalah anak kedua dari hasil perkawinan Tuanku Nan Rancak dengan Zainab puteri bekas regen Agam. Tuanku Nan Rancak sendiri adalah salah seorang ulama terkemuka di zaman Paderi. Sedangkan kakak dari Limbak Urai yang bernama Gandam Urai adalah istri dari Fakih Muhammad putera Syekh Jalaluddin Fakih Shaghir murid Tuanku Nan Tuo Koto Tuo.

Perjalanan intelektual Ahmad Khatib selama di Makkah telah menempatkan dirinya sebagai salah seorang pemuka mazhab Syafi’i yang disegani, bahkan dia mampu menduduki posisi Imam besar Masjidil Haram atas kepercayaan Syarif Al-Haramain, suatu jabatan yang belum pernah diduduki oleh ulama di luar Arab. Disamping itu ia juga diberi hak untuk membuka majelis pengajian di Masjidil Haram sendiri. Sebagai guru besar mazhab Syafi’i, majelis pengajiannya banyak didatangi oleh murid-murid dari berbagai kawasan Islam di luar Arab, terutama dari Asia Tenggara. Beberapa ulama terkemuka telah terlahir dari majelis pengajian Syekh Ahmad Khatib ini dan beberapa diantara mereka telah menjadi mufti di beberapa kerajaan di Sumatera Utara dan semenanjung Malaya, bahkan K.H. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah sendiri juga pernah belajar ilmu hisab di majelis pengajiannya (Hamka, Ayahku, h. 232).

Pelajar-pelajar yang datang dari Minangkabau pada umumnya mendapat gemblengan Syekh Ahmad Khatib, dan setelah pulang ke Minangkabau, mereka menjadi ulama-ulama yang disegani pula serta membuka majelis pengajian pada surau-surau di kampung masing-masing. Di antaranya adalah : Syekh H. Muhammad Thaib Umar yang kemudian membuka surau di Sungayang, Syekh Muhammad Jamil Jambek membuka surau di Bukittinggi, Syekh Abdul Karim Amarullah dan Syekh Abdullah Ahmad dengan surau Jembatan Besi Padang Panjang. Syekh Sulaiman Ar-Rasuli yang membuka surau di Candung, Syekh Ibrahim Musa dengan surau Parabek, Syekh Muhammad Jamil dengan surau Jaho Padang Panjang dan banyak lagi yang lainnya. Ulama-ulama awal abad ke-20 pada umumnya mendapat sentuhan pengajaran dari Ahmad Khatib, meskipun di kalangan mereka kemudian terjadi pembelahan pandangan, terutama menyangkut masalah-masalah tarekat, ijtihad serta masalah keagamaan lainnya. Pembelahan inilah yang kemudian dikenal dengan istilah pertikaian Kaum Tua dan Kaum Muda.

Ahmad Khatib bukanlah orang Minangkabau pertama yang belajar ke Mekkah pada dekade ini. Beberapa waktu sebelumnya telah lebih dahulu Syekh Abdullah Halaban. Ia berangkat ke Mekkah pada tahun 1865. Syekh Abdullah Halaban bermukim di Makkah selama l.k. 5 tahun untuk mendalami berbagai kitab dalam mazhab Syafi’i. Pada tahun 1870 kembali ke kampung halamannya di Halaban Kabupaten Lima puluh Koto dan mengajarkan ilmunya kepada murid-murid yang berasal dari berbagai daerah di Minangkabau. Bahkan diantara murid Syekh Ahmad Khatib seperti Syekh Sulaiman Ar Rasuli dan Syekh Muhammad Djamil Jaho telah lebih dahulu mendapatkan pengetahuan agama dari Syekh Abdullah Halaban sebelum berangkat ke Mekkah untuk berguru pada Syekh Ahmad Khatib. Beberapa diantara murid-murid yang belajar dengan Ahmad Khatib, bahkan sebelumnya telah memilki basis surau dan telah memiliki murid-murid di daerahnya. Namun demikian, perjalanan ke tanah Arab dan bermukim sambil belajar untuk beberapa tahun di sana, --pada waktu itu--, lebih memberikan legalitas tersendiri.

Adalah menjadi suatu konvensi yang tidak tertulis di kalangan ulama Minangkabau pada waktu ini, di mana seorang ulama dianggap belum lengkap keulamaannya bila masih ada ulama (guru) yang lebih ‘alim yang belum dikunjunginya untuk belajar. Semakin banyak guru yang didatangi maka semakin banyak pula spesifikasi yang dimiliki oleh ulama tersebut, karena guru-guru itu pada umumnya memiliki spesifikasi keahlian yang berbeda-beda, atau paling tidak berbeda dari segi kedalaman ilmu yang diberikannya. Sampai pada waktu ini, belajar ke pusat Islam (Makkah, Madinah atau wilayah Timur Tengah lainnya) menjadi ukuran tersendiri, --setidaknya menurut pandangan masyarakat-- apakah ulama itu sudah berhak memiliki murid dan surau sendiri atau tidak. Bahkan masyarakat tidak ragu-ragu untuk menyumbangkan dana, mewakafkan tanah dan sebagian dari harta benda mereka untuk membangun surau bagi tokoh mereka yang baru pulang belajar agama di Timur Tengah .

Banyaknya majelis majelis pengajian baik di Makkah, Madinah atau wilayah Arab lainnya telah memberi peluang bagi pelajar-pelajar yang datang dari berbagai penjuru dunia Islam untuk mendalami berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam. Beberapa diantara pelajar Minangkabau yang seangkatan dengan Ahmad Khatib, telah pula memperdalam pengetahuan keagamaannya pada majelis-majelis lainnya itu. Diantaranya adalah Syekh Thaher Djalaluddin dari Ampek Angkek, Syekh Khatib Muhammad Ali yang berasal dari Muara Labuh dan Syekh Muhammad Sa’ad dari Munka, Kabupaten Lima Puluh Koto.

Syekh Thaher Djalaluddin, anak Faqih Muhammad bin Syekh Djalaluddin Faqih Shagir, lahir di Ampek Angkek pada tahun 1869. Ia menyusul Ahmad Khatib belajar di Mekkah pada tahun 1880. Kemudian pada tahun 1895 belajar ke Mesir selama l.k. 3 tahun. Ia berkenalan dengan Sayyid Rasyid Ridha dan berlangganan dengan majalah Al-Manar. Di Mesir inilah dia berkenalan dengan pemikiran-pemikiran pembaharuan yang telah berhembus di Mesir pada waktu itu. Perkenalannya dengan Al-Manar ini memberikan inspirasi kepadanya untuk mendirikan majalah “Al-Imam” di Singapura pada peralihan abad ke-19 dan 20; majalah yang pada awal abad ke-20 sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran di Nusantara dan di Minangkabau sendiri. Karir keulamaan Thaher Djalaluddin yang juga ahli ilmu Falak ini lebih berkembang di Singapura dan semenanjung Melayu. Ia sendiri diangkat oleh Sulthan Perak menjadi mufti di kerajaan itu untuk beberapa waktu setelah Al-Imam tidak diterbitkan lagi. Namun sikap independensinya yang kental akhirnya mendorongnya untuk meletakkan jabatan itu dan untuk kemudian mendirikan Sekolah Agama Islam di Johor

Syekh Khatib Muhammad Ali (1863) putra Muara Labuh, berangkat ke tanah Arab pada usia 21 tahun (1884) telah pula mengambil kesempatan memperdalam ilmu pengetahuannya dari majlis-majlis pengajian yang ada di sini. Ia belajar kepada guru-guru besar yang mengajar di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi Madinah, diantaranya kepada Syekh Utsman Fauzi Al-Khalidy Jabal Qubais, Syekh Sa’udasy Makkah, Syekh Ahmad Ridwan Madinah dan juga kepada Syekh Ahmad Khatib Al- Minangkabawy sendiri. Syekh Khatib Muhammad Ali pulang ke kampung halamannya setelah memperoleh kelulusan dalam ilmu keagamaan, ia juga sekaligus mendapatkan ijazah dalam bidang lainnya seperti tarikat Naqsyabandi dari Syekh Jabal Qubais serta ijazah ilmu Qiraah as-Sab’ah dari Syekh Maulana Sa’udasy.

Sedangkan Syekh Muhammad Saad Munka lebih kurang seusia dengan Ahmad Khatib. Ia lahir di Munka, Kabupaten Limapuluh Koto pada tahun 1857. Setelah beberapa tahun belajar dengan berbagai guru di daerah Lima puluh Koto, kemudian pada tahun 1894 melanjutkan ke Makkah, Madinah, Yaman dan Mesir, menuntut berbagai ilmu pengetahuan agama dan ilmu Hisab (Yunus Yahya, 1976 ; 14). Setelah kembali dari Timur Tengah, Syekh Muhammad Saad membuka pengajian di surau yang dibangun oleh masyarakat Munka dan mengajar murid-murid yang datang dari berbagai daerah. Diantara muridnya adalah Syekh Yahya Al-Khalidi Magek, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli Candung, Syekh Makhdum Solok, Syekh Abbas Qadhi Ladang Lawas, Syekh Muhammad Thaher Rasyid Payakumbuh, dan lain-lain.

Apa yang dikemukakan adalah kisah perjalanan intelektual sebahagian dari tokoh ulama Minangkabau pada paruh kedua abad ke-19. Perjalanan ini memberikan gambaran bagaimana “gairah” intelektualitas masyarakat Minangkabau dalam mengupayakan pencerahan dalam kehidupan sosial dan keagamaan, sebagai konsekuensi dari kesadaran akan realitas sosial yang terjadi di wilayah ini.

Diferensiasi Pemahaman dan Pemikiran Keagamaan
Apa yang dikemukakan sebagai “perjalanan intelektual” Islam pada penggal kedua abad ke 19 terdahulu adalah salah satu episode kesejarahan penting dari rangkaian pengalaman Minangkabau, terutama dalam lapangan keagamaan. Sementara tokoh-tokoh ulama yang disebutkan itu adalah mereka yang kemudian memainkan peran penting terhadap perkembangan sejarah agama Islam pada paruh pertama abad kedua puluh. Pemikiran keagamaan mereka yang terpublikasi lewat polemik keagamaan yang segar telah memberikan kontribusi bagi ‘hidup’nya dinamika lembaga-lembaga keislaman di wilayah ini.

Paling tidak ada tiga kelompok yang dapat ditunjukkan dalam menandai munculnya diferensiasi pemahaman dan pemikiran keagamaan dari tokoh-tokoh ulama yang disebutkan itu, yaitu : pertama : mereka yang dibesarkan dan dididik pada sistem pendidikan surau Minangkabau abad ke-19. Kedua, mereka yang mendapat pendidikan keagamaan di Makkah dan Madinah, dan ketiga, mereka yang mendapat pengalaman intelektual di Mesir.

Kelompok pertama adalah para ulama yang mewarisi tradisi pendidikan tradisional surau yang telah berlangsung sejak awal abad ini. Pada umumnya mereka adalah penganut tarikat Naqsyabandiah, karena tarikat ini berkembang dengan pesat pada waktu ini, terutama di wilayah pedalaman. Ulama-ulama ini aktif mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan keagamaan sekaligus menyebarkan pengajaran tarikat dan secara konsisten telah mewarisi tradisi pengajaran guru-guru mereka. Generasi ulama awal abad ke 19 ini banyak diketahui dari riwayat pendidikan ulama-ulama yang kita sebut terdahulu, karena hampir semua ulama-ulama itu berguru kepada mereka, namun riwayat pendidikan mereka sukar untuk ditelusuri karena langkanya sumber untuk itu.
Sementara itu, kelompok kedua adalah ulama-ulama yang terlahir dari tangan guru-guru yang disebutkan belakangan. Beberapa diantara ulama ini, kemudian melanjutkan pendidikan mereka di Makkah, Madinah dan wilayah lain di jazirah Arab. Berbagai bidang pengetahuan agama telah mereka serap di beberapa majelis pengajian yang berkembang di wilayah itu, termasuk majelis pengajian Syekh Ahmad Khatib di Masjidil Haram. Kelompok kedua ini, sebelum melanjutkan pelajarannya, pada umumnya adalah penganut Naqsyabandiah. Diantara mereka berangkat ke tanah Arab untuk lebih mendalami pelajaran agama Islam dalam mazhab Syafii, seperti ilmu Fiqh, ilmu Tafsir, ilmu Hadits dan ilmu-ilmu alat seperti Nahu, Sharaf, Balaghah dan lain-lain, dan sebagiannya mempelajari ilmu Falak, bahkan ada diantaranya yang sekaligus juga memperdalam pengajian tarikat Naqsyabandiah di Majelis pengajian tarikat ini di Madinah.

Sedangkan kelompok ketiga adalah ulama-ulama yang mendapatkan pengaruh dari pembaharuan Islam di Mesir. Ulama-ulama ini pada awalnya belajar di Makkah, kemudian melanjutkan ke Mesir, karena tertarik dengan gelombang pembaharuan yang sedang berhembus di wilayah ini. Pemikiran-pemikiran keagamaan, terutama berkaitan dengan ide Pan Islamisme dan ide tentang kebangkitan Islam untuk terbebas dari kejumudan berfikir, menjadi tema sentral gerakan pembaharuan yang dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani, Syekh Muhammad Abduh dan Sayid Rasyid Ridha. Ini telah mendorong keinginan sebagian ulama murid Ahmad Khatib untuk belajar ke Mesir.

Munculnya tiga kelompok ulama dengan latar belakang pendidikan dengan corak pemahaman yang berbeda itu pada gilirannya menjadi cikal bakal munculnya pertikaian pandangan diantara mereka. Pertikaian ini di satu sisi berkisar antara yang mempertahankan status quo penganutan terhadap tarikat Naqsyabandi dan yang menolak, namun di sisi yang lain pula muncul pemahaman tentang perlunya melakukan berbagai perubahan paradigma kepenganutan terhadap satu mazhab. Dikemukakan juga bahwa sikap taqlid terhadap mazhab telah menjadi penyebab mandegnya kerangka pikir umat Islam dalam memberikan konsepsi terhadap Islam itu sendiri. Pemikiran yang disebut terakhir inilah yang telah berkembang di Mesir terutama dari pembaharu-pembaharu seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Sayid Rasyid Ridha.

Serangan terhadap tarikat Naqsyabandiah dilancarkan oleh Syekh Ahmad Khatib. Tarikat yang pada waktu itu banyak dianut oleh ulama-ulama setempat termasuk murid Ahmad Khatib yang sudah pulang ke Minangkabau, yang oleh Ahmad Khatib sendiri dikatakan sebagai telah diselipi oleh amalan-amalan bid’ah. Serangan ini dikemukakan melalui tiga buah bukunya : Izhar zoeghal al-kadhibin fi tasybihihim bi’lcadiqin, al-Ajat al-baijjinat li’lmuncifin fi izalah choenafat ba’d al-moeta’accibin, dan al-Saif al-battaar fi mahq kalimat ba’d ahl al-ightirar. Ketiga buku ini dihimpun dalam satu bundel dan diterbitkan di Mesir pada tahun 1326 H (1908 M) (cf. Schrieke; 31).

Motivasi pertama penulisan buku tersebut oleh Ahmad Khatib adalah karena pertanyaan yang diajukan oleh muridnya Syekh Abdullah Ahmad sewaktu dia belajar di Makkah yaitu tentang hukum melakukan rabithah sebagai yang menjadi amalan tarikat Naqsyabandiah, apakah rabithah itu dibolehkan dalam syara’ atau tidak. Ahmad Khatib dengan jelas mengemukakan bahwa rabithah atau amalan zikir dengan menggunakan mediasi guru adalah bid’ah dan sama sekali tidak diperbolehkan dalam ajaran Islam.

Buku Ahmad Khatib ini mendapat respon yang begitu luas dari kalangan ulama Minangkabau, karena hujatan ini dirasakan bagaikan badai yang muncul di tengah semilir angin yang berhembus di seputaran Merapi dan Singgalang. Tak pelak beberapa ulama tokoh tarikat Naqsyabandi di wilayah ini merasa perlu melakukan counter atas serangan tersebut. Adalah Syekh Muhammad Sa’ad Munka seorang guru Naqsyabadiah yang piawai dalam menulis, kemudian melakukan pembelaan atas ajaran tarikat Naqsyabandiah. Demikian juga Syekh Khatib Muhammad Ali dan Syekh Sulaiman Ar-Rasoely.

Dua buku ditulis oleh Syekh Muhammad Sa’ad Munka, yaitu : Risalah Irgham oenoef almoefanitin fi inkarihim rabitah alwacilin dan Risalah Tanbih al ‘awaam ‘ala Thariqat ba’d al anaam sebagai bantahan terhadap serangan Ahmad Chatib terhadap Naqsyabandiah. Kedua buku ini diterbitkan di Padang pada tahun 1910. Syekh Khatib Muhammad Ali juga menerbitkan terjemahan dari karya Sajjid Moehammad bin Mahdi al-Koerdi yang berjudul : Risalah Naqsyabandijjah fi Asas ictilah al naqsyabandijjah min aldhikr alchafij wa’irabithah wa’lmoeqarabah wadf’ali’tirad bi dhalika. Karangan yang berisikan apologi terhadap Naqsyabandi ini diterbitkan di Padang 1326 H, dan disusul pula dengan saduran atas karya ‘Abd al-Ghani bin Isma’il al-Naboeloesi yang berjudul : Miftah al-Ma’ijjah . Semua buku ini berusaha untuk melakukan pembelaan terhadap tarikat Naqsyabandi atas tuduhan bid’ah yang dikemukakan oleh Syekh Ahmad Khatib.

Tokoh-tokoh ulama Naqsyabandi secara gencar dalam tulisan mereka membuktikan bahwa amalan-amalan yang terdapat dalam tarekat Naqsyabandiah adalah berasal dari al-Qur'an dan Sunnah. Syekh Khatib Muhammad Ali mengemukakan bahwa orang pertama yang meletakkan dasar tarekat Naqsyabandiah adalah Abu Bakar ash-Shiddiq yang didapatkannya dari Rasulullah SAW. Rasulullah sendiri memperolehnya dari malaikat Jibril langsung dari Allah SWT. Ada dua bentuk rabithah dalam praktek ritual Naqsyabandi, yaitu : rabithah ¬guru dan rabithah kubur. Menurut Syekh Khatib Muhammad Ali, rabithah guru merupakan wasilah atau perantara untuk sampai kepada Allah dan bukan berarti menyembah guru. Membungkukkan kepala kepada guru juga bukan kultus yang sama dengan perlakuan kepada Allah, tetapi merupakan wujud penghormatan dan dilakukan dengan tidak melebihi batas ruku’ dan sujud. Penghormatan terhadap guru semata-mata karena Allah. Sedangkan rabithah kubur hanyalah menjadi sarana untuk mengingat bahwa setiap makhluk hidup pasti akan mati dan dengan demikian hatinya akan selalu ingat kepada Allah SWT. Secara umum, dalam berbagai kitab yang disebutkan terdahulu pada dasarnya bertujuan untuk membela tarekat Naqsyabandiah dan memberi penjelasan bahwa tidak ada sama sekali tujuan negatif yang terselip dalam ajaran-ajaran tarekat Naqsyabandiah yang dapat menggelincirkan ummat dalam kesesatan. Apapun yang diamalkan dalam tarekat Naqsyabandiah, adalah bersumber kepada al¬-Qur'an dan Hadits Rasulullah.

Dikhotomi Kaum Tua dan Kaum Muda
Serangan terhadap tarikat Naqsyabandiyah kedua muncul dari kalangan ulama yang mendapat pengaruh gejolak pemikiran yang berkembang di Mesir. Sasarannya tidak hanya tarikat Naqsyabandiah dan tarikat-tarikat lainnya, akan tetapi lebih luas lagi, yaitu semua paham keagamaan yang dianggap konvensional dan masih taqlid kepada salah satu mazhab. Pemikiran baru ini berawal dari munculnya majalah “Al-Imam” yang diterbitkan di Singapura oleh salah seorang ulama Minangkabau yang baru kembali dari Mesir, yaitu Syekh Thaher Jalaluddin. Majalah ini pada penerbitan pertama tahun 1906 memuat artikel-artikel dengan pemahaman baru bidang keagamaan yang oleh sebagian besar ulama-ulama Minangkabau pada waktu itu terasa asing dan sangat bertentangan dengan apa yang selama ini diperpegangi.

Majalah “Al-Imam” ini pada dasarnya, merupakan perpanjangan tangan dari majalah “Al-Manar” Mesir yang diterbitkan oleh Sayid Rasyid Ridha dan pendahulunya majalah “Urwatul Wutsqa” yang diterbitkan di Paris oleh Sayid Jamaluddin Al-Afghani dan Syekh Muhammad Abduh. Kedua majalah ini memuat berbagai artikel yang berkaitan dengan penyadaran umat Islam untuk bangkit dari kejumudan berfikir yang disebabkan oleh sikap taqlid terhadap hasil ijtihad para Imam Mazhab. Bahkan dalam majalah Al-Manar dimuat penafsiran-penafsiran baru Al-Quran oleh Muhammad ‘Abduh yang kemudian dikenal dengan Tafsir Al-Manar.

Pemikiran pembaharuan ini telah pula mengilhami beberapa ulama Minangkabau yang belajar dengan Syekh Ahmad Khatib, yaitu Syekh H. Abdul Karim Amarullah, Syekh H. Abdullah Ahmad, Syekh Muhammad Jamil Jambek, dan Syekh Muhammad Thaib Umar. Keempat orang ini adalah murid Syekh Ahmad Khatib, dan (kecuali Syekh Muhammad Thaib Umar) juga belajar dengan Syekh Thaher Jalaluddin. Oleh karenanya pemikiran-pemikiran keagamaan yang disebarkan Al-Imam, maupun Al-Manar dan Al-‘Urwatul Wutsqa” menjadi rujukan bagi ulama-ulama ini dalam melancarkan misi pembaharuan keagamaan di wilayah Minangkabau . Mereka inilah yang kemudian dikenal dengan Kaum Muda ; istilah yang dipertentangkan dengan Kaum Tua sebagai kelompok status quo yang bertahan dengan pemahaman tradisional keagamaan hasil ijtihad imam Mazhab yang diterima dari guru-guru mereka, termasuk dari Syekh Ahmad Khatib sendiri .

Pertentangan kedua kubu ini berkembang menjadi polemik-polemik dan perdebatan-perdebatan terbuka. Hal ini berakibat pada terjadinya polarisasi kehidupan beragama dalam masyarakat Minangkabau, termasuk kalangan ulama-ulama sendiri. Surau-surau Minangkabau pun tak terhindarkan pula dari pengaruh pembelahan ini. Karena surau-surau sebagai pusat aktifitas masing-masing berusaha secara gencar menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka melalui berbagai kesempatan dan berbagai media. Keadaan ini diasumsikan sebagai implikasi positif dari perkembangan Islam awal abad ke-20 ini dan sekaligus merupakan fase kedua revolusi intelektual yang terjadi di Minangkabau setelah gerakan Paderi (cf. Mestika Zed,2002). Intensitas pembahasan soal-soal keislaman dan kemasyarakatan menjadi lebih meningkat dari waktu-waktu sebelumnya, surau-surau sebagai wadah pendidikan dan pengajian Islam pada waktu ini semakin memperlihatkan aktifitasnya dalam berbagai lapangan.

Dari sentra surau lahir berbagai gagasan transformasi keilmuan seperti perubahan metode pengajaran, penerbitan buku-buku, surat kabar, tabloid, dan bahkan dari sinilah pula munculnya gagasan mendirikan lembaga-lembaga dan organisasi keagamaan yang berorientasi pada pengukuhan proses transformasi itu sendiri, --meski pada skala tertentu-- juga untuk tujuan apologetis dari masing-masing kubu yang disebutkan. Namun semua itu, pada gilirannya, sangat diperlukan dalam rangka pencerdasan bangsa untuk meredusir proses “pembaratan” yang sudah berlangsung melalui aksi politik etis Belanda sejak pertengahan abad ke-19.





Selengkapnya...

Budaya Islam Dalam Menghadapi Tantangan Global

Oleh : Prof.DR.H. Maidir Harun

Kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang telah melahirkan globalisasi, bermamfaat atau tidak, tergantung dari orang yang menggunakannya. Sejak beberapa decade yang lalu, Alvin Toffler dan John Naisbit telah memperediksikan bahwa era globalisasi dan informasi akan melahirkan gaya hidup dan budaya global. Artinya, pada mulanya globalisasi baru sebatas alat, yang bersifat netral. Artinya ia akan sekaligus mengandung hal-hal yang positif, ketika dimamfaatkan untuk tujuan yang baik.

Sebaliknya, ia dapat berakibat negative ketika hanyut dalam hal-hal yang negative. Dengan demikian, globalisasi akan tergantung kepada siapa yang mengunakannya dan untuk keperluan apa , serta tujuan ke mana ia dipergunakan. Jadi sebagai alat dapat bermamfaat dan dapat pula mudarat. Terobosan teknologi informasi dapat dijadikan media alat alat dakwah, dan dalam waktu yang bersamaan dapat pula menjadi 'biang kerok' ancaman dakwah. 1

Tetapi, apabila globalisasi diartikan sebagai ideology, maka ia bermakna mengandung nilai dan norma yang melahirkan budaya dan sikap hidup global. Sebagai sebuah ideology dan telah melahirkan gaya hidup dan budaya global, maka globalisasi akan mengikuti hukum dan teori budaya. Dalam ilmu budaya terkenal ungkapan yang menyatakan bahwa budaya yang lebih kuat dan maju akan mempengaruhi budaya yang lemah dan tertinggal. Oleh sebab itu, budaya global yang didukung dan dikembangkan oleh negara-negara kuat dan maju saat ini,yakni negara-negara Barat, pasti akan mempengaruhi budaya bangsa lain yang lemah dan tertinggal. Gaya hidup dan budaya Barat, yang diapandang sebagai budaya global akan mempngaruhi gaya hidup dan budaya bangsa-bangsa lain, termasuk umat Islam.

Umat Islam yang tersebar dari Lautan Atlantik di bagian Barat sampai ke Indonesia di bagian Timur, dengan jumlah sekitar 1,3 milyar, pasti tidak luput dari pengaruh gaya hidup dan budaya global tersebut. Dalam keadaan seperti itu, tidak jarang terjadi benturan-kultural, benturan nilai, benturan norma. Bagaimana budaya Islam dalam menghadapi gaya hidup dan budaya global tersebut ? Sebab, secara umum terdapat perbedaan nilai dan norma antara budaya Islam dan budaya global.

Budaya global, sebagai budaya yang maju dan modern memiliki nilai teori ( ilmu pengetahuan ), nilai ekonomi dan nilai solidaritas yang kuat. Budaya global meninggikan akal/rasio dari pada intuisi/rasa. Budaya global sangat menaruh perhatian kepada peningkatan kesejahteraan hidup secara ekonomis. Budaya global lebih mudah memahami kemajemukan dan pluralitas, karena didasari oleh nilai solidaritas yang kuat.

Sutan Takdir Alisyahbana, untuk mempelajari dan memperhatikan nilai-nilai mana yang kuat pada suatu budaya, menggunakan sebuah gambar sebagai ilustrasi, seperti berikut :

nilai teori nilai ekonomi


nilai Kuasa nilai solidaritas

nilai seni
nilai agama/spritual


Artinya, ada enam nilai budaya yang menjadi ukuran utama, yaitu 1) nilai agama/spriritual, nilai seni, nilai kuasa, nilai solidaritas, nilai ekonomi dan nilai teori. Budaya yang dipengaruhi oleh perasaan/intuisi akan memiliki nilai agama/spiritual dan nilai seni yang kuat. Selanjutnya, budaya yang lebih kuat dilandasi oleh akal/rasio akan melahirkan nilai teori, nilai ekonomi dan nilai solidaritas yang kuat pada masyarakat yang egaliter dan demokratis. Sedangkan bagi bangsa atau masyarakat yang feodalis , nilai kuasa akan lebih kuat dari pada nilai solidaritas.

Dalam perkembangan terakhir, budaya global dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, seperti yang terlihat pada gambar di atas, mengancam budaya Islam, karena :
a. budaya global tumbuh dan berkembang ke arah budaya materialis dan hedonis, karena sangat dipengaruhi oleh system ekonomi kapitalis global.
b. budaya global tumbuh dan berkembang menjadi budaya sekuler, karena terlalu mengandalkan akal/rasio.
c. budaya global tumbuh dan berkembang menjadi budaya permisif,karena dipengaruhi oleh individualisme, liberalisme dan hak-hak azazi manusia tanpa batas.

Yusuf Qardhawi dalam bukunya al-Islam Haharat al-Gad mengatakan bahwa salah satu segi negative budaya global yang amat penting adalah dekadensi moral, akibat lepasnya budaya global dari ikatan moral yang diajarkan setiap agama samawi mana pun. Sebab, buah dari jenis pohon materialisme dan pragmatisme yang menjiwai budaya global – budaya Barat – tidak mungkin dapat berbuah akhlakul-karimah (moral) yang dapat memperkokoh sendi kehidupan sosial. Sebaliknya, justru membuahkan kebobrokan dan dekadensi moral yang menggoyahkan struktur masyarakat.2
Agaknya tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa akar persoalan yang membawa dekadensi moran budaya global adalah karena budaya sangat bersifat anthropo-sentris, yang hanya berdasarkan pada akal/rasio manusia semata.

II


Yang pasti, demikian Qadri Azizy menulis dalam bukunya Melawan Globalisasi, pergaulan global sudah tidak dapat lagi dihindari oleh seseorang, kecuali ia sengaja mengungkung diri dengan menjauhi interaksi dan komunikasi dengan yang lain.3 Selanjutnya, Alfian, seorang tokoh ilmuan yang cukup terkenal juga menyatakan hal senada dengan apa yang dikemukakan oleh Qadri Azizy di atas yaitu mengibaratkan globalisasi yang dihasilkan oleh sebuah revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi, bagaikan seekor harimau yang garang yang sedang melejit deras. Siapa yang berhasil meracak dan mengendallikannya akan beruntung, karena akan cepat sampai kea lam yang lebih baik. Siapa yang tidak berahsil menguasainya akan tertinggal jauh di belakang dengan segala frustrasinya atau lebih berbahaya lagi kalau sampai diterkam dan dimakan habis oleh harimau garang tersebut.4

Oleh sebab itu, pernyataan kedua orang ilmuwan di atas hendaknya menjadi perhatian umat Islam untuk menaruh perhatian dan peduli dengan perkembangan budaya global tersebut, sehingga mampu mersponnya dengan tepat dan baik. Dan sangat mustahil menjauhkan diri dari perkembangannya.

Dalam kaitan inilah budaya Islam akan menemukan banyak sekali persoalan dan kelemahan, karena budaya Islam pada era global seperti sekarang ini, di mana dalam berinter-aksi dan berkomunikasi, karena berada pada posisi lemah dan tertinggal serta kurang mampu bersaing. Kelemahan dan ketertinggalan budaya Islam tersebut paling tidak dapat dilihat pada beberapa bidang kehidupan sebagai berikut :

a. Budaya Islam pada era global lemah dan tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, karena lemah pada nulai teori. Walaupun kesadaran akan kelemahan dan ketertinggalan budaya Islam tersebut telah disadari sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke dunia Islam, seperti ketika kedatangan ekspedisi Napoleon ke Mesir, kedatangan bangsa Inggeris ke India, kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia dan kedatangan beberapa bangsa Eropa ke Turki Usmani, sampai saat sekarang keadaan tersebut belum berubah. Bahkan jumlah umat Islam yang besar telah menjadi 'pasar' yang empuk bagi negara-negara maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama dalam menjual hasil produksinya. Ironisnya, sebahagian besar hasil produksi tersebut menggunakan bahan baku dari sumber daya alam dari dunia Islam. Umat Islam belum mampu mengelola dan mengolah sumber daya alamnya yang kaya, karena tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

b. budaya Islam lemah dan tertinggal dalam bidang ekonomi, karena
lemah pada nilai ekonomi. Walaupun dunia Islam adalah daerah umumnya kaya dengan sumber daya alamnya, umat Islam tetap saja tertingal dan lemah dalam ekonomi, perdagangan, pertanian, perindustrian, perternakan dan sebagainya. Saudi Arabia dan Kuwait adalah contoh yang tepat dalam hal ini. Kedua negara Islam ini adalah negara petro-dollar, karena kaya dengan hasil minyak. Tetapi, secara ekonomi kedua negara ini amat tergantung dengan dengan negara-negara Barat yang mengembangkan system ekonomi kapitalis global.

c. budaya Islam pada umumnya masih lemah pada nilai solidaritas,
walaupun inter-aksi sosial dan pergaulan serta komunikasi dalam era global telah melibatkan bermacam-macam bangsa, bermacam-macam penganut agama, bermacam-macam adapt-istiadat dan budaya, bermacam-macam warna kulit dan sebagainya.

Untuk jelasnya, gambaran budaya Islam pada era global dapat diperhatikan pada gambar berikut :

nilai teori nlai ekonomi

nilai kuasa nilai solidaritas


nilai seni nilai agama/spritual

Padahal, apabila dipelajari sejarah perkembangan budaya Islam sejak masa lampau sampai era global sekarang , pada hakekatnya budaya Islam pernah mencapai zaman kemajuan dan keemasannya sekitar 400 tahun, yaitu pada periode klasik. budaya Islam.. Pada masa tersebut kuat pada nilai teori, sehingga mengalami kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Budaya Islam kuat pada nilai ekonomi, sehingga telah membawa kepada kemakmuran dan kesejahteraan hidup. Budaya Islam kuat pada nilai solidaritas, sehingga mampu hidup berdampingan dengan rukun dan damai dengan bangsa-bangsa lain, dengan penganut agama lain dan sebagainya. Untuk jelasnya dapat diperhatikna gambar seperti di bawah ini :

nilai ekonomi
nilai teori


nilai kuasa nilai solidaritas

nilai seni
nilai agama/spritual


Pada masa kemajuan tersebut, budaya Islam telah melahirkan beratus-ratus ilmuwan dalam bidang sains, filsafat, humaniora dan ilmu ke-Islaman. Diantara ilmuwan Muslim dalam bidang sains adalah a) Ibnu Haitsam atau al-Hazem, seorang ahli astronomi, b) Fakhruddin al-Razi, seorang ahli astronomi, c) Abu Ali al-Husain Ibnu Sina, seorang ahli kedokteran, yang digelari dengan Syaikh al-Rais, d) Jabir Ibnu Hayyan, seorang ahli kimia, dan e)Muhamad Ibnu Musa al-Khawarizmi, seorang ahli matematika. Masing-masing ilmuwan di atas memiliki beberapa karangan buku yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Laten dan Bahasa Inggeris.

Diantara filosof Muslim yang terkenal pada Zaman Keemasan Islam adalah a) Abu Yusuf Ya'cub Ibnu Ishaq al-Kindi , b) Abu Nashr al-Farabi.Selanjutnya, beberapa contoh ilmuwan Muslim dalam bidang humaniora adalah a) Ibnu Jarir al-Thabari, seorang penulis sejarah Islam yang terkenal dengan bukunya b) Abu al-Hasan al-Mas'usdi, juga seorang sejarawan yang terkenal dengan bukunya Muruj al-Zahab 5.

Dalam bidang ilmu ke-Islam amat banyak lagi para ulama, fuqaha', dan mufassirin yang dapat dikemukakan diantaranya adalah a) Imam Abu Hanifah, seorang ahli hukum Islam, b) Anas bin Malik , seorang ahli hukum Islam, c)Muhamad Ibnu Idris al-Syafi'I, ahli hukum Islam, d) Ahmad bin Hanbal, ahli hukum Islam, e) Imam Bukhari, seorang ahli hadis, f) Imam Muslim, seorang ahli hadits, g) Imam Turmuzi, seorang ahli hadits, h) Abu Dawud, seorang ahli hadits, i) al-Nasa'I, seorang ahli hadits, j) Ibnu Majah, seorang ahli hadits, k) al-Zamakhsyari, seorang ahli tafsir, l) Abdullah al-Baidhawi, seorang ahli tafsir, m) Abdullah al-Nasafi, seorang ahli tafsir, n)Abu Bakar al- Asham, seorang ahli tafsir, o) al-Juba'I, seorang ahli ilmu kalam, p) al-Nazam , seorang ahli ilmu kalam, q) Abu Hasan al-Asy'ary, seorang ahli ilmu kalam. Masing-masing ulama, fuqaha' dan mufasirin di atas mengarang buku dalam bidang keahliannya yang masih terkenal sampai sekarang.6

Kemajuan budaya Islam dalam bidang ekonomi, yang didorong oleh nilai-nilai ajaran agama Islam tentang ekonomi, ditandai dengan tingginya frekwensi perdagangan di dalam dunia Islam yang dilakukan oleh saudagar-saudagar Muslim dan non-Muslim, hasil pertanian yang meningkat, hasil industri yang banyak, perternakan dan pertambangan. Kemajuan dalam bidang ekonomi telah meningkatkan pendapatan keuangan negara secara signifikan. Pada masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid, pemasukan keuangan negara mencapai 272 juta dirham dan 4,5 juta dinar per-tahun. Sementara itu, pada masa Khalifah al-Mu'tashim, penghasilan negara dari sector ekonomi meningkat lagi menjadi 314,27 juta dirham dan 5,102 dinar per-tahun.7

Kemajuam dalam bidang ekonomi tersebut telah membawa kemakmuran dan kesejahteraan hidup masyarakat. Puncaknya pernah dialami pada masa Khalifah Harun al-Rasyid dan Putranya al-Makmun. Kekayaan negara yang besar tersebut sebahagian dimamfaatkan untuk keperluan sosial. Lembaga-lembaga sosial banyak dibangun pada masa tersebut, membangun rumah sakit, membangun lembaga pendidikan dokter, lembaga pendidikan farmasi, membangun mesjid dan sebagainya.

Di samping hal di atas pada masa kemajuan budaya Islam juga terdapat hubungan yang harmonis dalam kehidupan manysrakat, sekalipun terdiri dari bermacam-macam suku, etnis, penganut agama dan adapt-istiadat. Maksudnya, adalah bahwa budaya Islam pada hakekatnya dapat menerima kemajemukan atau pluralitas. Di zaman Daulah Abbasiyah didirikan sebuah perpustaan besar yang dinamai dengan Bait al-Hikmah. Perpustakaan ini tempat berkumpul para ulama, ilmuwan dan penerjemah buku-buku ilmu pengetahuan ke dalam Bahasa Arab, yang dipimpin oleh seorang tokoh Nasrani yang terkenal yaitu Hunain bin Ishaq. Sementara itu, jabatan-jabatan penting di dalam pemerintahan juga ada yang dipercayakan kepada tokoh Nasrani, asal ia memiliki kemampuan dalam pekerjaan tersebut.

Sesuatu yang istimewa dalam budaya Islam adalah bahwa kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, kemajuan dalam bidang ekonomi dan kemajuan dalam bidang sosial kemasyarakatan tersebut tetap dilandasi dengan nilai-nilai spiritual yang bersumber dari ajaran agama yang bersifat transcendental. Oleh sebab itu , para ahli mengatakan bahwa keunggulan peradaban dan budaya Islam adalah karena bercorak theo-anthropo-sentris. Budaya yang tetap mengandung nilai-nilai yang provan dan sakral sekaligus.

Akibat dari kemajuan budaya Islam tersebut, kota Bagdad, Cairo, Demaskus, Mekkah, Madinah dan Cordova di Andalus telah menjadi kota-pusat peradaban dunia.



III


Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas, pada hakekatnya tidak terlalu sulit budaya Islam menghadapi budaya global, karena telah pernah mengalami masa kemajuan di masa lampau. Dan diantara langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menghadapi budaya global tersebut diantaranya adalah :

a). menerima kemajuan budaya global yang telah maju dalam bi -
dang ilmu pengetahuan dan teknologi, karena memiliki nilai teo-
ri yang kuat, tetapi diwarnai dengan nilai-nilai spiritual yang ber-
sumber dari ajaran agama Islam.

b) menerima kemajuan budaya global dalam bidang ekonomi, kare-
na dilandasai oleh nilai ekonomi yang kuat, tapi harus dikaitkan
dengan nilai-nilai spiritual yang bersumber dari ajaran agama Islam.

c) menerima kemajuan budaya global dalam bidang sosial-kemasya-
rakatan, terutama dalam menghadapi realitas masyarakat yang pluralis/majemuk, tetapi mesti dilandasi pula dengan nilai-nilai spritul yang bersumber dari ajaran agama Islam.

Hal tersebut dikemukakan, karena pada hakekatnya budaya global yang sedang berkembang saat ini adalah budaya yang kering nilai-nilai spiritual, sehingga lebih menonjol corak materialistisnya. Sehingga dengan demikian, diharapkan budaya global akan berkembang sebagaimana budaya Islam pada masa klasik, yang bersifat theo-anthropo-sentris.

Untuk mengupayakan hal tersebut di atas, cara yang paling tepay adalah melalui pendekatan pendidikan dan dakwah serta politik, yang dilakukan secara beradab dan dengan semangat kompetisi yang sehat dan fair. Cara-cara pendekatan kekerasan dan eksklusif sangat tidak bijaksana dan pasti akan merugikan diri sendiri serta akan menghilangkan simpatik pihak lain.




Selengkapnya...